BAB21410220028
BAB21410220028
1
Veithzal Rivai & Andi Buchari, Islamic Economic (Ekonomi Syari‟ah Bukan Opsi, tetapi
Solusi) (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), 233. Selanjunya ditulis Veithzal Rivai & Andi Buchari,
Islamic Economic.
2
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 21.
3
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 21.
18
19
melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk
memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang
terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, di-namakan akhlaq yang baik.
Tapi manakala ia melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlaq yang
buruk.4
Menurut Yunahar Ilyas sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz bahwa
Kelima definisi tersebut diatas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq itu
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara
sepontan bilamana diperlukan, tanpa perlu pemikiran atau pertimbangan lebih
dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Disamping istilah akhlaq, juga
dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai
baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya pada standar masing-
masing. Bagi akhlaq adalah standarnya al-Qur‟an dan Sunnah, bagi etika
standarnya pertimbangan akal pikiran dan bagi moral standarnya adat kebiasaan
yang umum berlaku dimasyarakat.5 Etika diartikan sebagai suatu perbuatan
standar (standard of conduct) yang memimpin individu dalam membuat
keputusan. Etik ialah suatu studi mengenai perbuatan yang salah dan benar dan
pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang. Keputusan etik ialah suatu hal yang
benar mengenai perilaku standar. Jadi perilaku yang etis itu ialah perilaku yang
mengikuti perintah Allah dan menjauhi laranganNYA. 6
Menurut Sen sebagaimana dikutip oleh Sofyan bahwa Perilaku manusia
biasanya dipengaruhi oleh pertimbangan etika dan yang mempengaruhi tindak-
tanduk manusia adalah aspek terpenting dalam etika. Ini berarti semua
pertimbangan pribadi, termasuk kesejahteraan ekonomi, masuk dalam faktor yang
mempengaruhi perilaku manusia. Menurut Bertens sebagaimana dikutip oleh
Sofyan secara sederhana, etika adalah ilmu tentang apa yang dapat dilakukan atau
4
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 22.
5
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 22-23. Lihat juga, Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak
(Yogyakarta : LPPI UMY, 1999)
6
Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam (Bandung : CV Alfabeta, 2003), 52. Selanjutnya
ditulis Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam.
20
ilmu tentang adat kebiasaan. Namun, karena kata ini banyak digunakan dalam
berbagai nuansa, minimal ada tiga arti etika.7
Pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kedua kumpulan asas
atau nilai moral; ketiga, ilmu tentang yang baik atau buruk. Sementara itu,
menurut Bertens, moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Satyanugraha sebagaimana dikutip oleh Sofyan mendefinisikan etika
sebagai nilai-nilai dan norma moral dalam suatu masyarakat. Etika sebagai ilmu
juga dapat diartikan pemikiran moral yang mempelajari tentang apa yang harus
dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan.8
DeGeorge sebagaimana dikutip oleh Sofyan membagi etika dalam tiga
kelompok, yaitu :
1) Etika deskriptif (descriptive ethics), mencoba melihat secara kritis dan
rasional fakta tentang sikap dan pola perilaku manusia yang sudah
membudaya, serta apa yang ingin dicapainya dalam hidup ini sebagai
sesuatu yang bernilai bagi dirinya.
2) Etika normatif (normative ethics), mencoba menetapkan berbagai sikap dan
pola perilaku yang ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia untuk
menuntun dan mencapai kehidupan yang bernilai bagi hidupnya.
3) Etika meta (meta ethics), atau disebut juga analytical ethics, merupakan
bidang yang mempelajari lebih dalam tentang asumsi dan investigasi
terhadap kebenaran dan ketidakbenaran menurut ukuran moral.9
b. Bisnis (perdagangan)
Kata “bisnis” dalam Bahasa Indonesia diserap dari kata “business” dari
Bahasa Inggris yang berarti kesibukan. Kesibukan secara khusus berhubungan
dengan orientasi profit/keuntungan. Menurut Buchari Alma sebagaimana dikutip
7
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam (Jakarta : Salemba Empat, 2011), 17.
Selanjutnya ditulis Sofyan, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam.
8
Sofyan, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, 17.
9
Sofyan, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, 24.
