Anda di halaman 1dari 176

UNIVERSITAS INDONESIA

PENYEMAIAN NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA


DALAM DUNIA PENDIDIKAN DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP KETAHANAN IDEOLOGI

TESIS

PAMELA CARDINALE
1906339456

SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL


PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL
JAKARTA, AGUSTUS 2021
UNIVERSITAS INDONESIA

PENYEMAIAN NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA


DALAM DUNIA PENDIDIKAN DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP KETAHANAN IDEOLOGI

TESIS

PAMELA CARDINALE
1906339456

SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL


PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL
PEMINATAN KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL
JAKARTA, AGUSTUS 2021

ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Pamela Cardinale

NPM : 1906339456

Tanda tangan :

Tanggal : 6 Agustus 2021

iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama Mahasiswa : Pamela Cardinale


NPM : 1906339456
Program Studi : Kajian Ketahanan Nasional
Peminatan : Kajian Stratejik Ketahanan Nasional
Judul Tesis : Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dalam
Dunia Pendidikan dan Implikasinya Terhadap
Ketahanan Ideologi

Telah dibaca, dikoreksi dan disetujui untuk diajukan pada Ujian Tesis pada Program
Studi Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas
Indonesia.

PEMBIMBING TESIS

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

(Muhammad Syaroni Rofii, S.H.I., M.Si., Ph. D) (Prof. Dr. Anhar Gonggong)

Mengetahui
Ketua Program Studi,

(Dr. Drs. Arthur Josias Simon Runturambi, M. Si.)

iv
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh


Nama : Pamela Cardinale
NPM : 1906339456
Program Studi : Kajian Ketahanan Nasional
Peminatan : Kajian Stratejik Ketahanan Nasional
Judul Tesis : Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dalam
Dunia Pendidikan dan Implikasinya Terhadap
Ketahanan Ideologi

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global
Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Dr. Drs. Arthur


Josias Simon
Runturambi, M.Si.

Pembimbing : Muhammad Syaroni


Rofi’i, S.H.I., M.Si.,
Ph.D.

Pembimbing : Prof. Dr. Anhar


Gonggong

Penguji : Prof. Komaruddin


Hidayat

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 20 Agustus 2021

v
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains
Program Studi Kajian Ketahanan Nasional pada Sekolah Kajian Stratejik dan
Global Universitas Indonesia. Penulis menyadari demikian banyak bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak sejak masa perkuliahan hingga penyusunan tesis.
Oleh karena itu, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada:
1) Bapak Muhammad Syaroni Rofi’i, S.H.I., M.Si., Ph.D. dan Bapak Prof. Dr.
Anhar Gonggong selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga dan pikiran selama membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini;
2) Bapak Dr. Drs. Arthur Josias Simon Runturambi, M.Si. selaku Ketua Sidang
yang telah memberi kesempatan penulis untuk memaparkan hasil penelitian,
3) Bapak Prof. Komaruddin Hidayat selaku penguji yang juga banyak
memberikan inspirasi kepada penulis,
4) Seluruh Dosen dan Pengajar di Program Studi Ketahanan Nasional, Sekolah
Kajian Stratejik dan Global atas segala ilmu dan bimbingan berharga yang
sudah diberikan, juga Pembimbing Akademik penulis Ibu Dr. Palupi Lindiasari
Samputra yang sabar membantu penulis di banyak tahapan perkuliahan,
5) Para staf di Sekolah Kajian Stratejik dan Global yang telah banyak mendukung
proses administrasi penelitian ini,
6) Para narasumber ahli yang telah membantu dalam memberikan berbagai
masukan dan pendapatnya terkait tesis Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin,
MA. dari Kementerian Agama Republik Indonesia, Yudi Latif, Ph.D., mantan
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang juga sebagai Pakar Aliansi
Kebangsaan dan Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag., dosen Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.
7) Para narasumber yang telah banyak membantu penulis memperoleh data yang
diperlukan baik dari Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Jakarta Bapak Roni
Saputro; Sekolah Madania Bapak Harisko, Sekolah Kolese Kanisius Jakarta

vi
Universitas Indonesia
Bapak G Sutarto, Sekolah Menengah Kejuruan Bakti Karya Parigi Bapak Ai
Nurhidayat, Sekolah Guru Kebinekaan Bapak Muchlisin dan Ibu Henny
Supolo Sitepu selaku Ketua Yayasan Cahaya Guru yang telah banyak
memberikan inspirasi.
8) Orang tua penulis, Mami Prof. Hj. Albertine Minderop, MA. dan Papi H.
Soedjatmiko yang telah memberikan dukungan moral, doa dan kasih sayang,
beserta Ibu Juliana Wilhelmina Minderop yang sudah seperti Ibu bagi penulis,
9) Ramadhani Achdiawan, S.Si., MA. suami penulis yang senantiasa mendukung
penuh, sebagai teman diskusi dan pemberi semangat selama proses perkuliahan
hingga penulisan tesis serta putri penulis Prudence Querida Pashahumairah
yang selalu hadir memotivasi dan menambah semangat, Zus Ponti Caroline
dan suami, Ivan Tuhuleley sebagai kakak penulis serta Percy Carbella dan Fitry
Octavia sebagai adik penulis, yang senantiasa memberikan dukungan moral
dan doa.
10) Bapak Yudi Latif, Ph.D., Bapak Dr. Haidar Bagir dan Bapak Dr. Ngatawi Al
Zastrouw yang senantiasa hadir sebagai teman diskusi dan memberi semangat
selama masa perkuliahan. Sungguh suatu berkah luar biasa bagi penulis untuk
berkesempatan mendapat banyak pencerahan dari para cendekia yang berhati
mulia ini,
11) Sahabat-sahabat mahasiswa di Kajian Ketahanan Nasional khususnya Kelas
REG42, teman kompak senasib seperjuangan dan saling mendukung, memberi
semangat, Ariwijaya, Muqsith, Amin, Nada, Mutiara dan Adein. Semoga kita
semua mampu menggapai cita dan angan yang diimpikan dan menebar manfaat
bagi bangsa dan kehidupan.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Kasih membalas kebaikan semua.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 20 Agustus 2021

Pamela Cardinale

vii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama : Pamela Cardinale
NPM : 1906339456
Program Studi : Kajian Ketahanan Nasional
Fakultas : Sekolah Kajian Stratejik dan Global
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Rights) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dalam Dunia Pendidikan dan


Implikasinya Terhadap Ketahanan Ideologi”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Bogor
Pada tanggal : 20 Agustus 2021

Yang Menyatakan

(Pamela Cardinale)

viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK

Nama : Pamela Cardinale


Program Studi : Kajian Ketahanan Nasional
Judul : Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dalam Dunia
Pendidikan dan Implikasinya Terhadap Ketahanan
Ideologi
Pembimbing : 1. Muhammad Syaroni Rofii, S.H.I., M.Si.,Ph.D
2. Prof. Dr. Anhar Gonggong

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara,


merefleksikan realitas masyarakat kita yang sangat heterogen dari segi etnis,
budaya, bahasa dan agama, yang tumbuh berkembang di berbagai kepulauan
nusantara. Bhinneka Tunggal Ika kerap diartikan sebagai berbeda-beda namun tetap
satu jua, unity in diversity, bersatu dalam keberagaman, persatuan dalam kondisi
majemuk. Jelas bahwa negara Republik Indonesia terdiri dari masyarakat yang
sangat majemuk. Kemajemukan yang dimaksud mencakup etnis, agama,
kepercayaan, kebudayaan daerah asal, bahasa daerah asal, dan lain sebagainya.
Menjadi persoalan, bagaimana menjaga dan mengembangkan kebinekaan namun
tetap dalam semangat dan bingkai keikaan sebagai bangsa dan negara. Pendidikan
merupakan komponen penting dalam menumbuhkan kesadaran dan keyakinan serta
komitmen dalam melestarikan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Penelitian ini menelisik bagaimana penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam
dunia pendidikan dilihat melalui perspektif Ketahanan Nasional. Penelitian ini
melihat kesesuaiannya dengan hukum perundang-undangan yang berlaku.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan ketahanan
nasional berdasarkan multidisiplin. Hasil yang didapat adalah kesadaran akan nilai
sekolah yang terus dijaga dan diamalkan menjadi fondasi kuat dalam penyemaian
nilai-nilai di sekolah. Sekolah publik masih memerlukan banyak perhatian serius
dari pemerintah perihal penanaman nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Peraturan yang berlaku sudah ideal namun permasalahan terdapat pada
implementasi dan pengawasan.

Kata kunci: bhinneka tunggal ika, pancasila, ketahanan ideologi, pendidikan

ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT

Name : Pamela Cardinale


Study Programme : National Resilience Study
Title : Cultivating Values of Bhinneka Tunggal Ika in The
Education World and the Implication to Ideology
Resilience
Counsellor : 1. Muhammad Syaroni Rofii, S.H.I., M.Si., Ph.D.
2. Prof. Dr. Anhar Gonggong

Bhinneka Tunggal Ika is the motto of the Indonesian nation, reflecting the reality
of Indonesian society, which is highly heterogeneous in terms of ethnicity, culture,
language, and religion, which spreads and develops in various places of the
Nusantara archipelago. Bhinneka Tunggal Ika is interpreted as being different, unity
in diversity, and pleural conditions. The Republic of Indonesia consists of a very
pluralistic society. The plurality includes ethnicity, religion, belief, the regional
culture of origin, regional language, and others. The obstacle is maintaining and
developing diversity while keeping the spirit of togetherness as a nation and state.
Education is the crucial component in growing awareness and beliefs and
commitment to cultivating the values of Pancasila and Bhinneka Tunggal Ika. This
study examined how cultivating the value of Bhinneka Tunggal Ika in the education
world through the National Resilience perspective. This research also studied its
conformity with the applicable laws and regulations. This study uses a qualitative
method with a multidisciplinary approach to national resilience. The results
obtained are awareness of school values continuously maintained and practiced to
become a strong foundation for seeding schools' values. However, public schools
still need strict much attention from the government regarding cultivating the values
of Pancasila and Bhinneka Tunggal Ika. The regulations that apply are ideal, but
the problem lies in the implementation and supervision.

Keywords: bhinneka tunggal ika, pancasila, ideology resilience, education

x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………………... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING …………….…………………..….… iv
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….………... v
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH……………………………… vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH................................................... viii
ABSTRAK................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI............................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR/GRAFIK………… …………….……………………………. xiii
DAFTAR TABEL …………………………………….……………………....……. xiv

BAB I PENDAHULUAN………………….……………………………….….. 1
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………...…... 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………...………. 23
1.3 Pertanyaan Penelitian………………………………....………...... 23
1.4 Tujuan Penelitian…………………………………...…...….…….. 24
1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………….….. 24
1.6 Kebaruan Penulisan…………………………………………..…... 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….….. 27


2.1 Kajian Terdahulu ……………………………………………..…. 27

2.2 Kajian Pustaka………………………………. …………………... 30


2.3 Kerangka Konsep……………………………………..……..….... 30
2.3.1 Konsepsi Ketahanan Nasional……………………………… 30
2.3.2 Kajian Transdisipliner dalam Kompleksitas Ketahanan
Nasional……………………………………………………. 34
2.3.3 Ketahanan Ideologi ……………………………………….... 37
2.3.4 Ketahanan Sosial Budaya………………………... ………... 39
2.3.5 Pendidikan Nasional dalam Menjaga Ketahanan Nasional… 40
2.3.6 Pembangunan Nasional sebagai Fungsi dari Kualitas Hidup 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………….… 45


3.1 Metode Penelitian………………………………………..….……. 45
3.2 Validitas Penelitian………..……………………………….……... 47

BAB IV KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA DALAM


KAITAN KETAHANAN IDEOLOGI………………….. ….................................. 48
4.1 Ketahanan Nasional………………………………………… ..…….. 48
4.2 Kerentanan Nasional…………………………..……………..……... 52
4.3 Gambaran Kondisi Ketahanan Nasional Indonesia ........................... 53

xi
BAB V PENYEMAIAN NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA DI
SEKOLAH-SEKOLAH DI INDONESIA ...........………………………………… 59
5.1 Sekolah Publik……………………………....……………………… 59
SMAN 8 Jakarta……………………………………………………. 59
5.2 Sekolah Swasta………………......………………………..…….….. 64
5.2.1 Sekolah Madania Bogor...... ………...……………………….. 64
5.2.2 Sekolah Menengah Kolese Kanisius Jakarta ………………… 75
5.2.3 SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran ………………………. 78
5.3 Sekolah Guru Kebinekaan……………………………….....………. 89

BAB VI PEMBAHASAN ………………………………………………………. 99


6.1 Pendapat Para Narasumber Ahli…………………………………….. 100
6.1.1 Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA. Dari Kementerian
Agama………………………………………………………… 100
6.1.2 Yudi Latif, Ph.D. Mantan Kepala BPIP, Pakar Aliansi
Kebangsaan………………………………………………….... 102
6.1.3 Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Dosen Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga………………………… 108
6.2 Mempertahankan Sebuah Bangsa – Jatuh Bangun Suatu Bangsa…... 114
6.3 Analisis Studi Kasus dengan Perspektif Ketahanan Nasional………. 119
6.3.1 Input Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal Ika .............…….. 119
6.3.2 Proses Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal Ika .…………… 126
6.3.3 Outcome atau Evaluasi Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal
Ika................................………………………………….…… 129
6.4. Konsistensi dan Kesesuaian dengan Perundang-undangan………… 138

BAB VII KESIMPULAN……………………………………………………….. 140

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 143

LAMPIRAN

BIODATA PENULIS

xii
DAFTAR GAMBAR / GRAFIK

Gambar 1.1 : Peta Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.……………...… 4


Gambar 1.2 : Peta Wilayah Kekuasaan Kerajaan Majapahit………………… 6
Gambar 5.1 : Ilustrasi keberagaman di dalam suatu lingkungan……………. 79
Gambar 5.2 : Rangkuman Dampak Sekolah Guru Kebinekaan dan Guru…... 90
Gambar 5.3 : Profil responden survei dampak Sekolah Guru Kebinekaan...... 92
Gambar 5.4 : Sekolah Guru Kebinekaan dan Pengelolaan Kelas……………. 95
Gambar 5.5 : Sekolah Guru Kebinekaan dan Pengelolaan Sekolah ………… 95
Gambar 5.6 : SGK dalam hidup bermasyarakat .............................................. 96
Gambar 6.1 : Naskah Sumpah Pemuda sebagaimana terpajang di dinding
Museum Sumpah Pemuda, Jakarta ........................................... 114

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Penelitian Terdahulu yang Relevan…………………….....…… 26


Tabel 4.1 : Indeks Demokrasi Indonesia menurut Indikator 2017-2019…….. 53
Tabel 6.1 : Perbandingan Ekosistem dari Contoh-contoh Sekolah……...…… 121
Tabel 6.2 : Rangkuman atas Input Penyemaian Nilai-nilai Bhinneka Tunggal
Ika di Kelima Contoh Sekolah...…………………………….…… 125
Tabel 6.3 : Rangkuman atas Proses Penyemaian Nilai-nilai Bhinneka
Tunggal Ika di Kelima Contoh Sekolah…………….…………… 125
Tabel 6.4 : Rangkuman kekuatan dan kelemahan penyemaian nilai-nilai
Bhinneka Tunggal Ika di Kelima Contoh Sekolah………….…… 131

xiv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebuah bangsa dapat maju dan bertahan lama di era globalisasi tidak cukup
hanya mengandalkan kekuatan negara seperti jumlah penduduk, kekayaan
ekonomi, keuntungan geografis dan sebagainya, melainkan juga harus didukung
oleh jati diri yang kokoh, mengakar kuat dalam kesadaran rakyatnya serta
kreatifitas tinggi dalam menapaki hari depan. Untuk mengkaji jati diri dan daya
tahan Indonesia dalam persaingan global, kita bisa belajar banyak dari pengalaman
bangsa dan sejarah terbentuknya Indonesia.
Membicarakan jati diri dan ruh keindonesiaan, pandangan Soekarno sangat
mengesankan, terutama dalam karya-karya seperti kumpulan pidato-pidato Bung
Karno dalam Buku ‘Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno’. Pemikiran Soekarno
selalu berhasil membawa rasa dan jiwa perjuangan mempersatukan bangsa
Indonesia di era kemerdekaan. Selain itu, pemikiran Soekarno juga tercermin
menarik di dalam buku ‘Bung Karno, Pemimpin, Presiden, Seniman, dari kumpulan
surat-surat Pelukis Dullah kepada istrinya: Bibi Fatimah’ (2019). Buku-buku
tersebut merupakan catatan penting untuk semua anak bangsa sebagai peninggalan
warisan budaya dan juga sebagai informasi berharga sekitar detik-detik awal
berdirinya Republik Indonesia. Buku tersebut memadukan unsur sejarah dan seni,
sehingga, selain bersifat informatif, buku Dullah tersebut juga mengenalkan kita
lebih jauh kepada sosok utama pendiri negeri ini, Bung Karno. Bung Karno begitu
mencintai seni dan kebudayaan Indonesia yang beragam, namun juga senantiasa
menggaungkan ajakan-ajakan agar Indonesia bersatu dan berjuang demi mencapai,
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Bicara jati diri maka tidak akan terlepas dari pembahasan manusianya.
Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas dan bertanggung jawab.
Tuhan menciptakan manusia dengan beragam kepribadian, saling berbeda satu
dengan lainnya. Setiap manusia di muka bumi ini memiliki bakat, minat, sifat,
kelebihan dan kekurangan masing-masing yang berbeda-beda. Ini merupakan
kemajemukan manusia ciptaan Tuhan. Namun, Tuhan juga menciptakan manusia

1
Universitas Indonesia
2

merupakan suatu kesatuan, satu umat manusia, satu kemanusiaan. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa kemajemukan manusia sesungguhnya merupakan bagian yang
tidak terlepaskan dari hakikat kemanusiaan dan rencana Tuhan sendiri.
Kemajemukan harus diterima sebagai kepelbagaian di dalam dan untuk kesatuan
(Darmaputera, 1971, 6-7).
Indonesia yang sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno telah merupakan daerah
tujuan maupun tempat transit para pengembara dari berbagai negara, tentu juga
memiliki berbagai keberagaman. Kemajemukan yang merupakan kenyataan, antara
lain adalah fakta bahwa Indonesia berupa negara kepulauan dengan belasan ribu
pulau yang saling terpisah, sekian banyak suku berbeda, latar belakang etnis dan
kultur, bahasa dan dialek, agama dan kepercayaan baik yang resmi maupun agama
suku dan aliran keagamaan yang tidak resmi (Darmaputera, 1971, 5). Kebinekaan
Indonesia dapat ditarik setidaknya hingga ke 500 tahun sebelum Masehi. Diawali
dari bertemunya arus perjumpaan ras di Nusantara, adanya eksodus langsung dari
Afrika ke Nusantara sekitar 60.000 tahun yang lalu, mengakibatkan terbentuknya
ras Papua Melanesoid. Kemudian berdatangan diaspora Austronesia yang
menyebar ke Indocina termasuk ke daerah Nusantara dan Pasifik. Austro artinya
Selatan, Nesia artinya Bangsa.
Fenomena alam melelehnya es di kutub dengan kecepatan tinggi sekitar
20.000 tahun yang lalu, mencair menggenangi dataran-dataran rendah. Dahulu
tanah Jawa, Kalimantan, Sumatera merupakan kesatuan hamparan dengan Asia.
Fenomena melelehnya es di kutub, penduduk di dataran rendah mengalami yang
dinamakan ‘Out of Sundaland Theory’. Penduduk tersebut bertebaran ke berbagai
tempat, terpencar-pencar. Austronesia yang merupakan bangsa-bangsa selatan
umumnya hidup di kepulauan-kepulauan yang terpencar mulai dari Formosa,
Taiwan dan Kepulauan Nusantara.
Hal ini sesuai dengan pemahaman Dr. Brandes yang pada tahun 1884 datang
ke wilayah Indonesia dan mengatakan banyak kesamaan dengan bangsa-bangsa
pada wilayah yang membentang dari sebelah utara pulau Formosa, sebelah barat
daerah Madagaskar, sebelah selatan yaitu tanah Jawa; Bali, sebelah timur sampai
ke tepi pantai barat Amerika. Pengaruh India memasuki Nusantara juga pada saat
itu. Setelah melelehnya es di kutub, dataran rendah di sekitaran Nusantara pun

Universitas Indonesia
3

menjadi selat, dan penduduk mulai bertebaran mencari tempat tinggal. Dari
diaspora Austronesia hingga Madagaskar di Barat, demikian pula ke sisi timur
hingga ke Kepualauan Timur atau Eastern Islands.
Diaspora Austronesia berdatangan dalam beberapa gelombang, tidak hanya
dalam satu kelompok. Gelombang-gelombang kedatangan ini membentuk suatu
entitas-entitas lokal. Kemudian entitas-entitas tersebut membentuk suatu komunitas
bersama yang sangat egaliter. Dapat dikatakan bahwa ciri Nusantara adalah
berbentuk kepulauan dan bersifat egaliter. Segala sesuatu dirembukkan bersama,
dimusyawarahkan, tidak ada saling menguasai dan tidak ada pengerahan militer
dikerahkan untuk menaklukkan kelompok lain. Demikian kondisi Nusantara pada
awalnya.
Karena berdampingan ras Austronesia dan ras Papua-Melanesia, maka
terjadilah proses kawin silang, melahirkan harta campuran keberagaman. Mayundar
menyatakan bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India,
kemudian menyebar ke Indocina, terus ke daerah Indonesia dan Pasifik. Proses
kebinekaan di bumi Nusantara adalah merupakan proses pertemuan dua ras
tersebut, yang terjadi setidaknya 2.000 tahun yang lalu.
Kemudian kerajaan-kerajaan pertama di Nusantara mulai tumbuh.
Didahului oleh kerajaan Purnawarman, kemudian Kerajaan Sriwijaya memberikan
kekuatan imperium bahari yang kuat. Kerajaan Sriwijaya melakukan perdagangan
internasional dengan Cina dan India. Maka mulailah proses interaksi antar ras, antar
bangsa di pusat-pusat kerajaan seperti Sriwijaya. Sriwijaya kala itu memiliki
kemampuan membangun tradisi, misalkan kemampuan melakukan harmonisasi
ajaran kepercayaan yang berasal dari luar Sriwijaya dengan nilai-nilai lokal.
Berdasar kitab-kitab perguruan Sriwijaya kuno, jika pelajar perantau yang
berkeinginan mendalami agama Buddha dan hendak ke Nalanda, India, maka akan
singgah terlebih dahulu di Kerajaan Sriwijaya. Dari India pun tidak langsung
pulang ke Cina, namun singgah dulu ke Kerajaan Sriwijaya. Kekuatan Sriwijaya
adalah pada kemampuan pribumisasi. Ajaran-ajaran dari luar tersebut selalu dapat
dikawinkan dengan budaya lokal. Ini merupakan bibit-bibit kemampuan kita
mengawinkan unsur luar dengan unsur lokal. Sriwijaya dulu sudah menjadi pusat
ilmu pengetahuan dimana orang dari berbagai latar belakang bangsa, latar belakang

Universitas Indonesia
4

etnis, dapat belajar di Kerajaan Sriwijaya dan menemukan suatu kelebihan.


Kerajaan Sriwijaya mampu memadukan great tradition, tradisi besar, tradisi
dimana suatu agama berasal, misal dari India untuk agama Buddha, dan kemudian
dikawinkan dengan little tradition, yaitu dalam konteks lokal. Dari situ maka
dilahirkan suatu varian pengajaran Buddha yang khas Nusantara.

Gambar 1.1 Peta Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya (Munoz, 2006).


Mulanya, kelompok-kelompok Austronesia hidup damai dalam berbagai
suku, yang mana antar suku tidak saling melakukan penaklukan secara militer.
Namun kemudian horison perdagangan internasional semakin terbuka, dan untuk
meningkatkan efektifitas pengadaan barang, mulai diperlukan struktur wewenang
atau kekuasaan. Perubahan kondisi tersebut memerlukan manajemen rantai-rantai
perdagangan, integrasi jaringan kekuasaan yang semakin luas. Pada kenyataannya,
tradisi Nusantara sejak dahulu adalah egaliter, tidak suka akan kekerasan. Namun
demikian, untuk menjadikan suku-suku lain setia dan memiliki komitmen akan satu
ambisi, maka suku yang ingin memperkuat kekuasaan mulai memerlukan bantuan
legitimasi agama. Selanjutnya kekuatan-kekuatan lokal tersebut menyerap unsur-
unsur agama dari luar, terutama pada saat itu adalah agama Hindu dan Buddha.

Universitas Indonesia
5

Agama Hindu dan Buddha diserap untuk melegitimasi kekuasaan agar suatu
kelompok suku dapat lebih berkuasa atas kelompok suku lainnya tanpa melalui jalur
kekerasan, melainkan melalui legitimasi legenda-legenda dan mitos-mitos.
Mitos-mitos Hindu Buddha tersebut juga dapat memberikan pijakan bagi
formasi kekuasaan dalam rangka memperluas pengaruh. Sejak awal kita ketahui
bahwa Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim atau dikatakan
thalassocracy atau thalattocracy, yaitu kerajaan kelautan, yang tumbuh antara lain
dari aktivitas perdagangan. Kerajaan Sriwijaya kemudian tumbuh melalui
perdagangan dengan Cina dan India. Kerajaan Sriwijaya bahkan menjadi penjaga
lalu lintas perdamaian di lautan, termasuk mampu melakukan pengendalian bajak-
bajak laut yang semula liar. Kerajaan Sriwijaya dalam menjalankan manajemen laut
tanpa menggunakan pemaksaan, penaklukan dilakukan secara damai, dan berhasil
menjadikan kota-kota disana bertumbuh, melakukan aktivitas perdagangan,
berniaga. Hidup harmonis toleran dalam damai merupakan ciri khas Kerajaan
Sriwijaya. Para bajak laut dijadikan polisi lautan, sehingga mendapatkan pekerjaan
rutin dan tidak lagi mengganggu keamanan. Kerajaan Sriwijaya sejak awal sudah
memiliki bibit-bibit sebagai imperium dagang dan bekerjasama dengan Cina dan
India. Kedua pengaruh Cina dan India mampu dikelola oleh Kerajaan Sriwijaya
menjadi suatu harmoni dengan kebudayaan lokal daerah-daerah di Sumatera. Hal
ini menjadikan Sriwijaya semakin diminati sebagai tempat singgah pelajar
internasional dalam memperdalam Buddhisme. Dapat dikatakan, jika ingin
mempelajari agama Buddha berdasar kitab, pergilah ke India. Namun bagaimana
memahami dan mengamalkan isi kitab tersebut, maka perlu dipkraktekkan dalam
lokalitas tertentu. Dalam hal ini Sriwijaya mampu mengadaptasi gagasa-gagasan
Buddhisme dari kitabnya ke dalam konteks lokal, duduk berdampingan antar
bangsa, antar universal lokal. Hal ini terjadi sekitar sejak abad ke-7 hingga abad ke-
12.
Kemudian sekitar abad ke-13 berdirilah Kerajaan Majapahit. Nusantara kala
itu telah menjadi pusat ekspansi persaingan Hindu dan Buddha di India. Persaingan
kekuatan pengaruh Buddha dan Hindu di India telah berlangsung lama. Nusantara
menjadi arena kontestasi pengaruh dua agama di India tersebut, persaingan antara
Buddhisme Mahayana bangsa Syailendra dengan bangsa Sanjaya yang beragama

Universitas Indonesia
6

Hindu. Setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, maka pergeseran aktivitas Nusantara


bergeser ke pulau Jawa. Yang beragama Buddha mendirikan Candi Borobudur,
sedangkan yang beragama Hindu mendirikan Candi Prambanan. Persaingan Hindu
Buddha di dunia telah terjadi sejak abad ke-7 hingga abad ke-15, dan menyebar
hingga ke Indocina, ke Vietnam, Thailand dan masuk ke Nusantara, dan
menjadikan Nusantara sebagai salah satu zona tempur antara kedua ajaran tersebut.
Kedua kekuatan ini bersaing di dalam kawasan Kerajaan Majapahit. Dengan adanya
ketegangan kedua agama ini, maka para resi, para pemikir bijak, para pandito mulai
memikirkan jalan keluar agar kedua ajaran tersebut dapat hidup damai
berdampingan.

Gambar 1.2. Peta Wilayah Kekuasaan Kerajaan Majapahit (Latif, 1997).

Maka mulai muncul para pemikir seperti Mpu Tantular yang menulis buku
Sutasoma ketika sedang berada di Bali. Bali memang merupakan bagian dari
wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Di Kerajaan Majapahit tersebut Mpu
Tantular menulis kitab Sutasoma, yang mempertanyakan perilaku penganut agama
Hindu dan Buddha yang eksklusif dan memiliki pemahaman agama yang harfiah.
Di dalam Agama Hindu juga terdapat pergeseran antara para pemuja Dewa Wisnu
yang dianggap sebagai Dewa Pemelihara dan bersifat melindungi, dengan para
pemuja Dewa Syiwa yang merupakan Dewa Pelebur.

Universitas Indonesia
7

Dewa Syiwa memiliki karakteristik kemampuan melebur yang usang, yang


dianggap tidak layak lagi berada di dunia fana, untuk kembali ke alam asalnya.
Dewa Syiwa juga dikenal sebagai Dewa Kekuatan. Jika karakteristik pemuja Dewa
Wisnu akan cenderung menggunakan soft-power, maka pemuja Dewa Syiwa dapat
dikatakan lebih menggunakan hard-power.
Ketika agama Hindu mulai berkembang dan raja-raja sepuh tidak kunjung
lengser, maka para putera mahkota saat itu memilih menggunakan teologi Dewa
Syiwa yang bersifat pemberontak. Sedangkan teologi Dewa Wisnu yang lebih
bersifat tertib, anti pemberontakan, anti kekerasan, bersifat damai, tentram namun
tidak terlalu berorientasi pada perubahan maupun perkembangan baru. Maka
mulailah kaum Singh yang juga disebut sebagai komunitas Hindu Ksatria menjadi
penganut Dewa Syiwa, dan bersifat lebih agresif memberontak ketentraman
perdamaian. Para bangsawan muda yang pada akhirnya lebih tertarik
mengembangkan teologi Dewa Syiwa bersifat menjebol, menuntut perubahan,
sedangkan teologi Dewa Wisnu bersifat lebih status-quo tenteram menjaga
perdamaian.
Inilah bukti bahwa konstelasi politik dengan menggunakan agama telah
terjadi sejak jaman dahulu kala. Yang dominan di Kerajaan Majapahit adalah
penganut Hindu teologi Dewa Syiwa, walaupun Hindu penganut Dewa Wisnu telah
ada sejak lebih lama sebelumnya, bahkan di berbagai wilayah tidak hanya di
wilayah Majapahit. Teologi Hindu Wisnu telah ada di Kerajaan Jawa Kuno, Kuta,
dan Purnawarman.
Singkat kata, dua kekuatan agama di Kerajaan Majapahit pada masa itu
adalah Hindu Syiwa dan Buddha. Pertanyaannya apakah keduanya dapat hidup
damai berdampingan. Melihat kenyataan pada saat itu bahwa kaum-kaum beragama
yang eksklusif sulit sekali untuk berdamai, bertoleransi hidup berdampingan, maka
hal ini yang menjadi pemicu pemikiran Sutasoma. Sebagai resi ia berpikir dalam
sebuah dialog imajiner. Ia membayangkan dimana kedua pengikut agama tersebut
dapat hidup damai berdampingan di wilayah Kerajaan Majapahit yang mulai
menjadi kosmopolitan masa itu. Sutasoma menulis di dalam bukunya menggunakan
kisah-kisah dari Mahabharata India namun digunakan dalam konteks Kerajaan
Majapahit.

Universitas Indonesia
8

Setelah bertanya kepada seorang penganut mahzab beragama yang eksklusif


kala itu, Sutasoma mendapatkan jawaban bahwa hidup berdampingan damai adalah
hal yang tidak mungkin dikarenakan mereka berbeda. Sutasoma lalu berkata,
mengapa kita menilai perbedaan hanya dari permukaan saja. Bukankah bila
diselami lebih dalam maka kita akan menemukan kedalaman spiritual yang sama
pada hakikatnya. Ibarat kita adalah burung yang terbang meninggi maka kita akan
melihat keseruhan “hutan” yang sama, jika sebelumnya ketika kita berada di bawah
hanya akan melihat berbagai pohon yang berbeda-beda. Sutasoma mengatakan
bahwa sebenarnya Hindu Syiwa dan Buddha adalah “Bhinna ika tunggal ika, tan
hana dharma mangrwa”. Dari situlah istilah Bhinneka Tunggal Ika pertama kali
muncul. Artinya yaitu Hindu Syiwa dan Buddha adalah berbeda itu, ya satu itu,
tidak ada kewajiban/ aturan/ kebenaran yang mendua. Jikalau para pemeluk agama
itu ibarat ranting-ranting kecil sebuah pohon besar, maka mereka pun kemudian
dapat mendekap pohon besar tersebut dengan akar menghunjam dalam, dan pucuk
menjulang tinggi. Maka yang terlihat adalah apapun perbedaan di setiap ranting
tersebut, namun sebenarnya semua agama memiliki tujuan yang sama, yaitu
pencarian kebenaran. Yang mendua, men-tiga adalah ranting-rantingnya,
sedangkan pohon pencarian kebenarannya tetap tunggal. Demikianlah pemikiran
Sutasoma. Sejauh yang menganut Hindu Syiwa dan yang menganut Buddha
memiliki pohon kebenaran yang sama, yakni keindahan, keadilan, maka tidaklah
perlu saling bertentangan.
Demikianlah awal dari sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Sesanti tersebut
bukanlah tanpa basis sosial. Basis sosialnya untuk memperkuat relasi perbedaan
agama di Kerajaan Majapahit, dimana yang berbeda, agama bisa dipecah-pecah
dalam suatu negara yang sama. Terlebih lagi setelah itu Kerajaan Majapahit juga
kedatangan ajaran agama Islam dari Demak. Para penganut agama Islam mulai
memasuki jantung wilayah Kerajaan majapahit. Namun Majapahit kala itu telah
memiliki doktrin agama sipil (civil religion). Berawal dari pemahaman akan
Bhinneka Tunggal Ika, Majapahit mulai membentuk agama sipil. Bagaimanapun
agama-agama tersebut saling berbeda namun dengan moralitas yang sama tetap
dapat dipersatukan dalam kehidupan sipil, kehidupan bermasyarakat.

