WARIS
NIM: 2021010462068
MAGITER KENOTARIATAN
JAKARTA
2022
PENDAHULUAN
Akibat dari posisinya yang sakral itulah yang akhirnya membuat perkawinan dijadikan institusi
yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun eksistensi dari institusi perkawinan ini
adalah melegalkan atau antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri. Tujuan lain
dari adanya perkawinan itu adalah membentuk keluarga. Menurut Abdul Manaf, “tidak akan ada
keluarga tanpa adanya perkawinan, dan juga tidak ada perkawinan yang tidak membentuk keluarga.”
(Manaf, 2006: 2) Begitu pentingnya hak seseorang untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan ini,
membuat negara Indonesia merasa perlu untuk mengaturnya dalam landasan konstitusi negara
Indonesia, karena hal ini menyangkut hak asasi manusia dari setiap warga negaranya, yang harus
dihormarti, dilindungi dan dijamin. Hal tersebut sebagaimana tercermin dalam Pasal 28B Ayat (1)
UndangUndang Dasar 1945 Amandemen Keempat dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Perkawinan menurut ketentuan
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
A. Latar Belakang
Kesejahteraan dalam keluarga merupakan suatu hak yang paling mendasar atau
merupakan hak asasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatakan bahwa: “Setiap orang berhak
mempunyai hak milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak
melanggar hukum”. Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa kekayaan atau harta
benda sangat dibutuhkan dalam suatu perkawinan.
Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam
kehidupan suami-istri, terutama apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta
Perkawinan itu memiliki peranan yang penting dalam kehidupan keluarga bahkan
sewaktu perkawinan masih berjalan mulus. Oleh karena itu, dalam Bab VII Pasal 35 UU
Perkawinan diatur tentang harta benda dalam perkawinan. Ada ketentuan Pasal 35 UU
Perkawinan menentukan bahwa: Ayat (1) menentukan: “Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama”, selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan
bahwa, “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan hal lain”.
Sebagai hak asasi harus diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar
tidak terjadi kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya. Menurut J. Satrio, “
Hukum harta perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur akibatakibat
perkawinan terhadap harta kekayaan suamiistri yang telah melangsungkan perkawinan,
hukum harta perkawinan merupakan terjemahan dari kata “ huwelijksvermogensrecht ”,
sedangkan hukum harta benda perkawinan adalah terjemahan dari kata “
huwelijksgoderenrecht ”.
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialah semua harta yang
dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta
pencaharian hasil bersama suami-istri dan barang-barang hadiah. Dalam kedudukannya
sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami-istri, maka
harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:
1. Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan;
2. Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah
perkawinan yaitu harta penghasilan;
3. Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta
Bersama.
4. Harta yang diperoleh suami-istri bersama ketika upacara perkawinan sabagai hadiah
yang kita sebut hadiah perkawinan. Harta benda dalam perkawinan yang
dipergunakan UU Perkawinan sesungguhnya mempertegas pemikiran tentang
pembedaan hukum benda dengan hukum orang yang dianut di dalam KUH Perdata.
Karena, aturan-aturan hukum tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan,
sedangkan perkawinan merupakan hukum pribadi atau hukum orang. Hal ini
diperkuat dengan cara memperoleh hak milik melalui pewarisan dimasukkan dalam
ketentuan hukum benda bukan dalam hukum orang atau hukum keluarga.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas bahwa dalam suatu keluarga diperlukan
harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan suatu perkawinan
yang dibentuk. Kebutuhan akan harta kekayaan dalam suatu perkawinan merupakan
salah satu usaha untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera lahir dan batin.
Akan sulit dimengerti bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam
perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya harta kekayaan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan dan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
C. PEMECAHAN MASALAH
1. KUHPerdata
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam KUHPerdata, semua harta suami dan istri menjadi harta bersama, sedangkan
dalam Undang-Undang Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah harta benda yang
diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi
harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Apabila terjadi perceraian, maka harta yang dibagi adalah ½ (setengah) dari harta bersama yag
didapat selama perkawinan sehingga jika ingin menghitung harta peninggalan maka yang
menjadi harta peninggalan adalah ½ (setengah) dari harta bersama + harta bawaan (pribadi) yang
didapat sebelum perkawinan. Namun, jika ada Perjanjian Perkawinan, maka tidak akan ada harta
bersama ( gonogini ).
D. Kesimpulan
Dalam praktiknya di Indonesia, nyatanya masih banyak sekali orang yang menganggap remeh
masalah mengenai Harta Perkawinan ini. Tidak menjadikan KUHPerdata maupun Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai referensi mereka dalam pembagian Harta
Perkawinan dan itu dapat menjadi sumber masalah bahkan keributan yang berujung perceraian
akibat pengelolaan maupun pembagian dalam harta perkawinan.
Pentingnya edukasi dan sosialisasi KUHPerdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 kepada
masyarakat Indonesia mengenai masalah pembagian maupun aturan dalam pengelolaan harta
perkawinan dalam hubungan suami istri. Untuk meminimalisir resiko perceraian akibat
kesalahpahaman masalah pengelolaan dan pembagian harta perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974#:~:text=UU
%20No.%201%20Tahun%201974%20tentang%20Perkawinan%20%5BJDIH%20BPK
%20RI%5D
2. http://repository.untag-sby.ac.id/1725/2/Bab%20II.pdf
3. https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-harta-perkawinan-yang-berlaku-sesudah-
diundangkannya-uu-perkawinan-jilid-iv-lt5b1760887dcc3?page=2
4. http://www.proveritaslawyers.com/Artikel/Pembagian-Harta-Bersama-atau-Harta-
Gono-Gini.html
5. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/361#:~:text=Menurut
%20ketentuan%20undang%2Dundang%20perkawinan,istri%20yang%20didapatkan
%20selama%20perkawinan.