Anda di halaman 1dari 20

MATA KULIAH

MALARIA
PERTEMUAN KE-6

DIAGNOSA MALARIA

ANITA SRIWATY PARDEDE, SKM., M.KES., QHIA


DIAGNOSA
MALARIA
• Diagnosis malaria ditegakkan
berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.
• Diagnosis pasti malaria ditegakkan dari
pemeriksaan darah mikroskopis atau
rapid diagnostic test (RDT).
• Diagnosis malaria berat ditegakkan
berdasarkan kriteria malaria berat dari
WHO.
ANAMNESIS
MALARIA
Pada anamnesis, gejala utama malaria
yang sering dikeluhkan adalah demam,
menggigil, malaise, mialgia, gejala
gastrointestinal (mual, muntah, dan diare),
gejala neurologis (disorientasi dan
penurunan kesadaran), sakit kepala,
dan/atau batuk. Gejala klasik malaria
adalah demam paroksismal yang didahului
fase menggigil lalu diikuti demam tinggi
dan berkeringat banyak
• Pada pasien yang tinggal di daerah
endemis, terkadang gejala klasik malaria
tidak ditemukan. Pasien anak-anak juga
sering kali datang dengan gejala yang
tidak spesifik dan gejala gastrointestinal
yang menonjol
• Malaria wajib dicurigai bila menemukan
gejala-gejala tersebut pada pasien yang
tinggal di daerah endemis malaria atau
pada pasien dengan riwayat bepergian ke
daerah endemis malaria
• Dokter juga perlu menanyakan riwayat
sakit malaria atau minum obat malaria,
status imunologi pasien, usia, status
kehamilan, alergi, penyakit lain yang
diderita pasien, riwayat transfusi darah, dan
obat-obatan yang dikonsumsi.
• Sebagian pasien yang mengalami terinfeksi
dapat bersifat asimtomatik, tetapi tetap
menunjukkan hasil positif pada
pemeriksaan apusan darah tepi atau
skrining dengan RDT
PEMERIKSAAN FISIK
• Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah suhu
tubuh ≥37,5o C (bisa mencapai 41o C), konjungtiva anemis, sklera
ikterik, dan hepatosplenomegali.
• Tipe demam yang umum dijumpai pada pasien malaria adalah
demam paroksismal. Fase demam didahului dengan menggigil
selama 1–2 jam, diikuti dengan demam tinggi, kemudian terjadi
diaforesis dan suhu tubuh pasien turun kembali normal atau di
bawah normal. Demam paroksismal dapat terjadi setiap 48 jam
(Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale) atau
setiap 72 jam (Plasmodium malariae).
• Pasien anak dengan infeksi malaria lebih mudah mengalami
hepatosplenomegali, anemia berat, kejang, hipoglikemia, dan
sepsis. Malaria tanpa komplikasi tidak disertai dengan gejala
klinis dan hasil laboratorium yang menandakan malaria berat
atau disfungsi organ.
Kriteria malaria berat berdasarkan WHO adalah
ditemukannya stadium aseksual Plasmodium falciparum
atau Plasmodium vivax atau Plasmodium knowlesi
ditambah minimal satu dari manifestasi klinis berikut:
• Penurunan kesadaran GCS<11 atau Blantyre <3
• Acute respiratory distress syndrome pada anak
• Kejang berulang lebih dari 2 episode dalam 24 jam
• Syok (pengisian kapiler >3 detik, tekanan sistolik
<80 mmHg (dewasa) atau <70 mmHg (anak).
• Kelemahan otot (tidak bisa duduk, berjalan, atau
minum pada anak yang lebih kecil)
• Perdarahan spontan abnormal (epistaxis,
perdarahan gusi, hematemesis, melena, perdarahan
dari tempat pungsi vena)
• Edema paru, ditentukan berdasarkan Rontgen
toraks atau saturasi oksigen <92% yang disertai
frekuensi pernapasan >30 kali/ menit
LANJUTAN

