Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TESIS
PAMELA CARDINALE
1906339456
TESIS
PAMELA CARDINALE
1906339456
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
NPM : 1906339456
Tanda tangan :
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Telah dibaca, dikoreksi dan disetujui untuk diajukan pada Ujian Tesis pada Program
Studi Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas
Indonesia.
PEMBIMBING TESIS
Pembimbing 1, Pembimbing 2,
(Muhammad Syaroni Rofii, S.H.I., M.Si., Ph. D) (Prof. Dr. Anhar Gonggong)
Mengetahui
Ketua Program Studi,
iv
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 20 Agustus 2021
v
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains
Program Studi Kajian Ketahanan Nasional pada Sekolah Kajian Stratejik dan
Global Universitas Indonesia. Penulis menyadari demikian banyak bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak sejak masa perkuliahan hingga penyusunan tesis.
Oleh karena itu, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada:
1) Bapak Muhammad Syaroni Rofi’i, S.H.I., M.Si., Ph.D. dan Bapak Prof. Dr.
Anhar Gonggong selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga dan pikiran selama membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini;
2) Bapak Dr. Drs. Arthur Josias Simon Runturambi, M.Si. selaku Ketua Sidang
yang telah memberi kesempatan penulis untuk memaparkan hasil penelitian,
3) Bapak Prof. Komaruddin Hidayat selaku penguji yang juga banyak
memberikan inspirasi kepada penulis,
4) Seluruh Dosen dan Pengajar di Program Studi Ketahanan Nasional, Sekolah
Kajian Stratejik dan Global atas segala ilmu dan bimbingan berharga yang
sudah diberikan, juga Pembimbing Akademik penulis Ibu Dr. Palupi Lindiasari
Samputra yang sabar membantu penulis di banyak tahapan perkuliahan,
5) Para staf di Sekolah Kajian Stratejik dan Global yang telah banyak mendukung
proses administrasi penelitian ini,
6) Para narasumber ahli yang telah membantu dalam memberikan berbagai
masukan dan pendapatnya terkait tesis Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin,
MA. dari Kementerian Agama Republik Indonesia, Yudi Latif, Ph.D., mantan
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang juga sebagai Pakar Aliansi
Kebangsaan dan Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag., dosen Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.
7) Para narasumber yang telah banyak membantu penulis memperoleh data yang
diperlukan baik dari Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Jakarta Bapak Roni
Saputro; Sekolah Madania Bapak Harisko, Sekolah Kolese Kanisius Jakarta
vi
Universitas Indonesia
Bapak G Sutarto, Sekolah Menengah Kejuruan Bakti Karya Parigi Bapak Ai
Nurhidayat, Sekolah Guru Kebinekaan Bapak Muchlisin dan Ibu Henny
Supolo Sitepu selaku Ketua Yayasan Cahaya Guru yang telah banyak
memberikan inspirasi.
8) Orang tua penulis, Mami Prof. Hj. Albertine Minderop, MA. dan Papi H.
Soedjatmiko yang telah memberikan dukungan moral, doa dan kasih sayang,
beserta Ibu Juliana Wilhelmina Minderop yang sudah seperti Ibu bagi penulis,
9) Ramadhani Achdiawan, S.Si., MA. suami penulis yang senantiasa mendukung
penuh, sebagai teman diskusi dan pemberi semangat selama proses perkuliahan
hingga penulisan tesis serta putri penulis Prudence Querida Pashahumairah
yang selalu hadir memotivasi dan menambah semangat, Zus Ponti Caroline
dan suami, Ivan Tuhuleley sebagai kakak penulis serta Percy Carbella dan Fitry
Octavia sebagai adik penulis, yang senantiasa memberikan dukungan moral
dan doa.
10) Bapak Yudi Latif, Ph.D., Bapak Dr. Haidar Bagir dan Bapak Dr. Ngatawi Al
Zastrouw yang senantiasa hadir sebagai teman diskusi dan memberi semangat
selama masa perkuliahan. Sungguh suatu berkah luar biasa bagi penulis untuk
berkesempatan mendapat banyak pencerahan dari para cendekia yang berhati
mulia ini,
11) Sahabat-sahabat mahasiswa di Kajian Ketahanan Nasional khususnya Kelas
REG42, teman kompak senasib seperjuangan dan saling mendukung, memberi
semangat, Ariwijaya, Muqsith, Amin, Nada, Mutiara dan Adein. Semoga kita
semua mampu menggapai cita dan angan yang diimpikan dan menebar manfaat
bagi bangsa dan kehidupan.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Kasih membalas kebaikan semua.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 20 Agustus 2021
Pamela Cardinale
vii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Bogor
Pada tanggal : 20 Agustus 2021
Yang Menyatakan
(Pamela Cardinale)
viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Bhinneka Tunggal Ika is the motto of the Indonesian nation, reflecting the reality
of Indonesian society, which is highly heterogeneous in terms of ethnicity, culture,
language, and religion, which spreads and develops in various places of the
Nusantara archipelago. Bhinneka Tunggal Ika is interpreted as being different, unity
in diversity, and pleural conditions. The Republic of Indonesia consists of a very
pluralistic society. The plurality includes ethnicity, religion, belief, the regional
culture of origin, regional language, and others. The obstacle is maintaining and
developing diversity while keeping the spirit of togetherness as a nation and state.
Education is the crucial component in growing awareness and beliefs and
commitment to cultivating the values of Pancasila and Bhinneka Tunggal Ika. This
study examined how cultivating the value of Bhinneka Tunggal Ika in the education
world through the National Resilience perspective. This research also studied its
conformity with the applicable laws and regulations. This study uses a qualitative
method with a multidisciplinary approach to national resilience. The results
obtained are awareness of school values continuously maintained and practiced to
become a strong foundation for seeding schools' values. However, public schools
still need strict much attention from the government regarding cultivating the values
of Pancasila and Bhinneka Tunggal Ika. The regulations that apply are ideal, but
the problem lies in the implementation and supervision.
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………………... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING …………….…………………..….… iv
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….………... v
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH……………………………… vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH................................................... viii
ABSTRAK................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI............................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR/GRAFIK………… …………….……………………………. xiii
DAFTAR TABEL …………………………………….……………………....……. xiv
BAB I PENDAHULUAN………………….……………………………….….. 1
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………...…... 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………...………. 23
1.3 Pertanyaan Penelitian………………………………....………...... 23
1.4 Tujuan Penelitian…………………………………...…...….…….. 24
1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………….….. 24
1.6 Kebaruan Penulisan…………………………………………..…... 25
xi
BAB V PENYEMAIAN NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA DI
SEKOLAH-SEKOLAH DI INDONESIA ...........………………………………… 59
5.1 Sekolah Publik……………………………....……………………… 59
SMAN 8 Jakarta……………………………………………………. 59
5.2 Sekolah Swasta………………......………………………..…….….. 64
5.2.1 Sekolah Madania Bogor...... ………...……………………….. 64
5.2.2 Sekolah Menengah Kolese Kanisius Jakarta ………………… 75
5.2.3 SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran ………………………. 78
5.3 Sekolah Guru Kebinekaan……………………………….....………. 89
LAMPIRAN
BIODATA PENULIS
xii
DAFTAR GAMBAR / GRAFIK
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Universitas Indonesia
2
merupakan suatu kesatuan, satu umat manusia, satu kemanusiaan. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa kemajemukan manusia sesungguhnya merupakan bagian yang
tidak terlepaskan dari hakikat kemanusiaan dan rencana Tuhan sendiri.
Kemajemukan harus diterima sebagai kepelbagaian di dalam dan untuk kesatuan
(Darmaputera, 1971, 6-7).
Indonesia yang sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno telah merupakan daerah
tujuan maupun tempat transit para pengembara dari berbagai negara, tentu juga
memiliki berbagai keberagaman. Kemajemukan yang merupakan kenyataan, antara
lain adalah fakta bahwa Indonesia berupa negara kepulauan dengan belasan ribu
pulau yang saling terpisah, sekian banyak suku berbeda, latar belakang etnis dan
kultur, bahasa dan dialek, agama dan kepercayaan baik yang resmi maupun agama
suku dan aliran keagamaan yang tidak resmi (Darmaputera, 1971, 5). Kebinekaan
Indonesia dapat ditarik setidaknya hingga ke 500 tahun sebelum Masehi. Diawali
dari bertemunya arus perjumpaan ras di Nusantara, adanya eksodus langsung dari
Afrika ke Nusantara sekitar 60.000 tahun yang lalu, mengakibatkan terbentuknya
ras Papua Melanesoid. Kemudian berdatangan diaspora Austronesia yang
menyebar ke Indocina termasuk ke daerah Nusantara dan Pasifik. Austro artinya
Selatan, Nesia artinya Bangsa.
Fenomena alam melelehnya es di kutub dengan kecepatan tinggi sekitar
20.000 tahun yang lalu, mencair menggenangi dataran-dataran rendah. Dahulu
tanah Jawa, Kalimantan, Sumatera merupakan kesatuan hamparan dengan Asia.
Fenomena melelehnya es di kutub, penduduk di dataran rendah mengalami yang
dinamakan ‘Out of Sundaland Theory’. Penduduk tersebut bertebaran ke berbagai
tempat, terpencar-pencar. Austronesia yang merupakan bangsa-bangsa selatan
umumnya hidup di kepulauan-kepulauan yang terpencar mulai dari Formosa,
Taiwan dan Kepulauan Nusantara.
Hal ini sesuai dengan pemahaman Dr. Brandes yang pada tahun 1884 datang
ke wilayah Indonesia dan mengatakan banyak kesamaan dengan bangsa-bangsa
pada wilayah yang membentang dari sebelah utara pulau Formosa, sebelah barat
daerah Madagaskar, sebelah selatan yaitu tanah Jawa; Bali, sebelah timur sampai
ke tepi pantai barat Amerika. Pengaruh India memasuki Nusantara juga pada saat
itu. Setelah melelehnya es di kutub, dataran rendah di sekitaran Nusantara pun
Universitas Indonesia
3
menjadi selat, dan penduduk mulai bertebaran mencari tempat tinggal. Dari
diaspora Austronesia hingga Madagaskar di Barat, demikian pula ke sisi timur
hingga ke Kepualauan Timur atau Eastern Islands.
Diaspora Austronesia berdatangan dalam beberapa gelombang, tidak hanya
dalam satu kelompok. Gelombang-gelombang kedatangan ini membentuk suatu
entitas-entitas lokal. Kemudian entitas-entitas tersebut membentuk suatu komunitas
bersama yang sangat egaliter. Dapat dikatakan bahwa ciri Nusantara adalah
berbentuk kepulauan dan bersifat egaliter. Segala sesuatu dirembukkan bersama,
dimusyawarahkan, tidak ada saling menguasai dan tidak ada pengerahan militer
dikerahkan untuk menaklukkan kelompok lain. Demikian kondisi Nusantara pada
awalnya.
Karena berdampingan ras Austronesia dan ras Papua-Melanesia, maka
terjadilah proses kawin silang, melahirkan harta campuran keberagaman. Mayundar
menyatakan bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India,
kemudian menyebar ke Indocina, terus ke daerah Indonesia dan Pasifik. Proses
kebinekaan di bumi Nusantara adalah merupakan proses pertemuan dua ras
tersebut, yang terjadi setidaknya 2.000 tahun yang lalu.
Kemudian kerajaan-kerajaan pertama di Nusantara mulai tumbuh.
Didahului oleh kerajaan Purnawarman, kemudian Kerajaan Sriwijaya memberikan
kekuatan imperium bahari yang kuat. Kerajaan Sriwijaya melakukan perdagangan
internasional dengan Cina dan India. Maka mulailah proses interaksi antar ras, antar
bangsa di pusat-pusat kerajaan seperti Sriwijaya. Sriwijaya kala itu memiliki
kemampuan membangun tradisi, misalkan kemampuan melakukan harmonisasi
ajaran kepercayaan yang berasal dari luar Sriwijaya dengan nilai-nilai lokal.
Berdasar kitab-kitab perguruan Sriwijaya kuno, jika pelajar perantau yang
berkeinginan mendalami agama Buddha dan hendak ke Nalanda, India, maka akan
singgah terlebih dahulu di Kerajaan Sriwijaya. Dari India pun tidak langsung
pulang ke Cina, namun singgah dulu ke Kerajaan Sriwijaya. Kekuatan Sriwijaya
adalah pada kemampuan pribumisasi. Ajaran-ajaran dari luar tersebut selalu dapat
dikawinkan dengan budaya lokal. Ini merupakan bibit-bibit kemampuan kita
mengawinkan unsur luar dengan unsur lokal. Sriwijaya dulu sudah menjadi pusat
ilmu pengetahuan dimana orang dari berbagai latar belakang bangsa, latar belakang
Universitas Indonesia
4
Universitas Indonesia
5
Agama Hindu dan Buddha diserap untuk melegitimasi kekuasaan agar suatu
kelompok suku dapat lebih berkuasa atas kelompok suku lainnya tanpa melalui jalur
kekerasan, melainkan melalui legitimasi legenda-legenda dan mitos-mitos.