21
Abdul Aziz pengertian Bisnis ditujukan pada sebuah kegiatan berorientasi profit
yang memproduksi barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Secara Etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang
sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata “bisnis” sendiri
memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya- penggunanan singular kata bisnis
dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan
ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. 10
Bisnis dalam Islam merupakan unsur penting dalam perdagangan. Sejarah
telah mencatat bahwa penyebaran agama Islam diantaranya melalui perdagangann
(bisnis). Konon, masuknya Islam ke Indonesia, dilakukan oleh para pedagang
Muslim yang mengadakan hubungan yang sangat baik dengan masyarakat dan
para tokoh setempat.
Menurut Muhammad Iqbal sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz
menjelaskan pengertian berdagang (bisnis) dari dua sudut pandang, yaitu menurut
mufasir dan ilmu fiqh.
1) Menurut para mufasir, perdagangan (bisnis) adalah pengelolaan modal
untuk mendapatkan keuntungan.
2) Menurut Ahli fiqh, memandang bahwa perdagangan ialah saling
menukarkan harta dengan harta secara suka sama suka, atau pemindahan
hak milik dengan adanya penggantian menurut yang dibolehkan.
10
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 28. Lihat juga, Buchari Alma, Pengantar Bisnis
(Bandung : Alfabeta, 1999).
11
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 3.
12
Buchari Alma, Dasar-dasar Etika Bisnis Islam, 96.
22
Dari hasil penjualan barang dan jasa, bisnis memperoleh laba. Dan tidak
dibenarkan mencari laba sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kepentingan
masyarakat.13
c. Islam
Kata Islam itu berasal dari bahasa Arab al-Islam. Secara lafzhiyyah, Islam
dimaknai sebagai “inqiyad” (tunduk), dalam arti tunduk dan menyerahkan diri
kepada siapa saja yang memerintah.
Biasanya juga kata Islam dipakai untuk dua macam arti, yaitu :
1) Mengandung penderita dengan sendirinya, “muta‟adi bi nafsihi”, yang
berarti “menyerahkan”.
2) Yang tidak bermaksud kepada penderita “al-lazim”, yang berarti
“Selamat”.14
Objek penyerahan diri ini adalah pencipta seluruh alam semesta, yakni
Allah SWT. Dengan demikian, Islam berarti penyerahan diri kepada Allah SWT.
Islam dalam konteks ini adalah suatu ajaran yang bersifat penyerahan; tunduk dan
patuh, terhadap perintah-perintah (hukum-hukum Tuhan) untuk dilaksanakan oleh
setiap manusia. Islam adalah tunduk dan menyerah diri sepenuhnya kepada Allah
lahir maupun batin dengan melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi
larangan-laranganNya. Ia merupakan agama yang berisi ajaran tentang cara hidup
yang diturunkan Allah kepada umat manusia melalui para rasulNya. 15
Bahwa al-Islam adalah nama suatu ad-din (jalan hidup) yang ada di sisi
Allah maknanya adalah al-millah atau ash-shirath atau jalan hidup, Ia merupakan
berupa bentuk keyakinan (al-aqidah) dan perbuatan (al-„amal).
Seperti yang dapat dipahami dari al-Qur‟an surat Ali Imran (3) ayat 19 yang
berbunyi :
13
Buchari Alma, Dasar-dasar Etika Bisnis Islam, 101
14
Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syari‟ah (Bandung : Alfabeta, 2010), 3. Selanjutnya ditulis
Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syari‟ah.
15
Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syari‟ah, 4
23
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbᾱ h ( Jakarta : Lentera Hati, 2007), 40. Selanjutnya ditulis
16
18
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 5. Selanjutnya ditulis K.
Bertens, Pengantar Etika Bisnis.
25
3) Bisnis saat ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat, maka dalam
persaingan bisnis tersebut, orang yang bersaing dengan tetap
memperhatikan norma-norma etis pada iklim yang semakin profesional
justru akan menang.19
19
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 36
20
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 36
26
menghasilkan tambahan harta bagi seseorang. Dengan harta sangat berguna bagi
dukungan ketaqwaan kepada Allah dan mengarahkan kekehidupan bergama yang
lebih bermakna.
d. Kejujuran dan Keadilan
Ini adalah konsep yang membuat ketenangan hati bagi orang yang
melaksanakannya, kejujuran yang ada pada diri seseorang membuat orang lain
senang berteman dan berhubungan. Didalam bisnis merupakan pemupukan relasi
sangat mutlak diperlukan, sebab relasi ini akan sangat membantu kemajuan bisnis
dalam jangka panjang.