Universitas Indonesia
9

Dengan demikian, kenyataan akan kemajemukan Indonesia selain


merupakan kekayaan dan kebesaran Indonesia, namun juga merupakan persoalan
yang harus dipecahkan. Secara politis formil masalah kemajemukan ini sudah
memiliki solusi, yaitu dengan kesepakatan Indonesia tergabung dalam negara
kesatuan yang memiliki satu bahasa nasional, satu pemerintah nasional, satu
bendera nasional, satu lambang nasional dan sebagainya. Permasalahan selanjutnya
adalah dalam praktisnya, bagaimana implementasi yang formil tadi dalam sikap
hidup keseharian, bagaimana keduanya menjadi landasan kemajuan masyarakat
Indonesia seluruhnya? Bagaimana kita harus menyikapi kemajemukan tersebut?
Kemajemukan di dalam masyarakat juga harus diterima bukan sebagai sesuatu yang
dengan sengaja diciptakan, tetapi sebagai sesuatu yang sudah ada, dan yang
diperhadapkan kepada kita sebagai suatu hasil proses sejarah yang berabad-abad
sebagaimana penjabaran sebelumnya. Sejarah membuktikan bahwa masyarakat
nusantara sejak lama telah terdiri dari bermacam-macam suku, bahasa dan adat
istiadat, dan hidup tersebar di ribuan pulau. Kita bangsa Indonesia menerima
demikian, keragaman tersebut, kemajemukan tersebut sebagai hasil dari proses
alamiah dan sejarah, yang sudah merupakan kenyataan bangsa ini. Demikian pula
dengan keragaman agama serta aliran kepercayaan yang berbeda beda, juga
merupakan kenyataan hasil proses alamiah dan sejarah yang kita terima
sebagaimana adanya. Bukanlah sesuatu yang disengaja bahwa kenyataan Aceh,
Jawa Barat dan lainnya yang mayoritas Islam, sedangkan Sulawesi Utara, Nusa
Tenggara Timur, dan sebagainya mayoritas beragama Kristen, ataupun Bali yang
mayoritas Hindu Bali. Indonesia perlu bersyukur dengan kenyataan kekayaan
keberagaman yang dimiliki secara alamiah. Indonesia yang berupa negara
kepulauan dapat tetap bersatu menjadi negara bangsa Indonesia, dan tetap utuh
hingga kini, merupakan hal yang patut disyukuri serta dijaga.
Seorang ahli geografi Inggris, James Richardson Logan, menyebut
‘Indonesia’ merujuk pada kepulauan yang luas, dengan ribuan pulau, di ujung
tenggara daratan Asia. Kombinasi 'India' dan ‘nêsos’ (Bahasa Yunani untuk
menyebut 'pulau'), Indonesia berarti 'pulau-pulau India'. Inggris menggunakan
istilah 'India Jauh' untuk menggambarkan wilayah Indonesia; orang Belanda
menyebutnya dengan istilah 'Hindia Belanda'. Max Muller mengatakan bahwa

Universitas Indonesia
10

bangsa Indonesia berasal dari Asia Tenggara, demikian pula Van Heine Geldern
beranggapan bangsa Indonesia berasal dari Asia. Sedangkan Prof. Dr. H. Kern
mengatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Champa, Kochin Cina,
Kamboja. Drs. Moh. Ali mengatakan bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan.
Prof. Dr. Kroom meyakini bahwa asal-usul bangsa Indonesia berasal dari Cina
Tengah, dikarenakan mengamati sumber-sumber sungai besar yang menyebar ke
wilayah Indonesia pada tahun 2.000 hingga 1.500 sebelum Masehi. Berbeda dengan
Prof. Kroom, Willem Smith memperhatikan penggunaan bahasa dalam menyusuri
asal-usul bangsa Indonesia. Brown (2003) mengungkapkan fakta bahwa Indonesia
terdiri lebih dari 13.600 pulau, dengan beragam agama kepercayaan, juga beragam
bahasa dan kebudayaan lokal.
Berbagai kajian etnologi maupun antropologi juga mengemukakan fakta
keanekaragaman dan kebudayaan Indonesia. Sejak abad ke-16 berbagai laporan
perjalanan telah mendeskripsikan adat-istiadat dan suku-suku bangsa tertentu di
Kepulauan Nusantara, demikian dikatakan Swasono (2006). George Windsor Earl,
seorang sarjana Inggris, pada tahun 1850 pertama kali memperkenalkan istilah
“Indonesia” melalui sebutan “Indu-nesians” dalam konteks etnologis. Latif (2011)
menginformasikan bahwa James Richardson Logan, rekan Earl kemudian
melanjutkan, tidak dalam artian etnografis, melainkan dalam artian geografis. Pada
rentang tahun 1884-1894 seorang etnolog Belanda, Adolf Bastian, seorang pakar
kelahiran Jerman mempopulerkan istilah Indonesia dalam buku karyanya,
‘Indonesien oder Die Inseln des Malayischen Archipel’ (Indonesia atau Pulau-pulau
di Kepulauan Melayu), baik dalam artian geografis maupun kultural secara luas
(Elson, 2008).
Setelah istilah Indonesia ini semakin kerap digunakan, para aktivis
mahasiswa dan kalangan intelegensia, baik yang berada di Belanda maupun di
Indonesia mulai tergerak melakukan gerakan-gerakan nasional. Yamin
menjabarkan gerakan Indonesia melawan (penjajahan) diawali masa sebelum tahun
1908, masa setelah tahun 1908, zaman perintis (1908-1927), zaman penegas (1927-
1938), zaman pencoba (1938-1942), hingga zaman pendobrak (1942-1950) yaitu di
masa penjajahan Jepang, dan zaman pelaksana (1950-1960). Segelintir kaum
intelektual berperan aktif menggerakkan proses bersatunya Indonesia, yang berawal

Universitas Indonesia
11

dari beragam suku-bangsa, beragam bahasa, beragam kebudayaan dan kepercayaan,


serta beragam adat-istiadat, hingga kemerdekaan digaungkan pada tahun 1945.
Berkebalikan dengan beberapa contoh di negara lain, yang secara geografis
merupakan satu kesatuan tanah daratan, bahkan satu etnis dan satu bahasa, namun
justru tidak sedikit yang kemudian menjadi terpecah belah.
Para pendiri bangsa Indonesia memiliki pemikiran untuk menyatukan
wilayah-wilayah yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dalam suatu Negara
Indonesia. Namun untuk memproklamirkan suatu negara merdeka, lebih dahulu
harus dipenuhi tiga syarat. Pertama, harus mempunyai batasan wilayah yang tegas.
Para pendiri bangsa sepakat pada kesimpulan negara yang akan dibentuk
berwilayah seluruh Indonesia, dari Sabang sampai ke Merauke. Syarat yang kedua,
harus ada rakyatnya. Kalau tidak ada rakyatnya tidak bisa menjadi negara.
Kenyataan bahwa rakyat Indonesia terserak di pulau-pulau Indonesia. Walaupun
rakyat Indonesia berdiam di ribuan pulau, ternyata Indonesia telah mempunya rasa
satu bangsa. Bahkan pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda pemudi Indonesia telah
mengucap ikrar pemuda yang termasyhur. Kenyataan ini menambah keyakinan
para pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai satu bangsa. Syarat ketiga
adalah adanya satu pemerintah pusat, hanya satu pemerintahan dan tidak lebih.
Pemimpin-pemimpin dari seluruh Indonesia berkumpul di bulan Agustus tahun
1945 dan sepakat untuk membentuk pemerintahan pusat. Mereka sepakat bahwa
yang dinamakan Indonesia ialah Tanah Air Indonesia yang terserak kepulauannya
dari Sabang sampai ke Merauke dengan segala keragaman yang telah dimilikinya.
Pada tahun 1950 Bung Karno menyelenggarakan sayembara menciptakan
gambar lambang negara Republik Indonesia. Ki Hadjar Dewantara ditunjuk sebagai
ketua panitia sayembara tersebut. Panitia Sayembara memutuskan dua hasil terbaik
yaitu hasil dari Sultan Hamid II dan Mohamad Yamin. Selanjutnya sidang parlemen
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 10 Februari 1950 memutuskan
menerima sketsa karya Sultan Hamid II sebagai pemenang sayembara. Namun
demikian, karya Sultan Hamid II tersebut masih melalui berbagai tahap
penyempurnaan.
Pelukis Dullah menerima tugas besar dari Bung Karno, yaitu mengubah
gambar lambang negara Garuda hasil karya Sultan Hamid II. Gambar Garuda

Universitas Indonesia
12

lambang negara Republik Indonesia pada awalnya tidak seperti yang kita ketahui
sekarang. Bung Karno memerintahkan Pelukis Dullah antara lain untuk mengubah
gambar bagian jari-jari kaki Garuda. Jari kaki Garuda yang mencengkeram tulisan
“Bhinneka Tunggal Ika” pada awalnya satu jari di depan sedangkan tiga jari lainnya
di belakang, atau terkesan mencengkeram pita dari arah belakang pita. Bung Karno
menginginkan diubah menjadi tiga jari di depan dan satu jari di belakang, sehingga
mengesankan mencengkeram pita dari arah depan, menambah garang dan kesan
berani pada Burung Garuda (Dullah, 2019). Selain itu, proses perbaikan lambang
juga menambahkan jambul di kepala Burung Garuda (Virdianti, 2014). Sebagai
semboyan bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika terpampang di dalam lambang
negara Garuda Pancasila, tertulis di pita yang dicengkeram oleh kaki Burung
Garuda. Lambang negara Indonesia lengkap dengan semboyan ‘Bhinneka Tunggal
Ika’ telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang
Lambang Negara (Pursika, 2009). Selanjutnya Soekarno menambahkan interpretasi
terhadap lambang negara tersebut, berlatar belakang tulisan karya Sutasoma. Istilah
‘Bhinneka Tunggal Ika’ bermula dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.
Bhinneka Tunggal Ika menegaskan harmoni antara kebinekaan dan ketunggalan,
antara kepelbagaian dan kesatuan, antara hal banyak dan hal satu, atau antara
pluralisme dan monisme (Pursika, 2009).
Kemudian apakah yang menjadi kekuatan perekat kehidupan berbangsa
sehingga Indonesia akan tetap tegak berdiri di tengah arus globalisasi dan
internasionalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ataukah bangsa ini tengah
mengalami perubahan karakter? Atau bahkan apakah memang bangsa ini belum
terbentuk secara solid karakternya sejak kemerdekaan? Sekali lagi, apakah bangsa
ini, ibarat pohon besar, memiliki akar tunggang yang menghunjam dalam sehingga
tak mudah roboh ketika dihantam badai? Ataukah sekedar akar serabut?
Kehidupan berbangsa dan bernegara bukan semata produk alamiah. Dalam
sejarah selalu terdapat blind spot (titik buta/ kelemahan) dalam setiap pergantian
generasi. Ada empat karakter generasi, yaitu generasi pendiri, generasi pembangun,
generasi penikmat, dan generasi perusak (Khaldun, 1958). Keempat tipologi
tersebut bisa kita amati, lihat dan saksikan. Termasuk juga dalam perjalanan pasang
surut Bhinneka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa telah berjuang merumuskan dan

Universitas Indonesia
13

memperjuangkan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, serta Bhinneka


Tunggal Ika sebagai semboyan. Lalu kita melihat sekelompok generasi penikmat
dan perusak Pancasila ketika negara yang telah tegak berdiri dan memiliki sumber
daya alam melimpah ini, namun gagal mengembangkan kualitas sumber daya
manusianya dan kultur serta peradaban politik sebagaimana yang digariskan oleh
Pancasila.
Prof. Mr. Drs. Notonagoro mengatakan “Paduka Yang Mulia (Soekarno)
adalah pencipta Pancasila dalam asas dan pengertiannya yang tetap, sebagai dasar
filsafat negara Republik Indonesia terlepas dari susunan kata-kata yang tertentu
dalam sebuah undang-undang dasar, kata-kata mana mungkin akan agak lain lagi
dalam undang-undang dasar negara kita yang akan disusun oleh konstituante di
kemudian hari.” Bung Karno yang pertama kali melahirkan dan mengusulkan
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat pada
tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK). Paduka Yang Mulia sendiri menamakannya “dasar-dasar”,
“philosophische grondslag”, “Weltanschauung”, di atas mana didirikan Negara
Indonesia, yang tersusun atas: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau
perikemanusiaan, 3. Mufakat atau demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial, dan 5.
Ketuhanan yang berkeadaban, Ketuhanan Yang Maha Esa (Soekarno, 2017). Jadi,
berdasar buku tersebut dikatakan bahwa pencipta Pancasila itu tidak lain daripada
Bung Karno sendiri, sebagai ilham yang timbul dari ujung hati sanubarinya, yang
meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno. Pancasila bukan suatu
konsepsi politis, melainkan sebuah hasil perenungan jiwa yang dalam. Pancasila
menjelaskan serta menegaskan corak-warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa
yang beradab, bangsa yang berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi keluhuran
dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya
dengan dasar perikemanusiaan yang universal, meliputi seluruh alam kemanusiaan
yang seluas-luasnya, pula dalam arti kenegaraan pada khususnya. Pancasila
merupakan penjelmaan cita-rindu-kalbu bangsa Indonesia. Bung Karno dalam
pidatonya ketika menerima gelar doktor honoris causa sebagai penggali Pancasila
oleh Universitas Gajah Mada, 19 September 1951 di Yogyakarta mengutarakan
bahwa dalam hal Pancasila, ia sekedar menjadi perumus perasaan-perasaan yang

Universitas Indonesia
14

telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia – sekedar pengutara
keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia turun-temurun (Soekarno,
2017).
Sejarah mencatat adanya beberapa rumusan Pancasila yang pernah ada.
Rumusan-rumusan Pancasila tersebut berbeda satu dengan lainnya, namun terdapat
juga yang sama. Rumusan pertama adalah yang dari Soekarno sebagaimana
diungkapkan pada tanggal 1 Juni 1945 tertulis di atas. Kata ‘Pancasila’ sendiri
hanya satu kali digunakan oleh Soekarno, dan selanjutnya yang disebutkan hanya
butir-butirnya saja, tidak lagi disebut sebagai Pancasila. Jadi, fakta menunjukkan
memang Soekarno yang merumuskan dan menggunakan istilah Pancasila, lalu
setelah menjadi konsensus, kata Pancasila tidak lagi disebut-sebut, melainkan
hanya butir-butirnya saja.
Soemardjo (1965) menjabarkan tiap-tiap rumusan sebagai berikut:
Rumusan kedua pada Piagam Jakarta1 tanggal 22 Juni 1945, berbunyi
1. Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknja
2. Kemanusiaan jang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam
permusjawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial
Rumusan ketiga pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar tahun 19452, berbunyi
1. Ketuhanan Jang Maha Esa
2. Kemanusiaan jang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam
permusjawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial
Rumusan keempat pada Mukaddimah Konstitusi RIS (Republik Indonesia
Serikat) tahun 1949, berbunyi
1. Ketuhanan Jang Maha Esa
2. Peri – Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerkjatan
5. Keadilan Sosial

1
Piagam Jakarta adalah sebenarnya Pancasila yang merupakan hasil rumusan kesepakatan Panitia
Sembilan, namun oleh M. Yamin diberi nama Piagam Jakarta.
2
Ini adalah rumusan tanggal 18 Agustus 1945, yang merupakan hasil dari Rapat Panitia BPUPKI.
Rumusan ini yang kemudian disahkan sebagai bagian dari alinea keempat UUD RI 1945. Rumusan
ini yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.

Universitas Indonesia
15

Rumusan kelima pada Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara


tahun 1950, bentuknya sama dengan Pancasila di dalam Mukaddimah
Konstitusi RIS. UUD Sementara ini dipakai sejak tahun 1950 sampai tahun
1958.
Rumusan keenam yang terdapat dalam pidato-pidato Bung Karno, antara
lain pada pidato tanggal 30 September 1960 di Sidang PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) New York, berbunyi
1. Ketuhanan Jang Maha Esa
2. Nasionalisme
3. Internasionalisme
4. Demokrasi
5. Keadilan Sosial
Pancasila sebagaimana diucapkan Bung Karno dalam rapat Pancasila
tanggal 16 Maret 1958 di Bandung berbunyi; Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dua, Kebangsaan Indonesia yang Bulat. Ketiga, Perikemanusiaan. Keempat,
Kedaulatan Rakyat. Dalam pidatonya tanggal 5 Juli 1958 di Istana Negara, Jakarta,
Bung Karno mengatakan bahwa perjuangan harus didasarkan pada persatuan
bangsa. Untuk itu, perlu dukungan dari seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk
atau mengekalkan persatuan yang menjadi dasar fondasi yang kuat kekal dan abadi
dari negara. Mempersatukan rakyat Indonesia sulit sekali dilakukan jika tidak
didasarkan atas Pancasila. Muhamad Yamin mengatakan, betapa banyaknya
macam agama di Indonesia, betapa banyaknya aliran pikiran, golongan dan suku.
Jika tidak diberikan satu dasar yang rakyat Indonesia bersama-sama berpijak di
atasnya, bagaimana mungkin dapat mempersatukan keragaman tersebut. Itulah
Pancasila, yang menjadi satu dasar pemersatu bangsa. Bila kita bicara Bhinneka
Tunggal Ika maka tidak dapat terlepas dari pembahasan mengenai Pancasila. Dalam
kesempatan tersebut Bung Karno menguraikan Pancasila dengan menyebutkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan Indonesia yang Bulat,
Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial.
Bangsa yang tidak mempunyai geloof (iman), bangsa yang tidak
mempunyai belief (kepercayaan), bangsa itu tidak bisa berdiri. Maka bangsa
Indonesia harus mempunyai kepercayaan, larger than the nation itself (lebih besar
dari bangsa itu sendiri) berupa Pancasila. Pancasila yang kita gunakan sekarang
adalah Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila sebagai
alat pemersatu bangsa Indonesia, karena tiap sila memberikan tempat yang layak
bagi semua golongan, aliran dan agama. Bersatu berarti ingin hidup bersama-sama

Universitas Indonesia
16

dengan orang lain. Hidup bersama-sama dengan orang lain berarti saling
memperkuat, bukan sebaliknya, saling melemahkan. Hanya dengan hidup bersama
dengan orang lain atau hidup bermasyarakat, manusia dapat menyempurnakan
dirinya. Manusia bisa menjadi berguna, menjadi terpandang dikarenakan kehadiran
manusia-manusia yang lain. Sebagaimana ikrar yang diucapkan pada Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, yang mendahului semangat cita-cita persatuan rakyat di
dalam teritori Indonesia. Sumpah Pemuda dianggap sebagai kristalisasi semangat
untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara Indonesia, berbunyi:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang
satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa
persatoean, bahasa Indonesia.
Ikrar pertama dan ketiga dapat kita katakan telah tercapai, kita sudah
memiliki tanah air Indonesia yang jelas tegas batas-batas geografisnya, dan juga
kita telah memiliki Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun apakah cita-
cita akan adanya bangsa yang satu, yaitu Bangsa Indonesia telah tercapai.
Pada kenyataan sekarang, terdapat fenomena meningkatnya politik identitas
dalam proses demokrasi di Indonesia. Hasil riset Puskapol UI menunjukkan bahwa
adanya kapitalisasi berbagai isu-isu identitas, terutama isu agama, untuk meraih
suara pemilih, menyerang kubu lawan, membingkai isu ataupun menggiring opini
publik dalam PEMILU 2019 (Puskapol UI, 2019). Demikian pula adanya orientasi
politik identitas dan representasi politik yang mempengaruhi proses demokrasi pada
kasus PILKADA 2018-2022 (Nasrudin, 2018). Indonesia merupakan negeri paling
majemuk di dunia. Keragaman yang sangat tinggi ini menyimpan potensi
disintegrasi yang juga sangat tinggi. Masih terus ditemui berbagai kejadian bahkan
berupa peraturan di beberapa daerah yang mencederai NKRI dan bertolak belakang
dengan kebinekaan yang menutup ruang perjumpaan antaridentitas yang berbeda
dan memunculkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam
melihat identitas yang berbeda (Kementerian Agama RI, 2019).

Universitas Indonesia
17

Pada masa sekarang ini, penulis yang dapat dikatakan paling aktif
menghidupkan kembali penggalian-penggalian terhadap Pancasila adalah Yudi
Latif. Buku Revolusi Pancasila (2015) karya Yudi Latif merupakan jendela atau
ajakan untuk mengkaji tema besar yang terkait dengan peran vital Pancasila dalam
kehidupan berbangsa, di masa kini. Pertama, kita diajak untuk melihat kembali
realitas sosial, budaya dan politik nusantara pada waktu itu yang telah mendorong
munculnya tekad, urgensi serta ketajaman intuisi para pendiri bangsa yang telah
berhasil merumuskan Pancasila. Kedua, dari intuisi itu lalu mendorong munculnya
tahapan perjuangan ideologisasi Pancasila sebagai kekuatan pemersatu dan
panduan ideologis berbangsa dan bernegara. Ketiga, tahapan institusionalisasi atau
legalisasi politik Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara. Keempat, ini
aspek yang masih sangat lemah, proses internalisasi bagi aparat pemerintah sebagai
pengelola negara. Kelima, memasuki agenda perumusan strategi dan program aksi
untuk melangkah ke depan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan.3
Dikatakan Fukuyama dalam bukunya, Identity; bahwa terdapat kebutuhan
dalam diri manusia akan pengakuan identitas, dan inilah yang terjadi dan digunakan
dalam politik dunia sekarang. Kebangkitan politik identitas dalam demokrasi liberal
modern merupakan salah satu ancaman utama yang jika tidak diatasi dengan baik
dapat menghancurkan diri kita sendiri dalam kemelut konflik berkelanjutan
(Fukuyama, 2018). Kebutuhan akan pengakuan yang setara ini dapat dengan lebih
mudah diakomodir dari pengakuan atas superioritas kelompok. Politik identitas
pada praktiknya terbagi dua aliran; yang menuntut pengakuan atas martabat
individu, dan yang menuntut pengakuan atas martabat kolektivitas. Kenyataan ini
yang pada dasarnya juga melandasi nasionalisme dan identitas nasional, namun
juga oleh beberapa aktor politik digunakan untuk memecah belah.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, identitas turut berperan
menyatukan bangsa ini. Kesamaan Bendera Nasional Merah Putih, kesamaan
Bahasa Indonesia, kesamaan Lagu Kebangsaan, bahkan kesamaan fisik
masyarakatnya merupakan identitas bangsa Indonesia. Identitas inilah yang
membentuk nasionalisme dan merupakan modal utama dalam menjaga Ketahanan

3
Hasil wawancara dengan Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional
Indonesia, 14 Juni 2020.

Universitas Indonesia
18

Nasional. Namun identitas tidaklah merupakan sesuatu yang statis atau final.
Identitas masih dapat bergerak dinamis dan membentuk penyesuaian kembali.
Ibarat pedang bermata dua, identitas dapat menyatukan bangsa namun juga dapat
memecah belah. Timbulnya berbagai kepentingan dapat membentuk identitas-
identitas baru. Identitas dapat terbentuk sebagai hasil dari kepentingan yang
diciptakan seperti identitas akibat faham sentrisme, baik etnosentrisme,
politiksentrisme, religisentrisme, dan lain sebagainya. Kebinekaan yang merupakan
takdir bagi Indonesia akan terancam bila politik identitas yang dikarenakan faham
sentrisme ini semakin menguat. Menajamnya berbagai perbedaan kepentingan dan
faham sentrisme merupakan ancaman terhadap integrasi nasional, yang tentu juga
mengancam Ketahanan Nasional. Pola pikir dan sikap mental akan kesadaran
kebinekaan Indonesia, serta komitmen akan menjaga persatuan kesatuan negeri ini
menjadi sangat penting. Untuk itu perlu kita kembali ke belakang menengok sejarah
dan hakikat akan kebinekaan Indonesia yang terajut dalam kesatuan Negara
Republik Indonesia. Dengan demikian akan terbuka pemahaman latar belakang
akan kondisi terkini dan kemudian mampu melihat prospek di masa depan.
Kenyataan ini merupakan latar belakang yang menjadi bahan pemikiran penelitian
ini, sehingga ditetapkan tema tesis mengenai Bhinneka Tunggal Ika, yang
merupakan bagian dari Pancasila.
Pancasila sebagai Cara Hidup Manusia Indonesia
Manusia merupakan makhluk sosial, yang dalam hidupnya selalu
berkelompok bersama manusia lainnya. Dalam menjalani kehidupan bersama
kelompoknya, manusia membentuk budaya dan cara hidup (way of life) yang
berawal dari gagasan-gagasan dan berbagai keyakinan hidup. Gagasan dan
keyakinan yang dijadikan cara hidup dilanjutkan secara turun-temurun dari nenek
moyang hingga ke anak cucu. Cara hidup, gagasan dan keyakinan nilai-nilai yang
melandasinya, serta pengetahuan yang menjadi kebijaksanaan lokal (local wisdom)
tersebut, disebut dengan kebudayaan. Manusia Indonesia yang terserak dari Aceh
hingga Papua memiliki keragaman kebudayaan lokal. Kebudayaan-pun merupakan
hal yang dinamis, terus berkembang, berubah mengikuti jaman dan mendapatkan
berbagai pengaruh atas berbagai gagasan-gagasan yang tidak kasat mata, baik dari
pemikiran manusia di dalam kelompoknya maupun mendapatkan pengaruh dari

Universitas Indonesia
19

luar kelompoknya, bahkan dari luar bangsanya. Pendidikan merupakan bagian dari
kebudayaan. Pendidikan menggabungkan gagasan-gagasan dan nilai-nilai, baik
yang diturunkan dari nenek moyang maupun ilmu pengetahuan yang didapat dalam
masa perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Pancasila adalah cara hidup, sebagai rangkuman berbagai kebudayaan
manusia Indonesia yang memilih bersatu menjadi Bangsa Indonesia. Pancasila
mencakup nilai-nilai, gagasan-gagasan, pengetahuan bagi manusia Indonesia
sebagai cara hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila dibentuk oleh nilai-
nilai yang hidup dan berkembang di tanah tumpah darah kita. Sejak jaman dahulu
manusia cenderung mencari kebenaran mutlak, menggapai Tuhan Yang maha
Benar, mendekati Tuhan, “Berketuhanan” sebagai jawaban terakhir terhadap
berbagai teka-teki alam, misteri hidup dan permasalahan kehidupan. Manusia sejak
jaman dahulu kala juga membedakan dirinya dengan makhluk-makhluk lainnya,
“Kemanusiaan” yang karena itu justru merupakan kewajaran manusia itu sendiri,
yaitu kebudayaan, adab. Sejak jaman Aristoteles para filsuf membahas “Keadilan”
baik dalam artian egaliter maupun dalam artian proporsional, yang merupakan
perwujudan dari “Kemanusiaan” dan “Ketuhanan”. Pancasila adalah hasil galian
khazanah budaya asli Indonesia sendiri, yang oleh MPR dalam keputusannya
tentang Ekaprasetia Pancakarsa menyatakan bahwa Pancasila merupakan
sekaligus pandangan hidup Bangsa dan Negara Republik Indonesia (Joesoef, 2004,
12). Bila Pancasila telah diterima dalam tingkat politisi legislatif secara bulat-bulat
sebagai satu-satunya asas bermasyarakat, maka selanjutnya menjadi tanggung
jawab politisi eksekutif untuk mewujudkan pembangunan bangsa sebagai
pengamalan Pancasila (Joesoef, 2004, 21-22).
Suatu bangsa memerlukan landasan falsafah bagi kelangsungan hidupnya
yang sekaligus berfungsi sebagai dasar dan cita-cita atau tujuan nasional yang
hendak dicapai. Falsafah tersebut dapat diberikan istilah lain misalnya ideologi,
falsafah negara, pandangan hidup dan pandangan dunia, rukun negara, landasan riil
dan sebagainya (Lemhannas, 1974, 24). Pengertian ideologi adalah “Perangkat
prinsip pengarahan (guiding principles) yang dijadikan dasar serta memberikan
arah dan tujuan untuk dicapai di dalam melangsungkan dan mengembangkan hidup
dan kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.” Ideologi juga berarti “suatu

Universitas Indonesia
20

sistem nilai, yaitu serangkaian nilai yang tersusun secara sistimatis dan merupakan
kebulatan ajaran atau doktrin” (Lemhannas, 1974, 24).
Ketahanan Ideologi merupakan bagian dari Ketahanan Nasional. Dikatakan
bahwa (Hanita, 2020, 180) Ketahanan Nasional suatu bangsa mencakup Ketahanan
Ideologi, Ketahanan Politik, Ketahanan Sosial Budaya, Ketahanan Pertahanan
Keamanan dan Ketahanan Aspek Alamiah. Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal
Ika secara khusus ataupun Pancasila secara lebih luas merupakan bagian dari aksi
menjaga Ketahanan Ideologi dan Ketahanan Sosial Budaya. Pancasila sebagai satu-
satunya asas, ideologi bangsa Indonesia harus dijaga agar tahan dari segala
ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari luar negeri maupun dari
dalam negeri. Menurut Suryohadiprodjo, Ketahanan sosial budaya memiliki
pengaruh besar terhadap sikap hidup dan perilaku masyarakat Indonesia dalam
berbagai kegiatannya sehari-hari (Hanita, 2020, 181). Yang dimaksud dengan
kebudayaan adalah, segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika),
kemauan (etika) serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan
kepribadian manusia, perkembangan kepribadian manusia, perkembangan
hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan manusia, hubungan
manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan yang Maha Esa
(Joesoef, 2004, 6). Kebudayaan diartikan sebagai suatu pilihan hidup berhubung
penghayatan kebudayaan, yang adalah penghayatan nilai-nilai, membantu manusia
untuk menilai, untuk meninjau secara tepat sikapnya terhadap dirinya sendiri serta
terhadap dunia di luar dirinya, untuk membuat pilihan dengan kebebasan yang
semakin mantap (Joesoef, 2004, 7).
Membentuk perkembangan kepribadian manusia dan juga menanamkan
nilai-nilai hidup dengan ideologi bangsa hanya dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pembangunan nasional tidak hanya bicara pembangunan negara, namun konsep
ketahanan nasional sekarang juga menyodorkan konsep pembangunan bangsa.
Konsep ini sejak jaman Orde Baru dikatakan sebagai nation and character building
(membangun karakter dan membangun bangsa). Pendidikan merupakan kunci
penting jika suatu bangsa ingin membangun masyarakatnya, membangun karakter
bangsa dan menjaga Ketahanan Ideologi yang dengan demikian juga menjaga

Universitas Indonesia
21

Ketahanan Nasional. Pendidikan juga merupakan upaya dalam mencegah konflik


dalam kehidupan masyarakat multikultural, masyarakat yang beragam.
Budaya Indonesia pada hakekatnya adalah satu, sedangkan corak ragam
budaya yang ada menggambarkan kekayaan Budaya bangsa yang menjadi modal
dan landasan pengembangan Budaya bangsa seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat
dinikmati oleh bangsa. Hal ini merupakan rumusan Lemhannas dalam Perwujudan
Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan budaya (Sutopo, n.d., 7).
Melihat sejarah Nusantara, keragaman agama Hindu dan Buddha di Kerajaan
Majapahit pada akhirnya dapat diatasi dengan kesepakatan bersama menjalani civic
religion, nilai-nilai agama yang tersirat dalam suatu bangsa, kesamaan nilai dari
setiap agama. Demikian pula dalam menjaga Ketahanan Budaya, negara perlu
membangun civic culture, kesamaan budaya nasional yang merupakan hasil
konsensus, yang menerima keragaman, dimoderasi berdasarkan komunikasi dan
persuasi. Nilai-nilai kebudayaan berupa nasionalisme, persatuan, kepribadian
nasional dan perdamaian merupakan unsur-unsur di dalam civic culture yang harus
terus dibangun dan dijaga. Maka dari itu negara Indonesia memerlukan pendidikan
yang memperkuat wawasan kebangsaan dan karakter kebangsaan. Pendidikan tidak
hanya berkaitan dengan explicit knowledge, atau berupa ilmu-ilmu eksakta seperti
matematika, kimia dan lain sebagainya yang menekankan kemampuan kognitif.
Pendidikan juga membutuhkan tacit knowledge, yang dapat mencakup personal
wisdom (kebijaksanaan diri), pengalaman, wawasan, dan intuisi. Dalam menjaga
Ketahanan Nasional, pendidikan merupakan unsur yang sangat penting, dan
pendidikan yang dimaksud tidak hanya pendidikan formal kognitif namun juga
pendidikan karakter bangsa, pendidikan kebangsaan yang membentuk civic values,
budaya kewargaan, nilai kewargaan.
Wawasan Nusantara dikatakan oleh Mayjen. TNI (Purn.) Rustamadji
Sutopo sebagai Satu Kesatuan Budaya dengan penjelasan; (1) Satu perwujudan
Budaya Nasional atas dasar azas “Bhinneka Tunggal Ika”; (2) Satu tertib sosial dan
tertib hukum (Sutopo, n.d., 2). Pasal 32 UUD 1945 berbunyi “Pemerintah
memadjukan kebudajaan nasional Indonesia” (Yamin, n.d., 93). Dalam
penjelasannya, dikatakan “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul
sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan

Universitas Indonesia
22

asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh


Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru
dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusian bangsa
Indonesia.” Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa budaya sebagai buah budi
manusia, adalah merupakan perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat yaitu
alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) (Joesoef, 2004).
Beberapa fakta di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai Bhinneka
Tungga Ika masih banyak dicederai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Contoh yang terkini adalah adalah Sekolah Negeri di Padang yang mewajibkan
siswinya mengenakan jilbab, hal ini tidak dapat dibenarkan, terlebih lagi bahkan
mewajibkan juga bagi siswi non-Muslim. Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat
Adib Alfikri mengatakan peraturan wajib jilbab ada sejak zaman Wali Kota Padang
Fauzi Bahar tahun 2005. Lewat Instruksi No.451.442/BINSOS-iii/2005, wali kota
mewajibkan jilbab kepada siswa muslim, tapi dalam praktiknya sekolah-sekolah
memukul rata kewajiban itu. Sementara di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 Ayat
1: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa.”
Contoh lain dari aturan perundangan yang mencederai nilai Bhinneka
Tunggal Ika adalah Perbup (Peraturan Bupati) Purwakarta No.69 Tahun 2015
tentang Pendidikan Karakter dan Perbud Purwakarta No.2 Tahun 2015 tentang
Persyaratan Tambahan Kenaikan Kelas pada Jenjang Pendidikan Dasar. Peraturan
yang mewajibkan busana sesuai aturan agama dan mewajibkan berpuasa bagi siswa
beragama Islam dianggap sebagai pemaksaan terhadap keyakinan.
Berbagai penelitian juga melaporkan meningkatnya nilai intoleransi dan
radikalisme di lingkungan pendidikan. Tindakan intoleransi yang digambarkan
adalah berupa sikap tidak menghargai pendapat dan keyakinan orang lain,
diskriminasi terhadap agama lain, mencegah penyebaran agama lain, bahkan
menghalangi pembangunan rumah ibadah suatu agama. Para pelaku intoleran yang

Universitas Indonesia
23

bahkan mengarah kepada radikalisme juga memaksakan penegakkan idealisme


syariah di Indonesia. Mereka menganggap Pancasila tidak relevan dan bahkan
menolak melakukan pernghormatan kepada Bendera Merah Putih. Radikalisme
juga tersirat dalam ekspresi praktis dengan memaksakan keyakinan tertentu pada
orang lain dan terwujud dalam kekerasan, teror bom bunuh diri (Nurudin, 2013).
Survei PPIM (Pusat Studi Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta tahun 2021 yang
dilakukan secara nasional di 34 provinsi menunjukkan bahwa 24,89% siswa
memiliki sikap toleransi beragama yang rendah, dan 5,27% kurang. Nilai toleransi
dan empati jelas merupakan dasar dari nilai-nilai kebinekaan, kemanusiaan yang
dimaksud di dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Sikap tidak mampu menghargai
perbedaan dan pemaksaan kehendak dalam bentuk penyeragaman yang
diskriminatif, bahkan hingga keinginan mengubah dasar negara adalah merupakan
ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan nyata dalam keberlangsungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini yang menjadi latar belakang
penelitian, sehingga dipilihlah topik penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di
dunia pendidikan dalam perspektif ketahanan nasional.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan Latar Belakang Masalah, rumusan masalah penelitian ini
adalah bagaimana peran lembaga pendidikan dalam penyemaian nilai Bhinneka
Tunggal Ika. Dikarenakan kendala waktu dan situasi pandemi, maka penelitian ini
membatasi pembahasan di dalam contoh kasus SMA Negeri 8 Jakarta, Sekolah
Madania Bogor, Sekolah Kanisius Jakarta, SMK Bakti Karya Parigi (BKP)
Pangandaran, dan Sekolah Guru Kebinekaan (SGK), dengan batasan waktu di era
setelah reformasi. SMA Negeri 8 Jakarta mewakili sekolah publik. Sekolah
Madania dan Sekolah Kanisius mewakili sekolah swasta umum multiagama, namun
berawal dari nilai Agama Islam dan Agama Katolik. SMK BKP mewakili sekolah
menengah vokasional, dan SGK mewakili wadah pendidikan untuk para guru.