Mitos-mitos Hindu Buddha tersebut juga dapat memberikan pijakan bagi
formasi kekuasaan dalam rangka memperluas pengaruh. Sejak awal kita ketahui
bahwa Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim atau dikatakan
thalassocracy atau thalattocracy, yaitu kerajaan kelautan, yang tumbuh antara lain
dari aktivitas perdagangan. Kerajaan Sriwijaya kemudian tumbuh melalui
perdagangan dengan Cina dan India. Kerajaan Sriwijaya bahkan menjadi penjaga
lalu lintas perdamaian di lautan, termasuk mampu melakukan pengendalian bajak-
bajak laut yang semula liar. Kerajaan Sriwijaya dalam menjalankan manajemen laut
tanpa menggunakan pemaksaan, penaklukan dilakukan secara damai, dan berhasil
menjadikan kota-kota disana bertumbuh, melakukan aktivitas perdagangan,
berniaga. Hidup harmonis toleran dalam damai merupakan ciri khas Kerajaan
Sriwijaya. Para bajak laut dijadikan polisi lautan, sehingga mendapatkan pekerjaan
rutin dan tidak lagi mengganggu keamanan. Kerajaan Sriwijaya sejak awal sudah
memiliki bibit-bibit sebagai imperium dagang dan bekerjasama dengan Cina dan
India. Kedua pengaruh Cina dan India mampu dikelola oleh Kerajaan Sriwijaya
menjadi suatu harmoni dengan kebudayaan lokal daerah-daerah di Sumatera. Hal
ini menjadikan Sriwijaya semakin diminati sebagai tempat singgah pelajar
internasional dalam memperdalam Buddhisme. Dapat dikatakan, jika ingin
mempelajari agama Buddha berdasar kitab, pergilah ke India. Namun bagaimana
memahami dan mengamalkan isi kitab tersebut, maka perlu dipkraktekkan dalam
lokalitas tertentu. Dalam hal ini Sriwijaya mampu mengadaptasi gagasa-gagasan
Buddhisme dari kitabnya ke dalam konteks lokal, duduk berdampingan antar
bangsa, antar universal lokal. Hal ini terjadi sekitar sejak abad ke-7 hingga abad ke-
12.
Kemudian sekitar abad ke-13 berdirilah Kerajaan Majapahit. Nusantara kala
itu telah menjadi pusat ekspansi persaingan Hindu dan Buddha di India. Persaingan
kekuatan pengaruh Buddha dan Hindu di India telah berlangsung lama. Nusantara
menjadi arena kontestasi pengaruh dua agama di India tersebut, persaingan antara
Buddhisme Mahayana bangsa Syailendra dengan bangsa Sanjaya yang beragama
Universitas Indonesia
6
Maka mulai muncul para pemikir seperti Mpu Tantular yang menulis buku
Sutasoma ketika sedang berada di Bali. Bali memang merupakan bagian dari
wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Di Kerajaan Majapahit tersebut Mpu
Tantular menulis kitab Sutasoma, yang mempertanyakan perilaku penganut agama
Hindu dan Buddha yang eksklusif dan memiliki pemahaman agama yang harfiah.
Di dalam Agama Hindu juga terdapat pergeseran antara para pemuja Dewa Wisnu
yang dianggap sebagai Dewa Pemelihara dan bersifat melindungi, dengan para
pemuja Dewa Syiwa yang merupakan Dewa Pelebur.
Universitas Indonesia
7
Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
bangsa Indonesia berasal dari Asia Tenggara, demikian pula Van Heine Geldern
beranggapan bangsa Indonesia berasal dari Asia. Sedangkan Prof. Dr. H. Kern
mengatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Champa, Kochin Cina,
Kamboja. Drs. Moh. Ali mengatakan bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan.
Prof. Dr. Kroom meyakini bahwa asal-usul bangsa Indonesia berasal dari Cina
Tengah, dikarenakan mengamati sumber-sumber sungai besar yang menyebar ke
wilayah Indonesia pada tahun 2.000 hingga 1.500 sebelum Masehi. Berbeda dengan
Prof. Kroom, Willem Smith memperhatikan penggunaan bahasa dalam menyusuri
asal-usul bangsa Indonesia. Brown (2003) mengungkapkan fakta bahwa Indonesia
terdiri lebih dari 13.600 pulau, dengan beragam agama kepercayaan, juga beragam
bahasa dan kebudayaan lokal.
Berbagai kajian etnologi maupun antropologi juga mengemukakan fakta
keanekaragaman dan kebudayaan Indonesia. Sejak abad ke-16 berbagai laporan
perjalanan telah mendeskripsikan adat-istiadat dan suku-suku bangsa tertentu di
Kepulauan Nusantara, demikian dikatakan Swasono (2006). George Windsor Earl,
seorang sarjana Inggris, pada tahun 1850 pertama kali memperkenalkan istilah
“Indonesia” melalui sebutan “Indu-nesians” dalam konteks etnologis. Latif (2011)
menginformasikan bahwa James Richardson Logan, rekan Earl kemudian
melanjutkan, tidak dalam artian etnografis, melainkan dalam artian geografis. Pada
rentang tahun 1884-1894 seorang etnolog Belanda, Adolf Bastian, seorang pakar
kelahiran Jerman mempopulerkan istilah Indonesia dalam buku karyanya,
‘Indonesien oder Die Inseln des Malayischen Archipel’ (Indonesia atau Pulau-pulau
di Kepulauan Melayu), baik dalam artian geografis maupun kultural secara luas
(Elson, 2008).
Setelah istilah Indonesia ini semakin kerap digunakan, para aktivis
mahasiswa dan kalangan intelegensia, baik yang berada di Belanda maupun di
Indonesia mulai tergerak melakukan gerakan-gerakan nasional. Yamin
menjabarkan gerakan Indonesia melawan (penjajahan) diawali masa sebelum tahun
1908, masa setelah tahun 1908, zaman perintis (1908-1927), zaman penegas (1927-
1938), zaman pencoba (1938-1942), hingga zaman pendobrak (1942-1950) yaitu di
masa penjajahan Jepang, dan zaman pelaksana (1950-1960). Segelintir kaum
intelektual berperan aktif menggerakkan proses bersatunya Indonesia, yang berawal
Universitas Indonesia
11
Universitas Indonesia
12
lambang negara Republik Indonesia pada awalnya tidak seperti yang kita ketahui
sekarang. Bung Karno memerintahkan Pelukis Dullah antara lain untuk mengubah
gambar bagian jari-jari kaki Garuda. Jari kaki Garuda yang mencengkeram tulisan
“Bhinneka Tunggal Ika” pada awalnya satu jari di depan sedangkan tiga jari lainnya
di belakang, atau terkesan mencengkeram pita dari arah belakang pita. Bung Karno
menginginkan diubah menjadi tiga jari di depan dan satu jari di belakang, sehingga
mengesankan mencengkeram pita dari arah depan, menambah garang dan kesan
berani pada Burung Garuda (Dullah, 2019). Selain itu, proses perbaikan lambang
juga menambahkan jambul di kepala Burung Garuda (Virdianti, 2014). Sebagai
semboyan bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika terpampang di dalam lambang
negara Garuda Pancasila, tertulis di pita yang dicengkeram oleh kaki Burung
Garuda. Lambang negara Indonesia lengkap dengan semboyan ‘Bhinneka Tunggal
Ika’ telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang
Lambang Negara (Pursika, 2009). Selanjutnya Soekarno menambahkan interpretasi
terhadap lambang negara tersebut, berlatar belakang tulisan karya Sutasoma. Istilah
‘Bhinneka Tunggal Ika’ bermula dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.
Bhinneka Tunggal Ika menegaskan harmoni antara kebinekaan dan ketunggalan,
antara kepelbagaian dan kesatuan, antara hal banyak dan hal satu, atau antara
pluralisme dan monisme (Pursika, 2009).
Kemudian apakah yang menjadi kekuatan perekat kehidupan berbangsa
sehingga Indonesia akan tetap tegak berdiri di tengah arus globalisasi dan
internasionalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ataukah bangsa ini tengah
mengalami perubahan karakter? Atau bahkan apakah memang bangsa ini belum
terbentuk secara solid karakternya sejak kemerdekaan? Sekali lagi, apakah bangsa
ini, ibarat pohon besar, memiliki akar tunggang yang menghunjam dalam sehingga
tak mudah roboh ketika dihantam badai? Ataukah sekedar akar serabut?
Kehidupan berbangsa dan bernegara bukan semata produk alamiah. Dalam
sejarah selalu terdapat blind spot (titik buta/ kelemahan) dalam setiap pergantian
generasi. Ada empat karakter generasi, yaitu generasi pendiri, generasi pembangun,
generasi penikmat, dan generasi perusak (Khaldun, 1958). Keempat tipologi
tersebut bisa kita amati, lihat dan saksikan. Termasuk juga dalam perjalanan pasang
surut Bhinneka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa telah berjuang merumuskan dan
Universitas Indonesia
13
Universitas Indonesia
14
telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia – sekedar pengutara
keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia turun-temurun (Soekarno,
2017).
Sejarah mencatat adanya beberapa rumusan Pancasila yang pernah ada.
Rumusan-rumusan Pancasila tersebut berbeda satu dengan lainnya, namun terdapat
juga yang sama. Rumusan pertama adalah yang dari Soekarno sebagaimana
diungkapkan pada tanggal 1 Juni 1945 tertulis di atas. Kata ‘Pancasila’ sendiri
hanya satu kali digunakan oleh Soekarno, dan selanjutnya yang disebutkan hanya
butir-butirnya saja, tidak lagi disebut sebagai Pancasila. Jadi, fakta menunjukkan
memang Soekarno yang merumuskan dan menggunakan istilah Pancasila, lalu
setelah menjadi konsensus, kata Pancasila tidak lagi disebut-sebut, melainkan
hanya butir-butirnya saja.
Soemardjo (1965) menjabarkan tiap-tiap rumusan sebagai berikut:
Rumusan kedua pada Piagam Jakarta1 tanggal 22 Juni 1945, berbunyi
1. Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknja
2. Kemanusiaan jang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam
permusjawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial
Rumusan ketiga pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar tahun 19452, berbunyi
1. Ketuhanan Jang Maha Esa
2. Kemanusiaan jang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam
permusjawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial
Rumusan keempat pada Mukaddimah Konstitusi RIS (Republik Indonesia
Serikat) tahun 1949, berbunyi
1. Ketuhanan Jang Maha Esa
2. Peri – Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerkjatan
5. Keadilan Sosial
1
Piagam Jakarta adalah sebenarnya Pancasila yang merupakan hasil rumusan kesepakatan Panitia
Sembilan, namun oleh M. Yamin diberi nama Piagam Jakarta.
2
Ini adalah rumusan tanggal 18 Agustus 1945, yang merupakan hasil dari Rapat Panitia BPUPKI.
Rumusan ini yang kemudian disahkan sebagai bagian dari alinea keempat UUD RI 1945. Rumusan
ini yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
dengan orang lain. Hidup bersama-sama dengan orang lain berarti saling
memperkuat, bukan sebaliknya, saling melemahkan. Hanya dengan hidup bersama
dengan orang lain atau hidup bermasyarakat, manusia dapat menyempurnakan
dirinya. Manusia bisa menjadi berguna, menjadi terpandang dikarenakan kehadiran
manusia-manusia yang lain. Sebagaimana ikrar yang diucapkan pada Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, yang mendahului semangat cita-cita persatuan rakyat di
dalam teritori Indonesia. Sumpah Pemuda dianggap sebagai kristalisasi semangat
untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara Indonesia, berbunyi:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang
satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa
persatoean, bahasa Indonesia.
Ikrar pertama dan ketiga dapat kita katakan telah tercapai, kita sudah
memiliki tanah air Indonesia yang jelas tegas batas-batas geografisnya, dan juga
kita telah memiliki Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun apakah cita-
cita akan adanya bangsa yang satu, yaitu Bangsa Indonesia telah tercapai.
Pada kenyataan sekarang, terdapat fenomena meningkatnya politik identitas
dalam proses demokrasi di Indonesia. Hasil riset Puskapol UI menunjukkan bahwa
adanya kapitalisasi berbagai isu-isu identitas, terutama isu agama, untuk meraih
suara pemilih, menyerang kubu lawan, membingkai isu ataupun menggiring opini
publik dalam PEMILU 2019 (Puskapol UI, 2019). Demikian pula adanya orientasi
politik identitas dan representasi politik yang mempengaruhi proses demokrasi pada
kasus PILKADA 2018-2022 (Nasrudin, 2018). Indonesia merupakan negeri paling
majemuk di dunia. Keragaman yang sangat tinggi ini menyimpan potensi
disintegrasi yang juga sangat tinggi. Masih terus ditemui berbagai kejadian bahkan
berupa peraturan di beberapa daerah yang mencederai NKRI dan bertolak belakang
dengan kebinekaan yang menutup ruang perjumpaan antaridentitas yang berbeda
dan memunculkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam
melihat identitas yang berbeda (Kementerian Agama RI, 2019).
