Anda di halaman 1dari 3

HKUM 4407

JAWABAN PERTANYAAN NO 1

Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi dari keputusan politik desentralisasi atau
politik otonomi daerah yang diambil pemerintah. Pada kenyatanya pelaksanaan desentralisasi fiskal
di lapangan diakui cenderung dipengaruhi oleh aspek politik daripada aspek ekonomi. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis: (i) implikasi tekanan politik dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal
terhadap pelayanan publik, (ii) eksternalitas negatif dalam penerapan desentralisasi fiskal di
Indonesia, rekayasa politik dalam kaitannya transfer fiskal pusat-daerah. Penelitian ini menggunakan
metode analisis ekonomi politik dan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa masih belum maksimal pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat
disebabkan adanya kendala penerapan fiskal di pemerintah daerah dimana desentralisasi
kewenangan pengeluaran lebih dulu dilaksanakan untuk mengakomodasi tekanan politik;
desentralisasi fiskal
membawa implikasi pada terjadinya pergeseran relasi kekuasaan pusat–daerah dan antar lembaga
di daerah; dan adanya kebijakan desentralisasi fiskal dan hubungannya dengan kontrol politik
kepentingan elit. Konstruksi politik dalam pengambilan kebijakan seharusnya dilakukan secara tepat
sesuai dengankoridor pelaksanaan desentralisasi fiskal yang ideal sebagai upaya implementasi good
governance dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia.

Keterkaitan yang erat antara kegiatan pemerintahan dengan sumber


pembiayaan pada hakikatnya memberikan petunjuk bahwa pengaturan hubungan keuangan Pusat
dan Daerah tidak terlepas dari masalah pembagian tugas antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Masalah hubungan keuangan antara Pusat dengan Daerah dapat dipecahkan dengan sebaik-baiknya
hanya apabila masalah dalam pembagian tugas dan kewenangan antara Pusat dan Daerah juga
dipecahkan dengan jelas. Pemerintah daerah sudah tentu harus memiliki kewenangan
membelanjakan sumber-sumber daya keuangannya agar dapat menjalankan fungsi-fungsi yang
menjadi tanggung jawabnya.
Keadaan keuangan daerah yang sangat menentukan arah pemerintahan suatu
daerah. Sehubungan dengan pentingnya kedudukan dari keuangan daerah ini maka pemerintah
daerah tidak akan bisa menjalankan fungsinya secara efektif dan efesien tanpa biaya yang cukup
untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Keuangan merupakan salah satu dasar kriteria
untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri
(Kaho 2010). Tanpa adanya biaya
yang cukup, maka bukan saja tidak mungkin bagi daerah untuk dapat
menyelenggarakan tugas kewajiban serta kewenangan yang ada padanya dalammengatur dan
mengurus rumah tangganya, tetapi juga ciri pokok dan mendasar darisuatu daerah otonom akan
hilang.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini
mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi
pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan
Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakatdaerah guna mendapatkan
sumber pendanaan bagi pembangunan daerah.
JAWABAN PERTANYAAN NO 2

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang
merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya pembangunan daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah. Salah satu sumber pendapatan asli daerah yang mampu memberi
kontribusi besar terhadap penerimaan daerah adalah pajak daerah. Pemerintah daerah memiliki
kewenangan dalam pemungutan pajak menggunakan sistem open list yang didasarkan pada
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemerintah
melakukan perubahan sistem pemungutan pajak dengan menetapkan Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengubah peraturan Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Permasalahan yang terdapat
dalam penelitian ini adalah perubahan mendasar di dalam pemungutan pajak daerah di kota
Semarang setelah adanya perubahan sistem dari opened list system menjadi closed list system dan
pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Metode pendekatan masalah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian
yang bersifat deskriptif analitis. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer sebagai
data utama dan data sekunder sebagai data pelengkap. Metode yang digunakan dalam menganalisis
dan mengolah data-data yang terkumpul adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dalam
penulisan hukum ini adalah penerapan open list system dianggap menimbulkan kesewenang-
wenangan bagi pemerintah daerah dalam pembuatan peraturan pemungutan pajak. Pemerintah
Daerah mempunyai kecenderungan untuk menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak
berjalan efektif sehingga Pemerintah mengatasinya dengan melakukan perubahan sistem
pemungutan pajak. Dari opened list system, yaitu pemberian diskresi kewenangan daerah dapat
memungut jenis pajak selain yang tercantum di dalam Undang-undang sesuai dengan potensi dari
masing-masing daerah. Menjadi closed list system dimana pemerintah daerah hanya dapat
memungut jenis pajak yang telah tercantum di dalam Undang-undang saja. Konsekuensi
ditetapkannya closed list system, pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak dalam pembuatan
jenis pajak baru karena harus tunduk pada ketentuan yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kebijakan pemerintah dengan mengubah
sistem pemungutan pajak dan adanya desentralisasi fiskal dapat memberikan dampak positif bagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena PBB dan BPHTB masuk sebagai pajak kabupaten/kota, hal
tersebut menjadi sumber penerimaan baru bagi daerah.
JAWABAN PERTANYAAN NO 3