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan
Indonesia berdasarkan contoh kasus di SMA Negeri 8 Jakarta, Sekolah

Universitas Indonesia
24

Madania Bogor, Sekolah Kanisius Jakarta, SMK Bakti Karya Parigi


Pangandaran, dan Sekolah Guru Kebinekaan?
2. Bagaimana kesesuaian dan konsistensi antara aspek regulasi dan ketentuan
perundang-undangan dengan praktik-praktik pendidikan kebinekaan dan
kebangsaan di sekolah? Perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-
Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 4 Ayat 1 (terlampir).

1.4. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hambatan dan peluang penyemaian
nilai Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan. Untuk mencapai tujuan ini,
disampaikan tahapan sebagai berikut:
1. Menggali dan mengamati proses pertumbuhan, maksud dari nilai Bhinneka
Tunggal Ika dan menggali akar-akar serta makna yang terkandung di dalam
nilai tersebut, serta memahami secara mendalam bagaimana sejarah kelahiran
sesanti Bhinneka Tunggal Ika.
2. Mengeksplorasi secara mendalam penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di
dunia pendidikan dalam contoh kasus di SMA Negeri 8 Jakarta, Sekolah
Madania Bogor, Sekolah Kanisius Jakarta, SMK Bakti Karya Parigi
Pangandaran, dan Sekolah Guru Kebinekaan.
3. Menganalisis hambatan yang menghadang penyemaian nilai Bhineka Tunggal
Ika di dunia pendidikan dalam perspektif ketahanan nasional
4. Melihat kesesuaian dan konsistensi antara aspek regulasi dan ketentuan
perundang-undangan dengan praktik-praktik pendidikan kebinekaan dan
kebangsaan di sekolah.

1.5. Manfaat Penelitian


Manfaat utama yang diharapkan dari penelitian ini untuk membantu
menjaga persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Bhinneka
Tunggal Ika dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 melalui penyemaian
nilai-nilainya di dunia pendidikan. Manfaat selanjutnya adalah:

Universitas Indonesia
25

1. Menggugah kesadaran kolektif perihal persoalan-persoalan mendasar dalam


kehidupan bernegara dan berkebangsaan dalam kebinekaan
2. Sebagai referensi bagi semua pihak yang memiliki kepedulian dalam menjaga
nilai kebinekaan, kebangsaan dan kemanusiaan di Indonesia dan
mempertahankan Persatuan Negara
3. Mereduksi hambatan yang menghadang pelestarian nilai Bhinneka Tunggal
Ika dengan melaksanakan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945
4. Menggalang tanggung jawab intelektual untuk turut memberikan kontribusi
pemikiran dalam upaya penyemaian nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika
5. Mendorong kesadaran elit politik agar lebih memperhatikan perihal
penyemaian nilai kebinekaan, kebangsaan dan kemanusiaan di lingkungan
pendidikan dalam upaya fundamental menjaga Ketahanan Nasional.

1.6. Kebaruan Penelitian


Sebagaimana dari setiap sub bab di atas telah dijabarkan adanya kondisi dan
semangat kebinekaan, namun juga adanya kondisi dan semangat ketunggalan.
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa penduduk nusantara yang sedemikian
besar, plural, dan tersebar ke dalam pemerintahan dan kekuasaan lokal, mereka
mau, bahkan bertekad, untuk bersatu dan melebur ke dalam sebuah bangsa dan
negara yang bernama Indonesia? Apa yang menjadi alasan untuk bersatu? Apakah
harapan dan cita-cita yang dibayangkan dengan memiliki rumah besar bernama
Republik Indonesia?
Berikutnya adalah setelah melebur ke dalam rumah bangsa dan negara yang
satu, bagaimana menjaga kerukunan antara semangat kebinekaan dengan semangat
ketunggalan? Ketika era militerisme, ketunggalan itu bisa dijaga dan dikendalikan,
sekalipun ada ongkos sosial politiknya, yaitu sempitnya kebebasan warga bangsa
untuk mengekspresikan aspirasi dan identitasnya yang majemuk. Dengan kekuatan
militer, kebinekaan kala itu bisa dijinakkan, bahkan mengarah pada penyeragaman
aspirasi politik. Namun ternyata kondisi itu ada batas akhirnya yang ditandai
dengan mundurnya Soeharto, digantikan era reformasi yang membuka ruang lebar

Universitas Indonesia
26

demokrasi. Usaha penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan pun
mengalami pergeseran sepanjang pasca kemerdekaan ini. Di masa Orde Baru
adanya program seperti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) dan juga mata pelajaran-mata pelajaran kewarganegaraan dan
kebangsaan. Lalu bagaimana dengan era pasca reformasi?
Di era pasca reformasi, keragaman mendapatkan ruang, namun yang terjadi
ternyata adalah kegaduhan. Hingga kini, di Indonesia terus terjadi ketegangan
antara semangat ketunggalan dengan semangat kebinekaan. Pertanyaannya
kemudian adalah bagaimana menjaga keseimbangan ini? Disinilah suatu proses
yang dinamis terjadi. Jadi penelitian ini berbeda dengan artikel jurnal ataupun tesis
sejenis sebelumnya. Melihat adanya ancaman dalam perkembangan kehidupan
sosial kala ini, hal tersebut dapat menjurus pada disintegrasi bangsa yang
mengancam ketahanan nasional. Penelitian ini akan mengulas, menjelaskan,
memaparkan hasil pengamatan proses dinamika ketegangan tersebut. Penelitian ini
kemudian akan mengamati dan menganalisis penyemaian nilai Bhinneka Tunggal
Ika di dunia pendidikan riil di beberapa contoh kasus yang dipilih. Dapat dikatakan
penelitian ini akan bersifat timely atau mengandung kekinian.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Terdahulu


Dalam penyusunan penelitian ini, juga dilakukan kajian terhadap beberapa
penelitian terdahulu yang relevan, yang digambarkan dalam tabel berikut:

Penelitian Tujuan Hasil


Adrian, 2020 - Penelitian ini memberikan Rendahnya tingkat
Menghidupkan pemahaman dan alternatif solusi pemahaman dan pengamalan
Kembali Sukma dalam menghidupkan kembali terhadap nilai-nilai Bhinneka
Bhinneka nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila,
Tunggal Ika dan Tunggal Ika, dalam konteks ini serta adanya beberapa faktor
Pancasila penulis istilahkan sebagai pendukung lainnya telah
“Sukma” sebagai alat untuk melahirkan ragam jenis
mencegah atau meminimalisir praktik intoleransi dalam
praktik intoleransi di masyarakat. kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Benawa, 2020 - Penelitian ini memaparkan Mengapa keberagaman harus
Unity in dinamika yang terjadi di Indonesia diterima dan diperlakukan
Diversity as The sebagai negara bangsa dalam dengan sikap moral yang
Fact and The mengapresiasi Bhinneka Tunggal baik; pertama, kelompok
Dream in Ika. yang terbuka terhadap
Indonesia perbedaan jauh lebih
kompetitif daripada
kelompok tertutup. Kedua,
keunikan seseorang tidak
akan pernah terwujud jika
tidak pernah dalam
keberagaman.
Bazzi, et.al. Penelitian ini menggunakan Integrasi lebih besar dalam
2019 - Unity in program pemukiman kembali komunitas yang terpecah-
Diversity? How penduduk di Indonesia untuk pecah dengan banyak
Intergroup mengidentifikasi efek jangka kelompok kecil. Namun,
Contact Can panjang dari kontak dalam komunitas yang

27
Universitas Indonesia
28

Foster Nation antarkelompok pada integrasi terpolarisasi dengan beberapa


Building nasional. kelompok besar, keterikatan
etnis meningkat dan integrasi
menurun. Secara
keseluruhan, temuan
penelitian ini menyoroti
pentingnya kontak lokal
dalam membentuk identitas.
Farisi, 2014 - Tulisan ini membahas konsep Buku teks dan praktik di
Bhinneka Bhinneka Tunggal Ika, dalam kelas mampu
Tunggal Ika pengertian kebijakan toleransi mendeskripsikan dan
[Unity in beragama, yang dioperasionalkan mentransformasikan konsep
Diversity]: From dalam buku teks IPS dan praktik di Bhinneka Tunggal Ika
Dynastic Policy ruang kelas di Indonesia. menjadi konsep atau praktik
to Classroom nyata dan bermakna. Namun,
Practice negara juga memiliki tujuan
politik dan konsep ini dilihat
sebagai kebijakan budaya
untuk membangun karakter
dan peradaban yang sesuai
dengan kemajemukan
Indonesia.
Wasino, 2013 - Penelitian ini memaparkan latar Pentingnya meningkatkan
Indonesia: From belakang pluralisme di Indonesia pemahaman dan kesadaran
Pluralism to dan perkembangannya, dengan multikulturalisme, dalam
Multiculturalism mengaitkan multikulturalisme mengatasi konflik sosial
sebagai solusi atas konflik-konflik akibat perilaku intoleran.
akibat perbedaan etnis dan agama.
Pursika, 2009 - Artikel ini bertujuan untuk Mensinergikan perbedaan
Kajian Analitik mengungkap makna yang dalam kebhinekaan perlu
terhadap terkandung dalam semboyan untuk mengantisipasi bahaya
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. disintegrasi, sekaligus untuk
Bhinneka mewujudkan cita-cita
Tunggal Ika integrasi. Kuncinya, harus
ada kesadaran, kemauan, dan

Universitas Indonesia
29

kemampuan untuk melihat


kesamaan pada sesuatu yang
berbeda.
Suparlan, 2003 - Penulis memaparkan pemikirannya Perlunya strategi kampanye
Bhinneka tentang keanekaragaman budaya multikulturalisme dengan
Tunggal Ika, sebagai semboyan bangsa program-program khusus.
Keanekaragaman Indonesia, atas dasar ideologi Namun jika demokrasi
Sukubangsa atau 'Bhinneka Tunggal Ika'. Penulis menunjukkan corak
Kebudayaan berpendapat bahwa makna otoritarianisme pemerintah,
bhinneka tunggal ika lebih maka multikulturalisme tidak
ditekankan sebagai keberagaman berlaku.
etnis pada masa Orde Baru dan
rezim Habibies. Ini merupakan
konsekuensi politik etnis dengan
model masyarakat majemuk yang
digunakan oleh rezim.
Turnbull, 2002 – Artikel ini mengupas pengenalan Pengaruh nilai-nilai telah
Values in pendidikan kewarganegaraan di diakui dianggap sebagai
educating in Inggris dan bagaimana transmisi faktor penting dalam
citizenship: nilai secara tidak langsung dalam mengelola perubahan
source, kaitannya dengan demokrasi dan pendidikan. Dengan nilai-
influences and kewarganegaraan dapat nilai kewarganegaraan dan
assessment. diandalkan. demokrasi yang menopang
dan mengarahkan praktik di
institusi, pendidikan
kewarganegaraan dapat
menjadi agenda perubahan
demokrasi.
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu yang relevan

Penelitian ini bersifat lebih komprehensif, karena mengupas Bhinneka


Tunggal Ika diawali dari sejarahnya untuk memahami cita-cita awal, menyelisik
hambatannya selama ini, lalu memahami Ketahanan Ideologi Pancasila dan
Ketahanan Sosial Budaya beserta kerawanan-kerawanannya, memperlihatkan
bagaimana proses pembudayaannya di dunia pendidikan sehingga mampu

Universitas Indonesia
30

menganalisis faktor-faktor apa dalam penyemaian nilai kebinekaan di sekolah


sehingga dapat mengakibatkan kerentanan akan nilai-nilai.

2.2. Kajian Pustaka


Beberapa buku yang dikaji untuk mendukung penelitian ini antara lain
adalah buku karya Soekarno yaitu Filsafat Pancasila menurut Bung Karno; buku
karya Muhamad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
dan buku karya Pelukis Dullah berjudul Bung Karno – Pemimpin, Presiden dan
Seniman. Selain itu tesis ini juga melalui kajian pustaka lain, seperti Pendidikan
yang Berkebudayaan dan Wawasan Pancasila oleh Yudi Latif, The J Curve, A New
Way to Understand Why Nations Rise and Fall karya Ian Bremmer dan State
Building, Governance and World Order in the 21st Century karya Francis
Fukuyama.
Selain buku-buku tersebut, penelitian ini juga melalui kajian pustaka
terhadap bahan yang relevan dengan teori yang digunakan maupun yang
menyangkut Bhinneka Tunggal Ika, misalkan buku Ketahanan Nasional karya
Margaretha Hanita.

2.3. Kerangka Konsep


Landasan teori dan konsep yang digunakan untuk menyusun penelitian ini
adalah teori ketahanan nasional dengan memperhatikan kajian transdisipliner.

2.3.1. Konsepsi Ketahanan Nasional


Konsep Ketahanan Nasional menurut Prof. Dr. Wan Usman, MA. dalam
bukunya Bunga Rampai Ketahanan Nasional; "Ketahanan Nasional dapat diartikan
sebagai kekuatan untuk menghadapi masalah atau hambatan dalam mencapai cita-
cita Bangsa. Untuk Negara Indonesia, tujuan bangsa Indonesia telah dicantumkan
dalam Pembukaan UUD 1945." Berdasarkan konsep tersebut, Prof. Dr. Wan
Usman, MA. dalam buku tersebut manyatakan bahwa "Ketahanan Nasional dapat
diartikan kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi semua aspek kehidupan untuk
tetap jaya di tengah keteraturan dan perubahan yang selalu ada, atau dapat pula
didefinisikan sebagai metode untuk mencapai tujuan (means and ends) agar suatu

Universitas Indonesia
31

bangsa tetap jaya" (Usman, 2018). Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas)


mendefinisikan Ketahanan Nasional sebagai keuletan dan ketangguhan suatu
bangsa dalam menghadapi AGHT (ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan)
baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri, baik yang secara langsung
maupun tidak langsung, yang dapat membahayakan integritas, identitas serta
kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Konsepsi ketahanan nasional (Tannas) Indonesia adalah konsepsi
pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek
kehidupan secara utuh dan menyeluruh dan terpadu berlandaskan Pancasila, UUD
NKRI Tahun 1945, dan Wawasan Nusantara. Dengan kata lain, konsepsi ketahanan
nasional Indonesia merupakan pedoman untuk meningkatkan keuletan dan
ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan dapat
digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan
mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besar kemakmuran yang adil
dan merata, rohaniah, dan jasmaniah. Sementara itu, keamanan adalah kemampuan
bangsa dalam melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar dan
dari dalam (Lemhannas, 2014).
Hakikat ketahanan nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan
bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk
dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan
nasional. Hakikat konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi, dan selaras
dalam seluruh aspek kehidupan nasional.
Pengertian Ketahanan Nasional menurut Buku Modul Lemhannas Rl 06 sub
BS Konsepsi Ketahanan Nasional PPRA LI tahun 2014, adalah kondisi dinamis
Bangsa Indonesia yang meliputi segala aspek kehidupan nasional yang terintegrasi
berisi keuletan, ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan
keuletan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri
untuk menjamin integritas, identitas kelangsungan hidup bangsa dan negara

Universitas Indonesia
32

Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945 serta
perjuangan mencapai tujuan nasional (Lemhannas RI, 2014).
Arti kata Ketahanan adalah resilio (Bahasa Latin) yang berarti beradaptasi
dan bangkit kembali (bounce back) dari peristiwa yang mengganggu (Flynn, 2007)
(Hanita, 2020, 60). Definisi Ketahanan menurut Instruksi Kebijakan Presiden 8
(PPD-8, 2011) adalah “Kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang
berubah dan bertahan dan cepat pulih dari gangguan akibat keadaan darurat”
Definisi serupa dipertajam dalam Instruksi Kebijakan Presiden 21 (PPD-21, 2013)
yaitu “Ketahanan adalah Kemampuan untuk mempersiapkan dan beradaptasi
dengan kondisi yang berubah dan bertahan dan pulih dengan cepat dari gangguan,
termasuk kemampuan untuk bertahan dan pulih dari serangan yang disengaja,
kecelakaan, atau ancaman atau insiden yang terjadi secara alami.” Akademi
Nasional (2012) mendefinisikan Ketahanan sebagai “Kemampuan untuk
mempersiapkan dan merencanakan, menyerap, pulih dari, dan lebih berhasil
beradaptasi dengan peristiwa buruk” (Hanita, 2020, 89).
Ketahanan Nasional menurut Lemhannas adalah kekuatan, kemampuan,
daya tahan dan keuletan dalam menghadapi tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan yang harus ditanggulangi dalam proses mencapai cita-cita bangsa yang
dinamakan Tujuan Nasional (Lemhannas, 1974, 5). Ketahanan Nasional
merupakan kondisi dinamik suatu bangsa berisi keuletan dan ketangguhan, yang
mengandung kemampuan mengembangkan Kekuatan Nasional, didalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan
baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan
negara serta perjuangan mengejar Tujuan Perjuangan Nasionalnya (Lemhannas,
1974, 7). Masih merupakan definisi Ketahanan Nasional menurut Lemhanas adalah
“kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan dalam
menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan
(AGHT) baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri langsung atau tidak
langsung yang dapat membahayan integritas, identitas serta kelangsungan hidup
bangsa dan negara” (Hanita, 2020, 146).

Universitas Indonesia
33

Ketahanan Nasional adalah terminologi yang digunakan baik oleh para


akademisi maupun negara untuk menunjukkan bagaimana negara mampu bertahan,
beradaptasi, bangkit kembali dan semakin tangguh menghadapi guncangan dalam
berbagai bentuknya seperti guncangan ekonomi, sosial, politik, ideologi,
globalisasi, serangan militer dari luar, serangan teroris, radikalisme, serangan virus/
penyakit baik dari luar (pandemi) maupun dari dalam (endemi) (Hanita, 2020, 145).
Ketahanan Nasional menurut Margaretha Hanita (Hanita, 2020, 147) sebagai
“kemampuan negara untuk beradaptasi, bangkit kembali, dan atau bertransformasi
dari berbagai gangguan, berbagai serangan, berbagai peristiwa perusak, yang
mengancam jiwa, harta, benda, kedaulatan negara, baik dari dalam maupun dari
luar, dan setelahnya mampu menyusun strategi yang efektif agar negara menjadi
semakin tahan terhadap guncangan yang terjadi tiba-tiba.” Untuk itu Ketahanan
Nasional harus dibangun dari ketahanan individu, ketahanan keluarga, ketahanan
komunitas, ketahanan sosial, ketahanan kota, ketahanan provinsi, ketahanan energi,
ketahanan pangan, ketahanan bencana, ketahanan dalam pertahanan dan keamanan
dan ketahanan dalam kesehatan (tahan terhadap berbagai ancaman penyakit baik
pandemi maupun endemi). Charlie Edwards (Edwards, 2009) menyatakan bahwa
“tahap ketahanan bergantung pada warga dan masyarakat, bukan pada institusi
negara.” Hal ini sejalan dengan pandangan Jonathan Joseph dari Universitas
Bristol, Inggris, yang mengatakan bahwa “Ketahanan Nasional memiliki ikatan
dengan neoliberal secara ontologis: menekankan tanggung jawab individu untuk
kesiapsiagaan dan peran minimal pemerintah.” (Hanita, 2020, 150). Joseph melihat
ketahanan sebagai cara memulihkan kekuatan bangsa dengan mengembalikan
tanggung jawab atas masalah di tangan individu dan bukan negara (Joseph, 2013,
38-52) (Joseph, 2016, 370-390). Yang dimaksud dengan Daya Tahan adalah
kekuatan yang menyebabkan seseorang atau sesuatu dapat bertahan, kuat menderita
atau kuat menanggulangi beban. Sedangkan Keuletan adalah berusaha terus secara
giat dengan kemauan yang keras didalam menggunakan segala kemampuan,
kecakapan untuk mencapai tujuan atau cita-cita.
Bila dirangkum menjadi dua garis besar, konsepsi Ketahanan Nasional pada
dasarnya adalah ketahanan “Bangkit Kembali” dan ketahanan “Adaptasi”.
Ketahanan “Bangkit Kembali” akan memberikan hasil statis dimana bertujuan

Universitas Indonesia
34

mengembalikan ke fungsi yang ada. Ketahanan yang dimaksud adalah entitas atau
komponen sistem yang nilainya (atau layanan) terletak pada fungsi tertentu.
Sedangkan Ketahanan “Adaptasi” berlaku untuk entitas atau komponen sistem yang
nilainya terletak pada pengelolaan dan berfungsinya sistem atau komponen sistem.
Hasil yang diharapkan dari Ketahanan “Adaptasi” adalah proses dinamis yang
menghasilkan respons adaptif terhadap gangguan. Amerika Serikat yang menganut
konsep Ketahanan “Adaptasi”, menetapkan “Pembagian tanggung jawab” sebagai
tujuan Ketahanan. Untuk itu Amerika memasukkan instrumen “beragam upaya
independen untuk memenuhi kebutuhan strategis” dalam ketahanan untuk
keamanan nasional. Sementara Singapura yang menganut konsep Ketahanan
“Bangkit Kembali”, menetapkan tujuan “Keamanan Nasional: pemerintahan,
komunitas; pola pikir; tanggung jawab warga negara”. Singapura memasukkan
instrumen “Keterlibatan warga negara; media massa; kemitraan untuk integrasi,
aksi kolektif dan kesadaran bersama”. (Hanita, 2020, 153).

2.3.2. Kajian Transdisipliner dalam Kompleksitas Ketahanan Nasional


Kajian Ketahanan adalah kajian transdisipliner. Dalam menggunakan
Konsep Ketahanan Nasional, maka tujuan utamanya adalah memahami
permasalahan sebagai keseluruhan yang kompleks. Pada praktiknya, kita perlu
menggali lebih dalam melalui dialog dan berbagai perspektif. Ketahanan Nasional
bersifat Manunggal (antara aspek alamiah TRIGATRA dan aspek sosial
PANCAGATRA). Sifat integratif tidak dapat diartikan pencampuradukan semua
aspek sosial (bukan unifikasi) tetapi integrasi dilaksanakan secara serasi dan
selaras. Kedua, Ketahanan Nasional juga bersifat mawas ke dalam, yaitu diarahkan
kepada bangsa dan negara itu sendiri, karena bertujuan mewujudkan hakekat dan
sifat nasionalnya sendiri. Artinya, tidak berarti Ketahanan Nasional menganut sikap
isolasi dan nasionalisme sempit. Ketiga, Ketahanan Nasional memiliki sifat
kewibawaan nasional yang harus diperhitungkan oleh pihak lain dan memiliki daya
cegah (deterrent). Semakin tinggi tingkat kewibawaan, semakin besar daya cegah
tersebut. Keempat, berubah menurut waktu. Ketahanan Nasional bersifat dinamis,
bergantung pada situasi dan kondisi bangsa itu sendiri. Kelima, Ketahanan Nasional
(National Resilience) tidak membenarkan sikap adu kekuasaan dan adu kekuatan.

Universitas Indonesia
35

Ketahanan Nasional tidak mengutamakan kekuatan fisik, namun juga


memanfaatkan kekuatan dan daya lainnya seperti kekuatan moral pada suatu
bangsa. Ketahanan Nasional mementingkan konsultasi dan saling menghargai di
dalam pergaulan hidup manusia dan sebaliknya menjauhi antagonisme dan
konfrontasi (Lemhannas, 1974, 7-9). Ketahanan Nasional pada hakekatnya
merupakan suatu konsepsi di dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan
serta keamanan di dalam kehidupan nasional (Lemhannas, 1974, 10). Termasuk di
dalam kehidupan nasional, masih menurut Lemhannas adalah aspek alamiah
(TRIGATRA; kedudukan geografis, keadaan dan kekayaan alam serta keadaan dan
kemampuan penduduk) dan aspek sosial/ kemasyarakatan, yang mencakup
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer/ hankam (PANCAGATRA).
TRIGATRA dan PANCAGATRA merupakan suatu kesatuan yang bulat dan
disebut ASTRAGATRA. Kesatuan gatra dalam kepustakaan Barat disebut “The
element of national power” Hans Morgenthau, salah satunya memasukkan National
Character dan National Morale ke dalamnya. Sementara Alfred Thayer Mahan
memasukkan Watak Nasional/ Bangsa di dalam bagian dari aspek alamiah
kehidupan nasional (Lemhannas, 1974, 12-13).
Ketahanan Nasional jelas merupakan konsepsi dalam mengimbangi
permasalahan nasional yang kompleks. Dengan demikian kajian ketahanan
nasional pun merupakan bidang ilmu transdisipliner. Penyelesaian masalah-
masalah ketahanan nasional perlu dipikirkan dengan analisis yang bersifat integral
dan memperhatikan berbagai bidang dan aspek. Dalam hal melestarikan nilai
Pancasila, dan khususnya Bhinneka Tunggal Ika maka perlu kita memahami
Ketahanan Nasional di bidang Ideologi dan Ketahanan Nasional di bidang Sosial
Budaya. Ketahanan nasional tidak hanya memperhatikan aspek ketahanan dalam
arti kekuatan militer atau sebatas ekonomi dan politik. Sistim pertahanan keamanan
berupa perpaduan serasi antara sistim senjata sosial dan sistim senjata teknologi
harus dirumuskan dan disusun bersumber pada falsafah hidup bangsa, pengalaman
perjuangan dan kondisi serta situasi negara dan bangsa. Salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam sistim pertahanan keamanan adalah faktor manusia. Manusia
merupakan faktor yang sangat menentukan, karena selain berfisik sehat dan
tangkas, juga perlu untuk memiliki sikap mental dan pengorganisasian yang baik.

Universitas Indonesia
36

Hal ini dimanifestasikan dengan moril yang tinggi, yang diwujudkan karena
keyakinan akan kebenaran motivasi perjuangan (ideologi/ politik), nasionalisme,
patriotisme dan kepercayaan diri. Jiwa korsa yang tebal yang diciptakan karena rasa
solidaritas, rasa senasib sepenanggungan, jiwa kerjasama, kebanggaan kesatuan
karena prestasi dan sejarah (Lemhannas, 1974, 52-53).
Memang kebutuhan akan spesialisasi tentu akan tetap ada, karena
sedemikian banyak kegunaan yang didapat dari hasil spesialisasi ilmiah dalam
pembangunan nasional. Namun, hendaknya ilmuwan tidak membatasi diri dalam
pengkotakan ilmu pengetahuan, tidak mengurung diri hanya di dalam sel disiplin
ilmiahnya masing-masing. Penelitian-penelitian juga tidak lagi optimal bila
hasilnya dipecah-pecah dalam bidang intelektual terpisah. Dengan demikian hasil
jawaban penelitian yang merupakan solusi atas masalah akan memiliki banyak
keterbatasan, utamanya dalam kualitas solusi, sedemikian ciri keutuhan manusia
juga sangatlah kompleks. Penelitian dengan cara berpikir ilmiah interdisipliner
akan berbeda dalam tiga tahapan; pertama, multi disiplinaritas, yaitu beberapa ilmu
pengetahuan yang berbeda dalam menggarap berbagai aspek yang berbeda dari
permasalahan yang sama. Kedua, krosdisiplinaritas yaitu disiplin ilmiah
mendominasi ilmu pengetahuan lainnya yang turut mengkaji masalah yang sama
karena disiplin ilmiah yang dominan itu diakui lebih mendekati inti permasalahan
yang dihadapi. Ketiga, transdisiplinaritas, dimana semua disiplin ilmiah sudah
dapat melebur menjadi satu pengertian ilmiah baru, sehingga terjadi suatu
keterpaduan sempurna (Joesoef, 2004, hal.25).
Di dalam ilmu sosial, utamanya, bila ingin mencapai pemecahan praktikal
total, maka jalan satu-satunya adalah dengan menempuh cara kerja pluri atau
interdisipliner, baik di antara sesama ilmu sosial, maupun bersama-sama dengan
ilmu alam (Joesoef, 2004, hal.26). Daoed Joesoef mempercayai bila seorang
ilmuwan secara membabi buta hanya berfokus pada ilmu pengetahuan, maka akan
terbentur pada suatu batas. Sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Inilah yang
merupakan inti dari pesan dalam sila pertama dari kelima sila Pancasila, sebagai
pandangan hidup Bangsa dan dasar Negara Republik Indonesia, yaitu “Ketuhanan
Yang Maha Esa” (Joesoef, 2004, hal.26-27).

Universitas Indonesia
37

2.3.3. Ketahanan Ideologi


Pengertian Ketahanan Nasional di bidang Ideologi menurut Lemhannas;
Kondisi dinamik suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan, baik yang datang
dari luar maupun dari dalam yang langsung membahayakan kelangsungan
kehidupan ideologi suatu bangsa dan negara (Lemhannas, 1974, 24). Faktor yang
mempengaruhi Ketahanan Nasional di bidang Ideologi mencakup nilai dan sistem
nilai. Keampuhan suatu ideologi bergantung kepada rangkaian nilai yang
dikandungnya yang dapat memenuhi serta menjamin segala aspirasi hidup dan
kehidupan manusia, baik secara pribadi, makhluk sosial maupun sebagai Warga
Negara sesuai kodrat dan iradat Tuhan Yang Maha Esa. Untuk bangsa Indonesia
yang menganut filsafat dan ideologi Pancasila terdapat lima nilai utama: Nilai
pertama yang merupakan nilai tertinggi ialah nilai Tuhan Yang Maha Kuasa
(ombipotent), Maha Cinta Kasih (most beneficent, merciful), Maha Bijaksana
(omniscient). Rangkaian nilai tersebut tidak identik dengan agama tetapi berkait
dengannya. Penarikan secara transendental akan sampai ke agama, yaitu ketentuan
Tuhan sendiri dan hukum hasil pemikiran manusia. Rangkaian nilai tersebut adalah
konkretisasi dari ajaran semua agama, baik agama wahyu maupun agama budaya,
dan berfungsi sebagai pemersatu kehidupan umat beragama serta kehidupan antar
agama yang menciptakan kekuatan keagamaan, mental dan spirituil di dalam
Ketahanan Nasional. Dari nilai tertinggi tersebut timbul berbagai sistim nilai yaitu
nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan sosial.
Di dalam nilai kemanusiaan tersimpul cita-cita kemanusiaan misalnya
perikemanusiaan, toleransi, tolong-menolong dan gotong-royong. Nilai persatuan
merupakan faktor pengikat yang menjamin persatuan nasional yang terutama
bersifat persatuan spiritual dan merupakan paduan hasrat untuk hidup bersama di
dalam sependeritaan serta sepenanggungan (Ernest Renan dan Otto Bauer)
Persatuan Nasional, intelegensi dan dinamika merupakan anasir utama bagi bangsa
yang ingin maju (Jepang, Jerman).
Nilai Kerakyatan dijelmakan oleh persatuan nasional yang riil dan wajar
dimana kedaulatan berada di tangan rakyat (demokrasi). Demokrasi tanpa pimpinan

Universitas Indonesia
38

dapat menjelma menjadi anarki dan pimpinan tanpa demokrasi dapat mengarah ke
diktator. Oleh karena itu perlu diciptakan keseimbangan antara kepemimpinan
dengan kerakyatan. Kerakyatan yang ideal dijiwai oleh persatuan spiritual
(nasional) berlandas pada nilai Ketuhanan yang mutlak.
Nilai keadilan sosial menjamin kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
secara menyeluruh dan merata. Tiap-tiap bangsa dapat mengembangkan filsafat dan
ideologinya sendiri sesuai dengan hakekat kepribadian bangsa itu. Ideologi negara
itu merupakan sistem nilai yang mencakup segenap nilai hidup dan kehidupan
bangsa serta negara dan bersifat interrelasi serta interdependensi.
Memiliki ideologi yang sempurna dan cocok belum menjamin Ketahanan
Ideologi Nasional bangsa tersebut. Untuk mencapai Ketahanan Nasional diperlukan
penghayatan dan pengamalan ideologi secara sungguh-sungguh dan benar tepat
sebagaimana yang dicita-citakan di dalam nilai ideologi tersebut. Letjen.
(purnawirawan) Sayidiman Suryohadiprodjo, seorang pemikir militer Indonesia,
membagi Ketahanan Nasional dalam (1) Ketahanan Ideologi, (2) Ketahanan Politik,
(3) Ketahanan Ekonomi, (4) Ketahanan Sosial Budaya, (5) Ketahanan Pertahanan-
Keamanan dan (6) Ketahanan Aspek Alamiah. (Crouch, 1986, 17-31) (Hanita,
2020, 180). Dalam hal Ketahanan Ideologi, Suryohadiprodjo merujuk Pancasila
sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan negara, harus tahan dari berbagai
guncangan baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Dari luar negeri adalah
masuknya paham-paham sosial dan politik yang tidak sepaham dengan Pancasila
dan dari dalam negeri adalah penolakan Pancasila sebagai satu-satunya asas
(Crouch, 1986, 17). Pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai Asas
Tunggal bagi negara dan semua organisasi sosial-politik yang berbadan hukum
Indonesia. Menurut Suryohadiprodjo, Pancasila merupakan ideologi yang bersifat
terbuka dan dinamis, sehingga tahan terhadap guncangan yang mengancam (Hanita,
2020, 181). Ideologi sebagai falsafah hidup bangsa dan landasan ideal negara,
bernilai penentu di dalam memelihara kelangsungan hidup bangsa dan pencapaian
tujuan nasionalnya. Karena itu mutlak perlu untuk diamankan terhadap ancaman
hambatan dan gangguan yang akan mengubah atau meniadakan ideologi nasional
itu (Lemhannas, 1974, 60).

