Anda di halaman 1dari 7

Nama : Lusiana Febri Susanti

Kelas/semester/prodi : A2/ 02/ PGSD

NIM : 188620600195

Tugas : FILP. 03

Soal :

1. Jelaskan peran filsafat dalam kehidupan manusia!


2. Jelaskan makna yang terdapat dalam UU No. 20/2003 bahwa “Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat ... “!
3. Mohon dijelaskan jika pendidikan tidak dilandasi nilai-nilai filosofis,
terutama tujuan pendidikan!

Jawab :

1. Pentingnya Filsafat Bagi Kehidupan

Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam


semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan
seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan
ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding
and wisdom).

- Dr Oemar A. Hoesin mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengatahuan,


dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada
keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan
kebenaran. S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat itu
dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun
menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah
letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara
kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti yang sedalam-dalamnya
dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi dan satu-satunya.

1/7
Bagi manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya,
senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab
terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun
kebenaran. Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan:
Tugasfilsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup,
melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai,
menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat
hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru,
mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan
berdasarkan ‘nation’, ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia
kemanusiaan.

Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang
lingkupnya maupun dalam semangatnya. Studi filsafat harus membantu orang-
orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara
intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal
saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang,
yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni,
pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.

Berbeda dengan pendapat Soemadi Soerjabrata, yaitu mempelajari filsafat


adalah untuk mempertajamkan pikiran, maka H. De Vos berpendapat bahwa
filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup
sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya
dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus
mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus mengajar
manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan
bahagia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah
mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika
(berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).

2. Analisis UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Berdasarkan pemetaan


paradigma ideologi pendidikan menurut Henry Giroux dan Aronowitz.

2/7
Menurut Henry Giroux dan Aronowitz, Pendidikan bagi salah satu aliran
liberal yakni ‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk
menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai
media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan
dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.

Hal ini tercermin dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yakni,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Serta dengan definisi pendidikan yang tercantum dalam UU SISDIKNAS, secara
tidak langsung mengartikan bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan
persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas
pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Hal ini sesuai dengan paradigma liberal memisahkan masalah masyarakat yakni
persoalan ekonomi dan politik dengan proses pendidikan yang ada.

Begitu pula yang tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi, Pendidikan


nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Hal ini sesuai dengan filsafat Barat tentang model manusia universal yakni
model manusia Amerika dan Eropa. Model tipe ideal mereka adalah manusia
“rationalis liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama
dalam intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap

3/7
oleh akal. Ketiga adalah “individualis” yakni adanya angapan bahwa manusia
adalah atomistic dan otonom (mandiri) (Bay,1988).

Serta pendidikan harus membuat individu menjadi agresif dan rasional.


Hal ini juga sesuai dengan anjuran Positivisme sebagai suatu aliran filsafat
berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu
alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and
generalisasi, melalui metode determinasi, ‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori
(Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap
‘appropriate’ untuk semua fenomena.

Dengan agenda liberal seperti itu, maka tidak memungkinkan bagi


pendidikan untuk menciptakan ruang (space) bagi sistem pendidikan untuk secara
kritis mempertanyakan tentang, pertama struktur ekonomi, politik, ideology,
gender, lingkungan serta hak-hak azazi mansuia dan kaitannya dengan posisi
pendidikan. Kedua pendidikan untuk menyadari relasi pengetahuan sebagai
kekuasaan (knowledge/power relation) menjadi bagian dari masalah
demokratisasi. Tanpa mempertanyakan hal itu, tidak saja pendidikan gagal untuk
menjawab akar permasalahan masyarakat tetapi justru melanggengkannya karena
merupakan bagian pendukung dari kelas, penindasan dan dominasi.

Pendidikan dalam kontek itu tidaklah mentransformasi struktur dan sistem


dominasi, tetapi sekedar menciptakan agar sistem yang ada berjalan baik. Dengan
kata lain pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi.
Kuatnya pengaruh filasafat positivisme dalam pendidikan dalam kenyataannya
mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat.

Metode yang dikembangkan pendidikan mewarisi positivisme seperti


obyektivitas, empiris, tidak memihak, detachment (berjarak), rasional dan bebas
nilai. Murid dididik untuk tunduk pada struktur yang ada dengan mencari cara-
cara dimana peran, norma, dan nilai nilai serta lembaga yang dapat integrasikan
dalam rangka melanggengkan sistem tersebut.

4/7
Kesimpulan Analisis :

Jadi kesimpulan pada Analisis yang tercermin dalam UU SISDIKNAS ini,


Asumsinya adalah bahwa tidak ada masalah dalam sistem yang ada, masalahnya
terletak pada mentalitas anak didik, kreativitas, motivasi, ketrampilan teknis, serta
kecerdasan anak didik. Hal ini tercantum dalam Pasal 3 dalam UU SISDIKNAS
itu sendiri. Hal ini sesuai pendekatan liberal yang dipelopori oleh McClelland
berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka
tidak memiliki apa yang dinamakannya N Ach. Oleh karena sarat pembangunan
bagi rakyat dunia ketiga adalah perlu virus “N ach” yang membuat individu
agresif dan rasional (McClelland, 1961).

