Anda di halaman 1dari 2

Laki – laki Sebagai Kambing Hitam dalam Kasus Pelecehan Seksual

P ernahkah kamu mendengar kata pelecehan seksual terhadap Wanita? Lalu, apakah hal tersebut
dapat dikatakan pelecehan seksual jika laki-laki adalah korbannya? Padahal keduanya memiliki
hak untuk mendapatkan hal yang sama pada kasus tersebut.

Itulah penyimpangan dalam kesetaraan gender, hal yang banyak dibicarakan namun sedikit yang bisa
mengaplikasikan, seakan semua hal yang seharusnya disetarakan menjadi sebuah keuntungan bagi
salah satu pihak saja. Begitupun yang terjadi di Indonesia saat ini, begitu banyak orang yang
menyuarakan tentang kesetaraan gender namun dia tidak paham dengan apa yang sebenarnya dia
bicarakan, seperti tentang pelecehan seksual.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan
mayoritas pelaku adalah laki-laki. Akan tetapi fakta tersebut tidak dapat menafikan bahwa kekerasan
seksual juga terjadi pada laki-laki khususnya anak laki-laki. Kekerasan seksual terhadap laki-laki
seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif
Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID
Tahun 2020 ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan
seksual.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak sedikit laki-laki yang pernah menjadi korban pelecehan
seksual, kurangnya atensi publik terhadap kasus-kasus kekerasan seksual selain daripada laki-laki
sebagai pelaku terhadap korban perempuan, telah membatasi pengadvokasian reformasi politik
hukum bagi para korban. Dalam jurnal “Gender Neutrality, rape, and Trial Talk” yang ditulis Philip
Rumney tahun 2008, meskipun sebagian besar negara seperti Amerika telah mengadopsi peraturan
perundang-undangan yang responsif gender, masih ada celah hukum yang mendiskriminasi korban
laki-laki.

Selain itu hukum di Indonesia juga sangat tidak mendukung dalam mengangkat hal kesetaraan gender
bagi korban laki-laki karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang belum mengenal
istilah “kekerasan seksual”, memberikan penafsiran yang sempit terhadap laki-laki korban perkosaan.
Berdasarkan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korban perkosaan haruslah
seorang perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Sama halnya dengan
rumusan Pasal 286 hingga 288 KUHP.

Jika kita melihat dari segi waktu, kita sekarang memasuki zaman dimana generasi Z (Gen Z) yang sangat
berpengaruh dalam kemajuan sosial suatu negara, termasuk di Indonesia. Saat ini banyak hal yang
muncul dari kebiasaan atau doktrin dari gen z itu sendiri, seperti istilah toxic masculinity yang
membuat kita meyakini bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan adalah hal yang tidak
masuk akal, laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seksual sehingga mereka tidak bisa
diperkosa. Laki-laki harus cukup kuat untuk bisa melawan sehingga mereka seharusnya dapat
melawan dan kejahatan perkosaan hampir tidak mungkin terjadi. Mitos tersebut berkontribusi pada
budaya di mana pemerkosaan terhadap laki-laki seringkali diabaikan dan tidak dilaporkan.

Hal ini sudah jelas sangat merugikan kaum laki-laki yang menjadi korban pelecehan, hanya karena kata
pemerkosaan dan pelecehan yang terlalu identik dengan perempuan sebagai korban. Seperti sebuah
lelucon mengingat mayoritas kaum hawa yang justru paling banyak menggaungkan kesetaraan
gender dimana mana. Jika memang kesetaraan gender hanya menguntungkan perempuan, kenapa
mereka tidak ikut perang saja, jika memang ingin benar benar setara dengan laki-laki.
Namun semua hal mengenai penyimpangan kesetaraan gender hanya merupakan paradigma yang
terjadi di kalangan masyarakat, mengingat korban laki-laki memiliki kebutuhan yang berbeda dari
korban perempuan dan seringkali enggan untuk membahas kekerasan seksual yang dihadapinya dan
dampaknya.

***

Anda mungkin juga menyukai