Sedangkan keadilan menurut Islam, adil merupakan norma paling utama
dalam seluruh aspek. Hal ini dapat ditangkap dalam al-Qur‟an yang menjadikan
adil sebagai tujuan agama samawi. Bahkan adil adalah salah satu asma Allah.
Kebalikan sifat adil adalah zalim, yaitu sifat yang dilarang Allah pada diriNya. 21
e. Kerja Keras
Rasulullah sangat terkenal dengan pelaksanaan konsep ini. Kita mengetahui
bagaimana Rasulullah pada masa kecilnya telah mulai bekerja keras
menggembalakan domba-domba orang-orang Mekkah, dan beliau menerima upah
dari gembalaan itu. Sangat dianjurkan kerja keras itu dilakukan sejak pagi hari
setelah shalat subuh, janganlah kalian tidur, tapi carilah rizki dari Rabmu. Simbol
“tali dan tampak” adalah lambang kerja keras, yang dicontohkan oleh Rasulullah
dalam menyuruh umatnya bekerja keras, jangan hanya berpangku tangan dan
minta belas kasihan orang.22
konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka Islam
menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan.
Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal
maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam
sistem Islam.
b. Keseimbangan (Equilibirium)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk
berbuat adil, tidak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.
c. Kehendak bebas (free will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis Islam, tetapi
kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan Individu dibuka
lebar. Tidak adaya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk
aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.
d. Tanggung jawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh
manusia karena tidak menuntut adanya pertanggung jawaban dan akuntabilitas
untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung
jawabkan tindakannya. Secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan
kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh
manusia dengan bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.
e. Kebenaran : Kebajikan dan kejujuran
Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudukan sebagai niat, sikap dan
perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau
memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau
menetapkan keuntungan. Dalam prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam
sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian
salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam
bisnis. 23
23
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 45-47.
28
24
Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility Transformasi, 2.
25
Poerwanto, Corporate Social Responsibility, 18.
29
26
Poerwanto, Corporate Social Responsibility, 19. Lihat juga, C. Farrel, George Hirt and Linda
Ferrel, Business: A Changing World (New York : McGraw-Hill, 2006).
27
R. Wayne Mondy, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta : Erlangga, 2008), 43.
Selanjutnya ditulis Mondy, Manajemen Sumber Daya Manusia.
28
Anggota IKAPI, Undang-undang Perseroan Terbatas (Bandung : Fokus Media, 2010), 44.
Selanjutnya ditulis Anggota IKAPI, Undang-undang Perseroan Terbatas.
29
Anggota IKAPI, Undang-undang Perseroan Terbatas, 3.
30
30
Keith Davis dan John W. Newstrom, Perilaku Organisasi (Jakarta:Penerbit Erlangga,1994) ,
49. Selanjutnya ditulis Keith dan John, Perilaku Organisasi.
31
M. Suyanto, Strategic Management (Global Most Admired Companies) (Yogyakarta : Andi
Offset, 2007), 36. Selanjutnya ditulis M. Suyanto, Strategic Management
32
Fremont E.Kast, James E. Rosenzweig, Organisasi dan Manajemen, Penerjemah A.Hasyim
Ali (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), 214-215. Selanjutnya ditulis Fremont, Organisasi dan
Manajemen.
33
Keith dan John, Perilaku Organisasi, 50.
31
34
Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility Transformasi, 14. Lihat juga, Archie B. Carrol,
A Three Dimensional Conceptual Model of Corporate Performance, The Academy of Management
Review, 1997.
35
Dwi Kartini, Corporate Social responsibility transformasi, 14. Lihat juga Edwin Epstein,
Business Ethics, Corporate Good Citizenship and The Corporate Social Policy Process : A view
from the United States, (Journal of Business Ethics, 1989), 584-585.
32
36
Poerwanto, Corporate Social Responsibility, 20.
37
John A. Pearce dan Richard Robinson, JR, Manajemen Strategi (Jakarta : Binarupa Aksara,
1997), 77. Selanjutnya ditulis John dan Richard, Manajemen Strategi.
38
Buchari Alma, Pengantar Bisnis, 183.