Open list system mengandung arti bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan
menetapkan dan memungut jenis pajak baru selain dari yang disebutkan oleh undang-undang
bilamana diperlukan.Sedangkan close list system bermakna sebaliknya, yakni pemerintah
daerah hanya boleh memungut jenis-jenis pajak yang telah ditetapkan dalam undang-
undang.Open list system memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada
pemerintah daerah untuk menentukan jenis pajak sesuai kondisi dan kemampuan daerahnya.
Di satu sisi, sistem ini dapat lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah.
Namun di sisi lain, sistem ini mengorbankan aspek kepastian hukum dan bisnis yang lebih
luas.Sementara close list system, akan membuat pemerintah daerah tampak kurang kreatif
dan kemungkinan kehilangan peluang untuk berinovasi meningkatkan penerimaan daerahnya.
Namun sistem ini memberikan kepastian hukum dan berusaha yang lebih besar karena
ketundukannya kepada pemerintah pusat.Pemerintah Indonesia tampaknya menyadari suatu
paradigma besar dibalik euforia pemberian otonomi luas kepada daerah. Kesadaran ini adalah
kepentingan nasional yang lebih besar harus lebih diutamakan daripada semangat kedaerahan
yang cenderung partisan. Serta pada kenyataannya daerah-daerah tersebut eksis dan menyatu
membentuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini akan berarti
bahwa apapun keadaan daerah-daerah itu akan merepresentasikan wajah Indonesia.Kesadaran
inilah yang menjadi spirit dari pemberlakuan UU PDRD, Undang-undang No. 28 Tahun
2009.  UU PDRD dirancang sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pajak daerah di
Indonesia. Undang-undang ini membatasi jenis-jenis pajak apa saja yang boleh berlaku di
daerah otonom.UU PDRD yang merombak prinsip-prinsip dalam ketentuan sebelumnya juga
ingin memperluas objek pajak daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. UU PDRD menetapkan lima jenis
pajak untuk propinsi dan 11 jenis pajak untuk kabupaten/ kota. Meningkat dari sebelumnya
yang ada empat jenis pajak propinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota.Namun, UU PDRD
menutup sama sekali inovasi daerah untuk menambah sendiri jenis pajak yang baru. Dengan
kata lain, pemerintah sekarang menerapkan close list system. UU hanya memberikan diskresi
kepada daerah dalam hal menetapkan tarif pajak yang berlaku. Itupun dengan batasan ketat
yang telah diatur oleh pemerintah.Bahkan UU PDRD juga mengatur lebih lanjut detail
substansi dan mekanisme pemungutan setiap jenis pajak daerah. Hal ini mudah dipahami
mengingat aspek kepastian hukum dan harmonisasi berbagai pungutan di daerah harus
menjadi prioritas dan tidak boleh menjadi faktor penghambat kegiatan ekonomi dan investasi
di daerah yang notabene masih wilayah NKRI.Pemerintah telah memperhitungkan dengan
cermat perkembangan global dan posisi Indonesia saat ini.  Sebagai negara yang sedang
mengejar daya saing, Indonesia masih membutuhkan banyak investasi dari luar guna memacu
pertumbuhan ekonomi lebih cepat lagi. Oleh karena itu segala hal yang dapat menghambat
masuknya investasi perlu dikurangi bahkan  dihilangkan.Salah satu dari hambatan investasi
itu adalah kebijakan perpajakan yang berlaku. Penilaian dari investor luar mengenai faktor-
faktor penentu kemudahan berusaha sekarang ini bukan lagi dilakukan dengan cara
membandingkan negara per negara, tetapi sudah masuk sampai ke kota-kotanya. Oleh karena
itu, perbaikan iklim investasi di tingkat nasional tidak akan berarti apa-apa tanpa membenahi
hambatan-hambatan yang ada di daerah.  

Anda mungkin juga menyukai