Universitas Indonesia
17
Pada masa sekarang ini, penulis yang dapat dikatakan paling aktif
menghidupkan kembali penggalian-penggalian terhadap Pancasila adalah Yudi
Latif. Buku Revolusi Pancasila (2015) karya Yudi Latif merupakan jendela atau
ajakan untuk mengkaji tema besar yang terkait dengan peran vital Pancasila dalam
kehidupan berbangsa, di masa kini. Pertama, kita diajak untuk melihat kembali
realitas sosial, budaya dan politik nusantara pada waktu itu yang telah mendorong
munculnya tekad, urgensi serta ketajaman intuisi para pendiri bangsa yang telah
berhasil merumuskan Pancasila. Kedua, dari intuisi itu lalu mendorong munculnya
tahapan perjuangan ideologisasi Pancasila sebagai kekuatan pemersatu dan
panduan ideologis berbangsa dan bernegara. Ketiga, tahapan institusionalisasi atau
legalisasi politik Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara. Keempat, ini
aspek yang masih sangat lemah, proses internalisasi bagi aparat pemerintah sebagai
pengelola negara. Kelima, memasuki agenda perumusan strategi dan program aksi
untuk melangkah ke depan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan.3
Dikatakan Fukuyama dalam bukunya, Identity; bahwa terdapat kebutuhan
dalam diri manusia akan pengakuan identitas, dan inilah yang terjadi dan digunakan
dalam politik dunia sekarang. Kebangkitan politik identitas dalam demokrasi liberal
modern merupakan salah satu ancaman utama yang jika tidak diatasi dengan baik
dapat menghancurkan diri kita sendiri dalam kemelut konflik berkelanjutan
(Fukuyama, 2018). Kebutuhan akan pengakuan yang setara ini dapat dengan lebih
mudah diakomodir dari pengakuan atas superioritas kelompok. Politik identitas
pada praktiknya terbagi dua aliran; yang menuntut pengakuan atas martabat
individu, dan yang menuntut pengakuan atas martabat kolektivitas. Kenyataan ini
yang pada dasarnya juga melandasi nasionalisme dan identitas nasional, namun
juga oleh beberapa aktor politik digunakan untuk memecah belah.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, identitas turut berperan
menyatukan bangsa ini. Kesamaan Bendera Nasional Merah Putih, kesamaan
Bahasa Indonesia, kesamaan Lagu Kebangsaan, bahkan kesamaan fisik
masyarakatnya merupakan identitas bangsa Indonesia. Identitas inilah yang
membentuk nasionalisme dan merupakan modal utama dalam menjaga Ketahanan
3
Hasil wawancara dengan Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional
Indonesia, 14 Juni 2020.
Universitas Indonesia
18
Nasional. Namun identitas tidaklah merupakan sesuatu yang statis atau final.
Identitas masih dapat bergerak dinamis dan membentuk penyesuaian kembali.
Ibarat pedang bermata dua, identitas dapat menyatukan bangsa namun juga dapat
memecah belah. Timbulnya berbagai kepentingan dapat membentuk identitas-
identitas baru. Identitas dapat terbentuk sebagai hasil dari kepentingan yang
diciptakan seperti identitas akibat faham sentrisme, baik etnosentrisme,
politiksentrisme, religisentrisme, dan lain sebagainya. Kebinekaan yang merupakan
takdir bagi Indonesia akan terancam bila politik identitas yang dikarenakan faham
sentrisme ini semakin menguat. Menajamnya berbagai perbedaan kepentingan dan
faham sentrisme merupakan ancaman terhadap integrasi nasional, yang tentu juga
mengancam Ketahanan Nasional. Pola pikir dan sikap mental akan kesadaran
kebinekaan Indonesia, serta komitmen akan menjaga persatuan kesatuan negeri ini
menjadi sangat penting. Untuk itu perlu kita kembali ke belakang menengok sejarah
dan hakikat akan kebinekaan Indonesia yang terajut dalam kesatuan Negara
Republik Indonesia. Dengan demikian akan terbuka pemahaman latar belakang
akan kondisi terkini dan kemudian mampu melihat prospek di masa depan.
Kenyataan ini merupakan latar belakang yang menjadi bahan pemikiran penelitian
ini, sehingga ditetapkan tema tesis mengenai Bhinneka Tunggal Ika, yang
merupakan bagian dari Pancasila.
Pancasila sebagai Cara Hidup Manusia Indonesia
Manusia merupakan makhluk sosial, yang dalam hidupnya selalu
berkelompok bersama manusia lainnya. Dalam menjalani kehidupan bersama
kelompoknya, manusia membentuk budaya dan cara hidup (way of life) yang
berawal dari gagasan-gagasan dan berbagai keyakinan hidup. Gagasan dan
keyakinan yang dijadikan cara hidup dilanjutkan secara turun-temurun dari nenek
moyang hingga ke anak cucu. Cara hidup, gagasan dan keyakinan nilai-nilai yang
melandasinya, serta pengetahuan yang menjadi kebijaksanaan lokal (local wisdom)
tersebut, disebut dengan kebudayaan. Manusia Indonesia yang terserak dari Aceh
hingga Papua memiliki keragaman kebudayaan lokal. Kebudayaan-pun merupakan
hal yang dinamis, terus berkembang, berubah mengikuti jaman dan mendapatkan
berbagai pengaruh atas berbagai gagasan-gagasan yang tidak kasat mata, baik dari
pemikiran manusia di dalam kelompoknya maupun mendapatkan pengaruh dari
Universitas Indonesia
19
luar kelompoknya, bahkan dari luar bangsanya. Pendidikan merupakan bagian dari
kebudayaan. Pendidikan menggabungkan gagasan-gagasan dan nilai-nilai, baik
yang diturunkan dari nenek moyang maupun ilmu pengetahuan yang didapat dalam
masa perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Pancasila adalah cara hidup, sebagai rangkuman berbagai kebudayaan
manusia Indonesia yang memilih bersatu menjadi Bangsa Indonesia. Pancasila
mencakup nilai-nilai, gagasan-gagasan, pengetahuan bagi manusia Indonesia
sebagai cara hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila dibentuk oleh nilai-
nilai yang hidup dan berkembang di tanah tumpah darah kita. Sejak jaman dahulu
manusia cenderung mencari kebenaran mutlak, menggapai Tuhan Yang maha
Benar, mendekati Tuhan, “Berketuhanan” sebagai jawaban terakhir terhadap
berbagai teka-teki alam, misteri hidup dan permasalahan kehidupan. Manusia sejak
jaman dahulu kala juga membedakan dirinya dengan makhluk-makhluk lainnya,
“Kemanusiaan” yang karena itu justru merupakan kewajaran manusia itu sendiri,
yaitu kebudayaan, adab. Sejak jaman Aristoteles para filsuf membahas “Keadilan”
baik dalam artian egaliter maupun dalam artian proporsional, yang merupakan
perwujudan dari “Kemanusiaan” dan “Ketuhanan”. Pancasila adalah hasil galian
khazanah budaya asli Indonesia sendiri, yang oleh MPR dalam keputusannya
tentang Ekaprasetia Pancakarsa menyatakan bahwa Pancasila merupakan
sekaligus pandangan hidup Bangsa dan Negara Republik Indonesia (Joesoef, 2004,
12). Bila Pancasila telah diterima dalam tingkat politisi legislatif secara bulat-bulat
sebagai satu-satunya asas bermasyarakat, maka selanjutnya menjadi tanggung
jawab politisi eksekutif untuk mewujudkan pembangunan bangsa sebagai
pengamalan Pancasila (Joesoef, 2004, 21-22).
Suatu bangsa memerlukan landasan falsafah bagi kelangsungan hidupnya
yang sekaligus berfungsi sebagai dasar dan cita-cita atau tujuan nasional yang
hendak dicapai. Falsafah tersebut dapat diberikan istilah lain misalnya ideologi,
falsafah negara, pandangan hidup dan pandangan dunia, rukun negara, landasan riil
dan sebagainya (Lemhannas, 1974, 24). Pengertian ideologi adalah “Perangkat
prinsip pengarahan (guiding principles) yang dijadikan dasar serta memberikan
arah dan tujuan untuk dicapai di dalam melangsungkan dan mengembangkan hidup
dan kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.” Ideologi juga berarti “suatu
Universitas Indonesia
20
sistem nilai, yaitu serangkaian nilai yang tersusun secara sistimatis dan merupakan
kebulatan ajaran atau doktrin” (Lemhannas, 1974, 24).
Ketahanan Ideologi merupakan bagian dari Ketahanan Nasional. Dikatakan
bahwa (Hanita, 2020, 180) Ketahanan Nasional suatu bangsa mencakup Ketahanan
Ideologi, Ketahanan Politik, Ketahanan Sosial Budaya, Ketahanan Pertahanan
Keamanan dan Ketahanan Aspek Alamiah. Penyemaian Nilai Bhinneka Tunggal
Ika secara khusus ataupun Pancasila secara lebih luas merupakan bagian dari aksi
menjaga Ketahanan Ideologi dan Ketahanan Sosial Budaya. Pancasila sebagai satu-
satunya asas, ideologi bangsa Indonesia harus dijaga agar tahan dari segala
ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari luar negeri maupun dari
dalam negeri. Menurut Suryohadiprodjo, Ketahanan sosial budaya memiliki
pengaruh besar terhadap sikap hidup dan perilaku masyarakat Indonesia dalam
berbagai kegiatannya sehari-hari (Hanita, 2020, 181). Yang dimaksud dengan
kebudayaan adalah, segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika),
kemauan (etika) serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan
kepribadian manusia, perkembangan kepribadian manusia, perkembangan
hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan manusia, hubungan
manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan yang Maha Esa
(Joesoef, 2004, 6). Kebudayaan diartikan sebagai suatu pilihan hidup berhubung
penghayatan kebudayaan, yang adalah penghayatan nilai-nilai, membantu manusia
untuk menilai, untuk meninjau secara tepat sikapnya terhadap dirinya sendiri serta
terhadap dunia di luar dirinya, untuk membuat pilihan dengan kebebasan yang
semakin mantap (Joesoef, 2004, 7).
Membentuk perkembangan kepribadian manusia dan juga menanamkan
nilai-nilai hidup dengan ideologi bangsa hanya dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pembangunan nasional tidak hanya bicara pembangunan negara, namun konsep
ketahanan nasional sekarang juga menyodorkan konsep pembangunan bangsa.
Konsep ini sejak jaman Orde Baru dikatakan sebagai nation and character building
(membangun karakter dan membangun bangsa). Pendidikan merupakan kunci
penting jika suatu bangsa ingin membangun masyarakatnya, membangun karakter
bangsa dan menjaga Ketahanan Ideologi yang dengan demikian juga menjaga
Universitas Indonesia
21
Universitas Indonesia
22
Universitas Indonesia
23
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
demokrasi. Usaha penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika di dunia pendidikan pun
mengalami pergeseran sepanjang pasca kemerdekaan ini. Di masa Orde Baru
adanya program seperti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) dan juga mata pelajaran-mata pelajaran kewarganegaraan dan
kebangsaan. Lalu bagaimana dengan era pasca reformasi?
Di era pasca reformasi, keragaman mendapatkan ruang, namun yang terjadi
ternyata adalah kegaduhan. Hingga kini, di Indonesia terus terjadi ketegangan
antara semangat ketunggalan dengan semangat kebinekaan. Pertanyaannya
kemudian adalah bagaimana menjaga keseimbangan ini? Disinilah suatu proses
yang dinamis terjadi. Jadi penelitian ini berbeda dengan artikel jurnal ataupun tesis
sejenis sebelumnya. Melihat adanya ancaman dalam perkembangan kehidupan
sosial kala ini, hal tersebut dapat menjurus pada disintegrasi bangsa yang
mengancam ketahanan nasional. Penelitian ini akan mengulas, menjelaskan,
memaparkan hasil pengamatan proses dinamika ketegangan tersebut. Penelitian ini
kemudian akan mengamati dan menganalisis penyemaian nilai Bhinneka Tunggal
Ika di dunia pendidikan riil di beberapa contoh kasus yang dipilih. Dapat dikatakan
penelitian ini akan bersifat timely atau mengandung kekinian.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
27
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
29
Universitas Indonesia
30
Universitas Indonesia
31
Universitas Indonesia
32
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945 serta
perjuangan mencapai tujuan nasional (Lemhannas RI, 2014).
Arti kata Ketahanan adalah resilio (Bahasa Latin) yang berarti beradaptasi
dan bangkit kembali (bounce back) dari peristiwa yang mengganggu (Flynn, 2007)
(Hanita, 2020, 60). Definisi Ketahanan menurut Instruksi Kebijakan Presiden 8
(PPD-8, 2011) adalah “Kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang
berubah dan bertahan dan cepat pulih dari gangguan akibat keadaan darurat”
Definisi serupa dipertajam dalam Instruksi Kebijakan Presiden 21 (PPD-21, 2013)
yaitu “Ketahanan adalah Kemampuan untuk mempersiapkan dan beradaptasi
dengan kondisi yang berubah dan bertahan dan pulih dengan cepat dari gangguan,
termasuk kemampuan untuk bertahan dan pulih dari serangan yang disengaja,
kecelakaan, atau ancaman atau insiden yang terjadi secara alami.” Akademi
Nasional (2012) mendefinisikan Ketahanan sebagai “Kemampuan untuk
mempersiapkan dan merencanakan, menyerap, pulih dari, dan lebih berhasil
beradaptasi dengan peristiwa buruk” (Hanita, 2020, 89).
Ketahanan Nasional menurut Lemhannas adalah kekuatan, kemampuan,
daya tahan dan keuletan dalam menghadapi tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan yang harus ditanggulangi dalam proses mencapai cita-cita bangsa yang
dinamakan Tujuan Nasional (Lemhannas, 1974, 5). Ketahanan Nasional
merupakan kondisi dinamik suatu bangsa berisi keuletan dan ketangguhan, yang
mengandung kemampuan mengembangkan Kekuatan Nasional, didalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan
baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan
negara serta perjuangan mengejar Tujuan Perjuangan Nasionalnya (Lemhannas,
1974, 7). Masih merupakan definisi Ketahanan Nasional menurut Lemhanas adalah
“kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan dalam
menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan
(AGHT) baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri langsung atau tidak
langsung yang dapat membahayan integritas, identitas serta kelangsungan hidup
bangsa dan negara” (Hanita, 2020, 146).
