Latar Belakang Gambut
Latar Belakang Gambut
Latar Belakang Gambut
| sunting sumber]
Setelah Indonesia dianggap berhasil mencapai swasembada beras pada 1984,
produksi padi dan beras di Indonesia mengalami penurunan. Setelah lebih dari sepuluh tahun
[5]
swasembada beras, berbagai ancaman maupun tanda-tanda akan rapuhnya ketahanan pangan dan
kembalinya Indonesia menjadi pengimpor beras mulai timbul.[5] Tahun-tahun melimpahnya beras
ternyata tidak berlangsung seterusnya, bahkan tidak berumur lama.
Berasal dari kerisauan itulah tidak ada cara lain yaitu ekstensifikasi atau perluasan areal tanaman
padi yang harus segera dilaksanakan. Kemudian, dipilih lahan gambut yang cukup luas
di Kalimantan Tengah. Namun, salah satu tantangan besar yang sulit dipecahkan dalam
pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah adalah strategi menghadapi kawasan gambut
yang landai dengan curah hujan lokal dan pasang besar serta berpotensi selalu tergenang air.
Ditambah fakta bahwa kawasan ini juga sangat dipengaruhi oleh kawasan bagian hulu sungai yang
luasnya sekitar 4,5 juta hektar.[5]
Strategi berdasarkan konsep dasar pengelolaan air yang masuk ke kawasan gambut dan kemudian
dikeluarkan melalui saluran yang dikendalikan atau dibuat dapat dipertimbangkan melalui
perhitungan-perhitungan yang sangat cermat dan memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit.[5]
Pada 5 Juni 1995 Soeharto memanggil tujuh menteri Kabinet Pembangunan VI-lengkap beserta
timnya masing-masing-ke Bina Graha. Mereka adalah Syarifuddin
Baharsjah (Pertanian), Djamaluddin Surjohadikusumo (Kehutanan), Radinal
Muchtar (Pekerjaan Umum), Siswono Yudo Husodo (Transmigrasi dan Pemukiman Perambah
Hutan), Sonny Harsono (Agraria), Ginandjar Kartasasmita (Bappenas), dan Mar'ie
Muhammad (Keuangan).[6]
Di hadapan tujuh menteri tersebut, Soeharto membentangkan sebuah peta berukuran besar
Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam impian Soeharto, Kalimantan Tengah akan menjadi jalan
penyelamatan untuk Indonesia: area sawah baru yang mampu menghasilkan 5,1 juta ton setiap
tahunnya. "Ini program saya untuk membuka lahan pertanian di Kalimantan. Saya serahkan
untuk ditindaklanjuti," kata Soeharto seperti diucapkan Ir. Suparmono, mantan Direktur Jenderal
Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, yang hadir pada saat itu.[6]
Itulah awal mula rencana pembukaan lahan pertanian raksasa, seluas 5,8 juta hektare,
di Kalimantan Tengah, yang kemudian populer dengan sebutan proyek lahan gambut (PLG).
Sebuah tim pelaksana langsung dibentuk dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal
Muchtar sebagai ketuanya dan langsung bertindak cepat karena Soeharto menargetkan lahan
itu bisa panen pertama dalam tempo dua tahun.[6]
Proyek tersebut pada awalnya bukan rencana asli Soeharto. Proyek tersebut datang dari Tay
Juhana alias "Mr. T", pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang bermarkas di Singapura.
Lewat Grup Sambu, sebuah perusahaan induk yang terutama berkecimpung dalam bidang
perkebunan, "Mr. T" mengaku pernah sukses membuat perkebunan sawit seluas 60 ribu
hektare di atas lahan gambut Sungai Guntung, Riau. Sukses itulah yang dipresentasikan
kepada Presiden Soeharto. Dia diperkenalkan oleh Marsekal (Purn.) Kardono (mantan Ketua
Umum PSSI) dan Mayjen (Purn.) Winanto (bekas Gubernur Jenderal Akabri) (Keduanya adalah
komisaris Grup Sambu) hingga kemudian Soeharto berkunjung ke perkebunan kelapa
sawit Sungai Guntung pada 1995, disusul keluarnya konsep pertanian seluas 5,8 juta hektare
yang diusulkan "Mr. T" tak lama kemudian. Tetapi pada 1999 Henky Assana, Direktur Grup
Sambu, membantah bahwa pihaknya yang menyodorkan usulan proyek itu. "Pak Harto yang
meminta. Kami hanya menuliskan rencana-rencana. Selanjutnya terserah beliau,"[6]
Proyek itu mulai dikerjakan pada 23 Januari 1996 dan langsung melanggar aturan pertama
pembangunan proyek yaitu dikerjakan tanpa studi kelayakan mendalam dan tanpa
adanya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).[6]
Pada Konferensi Pangan Sedunia dari 13 sampai dengan 17 November 1996 di Roma,Italia,
Presiden Soeharto mengatakan proyek lahan gambut (PLG) Sejuta Hektare di Kalimantan
merupakan keputusan dan tekad bangsa Indonesia sebagai langkah untuk mempertahankan
swasembada pangan dan sekaligus andil dalam memecahkan masalah pangan dunia. "Melalui
konferensi ini, kita juga ingin meneguhkan kesadaran dunia mengenai pentingnya ketahanan
pangan bagi umat manusia".[7]