• Edema paru, ditentukan berdasarkan Rontgen toraks atau


saturasi oksigen <92% yang disertai frekuensi pernapasan >30 kali/
menit
• Jaundice dengan bilirubin plasma/serum >3 mg/dL dan kepadatan
parasit >100.000/µL (Plasmodium falciparum) atau >20.000/ µL
(Plasmodium knowlesi)
• Anemia berat, ditandai dengan Hb <7 g/dL atau hematokrit <21%
(dewasa); Hb <5g/dL atau hematokrit <15% (anak di daerah
endemis tinggi); Hb <7 g/dL atau hematokrit <21% (anak di
daerah endemis sedang–rendah)
• Asidosis base deficit >8 mEq/L atau plasma bikarbonat <15 mEq/L
atau laktat plasma vena >5 mEq/L
• Hipoglikemia glukosa plasma <40 mg/dL
• Hiperparasitemia
• Hiperlaktatemia
• Hemoglobinuria (black water fever)
• Gangguan fungsi ginjal kreatinin serum >3 mg/dL atau ureum
darah >20 mmol/L[4,5]
DIAGNOSIS BANDING
• Di Indonesia, setiap orang yang tinggal di daerah endemis malaria
yang mengalami demam atau riwayat demam dalam 48 jam
terakhir dan tampak anemis, wajib dicurigai sebagai malaria, tanpa
mengesampingkan penyebab demam lain.
• Malaria menunjukkan gejala awal seperti flu-like syndrome dan
manifestasi klinis yang tidak spesifik, sehingga memiliki banyak
diagnosis banding, seperti infeksi saluran pernapasan, demam tifoid,
demam dengue, hepatitis, leptospirosis, dan chikungunya.
• Pada pasien yang mengalami demam disertai penurunan kesadaran,
meningoensefalitis viral atau bakterial perlu disingkirkan dan dapat
dipertimbangkan pemeriksaan pungsi lumbal untuk
mengonfirmasinya. Diagnosis banding malaria biasanya juga
berkaitan dengan penyakit yang banyak ditemukan di wilayah
tersebut.
• Cara membedakan malaria dengan penyakit lain yang menjadi
diagnosis bandingnya adalah melalui tes apus darah mikroskopik
atau RDT.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Pemeriksaan penunjang wajib dilakukan pada semua pasien yang


dicurigai mengalami infeksi malaria. Pemeriksaan penunjang
untuk mengonfirmasi diagnosis malaria adalah pemeriksaan
apusan darah tebal dan tipis menggunakan mikroskop

Pemeriksaan Mikroskopis Apusan Darah Tepi


• Pemeriksaan mikroskopis apusan darah tepi berguna untuk
menentukan ada tidaknya parasit malaria, menentukan spesies
penyebab, stadium penyakit, dan kepadatan parasit. Pemeriksaan
apusan darah tebal sensitif untuk mendeteksi Plasmodium, tetapi
lebih sulit untuk menentukan spesies penyebab. Apusan darah
tipis digunakan untuk menentukan spesies dan kepadatan
parasit.[4,32]
• Apusan darah tepi yang sudah dibuat harus segera dibaca oleh
tenaga terlatih. Hasil apusan darah tepi yang negatif
memberikan kesimpulan bahwa kemungkinan diagnosis bukan
malaria.
• Hasil apusan darah tepi yang negatif pada pasien dengan
gejala khas malaria perlu diulang selang 12–24 jam
hingga 3 kali tes. Jika ketiga pemeriksan apusan darah
tepi tersebut negatif, maka diagnosis malaria dapat
disingkirkan dan perlu dicari etiologi demam lainnya.
• Kelebihan pemeriksaan apusan darah tepi adalah
mampu mengidentifikasi spesies Plasmodium (termasuk
pada kasus infeksi campuran), menentukan kepadatan
parasitemia, memantau efikasi terapi, membutuhkan
alat pemeriksaan yang sederhana, dan biaya
pemeriksaan murah.
• Kekurangan pemeriksaan apusan darah tepi adalah sulit
mendeteksi jika parasitemia yang rendah, kesalahan
pembacaan dapat terjadi pada kasus parasitemia yang
sangat tinggi, infeksi campuran sering tidak terdiagnosis,
membutuhkan tenaga terlatih yang mampu membaca
hasil (jarang ada bila bukan di daerah endemis).
Rapid Diagnostic Test (RDT)
• Pemeriksaan penunjang alternatif yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan antigen menggunakan rapid diagnostic test (RDT)
dengan format kaset atau dipstick.
• Pemeriksaan RDT berguna untuk skrining karena memberikan
hasil yang cepat. RDT malaria menggunakan metode
imunokromatografi untuk mendeteksi antigen malaria
menggunakan strip yang dilapisi antibodi anti malaria.
• Tes ini memiliki kelebihan berupa mudah dilakukan (tidak
memerlukan tenaga ahli untuk membaca hasil) dan hasilnya
cepat. Namun, RDT kurang efektif pada jumlah parasit di
bawah 100/mL darah. Selain itu, hasil positif palsu dapat terjadi
pada pasien yang diterapi hingga 2 minggu karena masih ada
antigen yang bersirkulasi. Oleh karena itu, pemeriksaan RDT
tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi respons
pengobatan.
Pemeriksaan Darah
• Pada pemeriksaan darah pasien dengan riwayat
bepergian ke daerah endemis, jika ditemukan trias
berupa trombositopenia, peningkatan kadar laktat
dehidrogenase (LDH), dan limfositosis atipikal
maka perlu dicurigai sebagai infeksi malaria dan
perlu dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi.
• Kadar hemoglobin, trombosit, fungsi hepar, fungsi
ginjal, kadar glukosa darah, dan parameter lain
untuk mengevaluasi hemolisis perlu diperiksakan
untuk mengevaluasi kondisi klinis pasien dan
menentukan penatalaksanaan tambahan yang
dibutuhkan.
Polymerase Chain Reaction Assay
• Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) lebih sensitif
dan spesifik daripada apusan darah tepi untuk
mendiagnosis malaria. Namun, karena hanya tersedia di
laboratorium tertentu, pengerjaannya lama, dan harganya
relatif mahal, maka pemeriksaan ini tidak dilakukan secara
rutin.
• PCR dapat digunakan untuk mengonfirmasi spesies parasit
dan menentukan mutasi pada kasus resistensi obat.