Universitas Indonesia
39

Di dalam rangka pelaksanaan ideologi negara dapat dibedakan dua macam


pelaksanaan, yaitu pelaksanaan obyektif dan subyektif. Pelaksanaan obyektif ialah
pelaksanaan di dalam Undang Undang Dasar dan segala peraturan hukum
dibawahnya serta segala kegiatan penyelenggaraan negara. Pelaksanaan subyektif
ialah pelaksanaan oleh pribadi perseorangan. Makin tinggi kesadaran dan ketaatan
suatu bangsa mengamalkan ideologi negara, makin tinggi tingkat Ketahanan
Nasional di bidang ideologinya. Pelaksanaan subyektif ini yang memerlukan
tindakan penyemaian yang direncanakan secara baik dan bersifat berkelanjutan.
Pendidikan merupakan media terpenting dalam usaha penyemaian nilai ideologi
bangsa agar merasuk, menyatu dalam pemahaman, keyakinan dan keseharian sikap
perilaku pribadi warga perorangan. Kepribadian nasional adalah merupakan
kepribadian kolektif dari warganya. Kepribadian nasional merupakan resultan dari
sejarah nasional dan cita-cita bangsa yang dirumuskan bagi dasar kehidupan
nasional kontemporernya. Kepribadian nasional merupakan suatu daya untuk
menghadapi tantangan pengaruh asing dan mengapresiasikan, mengintegrasikan,
mereinterpretasikan atau menolaknya secara wajar berdasar pada sistim nilai yang
berlaku. Kepribadian nasional memberikan kepercayaan diri dan harus dipupuk,
dibina dan disosialisasikan pada tiap generasi (Lemhannas, 1974, 48-49).
Ketahanan ideologi suatu negara merupakan ketahanan ideologi dari setiap unsur
dari yang terkecil sampai yang terluas. Ketahanan ideologi individu, ketahanan
ideologi keluarga, ketahanan ideologi komunitas dan seterusnya. Pendidikan
sebagai media pembentukan pribadi termasuk penanaman ideologi memiliki peran
vital dalam hal ini. Selain Ketahanan Ideologi, penyemaian nilai Bhinneka Tunggal
Ika tentu merupakan bagian dari Ketahanan Sosial Budaya. Ideologi dan asas hidup
Pancasila yang merupakan nilai-nilai kewargaan dan juga nilai kebangsaan perlu
menjadi budaya bangsa Indonesia agar tidak hanya terjebak di dalam slogan atau
cita-cita tertulis belaka.

2.3.4. Ketahanan Sosial Budaya


Dalam hal Ketahanan Politik, Suryohadiprodjo merujuk Demokrasi
Pancasila yang merupakan sistem politik yang dimuat dalam UUD 1945 dan
Penjelasannya. Dalam konteks ketahanan politik, Demokrasi Pancasila berjalan

Universitas Indonesia
40

sebagaimana mestinya dan tidak digantikan dengan sistem demokrasi politik


lainnya (Crouch, 1986, 20).
Ketahanan sosial budaya menurut Suryohadiprodjo, memiliki pengaruh
besar terhadap sikap hidup dan perilaku masyarakat Indonesia sehari-hari.
Suryohadiprodjo merujuk pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa kebudayaan
nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah ditambah dengan upaya untuk
mengambil budaya dari bangsa lain yang bersifat positif untuk membentuk
kebudayaan nasional Indonesia (Crouch, 1986, 26). Sebelum Indonesia merdeka,
demikian Suryohadiprodjo, belum ada kebudayaan Indonesia, yang ada adalah
budaya-budaya suku bangsa, maka setelah merdeka Indonesia membangun
kebudayaan bangsa Indonesia.
Sosial-Budaya dalam ilmu pengetahuan mengacu pada dua segi utama dari
kehidupan bersama manusia, yaitu segi kemasyarakatan dan segi kebudayaan.
Manusia harus bekerjasama dengan sesama manusia lainnya untuk keperluan
adaptasi dengan lingkungan. Manusia harus hidup bermasyarakat. Kerjasama
tersebut hanya berjalan lancar di dalam keadaan tertib sosial berdasarkan
pengaturan sosial-budaya dan mekanisme pelaksanaanya yaitu organisasi sosial,
yang merupakan produk budaya tetapi sekaligus merupakan juga wadah di dalam
mana kebudayaan tumbuh, berkembang dan mengejawantahkan diri (Lemhannas,
1974, 41-42). Faktor yang mempengaruhi Ketahanan Nasional di bidang Sosial-
Budaya adalah Tradisi, Pendidikan, Kepemimpinan Nasional, Tujuan Nasional dan
Kepribadian Nasional. Fungsi pendidikan bersifat mengubah secara tertib ke arah
tujuan yang dikehendaki dalam pembaharuan tradisi masyarakat. Mendidik di
dalam arti yang luas adalah mendewasakan manusia agar dapat berpartisipasi penuh
dan mengembangkan bakatnya menumbuhkan kehidupan sosial sesuai dengan
tuntutan zaman. Oleh karena itu diperlukan suatu sistim pendidikan yang mampu
membawa masyarakat ke tujuan nasionalnya dengan memperhatikan aspek
nasional maupun internasional (Lemhannas, 1974, 46).

2.3.5. Pendidikan Nasional dalam menjaga Ketahanan Nasional


Pendidikan membentuk kepribadian nasional, membangun dan membina
masyarakat modern. Membangun dan membina masyarakat modern memerlukan

Universitas Indonesia
41

kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa. Kepemimpinan demikian


ditentukan oleh faktor konstelasi sosial masyarakat, nilai sosial-budaya, tujuan
nasional, sistim politik, taraf kemampuan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, konstelasi internasional dan pribadi pemimpin (Lemhannas,
1974, 47-48). Sistim politik merupakan suatu subsistim dari seluruh sistim sosial
dan harus mampu mengintegrasikan sistim sosial itu sendiri. Ancaman, hambatan
dan gangguan terhadap sistim sosial dapat berupa rasa tidak puas, ketegangan,
perpecahan, disintegrasi dan sebagainya. Dalam hal ini maka tujuan negara yang
merupakan cita-cita negara (staatsidee) dapat berperan sebagai pemersatu. Tingkat
ketahanan politik dapat diukur dengan kemampuan suatu sistim politik untuk
menanggapi dan menanggulangi lima problema fungsionil tersebut (Lemhannas,
1974, 33).
Para penyusun doktrin ketahanan nasional Indonesia yang dipimpin
Lemhannas menyusun konsep wawasan nusantara dan pembangunan nasional
untuk mendukung ketahanan nasional. Wawasan Nusantara merupakan konsep
yang memberi pedoman bagaimana melihat Indonesia sebagai masyarakat
multikultural yang wilayahnya terdiri dari ribuan pulau, ribuan suku, sistem budaya,
sistem sosial, dan ribuan bahasa yang berbeda-beda. Merle Parmak (Parmak, 2015)
mengatakan ketahanan nasional di masyarakat multikultural seperti Indonesia
merupakan tantangan yang menantang dalam membangun ketahanan nasional
(Hanita, 2020, 183). Ketahanan Nasional pada hakekatnya merupakan suatu
konsepsi di dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan di
dalam kehidupan nasional. Kesejahteraan yang hendak dicapai untuk mewujudkan
Ketahanan Nasional dapat digambarkan sebagai kemampuan bangsa
menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya menjadi sebesar-
besarnya kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah dan jasmaniah. Sedangkan
keamanan yang mewujudkan Ketahanan Nasional adalah kemampuan bangsa
melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari dalam maupun dari luar.
Penyelenggaraan Ketahanan Nasional menggunakan pendekatan-pendekatan
kesejahteraan nasional dan keamanan nasional. Kedua macam pendekatan itu
senantiasa ada pada setiap kehidupan nasional. Tergantung dari kondisi-kondisi
nasional dan internasional serta situasi yang dihadapi maka pada suatu saat dapat

Universitas Indonesia
42

diletakkan titik berat kepada pendekatan pertama dan pada saat lain dapat titik berat
itu dialihkan kepada pendekatan kedua. Walaupun pendekatan kesejahteraan suatu
saat dijadikan titik berat, namun pendekatan keamanan tidak dapat diabaikan.
Begitu pula sebaliknya. Kesejahteraan dan keamanan dapat dibedakan namun tidak
dapat dipisahkan. Di dalam kenyataan hidup, gambaran-gambaran kesejahteraan
nasional dan keamanan nasional menjadi satu gambaran Ketahanan Nasional
(Lemhannas, 1974, 56-57).

2.3.6. Pembangunan Nasional sebagai Fungsi dari Kualitas Hidup


Pendidikan tidak hanya berperan dalam memberikan penyemaian ideologi
bangsa dan membentuk kepribadian nasional dalam rangka menjaga Ketahanan
Ideologi dan Ketahanan Sosial Budaya. Pendidikan dalam bentuk hard-skill
berperan sangat penting dalam meningkatkan riset dan inovasi di dalam teknologi
yang dapat membantu peningkatan kesejahteraan nasional. Kesejahteraan nasional
memiliki peran dalam peningkatan kualitas hidup bangsa. Definisi pembangunan
sekarang ini tidak lagi hanya seputar pendapatan per kapita, namun juga kualitas
hidup secara menyeluruh. Semakin kuat kualitas hidup suatu bangsa maka semakin
kuat ketahanan nasional bangsa tersebut. Daya resiliensi negara akan semakin kuat.
Kualitas hidup basisnya adalah pada kapabilitas. Dan jika kita bicara kapabilitas
maka jantung atau dasarnya adalah pendidikan. Pembangunan nasional merupakan
fungsi dari kualitas hidup.
Di Era Orde Baru (1966-1998) ketahanan nasional digunakan untuk
mendukung pembangunan nasional. Prinsip yang dianut adalah semakin kuat
ketahanan nasional, tujuan-tujuan pembangunan nasional akan semakin cepat
tercapai. Orde Baru kala itu menggunakan konsep nation and character building
(membangun bangsa dan membangun karakter). Konsep serupa banyak
diungkapkan oleh para ilmuwan ketahanan, yaitu nation building (pembangunan
bangsa) dan state building (pembangunan negara). Definisi Pembangunan Bangsa
oleh OECD (OECD, 2009) (Hanita, 2020, 183-184):
“Nation Building adalah tindakan yang dilakukan, biasanya oleh aktor
nasional, untuk membentuk rasa kebangsaan yang sama; biasanya untuk
mengatasi perbedaan etnis, sektarian atau komunal; biasanya untuk
melawan sumber identitas dan loyalitas alternatif dan biasanya untuk

Universitas Indonesia
43

memobilisasi populasi di belakang proyek pembangunan kembali; Mungkin


atau mungkin tidak berkontribusi pada pembangunan perdamaian.”

Sedangkan definisi Pembangunan Negara dari Bank Dunia adalah “State


Building sebagai upaya untuk membangun kapasitas dan akuntabilitas negara,
termasuk perhatian yang kuat terhadap sistem administrasi dan pengiriman negara
yang paling dasar, melengkapi investasi kapasitas dengan upaya yang kuat untuk
meningkatkan akuntabilitas, dan menyeimbangkan upaya pembangunan kapasitas
negara dengan dukungan bagi masyarakat sipil dan sektor swasta” (OECD, 2009,
73) (Hanita, 2020, 184).
Francis Fukuyama (Fukuyama, 2006) tidak membedakan antara nation
building dan state building. Fukuyama berpendapat bahwa bangsa adalah
komunitas nilai bersama, tradisi dan memori sejarah. Argumen ini bukan dibangun
khususnya oleh orang luar melainkan merupakan proses hasi evolusi historis yang
tidak direncanakan. Bagi Fukuyama, pembangunan bangsa serupa dengan
pembangunan kembali negara, yaitu membangun institusi politik atau
pembangunan ekonomi (Hanita, 2020, 184).
René Grotenhuis (Grotenshuis, 2006) membedakan Nation Building dengan
State Building dari berbagai unsurnya. Dalam State Building, aktor yang berperan
adalah perwakilan politik yang dipilih oleh rakyat. Instrumennya berupa hukum dan
organisasi negara. Proses yang diperlukan adalah menawarkan solusi dengan
menetapkan aturan, peraturan, dan kebijakan berupa kodifikasi. Hasil yang didapat
dari State Building adalah institusi negara yang terorganisir dengan baik. Jangka
waktu yang dibutuhkan dalam State Building adalah hasil dalam kerangka waktu
siklus pemilihan politik. Referensi dalam membangun negara adalah referensi
ditemukan di komunitas internasional negara, hukum internasional, perjanjian dan
konvensi. Sedangkan dalam membangun bangsa atau Nation Building, aktor yang
berperan adalah pemimpin komunitas dan kelompok identitas. Instrumen yang
diperlukan adalah carita, mitos, patung, pahlawan dan tradisi budaya. Proses yang
harus dilalui dalam State Building adalah membangun komitmen dan saling
pengertian; menambah dan memperkaya. Hasil yang diharapkan dari State Building
adalah terbentuknya sikap saling pengertian antara kelompok yang berbeda, adanya
rasa memiliki yang dimiliki bersama, adanya perasaan bersama. Jangka waktu yang

Universitas Indonesia
44

dibutuhkan dalam State Building yaitu terbuka dan terus berkembang. Referensi
dalam membangun bangsa yaitu referensi diri; proses domestik internal memilih
dan melupakan (Hanita, 2020, 185).

Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


Berdasarkan Kerangka Teori di atas, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan ketahanan nasional berdasarkan multi disiplin, karena
metode ini tepat dan sesuai dengan karakteristik data dan topik penelitian. Data
yang digunakan akan didapat dari studi literatur, beserta data hasil wawancara
beberapa nara sumber. Metode Penelitian yang akan digunakan adalah Metode
Deskriptif Analisis.
Yang akan dilakukan dalam penelitian ini, atau rancangan penelitiannya
adalah:
1. Menggali dan menjabarkan makna atau esensi dari nilai Bhinneka Tunggal Ika,
unity in diversity, bermula dari sejarah, realita sosiologis bangsa masyarakat
Indonesia yang plural, dan niat para pendiri bangsa pada awal membentuk
dasar negara Indonesia ini. Data untuk ini akan digali dari studi literatur
terdahulu serta catatan saksi sejarah beserta hasil wawancara para sumber.
2. Penelitian ini akan mengajak pembaca berpikir jauh ke belakang untuk melihat
realita keragaman di nusantara ini. Mengapa kebinekaan ini bergerak menuju
ketunggalan. Apa saja sebabnya? Sebabnya karena pengaruh luar, yaitu adanya
penjajahan. Kalau tidak bersatu kala itu, kita tidak dapat menghadapi
imperialisme. Bahkan dulu sejarah membuktikan kita pernah diadu domba.
Maka dari itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan mengapa keberagaman
Indonesia dapat menuju ketunggalan. Apa saja yang mendorong, dan apa
kalkulasinya kala itu?
3. Tahapan selanjutnya adalah penelitian ini akan menggali apa saja faktor-faktor
yang mengikat kebinekaan Indonesia dalam keikaan. Faktornya adalah
pertama, faktor kesamaan penderitaan pada masa penjajahan, masyarakat
Indonesia menjadi saksi atas politik devide et impera dalam imperialisme.
Faktor kedua, adalah keinginan untuk memiliki rumah sendiri, berdaulat, yang
dapat dihuni bersama-sama, dan untuk itu dibutuhkan kemampuan untuk hidup
damai dalam keberagaman. Hal ini bersamaan dengan menggali dan
menjabarkan cita-cita luhur atau pemikiran yang melatarbelakangi para pendiri

45
Universitas Indonesia
46

bangsa Indonesia ketika menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan


negara Indonesia. Data untuk ini juga akan digali dari studi literatur terdahulu
serta catatan saksi sejarah beserta hasil wawancara para narasumber.
4. Kemudian, penelitian ini akan membahas bagaimana cita-cita dari kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa dalam Bhinneka Tunggal Ika ini dapat terwujud
optimal serta kaitannya dengan Ketahanan Ideologi Pancasila dan Ketahanan
Budaya.
5. Dengan memiliki data sejarah, latar belakang dan cita-cita yang diharapkan,
penelitian ini selanjutnya akan mencari tahu kondisi bangsa Indonesia terkini
dalam hubungannya dengan penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai
semboyan bangsa di dunia pendidikan.
6. Selanjutnya penelitian ini akan menggali bagaimana proses penyemaian nilai
Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan Indonesia. Apa sajakah kekuatan
dan kelemahannya.
7. Penelitian diakhiri dengan menyimpulkan faktor-faktor apa saja dalam
penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan sehingga
kerentanan nilai terjadi selama ini, dan membuat rekomendasi-rekomendasi
berdasarkan analisis tersebut.
Lokasi penelitian menyesuaikan lokasi sumber yang akan diwawancara.
Waktu penelitian dilaksanakan sejak pertengahan tahun 2020 sampai pertengahan
tahun 2021. Untuk data sejarah dan esensi Bhinneka Tunggal Ika yang didapat dari
literatur tentunya akan merujuk ke era sebelum Indonesia merdeka dan seterusnya
hingga sekarang. Namun untuk data penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di
dunia pendidikan penelitian ini dibatasi untuk era setelah reformasi. Pengumpulan
data didapat dari in-depth interview atau wawancara beberapa nara sumber.
Narasumber dibagi menjadi dua yaitu narasumber contoh sekolah yang melakukan
penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di dalamnya, dan narasumber yang
memiliki keahlian seputar nilai kebinekaan, kebangsaan dan kemanusiaan.
Narasumber sekolah contoh adalah:
1. Harisko, Direktur Sekolah Madania
2. Roni Saputro mantan Wakil Kepala Sekolah SMAN 8 Jakarta.
3. G Sutarto sebagai salah satu guru di Sekolah Menengah Kanisius Jakarta

Universitas Indonesia
47

4. Ai Nurhidayat pendiri SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran


5. Muhammad Muchlisin, Kepala Sekolah Guru Kebinekaan di bawah Yayasan
Cahaya Guru
Sedangkan narasumber ahli adalah:
1. Prof. Dr.Phil. Sahiron Syamsuddin, MA., dari Kementerian Agama.
2. Yudi Latif, PhD, mantan Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila)
yang telah mengundurkan diri, pakar Aliansi Kebangsaan.
3. Dr. Fahruddin Faiz M.Ag. Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga.
Data primer dalam tesis ini adalah data hasil in-depth-interview atau
wawancara mendalam dari para pihak mewakili contoh sekolah. Data primer
lainnya adalah hasil wawancara mendalam para narasumber ahli yang memberikan
berbagai opini seputar topik tesis ini, baik dari latar belakang sejarah Bhinneka
Tunggal Ika, kendala yang dimiliki Indonesia terkait dengan Bhinneka Tunggal Ika
dan bagaimana penyemaian nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika sebaiknya di dalam
dunia pendidikan. Data sekunder berupa berbagai data indeks global maupun
nasional digunakan sebagai pendukung dalam menggambarkan situasi kondisi
Ketahanan Ideologi Indonesia belakangan ini. Data sekunder dijabarkan dalam
BAB 4, sedangkan data primer dijabarkan dalam BAB 5. Hasil wawancara
dianalisis dengan mencari kekuatan dan kelemahan dari setiap contoh kasus
berdasarkan perspektif Ketahanan Nasional.

3.2. Validitas Penelitian


Dikarenakan penelitian ini bersifat kualitatif dengan bahasan seputar
ideologi negara dan sejarah, validitas penelitian akan mengacu kepada integritas
dan metode yang digunakan dalam penarikan data, serta konsistensi pada prosedur
analisis (Long, 2000). Data hasil studi literatur dan wawancara yang berupa
pengalaman dan sudut pandang akan dikategorisasi dan diorganisasikan secara
konsisten dan menyeluruh menggunakan content validity. Verbatim akan direkam
dan tercatat. Sebagai alternatif, penelitian kualitatif dapat menggunakan nilai
kebenaran, konsistensi dan netralitas dan dapat diaplikasikan dalam evaluasinya
(Lincoln, 1985).

Universitas Indonesia
BAB 4
KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA DALAM KAITAN
KETAHANAN IDEOLOGI

Bab ini merupakan pemaparan data sekunder baik dari data indeks global
maupun nasional yang mengupas kondisi riil Ketahanan Nasional Indonesia dalam
Ideologi. Untuk itu, penelitian ini akan mengupas lebih dalam Konsep Ketahanan
Nasional dan bagaimana perkembangan kondisi Ketahanan Nasional Indonesia
yang terukur dalam beberapa indeks standar nasional maupun global. Dari sana
penelitian ini akan menghubungkan realita fragmentasi sosial tersebut dengan
kegagalan pembudayaan nilai-nilai pada proses edukasi.

4.1. Ketahanan Nasional


Dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 disebutkan visi bangsa yaitu

Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

Dengan demikian kemerdekaan yang sudah diperjuangkan oleh para pendiri


bangsa harus dilanjutkan oleh generasi penerus agar visi ini tercapai. Visi ini
merupakan pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia, siapapun pemimpin yang
melanjutkan pemerintahan dalam masa-masa berikutnya. Visi bangsa yang harus
direalisasikan secara bersama, bergotong-royong secara konsisten. Karena itu,
pengelolaan negara harus mengacu kepada pedoman tersebut. Bagaimana
menjadikan Indonesia tetap merdeka. Merdeka tidak hanya lepas dari penjajahan
sebelum tahun 1945, namun juga merdeka berdaulat dalam menentukan nasib
bangsa. Bagaimana langkah nyata agar Indonesia tetap bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Selanjutnya di dalam alenia ketiga Pembukaan UUD 1945 dituliskan
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

48
Universitas Indonesia
49

Para pendiri bangsa menghaturkan rasa puji syukur kepada Tuhan atas
kemerdekaan yang telah didapat, namun disampaikan disana bahwa kemerdekaan
yang digapai didorong oleh keinginan luhur agar berkehidupan kebangsaan yang
bebas. Kemerdekaan yang dicapai di tahun 1945 artinya tidaklah serta merta
menjamin selanjutnya kehidupan kebangsaan Indonesia akan bebas. Karena bentuk
ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dalam mengisi kemerdekaan akan
beraneka ragam, dan terus menerus harus dihadapi. Namun mimpi indah para
pejuang bangsa telah tegas disampaikan bahwa generasi peneruslah yang harus
mengisi kemerdekaan selanjutnya, menjaga kebebasan kehidupan berbangsa yang
berdaulat, bermoral, berlandaskan Pancasila dan tetap mempertahankan persatuan.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 berbunyi
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Disana dikatakan bahwa pemerintah negara Indonesia memiliki tugas-tugas


yang diemban, maka untuk mendukung pelaksanaannya dibentuklah suatu Undang-
Undang Dasar yang berlandaskan kelima sila Pancasila. Dengan demikian jelas
Indonesia secara tegas memiliki visi misi, cita-cita dan secara tegas menetapkan
dasar negara yang akan selalu menjadi landasan acuan dalam pelaksanaan
pembangunannya.
Untuk itu para penyelenggara negara bersama seluruh rakyat Indonesia
berkewajiban untuk melanjutkan pembangunan bangsa negara Indonesia.
Pembangunan Nasional suatu negara harus memperhatikan kedua aspek secara
bersamaan, nation-building (pembangunan bangsa) dan state-building
(pembangunan negara). Pembangunan negara adalah penciptaan lembaga
pemerintahan baru dan penguatan atas lembaga pemerintahan yang sudah ada
(Fukuyama, 2004). Fukuyama mengatakan (Fukuyama, 2006) bahwa terdapat

Universitas Indonesia
50

sejumlah kontroversi mengenai apa yang dimaksud dengan pembangunan bangsa,


dan biasanya perhatian intensif terhadap pembangunan bangsa baru dimulai ketika
terjadi kasus-kasus yang layak diperhitungkan. Pembangunan bangsa mencakup
dua jenis kegiatan berbeda, yaitu ‘rekonstruksi’ dan ‘pembangunan’, umumnya
terpicu oleh suatu konflik yang terjadi. Rekonstruksi mengacu pada pemulihan
masyarakat setelah dilanda perang untuk bangkit kembali ke situasi prakonflik.
Pembangunan, bagaimanapun, mengacu pada penciptaan institusi baru dan promosi
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yang merupakan peristiwa mengubah
masyarakat secara terbuka menjadi sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya
(Fukuyama, 2006). Hal ini sesuai dengan konsep ketahanan nasional yang intinya
merupakan ‘adaptasi’ dan ‘bangkit kembali’. Suatu negara yang memiliki
ketahanan nasional yang kokoh akan segera bangkit kembali dari situasi sulit dan
juga beradaptasi dalam menyesuaikan dengan kondisi terkini.
Usaha “nation building” sangat tergantung pada perlakuan kita terhadap
kebudayaan sebagai praktik komunikasi. Untuk mengindonesiakan manusia
Indonesia yang berbeda dan beraneka ragam diperlukan tidak hanya informasi yang
relevan tetapi juga cara yang tepat untuk menyampaikan informasi tersebut. Yang
merusak usaha nation building bukanlah perbedaan dan keanekaragaman itu
sendiri, tetapi apa-apa yang kita pikirkan dan kita lakukan mengenai perbedaan dan
keanekaragaman tersebut. Dengan alasan dan penalaran yang sama, keberhasilan
kita membina manusia Indonesia menjadi manusia yang seutuhnya merupakan
fungsi dari kebudayaan dalam artian praktik komunikasi (Joesoef, 2004, 9).
Yudi Latif membagi pembangunan peradaban berbasis Pancasila menjadi
tiga ranah utama yaitu ranah mental spiritual atau Tata Nilai, ranah institusional-
politikal atau Tata Kelola dan ranah material-teknologikal atau Tata Sejahtera. Sila
pertama hingga ketiga merupakan di dalam ranah Tata Nilai. Sedangkan sila
keempat merupakan ranah Tata Kelola, dan sila kelima adalah ranah Tata Sejahtera.
Ranah Tata Nilai akan menghasilkan Bangsa yang berkepribadian. Ranah Tata
Kelola akan menghasilkan Bangsa yang berdaulat. Ranah Tata Sejahtera
menghasilkan Bangsa yang mandiri dan berkesejahteraan umum (Latif, 2020, 222-
232).

Universitas Indonesia
51

Nilai Bhinneka Tunggal Ika adalah terkait dengan sila ketiga, yaitu bagian
dari ranah mental spiritual atau Tata Nilai yang bilamana berhasil dalam
pembangunannya akan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berkepribadian.
Bab 5 penelitian ini hanya akan dibatasi dalam pembahasan seputar Tata Nilai
dalam satu kesatuan dengan penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika. Namun
bagaimanapun keberhasilan setiap ranah pembangunan tersebut saling terkait.
Pembangunan ranah mental spiritual tidak akan terlaksana jika ranah institusional-
politikal tidak membangun kesadaran yang sama secara baik untuk mendukungnya
terlaksananya pembangunan mental spiritual. Institusi nasional dan kebijakan dan
perundang-undangan yang dihasilkan diperlukan dalam mencapai pembangunan
mental spiritual. Demikian pula bila pembangunan material-teknologikal tidak
dapat mengejar pencapaian kesejahteraan rakyat, maka proses pembangunan
mental-spiritual dalam membentuk bangsa yang kepribadian bangsa juga
terkendala. Apa yang diungkapkan dalam lirik lagu Indonesia Raya “Bangunlah
jiwanya, Bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya” sangat tepat mewakili
kebutuhan akan pembangunan nasional secara holistik. Perlu dibangun kesadaran
bersama, kesadaran nasional untuk meyakini pentingnya kesatuan niat dalam
membangun ketiga aspek ini. Keanekaragaman memperkuat stabilitas nasional
karena kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan dengan beragam
budaya, bahasa daerah, dan etnis akan menjadi sumber guncangan penyebab
konflik di tiap-tiap daerah jika warganya tidak menganut nilai kebinekaan dan
perdamaian. Konflik-konflik di daerah tentu dapat mengancam Ketahanan Nasional
secara keseluruhan.
Untuk menyatukan niat menjadikan Indonesia sebagai Bangsa yang
Berkepribadian, pertama perlu adanya kesadaran bersama terkait masalah-masalah
mental spiritual bangsa ini. Berbicara mental spiritual tidak dapat dilepaskan
dengan pembangunan karakter bangsa. Pendidikan merupakan aspek yang paling
berperan dalam pembentukan karakter manusia. Pembangunan manusia didapat
sebagai hasil pendidikan. Pendidikan nasional menentukan pembangunan nasional
dan ketahanan nasional. Ki Hajar Dewantara, salah satu pendiri bangsa Indonesia,
mengusung gagasan pendidikan sepanjang hayat atau lifetime education (Muchith,
2016). Pendidikan memungkinkan kita dalam pembentukan identitas dan karakter

Universitas Indonesia
52

khas bangsa, pendidikan mampu mengembangkan budaya. Ketahanan sosial dan


ketahanan budaya bangsa sangat bergantung pada kualitas pendidikan nasional.
Ketika perubahan sosial global terjadi pesat, dan mempengaruhi perubahan sosial
di dalam negeri, maka pendidikan nasional yang merupakan agen sosialisasi tentu
akan terpengaruh dan perlu menyesuaikan perkembangan jaman.

4.2. Kerentanan Nasional


Kerentanan adalah hal yang berseberangan atau berkebalikan dari
ketahanan. Dalam proses menjadi tahan, perlu adanya pengetahuan akan teori
kerentanan, dengan demikian dapat memahami dimana kerentanan yang dimiliki
dan perlu diperbaiki. Dalam perspektif Antropologi dan Sosiologi, kerentanan
dipandang dari kerentanan sosial dan kerentanan ekonomi (Alwang, 2001) (Hanita,
2020). Kerentanan sosial mengacu kepada ketahanan masyarakat ketika dihadapkan
dengan berbagai tekanan eksternal. Tekanan eksternal meliputi berbagai aspek
seperti kesehatan manusia, bencana alam, wabah penyakit dan lain sebagainya.
Kurangnya akses ras dan etnis tertentu ke sumber daya (berdasarkan bahasa,
budaya, tingkat pendidikan) juga berkontribusi terhadap kerentanan sosial (Hanita,
2020, 275).
Nilai Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai integritas di dalamnya selain
nilai kebinekaan. Integritas merupakan kesatuan yang menyeluruh di dalam
kehidupan nasional suatu bangsa, baik sosial, alamiah, potensiil maupun fungsionil
(Lemhannas, 1974, 9). Indonesia sebagai negara kesatuan yang merdeka memiliki
ciri khas secara holistik yang disebut Identitas Nasional. Identitas bukan hanya
persoalan sosio-psikologis namun juga politis. Ada politisasi atas identitas.
Identitas yang dalam konteks kebangsaan seharusnya digunakan untuk merangkum
kebinekaan bangsa ini, namun justru mulai tampak penguatan identitas-identitas
sektarian baik dalam agama, suku, daerah dan lain-lain. Identitas yang menjadi
salah satu dasar konsep kewarganegaraan (citizenship) adalah kesadaran atas
kesetaraan manusia sebagai warganegara. Identitas sebagai warganegara ini
menjadi bingkai politik untuk semua orang, terlepas dari identitas lain apapun yang
dimilikinya seperti identitas agama, etnis, daerah dan lain-lain (Bagir, 2011: 17).

Universitas Indonesia
53

Identitas kewarganegaraan adalah elemen penting dalam identitas nasional.


Kokohnya identitas nasional menumbuhkan kepercayaan warga negara terhadap
negaranya. Identitas kewarganegaraan yang kokoh menumbuhkan keinginan dari
setiap warga untuk mengidentifikasi dirinya dengan identitas nasional negaranya.
Negara-negara yang rapuh memiliki identitas nasional yang rapuh. Elemen identitas
nasional di negara-negara rapuh mencakup Identitas Kewarganegaraan, Agama,
Identitas Budaya dan Etnisitas (Grotenhuis, 2016) (Hanita, 2020).

4.3. Gambaran Kondisi Ketahanan Nasional Indonesia


Dalam mengetahui kondisi Ketahanan Nasional dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Ketahanan Negara dalam menghadapi guncangan salah satunya
dapat diketahui menggunakan Prinsip Efek Kurva J yang diperkenalkan oleh Ian
Bremmer, seorang ilmuwan politik. Kurva J merupakan cara untuk melihat
kejatuhan dan kebangkitan suatu negara. Mengapa beberapa negara berada dalam
kondisi makmur dan solid sedangkan beberapa negara lainnya dalam keadaan krisis
dan tidak stabil dapat digambarkan secara visual oleh Kurva J. Kurva J ini
menggunakan sumbu vertikal yang berupa ‘Stabilitas’, dan sumbu horisontal yaitu
‘Keterbukaan’ untuk reformasi politik dan ekonomi. Penelitian ini tidak akan
menggunakan Kurva J dalam mengetahui kondisi Ketahanan Nasional Indonesia.
Penelitian ini akan memperhatikan isu-isu penting yang digunakan sebagai
pengukuran kerentanan dan ketahanan nasional oleh Ian Bremmer. Faktor penentu
penting terhadap stabilitas adalah Guncangan, Demokrasi, Ekonomi dan Modal
Politik. Demokrasi memainkan peran penting di negara-negara yang dianggap
stabil di dalam Kurva J Bremmer. Berdasarkan logika tersebut maka Indeks
Demokrasi dapat menjadi salah satu bentuk evaluasi mengetahui kondisi Ketahanan
Nasional Indonesia.
Di dalam Indeks Demokrasi Indonesia terdapat 30 indikator. Namun
penelitian ini hanya akan melihat 10 indikator yang relevan.