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia
34
mengembalikan ke fungsi yang ada. Ketahanan yang dimaksud adalah entitas atau
komponen sistem yang nilainya (atau layanan) terletak pada fungsi tertentu.
Sedangkan Ketahanan “Adaptasi” berlaku untuk entitas atau komponen sistem yang
nilainya terletak pada pengelolaan dan berfungsinya sistem atau komponen sistem.
Hasil yang diharapkan dari Ketahanan “Adaptasi” adalah proses dinamis yang
menghasilkan respons adaptif terhadap gangguan. Amerika Serikat yang menganut
konsep Ketahanan “Adaptasi”, menetapkan “Pembagian tanggung jawab” sebagai
tujuan Ketahanan. Untuk itu Amerika memasukkan instrumen “beragam upaya
independen untuk memenuhi kebutuhan strategis” dalam ketahanan untuk
keamanan nasional. Sementara Singapura yang menganut konsep Ketahanan
“Bangkit Kembali”, menetapkan tujuan “Keamanan Nasional: pemerintahan,
komunitas; pola pikir; tanggung jawab warga negara”. Singapura memasukkan
instrumen “Keterlibatan warga negara; media massa; kemitraan untuk integrasi,
aksi kolektif dan kesadaran bersama”. (Hanita, 2020, 153).
Universitas Indonesia
35
Universitas Indonesia
36
Hal ini dimanifestasikan dengan moril yang tinggi, yang diwujudkan karena
keyakinan akan kebenaran motivasi perjuangan (ideologi/ politik), nasionalisme,
patriotisme dan kepercayaan diri. Jiwa korsa yang tebal yang diciptakan karena rasa
solidaritas, rasa senasib sepenanggungan, jiwa kerjasama, kebanggaan kesatuan
karena prestasi dan sejarah (Lemhannas, 1974, 52-53).
Memang kebutuhan akan spesialisasi tentu akan tetap ada, karena
sedemikian banyak kegunaan yang didapat dari hasil spesialisasi ilmiah dalam
pembangunan nasional. Namun, hendaknya ilmuwan tidak membatasi diri dalam
pengkotakan ilmu pengetahuan, tidak mengurung diri hanya di dalam sel disiplin
ilmiahnya masing-masing. Penelitian-penelitian juga tidak lagi optimal bila
hasilnya dipecah-pecah dalam bidang intelektual terpisah. Dengan demikian hasil
jawaban penelitian yang merupakan solusi atas masalah akan memiliki banyak
keterbatasan, utamanya dalam kualitas solusi, sedemikian ciri keutuhan manusia
juga sangatlah kompleks. Penelitian dengan cara berpikir ilmiah interdisipliner
akan berbeda dalam tiga tahapan; pertama, multi disiplinaritas, yaitu beberapa ilmu
pengetahuan yang berbeda dalam menggarap berbagai aspek yang berbeda dari
permasalahan yang sama. Kedua, krosdisiplinaritas yaitu disiplin ilmiah
mendominasi ilmu pengetahuan lainnya yang turut mengkaji masalah yang sama
karena disiplin ilmiah yang dominan itu diakui lebih mendekati inti permasalahan
yang dihadapi. Ketiga, transdisiplinaritas, dimana semua disiplin ilmiah sudah
dapat melebur menjadi satu pengertian ilmiah baru, sehingga terjadi suatu
keterpaduan sempurna (Joesoef, 2004, hal.25).
Di dalam ilmu sosial, utamanya, bila ingin mencapai pemecahan praktikal
total, maka jalan satu-satunya adalah dengan menempuh cara kerja pluri atau
interdisipliner, baik di antara sesama ilmu sosial, maupun bersama-sama dengan
ilmu alam (Joesoef, 2004, hal.26). Daoed Joesoef mempercayai bila seorang
ilmuwan secara membabi buta hanya berfokus pada ilmu pengetahuan, maka akan
terbentur pada suatu batas. Sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Inilah yang
merupakan inti dari pesan dalam sila pertama dari kelima sila Pancasila, sebagai
pandangan hidup Bangsa dan dasar Negara Republik Indonesia, yaitu “Ketuhanan
Yang Maha Esa” (Joesoef, 2004, hal.26-27).
Universitas Indonesia
37
Universitas Indonesia
38
dapat menjelma menjadi anarki dan pimpinan tanpa demokrasi dapat mengarah ke
diktator. Oleh karena itu perlu diciptakan keseimbangan antara kepemimpinan
dengan kerakyatan. Kerakyatan yang ideal dijiwai oleh persatuan spiritual
(nasional) berlandas pada nilai Ketuhanan yang mutlak.
Nilai keadilan sosial menjamin kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
secara menyeluruh dan merata. Tiap-tiap bangsa dapat mengembangkan filsafat dan
ideologinya sendiri sesuai dengan hakekat kepribadian bangsa itu. Ideologi negara
itu merupakan sistem nilai yang mencakup segenap nilai hidup dan kehidupan
bangsa serta negara dan bersifat interrelasi serta interdependensi.
Memiliki ideologi yang sempurna dan cocok belum menjamin Ketahanan
Ideologi Nasional bangsa tersebut. Untuk mencapai Ketahanan Nasional diperlukan
penghayatan dan pengamalan ideologi secara sungguh-sungguh dan benar tepat
sebagaimana yang dicita-citakan di dalam nilai ideologi tersebut. Letjen.
(purnawirawan) Sayidiman Suryohadiprodjo, seorang pemikir militer Indonesia,
membagi Ketahanan Nasional dalam (1) Ketahanan Ideologi, (2) Ketahanan Politik,
(3) Ketahanan Ekonomi, (4) Ketahanan Sosial Budaya, (5) Ketahanan Pertahanan-
Keamanan dan (6) Ketahanan Aspek Alamiah. (Crouch, 1986, 17-31) (Hanita,
2020, 180). Dalam hal Ketahanan Ideologi, Suryohadiprodjo merujuk Pancasila
sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan negara, harus tahan dari berbagai
guncangan baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Dari luar negeri adalah
masuknya paham-paham sosial dan politik yang tidak sepaham dengan Pancasila
dan dari dalam negeri adalah penolakan Pancasila sebagai satu-satunya asas
(Crouch, 1986, 17). Pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai Asas
Tunggal bagi negara dan semua organisasi sosial-politik yang berbadan hukum
Indonesia. Menurut Suryohadiprodjo, Pancasila merupakan ideologi yang bersifat
terbuka dan dinamis, sehingga tahan terhadap guncangan yang mengancam (Hanita,
2020, 181). Ideologi sebagai falsafah hidup bangsa dan landasan ideal negara,
bernilai penentu di dalam memelihara kelangsungan hidup bangsa dan pencapaian
tujuan nasionalnya. Karena itu mutlak perlu untuk diamankan terhadap ancaman
hambatan dan gangguan yang akan mengubah atau meniadakan ideologi nasional
itu (Lemhannas, 1974, 60).
Universitas Indonesia
39
Universitas Indonesia
40
Universitas Indonesia
41
Universitas Indonesia
42
diletakkan titik berat kepada pendekatan pertama dan pada saat lain dapat titik berat
itu dialihkan kepada pendekatan kedua. Walaupun pendekatan kesejahteraan suatu
saat dijadikan titik berat, namun pendekatan keamanan tidak dapat diabaikan.
Begitu pula sebaliknya. Kesejahteraan dan keamanan dapat dibedakan namun tidak
dapat dipisahkan. Di dalam kenyataan hidup, gambaran-gambaran kesejahteraan
nasional dan keamanan nasional menjadi satu gambaran Ketahanan Nasional
(Lemhannas, 1974, 56-57).
Universitas Indonesia
43
Universitas Indonesia
44
dibutuhkan dalam State Building yaitu terbuka dan terus berkembang. Referensi
dalam membangun bangsa yaitu referensi diri; proses domestik internal memilih
dan melupakan (Hanita, 2020, 185).
Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
45
Universitas Indonesia
46
Universitas Indonesia
47
Universitas Indonesia
BAB 4
KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA DALAM KAITAN
KETAHANAN IDEOLOGI
Bab ini merupakan pemaparan data sekunder baik dari data indeks global
maupun nasional yang mengupas kondisi riil Ketahanan Nasional Indonesia dalam
Ideologi. Untuk itu, penelitian ini akan mengupas lebih dalam Konsep Ketahanan
Nasional dan bagaimana perkembangan kondisi Ketahanan Nasional Indonesia
yang terukur dalam beberapa indeks standar nasional maupun global. Dari sana
penelitian ini akan menghubungkan realita fragmentasi sosial tersebut dengan
kegagalan pembudayaan nilai-nilai pada proses edukasi.
48
Universitas Indonesia
49
Para pendiri bangsa menghaturkan rasa puji syukur kepada Tuhan atas
kemerdekaan yang telah didapat, namun disampaikan disana bahwa kemerdekaan
yang digapai didorong oleh keinginan luhur agar berkehidupan kebangsaan yang
bebas. Kemerdekaan yang dicapai di tahun 1945 artinya tidaklah serta merta
menjamin selanjutnya kehidupan kebangsaan Indonesia akan bebas. Karena bentuk
ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dalam mengisi kemerdekaan akan
beraneka ragam, dan terus menerus harus dihadapi. Namun mimpi indah para
pejuang bangsa telah tegas disampaikan bahwa generasi peneruslah yang harus
mengisi kemerdekaan selanjutnya, menjaga kebebasan kehidupan berbangsa yang
berdaulat, bermoral, berlandaskan Pancasila dan tetap mempertahankan persatuan.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 berbunyi
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Universitas Indonesia
50
Universitas Indonesia
51
Nilai Bhinneka Tunggal Ika adalah terkait dengan sila ketiga, yaitu bagian
dari ranah mental spiritual atau Tata Nilai yang bilamana berhasil dalam
pembangunannya akan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berkepribadian.
Bab 5 penelitian ini hanya akan dibatasi dalam pembahasan seputar Tata Nilai
dalam satu kesatuan dengan penyemaian nilai Bhinneka Tunggal Ika. Namun
bagaimanapun keberhasilan setiap ranah pembangunan tersebut saling terkait.
Pembangunan ranah mental spiritual tidak akan terlaksana jika ranah institusional-
politikal tidak membangun kesadaran yang sama secara baik untuk mendukungnya
terlaksananya pembangunan mental spiritual. Institusi nasional dan kebijakan dan
perundang-undangan yang dihasilkan diperlukan dalam mencapai pembangunan
mental spiritual. Demikian pula bila pembangunan material-teknologikal tidak
dapat mengejar pencapaian kesejahteraan rakyat, maka proses pembangunan
mental-spiritual dalam membentuk bangsa yang kepribadian bangsa juga
terkendala. Apa yang diungkapkan dalam lirik lagu Indonesia Raya “Bangunlah
jiwanya, Bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya” sangat tepat mewakili
kebutuhan akan pembangunan nasional secara holistik. Perlu dibangun kesadaran
bersama, kesadaran nasional untuk meyakini pentingnya kesatuan niat dalam
membangun ketiga aspek ini. Keanekaragaman memperkuat stabilitas nasional
karena kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan dengan beragam
budaya, bahasa daerah, dan etnis akan menjadi sumber guncangan penyebab
konflik di tiap-tiap daerah jika warganya tidak menganut nilai kebinekaan dan
perdamaian. Konflik-konflik di daerah tentu dapat mengancam Ketahanan Nasional
secara keseluruhan.
Untuk menyatukan niat menjadikan Indonesia sebagai Bangsa yang
Berkepribadian, pertama perlu adanya kesadaran bersama terkait masalah-masalah
mental spiritual bangsa ini. Berbicara mental spiritual tidak dapat dilepaskan
dengan pembangunan karakter bangsa. Pendidikan merupakan aspek yang paling
berperan dalam pembentukan karakter manusia. Pembangunan manusia didapat
sebagai hasil pendidikan. Pendidikan nasional menentukan pembangunan nasional
dan ketahanan nasional. Ki Hajar Dewantara, salah satu pendiri bangsa Indonesia,
mengusung gagasan pendidikan sepanjang hayat atau lifetime education (Muchith,
2016). Pendidikan memungkinkan kita dalam pembentukan identitas dan karakter
Universitas Indonesia
52
Universitas Indonesia
53
Universitas Indonesia
54
Tabel 4.1. Indeks Demokrasi Indonesia menurut Indikator 2017-2019 (Sumber BPS)
Universitas Indonesia
55
Universitas Indonesia
56
Indonesia perihal kebebasan beragama, sentimen atas perbedaa agama dan terhadap
etnis Cina menjadi semakin buruk. Putusan atas kasus penistaan agama tersebut
telah memecah Indonesia dengan cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam
beberapa dekade.
Selanjutnya dalam mengetahui kondisi Ketahanan Nasional di Indonesia
kita dapat melihat Indeks Ketahanan Ideologi Pancasila (IKIP). Penyusunan IKIP
menggunakan lima aspek yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan
dan Keadilan Sosial. Sedangkan indikator yang digunakan adalah Politik,
Kenegaraan-kebangsaan, Sosial, Kebudayaan, Keagamaan dan Ekonomi.
(Maharani, 2017). Hasil perhitungan IKIP pada tahun 2018 (Maharani, 2019)
menunjukkan bahwa daerah dengan IKIP terendah adalah Papua Barat dan DKI
Jakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan daerah dengan IKIP terbaik. Sisanya; Maluku, Bali, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Barat dan Sumatera Utara memiliki hasil IKIP sedang.