McClelland lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah


masyarakat. McClelland dalam hal ini lebih melihat ‘masalah etika, kreativitas,
‘need for achevement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam
menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena
‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan,
tidak kreatif, tidak terampil, kurang cakap atau tidak memiliki budaya
‘membangunan’ dan seterusnya. Pendidikan dalam kontek ini juga tidak
mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah
sudah baik dan benar, merupakan faktor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu
dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan
agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut

Sedangkan dalam UU SISDIKNAS Pasal 1 ayat 1, Pendidikan dimaksudkan


sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan
dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai
tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara
baik. Dengan Demikian, penulis berkesimpulan bahwa Rumusan tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 sesuai dengan Paradigma
Liberal.

5/7
3. Landasan Filosofis Pendidikan Secara Umum
Landasan: Menurut KBBI (1995:260) landasan dapat diartikan sebagai alas,
dasar atau tumpuan. Istilah landasan dapat diartikan juga sebagai fundasi. Dengan
mengacu arti dari istialah tersebut, dapat dipahami bahwa landasan adalah suatu
pijakan, titik tumpu atau titik tolak, suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal.
Filosofi: Kata filosofis terbentuk dari 2 kata bahasa yunani, yaitu philo yang
artinya cinta dan shopos yang artinya kebijaksaan. Dengan demikian filosofis
diartikan sebagai cinta kebijaksanaan. Secara maknawi filsafat dimaknai sebagai
suatu pengetahuan yang mencoba untuk memahami hakikat segala sesuatu untuk
mencapai kebenaran atau kebijaksanaan. Untuk mencapai dan menemukan
kebenaran tersebut, filosof memiliki karakteristik yang berbeda antara yang satu
dengan lainnya. Demikian pula kajian yang dijadikan obyek telaan akan berbeda
selaras dengan cara pandang terhadap hakikat segala sesuatu (Suyitno,Y, 2009).
Pendidikan: Hakikat pendidikan adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah
terwujudnya manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai
dan norma-norma yang dianut. Pendidikan bersifat normatif dan dapat
dipertanggungjawabkan, pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang,
melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus
dilaksanakan dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga
tujuannya dan kurikulumnya menjadi jelas, efisien dan efektif.

Landasan Filosofis Pendidikan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan


bahwa landasan filosofi pendidikan adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik
tolak dalam rangka studi dan praktek pendidikan. Dalam pendidikan terdapat
momen studi pendidikan dan momen praktek pendidikan. Melalui studi
pendidikan akan diperoleh pemahaman tentang landasan-landasan
pendidikan,yang akan dijadikan titik tolak praktek pendidikan. Dengan demikian,
landasan filosofis pendidikan sebagai hasil studi pendidikan tersebut, dapat
dijadikan titik tolak dalam rangka studi pendidikan yang bersifat filsafiah, yaitu
pendekatan yang lebih komprehensif, spekulatif, dan normatif.

6/7
Menurut Cohen, L.N.M. (1999) bahwa terdapat 3 (tiga) cabang-cabang Filosofi
(Filsafat) yang masing-masing memiliki sub cabang. Ketiga cabang-cabang
tersebut adalah Metaphysic (Metafisika), Ephistemology (Epistemologi), dan
Axiology (Aksiologi). Sedangkan menurut Ornstein, A.C, dkk (2011),
menyebutkanya sebagai terminologi pendidikan yang dibagi menjadi empat
terminologi, yaitu Metaphysics (Metafisika), Ephistemology (Epistemologi),
Axiolgy (Aksiologi), dan Logics (Logika).
Menurut Ornstein, A.C. dan Levine, D.U yang dikutip kembali oleh Halim dan
supriyono (2012), Metafisika menyelidiki hakikat realitas atau menjawab
pertanyaan:“Apa hakikat realitas?”. Dalam spekulasi mengenai hakikat
keberadaan, orang-orang yang berorientasi metafisika memiliki pandangan
berbeda-beda dan tidak menemukan kesepakatan. Bagi mereka yang idealis
realitas dipandang sebagai konteks non material atau spiritual. Bagi mereka yang
realis, realitas dipandang sebagai keteraturan obyektif yang terjadi secara
independen pada diri manusia. Bagi mereka yang pragmatis, realitas dipandang
sebagai hasil pengalaman manusia dengan lingkungan sosial dan fisiknya.
Sedangkan menurut Tatang (2010), Metafisika adalah cabang filsafat yang
mempelajari atau membahas hakikat realitas (segala sesuatu yang ada) secara
menyeluruh (komprehensif).

Daftar Pustaka

Burhanuddin, pentingnya filsafat bagi kehidupan manusia, https://filsafat-bagi-


kehidupan-manusiaqiqi-alyuzra/ , di akses tgl 24 Maret 2019 pukul 17:45 WIB

https:///2013/05/28/analisis-uu-no-20-tahun-2003-tentang-sistem-pendidikan-
nasional

Landasan filosofis pendidikan, di akses tgl 24 maret 2019 pukul 19.00 WIB

http:///landasan-filosofis-pendidikan.html?m=1 , di akses tgl 24 Maret 2019 pukul


20:15 WIB

7/7

Anda mungkin juga menyukai