Universitas Indonesia
54

Tabel 4.1. Indeks Demokrasi Indonesia menurut Indikator 2017-2019 (Sumber BPS)

Di dalam Tabel 4.1. terdapat 10 indikator yang menentukan Indeks Demokrasi


Indonesia (IDI) dalam tiga tahun sejak tahun 2017 hingga tahun 2019. Indikator
yang berada dalam penilaian indeks di bawah 60 adalah ancaman/ penggunaan
kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat. Indeks
berdasarkan indikator ini sangat memprihatinkan karena selalu di nilai yang rendah
dalam periode tahun 2017 hingga 2019. Kemudian Indeks yang berada di antara 60-
70 adalah ancaman/ penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang
menghambat kebebasan berpendapat. Indikator yang juga cukup rendah yaitu di
antara 70-80 adalah ancaman/ penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang
menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat. Kedua Indeks berdasar
indikator tersebut menurun di tahun 2019 dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Namun, di luar ketiga indikator tersebut, dapat kita lihat bahwa masih
terdapat adanya ketidakadilan dalam isu gender, etnis dan kelompok. Ketidakadilan
terdapat baik berupa tindakan diskriminatif oleh pejabat, penggunaan kekerasan
oleh masyarakat bahkan dalam bentuk aturan tertulis yang diskriminatif.
Yang juga sangat mengkhawatirkan dan memprihatinkan adalah adanya
aturan tertulis, tindakan maupun pernyataan pejabat dan ancaman atau penggunaan
kekerasan terhadap kebebasan menjalankan ibadah agama. Kondisi ini sangat
bertolak belakang dari nilai Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan bernegara.

Universitas Indonesia
55

Perlakuan menyimpang yang menunjukkan gambaran sangat suram tentang


kebebasan beragama juga diungkapkan dalam beberapa penelitian terkait. Paul
Marshall (Marshal, 2018) menginformasikan adanya variasi regional yang
mencolok dalam intoleransi agama dan serangan agama. Lebih dari 80 persen
insiden intoleran yang terjadi hanya di tiga wilayah: Aceh, Jawa Barat, dan
Sulawesi Selatan. Provinsi Aceh, di ujung utara Sumatera, selalu memiliki karakter
yang berbeda dan merupakan satu-satunya tempat di Indonesia yang resmi
diperintah oleh syariat, hukum Islam.
Sebaliknya, Jawa Barat, yang meliputi provinsi Jawa Barat, Banten, dan
Jakarta, memiliki lebih banyak kesamaan dengan daerah lain di Indonesia, namun
masih merupakan tempat dengan jumlah terbesar tindakan intoleransi beragama.
Tujuh dari 10 kota paling intoleran di negara ini ditemukan di kawasan Jawa Barat
(Setara, 2015). Daerah Jawa Barat, Banten dan Jakarta merupakan pusat
modernisasi dari keseluruhan Indonesia. Jakarta sebagai ibukota dan daerah-daerah
sekitarnya tersebut merupakan pusat kegiatan politik dan komersil. Di daerah
Jakarta dan Jawa Barat pula penelitian ini mengambil contoh kasus sekolah dalam
hal penyemaian nilai kebinekaan.
Kondisi yang mencerminkan adanya diskriminasi dan tindakan kekerasan
dalam hal kebebasan beribadah agama juga terjadi pada penganut Syiah,
Ahmadiyah, Gafatar, dan lainnya. Temuan yang juga sangat menyedihkan dan
adalah kasus penutupan paksa rumah ibadah. Tercatat terdapat 69.703 kasus
penutupan gereja Kristen, 24.801 penutupan candi Hindu, 3.342 Vihara Buddha dan
651 kuil Konfusianisme terjadi di Aceh, Bogor dan Bekasi. Disebutkan juga dalam
Laporan Kementerian Agama bahwa sebanyak 85 persen rumah ibadah beroperasi
tanpa izin resmi, sebagian besar di antaranya adalah 289.951 mesjid (Laporan
Kebebasan Beragama Departemen Luar Negeri 2016).
Peristiwa besar yang terjadi ketika pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017
melibatkan isu penodaan agama, dan kebebasan beragama secara umum. Pemilihan
ini merupakan bentuk polarisasi terburuk di Indonesia sejak memasuki era
reformasi. Dalam pemilihan tersebut terjadi pencemaran nama baik mengenai
agama dan etnis, dan berakhir dengan memenjarakan Gubernur yang sedang
menjabat atas tuduhan penistaan agama. Dampak atas kejadian tersebut kondisi

Universitas Indonesia
56

Indonesia perihal kebebasan beragama, sentimen atas perbedaa agama dan terhadap
etnis Cina menjadi semakin buruk. Putusan atas kasus penistaan agama tersebut
telah memecah Indonesia dengan cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam
beberapa dekade.
Selanjutnya dalam mengetahui kondisi Ketahanan Nasional di Indonesia
kita dapat melihat Indeks Ketahanan Ideologi Pancasila (IKIP). Penyusunan IKIP
menggunakan lima aspek yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan
dan Keadilan Sosial. Sedangkan indikator yang digunakan adalah Politik,
Kenegaraan-kebangsaan, Sosial, Kebudayaan, Keagamaan dan Ekonomi.
(Maharani, 2017). Hasil perhitungan IKIP pada tahun 2018 (Maharani, 2019)
menunjukkan bahwa daerah dengan IKIP terendah adalah Papua Barat dan DKI
Jakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan daerah dengan IKIP terbaik. Sisanya; Maluku, Bali, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Barat dan Sumatera Utara memiliki hasil IKIP sedang.
Dikatakan dalam penelitian tersebut bahwa beberapa faktor pelemahan
ketahanan ideologi Pancasila berawal dari realitas keberagaman, baik secara
kultural, etnis dan sub etnis, bahasa, dan agama/kepercayaan. Munculnya sikap-
sikap intoleransi, primordialisme, stereotip, egositas dan rapuhnya empati terhadap
sesama. Kerentanan ideologi pada warga usia produktif cukup tinggi dikarenakan
upaya mereka di usia tersebut dalam mencari jati diri dan membentuk identitas diri.
Metode mengatasi yang seharusnya diterapkan pada mereka usia pelajar atau
mahasiswa adalah melalui pendidikan kewarganegaraan yang didukung oleh sistem
pembelajaran yang baik (Winarno, 2013).
Social Progress Index (Indeks Kemajuan Sosial) menawarkan kerangka
kerja yang kaya untuk mengukur berbagai dimensi kemajuan sosial, mengukur
keberhasilan, dan mengkatalisasi kesejahteraan manusia yang lebih besar. Penilaian
Indeks Kemajuan Sosial adalah rata-rata di seluruh skor untuk tiga dimensi besar:
Basic Human Needs (Kebutuhan Dasar Manusia), Foundations of Wellbeing
(Landasan Kesejahteraan), dan Opportunity (Peluang). Di dalam dimensi Peluang,
terdapat beberapa indikator yaitu Personal Rights (Hak-hak individu), Personal
Freedom and Choice (Kebebasan dan Pilihan Pribadi), Inclusiveness (Inklusivitas)

Universitas Indonesia
57

dan Access to Advanced Education (Akses ke Pendidikan Lanjutan)


(socialprogress.org).
Indonesia menduduki peringkat ke-84 dalam Indeks Kemajuan Sosial di
tahun 2020 dengan score 69,49 dari keseluruhan 163 negara yang dibagi ke dalam
enam tingkatan. Indonesia merupakan bagian dari tingkat ke-4. Lebih detil
mengenai Indeks Kemajuan Sosial Indonesia, diketahui bahwa komponen nilai
terendah yaitu dalam aspek Inclusiveness (Inklusivitas), Health and Wellness
(Kesehatan dan Kebugaran), Access to Advanced Education (Akses ke Pendidikan
Lanjutan), Personal Freedom and Choice (Kebebasan dan Pilihan Pribadi) dan
Access to Information and Communications (Akses Informasi dan Komunikasi). Di
antara lima aspek terendah, skor terendah adalah dalam aspek Inklusivitas, hanya
mendapat skor 42,98 dari 100. Kelemahan di dalam Inklusivitas Indonesia antara
lain terletak pada Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Minoritas selain Kesetaraan
terhadap Gender, Kelompok Sosial dan Posisi Sosioekonomi dan Keterbukaan
terhadap Kaum Biseksual (socialprogress.org).
Bila kita fokus ke jenjang usia muda atau pemuda, kondisi inklusivitas
Indonesia dapat juga digambarkan dalam Youth Progress Index (Indeks Kemajuan
Pemuda). Di dalam Youth Progress Index, Indonesia berada di peringkat 76 dari
keseluruhan 150 negara. Komponen nilai terendah Indonesia terletak pada
komponen Environmental Quality (Kualitas Lingkungan), Personal Freedom and
Choice (Kebebasan dan Pilihan Pribadi) dan Inclusiveness (Inklusivitas). Di dalam
komponen Inklusivitas, elemen Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Minoritas
masih merupakan titik terlemah Indonesia, selain Keterbukaan terhadap Kaum
Biseksual. (youthprogressindex.org).
Khusus mengenai inklusivitas, terdapat laporan Global Inclusiveness Index
(Indeks Inklusivitas Global) tahun 2019. Disini Indonesia berada dalam urutan
sangat rendah dengan skor 28,88 dibandingkan yang tertinggi adalah Belanda
dengan skor 100, dan masuk kategori terendah di antara 5 kategori. Posisi di dalam
kategori terendah ini telah diduduki Indonesia sejak tahun sebelumnya.
Laporan Global Peace Index (Indeks Perdamaian Dunia) tahun 2020
memaparkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-49 dari keseluruhan 163
negara. Sebagai bagian dari Asia Pasifik, Indonesia merupakan negara paling damai

Universitas Indonesia
58

peringkat ke-9 dari 19 negara. Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa Indonesia
dan Timor-Leste telah mencatat kemerosotan terbesar di kawasan Asia Pasifik.
Indonesia memburuk karena lonjakan kematian akibat konflik internal yang terjadi,
mencerminkan konsekuensi fatal dari konflik agama di Maluku dan konflik
pribumi-imigran di seluruh negeri, khususnya di Kalimantan Barat. Indonesia juga
mengalami kemerosotan substansial dalam ketidakstabilan politik selama setahun
terakhir (Institute for Economic and Peace, 2020).
Kenyataan ini merupakan evaluasi nyata atas kondisi Ketahanan Ideologi
Indonesia. Indonesia sebagai negara yang memiliki kesadaran bersama atas
keragamannya. Para pendiri bangsa sepakat untuk mendirikan Negara kesatuan
Republik Indonesia di atas dasar negara Pancasila, dengan sesanti Bhinneka
Tunggal Ika. Pada fondasi yang mengandung nilai kebinekaan di dalamnya, pada
kenyataannya memiliki masalah serius dalam hal inklusivitas, toleransi atas kaum
minoritas, toleransi terhadap perbedaan agama dan menghargai kebebasan
beribadah agama yang berbeda.

Universitas Indonesia
BAB 5
PENYEMAIAN NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA DI SEKOLAH-
SEKOLAH DI INDONESIA

Yang dimaksud sekolah-sekolah di dalam tesis ini hanya sekolah menengah


atau setara jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah
Menengah Atas) atau SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) ditambahkan contoh
Sekolah Guru Kebinekaan mewakili wadah pendidikan untuk para pengajar.
Adapun pembagian hasil wawancara narasumber sekolah dibagi menjadi tiga, yaitu
Sekolah Publik dalam hal ini SMAN 8 Jakarta, Sekolah Swasta dalam hal ini
Sekolah Madania, Sekolah Kanisius dan SMK Bakti Karya Parigi serta Sekolah
untuk Guru.

5.1. Sekolah Publik


SMA Negeri 8 Jakarta
Sekolah publik merupakan sekolah yang seharusnya paling bertanggung-
jawab dalam mendidik dan mengajarkan Wawasan Kebangsaan, termasuk
penanaman paham-paham keberagaman dan persatuan. Peneliti secara kebetulan
merupakan alumni SMA Negeri 8 Jakarta. SMA 8 juga sejak lama telah dikenal
sebagai sekolah teladan, baik dari sisi penilaian tertinggi seleksi masuknya maupun
nilai kelulusannya. Maka menurut peneliti SMA 8 memiliki keunikan untuk digali
sebagai contoh kasus penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di sekolah publik.
Sebagaimana mengikuti peraturan pemerintah untuk sekolah publik, SMA
8 sekarang ini menggunakan sistem zonasi dalam penerimaan murid baru.
Sebelumnya sekolah publik menerima murid baru berdasarkan seleksi nilai. Selain
itu juga terdapat jalur akademis dan non akademis, misalkan siswa yang berprestasi
di olah raga atau kesenian dan lain sebagainya, juga memiliki peluang untuk masuk
diterima di SMA 8. Tersedia pula jalur penerimaan siswa berdasarkan pengalaman
aktivitas seperti Pramuka dan Jambore Nasional. Penerimaan siswa juga
menyediakan jalur menggunakan nilai rapor SMP dengan kuota sekitar 30% dari
keseluruhan penerimaan siswa baru, dan selebihnya 70% menggunakan kriteria
penerimaan yang variatif.

59
Universitas Indonesia
60

Peneliti mewawancarai secara daring Roni Saputro sebagai nara sumber


yang mewakili SMA 8 Jakarta. Pak Roni adalah seorang guru mata pelajaran
sejarah, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah sejak tahun
2014 hingga 2020. Pak Roni menginformasikan bahwa keseluruhan angkatan kelas
X, XI dan XII sejumlah 29 kelas, dan dari tiap jenjang kelas sosial (IPS) hanya satu,
dan selebihnya kelas eksaksa (MIPA). Di SMA 8 terdapat program Latihan Dasar
Kepemimpinan Awal (LDKA) untuk seluruh siswa kelas X yang baru masuk SMA
8. Dalam penyelenggaraan LDKA, SMA 8 bekerjasama dengan Marinir Cilandak
dan dengan Bela Negara Bandung. Kegiatannya pun dilaksanakan bisa di luar kota
yaitu di Bandung, ataupun di lokasi Marinir Cilandak Jakarta, menginap selama tiga
hari. Dalam kegiatan ini diberikan pengajaran tentang nilai kedisiplinan, Pancasila.
Pak Roni menginformasikan bahwa kegiatan ini merupakan keunikan dari SMA 8
yang dalam arti belum tentu dilaksanakan di semua SMA negeri lainnya.
Selain program LDKA terdapat pula program LKS (Latihan Kepemimpinan
Sekolah) khusus untuk siswa yang menjadi pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra
Sekolah). Nilai-nilai yang diajarkan di dalam LKS antara lain nilai disiplin,
integritas, kerjasama, dan lain-lain. Penanaman nilai-nilai keragaman dan
kebangsaan mulai diperkenalkan ke siswa SMA 8. Dalam hal kegiatan yang
berhubungan dengan keagaaman tertentu seperti kegiatan Kerohanian Islam (rohis)
Pak Roni mengatakan bahwa sekolah melarang kegiatan tanpa adanya guru
pembimbing. Hal ini untuk mencegah adanya penanaman nilai-nilai yang bertolak
belakang dari kebinekaan dan nilai toleransi, atau bahkan yang mengarah ke
ekstremisme atau fundamentalisme. Dalam membimbing kegiatan rohis, guru
mengajarkan untuk tidak mempercayai satu sumber secara taqlid buta. Penyemaian
nilai keragaman dan kebangsaan juga disampaikan di dalam mata pelajaran sejarah
dan PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Namun PKn sekarang ini lebih cenderung
dalam mengajarkan teori-teori hukum tata negara dibandingkan penanaman nilai-
nilai. PKn pada jaman dahulu masih diajarkan mengenai Pancasila dan butir-butir
Pancasila, namun sekarang tidak lagi diajarkan. Pembahasan mengenai penyemaian
Pancasila dalam keseharian dari tiap butir tidak lagi dibahas di mata pelajaran PKn.
Namun karena isu radikalisme sekarang yang sedang hangat, di dalam PKn terdapat
bagian yang membahas mengenai radikalisme. Sementara kalau di mata pelajaran

Universitas Indonesia
61

sejarah lebih diutamakan juga penanaman nilai-nilai dari cerita-cerita sejarah yang
disampaikan. Di mata pelajaran sejarah kelas X materi yang disampaikan adalah
pengertian tentang sejarah, ruang lingkup sejarah, metodologi sejarah, sejarah
Islam, Hindu, Buddha dan lainnya. Di pelajaran sejarah kelas XI terdapat materi
Pergerakan Nasional yang antara lain mencakup kebinekaan di dalam topik
Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam pembahasan Pancasila, guru
menyampaikan bahwa Pancasila terbentuk tidak secara mudah, dan telah melalui
berbagai argumentasi perdebatan dan proses literasi yang panjang, dengan
mempertimbangkan berbagai keragaman Indonesia yang ada, dan sudah final
disepakati sebagai dasar ideologi negara. Bahkan guru sejarah menyampaikan kalau
negara Indonesia dijadikan negara agama tertentu maka niscaya negara akan pecah.
Di mata pelajaran agama juga disentuh mengenai isu-isu anti radikalisme.
Mengenai sistem penilaian berdasarkan perkembangan karakter siswa tidak
terdapat baik di PKn maupun di pelajaran Agama, namun guru sejarah menerapkan
penilaian karakter siswa.
Pelajaran Sejarah dibagi menjadi dua yaitu Sejarah Wajib dan Sejarh
Peminatan. Pelajaran Sejarah Wajib membahas sejarah utuh, misalkan sejarah
nasional. Sedangkan kalau di Pelajaran Sejarah Peminatan terdapat materi seperti
Sejarah Perang Dunia I dan II, Sejarah Kontemporer Dunia, Sejarah Chekoslovakia,
Sejarah Jerman Barat dan Jerman Timur, Sejarah Korea Selatan dan Korea Utara,
dan lainnya, Namun Sejarah Peminatan ini hanya diberikan di kelas IPS tidak di
kelas MIPA. Sedangkan Pelajaran Sejarah Wajib diberikan baik untuk kelas IPS
maupun kelas MIPA dari kelas X, XI dan kelas XII. Jumlah jam pelajaran sejarah
diberikan sekitar 2 jam pelajaran dari keseluruhan 50 jam pelajaran per minggu,
kecuali untuk Pelajaran Sejarah Peminatan diberikan sebanyak 4 jam dalam
seminggu. Namun di era pandemi jumlah jam aktual dikurangi tidak sebagaimana
normal sebelum pandemi. Mata pelajaran PKn juga diberikan 2 jam dalam
seminggu dari keseluhan 50 jam per minggu. Mata pelajaran Agama yang
ditingkatkan di tahun 2020 menjadi 3-4 jam per minggu dari sebelumnya 2 jam per
minggu. Namun tidak diinformasikan bagaimana perkembangan kurikulum di
tahun 2021 karena masih dalam progres. Pelajaran PKn juga diberikan baik bagi
kelas MIPA maupun IPS sejak kelas X, XI, dan XII. Selain mata pelajaran PKn dan

Universitas Indonesia
62

Sejarah tidak ada materi penyemaian nilai-nilai kebinekaan maupun Pancasila.


Mata pelajaran Sosiologi karena merupakan ilmu murni sehingga hanya
disampaikan fakta-fakta dan teori tanpa adanya penyemaian nilai atau propaganda
nilai-nilai. Mata pelajaran Antropologi dan Tata Negara sudah tidak ada lagi sejak
sekitar tahun 1999. Kurikulum berganti tahun 2004, sejak itu tidak ada lagi
pelajaran Tata Negara dan Antropologi. Sebelumnya, nilai kebangsaan, kewargaan
dan kebinekaan dikaji juga di dalam mata pelajaran Tata Negara. Dengan demikian
materi yang semula disampaikan juga di Pelajaran Tata Negara menjadi dipadatkan
di dalam Mata Pelajaran PKn dan Sejarah. Namun demikian di saat ada Pelajaran
Tata Negara, itupun hanya disampaikan untuk kelas peminatan IPS.
Metode penyampaian nilai kebinekaan dan kebangsaan sebelum era
pandemi dilakukan melalui diskusi bersama, permainan sejarah secara interaktif,
memantau perkembangan sikap perilaku dan pemikiran siswa dalam keseharian
selain pemberian materi di kelas. Namun setelah pandemi memang terpaksa
pengajaran yang dapat disampaikan menjadi hanya kognitif saja. Karena tidak
memungkinkan pertemuan tatap muka yang dapat menciptakan diskusi lebih cair
dan memantau perkembangan perilaku siswa. Tidak hanya pelajaran sejarah, mata
pelajaran lainnya juga metode penyampaiannya tidak hanya ceramah di muka kelas
oleh guru namun juga bersifat interaktif dan menarik, terutama dengan semakin
banyak guru-guru muda yang baru. Guru-guru ASN baru lebih memiliki
kompetensi di bidang multimedia dan teknologi sehingga dapat berkreasi lebih
inovatif dalam menyampaikan materi ajaran.
Sebagai evaluasi dalam proses pengajaran, di SMA 8 diadakan Rapat Dinas
berkala. Di dalam rapat dinas tersebut terdapat pembahasan masukan-masukan dan
kritik siswa terhadap guru ataupun antar guru sebagai bahan evaluasi. Terkadang
ada masukan kritik dari siswa maupun guru terhadap guru lainnya jika seorang guru
dianggap terlalu ekstrim dalam menyampaikan pengajaran misalkan materi
pelajaran agama. Selain itu murid di SMA 8 ternyata cukup kritis dalam berdebat
dengan guru di kelas, karena banyak dari siswa yang gemar membaca buku-buku
di luar yang diwajibkan di sekolah, misalkan buku-buku filsafat. Pernah terjadi
siswa SMA 8 yang mengkritisi penceramah yang didatangkan ke SMA 8 yang
ternyata di dalam ceramahnya mengandung konten ‘politik aliran’. Daya kritis

Universitas Indonesia
63

siswa SMA 8 tergolong tajam. Mereka memiliki gerakan ‘PK (Perwakilan Kelas)
goes to Class’. PK atau MPK (Majelis Perwakilan Kelas) berfungsi sebagaimana
MPR di dalam pemerintahan Indonesia. ‘PK goes to Class’ ini diperbolehkan
masuk ke kelas-kelas dan memantau juga mengkritisi semua bidang yang terdapat
di SMA 8, termasuk mengkritisi metode ataupun materi pengajaran guru-guru.
Yang dikritisi tidak hanya materi pelajaran, tapi juga termasuk kritik terhadap
humas, sarana, pimpinan sekolah. Kritik disampaikan secara terbuka dan
didokumentasi secara rapi di dalam semacam dokumen paper. Bilamana terdapat
aduan adanya guru yang cenderung menyampaikan paham yang ekstrim, atau yang
metode ajarnya kurang menarik, maka Kepala Sekolah akan memberikan
pembinaan terhadap guru yang bersangkutan.
Beberapa kasus menarik di SMA 8 antara lain adalah ketika pelajaran agama
Islam, terdapat siswa beragama Kristen yang tetap bertahan untuk duduk di kelas
mendengarkan, namun ditegur oleh guru Agama Islam sehingga sempat terjadi
pertentangan dengan orang tua murid. Kemudian, ketika Kerohanian Kristen
(rohkris) sedang berkumpul mendengarkan penceramah pendeta, lalu Wakil Kepala
Sekolah yang mencakupi Wakil Kesiswaan memasuki ruangan, lalu siswa dan guru
rohkris terlihat kaget, curiga dan merasa terintimidasi. Namun setelah diberi
pengertian bahwa Wakil Kesiswaan perlu untuk menghadiri semua kegiatan siswa
meskipun dari agama yang berbeda, maka situasi kembali mencair. Dalam hal
kegiatan rutin keagamaan, siswa SMA 8 yang beragama Islam setiap pagi
diwajibkan mengaji tadarus (membaca ayat Al Quran) selama 15 menit, sedangkan
yang beragama Katolik dan Kristen Protestan melakukan doa pagi bersama. Namun
karena siswa beragama Hindu dan Buddha sangat sedikit dari sisi jumlah, maka
tidak disediakan kegiatan keagamaan di sekolah, hanya dianjurkan untuk langsung
ke tempat ibadat agama masing-masing di luar sekolah. Kejadian lain yang sempat
memicu konflik seputar agama adalah ketika seorang siswa non-Islam masuk kelas
terlambat lalu dilarang masuk kelas, maka siswa tersebut yang semula tersinggung
dan merasa didiskriminasi karena sebagai non-Muslim. Guru yang sedang mengajar
memang dikenal sebagai guru agama yang cenderung keras dan kaku pemahaman
agamanya. Namun setelah diberikan penjelasan bahwa siswa Muslim yang
terlambatpun juga dilarang masuk, maka permasalahan selesai. Insiden lainnya

Universitas Indonesia
64

adalah ketika seorang siswi mulai memakai cadar ke sekolah. Lalu setelah diajak
berbicara oleh guru Wakil Kesiswaan, maka diketahui bahwa anak tersebut tinggal
bersama bibinya dan mendapatkan pengaruh paham keagamaan fundamentalis
tanpa sepengetahuan orang tua siswi yang bersangkutan. Setelah diajak diskusi lalu
siswi tersebut keesokan harinya mulai kembali melepas cadarnya. Mengenai kasus
diskriminasi ataupun perundungan agama di lingkungan sekolah yang terjadi di
antara siswa, diutarakan oleh guru narasumber bahwa tidak pernah ada temuan
demikian selama ia mengajar. Namun demikian, ditemukan adanya kasus terjadinya
perubahan perangai siswa menjadi berbeda secara individu dikarenakan pengaruh
lingkungan di luar sekolah, atau dikarenakan membaca buku dengan konten ekstrim
yang kurang sesuai dengan paham toleransi dan keragaman.
Siswa di lingkungan SMA 8 dalam keseharian diamati oleh para pengajar
maupun staff sekolah, seperti Wali Kelas, Guru Pembina OSIS, Guru Biasa, Guru
Pembina Ekstrakurikuler, Staff Sekolah, Kepala Sekolah dan Wakil. Sehingga jika
terdapat ketidakwajaran atau perubahan maka selama ini selalu diusahakan untuk
ditangani oleh pihak sekolah. Ketidakwajaran yang dimaksud antara lain ketika
anak merasa dikucilkan, atau anak yang tidak masuk sekolah sampai berbulan-
bulan,

5.2. Sekolah Swasta


5.2.1. Sekolah Madania
Sekolah Madania didirikan tahun 1995 oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid,
Prof. Drs. Achmad Fuadi, dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Penelitian ini
mengambil contoh Sekolah Madania karena Sekolah Madania merupakan sekolah
Indonesia yang menghargai perbedaan agama dan pemikiran, serta menghargai
kebutuhan belajar individu dengan kebutuhan dan kemampuan yang berbeda.
Sekolah Madania mengutamakan penyelenggaraan belajar dalam suasana kearifan
Indonesia yang menghargai spiritualitas, tradisi, kebajikan, seni, budaya dan sejarah
bangsa.
Nama "Madania" berasal dari bahasa Arab "madaniah" yang berarti
peradaban. Madinah sendiri berarti tempat peradaban, yang juga sering diartikan
sebagai kota, tempat yang didiami oleh masyarakat yang beradab, ketaatan penuh,

Universitas Indonesia
65

disiplin, dan tunduk patuh kepada Tuhan. Oleh karena itu, baik kata madaniah
maupun madinah merupakan kata yang berasal dari kata daana, yadiinu, diinan
yang artinya patuh, tunduk, dan patuh serta pasrah. Madaniah dan madina juga
berasal dari kata dasar yamdunu madana, madyinah yang artinya membangun, yaitu
membangun peradaban.
Meskipun Sekolah Madania menggunakan kata dari Arab yang bernuansa
Islami dan juga menekankan spiritualitas, namun visi Sekolah Madania adalah
sebagai “Sekolah Indonesia Sejati untuk Para Pemimpin.” Dengan visi tersebut,
Sekolah Madania dirancang sebagai “sekolah pribumi Indonesia untuk
mempersiapkan generasi pemimpin masa depan”. Untuk mencapai visi tersebut,
Madania kemudian membentuk misi mendidik menuju; menghidupkan kembali
kesadaran akan Tuhan, mewujudkan standar kelas dunia, hidup dengan karakter
luhur, dan menghargai nilai-nilai Indonesia. Artinya Madania mendidik murid-
muridnya untuk membangkitkan kesadaran akan Tuhan, menyelenggarakan
pendidikan internasional, hidup dengan penuh harkat dan martabat, serta
menghargai nilai-nilai dan tradisi Indonesia.
Untuk menjaga agar komunitas Madania tetap berada di jalur untuk
mencapai visi Madania yang dijelaskan di atas, nilai-nilai Madania dikumpulkan:
Kebenaran, inklusifitas, integritas, dan kecerdasan. Dikarenakan visi dan misi serta
sejarah Sekolah Madania berdiri berlandaskan kepedulian akan inklusifitas,
menghargai nilai dan tradisi Indonesia, maka Sekolah Madania dapat menjadi
contoh baik dalam penyemaian Bhinneka Tunggal Ika untuk keperluan penelitian
ini.
Harisko selaku Direktur Sekolah Madania dalam penelitian ini merupakan
narasumber mewakili Madania. Harisko mengungkapkan penyemaian nilai
Bhinneka Tungga Ika di Madania diawali dengan sebutan Madania sebagai
miniatur Bhinneka Tunggal Ika di dalam lirik Hymne Madania.
“Beriman, berilmu dan beramal. Berakhlak mulia dan hormat sesama.
Menegakkan keadilan dan perdamaian. Membangun bangsa berperadaban.
Madania menjunjung tinggi harkat untuk martabat manusia. Madania..
Madania.. Kau hadir untuk generasi terpelajar. Hidup penuh disiplin dan
ikhlas. Menyiapkan jiwa generasi mulia. Berkiprah bagi bangsa dan negara
majulah Indonesia. Madania.. Madania.. miniatur Bhinneka Tunggal Ika.
Madania.. Madania.. Dharma bhakti bagi bangsa. Madania.. Madania..
Rumah kita bersama.”

Universitas Indonesia
66

Ada dua dimensi dari kalimat ‘Madania miniatur Bhinneka Tunggal Ika’. Pertama,
adanya keinginan agar apa yang diterima dan disahkan di Indonesia diakomodasi
ke dalam sistem pendidikan di Madania. Kedua, pendiri atau penggagas Madania
salah satunya adalah Almarhum Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang sangat kental
ke-Indonesia-annya. Cak Nur selalu menghubungkan pendidikan dan agama ke
Wawasan Keindonesiaan. Maka buku Indonesia Kita karya Cak Nur dijadikan
pedoman untuk dipraktikkan ke dalam sistem pendidikan di Sekolah Madania.
Maka, Sekolah Madania berniat untuk menanamkan karakter dan nilai
Keindonesiaan ke peserta didiknya. Sehingga apapun tantangan yang akan dihadapi
siswa ketika dewasa, mereka telah memiliki modal kepribadian Indonesia yang
kuat.
Penerimaan siswa Madania melalui berbagai tahapan seperti tes psikologi,
tes wawancara, baik wawancara calon siswa maupun wawancara orang tua calon
siswa, disamping tes-tes akademik standar. Tes akademik yang dimaksud yaitu
misalkan calon siswa merupakan lulusan kelas VI untuk mendaftar kelas VII atau
lulusan kelas IX untuk mendaftar kelas X. Tes akademik juga melalui seleksi nilai
rapor sesuai standar penilaian sistem pendidikan di Indonesia. Siswa yang diterima
di Madania mayoritas berasal dari Jabodetabek dikarenakan lokasi Madania terletak
di Parung, Bogor. Madania juga memiliki Madania Students Residence atau
beberapa rumah dekat sekolah yang disediakan untuk siswa dari luar kota ataupun
yang orangtuanya memiliki menempatkan siswanya di residence. Namun
dikarenakan situasi pandemi, Madania Students Residence ditutup sementara.
Nilai kebinekaan di Madania antara lain dapat tercermin dari keragaman
suku, etnis dan agama. Peserta didik di Madania berasal dari beragam suku dari
Aceh hingga Papua, beragam etnis dari India, Arab, Tionghoa selain Indonesia.
Madania diibaratkan seperti film Upin Ipin dalam karakteristik keragaman
siswanya. Madania juga menerima siswa dari berbagai agama yang disahkan di
Indonesia. Educating towards reviving consciousness of God (mendidik menuju
kebangkitan kesadaran akan Tuhan), karena mengacu kepada sila pertama
Pancasila. Dengan demikian semua kegiatan di Madania diselaraskan kepada nilai
Ketuhanan.