33
motor, industri, semua ini dapat mengotori udara dan menyebabkan hujan asam,
yang dapat merusak hutan.
b. Bertanggung jawab terhadap konsumen
Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan hak-hak konsumen seperti
the right to be safe, right to be informed, the right to choose, and the right to be
heard. Dengan memperhatikan hak-hak konsumen ini, maka akan dapat dicegah
munculnya gejala consumerism, yaitu gejala action, demonstrasi, perusakan, yang
akan dilancarkan oleh konsumen, karena perlakuan produsen yang tidak baik
terhadap konsumen.
c. Bertanggung jawab terhadap Investor
Para investor juga memperhatikan masalah etika dan tanggung jawab dari
perusahaan dimana mereka melakukan investasi. Investor pasti tidak senang jika
pimpinan perusahaan melakukan manipulasi dalam pembukuan bisnis sehingga
merugikan pihak investor.
d. Bertanggung jawab terhadap karyawan
Para pengusaha mulai hati-hati dalam merekrut karyawan, melatih dan
menaikkan pangkat karyawan, perilaku, tanggung jawab, etika yang dijalankan
oleh perusahaan. Tidak dikehendaki adanya diskriminasi. Sebuah perusahaan
mungkin melakukan berbagai aktivitas tanggung jawab sosial yang lain, seperti
penyediaan pelatihan karyawan yang menyeluruh, bimbingan dan pendirian
program bantuan karyawan.39
diyakini secara personal, suatu tindakan dinilai berdasarkan pada apa yang
dianggap baik oleh masyarakat secara umum. Pemikiran tersebut bersifat altruistik
(hanya memikirkan kepentingan orang lain), dan tujuan dari penerapan CSR
dalam moralitas yaitu tidak ada harapan untuk menerima balasan jasa dari apa
yang dilakukan.
b. Pemurnian Kepentingan
Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap pihak-pihak yang
berkepentingan karena pertimbangan kompensasi kadang-kadang dicerminkan
dalam istilah “apa yang ditabur, itulah yang akan dituai”. Alasan ini menunjukkan
bahwa perusahaan kemungkinan besar akan dihargai karena tindakan-tindakan
tanggung jawab mereka, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
c. Investasi
Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap stakeholder perusahaan
karena tindakan itu akan dicerminkan dalam tingkat laba yang lebih tinggi dan
dalam harga persediaan perusahaan. Kenyataan ini menunjukkan hubungan
langsung antara tindakan tanggung jawab sosial dan kinerja keuangan perusahaan.
d. Mempertahankan Otonomi
Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap stakeholders untuk
menghindari campur tangan kelompok-kelompok yang ada dalam lingkungan
kerja dalam pengambilan keputusan manajerial.
41
Irham Fahmi, Etika Bisnis Teori, Kasus, dan Solusi (Bandung : Alfabeta, 2013), 83. Selanjutnya
ditulis Irham Fahmi, Etika Bisnis Teori, Kasus, dan Solusi.
35
42
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen (Jakarta : Kencana
Pernada Media Group, 2008), 81 – 82. Selanjutnya ditulis Ernie dan Kurniawan, Pengantar
Manajemen.
43
George A. Steiner & John B. Miner, Kebijakan dan Strategi Manajemen (Jakarta : Erlangga,
1997), 60-61. Selanjutnya ditulis George & John, Kebijakan dan Strategi Manajemen.
36
44
John dan Richard, Manajemen Strategi, 83.
37
45
Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility Transformasi, 63. Lihat juga, Philip Kotler and
Lee Nancy, Corporate Social Responsibilty : Doing The Most Good for Your Company and Your
Cause, 2007.
46
Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility Transformasi, 66-67.
38
47
Yayat, Dasar-Dasar Manajemen, 61.
39
48
Irham Fahmi, Etika Bisnis Teori, kasus, dan Solusi, 85. Lihat juga, Dody Prayogo, Socially
Responsible Corporation : Peta Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan komunitas pada
Industri Tambang dan Migas (Jakarta : UI-Press, 2011), 196
49
Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility Transformasi, 83
40
50
Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility Transformasi, 89
41
51
Fremont, Organisasi dan Manajemen, 219.
52
Fremont, Organisasi dan Manajemen, 218-219.
42
Amal
Pemberian
Perusahaan
CSI
CSR (Corporate Social Kedermawanan
Investment) sosial
Relasi
Kemasyarakatan
Perusahaan
Pemberdayaan
Pengembangan
Masyarakat
Gambar 2.1
CSR secara Syari‟ah
53
Irham Fahmi, Etika Bisnis Teori, kasus, dan Solusi, 85. Lihat juga, Edi Suharto, Pekerjaan
Sosial di Dunia Indsutri : Memperkuat CSR (Corporate Social Responsibility) (Bandung :
Alfabeta) 103