Dikatakan dalam penelitian tersebut bahwa beberapa faktor pelemahan
ketahanan ideologi Pancasila berawal dari realitas keberagaman, baik secara
kultural, etnis dan sub etnis, bahasa, dan agama/kepercayaan. Munculnya sikap-
sikap intoleransi, primordialisme, stereotip, egositas dan rapuhnya empati terhadap
sesama. Kerentanan ideologi pada warga usia produktif cukup tinggi dikarenakan
upaya mereka di usia tersebut dalam mencari jati diri dan membentuk identitas diri.
Metode mengatasi yang seharusnya diterapkan pada mereka usia pelajar atau
mahasiswa adalah melalui pendidikan kewarganegaraan yang didukung oleh sistem
pembelajaran yang baik (Winarno, 2013).
Social Progress Index (Indeks Kemajuan Sosial) menawarkan kerangka
kerja yang kaya untuk mengukur berbagai dimensi kemajuan sosial, mengukur
keberhasilan, dan mengkatalisasi kesejahteraan manusia yang lebih besar. Penilaian
Indeks Kemajuan Sosial adalah rata-rata di seluruh skor untuk tiga dimensi besar:
Basic Human Needs (Kebutuhan Dasar Manusia), Foundations of Wellbeing
(Landasan Kesejahteraan), dan Opportunity (Peluang). Di dalam dimensi Peluang,
terdapat beberapa indikator yaitu Personal Rights (Hak-hak individu), Personal
Freedom and Choice (Kebebasan dan Pilihan Pribadi), Inclusiveness (Inklusivitas)
Universitas Indonesia
57
Universitas Indonesia
58
peringkat ke-9 dari 19 negara. Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa Indonesia
dan Timor-Leste telah mencatat kemerosotan terbesar di kawasan Asia Pasifik.
Indonesia memburuk karena lonjakan kematian akibat konflik internal yang terjadi,
mencerminkan konsekuensi fatal dari konflik agama di Maluku dan konflik
pribumi-imigran di seluruh negeri, khususnya di Kalimantan Barat. Indonesia juga
mengalami kemerosotan substansial dalam ketidakstabilan politik selama setahun
terakhir (Institute for Economic and Peace, 2020).
Kenyataan ini merupakan evaluasi nyata atas kondisi Ketahanan Ideologi
Indonesia. Indonesia sebagai negara yang memiliki kesadaran bersama atas
keragamannya. Para pendiri bangsa sepakat untuk mendirikan Negara kesatuan
Republik Indonesia di atas dasar negara Pancasila, dengan sesanti Bhinneka
Tunggal Ika. Pada fondasi yang mengandung nilai kebinekaan di dalamnya, pada
kenyataannya memiliki masalah serius dalam hal inklusivitas, toleransi atas kaum
minoritas, toleransi terhadap perbedaan agama dan menghargai kebebasan
beribadah agama yang berbeda.
Universitas Indonesia
BAB 5
PENYEMAIAN NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA DI SEKOLAH-
SEKOLAH DI INDONESIA
59
Universitas Indonesia
60
Universitas Indonesia
61
sejarah lebih diutamakan juga penanaman nilai-nilai dari cerita-cerita sejarah yang
disampaikan. Di mata pelajaran sejarah kelas X materi yang disampaikan adalah
pengertian tentang sejarah, ruang lingkup sejarah, metodologi sejarah, sejarah
Islam, Hindu, Buddha dan lainnya. Di pelajaran sejarah kelas XI terdapat materi
Pergerakan Nasional yang antara lain mencakup kebinekaan di dalam topik
Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam pembahasan Pancasila, guru
menyampaikan bahwa Pancasila terbentuk tidak secara mudah, dan telah melalui
berbagai argumentasi perdebatan dan proses literasi yang panjang, dengan
mempertimbangkan berbagai keragaman Indonesia yang ada, dan sudah final
disepakati sebagai dasar ideologi negara. Bahkan guru sejarah menyampaikan kalau
negara Indonesia dijadikan negara agama tertentu maka niscaya negara akan pecah.
Di mata pelajaran agama juga disentuh mengenai isu-isu anti radikalisme.
Mengenai sistem penilaian berdasarkan perkembangan karakter siswa tidak
terdapat baik di PKn maupun di pelajaran Agama, namun guru sejarah menerapkan
penilaian karakter siswa.
Pelajaran Sejarah dibagi menjadi dua yaitu Sejarah Wajib dan Sejarh
Peminatan. Pelajaran Sejarah Wajib membahas sejarah utuh, misalkan sejarah
nasional. Sedangkan kalau di Pelajaran Sejarah Peminatan terdapat materi seperti
Sejarah Perang Dunia I dan II, Sejarah Kontemporer Dunia, Sejarah Chekoslovakia,
Sejarah Jerman Barat dan Jerman Timur, Sejarah Korea Selatan dan Korea Utara,
dan lainnya, Namun Sejarah Peminatan ini hanya diberikan di kelas IPS tidak di
kelas MIPA. Sedangkan Pelajaran Sejarah Wajib diberikan baik untuk kelas IPS
maupun kelas MIPA dari kelas X, XI dan kelas XII. Jumlah jam pelajaran sejarah
diberikan sekitar 2 jam pelajaran dari keseluruhan 50 jam pelajaran per minggu,
kecuali untuk Pelajaran Sejarah Peminatan diberikan sebanyak 4 jam dalam
seminggu. Namun di era pandemi jumlah jam aktual dikurangi tidak sebagaimana
normal sebelum pandemi. Mata pelajaran PKn juga diberikan 2 jam dalam
seminggu dari keseluhan 50 jam per minggu. Mata pelajaran Agama yang
ditingkatkan di tahun 2020 menjadi 3-4 jam per minggu dari sebelumnya 2 jam per
minggu. Namun tidak diinformasikan bagaimana perkembangan kurikulum di
tahun 2021 karena masih dalam progres. Pelajaran PKn juga diberikan baik bagi
kelas MIPA maupun IPS sejak kelas X, XI, dan XII. Selain mata pelajaran PKn dan
Universitas Indonesia
62
Universitas Indonesia
63
siswa SMA 8 tergolong tajam. Mereka memiliki gerakan ‘PK (Perwakilan Kelas)
goes to Class’. PK atau MPK (Majelis Perwakilan Kelas) berfungsi sebagaimana
MPR di dalam pemerintahan Indonesia. ‘PK goes to Class’ ini diperbolehkan
masuk ke kelas-kelas dan memantau juga mengkritisi semua bidang yang terdapat
di SMA 8, termasuk mengkritisi metode ataupun materi pengajaran guru-guru.
Yang dikritisi tidak hanya materi pelajaran, tapi juga termasuk kritik terhadap
humas, sarana, pimpinan sekolah. Kritik disampaikan secara terbuka dan
didokumentasi secara rapi di dalam semacam dokumen paper. Bilamana terdapat
aduan adanya guru yang cenderung menyampaikan paham yang ekstrim, atau yang
metode ajarnya kurang menarik, maka Kepala Sekolah akan memberikan
pembinaan terhadap guru yang bersangkutan.
Beberapa kasus menarik di SMA 8 antara lain adalah ketika pelajaran agama
Islam, terdapat siswa beragama Kristen yang tetap bertahan untuk duduk di kelas
mendengarkan, namun ditegur oleh guru Agama Islam sehingga sempat terjadi
pertentangan dengan orang tua murid. Kemudian, ketika Kerohanian Kristen
(rohkris) sedang berkumpul mendengarkan penceramah pendeta, lalu Wakil Kepala
Sekolah yang mencakupi Wakil Kesiswaan memasuki ruangan, lalu siswa dan guru
rohkris terlihat kaget, curiga dan merasa terintimidasi. Namun setelah diberi
pengertian bahwa Wakil Kesiswaan perlu untuk menghadiri semua kegiatan siswa
meskipun dari agama yang berbeda, maka situasi kembali mencair. Dalam hal
kegiatan rutin keagamaan, siswa SMA 8 yang beragama Islam setiap pagi
diwajibkan mengaji tadarus (membaca ayat Al Quran) selama 15 menit, sedangkan
yang beragama Katolik dan Kristen Protestan melakukan doa pagi bersama. Namun
karena siswa beragama Hindu dan Buddha sangat sedikit dari sisi jumlah, maka
tidak disediakan kegiatan keagamaan di sekolah, hanya dianjurkan untuk langsung
ke tempat ibadat agama masing-masing di luar sekolah. Kejadian lain yang sempat
memicu konflik seputar agama adalah ketika seorang siswa non-Islam masuk kelas
terlambat lalu dilarang masuk kelas, maka siswa tersebut yang semula tersinggung
dan merasa didiskriminasi karena sebagai non-Muslim. Guru yang sedang mengajar
memang dikenal sebagai guru agama yang cenderung keras dan kaku pemahaman
agamanya. Namun setelah diberikan penjelasan bahwa siswa Muslim yang
terlambatpun juga dilarang masuk, maka permasalahan selesai. Insiden lainnya
Universitas Indonesia
64
adalah ketika seorang siswi mulai memakai cadar ke sekolah. Lalu setelah diajak
berbicara oleh guru Wakil Kesiswaan, maka diketahui bahwa anak tersebut tinggal
bersama bibinya dan mendapatkan pengaruh paham keagamaan fundamentalis
tanpa sepengetahuan orang tua siswi yang bersangkutan. Setelah diajak diskusi lalu
siswi tersebut keesokan harinya mulai kembali melepas cadarnya. Mengenai kasus
diskriminasi ataupun perundungan agama di lingkungan sekolah yang terjadi di
antara siswa, diutarakan oleh guru narasumber bahwa tidak pernah ada temuan
demikian selama ia mengajar. Namun demikian, ditemukan adanya kasus terjadinya
perubahan perangai siswa menjadi berbeda secara individu dikarenakan pengaruh
lingkungan di luar sekolah, atau dikarenakan membaca buku dengan konten ekstrim
yang kurang sesuai dengan paham toleransi dan keragaman.
Siswa di lingkungan SMA 8 dalam keseharian diamati oleh para pengajar
maupun staff sekolah, seperti Wali Kelas, Guru Pembina OSIS, Guru Biasa, Guru
Pembina Ekstrakurikuler, Staff Sekolah, Kepala Sekolah dan Wakil. Sehingga jika
terdapat ketidakwajaran atau perubahan maka selama ini selalu diusahakan untuk
ditangani oleh pihak sekolah. Ketidakwajaran yang dimaksud antara lain ketika
anak merasa dikucilkan, atau anak yang tidak masuk sekolah sampai berbulan-
bulan,
Universitas Indonesia
65
disiplin, dan tunduk patuh kepada Tuhan. Oleh karena itu, baik kata madaniah
maupun madinah merupakan kata yang berasal dari kata daana, yadiinu, diinan
yang artinya patuh, tunduk, dan patuh serta pasrah. Madaniah dan madina juga
berasal dari kata dasar yamdunu madana, madyinah yang artinya membangun, yaitu
membangun peradaban.
Meskipun Sekolah Madania menggunakan kata dari Arab yang bernuansa
Islami dan juga menekankan spiritualitas, namun visi Sekolah Madania adalah
sebagai “Sekolah Indonesia Sejati untuk Para Pemimpin.” Dengan visi tersebut,
Sekolah Madania dirancang sebagai “sekolah pribumi Indonesia untuk
mempersiapkan generasi pemimpin masa depan”. Untuk mencapai visi tersebut,
Madania kemudian membentuk misi mendidik menuju; menghidupkan kembali
kesadaran akan Tuhan, mewujudkan standar kelas dunia, hidup dengan karakter
luhur, dan menghargai nilai-nilai Indonesia. Artinya Madania mendidik murid-
muridnya untuk membangkitkan kesadaran akan Tuhan, menyelenggarakan
pendidikan internasional, hidup dengan penuh harkat dan martabat, serta
menghargai nilai-nilai dan tradisi Indonesia.
Untuk menjaga agar komunitas Madania tetap berada di jalur untuk
mencapai visi Madania yang dijelaskan di atas, nilai-nilai Madania dikumpulkan:
Kebenaran, inklusifitas, integritas, dan kecerdasan. Dikarenakan visi dan misi serta
sejarah Sekolah Madania berdiri berlandaskan kepedulian akan inklusifitas,
menghargai nilai dan tradisi Indonesia, maka Sekolah Madania dapat menjadi
contoh baik dalam penyemaian Bhinneka Tunggal Ika untuk keperluan penelitian
ini.
Harisko selaku Direktur Sekolah Madania dalam penelitian ini merupakan
narasumber mewakili Madania. Harisko mengungkapkan penyemaian nilai
Bhinneka Tungga Ika di Madania diawali dengan sebutan Madania sebagai
miniatur Bhinneka Tunggal Ika di dalam lirik Hymne Madania.
“Beriman, berilmu dan beramal. Berakhlak mulia dan hormat sesama.
Menegakkan keadilan dan perdamaian. Membangun bangsa berperadaban.
Madania menjunjung tinggi harkat untuk martabat manusia. Madania..
Madania.. Kau hadir untuk generasi terpelajar. Hidup penuh disiplin dan
ikhlas. Menyiapkan jiwa generasi mulia. Berkiprah bagi bangsa dan negara
majulah Indonesia. Madania.. Madania.. miniatur Bhinneka Tunggal Ika.
Madania.. Madania.. Dharma bhakti bagi bangsa. Madania.. Madania..
Rumah kita bersama.”
