Anda di halaman 1dari 6

Mentari Tak Selamanya Sembunyi

Namaku Ganesh. Aku tumbuh dalam keluarga yang berantakan. Bapakku pemabuk
yang tak pernah jelas pekerjaannya. Dia tak pernah memberi nafkah kepada kami,
keluarganya. Yang paling buruk, jika mabuk, dia sering memaki ibuku dengan kata-kata
kasar, bahkan tak jarang melakukan KDRT1, baik kepada ibuku maupun kepadaku.
Suatu hari saat aku di SMA, orang tuaku bertengkar hebat di kamar. Aku tak tahu apa
masalahnya. Itu tak penting. Mereka toh selalu bertengkar tentang apa saja. Aku mendengar
teriakan bapakku, dan suara barang dibanting. Dengan gemetar, kubuka pintu kamar. Kulihat
bapakku membanting barang-barang di depan ibuku yang sedang menangis.
“Mau apa? Keluar kamu!” bentak bapakku. Bau alkohol murahan tercium dari
mulutnya.
“Bapak jangan kasar sama ibu!” teriakku dengan gemetar karena rasa marah
bercampur takut.
“Anak kurang ajar!” bentaknya. Bapakku menghampiriku dan melayangkan
tamparan ke kepalaku, yang kutangkis dengan refleks. Tangkisanku rupanya menyakiti
lengannya. Dia tertegun, tak menyangka anaknya saat itu berani melawannya.
Bapakku memandangku dengan gusar. Aku balas menatapnya, tak kalah gusar. Dia
kemudian pergi dengan membanting pintu, seperti yang selalu dilakukannya sejak dulu, pergi
dan pulang sesuka hatinya. Hanya saja, kali itu dia tak kembali lagi.
Itulah gambaran keluargaku. Berantakan dan miskin. Kami tinggal di lingkungan
miskin yang kumuh, bau got dan selalu banjir setiap musim hujan. Bukan rahasia lagi, ada
anak-anak muda di lingkunganku yang menjadi pelaku kejahatan.
“Setelah tamat SMA mau melanjutkan ke mana?” adalah pertanyaan yang selalu
kudengar saat aku kelas 3 SMA. Aku hanya bisa mengangkat bahu karena memang tidak
berani membayangkan akan pernah kuliah.
Di kelas 3 itulah aku mulai dekat dengan temanku lain kelas, Tiara, yang kupanggil
Rara. Dia cantik, baik hati, dan dari keluarga yang “beres”, tidak seperti keluargaku.
Suatu hari kunyatakan rasa sukaku kepadanya. Dia menjawab dengan senyum dan
menggenggam jemariku. Itulah hari paling bahagia dalam hidupku.
Jujur, entah apa yang dilihat Rara dalam diriku, anak miskin yang selalu
diperingatkan petugas karena telat bayar uang sekolah, yang tinggal di gang kumuh, yang

1
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
dibesarkan seorang ibu tunggal. Tapi hari-hari itu kami seakan tak peduli. Kami jalani hari-
hari kami dengan ceria, seperti kata-kata dalam lagu yang kami suka,
2
Biar tahu, biar rasa, maka tersenyumlah, kasih…
Tetap langkah, jangan hentikan, cinta ini milik kita…
Aku tahu Rara tulus sayang padaku, meski aku hanya bisa mengajaknya makan nasi
goreng di depan minimarket, dilanjutkan dengan beli dan makan coklat di dalam minimarket
itu. Kebersamaan kami terasa indah saat kami merasa hanya ada kami berdua di dunia.
Kenyataanya, bukan hanya ada kami di dunia. Tentunya ada orang-orang lain. Suatu
hari aku bertamu ke rumah Rara, dan bertemu orang tua-nya untuk pertama kali.
“Selamat malam Om, Tante” sapaku sopan.
“Ganesh tadi naik apa ke sini?” tanya ibu Rara.
“Naik angkot, Tante.” Kulihat raut wajah orang tua Rara berubah saat mendengar
jawabanku. Rara berusaha tetap ceria dan mengalihkan pembicaraan. Saat itu aku mulai
merasakan hubunganku dengan Rara tak seindah hari-hari di mana kami hanya berdua.
Lalu, kamipun lulus SMA. Rara lanjut kuliah, aku tidak. Aku terus mencari kerja.
Rara-pun dengan baik hati selalu menyemangatiku, meski aku selalu merasa minder
kepadanya, “Nanti juga kamu pasti bisa kuliah, Nesh”. Aku hanya tersenyum getir.
Lalu terjadilah peristiwa hari itu. Bagas, tetanggaku, mendadak memintaku
memboncengkan-nya dengan motornya.
“Nesh, anterin gue. Lo yang bawa motor gue. Gue ada kerjaan dikit. Ntar honornya
gue bagi sama lo”. ”Lo tunggu di sini, gue bentar aja, motor jangan dimatiin,” katanya
sesampainya di tujuan.
Aku menolong Bagas tanpa curiga, berharap dia membagi “honor”nya, tanpa pernah
berpikir sedikitpun bahwa “kerjaan dikit” nya adalah transaksi-nya berjualan narkoba. Dia
butuh supir yang bisa segera membawanya kabur jika ada hal yang mencurigakan. Itulah
sebabnya dia memintaku terus menyalakan mesin motor saat menunggu.
Hari itu rupanya hari naas bagi Bagas. Polisi menjebaknya dengan berpura-pura
menjadi pembeli. Dan hari itu adalah hari di mana hidupku menjadi sangat berubah. Bagas
ditangkap polisi karena menjadi pengedar. Akupun ditangkap karena “berkomplot dengan
pengedar”, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiranku.
Bagas dihukum lama sebagai pengedar. Aku dihukum lebih sebentar. Bagaimanapun,
yang “lebih sebentar” itu tetaplah amat sangat memukul ibuku. Anak yang sangat