Universitas Indonesia
67

Keberagaman siswa yang diterima di Sekolah Madania terjadi secara


alamiah, namun tidak terlepas dari promosi Sekolah Madania di publik yaitu
sebagai miniatur Bhinneka Tunggal Ika sehingga terbuka bagi siapa saja. Bilamana
terjadi kekurangan jumlah siswa dari agama tertentu, maka Sekolah Madania akan
meminta bantuan dari guru agama bersangkutan untuk menyebarkan info
dibukanya jalur penerimaan siswa baru di lingkungan keagamaan mereka. Hal ini
dikarenakan Madania sengaja merawat keberagaman Indonesia dalam ekosistem
sekolahnya, maka mereka mengusahakan agar setiap agama terwakili dengan
kehadiran siswa agama tersebut.
Dikatakan Harisko bahwa kebetulan hanya siswa beragama Konghucu yang
tidak ada di dalam Madania saat ini. Agama Nasrani terwakili dengan adanya
beberapa siswa beragama Katolik, Kristen Protestan bahkan para penganut Saksi-
saksi Jehovah (Yehuwa). Harisko menggambarkan bahwa penganut Saksi-saksi
Jehovah ini diibaratkan penganut Ahmadiyah dalam agama Islam. Namun dalam
pergaulan sosial sehari-hari sesama siswa tidak ditemukan masalah.
Dalam metode penyemaian nilai kebinekaan, Madania memiliki banyak
sekali kesempatan mempraktikkannya di luar kurikulum atau kelas. Madania kerap
mengadakan dialog-dialog interaktif di antara guru-guru agama untuk menanamkan
nilai saling menghargai perbedaan agama di antara para guru. Hal ini karena
Madania menginginkan agar para guru Agama memiliki kesepahaman dengan nilai
kebinekaan yang dianut sekolah, sehingga dapat menyampaikannya di dalam
pengajaran ke siswa. Di dalam diskusi rutin tersebut dibahas isu-isu keagamaan,
termasuk membahas simbol-simbol, budaya dan ajaran dari tiap agama agar para
guru dapat saling mengenal juga agama lainnya. Antar guru diberi kekebasan untuk
saling bertanya mengenai agama lain dan diberikan pemahaman bahwa perbedaan
konsep agama bukanlah suatu masalah. Contohnya, penganut Saksi-saksi Jehovah
menganut larangan menerima hadiah, seperti ketika umumnya kaum Kristiani
bertukar hadiah saat Natal. Mereka juga tidak boleh merayakan ulang tahun,
sehingga tidak merayakan Hari Natal (kelahiran Yesus Kristus). Diskusi ini juga
membahas adanya ritual keagamaan di Hindu seperti ibadah tanpa mengenakan
pakaian. Kegiatan diskusi antar agama di kalangan guru ini menanamkan nilai
saling menghargai perbedaan. Pentingnya diskusi di kalangan guru ini karena

Universitas Indonesia
68

Madania meyakini jika guru-guru memiliki nilai toleransi akan keberagaman


agama, maka nilai serupa akan diajarkan pula kepada peserta didik.
Namun demikian, Madania belum merasa perlu untuk menyelenggarakan
dialog antar agama di kalangan siswa, untuk mencegah dialog tidak terarah jika
tidak di dalam bimbingan atau pengawasan guru-guru Agama. Madania menyebut
pelajaran agama selain Islam sebagai WRE (World Religion Education atau
Pendidikan Agama Dunia). Di dalam pergaulan antar siswa di dalam maupun luar
kelas, sikap saling menghormati teman yang berbeda agama sudah diterapkan baik.
Salah satu contohnya pada bulan puasa Ramadhan, kantin tetap buka seperti biasa,
dan siswa beragama Islam tidak mengeluh. Mereka telah ditanamkan nilai bahwa
ibadah suatu kaum agama dapat dijalankan dengan tidak mengambil atau
menghalangi hak siswa agama lain. Sekolah juga mengajarkan contoh-contoh
toleransi seputar agama, seperti misalkan bahwa tidak perlu ada penutupan
restoran-restoran atau warung makan di luar sekolah selama bulan Ramadhan.
Karena selain yang sedang berpuasa, masih banyak yang tetap membutuhkan
makan siang seperti orang beragama selain Islam, ibu hamil, perempuan yang
sedang berhalangan maupun anak kecil atau orang sakit. Contoh nilai toleransi
beragama juga disampaikan di dalam praktik keseharian di sekolah Madania,
seperti ketika momen Natal atau Lebaran. Persiapan jelang hari raya keagamaan
dibantu oleh guru, pekerja maupun siswa dari agama yang berbeda-beda.
Pengajaran toleransi juga disampaikan dalam bentuk sikap saling memberikan
perhatian kepada yang berbeda agama, misalkan berkirim makanan ketika hari raya
kepada kawan berbeda agama. Sekolah hanya memisahkan keterlibatan siswa di
dalam prosesi ibadahnya saja.
Masih merupakan penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di dalam
keseharian adalah adanya kegiatan community service (pelayanan masyarakat).
Contohnya penyelenggaraan kurban pada hari Raya Idul Adha, siswa selain agama
Islam juga diberikan kebebasam untuk ikut turut partisipasi. Partisipasi dilakukan
misalnya siswa membantu mencacah daging kurban, membagikan kepada kaum
dhuafa, namun sekolah Madania melarang bila siswa non-Muslim ikut bertakbir.
Sekolah Madania memberikan pengarahan untuk sikap-sikap menyeleweng dalam
hal keagamaan misalkan adanya siswa Muslim yang mengenakan busana Sinterklas

Universitas Indonesia
69

dan memperolok-olok, atau mengenakan salib. Madania mengajarkan bahwa


identitas keagamaan tetap harus dijaga, jelas, misalkan pakaian yang menyangkut
suatu agama tetap harus masing-masing. Madania melarang siswa untuk
menganggap semua agama adalah sama. Nilai yang diajarkan adalah setiap agama
itu benar bagi pemeluknya, dan setiap orang tidak boleh saling mengganggu
kegiatan agama orang lain. Bahkan antar umat beragama seharusnya saling
membantu.
Madania merayakan kebinekaan tidak hanya dari sisi agama, suku, etnis,
namun juga keragaman dari kemampuan akademik. Madania menerima siswa
berkebutuhan khusus, yang dinamakan Special Educational Need (SEN). Madania
mengikuti program siswa inklusi dari Kemendikbud, artinya siswa SEN dicampur
dalam kelas siswa-siswa mainstream. Madania menyediakan kuota untuk siswa
SEN maksimal dua anak per kelas. Hal ini dikarenakan ketersediaan guru yang
mampu khusus mendampingi anak-anak SEN. Ada pelajaran yang digabung untuk
siswa SEN dan mainstream, namun ada 8 hingga 10 jam pelajaran dari 40 jam
pelajaran seminggu yang dipisah kelas bagi anak SEN dalam kelas one-to-one
teaching. Namun pada dasarnya semua guru di Madania diberikan pelatihan untuk
mengajar anak SEN. Sekarang ini masih terdapat orang awam yang beranggapan
bahwa anak-anak SEN seperti memiliki masalah kejiwaan. Anak SEN terbagi
menjadi anak SEN individual dan SEN regular. SEN individual maksudnya adalah
siswa yang pencapaian akademiknya sudah tidak sama dengan siswa yang biasa
(mainstream). Sedangkan siswa SEN reguler tetap mengikuti ujian yang sama
dengan siswa mainstream karena tidak berbeda tingkat pencapaian akademiknya.
Sekolah Madania mendidik sikap empati kepada siswa mainstream (selain SEN)
terhadap anak-anak SEN. Siswa mainstream dapat menjadi teman atau bahkan
pembimbing selama belajar kepada teman-teman SEN. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari sikap negatif gemar merundung (bully) teman, dan menggantikannya
dengan sikap empati dan saling membantu. Pendidikan nilai empati kepada siswa
mainstream ini sudah disampaikan sejak kelas I SD. Pendidikan empati yang
dimaksud tidak hanya kepada teman SEN, namun siswa Madania disampaikan
informasi demografi kelas di Sekolah Madania yang beragam agama, suku, ras
hingga tingkat pencapaian akademik seperti SEN.

Universitas Indonesia
70

Nilai kebinekaan yang diajarkan di Sekolah Madania juga mencakup


menerima perbedaan pendapat. Siswa diajarkan untuk mengemukakan pendapat
dengan mengutamakan cara-cara ilmiah, berbasis data. Selain itu Sekolah Madania
juga memperkenalkan berbagai kebudayaan daerah Indonesia yang beragam.
Sekolah mengajarkan siswanya akan nilai-nilai ‘dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung’, atau menghargai kebudayaan dimana kita berada. Karena Madania
terletak di Jawa Barat, maka diadakan acara Sundanese Day (Hari Sunda) sebagai
contoh dari kebinekaan budaya Indonesia. Selain itu, Madania mengadakan Festival
Budaya Agama minimal dua kali dalam setahun. Festival ini memperlihatkan
keragaman budaya baik makanan, pakaian dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan
untuk menyampaikan bahwa perbedaan bukanlah bahan untuk pertengkaran atau
perdebatan, namun merupakan bahan untuk saling mengenal.
Sekolah Madania menyadari bahwa pemahaman akan nilai kebinekaan ini
selain perlu ditanamkan ke peserta didik, namun juga kepada para orang tua siswa.
Karena awal sekolah ini berdiri, mayoritas dari orang tua yang menyekolahkan
anaknya adalah para pengikut kajian Cak Nur, maka umumnya orang tua siswa pada
masa itu telah menganut nilai-nilai kebinekaan yang disampaikan oleh Cak Nur.
Namun berjalan dengan waktu siswa yang mendaftar datang dari beragam latar
belakang, dalam arti terkadang ada orang tua siswa yang tidak sejalan dengan nilai-
nilai kebinekaan yang diajarkan di sekolah. Dalam hal ini kadang siswa justru yang
mengajarkan nilai-nilai kebinekaan yang didapat dari sekolah kepada orang tuanya.
Dikatakan bahwa keluarga siswa di Madania sangat beragam dari sisi keagamaan,
dari yang paling fundamental, moderat sampai yang liberal. Namun Madania tidak
membenarkan adanya pemahaman yang anti agama (religion haters) ataupun
ateisme di dalam lingkungan sekolahnya. Karena Madania memegang asas
Pancasila yang memiliki sila pertama berketuhanan, maka Madania menghindari
ateisme di dalam sekolah. Hal ini dimaksud untuk mengendalikan adanya contoh
tidak baik bagi kawan-kawan siswa lainnya, yaitu adanya orang yang tercatat
beragama namun dalam keseharian menunjukkan contoh tidak melakukan ibadah
atau bahkan anti agama. Dalam hal ini Madania menerapkan prinsip,
sebagaimanapun orang fundamentalis dalam beragama tidak boleh sampai

Universitas Indonesia
71

menganut paham radikalisme. Bagaimanapun orang liberal dalam beragama tidak


boleh sampai menjadi religion haters.
Dalam mata pelajaran Agama yang disampaikan empat jam dari total empat
puluh jam pelajaran dalam seminggu, siswa dibedakan kelas antar agama yang
berbeda. Dua jam dari pelajaran Agama ini merupakan pendidikan akhlak atau
moral, dan dua jam lagi merupakan pendidikan yang lebih fokus ke pendalaman
pengetahuan agama tersebut. Dalam hal ini Madania mengajarkan nilai
eksklusifitas di dalam inklusifitas. Jadi siswa diajarkan bersikap ekslusif di dalam
agamanya masing-masing tapi harus menunjukkan sikap inklusifitas di dalam
pergaulan dengan siswa agama lain. Ekslusifitas yang dimaksud adalah Madania
mengharapkan siswa untuk memperdalam pelajaran agama masing-masing, seperti
harus menjalankan ritual agama seperti shalat, puasa Ramadhan, juga ibadah wajib
Kristiani dan ibadah-ibadah agama lainnya.
Sekolah Madania menerapkan Program yang diperuntukkan bagi anak-anak
usia 3-12 tahun atau PYP (Primary Years Programme). Sekolah Madania kerap
melakukan audiensi dengan tamu luar negeri seperti Inggris. Tamu mewakili
Inggris contohnya, justru ingin belajar dari Indonesia bagaimana menyelesaikan
radikalisme antar agama yang masih bermasalah di negaranya. Madania dalam
strategi ini mengacu ke kurikulum internal sekolah, seperti mata pelajatan PPKn,
pelajaran Agama atau pendidikan moral hasil ramuan Madania sendiri, yang
berawal mengacu kepada PYP Learner Profile. Di dalam PYP Learner Profile
terdapat nilai utama yaitu; Inquirers (rasa keingintahuan), Knowledgable
(berpengetahuan), Thinkers (pemikir), Communicators (komunikator), Principled
(berpegang teguh pada prinsip), Open-minded (berpikiran terbuka), Caring
(bersikap peduli), Risk-takers (berani mengambil resiko), Balanced (seimbang) dan
Reflective (reflektif).
Kemudian Madania mengeluarkan acuan bernama Madania Learner
Profile. Di dalam Madania Learner Profiles, pelajar Madania diharapkan memiliki
sifat atau karakter; faith in action (beriman dalam tindakan), self-awareness
(kesadaran diri), social aptitude (bakat sosial), a well-balanced life (kehidupan
yang seimbang) dan intellectual literacy (literasi intelektual). Hakikat dari materi
mata pelajaran Pendidikan Moral Madania ini hampir serupa dengan PPKn atau

Universitas Indonesia
72

Pendidikan Moral Pancasila. Namun kalau dikemas dengan cara yang lebih modern
dengan metode yang lebih menarik dan interaktif, Madania merasakan lebih
mengena dan efektif ke para siswa dan bersifat lebih mengutamakan praktik. Materi
yang disampaikan dalam ketiga mata pelajaran resmi tersebut juga disampaikan
dalam semua mata pelajaran lainnya, tidak terbatas pada mata pelajaran tersebut.
Madania meyakini bahwa pendidikan nilai kebinekaan ini tidak cukup
disampaikan dalam pendekatan akademik saja. Siswa yang diminta menghafal apa
artinya toleransi, apa yang dimaksud sikap saling menghargai belum tentu akan
mempraktikkannya dalam keseharian. Maka Madania mengutamakan dalam
mempersiapkan wadahnya (siswanya), memberikan contoh dan teladan,
menyediakan ruang perjumpaan agar siswa bergaul dengan orang-orang yang
berbeda. Dengan cara demikian, menurut Harisko, maka guru dapat melihat setiap
anak resistensinya dimana. Bila di sekolah lain guru yang relevan dalam kaitan ini
adalah guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan), maka di Madania disebut dengan
Students Affair (Urusan Kemahasiswaan). Selain Students Affair, Madania
menyediakan para psikolog untuk menangani masalah-masalah harian para siswa.
Konsultasi atau diskusi siswa dengan guru-guru tersebut merupakan hal yang biasa
terjadi sehari-hari. Proses pembinaan tidak terkesan sebagai teguran atau hukuman,
tapi menjadi dialog biasa, bahkan dengan kepala sekolah sekalipun.
Sedangkan dalam mata pelajaran lain misalkan yang bersifat eksakta,
Madania tetap menyampaikan penanaman nilai-nilai kehidupan. Pada jenjang SMA
siswa sudah dipisah sejak kelas X menjadi kelas IPA dan kelas IPS. Kelas IPA tetap
mendapatkan Mata Pelajaran Dasar Umum seperti Geografi, Ekonomi dan lainnya.
Demikian pula kelas IPS tetap mengajarkan Matematika tapi lebih mengupas dasar-
dasarnya. Penyemaian nilai kebinekaan tidak terbatas pada kelas IPS saja.
Misalkan perbedaan kualitas siswa dalam kemampuan menerima atau penyerapan
materi pelajaran. Adanya multiple intelligence, perbedaan cara anak menyerap
pelajaran juga diperhatikan. Misalkan ada siswa yang lebih mudah menerima
pelajaran eksakta melalui contoh terkait musik, melalui contoh terkait olah raga,
dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan ini mengharuskan guru lebih kreatif dalam
pendekatan penyampaian. Hal ini juga merupakan contoh baik siswa dalam
menerima keragaman berbagai aspek dalam proses pembelajaran. Sekolah Madania

Universitas Indonesia
73

percaya bahwa setiap anak pasti memiliki kelebihan yang unik. Pemahaman ini juga
disampaikan ke seluruh siswa, sehingga tercipta lingkungan yang saling
menghargai keunikan masing-masing dan meyakini bahwa setiap orang memiliki
kelebihan. Keberagaman ini tidak hanya diterima, namun juga dihargai bahkan
dirayakan di dalam lingkungan Sekolah Madania. Di dalam sistem Madania
Learners Profile terdapat penilaian rutin bulanan yang mengangkat kemampuan
atau karakter dominan di setiap siswa. Penilaian ini dilakukan oleh semua guru
Madania. Penilaian ini tentunya didapat dari hasil pengamatan yang tidak hanya di
dalam kelas, namun juga saat berinteraksi di luar kelas maupun ketika
mempersiapkan kegiatan ekstrakurikuler bersama. Hasil yang beragam ini lalu
dirayakan bersama, saling menghargai perbedaan dari karakter atau kemampuan
dominan tiap siswa. Dengan tumbuhnya saling menghargai perbedaan, maka
dampaknya akan mempengaruhi perspektif seseorang terhadap orang lain menjadi
lebih positif, dan mengurangi sikap kompetitif yang tidak perlu. Kebiasaan ini juga
mengubah pola pikir bahwa prestasi harus selalu dipandang dari aspek yang
seragam.
Jika di sekolah umumnya, penjurusan kelas di SMA hanya dibagi tiga, kelas
IPA, kelas IPS dan kelas Bahasa, maka di Madania tidak demikian. Penjurusan
formilnya memang hanya tiga, tapi ada yang disebut penjurusan pola pikir.
Misalkan adanya Departemen Art and Cultural Education (ACE) atau Pendidikan
Seni dan Budaya. Setiap anak di Madania harus mendapatkan ACE ini selain
pembagian ketiga pilihan jurusan tadi. Di dalam ACE diajarkan Seni Musik, Seni
Rupa dan Seni Teater. Siswa diharuskan memilih satu dari tiga pelajaran seni
tersebut. Ternyata mengharuskan salah satu seni bagi semua ini memberikan
dampak kelembutan sikap, siswa menjadi lebih lentur dan berjiwa seni dan
menghargai budaya. Hal ini menjauhkan ekstremisme dalam bersikap. Selain itu
Sekolah Madania juga memiliki program LOTE (Language Other Than English)
atau Bahasa Selain Inggris. Siswa Madania diwajibkan memilih salah satu dari
empat pilihan bahasa selain Bahasa Inggris, yaitu Bahasa Mandarin, Bahasa Arab,
Bahasa Jepang dan Bahasa Jerman. Tentunya pembelajaran bahasa disini tidak
hanya terbatas bahasa namun juga mempelajari kebudayaannya. Hal ini

Universitas Indonesia
74

memberikan kesempatan lebih lagi bagi anak dalam membuka wawasan


kebudayaannya.
Dengan kondisi ekosistem yang beragam, banyaknya kegiatan yang
menyangkut seni dan kebudayaan, maka dikatakan bahwa siswa Madania
umumnya sulit menjadi penganut agama yang ekstrim. Karena di Madania selalu
ditekankan sejak awal masuk bahwa perbedaan adalah hal yang wajar dan
merupakan karakteristik ciptaan Tuhan. Bila melihat literatur Cak Nur,
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Fuadi sebagai para pendiri Madania, tidak pernah
ada acuan pelajaran seni ataupun bahasa-bahasa asing diterapkan di Madania. Ide
adanya pelajaran seni baru diusulkan di periode kedua. Namun karena para pendiri
Madania selalu terbuka akan adanya ide-ide baru, maka perubahan-perubahan
menuju kemajuan kerap terjadi di Sekolah Madania. Cak Nur juga selalu
menekankan bahwa beragama Islam tidak sama dengan “menjadi Arab” atau
mengadopsi kebudayaan Arab. Ketika siswa diberikan pilihan untuk mempelajari
Bahasa Arab, maka tujuannya sama dengan mempelajari bahasa lain, yaitu agar
mampu berkomunikasi dan berdiplomasi dengan orang-orang yang menggunakan
bahasa tersebut. Kecuali untuk yang khusus belajar di pesantren, mempelajari
Bahasa Arab merupakan upaya membaca dan mengerti kitab.
Tentu tetap saja pernah terjadi kasus-kasus yang mencederai nilai
kebinekaan atau kebangsaan muncul di kalangan siswa. Misalkan, yang beragama
Jehovah menolak menerima hadiah apapun, sedangkan di Madania ada budaya
bertukar hadiah misalkan saat perayaan Natal. Atau ketika ada yang menolak
hormat bendera. Maka berbagai argumentasi akan dilakukan oleh guru untuk
menjadikan siswa tersebut tersadar dari pemahaman yang anti kebinekaan ataupun
anti kebangsaan. Suatu ketika seorang guru agama Islam yang menganut paham
radikal anti kebangsaan seperti anti hormat bendera, dan tidak dapat diberikan
pemahaman, maka terpaksa Sekolah Madania mengeluarkannya. Dalam merekrut
pengajar, Sekolah Madania pada dasarnya sangat menghindari diterimanya guru
yang memiliki pemahaman bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika. Sebagai patokan, Madania menerima guru agama yang masih sejalan
dengan NU atau Muhammadiyah.

Universitas Indonesia
75

Dalam hal evaluasi siswa, selain penilaian kuantitatif kemampuan akademik


siswa mengikuti standar pendidikan nasional, Sekolah Madania juga memberikan
penilaian dari pencapaian MLP (Madania Learners Profile). Assessment (penilaian)
tidak selalu dalam bentuk tertulis, evaluasi anak juga dilakukan seperti pemanggilan
siswa dengan memberikan masukan seputar kepribadian ataupun perilaku siswa.
Untuk perbaikan-perbaikan metode pengajaran atau program di sekolah, Madania
selalu bersifat terbuka atas adanya ide-ide baru dan bersedia mengadopsi bila
memang bagus. Selama pandemi metode pengajaran berubah total menjadi PJJ
(Pembelajaran Jarak Jauh), namun dikarenakan Madania juga selalu mengajarkan
kemampuan adaptasi (adaptability). Kemampuan adaptasi ini juga sangat dirasakan
manfaatnya ketika siswa lulus dan melanjutkan sekolah di ekosistem yang berbeda
misalnya ke luar negeri. Kemampuan adaptasi akan sulit tercipta jika tidak memiliki
sifat keterbukaan. Sifat keterbukaan sulit terjaga jika tidak adanya nilai kejujuran
dan fairness (keadilan).

5.2.2. Sekolah Menengah Kolese Kanisius Jakarta


Penelitian ini memasukkan Kanisius sebagai salah satu contoh sekolah
karena Kanisius berorientasi pada pendidikan nilai (Values Education) yakni proses
penanaman dan pengembangan nilai-nilai kehidupan dan spiritualitas dalam diri
peserta didik. Pendidikan nilai yang dimaksud dilandasi ajaran dan nilai Katolisitas
yang bersifat universal. Kanisius juga menekankan pendidikan tidak hanya
mengambangkan ilmu dan keterampilan namun juga aspek kepribadian dan etika
atau moral. Empat nilai utama yang dianut oleh Sekolah Kanisius adalah
Competence (kepandaian), Conscience (hati nurani), Compassion (kepedulian) dan
Commitment (komitmen) pada kepemimpinan (leadership) yang melayani dengan
gembira. Meskipun manajemen dan Kepala Sekolah untuk SMP Kanisius berbeda
dengan SMA Kanisius, namun empat nilai utama tersebut berlaku untuk
keseluruhan Sekolah Kanisius. Siswa Kanisius pun beragam dari sisi agama
meskipun merupakan Sekolah Katolik pada awalnya. Maka memilih Sekolah
Kanisius untuk dibahas dalam penelitian ini dapat mewakili sekolah yang menerima
siswa beragam agama namun landasan nilai yang dijadikan acuan adalah nilai
Katolisitas universal.

Universitas Indonesia
76

Narasumber dalam keperluan penelitian ini diwakili oleh Gregorius Sutarto,


guru Fisika di Kanisius sejak tahun 1989, sempat pula menjadi guru Pembina OSIS,
sempat menjadi wali kelas dan bahkan sempat menggantikan Wakil Kepala
Sekolah. Siswa yang diterima bersekolah di Kanisius ditentukan berdasarkan nilai
rapor, tes tertulis dan tes bakat serta tes fisik. Selain itu calon siswa juga
diwawancara bersama kedua orang-tuanya untuk menggali lebih dalam perihal
kebiasaan siswa dan bakat serta peminatan jurusan (MIPA atau IPS).
Di Kanisius jumlah kelas IPA lebih dominan daripada kelas IPS. Jumlah
kelas IPA sebanyak 6 kelas dari keseluruhan 8 kelas yang ada. Mata pelajaran yang
menanamkan nilai kebangsaan secara resmi adalah PPKn dan Sejarah, tapi semua
guru termasuk guru IPA harus menyampaikan nilai-nilai dalam setiap kesempatan
pengajaran. Demikian pula harus tetap adanya penyemaian nilai di luar kelas.
Contohnya posisi Ketua OSIS Kanisius sering dijabat oleh seorang siswa Muslim
meskipun Kanisius berawal dari Sekolah Katolik. Prinsip yang diterapkan di
Kanisius adalah siswa menggerakkan otaknya, hatinya dan tangannya, sebagaimana
prinsip Competence, Conscience, Compassion dan Commitment. Artinya mata
melihat, berpikir, memiliki hati nurani, lalu bertindak nyata ditandai dengan jiwa
kepemimpinan.
Setiap hari seluruh warga Kanisius termasuk tamu yang sedang berada di
lingkungan sekolah harus mengikuti sesi refleksi. Artinya diberikan waktu untuk
tenang, seperti konsep nyepi, melakukan refleksi diri, merenung dan menuliskan
jurnal apa yang dipikirkan dan dirasakannya pada hari itu. Jurnal hasil refleksi rutin
menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi siswa Kanisius bahkan hingga lulus
sekolah. Kemudian guru-guru melakukan pengamatan apa isi tulisan dari masing-
masing siswa, dengan demikian perkembangan perilaku, pemikiran dan isi hati
anak akan mudah dipantau setiap harinya. Hal ini menjadi penting dalam mencegah
adanya perubahan pemahaman anak misal menjadi ekstrim atau memendam
kebencian, anti toleransi, atau berseberangan dengan nilai-nilai yang dianut
sekolah. Guru yang secara khusus bertanggung jawab mengenai program refleksi
ini adalah Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan yang bertanggung jawab atas
perkembangan sikap perilaku anak didik. Sementara semua guru lainnya tetap
bertanggung jawab atas penyemaian nilai-nilai inti Kanisius sebagaimana

Universitas Indonesia
77

disebutkan di atas. Intinya adalah semua guru bertanggung jawab “menyelamatkan”


jiwa-jiwa siswa. Dampak yang terlihat antara lain adalah para lulusan Kanisius
tergolong memiliki hati nurani seperti kerap tergerak untuk melakukan aksi sosial
seperti menyelenggarakan vaksin COVID-19 untuk warga umum. Semboyan yang
mereka anut adalah menebar kebaikan dan berbakti untuk sesama. Penyemaian
nilai-nilai baik selain dilakukan oleh guru di dalam kelas, dipraktikkan di
keseluruhan lingkungan sekolah, juga termasuk di dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Di dalam kegiatan ekstrakurikuler, siswa diberikan kebebasan dalam bekerjasama,
berkreasi dan juga menerapkan jiwa-jiwa kepemimpinannya secara riil, guru-guru
hanya bersifat memantau dan mendampingi. Setiap siswa baik dari agama apapun
tetap masuk ke dalam kelas pelajaran agama katolik. Materi di dalam pelajaran
agama katolik di kelas juga lebih menekankan etika moral dan etika sosial.
Ketika terdapat anak didik yang mengalami perubahan perilaku seperti
menjadi asosial, menyendiri, maka tidak akan perlu waktu lama untuk segera
terdeteksi oleh berbagai guru. Guru-guru seperti guru BP (Bimbingan dan
Penyuluhan), guru bidang studi ataupun guru kemoderatoran akan langsung sigap
mengetahui perubahan ini dan mengatasi sebelum terlambat. Tindakan yang
dilakukan bisa mengajak bicara si anak, memanggil orang tuanya, mendiskusikan
apa penyebab perubahan-perubahan perilaku anak hingga mencari solusi. Selain itu
Sekolah Kanisius juga memiliki program live-in (kunjungan tinggal) misal tinggal
di warga pelosok seperti di kampung di Wonogiri atau di kampung-kampung
sederhana lainnya selama seminggu. Di dalam masa live-in itu siswa mengikuti
kegiatan seperti ikut ke sawah, berternak. Sekolah Kanisius juga berada di
komunitas ikatan alumni bersama sekolah-sekolah Yesuit lainnya seperti Loyola
Semarang, DeBritto, dan lainnya, yang mana ketua ikatannya beragama Islam.
Dalam keseharian siswa Kanisius juga lebih santai dalam menyikapi perbedaan
agama di antara mereka. Contohnya ketika memasuki bulan puasa Ramadhan, antar
siswa dapat bercanda seputar ritual puasa yang dilakukan kawan-kawan Muslim
namun tidak dalam bentuk diskriminatif atau menyinggung. Sebagai bayangan
fakta keragaman beragama di Kanisius, jumlah siswa dalam urutan terbanyak ke
terkecil adalah Katolik, Kristen Protestan, Buddha dan Islam. Demikian pula guru-

Universitas Indonesia
78

gurunya pun ada yang beragama Islam bahkan seorang guru hajjah. Terdapat pula
guru beragama Islam yang bisa menjadi Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.
Sebagai tambahan program menciptakan ruang perjumpaan, sejak lima
tahun terakhir siswa Kanisius dari agama apapun diajak nyantri bersama ke pondok
pesantren seputaran Jakarta dan Jawa Barat. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak
non-Islam tidak memiliki kecurigaan, ketakutan atau prejudice dengan masyarakat
Islam di luar teman-temannya di dalam sekolah. Terbukti setelah mengikuti
program nyantri ini, siswa beragama non-Islam menjadi lebih terbuka dan
menikmati kesempatan bergaul bersama masyarakat Islam di luar lingkungannya.
Sekolah Kanisius juga menjalin kerjasama dengan kelompok NU (Nahdlatul
Ulama). Selain itu, diadakan pula program kunjungan ke vihara atau klenteng
Buddha, walau tidak sebanyak program ke pondok pesantren.

5.2.3. SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran


SMK Bakti Karya Parigi merupakan sekolah kejuruan multimedia dengan
konsep ramah keberagaman, ramah lingkungan dan terbuka untuk publik. Sebagai
sekolah multikultural di Indonesia, SMK BKP memiliki visi maju berbudaya,
unggul berkarakter, berprestasi dalam ICT, bijak dalam teknologi, dengan nilai
utama yang ditekankan adalah bersyukur, berbudaya dan bertanggung jawab.
Tujuan didirikannya SMK BKP (Sekolah Menengah Kejuruan Bakti Karya Parigi)
adalah menjunjung nilai toleransi dan agar siswa mencintai hidup damai di tengah
keberagaman. Dengan demikian pemilihan SMK BKP sebagai salah satu contoh
kasus dalam penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan menjadi
sangat tepat.
SMK BKP didirikan oleh Yayasan Darma Bakti Karya yang diketuai Ai
Nurhidayat, yang juga sebagai narasumber langsung dalam penelitian ini. SMK
BKP memberikan beasiswa penuh untuk seluruh siswa yang merupakan siswa yang
berasal dari seantero Indonesia dari Sumatera hingga Papua. Dana yang didapat
masih berupa upaya mandiri menggalang dana dari para donatur lepas. Karena
SMK BKP memang memilih misi dan pendekatan penyemaian nilai multikultural,
namun referensi untuk menyelenggarakan pendidikan multikultural. Dengan
demikian SMK BKP terpaksa mencari format penyelenggaraannya dengan

Universitas Indonesia
79

menyesuaikan konteks kekinian ruang dan waktu. Karena pendidikan dengan


metode multikulturalisme belum ditetapkan aturan resminya dari pemerintah pusat,
maka SMK BKP mencoba merancang secara trial and error. Dengan demikian
penyemaian nilai kebinekaan di lingkungan SMK BKP tidak dibatasi di dalam mata
pelajaran tertentu atau dalam jumlah jam tertentu. Pertimbangannya untuk tidak
membatasi sedemikian karena manajemen meyakini metode demikian akan
menghasilkan tingkat efektifitas, refleksi siswa dan konstruksi wacana yang serba
terbatas.
Konsep keragaman sudah diawali sejak input siswa, dalam arti bagaimana
memilih siswa yang masuk diterima bersekolah di SMK BKP. Sedari awal SMK
BPK memang sudah sengaja menyiapkan agar siswa yang datang sangat beragam.
Karena keragaman itulah yang nantinya akan mendinamisir sebuah proses. Karena
siswa yang diterima berasal dari daerah pelosok Indonesia yang sangat beragam,
maka setiap siswa tentu akan membawa perspektif, pengalaman, latar belakang
masing-masing yang juga sangat berbeda-beda. Yang diharapkan dengan mengatur
input siswa sedemikian adalah bila hampir semua diswa berbeda-beda, maka irisan
kesamaan tiap siswa akan semakin kecil. Walaupun andai suatu sekolah mayoritas
siswanya bersifat homogen, tetap saja akan ada keunikan dari tiap siswa. Tiap siswa
beragam baik dari latar belakang keluarga, pendidikan sebelumnya, pengalaman-
pengalaman sebelumnya dan nilai-nilai yang sudah didapat sebelumnya. Namun
jika siswa-siswa bersifat homogen maka tetap saja irisan kesamaan tiap siswa akan
lebih besar dibandingkan jika disengajakan heterogen sejak awal. Maka, dengan
mengatur sedemikian rupa siswa yang datang sangat beragam, ruang-ruang
perjumpaan dengan yang berbeda sudah dimulai sejak awal masa sekolah.
Bila diilustrasikan dalam gambar, maka Skema A menggambarkan dimana
suatu lingkungan homogen dengan kehadiran satu siswa yang berbeda, maka siswa
biru akan dianggap aneh bagi kawan-kawan lainnya yang semua sama kuning.
Sedangkan di dalam Skema B, walaupun yang berbeda tidak lagi hanya siswa biru,
namun juga terdapat siswa hijau, namun si biru dan si hijau masih akan tetap
dianggap aneh di antara mayoritas siswa kuning. Maka SMK BKP mengusahakan
sejak awal masa persekolahan lingkungan yang terbentuk adalah menyerupai
Skema C, dimana ketika hampir seluruh siswanya beragam, bahkan tidak hanya

Universitas Indonesia
80

Gambar 5.1 Ilustrasi Keberagaman dalam suatu lingkungan

warna beragam, namun juga beragam bentuk. Dalam hal ini, maka tidak ada
dianggap sebagai siswa yang aneh, atau bahkan semua akan menjadi aneh. Aneh
disini dapat dikatakan sebagai berbeda dengan yang lainnya. Pendidikan
multikultural di SMK ini bermula dari siapa saja pesertanya. Misi selain membuat
sistem beragam adalah misi kebangsaan. Kekayaan budaya Indonesia yang terdiri
dari 1.340 suku selama ini kurang ditampilkan. Terlepas dari telah adanya sesanti
Bhinneka Tunggal Ika, namun mayoritas dari warga Indonesia belum saling
mengenal suku-suku yang berbeda tersebut. Jika selama ini kita belum mengenal
orang atau suku tertentu, lantas bagaimana caranya kita berempati kepada mereka,
kenal pun tidak. Keunikan dari setiap suku masih banyak yang belum dapat
dibayangkan oleh warga di perkotaan, misalnya. Suku Bajo di Sulawesi yang
memilih hidup di laut, apakah sesama warga Indonesia ada yang sudah dapat
menyelami keunikan tersebut. Atau di saat ada suku yang tidak pernah mengenakan
pakaian dalam kesehariannya, tentu akan menjadi sesuatu yang aneh bagi yang
terbiasa berpakaian. Namun apakah suku tersebut bersalah, lalu bagaimana kita
dapat menghargai atau bahkan berempati terhadap mereka bila kenalpun tidak.
Berdasarkan kesadaran tersebut maka SMK BKP sengaja memulai kelas diawali
dengan keberagaman siswa. Tentu dengan adanya keragaman maka konflik pun