Universitas Indonesia
66
Ada dua dimensi dari kalimat ‘Madania miniatur Bhinneka Tunggal Ika’. Pertama,
adanya keinginan agar apa yang diterima dan disahkan di Indonesia diakomodasi
ke dalam sistem pendidikan di Madania. Kedua, pendiri atau penggagas Madania
salah satunya adalah Almarhum Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang sangat kental
ke-Indonesia-annya. Cak Nur selalu menghubungkan pendidikan dan agama ke
Wawasan Keindonesiaan. Maka buku Indonesia Kita karya Cak Nur dijadikan
pedoman untuk dipraktikkan ke dalam sistem pendidikan di Sekolah Madania.
Maka, Sekolah Madania berniat untuk menanamkan karakter dan nilai
Keindonesiaan ke peserta didiknya. Sehingga apapun tantangan yang akan dihadapi
siswa ketika dewasa, mereka telah memiliki modal kepribadian Indonesia yang
kuat.
Penerimaan siswa Madania melalui berbagai tahapan seperti tes psikologi,
tes wawancara, baik wawancara calon siswa maupun wawancara orang tua calon
siswa, disamping tes-tes akademik standar. Tes akademik yang dimaksud yaitu
misalkan calon siswa merupakan lulusan kelas VI untuk mendaftar kelas VII atau
lulusan kelas IX untuk mendaftar kelas X. Tes akademik juga melalui seleksi nilai
rapor sesuai standar penilaian sistem pendidikan di Indonesia. Siswa yang diterima
di Madania mayoritas berasal dari Jabodetabek dikarenakan lokasi Madania terletak
di Parung, Bogor. Madania juga memiliki Madania Students Residence atau
beberapa rumah dekat sekolah yang disediakan untuk siswa dari luar kota ataupun
yang orangtuanya memiliki menempatkan siswanya di residence. Namun
dikarenakan situasi pandemi, Madania Students Residence ditutup sementara.
Nilai kebinekaan di Madania antara lain dapat tercermin dari keragaman
suku, etnis dan agama. Peserta didik di Madania berasal dari beragam suku dari
Aceh hingga Papua, beragam etnis dari India, Arab, Tionghoa selain Indonesia.
Madania diibaratkan seperti film Upin Ipin dalam karakteristik keragaman
siswanya. Madania juga menerima siswa dari berbagai agama yang disahkan di
Indonesia. Educating towards reviving consciousness of God (mendidik menuju
kebangkitan kesadaran akan Tuhan), karena mengacu kepada sila pertama
Pancasila. Dengan demikian semua kegiatan di Madania diselaraskan kepada nilai
Ketuhanan.
Universitas Indonesia
67
Universitas Indonesia
68
Universitas Indonesia
69
Universitas Indonesia
70
Universitas Indonesia
71
Universitas Indonesia
72
Pendidikan Moral Pancasila. Namun kalau dikemas dengan cara yang lebih modern
dengan metode yang lebih menarik dan interaktif, Madania merasakan lebih
mengena dan efektif ke para siswa dan bersifat lebih mengutamakan praktik. Materi
yang disampaikan dalam ketiga mata pelajaran resmi tersebut juga disampaikan
dalam semua mata pelajaran lainnya, tidak terbatas pada mata pelajaran tersebut.
Madania meyakini bahwa pendidikan nilai kebinekaan ini tidak cukup
disampaikan dalam pendekatan akademik saja. Siswa yang diminta menghafal apa
artinya toleransi, apa yang dimaksud sikap saling menghargai belum tentu akan
mempraktikkannya dalam keseharian. Maka Madania mengutamakan dalam
mempersiapkan wadahnya (siswanya), memberikan contoh dan teladan,
menyediakan ruang perjumpaan agar siswa bergaul dengan orang-orang yang
berbeda. Dengan cara demikian, menurut Harisko, maka guru dapat melihat setiap
anak resistensinya dimana. Bila di sekolah lain guru yang relevan dalam kaitan ini
adalah guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan), maka di Madania disebut dengan
Students Affair (Urusan Kemahasiswaan). Selain Students Affair, Madania
menyediakan para psikolog untuk menangani masalah-masalah harian para siswa.
Konsultasi atau diskusi siswa dengan guru-guru tersebut merupakan hal yang biasa
terjadi sehari-hari. Proses pembinaan tidak terkesan sebagai teguran atau hukuman,
tapi menjadi dialog biasa, bahkan dengan kepala sekolah sekalipun.
Sedangkan dalam mata pelajaran lain misalkan yang bersifat eksakta,
Madania tetap menyampaikan penanaman nilai-nilai kehidupan. Pada jenjang SMA
siswa sudah dipisah sejak kelas X menjadi kelas IPA dan kelas IPS. Kelas IPA tetap
mendapatkan Mata Pelajaran Dasar Umum seperti Geografi, Ekonomi dan lainnya.
Demikian pula kelas IPS tetap mengajarkan Matematika tapi lebih mengupas dasar-
dasarnya. Penyemaian nilai kebinekaan tidak terbatas pada kelas IPS saja.
Misalkan perbedaan kualitas siswa dalam kemampuan menerima atau penyerapan
materi pelajaran. Adanya multiple intelligence, perbedaan cara anak menyerap
pelajaran juga diperhatikan. Misalkan ada siswa yang lebih mudah menerima
pelajaran eksakta melalui contoh terkait musik, melalui contoh terkait olah raga,
dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan ini mengharuskan guru lebih kreatif dalam
pendekatan penyampaian. Hal ini juga merupakan contoh baik siswa dalam
menerima keragaman berbagai aspek dalam proses pembelajaran. Sekolah Madania
Universitas Indonesia
73
percaya bahwa setiap anak pasti memiliki kelebihan yang unik. Pemahaman ini juga
disampaikan ke seluruh siswa, sehingga tercipta lingkungan yang saling
menghargai keunikan masing-masing dan meyakini bahwa setiap orang memiliki
kelebihan. Keberagaman ini tidak hanya diterima, namun juga dihargai bahkan
dirayakan di dalam lingkungan Sekolah Madania. Di dalam sistem Madania
Learners Profile terdapat penilaian rutin bulanan yang mengangkat kemampuan
atau karakter dominan di setiap siswa. Penilaian ini dilakukan oleh semua guru
Madania. Penilaian ini tentunya didapat dari hasil pengamatan yang tidak hanya di
dalam kelas, namun juga saat berinteraksi di luar kelas maupun ketika
mempersiapkan kegiatan ekstrakurikuler bersama. Hasil yang beragam ini lalu
dirayakan bersama, saling menghargai perbedaan dari karakter atau kemampuan
dominan tiap siswa. Dengan tumbuhnya saling menghargai perbedaan, maka
dampaknya akan mempengaruhi perspektif seseorang terhadap orang lain menjadi
lebih positif, dan mengurangi sikap kompetitif yang tidak perlu. Kebiasaan ini juga
mengubah pola pikir bahwa prestasi harus selalu dipandang dari aspek yang
seragam.
Jika di sekolah umumnya, penjurusan kelas di SMA hanya dibagi tiga, kelas
IPA, kelas IPS dan kelas Bahasa, maka di Madania tidak demikian. Penjurusan
formilnya memang hanya tiga, tapi ada yang disebut penjurusan pola pikir.
Misalkan adanya Departemen Art and Cultural Education (ACE) atau Pendidikan
Seni dan Budaya. Setiap anak di Madania harus mendapatkan ACE ini selain
pembagian ketiga pilihan jurusan tadi. Di dalam ACE diajarkan Seni Musik, Seni
Rupa dan Seni Teater. Siswa diharuskan memilih satu dari tiga pelajaran seni
tersebut. Ternyata mengharuskan salah satu seni bagi semua ini memberikan
dampak kelembutan sikap, siswa menjadi lebih lentur dan berjiwa seni dan
menghargai budaya. Hal ini menjauhkan ekstremisme dalam bersikap. Selain itu
Sekolah Madania juga memiliki program LOTE (Language Other Than English)
atau Bahasa Selain Inggris. Siswa Madania diwajibkan memilih salah satu dari
empat pilihan bahasa selain Bahasa Inggris, yaitu Bahasa Mandarin, Bahasa Arab,
Bahasa Jepang dan Bahasa Jerman. Tentunya pembelajaran bahasa disini tidak
hanya terbatas bahasa namun juga mempelajari kebudayaannya. Hal ini
Universitas Indonesia
74
Universitas Indonesia
75
Universitas Indonesia
76
Universitas Indonesia
77
Universitas Indonesia
78
gurunya pun ada yang beragama Islam bahkan seorang guru hajjah. Terdapat pula
guru beragama Islam yang bisa menjadi Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.
Sebagai tambahan program menciptakan ruang perjumpaan, sejak lima
tahun terakhir siswa Kanisius dari agama apapun diajak nyantri bersama ke pondok
pesantren seputaran Jakarta dan Jawa Barat. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak
non-Islam tidak memiliki kecurigaan, ketakutan atau prejudice dengan masyarakat
Islam di luar teman-temannya di dalam sekolah. Terbukti setelah mengikuti
program nyantri ini, siswa beragama non-Islam menjadi lebih terbuka dan
menikmati kesempatan bergaul bersama masyarakat Islam di luar lingkungannya.
Sekolah Kanisius juga menjalin kerjasama dengan kelompok NU (Nahdlatul
Ulama). Selain itu, diadakan pula program kunjungan ke vihara atau klenteng
Buddha, walau tidak sebanyak program ke pondok pesantren.
Universitas Indonesia
79
Universitas Indonesia
80
warna beragam, namun juga beragam bentuk. Dalam hal ini, maka tidak ada
dianggap sebagai siswa yang aneh, atau bahkan semua akan menjadi aneh. Aneh
disini dapat dikatakan sebagai berbeda dengan yang lainnya. Pendidikan
multikultural di SMK ini bermula dari siapa saja pesertanya. Misi selain membuat
sistem beragam adalah misi kebangsaan. Kekayaan budaya Indonesia yang terdiri
dari 1.340 suku selama ini kurang ditampilkan. Terlepas dari telah adanya sesanti
Bhinneka Tunggal Ika, namun mayoritas dari warga Indonesia belum saling
mengenal suku-suku yang berbeda tersebut. Jika selama ini kita belum mengenal
orang atau suku tertentu, lantas bagaimana caranya kita berempati kepada mereka,
kenal pun tidak. Keunikan dari setiap suku masih banyak yang belum dapat
dibayangkan oleh warga di perkotaan, misalnya. Suku Bajo di Sulawesi yang
memilih hidup di laut, apakah sesama warga Indonesia ada yang sudah dapat
menyelami keunikan tersebut. Atau di saat ada suku yang tidak pernah mengenakan
pakaian dalam kesehariannya, tentu akan menjadi sesuatu yang aneh bagi yang
terbiasa berpakaian. Namun apakah suku tersebut bersalah, lalu bagaimana kita
dapat menghargai atau bahkan berempati terhadap mereka bila kenalpun tidak.
Berdasarkan kesadaran tersebut maka SMK BKP sengaja memulai kelas diawali
dengan keberagaman siswa. Tentu dengan adanya keragaman maka konflik pun
Universitas Indonesia
81
dapat mudah terjadi, namun SMK BKP memilih untuk membiarkan adanya
keragaman dengan potensi konflik, selama mereka akan belajar bersama untuk
mengelola konflik atau perbedaan dengan baik. Pada akhirnya orang akan tersadar
bahwa benturan-benturan akibat keragaman memang ada dan nyata, namun
disitulah mereka belajar untuk tidak menjadikan benturan tersebut menjadi hal-hal
seperti diskriminasi atau perundungan dan sejenisnya yang melanggar hukum.
Ai Nurhidayat meyakini bahwa setengah dari nilai-nilai toleransi dan
perdamaian akan beres, tidak perlu lagi terlalu rumit diajarkan, bilamana tersedia
ruang perjumpaan, bertemu dan hidup bersama. Bertemu secara langsung dan hidup
bersama akan jauh lebih efektif dibandingkan ruang perjumpaan yang kerap
ditemui seperti dialog bersama lintas agama, atau lintas suku namun dilakukan
dalam jangka waktu yang sangat singkat. Dialog merupakan hal yang baik dalam
upaya dalam memutus konflik, namun waktu yang terlalu singkat dan format yang
tidak sesuai maka tetap saja upaya dialog ini menjadi tidak efektif. Dialog yang
kerap terjadi biasanya hanya seminggu, atau 2-3 hari, bahkan banyak yang hanya
berupa pertemuan 2-3 jam. Di dalam ilmu komunikasi terdapat teori kupas kulit
bawang. Untuk mencapai lapisan yang paling dalam tentu perlu masa untuk
mengupas perlahan-lahan lapisan dari paling luar. Demikian yang diyakini oleh Ai
Nurhidayat, dengan memberi contoh bagaimana mungkin seseorang
mengkomentari inti keyakinan agama orang lain yang berbeda, sementara ia belum
pernah secara sungguh-sungguh mengupasnya dari lapisan paling luar.
Menurutnya, tidak dapat seseorang menerapkan sikap-sikap yang mengutamakan
toleransi dan menghargai keragaman sementara dirinya tumbuh dan berkembang di
dalam lingkungan yang senantiasa homogen. Dikarenakan latar belakang pemikiran
ini, maka SMK BKP menerapkan format hidup bersama seluruh siswa, yang
memang sudah dikondisikan sangat beragam dari berbagai daerah, dan selama tiga
tahun hingga lulus.
SMK BKP dengan terencana menyediakan ekosistem belajar yang beragam.