2
“Buku Ini Aku Pinjam” – Iwan Fals
diharapkannya tiba-tiba menjadi terpidana. Aku tak pernah bisa melupakan hari di mana
polisi datang menangkapku, memborgolku di depan mata ibuku.
“Pak, jangan bawa anak saya. Dia gak tahu apa-apa. Saya gak punya siapa-siapa lagi,
Pak”, ratap ibu memohon pada petugas.
Air mata ibu tumpah. Air mataku tumpah. Aku merasa begitu tak berharga di
matanya. Dia yang seumur hidupnya menderita karena suami yang kejam dan tak
bertanggung jawab, sekarang harus semakin menderita karena anaknya menjadi narapidana.
Aku tak pernah bisa memaafkan diriku atas apa yang harus ditanggung ibuku.
Aku teringat kata-kata Freddie Mercury, vokalis Queen yang kukagumi.
3
Mama, ooh
Didn't mean to make you cry
If I'm not back again this time tomorrow
Carry on, carry on
As if nothing really matters4
Rara? Jelas tidak kalah terpukulnya. Begitupun, dia tetap setia kepadaku. Dia berkali-
kali menengokku dalam penjara. Setiap kali datang, dia selalu membawakan coklat kesukaan
kami berdua. Coklat minimarket kami.
“Gimana kamu, Nesh?”
“Ya, gitu deh, di sini gak ada coklat enak kayak gini”, jawabku, berusaha ceria. Dia
berusaha tersenyum, namun aku tahu dia menahan kesedihannya.
Aku terus memikirkan Rara. “Masa depan seperti apa yang bisa kuberikan untuknya?”
“Tidak adil baginya untuk terus berharap pada hubungan tidak jelas ini” pikirku dalam galau.
Suatu hari, Rara kembali datang berkunjung.
“Ra…”
“Iya, Nesh”
“Kamu jangan ke sini lagi deh” kataku tercekat, menahan tangis.
“Kenapa, Nesh?” tanyanya, tanpa bisa menahan tangis.
“Aku gak mau ketemu kamu lagi” seruku, pura-pura galak, pura-pura tegar.
Dan akupun berlalu, kembali ke selku. Air mataku mengalir deras. Aku tahu air mata
Rara pasti lebih deras.