Kultur Darah
• Pemeriksaan kultur darah perlu dipertimbangkan untuk
pasien malaria yang tidak menunjukkan perbaikan setelah
terapi antimalaria. Etiologi infeksi lain perlu dicurigai dan
mungkin terjadi pada pasien-pasien yang berada di daerah
endemis.
Radiologi
Rontgen toraks perlu dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan diagnosis lainnya.
Selain itu, pada kecurigaan malaria berat,
terutama bila ada manifestasi klinis respiratorik,
Rontgen toraks juga perlu dilakukan. CT scan
kepala dilakukan bila ada kecurigaan edema
serebral atau perdarahan otak.[3]
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis bakterial pada pasien
dengan penurunan kesadaran
• Penatalaksanaan malaria di Indonesia meliputi pengobatan yang
radikal mengikuti kebijakan nasional pengendalian malaria di
Indonesia.
• Pengobatan dengan artemisinin-based combination therapy (ACT)
hanya boleh diberikan pada pasien dengan hasil pemeriksaan darah
malaria positif. Pada kasus malaria berat, penatalaksanaan tidak
boleh ditunda

Berobat Jalan
• Pasien malaria nonfalciparum tanpa gejala berat dan dapat
mengonsumsi obat oral dapat berobat jalan. Evaluasi pengobatan
dilakukan pada hari ke-3, -7, -14, -21, dan -28 berdasarkan gejala klinis
dan pemeriksaan darah mikroskopis. Edukasi pasien untuk segera
memeriksakan diri jika ada pemburukan klinis tanpa menunggu
jadwal tersebut.[4]
• Pasien rawat inap dengan keadaan umum dan kesadaran baik, telah
bebas demam 3 hari tanpa obat penurun demam dan pemeriksaan
parasit negatif 3 kali berturut-turut dengan jarak waktu 12-24 jam,
dapat dipulangkan dan berobat jalan.
Persiapan Rujukan
• Setiap kasus malaria berat harus dirawat inap atau dirujuk ke
fasilitas kesehatan dengan fasilitas yang memadai. Risiko kematian
tertinggi pada malaria berat atau malaria serebral terjadi pada 24
jam pertama. Untuk itu, pasien dengan waktu rujukan >6 jam
perlu diberikan antimalaria sebelum dirujuk.
• Antimalaria yang dianjurkan adalah artesunate dan artemether
intramuskular. Jika kedua obat tersebut tidak tersedia, kina
intramuskular (paha) dapat diberikan. Artesunate rektal hanya
direkomendasikan untuk anak berusia < 6 tahun (dosis 10
mg/kgBB) jika artesunate intravena atau intramuskular tidak
tersedia.
• Di Indonesia, bila tidak tersedia artesunate, maka dapat diberikan
dihidroartemisinin-piperakuin (DHP) sebanyak 1 kali (bila
toleransi oral baik)
• Pasien yang gagal diterapi dengan antimalaria lini pertama
memerlukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang memiliki
antimalaria lini kedua.
Medikamentosa
• Obat antimalaria tidak boleh diberikan sebelum malaria
terkonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium. Pemberian
antimalaria bertujuan untuk membunuh semua stadium
parasit di dalam tubuh, termasuk gametosit. Pada kasus infeksi
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, antimalaria yang dapat
membunuh hipnozoit perlu diberikan untuk mencegah relaps.
Jenis antimalaria perlu disesuaikan dengan daerah pasien
terinfeksi, sebab adanya pola resistensi obat yang berbeda.
• Medikamentosa yang dianjurkan di Indonesia untuk kasus
malaria tanpa komplikasi adalah DHP oral dengan atau tanpa
primaquine (tergantung jenis malaria). chloroquine tidak lagi
digunakan karena banyaknya kasus resistensi.
• DHP diberikan 1 kali sehari selama 3 hari. Dosis primaquine
yang digunakan adalah 0,25 mg/kgBB/hari. Obat antimalaria
dikonsumsi sehabis makan (tidak dalam keadaan perut
kosong).
Malaria pada Wanita Hamil
• Malaria pada wanita hamil diobati hanya
menggunakan DHP selama 3 hari. Medikamentosa
berupa primaquine, tetracycline, dan doxycycline
tidak boleh diberikan untuk wanita hamil.
• Di Amerika Serikat, terapi pilihan untuk malaria
falciparum tanpa komplikasi pada kehamilan adalah
artemether-lumefantrine (Coartem) atau bila tidak
tersedia, alternatifnya adalah mefloquine atau kina +
clindamycin. Pada kasus malaria vivax, obat yang
dapat diberikan adalah artemether-lumefantrine
(trimester kedua atau ketiga) atau mefloquine.
• Di Indonesia, terapi lini kedua trimester pertama
dapat diberikan kombinasi kina (dosis dewasa) +
clindamycin 10 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari.
Dosis maksimal clindamycin adalah 300 mg/hari.

Anda mungkin juga menyukai