Guru-guru yang mengajar sudah sadar sedari awal bahwa siswa yang masuk akan
beragam suku, beragam agama, bahkan ada yang masih belum terlalu fasih
berbahasa Indonesia, dan pastinya beragam kebiasaan yang dibawa dari adat
istiadat di daerah asal. Maka dalam menjawab pertanyaan jumlah jam mata
Universitas Indonesia
82
Universitas Indonesia
83
waktu sekitar 2-3 jam untuk berbagi baik keahliannya maupun cerita pengalaman
tamu tersebut. Dengan demikian kesempatan ini dapat menambah perspektif bagi
siswa, terutama karena kalangan yang hadir bisa jadi adalah dari kalangan
profesional. Kalangan profesi yang dimaksud misalkan anggota Dewan di
pemerintah, ataupun dari kalangan profesi lainnya. Dengan demikian diharapkan
sekolah semaksimal mungkin dapat menjadi wadah yang memfasilitasi tumbuh
kembangnya keragaman dengan cara membuka interaksi dengan publik di luar
lingkungan sekolah.
SMK BKP juga memiliki program Kampung Nusantara. Kampung
Nusantara adalah program kerjasama dengan warga sekitar sekolah yang merelakan
rumahnya dijadikan tempat tinggal untuk tamu-tamu dari berbagai daerah yang
berminat mengetahui, mempelajari atau sekedar merasakan hidup bersama warga
lokal kampung Pangandaran. Tamu yang menginap juga berkesempatan bertemu
dengan siswa SMK BKP dari beragam daerah di Indonesia, berinteraksi bersama
bahkan kerap mengadakan acara-acara santai berkesenian. Tamu yang hadir sangat
beragam, mulai dari mahasiswa, pelancong, peneliti dan lain sebagainya. Ruang-
ruang perjumpaan yang sudah didapat dari keragaman siswa, makin diperkaya
dengan kedatangan tamu-tamu di Kampung Nusantara ini. Tamu-tamu ini biasanya
bisa menetap hingga minimal seminggu lamanya. Kehadiran Kampung Nusantara
diharapkan dapat merupakan fasilitas sistem sekolah yang mendukung penyemaian
nilai keragaman dan perdamaian dalam bentuk praktik langsung.
SMK BKP yang memberikan 100% beasiswa bagi seluruh siswa harus
berpikir keras untuk mencari pendanaan secara mandiri. Konsep gratis sekolah
termasuk gratis transportasi dari daerah asal menuju daerah Parigi Pangandaran ini
sangat perlu agar tidak menjadi kendala siswa yang ingin bersekolah di SMK BKP.
Dengan demikian proses mencari siswa baru tidak memberikan kendala pendanaan
bagi orang tua siswa. Gratis yang diberikan SMK BPK tidak hanya gratis biaya
pendidikan namun juga gratis biaya hidup siswa selama belajar di SMK BKP.
Kebutuhan tempat tinggal hingga makan semua dibiayai dari pihak sekolah. Ai
Nurhidayat berpendapat bila suatu sekolah bagus sistemnya tapi harus membayar
mahal maka secara tidak langsung sedang terjadi diskriminasi terhadap siswa yang
tidak memiliki dana. Sebagaimana konsep Ki Hadjar Dewantara yaitu materialisme
Universitas Indonesia
84
dan intelektualisme, kalau kedua itu sudah mendasari suatu lembaga pendidikan
maka kualitas yang diharapkan sulit tercapai. Konsep materialisme jelas, yaitu
menerapkan sekolah bagus namun berbiaya tinggi. Sedangkan konsep
intelektualisme yang dimaksud adalah bilamana suatu lembaga pendidikan
berkeyakinan bila pengetahuan atau ilmu hanya bisa didapat dari lingkungan
akademisi. Contohnya adalah bila pernghargaan terhadap seseorang hanya
dikarenakan gelar akademisnya. Contoh lainnya adalah jika ada sekolah bagus tapi
bahkan tetangga di sebelahnya tidak dapat bersekolah disana karena tidak ada
cukup biaya. Sedangkan Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga
atas pendidikan. Artinya seharusnya setiap warga berhak untuk memilih
pendidikan, yang juga tercantum di Amandemen keempat. Setiap warga berhak
atas manfaat ilmu pengetahuan yaitu didapat di sekolah. Ai Nurhidayat memberikan
solusi bahwa masalah ini dapat diatasi bersama secara gotong royong, orang tua
siswa yang mampu bisa berdonasi saja ke sekolah tidak diwajibkan. Namun
semakin besar dana pengelolaan sekolah, diharapkan ekosistemnya akan lebih baik,
dan ekosistem yang baik ini akan menjadi keuntungan bagi anak didik tersebut.
Anak didik akan terfasilitasi termasuk dalam pendidikan nilai-nilai Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika. Sembari berharap kondisi ideal ini tercapai, SMK BKP
mengusahakan untuk memberikan beasiswa baik dari biaya sekolah, biaya hidup
termasuk akomodasinya.
Setelah semua fasilitas dan ekosistem ideal terpenuhi, selanjutnya yang
perlu diperhatikan adalah aktifitas. Aktifitas inilah yang menjadi kunci, karena
disana terdapat interaksi. Aktifitas yang dimaksud ada yang kurikuler, ekstra-
kurikuler, namun ada juga acara-acara tahunan seperti festival dan lainnya, baik
yang besar maupun yang kecil-kecil. Aktifitas yang paling mewakili keragaman
adalah acara Malam Minggu Seru, yaitu ajang interaksi siswa dengan warga.
Selama siswa tinggal di asrama, di Kampung Nusantara terdapat aula semacam
saung panggung, para warga hadir juga, kemudian siswa-siswa setiap malam
minggu membuat acara misalnya pidato menggunakan bahasa daerah, stand-up
comedy, teater, menari, musik, nonton film bersama dan lainnya. Sesekali kegiatan
ditiadakan jika bertabrakan dengan kegiatan lain seperti Pramuka, namun secara
rutin tetap dilakukan dan ini menjadi kegiatan yang khas.
Universitas Indonesia
85
Universitas Indonesia
86
Universitas Indonesia
87
Universitas Indonesia
88
pada kenyataannya kondisi tidak selalu ideal. Maka peran pendidikan di sekolah
adalah harapan terbesar.
Mengapa Ai Nurhidayat memilih menerapkan konsep-konsepnya di SMK,
karena bilamana diterapkan di SD misalnya, mungkin saja bisa namun tidak akan
seoptimal di tingkat SMK, dalam arti dari sisi usia dan keleluasaan. Lalu bagaimana
jika sistem ini diterapkan di SMP atau SMA. Seharusnya bisa saja asalkan perlu
ada intervensi dari pemerintah. Misalkan perlu adanya aturan suatu sekolah harus
menerima siswa misalkan 30% dari luar daerah sekolah berada. Konsekuensinya
adalah harus disediakan asrama. Sedangkan bila untuk tingkat SD yang masih
sangat muda dari sisi usia, dapat diatasi dengan misal membuat program dalam satu
semester adakan kunjungan ke rumah-rumah ibadah beberapa kali, atau ke
lingkungan dengan suku yang sangat berbeda. Maksudnya intervensi disini adalah
mengutamakan terfasilitasinya ruang-ruang perjumpaan.
Dalam melakukan evaluasi atas pengajaran-pengajaran yang diberikan
kepada siswa selama masa studi, SMK BKP menggunakan dua cara. Pertama,
sebagaimana mengikuti aturan pemerintah, guru-guru memberikan penilaian
evaluasi sebagai kewajiban lembaga pendidikan yang mengikuti kurikulum negara.
Mekanisme yang kedua yaitu, SMK BKP memperlakukan siswa sebagai manusia
yang proses panjangnya belum selesai setelah lulus dari SMK. Apakah seorang
siswa menjadi manusia yang baik, benar dan indah belum dapat diketahui atau
dievaluasi karena perjalanannya masih panjang ke depan. Intinya SMK BKP telah
menitipkan dan menanamkan nilai-nilai toleransi, perdamaian, kebangsaan dan
kemanusiaan, namun Sekolah tidak mau memberikan status penilaian bahwa
lulusannya dipastikan sudah purna dalam nilai-nilai tersebut. Karena menurut SMK
BKP bila sekolah memberikan status seorang siswa pada saat kelulusan, hal ini
adalah menafikkan suatu prinsip, yaitu bahwa seorang siswa perjalanannya belum
selesai karena masih akan dilanjutkan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri.
Berbagai benturan dalam pengalaman selanjutnya setelah lulus akan membuktikan
bagaimana nilai-nilai yang sudah ditanamkan selama di SMK BKP diamalkan dan
tersemai dengan baik atau tidak. SMK BKP tidak memperdulikan penilaian atas
pemahaman nilai selama masa pembelajaran. Intinya siswa telah memiliki
pengalaman hidup dan belajar bersama dengan siswa beragam daerah secara
Universitas Indonesia
89
nasional selama tiga tahun, dan diharapkan lebih siap berperan sebagai generasi
pendamai selepasnya, dimanapun ia berada. Beberapa hal yang tercatat sebagai
dampak dari pembelajaran multikulturalisme adalah kemampuan para siswa untuk
mengatasi benturan-benturan atas perbedaan, kesenjangan, dan terbukti mampu
beradaptasi dan mengatasinya secara damai.
Diinformasikan pula bahwa tingkat kecerdasan kognitif siswa saat baru
diterima di SMK BKP sendiri rentangnya sangat besar. Siswa yang datang dari
pelosok di luar pulau Jawa dapat memiliki pemahaman kognitif seperti mata
pelajaran matematika atau sejenisnya yang setara dengan kelas 5 SD siswa yang
berasal dari SMP di Pulau Jawa. Hal ini dapat dimaklumi karena secara geografis
letak sekolah SD dan SMP mereka di daerah asal bisa sangat terpelosok.
Ketidakberuntungan faktor geografis ini memberikan dampak keterbatasan
kehadiran dan bahkan kemampuan guru yang mengajar. Dalam sehari masa
sekolah, bisa terjadi hanya terdapat 1-2 orang guru saja yang hadir, dan itupun
belum tentu memiliki kemampuan mengajar yang setara dengan yang di pulau
Jawa. Salah satu contohnya adalah siswa dari Papua yang tidak mampu menjawab
soal Bahasa Inggris kelas 2 SD. Ketika ditanya mengapa demikian, siswa Papua
mengakui bahwa guru Bahasa Inggris baru datang ke daerahnya sesaat setelah ia
lulus SMP. Jadi, di daerah pelosok luar Jawa, termasuk di Papua, problem
mendapatkan akses guru yang berkualitas masih merupakan masalah besar. Namun
tidak demikian untuk siswa yang datang dari kota-kota besar di luar Jawa, mereka
tetap bersaing dari sisi daya kognitifnya.
Universitas Indonesia
90
Universitas Indonesia
91
Universitas Indonesia
92
Universitas Indonesia
93
sisanya 4,41% adalah guru informal atau para pendidik yang bekerja untuk
kelompok-kelompok termarjinalkan. Sementara ini cakupan wilayah peserta baru
di sekitar DKI Jakarta (64,71%), Jawa Barat (27,94%) dan Banten (7,35%). Profil
jenjang akademis peserta guru adalah 44,12% Sarjana Strata 2, 50% Sarjana Strata
1, 2,94% DIII/DIV dan 2,94% lulusan SMA.
Universitas Indonesia
94
guru. Karena guru yang mendaftar dibebaskan atas inisiatif sendiri, dengan
demikian mayoritas dari peserta adalah guru-guru yang memiliki kepedulian
terhadap keragaman.
Beberapa Guru-guru tersebut merasakan adanya masalah pemahaman dan
penyemaian kebinekaan di lingkungan sekolahnya. Namun terdapat juga kasus
adanya dua orang guru yang memilih mundur di hari pertama program pendidikan,
yang kemungkinan dikarenakan sudah mendengar jabaran bahwa di dalam program
tersebut akan ada kunjungan ke rumah ibadah-rumah ibadah yang berbeda-beda.
Guru-guru yang mundur merasakan bahwa program tersebut bertentangan dengan
ideologi yang mereka anut.
Singkat kata, peserta yang akhirnya mengikuti program selama ini dapat
dikatakan adalah guru-guru yang memang memiliki kepedulian akan kebinekaan
dan perdamaian dan berkeinginan ingin memperbaikinya di lingkungan sekolah
tempat mereka mengajar. Peserta guru yang ikut tidak hanya guru sosial seperti
guru agama, sejarah, PPKN, namun ada juga guru-guru mata pelajaran eksakta
seperti guru matematika, fisika. Pengajaran yang menekankan proses saling
bertukar pengalaman di antara peserta dan pemberi materi menjadikan
pembelajaran juga bagi SGK. Dengan demikian SGK juga mempelajari berbagai
tantangan dan hambatan yang dihadapi para guru baik di sekolah formal maupun di
sekolah komunitas.
Format program SGK adalah dilakukan dalam durasi enam bulan yang
dilaksanakan setiap hari Sabtu dua minggu sekali. Durasi per satu sesi dilakukan
dari jam sembilan pagi hingga jam tidak sore, namun disesuaikan hanya cukup
sampai jam satu siang. Diskusi dan berbagi inspirasi di saat sesi telah selesai
dirasakan lebih memberikan manfaat. Jumlah keseluruhan dalam satu program
pertemuan sekitar sepuluh kali pertemuan. Sebelum pandemi selalu dilaksanakan
tatap muka, namun sejak tahun 2020 terpaksa dilakukan secara daring.