Universitas Indonesia
81

dapat mudah terjadi, namun SMK BKP memilih untuk membiarkan adanya
keragaman dengan potensi konflik, selama mereka akan belajar bersama untuk
mengelola konflik atau perbedaan dengan baik. Pada akhirnya orang akan tersadar
bahwa benturan-benturan akibat keragaman memang ada dan nyata, namun
disitulah mereka belajar untuk tidak menjadikan benturan tersebut menjadi hal-hal
seperti diskriminasi atau perundungan dan sejenisnya yang melanggar hukum.
Ai Nurhidayat meyakini bahwa setengah dari nilai-nilai toleransi dan
perdamaian akan beres, tidak perlu lagi terlalu rumit diajarkan, bilamana tersedia
ruang perjumpaan, bertemu dan hidup bersama. Bertemu secara langsung dan hidup
bersama akan jauh lebih efektif dibandingkan ruang perjumpaan yang kerap
ditemui seperti dialog bersama lintas agama, atau lintas suku namun dilakukan
dalam jangka waktu yang sangat singkat. Dialog merupakan hal yang baik dalam
upaya dalam memutus konflik, namun waktu yang terlalu singkat dan format yang
tidak sesuai maka tetap saja upaya dialog ini menjadi tidak efektif. Dialog yang
kerap terjadi biasanya hanya seminggu, atau 2-3 hari, bahkan banyak yang hanya
berupa pertemuan 2-3 jam. Di dalam ilmu komunikasi terdapat teori kupas kulit
bawang. Untuk mencapai lapisan yang paling dalam tentu perlu masa untuk
mengupas perlahan-lahan lapisan dari paling luar. Demikian yang diyakini oleh Ai
Nurhidayat, dengan memberi contoh bagaimana mungkin seseorang
mengkomentari inti keyakinan agama orang lain yang berbeda, sementara ia belum
pernah secara sungguh-sungguh mengupasnya dari lapisan paling luar.
Menurutnya, tidak dapat seseorang menerapkan sikap-sikap yang mengutamakan
toleransi dan menghargai keragaman sementara dirinya tumbuh dan berkembang di
dalam lingkungan yang senantiasa homogen. Dikarenakan latar belakang pemikiran
ini, maka SMK BKP menerapkan format hidup bersama seluruh siswa, yang
memang sudah dikondisikan sangat beragam dari berbagai daerah, dan selama tiga
tahun hingga lulus.
SMK BKP dengan terencana menyediakan ekosistem belajar yang beragam.
Guru-guru yang mengajar sudah sadar sedari awal bahwa siswa yang masuk akan
beragam suku, beragam agama, bahkan ada yang masih belum terlalu fasih
berbahasa Indonesia, dan pastinya beragam kebiasaan yang dibawa dari adat
istiadat di daerah asal. Maka dalam menjawab pertanyaan jumlah jam mata

Universitas Indonesia
82

pelajaran spesifik yang diberikan ke siswa perihal toleransi dan menghargai


keragaman secara khusus, dapat dikatakan di SMK BPK ini sangat sedikit jumlah
jamnya. Tapi bagi guru SMK BKP bisa membutuhkan waktu sedemikian banyak
hingga mungkin 30 jam per semester hanya untuk mengetahui dan mengenal setiap
siswa, mulai dari latar belakangnya, agar penyampaian materi ajar di dalam kelas
tidak problematik. Jadi peran guru memang sangat besar dalam hal ini. Guru-guru
SMK BKP semuanya adalah guru lokal yang berasal dari sekitar daerah Parigi
Pangandaran. SMK BKP menghindari mempekerjakan guru-guru yang beragam
asal daerahnya dari luar Pangandaran, guna menghindari adanya anggapan
kerumitan bilamana ada pihak lain yang berkeinginan menduplikasi sistem Sekolah
Multikulturalisme seperti SMK BKP. Jadi dengan menggunakan guru-guru lokal
yang akan mengajar dan mendidik siswa yang sangat beragam adalah hal yang
memungkinkan, hanya saja semua gurunya berkomitmen untuk belajar terus dan
semangat untuk senantiasa menambah pengalaman. Hal ini melelahkan daripada
sekedar mengajar tanpa memiliki kepedulian besar untuk mendidik nilai-nilai
keragaman, kemanusiaan dan perdamaian.
Lingkungan sekolah yang mendukung juga dikatakan oleh Ai Nurhidayat
juga harus menjunjung nilai keadilan. Misalkan bila ingin mewajibkan siswa untuk
melakukan ritual keagamaan setiap pagi seperti membaca Al Quran atau shalat
Dhuha, maka wajib juga difasilitasi kegiatan serupa untuk siswa beragama lain.
Demikian pula bila di sekolah disediakan Al Quran maka sekolah tersebut juga
harus menyediakan kitab-kitab agama lain seperti Injil dan lainnya. Prinsip
kesetaraan juga harus diterapkan misalnya tidak boleh ada diskriminasi siapa yang
menjadi pemimpin di dalam kelas atau ketua kelas. Hal-hal ini kadang tidak
dirumuskan dalam bentuk tertulis menjadi aturan SMKP BKP namun telah menjadi
etika dasar atau kebiasaan yang dijalankan terus menerus. Jadi proses pengajaran
dan keseharian di dalam ekosistem sekolah juga tidak boleh memandang identitas
siswa, serta menjadikannya sebagai alasan diskriminasi siapa yang difasilitasi
dengan siapa yang tidak difasilitasi.
SMK BKP juga mempertimbangkan perlu adanya ruang khusus bagaimana
publik bisa mengakses sekolah, dengan menyediakan program Kelas Profesi.
Maksudnya adalah bilamana ada tamu siapapun akan diperkenalkan ke siswa, diberi

Universitas Indonesia
83

waktu sekitar 2-3 jam untuk berbagi baik keahliannya maupun cerita pengalaman
tamu tersebut. Dengan demikian kesempatan ini dapat menambah perspektif bagi
siswa, terutama karena kalangan yang hadir bisa jadi adalah dari kalangan
profesional. Kalangan profesi yang dimaksud misalkan anggota Dewan di
pemerintah, ataupun dari kalangan profesi lainnya. Dengan demikian diharapkan
sekolah semaksimal mungkin dapat menjadi wadah yang memfasilitasi tumbuh
kembangnya keragaman dengan cara membuka interaksi dengan publik di luar
lingkungan sekolah.
SMK BKP juga memiliki program Kampung Nusantara. Kampung
Nusantara adalah program kerjasama dengan warga sekitar sekolah yang merelakan
rumahnya dijadikan tempat tinggal untuk tamu-tamu dari berbagai daerah yang
berminat mengetahui, mempelajari atau sekedar merasakan hidup bersama warga
lokal kampung Pangandaran. Tamu yang menginap juga berkesempatan bertemu
dengan siswa SMK BKP dari beragam daerah di Indonesia, berinteraksi bersama
bahkan kerap mengadakan acara-acara santai berkesenian. Tamu yang hadir sangat
beragam, mulai dari mahasiswa, pelancong, peneliti dan lain sebagainya. Ruang-
ruang perjumpaan yang sudah didapat dari keragaman siswa, makin diperkaya
dengan kedatangan tamu-tamu di Kampung Nusantara ini. Tamu-tamu ini biasanya
bisa menetap hingga minimal seminggu lamanya. Kehadiran Kampung Nusantara
diharapkan dapat merupakan fasilitas sistem sekolah yang mendukung penyemaian
nilai keragaman dan perdamaian dalam bentuk praktik langsung.
SMK BKP yang memberikan 100% beasiswa bagi seluruh siswa harus
berpikir keras untuk mencari pendanaan secara mandiri. Konsep gratis sekolah
termasuk gratis transportasi dari daerah asal menuju daerah Parigi Pangandaran ini
sangat perlu agar tidak menjadi kendala siswa yang ingin bersekolah di SMK BKP.
Dengan demikian proses mencari siswa baru tidak memberikan kendala pendanaan
bagi orang tua siswa. Gratis yang diberikan SMK BPK tidak hanya gratis biaya
pendidikan namun juga gratis biaya hidup siswa selama belajar di SMK BKP.
Kebutuhan tempat tinggal hingga makan semua dibiayai dari pihak sekolah. Ai
Nurhidayat berpendapat bila suatu sekolah bagus sistemnya tapi harus membayar
mahal maka secara tidak langsung sedang terjadi diskriminasi terhadap siswa yang
tidak memiliki dana. Sebagaimana konsep Ki Hadjar Dewantara yaitu materialisme

Universitas Indonesia
84

dan intelektualisme, kalau kedua itu sudah mendasari suatu lembaga pendidikan
maka kualitas yang diharapkan sulit tercapai. Konsep materialisme jelas, yaitu
menerapkan sekolah bagus namun berbiaya tinggi. Sedangkan konsep
intelektualisme yang dimaksud adalah bilamana suatu lembaga pendidikan
berkeyakinan bila pengetahuan atau ilmu hanya bisa didapat dari lingkungan
akademisi. Contohnya adalah bila pernghargaan terhadap seseorang hanya
dikarenakan gelar akademisnya. Contoh lainnya adalah jika ada sekolah bagus tapi
bahkan tetangga di sebelahnya tidak dapat bersekolah disana karena tidak ada
cukup biaya. Sedangkan Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga
atas pendidikan. Artinya seharusnya setiap warga berhak untuk memilih
pendidikan, yang juga tercantum di Amandemen keempat. Setiap warga berhak
atas manfaat ilmu pengetahuan yaitu didapat di sekolah. Ai Nurhidayat memberikan
solusi bahwa masalah ini dapat diatasi bersama secara gotong royong, orang tua
siswa yang mampu bisa berdonasi saja ke sekolah tidak diwajibkan. Namun
semakin besar dana pengelolaan sekolah, diharapkan ekosistemnya akan lebih baik,
dan ekosistem yang baik ini akan menjadi keuntungan bagi anak didik tersebut.
Anak didik akan terfasilitasi termasuk dalam pendidikan nilai-nilai Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika. Sembari berharap kondisi ideal ini tercapai, SMK BKP
mengusahakan untuk memberikan beasiswa baik dari biaya sekolah, biaya hidup
termasuk akomodasinya.
Setelah semua fasilitas dan ekosistem ideal terpenuhi, selanjutnya yang
perlu diperhatikan adalah aktifitas. Aktifitas inilah yang menjadi kunci, karena
disana terdapat interaksi. Aktifitas yang dimaksud ada yang kurikuler, ekstra-
kurikuler, namun ada juga acara-acara tahunan seperti festival dan lainnya, baik
yang besar maupun yang kecil-kecil. Aktifitas yang paling mewakili keragaman
adalah acara Malam Minggu Seru, yaitu ajang interaksi siswa dengan warga.
Selama siswa tinggal di asrama, di Kampung Nusantara terdapat aula semacam
saung panggung, para warga hadir juga, kemudian siswa-siswa setiap malam
minggu membuat acara misalnya pidato menggunakan bahasa daerah, stand-up
comedy, teater, menari, musik, nonton film bersama dan lainnya. Sesekali kegiatan
ditiadakan jika bertabrakan dengan kegiatan lain seperti Pramuka, namun secara
rutin tetap dilakukan dan ini menjadi kegiatan yang khas.

Universitas Indonesia
85

Ketika siswa diharapkan untuk tumbuh dan berkembang menunjukkan


kapasitasnya, maka siswa memerlukan ruang aktualisasi. Ruang aktualisasi ini
harus diciptakan, momentumnya harus disediakan. Pada saat siswa akan tampil di
hadapan orang banyak, maka ia akan mengupayakan seluruh daya kreatifitasnya,
melatih kepekaannya, sekaligus melatih keterampilannya juga. Yang terjadi di
banyak tempat adalah sekolah berbicara toleransi tapi tidak menyediakan bentuk
interaksinya lantas bagaimana. Nilai toleransi hanya disampaikan dalam bentuk
materi di muka kelas. Sedangkan dalam pembelajaran nilai tidak cukup dilakukan
satu kali. Praktik keragaman dalam bentuk interaksi tidak cukup disampaikan atau
dilakukan sekali. Bahkan seharusnya dipraktikkan berkali-kali agar menjadi
kebiasaan. Lalu andai hanya disampaikan dalam mata pelajaran PKn atau Pancasila
bentuk praktiknya akan seperti apa sehingga dapat menjadi pemahaman siswa,
kebiasaan mereka dalam keseharian dan menjadi nilai yang mereka yakini dan
jalani. Maka perlu ada praktik nyata, pengulangan dan refleksi, dan tersedianya
secara terus menerus ruang aktualisasi secara terbuka.
Kemudian ada lagi kesempatan praktik di luar yang jauh dari lingkungan
sekolah, yaitu di peristiwa magang kerja. SMK BKP juga kadang meliburkan siswa
sesekali untuk berkunjung atau menginap ke kelompok-kelompok masyarakat,
misal ke tempat konservasi penyu, di tempat dalang wayang golek, dan lain-lain.
Penitipan pada saat diliburkan ini dimaksudkan agar siswa mengalami secara
langsung di luar teman-teman yang sudah satu ekosistem di sekolah. Dengan
demikian, semakin sering siswa mengalami ekosistem yang berbeda-beda, maka
siswa akan semakin terlatih untuk beradaptasi. Sedangkan kunci dari toleransi dan
perdamaian adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi. Bayangkan jika
seorang siswa sudah cukup cakap dari sisi nilai akademis kognitif, namun ketika
ditanyakan pengalamannya, ternyata tidak banyak atau bahkan tidak ada. Siswa
tersebut hanya berada di satu ekosistem homogen, dan tidak pernah mengalami
hidup atau berinteraksi dengan ekosistem lainnya. Maka itu yang dikatakan “kurang
piknik” atau kurang terbuka wawasannya.
Metode pengajaran keragaman secara runut disampaikan di SMK BKP
berawal dari mengerti dan memahami keragaman alam. Diceritakan bahwa alam itu
memiliki keragaman yang harus dijaga keragamannya demi menjaga

Universitas Indonesia
86

kelestariannya. Lalu keragaman alam ini akan mempengaruhi keragaman budaya


orang yang hidup di alam atau lingkungan tersebut. Dengan demikian untuk
memahami keragaman manusia dan budaya, tentu harus memahami keragaman
alam dahulu secara luas. Maka diberikan mata pelajaran ekologi dengan tambahan
praktik seperti mengolah alam, mengelola lingkungan. Contohnya antara lain
adalah pengajaran mengenai pewarnaan alam untuk bahan shibori, dan diakhiri
dengan peragaan busana shibori kreasi masing-masing siswa yang dilakukan di
dalam hutan.
Lalu mengenai pengajaran konsepsi kebangsaan, lingkungan SMK BKP
juga merupakan ladang keragaman pemahaman kebangsaan karena siswa yang
berasal dari aneka pelosok. Contohnya adalah seorang siswa Papua yang sedari
kecil selalu mendengar cerita mengenai isu kemerdekaan Papua yang selama ini
dijajah oleh Indonesia. Suatu hari anak tersebut memasang gambar bendera papua
di laman media sosialnya. Namun apakah hal ini menjadikan ia seorang penganut
separatisme, karena pada dasarnya siswa tersebut tidak melakukan hal-hal
subversif. Sikap saling pengertian dan memiliki empati, memahami perbedaan serta
tidak mudah memberikan label ke orang lain menjadi pengalaman siswa dan juga
guru di lingkungan SMK BKP. Ternyata setelah digali mendalam, siswa tersebut
berasal dari daerah yang kerap didatangi oleh pendatang yang melakukan
eksploitasi di daerahnya. Atau ada pendatang yang sengaja merusak hutan larangan
di daerah mereka. Terjadi pula di daerahnya terdapat pendatang yang membawa-
bawa unsur politik identitas, lalu menyuap atau memberi sogokan kepada warga.
Bahkan diakui oleh salah satu siswa bahwa dampak demokrasi Indonesia yang
liberal ini adalah menciptakan pertempuran di daerahnya, di Papua, baik di internal
suku maupun sesama suku. Salah seorang siswa yang berasal dari daerah Seram di
Ambon pernah mengalami saat terjadi konflik krisis di daerah asalnya. Isu konflik
tersebut diceritakan secara berulang oleh masyarakat di daerahnya sehingga ia
sempat mengalami traumatis ketakutan terhadap orang beragama Kristen. Latar
belakang sedemikian di daerah asal terkadang memberikan trauma yang bersisa di
diri siswa. Kenyataan akan keragaman latar belakang siswa serta berbagai traumatis
atas konflik yang pernah terjadi di daerahnya, justru menjadikan pengalaman
berharga bagi siswa lainnya, dan juga para guru. Siswa yang tidak mengalami

Universitas Indonesia
87

mendapatkan cerita pengalaman dari orang yang sungguh-sungguh mengalami,


bahwa di Indonesia masih ada konflik-konflik sosial politik yang terjadi, yang
mengancam kelangsungan kebangsaan.
Jika dirangkum, metode menerapkan pendidikan multikultural di SMK
BKP, adalah harus diawali dari input siswa, lalu mempersiapkan ekosistem yang
mendukung, materinya juga tersedia, tapi diikuti dengan tersedianya ruang aktifitas,
ruang aktualisasi diri, ruang adaptasi. Lalu pada akhirnya, apakah ini selesai? Tidak,
karena itu dalam masa belajar tiga tahun, SMK BKP tidak membahasakan sebagai
lulus atau selesai masa pendidikan multikultural, melainkan disebut sebagai ‘gelar
pamit’. Kelulusan merupakan pamit saja dari jenjang SMK, namun pembelajaran
dan peran perihal multikulturalisme ini akan berlaku seterusnya setelah siswa lulus.
Harapannya adalah maka konsep long-life education nya terjadi, sedemikian
menurut Ki Hadjar Dewantara. Siswa setelah pamit dari SMK BKP akan menjadi
semangat, setelah tiga tahun digembleng maka selanjutnya dimanapun mereka
berada akan menjadi generasi pendamai atau peace worker. Siswa setelah pamit
dapat bekerja dimanapun, sebagai apapun. Namun selama di SMK BKP telah
ditanamkan benih-benih semangat toleransi dan perdamaian, dengan semakin
terbuka, maka siswa lulusan diharapkan dapat menghadapi kehidupan yang lebih
kompleks lagi dengan membawa bekal nilai-nilai tersebut. Bilamana siswa nanti
akan menemui ekosistem yang tidak sedamai dan setoleran di SMK BKP, namun
setidaknya nilai-nilai yang ditanamkan sudah merupakan modal bagi siswa.
Jika menggunakan konsep tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara, ada
pendidikan keluarga, masyarakat dan sekolah. Budi pekerti dan daya pikir dapat
dibentuk di ketiga pusat pendidikan tersebut. Namun kadang tidak semua orang tua
atau semua masyarakat menanamkan keragaman, atau adanya keterbatasan dalam
mengintroduksikan nilai-nilai tersebut ke anak. Bahkan justru ada orang tua yang
pemahamannya bertentangan dengan nilai-nilai keragaman. Begitu pula di
masyarakat, semakin banyak lingkungan masyarakat yang terdiri dari individu-
individu yang tidak terbuka terhadap keragaman. Satu-satunya harapan adalah
penyemaian nilai keragaman di lingkungan sekolah. Memang mungkin yang ideal
adalan penyemaian nilai didapat dari keluarga dulu, dari masyarakat dulu, namun

Universitas Indonesia
88

pada kenyataannya kondisi tidak selalu ideal. Maka peran pendidikan di sekolah
adalah harapan terbesar.
Mengapa Ai Nurhidayat memilih menerapkan konsep-konsepnya di SMK,
karena bilamana diterapkan di SD misalnya, mungkin saja bisa namun tidak akan
seoptimal di tingkat SMK, dalam arti dari sisi usia dan keleluasaan. Lalu bagaimana
jika sistem ini diterapkan di SMP atau SMA. Seharusnya bisa saja asalkan perlu
ada intervensi dari pemerintah. Misalkan perlu adanya aturan suatu sekolah harus
menerima siswa misalkan 30% dari luar daerah sekolah berada. Konsekuensinya
adalah harus disediakan asrama. Sedangkan bila untuk tingkat SD yang masih
sangat muda dari sisi usia, dapat diatasi dengan misal membuat program dalam satu
semester adakan kunjungan ke rumah-rumah ibadah beberapa kali, atau ke
lingkungan dengan suku yang sangat berbeda. Maksudnya intervensi disini adalah
mengutamakan terfasilitasinya ruang-ruang perjumpaan.
Dalam melakukan evaluasi atas pengajaran-pengajaran yang diberikan
kepada siswa selama masa studi, SMK BKP menggunakan dua cara. Pertama,
sebagaimana mengikuti aturan pemerintah, guru-guru memberikan penilaian
evaluasi sebagai kewajiban lembaga pendidikan yang mengikuti kurikulum negara.
Mekanisme yang kedua yaitu, SMK BKP memperlakukan siswa sebagai manusia
yang proses panjangnya belum selesai setelah lulus dari SMK. Apakah seorang
siswa menjadi manusia yang baik, benar dan indah belum dapat diketahui atau
dievaluasi karena perjalanannya masih panjang ke depan. Intinya SMK BKP telah
menitipkan dan menanamkan nilai-nilai toleransi, perdamaian, kebangsaan dan
kemanusiaan, namun Sekolah tidak mau memberikan status penilaian bahwa
lulusannya dipastikan sudah purna dalam nilai-nilai tersebut. Karena menurut SMK
BKP bila sekolah memberikan status seorang siswa pada saat kelulusan, hal ini
adalah menafikkan suatu prinsip, yaitu bahwa seorang siswa perjalanannya belum
selesai karena masih akan dilanjutkan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri.
Berbagai benturan dalam pengalaman selanjutnya setelah lulus akan membuktikan
bagaimana nilai-nilai yang sudah ditanamkan selama di SMK BKP diamalkan dan
tersemai dengan baik atau tidak. SMK BKP tidak memperdulikan penilaian atas
pemahaman nilai selama masa pembelajaran. Intinya siswa telah memiliki
pengalaman hidup dan belajar bersama dengan siswa beragam daerah secara

Universitas Indonesia
89

nasional selama tiga tahun, dan diharapkan lebih siap berperan sebagai generasi
pendamai selepasnya, dimanapun ia berada. Beberapa hal yang tercatat sebagai
dampak dari pembelajaran multikulturalisme adalah kemampuan para siswa untuk
mengatasi benturan-benturan atas perbedaan, kesenjangan, dan terbukti mampu
beradaptasi dan mengatasinya secara damai.
Diinformasikan pula bahwa tingkat kecerdasan kognitif siswa saat baru
diterima di SMK BKP sendiri rentangnya sangat besar. Siswa yang datang dari
pelosok di luar pulau Jawa dapat memiliki pemahaman kognitif seperti mata
pelajaran matematika atau sejenisnya yang setara dengan kelas 5 SD siswa yang
berasal dari SMP di Pulau Jawa. Hal ini dapat dimaklumi karena secara geografis
letak sekolah SD dan SMP mereka di daerah asal bisa sangat terpelosok.
Ketidakberuntungan faktor geografis ini memberikan dampak keterbatasan
kehadiran dan bahkan kemampuan guru yang mengajar. Dalam sehari masa
sekolah, bisa terjadi hanya terdapat 1-2 orang guru saja yang hadir, dan itupun
belum tentu memiliki kemampuan mengajar yang setara dengan yang di pulau
Jawa. Salah satu contohnya adalah siswa dari Papua yang tidak mampu menjawab
soal Bahasa Inggris kelas 2 SD. Ketika ditanya mengapa demikian, siswa Papua
mengakui bahwa guru Bahasa Inggris baru datang ke daerahnya sesaat setelah ia
lulus SMP. Jadi, di daerah pelosok luar Jawa, termasuk di Papua, problem
mendapatkan akses guru yang berkualitas masih merupakan masalah besar. Namun
tidak demikian untuk siswa yang datang dari kota-kota besar di luar Jawa, mereka
tetap bersaing dari sisi daya kognitifnya.

5.3. Sekolah Guru Kebinekaan


Peneliti memilih Sekolah Guru Kebinekaan dikarenakan penyemaian nilai
kebinekaan selain penting untuk dilakukan di sekolah formal dalam arti untuk
mendidik siswa, namun tidak dapat dilupakan bahwa para guru pun perlu memiliki
pemahaman serta kepedulian yang sama akan nilai Bhinneka Tunggal Ika. Dengan
demikian para guru yang akan mendidik siswa dapat menjadi agent of change atau
agen pengubah yang berperan sangat penting dalam usaha penyemaian nilai
Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan.

Universitas Indonesia
90

Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) merupakan model pendidikan yang


digagas oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG) dalam rangka membangun kapasitas
dan peran guru sebagai rujukan nilai-nilai keragaman, kebangsaan dan
kemanusiaan di lingkungan pendidikan dan masyarakat. Sejak tahun 2010 Yayasan
Cahaya Guru memusatkan perhatian pada isu keragaman, kebangsaan, dan
kemanusiaan. Program-program yang mereka laksanakan melibatkan para guru
serta ekosistem sekolah guna menumbuhkan praktik-praktik baik kebinekaan. YCG
melakukan dokumentasi menyeluruh atas dampak kegiatan kebinekaan khususnya
yang dilakukan oleh SGK. Dokumentasi tersebut dimaksudkan agar dapat menjadi
rujukan lebih lanjut guna mengembangkan model dan sistem pendidikan yang
berbasis kebinekaan.
Kegiatan SGK menekankan capaian dampak dari kegiatan-kegiatannya
dalam pengalaman riil peserta. Dampak tersebut antara lain adalah bagaimana
refleksi para peserta yang diungkapkan dalam keseharian. Catatan- catatan refleksi
peserta di setiap penyelenggaraan kegiatan terdokumentasi dengan baik sehingga
dapat menjadi sumber dalam menganalisis catatan anekdotal mengenai pengalaman
dan perubahan yang dirasakan guru peserta di akhir program. Pendekatan yang
digunakan dalam mendokumentasikan dampak SGK di antaranya melalui metode
studi dokumen dengan menghimpun catatan kegiatan penyelenggaraan, notulensi
dan refleksi peserta.
Sejak tahun 2007 YCG yang telah berdiri sejak tahun 2006 menemukan
persoalan keragaman di lingkungan pendidikan yang krusial dan sensitif. Persoalan
keragaman tersebut khususnya berkaitan dengan identitas-identitas yang melekat
pada diri guru, di antaranya keragaman agama atau keyakinan. Secara umum SGK
bertujuan untuk mengembangkan model pendidikan efektif dalam menyiapkan
guru sebagai rujukan pengembangan wawasan keragaman, kebangsaan dan
kemanusiaan dalam laku pendidikan. Untuk itu SGK menyusun program yang
terstruktur dan komprehensif dan pertama diselenggarkan apda tahun 2016. Hingga
tahun 2020 YCG telah mengadakan tiga kali SGK tingkat dasar, satu kali SGK
lanjutan dan satu kali SGK rujukan. Kemudian program SGK menjadi program
tetap yang dilakukan oleh YCG terkait peningkatan kapasitas guru.

Universitas Indonesia
91

YCG mendokumentasikan program SGK ke dalam empat wilayah yaitu


dampak pada guru yang ditandai dengan perubahan perspektif atau cara pandang
peserta SGK; dampak dalam pengelolaan kelas secara langsung maupun tidak
langsung; dampak dalam sekolah secara langsung ataupun tidak langsung dan
dampak terhadap kehidupan bermasyarakat di lingkungan guru (peserta SGK)
secara langsung maupun tidak langsung.

Gambar 5.2 Rangkuman Dampak Sekolah Guru Kebinekaan dan Guru

Dalam menyampaikan materi pengajarannya, SGK menerapkan Prinsip


Penyelenggaraan Pendidikan seperti; menyelenggarakan pendidikan secara
demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan. Contohnya pada penerapan nilai
keagamaan, SGK memaknai “kaidah emas” yang selalu hadir di setiap agama dan
kepercayaan. Kaidah ‘lakukan apa yang kau ingin orang lakukan terhadapmu’
menjadi pegangan penting saat membicarakan kemanusiaan yang mendasari
keragaman dan kebangsaan.
Dalam hal menguatkan rasa kebangsaan, SGK mempelajari dan menangkap
kekuatan yang dimiliki akar budaya masing-masing termasuk keragaman
kepercayaan. Membiasakan menggali kekuatan diri, kekuaran lingkungan termasuk
kekuatan akar budaya di dalamnya, kemudian menggunakan untuk kebaikan
bersama menjadi format sederhana yang senantiasa dibutuhkan. Format ini menjadi

Universitas Indonesia
92

kunci pemahaman Guru Bineka. Keyakinan bahwa setiap manusia memiliki


kekuatan dan mampu berperan untuk kebaikan bersama merupakan format kunci
Guru Bineka. Fokus nilai Yayasan Cahaya Guru yang juga diterapkan di Sekolah
Guru Kebinekaan ini adalah keragaman, kebangsaan dan kemanusiaan. Dalam
menerapkan pengajarannya, SGK menegaskan warna-warni keanekaragaman
sebagai modal dalam mengupayakan kesenangan belajar peserta didik dan
kegembiraan mengajar para gurunya.
SGK telah berjalan dalam lima sesi yang diselenggarakan setiap tahun sejak
tahun 2016 hingga tahun 2020. SGK bukan merupakan sekolah formal atau yang
diselenggarakan oleh negara di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
namun merupakan gerakan mandiri komunitas Yayasan Cahaya Guru yang dalam
pembiayaannya masih mengandalkan donatur dari berbagai pihak swasta maupun
perorangan. Namun demikian Kemendikbud turut bekerjasama dalam menyediakan
ruang aula untuk pelaksanaan sesi pengajaran, sebelum memasuki era pandemi. Di
masa pandemi tentu kegiatan pengajaran guru-guru ini harus menyesuaikan dan
dengan demikian sesi pelatihan dilakukan secara daring. Walaupun baru diadakan
lima kali dengan setiap sesi sekitar tiga puluh orang peserta guru, namun SGK
menyusun pendidikan berjenjang seperti SGK Dasar, SGK Lanjutan dan kemudian
SGK Rujukan. SGK Lanjutan dimaksudkan untuk para peserta guru yang memiliki
potensi yang lebih mengenai penerapan di sekolahnya masing-masing. SGK
Rujukan disiapkan untuk peserta guru yang berpotensi mempengaruhi kebijakan di
sekolah tempatnya mengajar, misalnya guru yang memiliki akses ke manajemen
atau yayasan, atau sebagai pimpinan sekolah tersebut. Para peserta guru didapatkan
dari promosi di sosial media maupun ke beberapa sekolah. Dengan demikian
peserta yang bergabung adalah atas inisatif sendiri dan tidak ada paksaan atau tidak
juga berupa ditugaskan dari pihak sekolah. Guru yang mengikuti program ini
datang dari berbagai jenjang pendidikan, seperti guru PAUD/TK (4,41%), SD
(35,29%), SMP (23,53%), SMA/ SMK (23,53%) dan bahkan guru komunitas
seperti guru sekolah Minggu, guru mandiri yang mengajar di kolong jembatan, atau
guru komunitas yoga dan lain-lain (13,23%). Profil peserta guru yang mengikuti
program SGK adalah 54,41% guru perempuan dan 45,59% guru laki-laki, dengan
peserta guru sekolah negeri sebanyak 41,18%, guru sekolah swasta 47,06% dan

Universitas Indonesia
93

sisanya 4,41% adalah guru informal atau para pendidik yang bekerja untuk
kelompok-kelompok termarjinalkan. Sementara ini cakupan wilayah peserta baru
di sekitar DKI Jakarta (64,71%), Jawa Barat (27,94%) dan Banten (7,35%). Profil
jenjang akademis peserta guru adalah 44,12% Sarjana Strata 2, 50% Sarjana Strata
1, 2,94% DIII/DIV dan 2,94% lulusan SMA.