3
“Bohemian Rhapsody” – Queen.
4
Ibu, aku tak ingin membuatmu menangis,
Jika aku tak kembali besok, lanjutkanlah hidup,
Seolah tidak ada yang benar-benar terjadi…
Rara masih beberapa kali mencoba mencariku setelah itu. Aku tak pernah mau
menemuinya. “Tidak ada gunanya bertemu. Tidak ada masa depan apa-apa di antara kami.
Kenyataan hidup, perbedaan di antara kami, jauh lebih besar daripada cinta kami. Lihatlah
tembok-tembok dan jeruji-jeruji ini! Apalah artinya cinta, jika kenyataan hidup hanyalah
seperti ini?” batinku berkecamuk.
Kenyataanya, aku tidaklah setegar itu. Suatu hari, ibuku datang berkunjung. Dia
menunjukkanku sebuah amplop. Undangan pernikahan Rara.
“Oh, bagus deh” kataku. Kembali pura-pura tegar dan cuwek. Lalu, kembali
menangis. Kali itu tangisanku lebih dari biasanya. Tangisan seorang laki-laki yang patah hati.
Tangisan seorang laki-laki yang meratapi kenyataan hidup yang demikian kelam. Itulah hari
paling sedih dalam hidupku.
Ibu menjemputku di hari terakhir hukumanku. Dia tersenyum. Kupandangi dia di
dalam angkot dalam perjalanan pulang. Semakin banyak kerutan wajahnya, dan semakin
bungkuk bahunya. Perempuan yang malang, yang dibuat menderita oleh para lelaki dalam
hidupnya. “Aku harus membahagiakan dia”, sumpahku dalam batin.
Hanya dengan pertolongan Tuhan saja, aku mendapatkan pekerjaan, atau lebih
tepatnya pelayanan, di panti rehabilitasi kecanduan narkoba. Aku melakukan apa saja, dari
bersih-bersih sampai membantu menjaga keamanan dan mendampingi para penghuni.
Aku melihat diriku dalam diri para penghuni panti. Narkoba membuat anak-anak itu
dan keluarganya sangat menderita. Narkoba juga yang menjeratku masuk penjara. Di sanalah
duniaku, yang terlambat kutemukan, yang membuatku merasa punya arti. Di tempat itulah
aku bertekad, aku harus menebus tahun-tahun hidupku yang hilang.
Akupun mendekatkan diri pada Tuhan dengan lebih sungguh beribadah. Di hari-hari
itu, ada suara teguran yang terus datang dalam batinku, untuk pergi mencari seseorang. Ada
urusan lama yang belum, dan harus, kuselesaikan dengannya.
Dia terlihat kurus dan ringkih ketika aku akhirnya menemukannya. Tahun-tahun
hidupnya tergurat jelas dalam kerut wajahnya. Kecanduan minum, penyakit, kemiskinan dan
tabiatnya yang sulit, membuatnya ditinggalkan oleh orang-orang yang pernah bersamanya.
“Bapak” sapaku.
“Ganesh”
Kami tak pernah dekat sejak dulu. Aku jelas merasa sangat pahit kepadanya. “Bapak?
Apa artinya bapak? Jika hanya bisa membuat perempuan bunting lalu melahirkan anakmu,
apakah sudah pantas disebut bapak? Apa bedanya dengan si Freddie, kucingku, yang anaknya
entah di mana saja?” pikirku dalam kebencian kepadanya, hampir sepanjang hidupku.
Hari itu semua kepahitan itu ingin kusudahi. Aku tak berencana lama di sana.
Kutinggalkan sedikit uang untuknya, lalu aku pamit. Saat itulah tanpa kuduga bapakku
memelukku dan menangis, dua hal yang tak pernah kubayangkan akan bisa dilakukannya.
Tangis kami berdua-pun pecah, tanpa mampu kami tahan.
Beberapa waktu kemudian, saat penyakit bapak semakin parah, aku berhasil
membujuk ibu untuk bersedia ikut mengunjunginya. Bapak menangis memohon maaf kepada
ibu. Air mata ibu tumpah, air mataku tumpah. Meskipun kutahu tidak mudah baginya, ibu
memaksakan diri memeluk bapak saat kami berpisah. Itulah terakhir kali kami bertemu
bapak. Pertemuan dalam damai, yang tak pernah kami alami ketika dulu masih bersama. Ada
kelegaan yang luar biasa hari itu. Tidak lagi ada kepahitan dan dendam di antara kami.
Setelah beberapa waktu, tabunganku akhirnya cukup untuk membiayai kuliah. Aku
menjadi mahasiswa tertua di angkatanku. Pagi hari aku melayani di panti, sorenya aku pergi
kuliah. Aku mengambil jurusan pendidikan karena ingin menjadi guru yang lebih baik bagi
anak-anak yang kulayani. Apa yang terjadi pada hidupku dulu, sebisa mungkin janganlah
terjadi pada anak-anak itu di masa depan, doaku.
Tahun-tahun berlalu. Hari itu, di aula sederhana tempatku diwisuda, begitu
bahagianya hatiku melihat ibuku berdandan rapi dan cantik. Dia terus tersenyum. Sudah lama
sekali tak pernah kulihat dia sebahagia dan sebangga itu. Terima kasih, Tuhan, untuk
menolongku membahagiakan ibuku. Sesuatu yang dulu kupikir tak akan pernah kucapai, hari
itu menjadi kenyataan.
Hari itu, kuingat orang-orang dan peristiwa yang pernah mampir dan berlalu dalam
hidupku. Bapakku yang sudah tiada saat itu, ratapan ibuku saat melihat anaknya diborgol dan
diseret polisi,….dan Rara. Ya, Rara. Entah di mana dia hari itu. Semoga hidupnya selalu
bahagia, lebih bahagia daripada apa yang bisa kujanjikan kepadanya dulu.
“Rara, aku sudah lulus kuliah, nyusul kamu”, bisikku dalam hati. “Aku harap kamu
bangga padaku, Ra...”
Cerita patah hatiku adalah nostalgia yang tak selalu manis, bahkan pernah terasa
sangat pahit, namun aku percaya, bahwa hidup dan waktu selalu punya caranya sendiri untuk
menyembuhkan.
Mentari tak selamanya sembunyi…

Tangerang, dini hari 13 November 2020.


Biodata Penulis

Nama : Petrus Setiawan


Alamat :
Perumahan Palem Ganda Asri 2
Cluster AA Blok C No. 1
Karangtengah – Tangerang 15157
WhatsApp : 087780801023
Email : petrus_setiawan@yahoo.com
Instagram : @peter_setiawan27

Anda mungkin juga menyukai