Anda di halaman 1dari 2

NAMA GHAZY ARINAL HAQ

NIM: 041550344
MAPEL : PEMBANGUNAN PEMERINTAHAN
FHISIP UT
TUGAS 2.

Menurut pendapat saya Budaya politik yang berkembang pada saat ini atau masa reformasi.
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih
berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu
telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik.Walaupun struktur
dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era
selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya.Reformasi pada tahun 1998 telah
memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya
budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan
elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat
mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik
karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya
politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Undang-undang dasar telah menjamin bagi bekerjanya struktur politik demokratis, tetapi
budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit
politik telah membuat stuktru politik demokrasi tersebut tidak berjalan dengan baik. Struktur
politik dan fungsi-fungsi politik mengalami perubahan, tetapi tidak pada budaya politiknya.

BUKTI KEMATANGAN BUDAYA POLITIK INDONESIA


Menurut saya Pilkada merupakan kesempatan membuktikan kematangan budaya politik
masyarakat di daerah masing-masing. Budaya politik masyarakat antara lain dapat dilihat dari
pola perilaku masyarakat dalam memilih pemimpinnya. Dari pola tersebut akan tampak
derajat kualitas demokrasi.
Pada masa lalu, setidaknya sebelum reformasi, budaya politik masyarakat cenderung sangat
dipengaruhi dominasi elite politik dan representasi negara. Perilaku masyarakat dalam
memilih cenderung mengikuti patronnya. Bila di pesantren mengikuti kiainya, di desa
mengikuti kepala desanya atau kepala suku, demikian seterusnya. Dalam masyarakat kita
temukan diksi melu grubyuk gak ngerti ngrembuk, untuk mendeskripsikan betapa pilihan
masyarakat mengikuti panutannya.
Dalam pola budaya yang seperti itu, pola memilih diperkuat dengan politik uang (money
politics). Baik yang tersamar maupun yang terang-terangan. Baik yang menggunakan uang
kartal maupun materi lainnya. Potensi mendapatkan pemimpin bisa seperti membeli kucing
dalam karung. Bahkan, ketika pemimpin yang terpilih mengecewakan, misalnya dengan
perilaku korup dan kebijakan yang sewenang-wenang, rakyat hanya bisa rasan-rasan di
belakang atau sekarang menyeruak melalui media sosial.
Saat ini pilihan masyarakat sesungguhnya sangat otonom karena bersifat rahasia, tidak
diketahui siapa pun. Karena itu, budaya politiknya mestinya bergeser dari model patronase ke
model partisipasi aktif dan evaluatif. Adanya money politics, misalnya, tidak harus
memengaruhi pilihan. Uangnya diterima, tapi pilihannya bisa berbeda.
Dalam budaya politik yang aktif dan evaluatif itu, masyarakat menjatuhkan pilihannya
berdasar pengetahuannya tentang calon dari berbagai sudut. Seperti kapabilitas, moralitas,
kompetensi, dan sebagainya secara objektif. Informasi yang diterima melalui media massa,
media sosial, maupun media luar ruang atau alat peraga yang lain tidak langsung mentah-
mentah diterima. Masyarakat harus mengevaluasinya dari sumber-sumber yang lengkap,
bahkan membandingkannya dengan calon yang lain.

Anda mungkin juga menyukai