Gambar 5.3 Profil responden survei dampak Sekolah Guru Kebinekaan

Pak Muhammad Muchlisin sebagai kepala sekolah yang peneliti wawancara


menjelaskan bahwa pada mulanya YCG gerakannya masih terpecah-pecah seperti
menyelenggarakan seminar, FGD (Focus Group Discussion/ Diskusi Kelompok
Terfokus). Kemudian sejak tahun 2016 mulai diadakan program pengajaran nilai
kebinekaan, kebangsaan dan kemanusiaa yang lebih terencana khusus untuk para

Universitas Indonesia
94

guru. Karena guru yang mendaftar dibebaskan atas inisiatif sendiri, dengan
demikian mayoritas dari peserta adalah guru-guru yang memiliki kepedulian
terhadap keragaman.
Beberapa Guru-guru tersebut merasakan adanya masalah pemahaman dan
penyemaian kebinekaan di lingkungan sekolahnya. Namun terdapat juga kasus
adanya dua orang guru yang memilih mundur di hari pertama program pendidikan,
yang kemungkinan dikarenakan sudah mendengar jabaran bahwa di dalam program
tersebut akan ada kunjungan ke rumah ibadah-rumah ibadah yang berbeda-beda.
Guru-guru yang mundur merasakan bahwa program tersebut bertentangan dengan
ideologi yang mereka anut.
Singkat kata, peserta yang akhirnya mengikuti program selama ini dapat
dikatakan adalah guru-guru yang memang memiliki kepedulian akan kebinekaan
dan perdamaian dan berkeinginan ingin memperbaikinya di lingkungan sekolah
tempat mereka mengajar. Peserta guru yang ikut tidak hanya guru sosial seperti
guru agama, sejarah, PPKN, namun ada juga guru-guru mata pelajaran eksakta
seperti guru matematika, fisika. Pengajaran yang menekankan proses saling
bertukar pengalaman di antara peserta dan pemberi materi menjadikan
pembelajaran juga bagi SGK. Dengan demikian SGK juga mempelajari berbagai
tantangan dan hambatan yang dihadapi para guru baik di sekolah formal maupun di
sekolah komunitas.
Format program SGK adalah dilakukan dalam durasi enam bulan yang
dilaksanakan setiap hari Sabtu dua minggu sekali. Durasi per satu sesi dilakukan
dari jam sembilan pagi hingga jam tidak sore, namun disesuaikan hanya cukup
sampai jam satu siang. Diskusi dan berbagi inspirasi di saat sesi telah selesai
dirasakan lebih memberikan manfaat. Jumlah keseluruhan dalam satu program
pertemuan sekitar sepuluh kali pertemuan. Sebelum pandemi selalu dilaksanakan
tatap muka, namun sejak tahun 2020 terpaksa dilakukan secara daring.
Kurikulum yang diberikan dalam SGK Dasar adalah; (1) Filosofi
Pendidikan dan Kemerdekaan Berpikir; (2) Penyelenggaraan Pendidikan: Dari
Prinsip ke Praktik; (3) Jalan Sejarah bangsaku; (4) Inspirasi Kebangsaan dan
Kemanusiaan dari Ruang Kelas; (5) Kekuatan dan Tantangan Keragaman; (6) Studi
Kasus: Meretas Prasangka, Merajut Harmoni Perjumpaan; (7) Praktik Perjumpaan;

Universitas Indonesia
95

(8) Peran Guru Merawat Keragaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan; (9)


Menyemai Keragaman di Sekolah dan (10) Menjadi Guru Rujukan Keragaman,
Kebangsaan dan Kemanusiaan. Secara garis besar kurikulum tersebut dibagi
menjadi ‘pemahaman filosofi’, ‘nilai kebangsaan’, ‘nilai keragaman’ dan
merangkumnya serta diskusi implementasi di lingkungan sekolah masing-masing.
Filosofi yang digunakan adalah filosofi Ki Hadjar Dewantara, misalkan
‘menghamba kepada anak’ dan ‘anak bukanlah sebagai kertas kosong’.
Cara mengintroduksikan materi di atas SGK menggunakan metode
permainan, analisis dan diskusi studi kasus, ceramah atau pemaparan dengan
menghadirkan beberapa ahli. Misalkan pada studi kasus diskriminasi agama
terhadap kaum minoritas SGK pernah menghadirkan ahli dari YLBHI (Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Selain itu juga ada metode perjumpaan
seperti mendatangi komunitas lain atau rumah ibadah dari berbagai agama. Di
setiap pertemuan SGK menekankan bahwa ada beberapa pelajaran yang bisa
diambil dari pertemuan tersebut, misalkan dari filosofinya, dari pengetahuan
barunya dan juga dari keterampilannya. Keterampilan ini yang biasanya dapat
digunakan untuk guru-guru peserta mengajar di sekolahnya. Keterampilan yang
dimaksud termasuk mengenai cara menyampaikan “ice-breaking” yang lebih
menghargai keragaman.
Survei mengenai dampak dari Program SGK 100% peserta mengatakan ada
perubahan yang dapat dikenali sebelum dan sesudah mengikuti SGK, misalkan
dalam cara pandang, pengetahuan dan pengalaman. Berdasarkan lima tahun
pengalaman menyelenggarakan program SGK ini, Muchlisin berpendapat memang
lebih baik program ini diberikan ke para peserta yang sudah memiliki kepedulian
yang sama terlebih dahulu, karena diharapkan dapat mengajak teman-teman di
sekolah maupun lingkungannya. Jika dibandingkan dengan yang memiliki
pemahaman yang berseberangan dengan nilai kebinekaan, kebangsaan maupun
kemanusiaan maka mungkin akan memerlukan metode khusus atau pendekatan
khusus. Beberapa para peserta alumni akan menjadi fasilitator di angkatan
berikutnya. Dengan demikian para guru alumni memiliki kepercayaan diri untuk
terus berperan menyemai nilai keragaman, nilai kebangsaan dan nilai kemanusiaan
baik di lingkungan pendidikan maupun di lingkungan masyarakat. Dampak

Universitas Indonesia
96

program SGK ini menurut survei dari para peserta, 63,84% mengatakan
pengetahuan dan pengalaman di SGK dapat direplikasi di kelas; 86,76% responden
mengatakan pengetahuan dan pengalaman di SGK dapat dimodifikasi di kelas;
85,29% responden mengatakan pengetahuan dan pengalaman di SGK dapat
menjadi inspirasi di kelas dan 14,71% responden mengatakan pengetahuan dan
pengalaman di SGK dapat digunakan di kelas dalam bentuk lainnya.

Gambar 5.4 Sekolah Guru Kebinekaan dan Pengelolaan Kelas

Gambar 5.5 Sekolah Guru Kebinekaan dan Pengelolaan Sekolah

Universitas Indonesia
97

Survei dampak program SGK menunjukkan bahwa 73,53% responden


mengatakan memiliki atau menjalankan peran di masyarakat. Sedangkan 85,3%
responden mengatakan pengetahuan dan pengalaman di SGK berpengaruh dalam
menjalankan peran di masyarakat. Secara garis besar 89,71% responden
mengatakan bahwa SGK membantu dirinya menjadi guru rujukan keragaman,
kebangsaan dan kemanusiaan. Guru rujukan yang dimaksud adalah para responden
guru alumni SGK menjadi dikenal sebagai Guru Toleransi atau Guru Kebinekaan
dan sejenisnya.

Gambar. 5.6 SGK dalam hidup Bermasyarakat

SGK belum memiliki dana tetap untuk menjamin keberlangsungan program


ini di setiap tahunnya. Sehingga untuk melangsungkan program di tahun berikutnya
perlu menggalang dana terlebih dahulu agar bisa terlaksana. Tenaga pengajar juga
merupakan para relawan yang mungkin hanya menerima pembayaran transportasi
dari SGK. Tantangan yang dirasakan dari beberapa guru peserta SGK adalah
pimpinan di sekolah tempat mereka mengajar tidak mendukung keikutsertaannya
dalam program SGK, tidak mendukung penyemaian nilai keragaman, kebangsaan
dan kemanusiaan. Beberapa tantangan yang diinfokan oleh para peserta guru juga
seputar prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diterapkan di sekolah umum atau
sekolah negeri namun kental diskriminasi terutama dalam hal agama dan

Universitas Indonesia
98

kepercayaan. Misalkan siswa sekolah negeri setiap hari saat baru masuk kerja
diharuskan membaca Al Quran atau Shalat Dhuha.
Selain contoh kasus di atas sebagaimana pembatasan penelitian ini masih
terdapat sekolah lain yang memiliki kepedulian akan penyemaian nilai kebinekaan,
kebangsaan dan kemanusiaan di lingkungan pendidikan. Contohnya ada Sekolah
Damai dari Wahid Foundation. Yang dilakukan oleh Sekolah Damai adalah
mendampingi institusi sekolah-sekolah misalkan dalam membantu bagaimana
membuat kebijakannya, bagaimana manajemen sekolahnya, sehingga diharapkan
bagaimana sekolahnya akan menjadi sekolah yang menerapkan nilai perdamaian.
Sedangkan SGK dari YCG ini fokus ke pendidikan untuk para guru dan menemani
guru-guru. Bagaimana guru mengubah persepsi terhadap orang yang berbeda,
mengubah paradigmanya, hingga bagaimana mengajarkan pedagoginya seperti apa,
termasuk bagaimana mempengaruhi kebijakan sekolah.

Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN

Sebagaimana dijabarkan di dalam Bab 2 Kajian Pustaka, konsepsi


Ketahanan Nasional pada intinya adalah kemampuan ‘Adaptasi’ dan ‘Bangkit
Kembali’. Melihat contoh kasus praktik baik dari sekolah-sekolah di dalam
penelitian ini, menciptakan ekosistem yang heterogen merupakan upaya
menyediakan kesempatan agar siswa mampu beradaptasi hidup di berbagai
ekosistem. Semakin sering seseorang berpindah ekosistem, dimana ekosistemnya
sendiri bersifat heterogen, maka semakin tinggi kemampuan orang tersebut untuk
beradaptasi. Kunci dari toleransi dan perdamaian adalah kemampuan seseorang
untuk beradaptasi. Toleransi dan perdamaian merupakan nilai-nilai di dalam
Bhinneka Tunggal Ika dan adaptasi merupakan inti dari Ketahanan Nasional.
Berdasar beberapa contoh sekolah dalam penelitian ini dapat memberikan
gambaran bagaimana penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika dilakukan di
lingkungan pendidikan menengah di Indonesia khususnya daerah DKI Jakarta dan
Jawa Barat. Sebagaimana diuraikan dalam Latar Belakang di Pendahuluan, di
dalam nilai Bhinneka Tunggal Ika terdapat nilai keberagaman atau kebinekaan,
nilai kebangsaan yang mengandung makna persatuan, serta nilai kemanusiaan.
Nilai-nilai inilah yang juga akan diperhatikan dalam melakukan analisis dalam Bab
Pembahasan. Penelitian ini akan membagi pembahasan studi kasus ke dalam empat
bagian.
Pertama, yang dimaksud dengan INPUT yaitu bagaimana penyemaian nilai
diberikan kepada siswa. Bagaimana kurikulum terkait mata pelajaran nilai-nilai,
bagaimana profil dan kesiapan guru sebagai pendidik, bagaimana nilai-nilai
disampaikan atau diajarkan di luar dari jam mata pelajaran formal. Termasuk di
dalam pembahasan INPUT antara lain bagaimana ekosistem yang mendukung
disediakan oleh pihak sekolah, apakah ekosistemnya mendukung proses dan
keberfungsian penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika.
Kedua, pembahasan akan membahas PROSES penyemaian nilai-nilai
kebinekaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Bagaimana proses belajar mengajar
mencakup strategi, metode atau teknik penyampaian nilai-nilai tersebut.

99
Universitas Indonesia
100

Ketiga, OUTCOME atau evaluasi akhir. Bagaimana metode evaluasi akhir


dapat mengetahui pencapaian siswa dalam mengenyam nilai-nilai Bhinneka
Tunggal Ika selepas masa studi sekolah menengah.
Keempat adalah Keberfungsian penyemaian nilai-nilai Bhinneka Tunggal
Ika di dunia pendidikan. Apakah penyemaian nilai-nilai tersebut di sekolah bersifat
sangkil (berdaya guna atau efisien) dan mangkus (berhasil guna atau efektif) di
dalam kehidupan keseharian. Bagian keempat tidak merupakan bagian yang akan
dibahas di dalam penelitian ini karena untuk mengetahui dan menilai
keberhasilannya, diperlukan lebih banyak data dan perlu ditetapkan indikator dan
komponen penilaian agar terukur dan obyektif. Penelitian ini akan mengupas
pembahasan di ketiga bagian saja, yaitu input, proses dan evaluasi akhir.
Namun, sebelum memasuki pembahasan contoh kasus sekolah-sekolah, di
dalam Bab Pembahasan ini akan dijabarkan pendapat para narasumber ahli dalam
kaitan tema penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam dunia pendidikan
berdasarkan hasil wawancara. Lalu di dalam Bab ini juga akan ditambahkan
beberapa literatur yang relevan dalam menjembatani proses analisis masalah.

6.1. Pendapat Para Narasumber Ahli


6.1.1. Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA., dari Kementerian Agama
Sahiron berpendapat bahwa persatuan bangsa merupakan syarat tercapainya
tujuan menjadi bangsa yang besar. Suatu bangsa akan menjadi besar bilamana
terdapat persatuan. Namun di lapangan kita menyadari bahwa Indonesia sangat
beragam. Maka persyaratan harus adanya persatuan hanya dapat diimplementasikan
bilamana adanya kesadaran akan kebinekaan dan kesadaran akan keharusan adanya
persatuan.
Berlawanan dengan kesadaran akan kebinekaan adalah adanya pemaksaan
penyeragaman. Pemaksaan akan penyeragaman tentu akan menyebabkan
perpecahan. Di dalam kondisi Indonesia yang sudah memiliki kodrat beragam,
maka pemaksaan penyeragaman akan mengakibatkan adanya pihak-pihak yang
dirugikan. Maka pemaksaan penyeragaman ini dapat menimbulkan konflik
selanjutnya mengancam Ketahanan Nasional.

Universitas Indonesia
101

Bicara tentang ancaman terhadap kebinekaan, Sahiron berpendapat yang


paling berat sekarang ini adalah ancaman munculnya radikalisme atau
fundamentalisme negatif. Munculnya gerakan-gerakan yang mengusung
intoleransi, ekstremisme dan radikalisme mengarah kepada terorisme merupakan
tantangan atas kebinekaan dan persatuan Indonesia. Karena gerakan-gerakan
seperti ini menganggap bahwa prinsip dan ideologi mereka yang paling benar.
Radikalisme kesukuan tidak terlalu signifikan, andaipun ada. Ancaman terberat
sekarang ini di Indonesia adalah radikalisme kelompok-kelompok agama.
Ancaman lainnya adalah kelompok separatis. Perbedaannya adalah
kelompok separatis umumnya hanya di daerah tertentu dan dapat terlihat nyata
sehingga lebih mudah diatasi. Sedangkan hadirnya kelompok radikalisme agama
tersebar di keseluruhan Indonesia dan tidak dapat terlihat, karena para pelakunya
membaur dengan keseluruhan warga Indonesia. Dapat dikatakan musuh-musuh
kebinekaan ini tidak nampak dan geraknya menyebar cepat bahkan ke dalam tubuh
lembaga-lembaga negara yang memiliki wewenang, misalkan dalam membuat
peraturan atau hukum.
Namun demikian, Sahiron masih optimis bahwa kesadaran kebinekaan di
Indonesia akan tetap berlangsung, karena mayoritas dari orang Indonesia cinta
perdamaian dan menghindari konflik. Hal ini dikatakan Sahiron berdasarkan
pengamatan karakter asal orang Indonesia dari kearifan lokal, yang kerap masih
bersikap unggah-ungguh (sopan santun atau tata krama) dalam mengemukakan
opini yang berbeda.
Meskipun bersikap optimis, Sahiron berpendapat bahwa penyemaian nilai-
nilai kebinekaan, perdamaian dan kesadaran akan pentingnya persatuan harus
dilakukan dengan sangat serius. Hal ini dikarenakan menyusupnya paham-paham
intoleran yang berpotensi mencederai kebinekaan dan persatuan telah memasuki
dunia pendidikan bahkan hingga ke pendidikan terendah seperti Sekolah Menengah
dan bahkan PAUD.
Sahiron berpendapat dalam upaya penyemaian nilai-nilai Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan, pemerintah perlu bersungguh-sungguh
dalam menjalin kerjasama antar lembaga, seperti Kementerian Pendidikan dengan
Kementerian Agama. Karena pendidikan publik berada di dalam tanggung jawab

Universitas Indonesia
102

Kementerian Pendidikan, sedangkan mata pelajaran agama dan sekolah-sekolah


berbasis agama masuk ke dalam tanggung jawab Kementerian Agama. Pelajaran
Pancasila yang mungkin mengandung pendidikan nilai-nilai menjadi sia-sia ketika
Pelajaran Agama disampaikan tanpa menekankan pemahaman menghormati agama
orang lain yang berbeda.
Pendidikan agama tanpa memperkenalkan agama lain yang berbeda akan
membangun anak didik yang memiliki kesadaran sempit. Sekolah-sekolah juga
perlu memberikan perhatian khusus dan mengawasi adanya organisasi keagamaan
yang bersifat ekslusif yang menyuntikkan paham-paham radikalisme kepada siswa.
Terlebih lagi jika di antara tenaga pengajar terdapat guru atau bahkan kepala
sekolah yang juga terkontaminasi akan paham-paham sempit tersebut.
Kerjasama antar lembaga pemerintah yang tidak optimal mengakibatkan
saling lepas tanggung jawab akan adanya isu nyata ini di dunia pendidikan. Dengan
demikian, meskipun tetap optimis akan keberlangsungan kebinekaan Indonesia
dalam persatuan, namun Sahiron mengatakan bahwa sangat diperlukan ekstra kerja
keras dan usaha yang sistematis, agar efektif dan koordinatif dalam mengatasinya.
Upaya menjaga nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika ini akan tetap berlangsung
seterusnya, karena ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan seperti ini akan
selalu ada.

6.1.2. Yudi Latif, PhD, Mantan Kepala BPIP, Pakar Aliansi Kebangsaan
Senada dengan Sahiron, Yudi Latif juga sependapat bahwa pada faktanya
Indonesia adalah majemuk, beragam. Namun demikian Indonesia tetap harus
bersatu dan tetap menjaga kemajemukan tersebut jika tidak ingin saling
menghabisi. Maka dari itu, Indonesia memerlukan alat pemersatu yaitu Pancasila
dan ada Bhinneka Tunggal Ika di dalamnya. Bhinneka Tunggal Ika merupakan pola
dasar keindonesiaan, terdapat di dalam sesanti Pancasila. Pola dasar ini telah
tumbuh dalam akar budaya serta kesejarahan dalam masa yang sangat panjang.
Indonesia telah mengalami pergaulan sesama bangsa Indonesia, lintas
golongan, lintas ideologi, lintas wilayah, dan sebagai respon bersama terhadap
pengaruh-pengaruh luar maka Indonesia kini adalah hasil silang budaya. Namun
demikian, ibarat pohon, persilangan budaya bangsa Indonesia berasal dari tanah dan

Universitas Indonesia
103

akar sejarahnya. Namun pola dasar kolektif ini tidak layaknya kode genetik biologis
yang diturunkan secara otomatis turun-temurun. Terlebih lagi, ketika Pancasila
dirumuskan, belum semua nilai-nilai Pancasila di titik kesiapan yang matang.
Artinya, banyak impian di dalam Pancasila, seperti impian keadilan, impian
demokrasi dan lainnya yang belum siap petik, tapi baru mulai akan diperjuangkan,
melalui proses-proses yang harus dilalui. Ibaratkan kode genetik biologis yang
secara otomatis diturunkan saja, daya tahan atau survival dari suatu unsur gen tidak
selalu dapat dipertahankan. Terlebih lagi pada pola dasar Indonesia, karena adanya
pengaruh lingkungan dan perkembangan jaman, maka ditemukanlah berbagai
kelemahan Pancasila.
Kelemahan pertama adalah keteledoran dan ketidakpahaman akan esensi
nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kelemahan kedua adalah bangsa
Indonesia merupakan produk masa kolonial yang telah mengalami perjalanan pahit
panjang yang mengakibatkan pelemahan mental masyarakat. Kelemahan ketiga
adalah adanya perubahan jaman sehingga perang sekarang tidak lagi perang
konvensional seperti jaman dahulu, melainkan perang proxy atau proxy war. Proxy
war melibatkan pihak yang tidak hanya aktor negara tapi juga aktor non-negara.
Perang proxy yang diluncurkan terhadap Indonesia dikarenakan adanya keinginan
pihak asing menguasai sumber daya alam Indonesia sehingga menggunakan cara-
cara yang memecah belah. Kelemahan kelima, yaitu dampaknya adalah tumbuhnya
ideologi lain yang dipaksakan untuk berkembang di Indonesia. Hal ini menjadi
perhatian dalam menjaga Ketahanan Ideologi bangsa. Menjaga ketahanan ideologi
tidak dapat dengan cara-cara lama yaitu Pancasila hanya dijadikan sebagai hafalan
butir-butir di dunia pendidikan, namun perlu adanya upaya penyemaian nilai
Pancasila secara sungguh-sungguh dan terstruktur.
Yudi Latif menambahkan perihal Tiga Ranah dalam Pemikiran Aristoleles.
Kalau diselusuri lebih jauh ke belakang, akar filosofis dari tiga ranah peradaban itu
dapat ditemukan basis argumennya, antara lain pada pemikiran Aristoteles.
Baginya, negara adalah wahana civilisasi (pemberadaban). Manusia adalah zoon
politicon; tanpa hidup di tengah masyarakat (atau negara), manusia hanya ibarat
binatang jalang. Berbeda dengan hewan liar, untuk mampu hidup bersama dalam
masyarakat, manusia perlu dibekali "moral sense" – kemampuan membedakan

Universitas Indonesia
104

yang baik dan yang buruk, yang adil dan zalim. Negara semestinya hadir dengan
tujuan etis-teleologis untuk memanusiakan manusia dengan menjadikannya sebagai
wahana pembentukan manusia beradab yang berkeadilan. Oleh karena itu, tujuan
negara bukan hanya untuk melindungi warga dari marabahaya (dengan hukum dan
ketertiban), atau sekadar mencapai kemakmuran material, tetapi yang lebih jauh
adalah mencapai keluhuran spiritualitas dan mentalitas (aspek filosofikal).
Membangun keluhuran spiritualitas dan mentalitas bangsa di dalam aspek
filosofikal membutuhkan Ketahanan Ideologi dan Ketahanan Budaya. Visi bangsa
Indonesia, baik Visi Persatuan, Visi Kepribadian dan Visi Perdamaian Dunia
merupakan acuan yang harus senantiasa dijadikan pegangan Indonesia dalam
membangun dan berkembang.
Dalam menjaga ikatan kebangsaan diperlukan nilai moralitas kewargaan
yang dapat menyatukan keragaman sosial. Dalam menanamkan nilai moralitas
kewargaan dibutuhkan kesetaraan akses dan mutu pendidikan, yang sekaligus
memperkuat persatuan nasional. Yudi Latif mengutip ungkapan Bung Karno dalam
membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme;
“suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu
bangsa.”
Sentimen Nasionalisme yang dimaksud menawarkan fondasi ideologis bagi
kemunculan institusi-institusi modern seperti demokrasi, negara kesejahteraan, dan
pendidikan publik. Pada intinya, di dalam nasionalisme harus memiliki kesamaan
ajara; pertama, bahwa anggota-anggota komunitas bangsa memahami
keberadaannya sebagai suatu kelompok kewarganegaraan yang setara dengan
berbagi sejarah dan cita-cita politik bersama, harus memimpin negara. Kedua, dan
mereka melakukan itu atas nama kepentingan bangsa (Latif, 2020). Nasionalisme
yang dimaksud adalah nasionalisme yang inklusif dan luas baik dalam kehidupan
domestik dan internasional.
Yudi Latif mengatakan di dalam masyarakat yang supermajemuk, terlalu
menekankan individualisme dan perbedaan akan mempersulit integrasi bangsa.
Sedangkan mematikan aspirasi individu dan perbedaan aspirasi akan membunuh
kekayaan potensi dan kreativitas. Sehingga Pancasila merupakan jalan tengah yang

Universitas Indonesia
105

memilih kearifan. Bhinneka Tunggal Ika mengakui keragaman atau perbedaan


seraya berusaha mencari persamaan atau persatuan.
Teori sosialisasi menyatakan bahwa institusi pendidikan mentransmisikan
norma, nilai dan model-model perilaku yang dianggap tepat dalam suatu
masyarakat tertentu. Menurut pendekatan kognitif dalam rumpun teori sosialisasi,
orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung kurang dalam
mengembangkan favoritisme pada kelompok sendiri dan prasangka terhadap
kelompok yang berbeda. Demikian salah satu alasan yang dikemukakan Yudi Latif
dalam mengaitkan pentingnya pendidikan dalam upaya menyemai nilai kebinekaan
di masyarakat.
Selain itu Yudi Latif juga menyebutkan faktor yang mempengaruhi watak
pendidikan yaitu salah satunya adalah faktor budaya politik. Nilai-nilai yang
ditransmisikan dalam dunia pendidikan mencerminkan budaya politik yang
dominan. Di negara dengan budaya politik demokratis akan memiliki efek
pendidikan yang lebih kecil dalam melemahkan intoleransi dan etnosentrisme.
Terdapat pula adanya hipotesis yang mengatakan bahwa budaya politik yang
ditransmisikan oleh sistem pendidikan dipengaruhi juga oleh derajat keragaman
kultural. Karena budaya politik ditransmisikan melalui sistem pendidikan, maka
diasumsikan bahwa pada masyarakat yang lebih plural, institusi pendidikan akan
lebih giat berupaya mengajarkan dan menyebarluaskan nilai-nilai dan sikap toleran.
Di dalam keberagaman agama di Indonesia, Pancasila merupakan kapasitas
tersendiri untuk memenuhi fungsi sebagai agama sipil (civil religion), sebagaimana
di Bab Pendahuluan, Bhinneka Tunggal Ika dimaksudkan pertama adalah sebagai
agama sipil dalam menyikapi konflik antara penganut Agama Hindu dan penganut
Agama Buddha. Persatuan nasional memerlukan kesepakatan mengenai nilai inti
(core values) moral publik yang terkristalisasi di dalam Pancasila. Kapasitas
Pancasila sebagai civil religion dapat efektif sebagai sumber tertib sosial bilamana
setiap individu warga negara aktif mengemban kewajiban kewargaan (civic duties).
Kewajiban kewargaan dapat dilakukan bisa seorang warga memiliki nilai
kecerdasan kewargaan. Kecerdasan kewargaan didapat melalui pendidikan nilai-
nilai Pancasila. Demikian penjelasan Yudi Latif secara garis besar dalam
menghubungkan Ketahanan Nasional, khususnya Ketahanan Ideologi dan

Universitas Indonesia
106

Ketahanan Budaya dengan Pendidikan Nasional. Nilai-nilai Pancasila dan


Bhinneka Tunggal Ika yang dimaksud mencakup nilai kebinekaan, nilai
kebangsaan, nilai kewargaan dan nilai kemanusiaan.
Yudi Latif mengemukakan bagaimana menautkan keragaman dalam satu
ikatan kebangsaan. Pertama, harus membuka jaring-jaring konektivitas. Yang
beragam harus dipersatukan dalam jaring koneksi. Konektivitas yang dimaksud
tidaklah hanya berupa konektivitas fisik seperti konektivitas infrastruktur,
perhubungan, transportasi, jalan tol, namun perlu ada upaya menyambungkan hati
dan pikiran. Misalkan, peran Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Masyarakat Indonesia dari beragam asal daerah dan suku dapat berkomunikasi
menggunakan Bahasa Indonesia.
Kedua, pentingnya literasi atau kemampuan membaca, menulis, bertutur,
menghitung dan memecahkan masalah. Tentu literasi masih terkait dengan bahasa.
Dengan kemampuan literasi, seseorang dapat membaca dan juga memahami
suasana hati dan pikiran orang lain. Dengan literasi, seseorang dapat berempati.
Kurangnya pemahaman literasi mengakibatkan kurangnya wawasan sehingga dapat
terjadi salah sangka. Maka dari itu, demokrasi yang baik selalu memerlukan literasi,
memerlukan masyarakat literasi. Dengan memiliki kemampuan membaca orang
bisa memahami situasi orang lain meskipun ia tidak pernah menginjakkan kakinya
di lokasi tersebut, namun tetap bisa memiliki empati yang lebih kuat. Kemampuan
memahami orang lain dapat menempatkan diri kita dalam situasi orang lain, dan ini
dibangun melalui literasi.
Ketiga, ruang-ruang perjumpaan antar keragaman harus diciptakan, agar
orang yang berbeda memiliki ruang untuk bertemu dan berinteraksi. Yudi Latif
mencontohkan, jangan orang Papua seumur hidupnya hanya tinggal di tanah Papua.
Oleh karena itu, semustinya pola-pola seperti pemukiman eksklusif, sekolah
eksklusif, ruang-ruang kerja eksklusif harus diperbaiki agar tidak dibiarkan seperti
itu. Jadi, intinya adalah konektivitas, hard infrastructure dan soft infrastructure,
atau konektivitas fisik dan non-fisik.
Keempat, kalau kita menyatukan dalam keragaman perlu adanya interaksi
sosial, untuk itu dibutuhkan adanya kesetaraan akses. Kesetaraan akses pada
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan dan lain sebagainya. Inti dari

Universitas Indonesia
107

inklusivitas adalah adanya equal access untuk semua warga negara. Dengan
demikian akan terbentuk mutual trust atau rasa saling percaya. Dengan
bermodalkan konektivitas dan inklusivitas maka rasa saling percaya akan tumbuh.
Jaring-jaring konektivitas dan inklusivitas sosial inilah yang disebut modal sosial.
Jadi hanya dengan interkoneksi yang lebih baik, baik pikiran, hati, dan fisik, beserta
dengan inklusi, equal access dalam pendidikan, kesehatan, jabatan, permodalan,
sektor usaha, maka yang saling beragam dapat mulai saling menumbuhkan
kepercayaan, saling menghargai dan saling berbagi.
Maka dari itu, konektivitas dan inklusivitas ini memerlukan satu ikatan yang
kuat. Ikatan yang kuat ini adalah ikatan nilai, ikatan moral, yang disebut dengan
Pancasila. Konektivitas dan inklusivitas memerlukan nilai-nilai pengikatnya,
sehingga masyarakat berada pada kesamaan dasar atau on the same basis, memiliki
common ground, memiliki titik temu mengenai nilai-nilai yang kita sepakati
bersama. Nilai-nilai yang disepakati bersama ini yang disebut dengan Pancasila.
Jadi Pancasila ibarat aliran darahnya supaya setiap cabang tubuh kita dapat bergerak
pada tujuan yang sama.
Menanggapi seputar Ketahanan Nasional, Yudi Latif berpendapat bahwa;
pertama, konsep keamanan sekarang tidak lagi keamanan konvensional seperti
sistem militer, namun sudah memasuki Human Security (Keamanan Insani).
Termasuk di dalamnya adalah Ketahanan Politik, Ketahanan Ekonomi, Ketahanan
Kesehatan, Ketahanan Energi dan Ketahanan Pangan. Kedua, kita sistem ketahanan
nasional yang sedang dibangun tidak berdasarkan threat based atau berdasarkan
ancaman. Karena ancaman di masa sekarang ini menjadi semakin banyak,
bermacam-macam tantangan dikarenakan disrupsi-disrupsi teknologi. Dengan
demikian pendekatannya pun harus diubah bukan lagi threat-based (berbasis
ancaman) melainkan capability-based (berbasis kemampuan). Di era disrupsi
tantangan yang dihadapi akan terus bermutasi. Sehingga yang perlu diperkuat
adalah daya tahan “tubuh” atau daya resiliensi.
Yang harus diperkuat adalah kapabilitas bangsa. Istilah “si vis pacem para
bellum” yang artinya “siapa yang ingin damai harus siap berperang” maknanya
tidak dalam arti harfiah. Jika ingin hidup dalam damai Indonesia harus perkuat

Universitas Indonesia
108

kapabilitas bangsa, sehingga Indonesia memiliki aura yang besar, lebih kuat,
sehingga bangsa lain bahkan tidak terpikir untuk ingin mengganggu Indonesia.
Sebagaimana menurut Sun Tzu, kemenangan terbesar bukan didapat
melalui perang, tapi kemenangan tanpa perang. Dalam konteks negara, perlu kita
perkuat pembangunan ekonomi negara, perkuat segala sesuatu yang merupakan
strength (kekuatan) Indonesia. Dalam meningkatkan kekuatan bangsa, pendidikan
merupakan faktor penting untuk mendukungnya. Pendidikan yang maju dapat
menghasilan riset dan berbagai penelitian sehingga menciptakan penemuan-
penemuan inovatif yang akan memperkuat bangsa Indonesia, meningkatkan daya
resiliensi bangsa, dan meningkatkan citra negara, aura yang besar di mata
internasional.
Dalam argumen ini, Yudi Latif menekankan, baik dalam membangun
kemandirian bangsa dari sisi ekonomi, kesejahteraan maupun dari sisi penanaman
nilai-nilai dalam membentuk kepribadian bangsa, pendidikan tetap merupakan
faktor utama yang sangat penting. Kualitas pendidikan bangsa menentukan kualitas
Ketahanan Nasional bangsa tersebut. Pendidikan ini merupakan hal yang stratejik.
Pendidikan Nasional yang berkualitas merupakan basis Ketahanan Nasional yang
sangat penting. Setiap aspek Ketahanan Nasional baik Ketahanan Ideologi,
Ketahanan Ekonomi, Ketahanan Sosial, Ketahanan Budaya dan lain sebagainya,
keberhasilannya semua bertumpu pada tingkat kualitas Pendidikan Nasional.

6.1.3. Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Dosen Fakultas Ushuluddin dan


Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Fahruddin Faiz menjabarkan konsep pendidikan menurut Ki Hadjar
Dewantara, yang dianggapnya masih sangat relevan dalam penyemaian nilai-nilai
di masa sekarang. Hal ini sejalan dengan literatur Pendidikan yang Berkebudayaan
karya Yudi Latif, yang banyak mengacu kepada konsep pendidikan dari Ki Hadjar
Dewantara. Pengajaran nasional menurut Ki Hadjar Dewantara adalah pengajaran
yang selaras dengan penghidupan bangsa dan kehidupan bangsa. Kalau pengajaran
bagi anak-anak tidak berdasarkan nasionalisme, sudah tentu anak-anak kita tak akan
mengetahui keperluan kita, lahir maupun batin; lagipula tak mungkin anak-anak itu
memiliki rasa cinta tanah air, dan makin lama akan makin terpisah dari bangsanya

Universitas Indonesia
109

sehingga kemudian barangkali menjadi lawan kita (Latif, 2020). Kutipan dari
ucapan Ki Hadjar Dewantara ini sangat relevan dengan permasalahan yang
dihadapi sekarang dalam menjaga Ketahanan Nasional Indonesia.
Fahruddin Faiz mengatakan, menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan
adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang sudah terdapat pada diri setiap siswa,
agar mereka dapat mencapat keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Tujuan pendidikan menurut Dewantara adalah siswa-siswa dapat hidup dan tumbuh
sesuai kodratnya sendiri. Dengan demikian, guru tugasnya hanya merawat dan
menuntun tumbuhnya kodrat tersebut. Karena pada kenyataannya, biarpun siswa-
siswa mendapatkan pendidikan di tempat yang sama dan dididik oleh guru yang
sama, namun tetap saja setiap siswa akan memiliki jalannya sendiri-sendiri.
Pemahaman Ki Hadjar Dewantara yang disebut sebagai aliran Humanisme, sangat
mengakomodir berkembangnya potensi siswa sesuai keberagaman dan keunikan
masing-masing. Di Indonesia yang beragam, konsep ini sangat tepat sesuai dengan
keberagaman yang juga merupakan kodrat Bangsa Indonesia. Siswa tetap diberikan
kebebasannya untuk bertumbuh kembang, misalkan siswa yang berlatar belakang
Kalimantan dapat mengembangkan potensinya sesuai ke-Kalimantan-annya,
demikian pula yang berasal dari daerah-daerah lain. Kearifan-kearifan lokal dari
tiap daerah tetap mendapatkan tempat dan penghargaan.
Konsep ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang menggunakan
metode perintah, hukuman dan ketertiban. Siswa didorong untuk berkarya
berdasarkan perintah, dalam menjalankan proses pendidikan, siswa dibatasi dengan
beragam aturan ketertiban. Bilamana siswa melanggar koridor ketertiban yang
sudah ditetapkan, atau menolak dan melanggar perintah, maka hukumanlah yang
akan diterapkan. Konsep pendidikan semacam ini menjebak siswa dalam penyakit
‘intelektualisme’ atau yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan, atau positivistik.
Dampaknya siswa akan menjadi sosok yang individualis dan materialis.
Kecerdasan intelektual lebih diutamakan dan maka mengenyampingkan kecerdasan
budi pekerti. Konsep pendidikan yang tidak menghargai dan mengakomodir
keberagaman seperti ini, baik keberagaman latar belakang, kemampuan individu,
kemampuan intelektual akademis, perbedaan opini dan keunikan lainnya, akan
menghasilkan siswa yang juga tidak memili