Kurikulum yang diberikan dalam SGK Dasar adalah; (1) Filosofi
Pendidikan dan Kemerdekaan Berpikir; (2) Penyelenggaraan Pendidikan: Dari
Prinsip ke Praktik; (3) Jalan Sejarah bangsaku; (4) Inspirasi Kebangsaan dan
Kemanusiaan dari Ruang Kelas; (5) Kekuatan dan Tantangan Keragaman; (6) Studi
Kasus: Meretas Prasangka, Merajut Harmoni Perjumpaan; (7) Praktik Perjumpaan;
Universitas Indonesia
95
Universitas Indonesia
96
program SGK ini menurut survei dari para peserta, 63,84% mengatakan
pengetahuan dan pengalaman di SGK dapat direplikasi di kelas; 86,76% responden
mengatakan pengetahuan dan pengalaman di SGK dapat dimodifikasi di kelas;
85,29% responden mengatakan pengetahuan dan pengalaman di SGK dapat
menjadi inspirasi di kelas dan 14,71% responden mengatakan pengetahuan dan
pengalaman di SGK dapat digunakan di kelas dalam bentuk lainnya.
Universitas Indonesia
97
Universitas Indonesia
98
kepercayaan. Misalkan siswa sekolah negeri setiap hari saat baru masuk kerja
diharuskan membaca Al Quran atau Shalat Dhuha.
Selain contoh kasus di atas sebagaimana pembatasan penelitian ini masih
terdapat sekolah lain yang memiliki kepedulian akan penyemaian nilai kebinekaan,
kebangsaan dan kemanusiaan di lingkungan pendidikan. Contohnya ada Sekolah
Damai dari Wahid Foundation. Yang dilakukan oleh Sekolah Damai adalah
mendampingi institusi sekolah-sekolah misalkan dalam membantu bagaimana
membuat kebijakannya, bagaimana manajemen sekolahnya, sehingga diharapkan
bagaimana sekolahnya akan menjadi sekolah yang menerapkan nilai perdamaian.
Sedangkan SGK dari YCG ini fokus ke pendidikan untuk para guru dan menemani
guru-guru. Bagaimana guru mengubah persepsi terhadap orang yang berbeda,
mengubah paradigmanya, hingga bagaimana mengajarkan pedagoginya seperti apa,
termasuk bagaimana mempengaruhi kebijakan sekolah.
Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
99
Universitas Indonesia
100
Universitas Indonesia
101
Universitas Indonesia
102
6.1.2. Yudi Latif, PhD, Mantan Kepala BPIP, Pakar Aliansi Kebangsaan
Senada dengan Sahiron, Yudi Latif juga sependapat bahwa pada faktanya
Indonesia adalah majemuk, beragam. Namun demikian Indonesia tetap harus
bersatu dan tetap menjaga kemajemukan tersebut jika tidak ingin saling
menghabisi. Maka dari itu, Indonesia memerlukan alat pemersatu yaitu Pancasila
dan ada Bhinneka Tunggal Ika di dalamnya. Bhinneka Tunggal Ika merupakan pola
dasar keindonesiaan, terdapat di dalam sesanti Pancasila. Pola dasar ini telah
tumbuh dalam akar budaya serta kesejarahan dalam masa yang sangat panjang.
Indonesia telah mengalami pergaulan sesama bangsa Indonesia, lintas
golongan, lintas ideologi, lintas wilayah, dan sebagai respon bersama terhadap
pengaruh-pengaruh luar maka Indonesia kini adalah hasil silang budaya. Namun
demikian, ibarat pohon, persilangan budaya bangsa Indonesia berasal dari tanah dan
Universitas Indonesia
103
akar sejarahnya. Namun pola dasar kolektif ini tidak layaknya kode genetik biologis
yang diturunkan secara otomatis turun-temurun. Terlebih lagi, ketika Pancasila
dirumuskan, belum semua nilai-nilai Pancasila di titik kesiapan yang matang.
Artinya, banyak impian di dalam Pancasila, seperti impian keadilan, impian
demokrasi dan lainnya yang belum siap petik, tapi baru mulai akan diperjuangkan,
melalui proses-proses yang harus dilalui. Ibaratkan kode genetik biologis yang
secara otomatis diturunkan saja, daya tahan atau survival dari suatu unsur gen tidak
selalu dapat dipertahankan. Terlebih lagi pada pola dasar Indonesia, karena adanya
pengaruh lingkungan dan perkembangan jaman, maka ditemukanlah berbagai
kelemahan Pancasila.
Kelemahan pertama adalah keteledoran dan ketidakpahaman akan esensi
nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kelemahan kedua adalah bangsa
Indonesia merupakan produk masa kolonial yang telah mengalami perjalanan pahit
panjang yang mengakibatkan pelemahan mental masyarakat. Kelemahan ketiga
adalah adanya perubahan jaman sehingga perang sekarang tidak lagi perang
konvensional seperti jaman dahulu, melainkan perang proxy atau proxy war. Proxy
war melibatkan pihak yang tidak hanya aktor negara tapi juga aktor non-negara.
Perang proxy yang diluncurkan terhadap Indonesia dikarenakan adanya keinginan
pihak asing menguasai sumber daya alam Indonesia sehingga menggunakan cara-
cara yang memecah belah. Kelemahan kelima, yaitu dampaknya adalah tumbuhnya
ideologi lain yang dipaksakan untuk berkembang di Indonesia. Hal ini menjadi
perhatian dalam menjaga Ketahanan Ideologi bangsa. Menjaga ketahanan ideologi
tidak dapat dengan cara-cara lama yaitu Pancasila hanya dijadikan sebagai hafalan
butir-butir di dunia pendidikan, namun perlu adanya upaya penyemaian nilai
Pancasila secara sungguh-sungguh dan terstruktur.
Yudi Latif menambahkan perihal Tiga Ranah dalam Pemikiran Aristoleles.
Kalau diselusuri lebih jauh ke belakang, akar filosofis dari tiga ranah peradaban itu
dapat ditemukan basis argumennya, antara lain pada pemikiran Aristoteles.
Baginya, negara adalah wahana civilisasi (pemberadaban). Manusia adalah zoon
politicon; tanpa hidup di tengah masyarakat (atau negara), manusia hanya ibarat
binatang jalang. Berbeda dengan hewan liar, untuk mampu hidup bersama dalam
masyarakat, manusia perlu dibekali "moral sense" – kemampuan membedakan
Universitas Indonesia
104
yang baik dan yang buruk, yang adil dan zalim. Negara semestinya hadir dengan
tujuan etis-teleologis untuk memanusiakan manusia dengan menjadikannya sebagai
wahana pembentukan manusia beradab yang berkeadilan. Oleh karena itu, tujuan
negara bukan hanya untuk melindungi warga dari marabahaya (dengan hukum dan
ketertiban), atau sekadar mencapai kemakmuran material, tetapi yang lebih jauh
adalah mencapai keluhuran spiritualitas dan mentalitas (aspek filosofikal).
Membangun keluhuran spiritualitas dan mentalitas bangsa di dalam aspek
filosofikal membutuhkan Ketahanan Ideologi dan Ketahanan Budaya. Visi bangsa
Indonesia, baik Visi Persatuan, Visi Kepribadian dan Visi Perdamaian Dunia
merupakan acuan yang harus senantiasa dijadikan pegangan Indonesia dalam
membangun dan berkembang.
Dalam menjaga ikatan kebangsaan diperlukan nilai moralitas kewargaan
yang dapat menyatukan keragaman sosial. Dalam menanamkan nilai moralitas
kewargaan dibutuhkan kesetaraan akses dan mutu pendidikan, yang sekaligus
memperkuat persatuan nasional. Yudi Latif mengutip ungkapan Bung Karno dalam
membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme;
“suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu
bangsa.”
Sentimen Nasionalisme yang dimaksud menawarkan fondasi ideologis bagi
kemunculan institusi-institusi modern seperti demokrasi, negara kesejahteraan, dan
pendidikan publik. Pada intinya, di dalam nasionalisme harus memiliki kesamaan
ajara; pertama, bahwa anggota-anggota komunitas bangsa memahami
keberadaannya sebagai suatu kelompok kewarganegaraan yang setara dengan
berbagi sejarah dan cita-cita politik bersama, harus memimpin negara. Kedua, dan
mereka melakukan itu atas nama kepentingan bangsa (Latif, 2020). Nasionalisme
yang dimaksud adalah nasionalisme yang inklusif dan luas baik dalam kehidupan
domestik dan internasional.
Yudi Latif mengatakan di dalam masyarakat yang supermajemuk, terlalu
menekankan individualisme dan perbedaan akan mempersulit integrasi bangsa.
Sedangkan mematikan aspirasi individu dan perbedaan aspirasi akan membunuh
kekayaan potensi dan kreativitas. Sehingga Pancasila merupakan jalan tengah yang
Universitas Indonesia
105
Universitas Indonesia
106
Universitas Indonesia
107
inklusivitas adalah adanya equal access untuk semua warga negara. Dengan
demikian akan terbentuk mutual trust atau rasa saling percaya. Dengan
bermodalkan konektivitas dan inklusivitas maka rasa saling percaya akan tumbuh.
Jaring-jaring konektivitas dan inklusivitas sosial inilah yang disebut modal sosial.
Jadi hanya dengan interkoneksi yang lebih baik, baik pikiran, hati, dan fisik, beserta
dengan inklusi, equal access dalam pendidikan, kesehatan, jabatan, permodalan,
sektor usaha, maka yang saling beragam dapat mulai saling menumbuhkan
kepercayaan, saling menghargai dan saling berbagi.
Maka dari itu, konektivitas dan inklusivitas ini memerlukan satu ikatan yang
kuat. Ikatan yang kuat ini adalah ikatan nilai, ikatan moral, yang disebut dengan
Pancasila. Konektivitas dan inklusivitas memerlukan nilai-nilai pengikatnya,
sehingga masyarakat berada pada kesamaan dasar atau on the same basis, memiliki
common ground, memiliki titik temu mengenai nilai-nilai yang kita sepakati
bersama. Nilai-nilai yang disepakati bersama ini yang disebut dengan Pancasila.
Jadi Pancasila ibarat aliran darahnya supaya setiap cabang tubuh kita dapat bergerak
pada tujuan yang sama.
Menanggapi seputar Ketahanan Nasional, Yudi Latif berpendapat bahwa;
pertama, konsep keamanan sekarang tidak lagi keamanan konvensional seperti
sistem militer, namun sudah memasuki Human Security (Keamanan Insani).
Termasuk di dalamnya adalah Ketahanan Politik, Ketahanan Ekonomi, Ketahanan
Kesehatan, Ketahanan Energi dan Ketahanan Pangan. Kedua, kita sistem ketahanan
nasional yang sedang dibangun tidak berdasarkan threat based atau berdasarkan
ancaman. Karena ancaman di masa sekarang ini menjadi semakin banyak,
bermacam-macam tantangan dikarenakan disrupsi-disrupsi teknologi. Dengan
demikian pendekatannya pun harus diubah bukan lagi threat-based (berbasis
ancaman) melainkan capability-based (berbasis kemampuan). Di era disrupsi
tantangan yang dihadapi akan terus bermutasi. Sehingga yang perlu diperkuat
adalah daya tahan “tubuh” atau daya resiliensi.
Yang harus diperkuat adalah kapabilitas bangsa. Istilah “si vis pacem para
bellum” yang artinya “siapa yang ingin damai harus siap berperang” maknanya
tidak dalam arti harfiah. Jika ingin hidup dalam damai Indonesia harus perkuat
Universitas Indonesia
108
kapabilitas bangsa, sehingga Indonesia memiliki aura yang besar, lebih kuat,
sehingga bangsa lain bahkan tidak terpikir untuk ingin mengganggu Indonesia.
Sebagaimana menurut Sun Tzu, kemenangan terbesar bukan didapat
melalui perang, tapi kemenangan tanpa perang. Dalam konteks negara, perlu kita
perkuat pembangunan ekonomi negara, perkuat segala sesuatu yang merupakan
strength (kekuatan) Indonesia. Dalam meningkatkan kekuatan bangsa, pendidikan
merupakan faktor penting untuk mendukungnya. Pendidikan yang maju dapat
menghasilan riset dan berbagai penelitian sehingga menciptakan penemuan-
penemuan inovatif yang akan memperkuat bangsa Indonesia, meningkatkan daya
resiliensi bangsa, dan meningkatkan citra negara, aura yang besar di mata
internasional.
Dalam argumen ini, Yudi Latif menekankan, baik dalam membangun
kemandirian bangsa dari sisi ekonomi, kesejahteraan maupun dari sisi penanaman
nilai-nilai dalam membentuk kepribadian bangsa, pendidikan tetap merupakan
faktor utama yang sangat penting. Kualitas pendidikan bangsa menentukan kualitas
Ketahanan Nasional bangsa tersebut. Pendidikan ini merupakan hal yang stratejik.
Pendidikan Nasional yang berkualitas merupakan basis Ketahanan Nasional yang
sangat penting. Setiap aspek Ketahanan Nasional baik Ketahanan Ideologi,
Ketahanan Ekonomi, Ketahanan Sosial, Ketahanan Budaya dan lain sebagainya,
keberhasilannya semua bertumpu pada tingkat kualitas Pendidikan Nasional.
Universitas Indonesia
109
sehingga kemudian barangkali menjadi lawan kita (Latif, 2020). Kutipan dari
ucapan Ki Hadjar Dewantara ini sangat relevan dengan permasalahan yang
dihadapi sekarang dalam menjaga Ketahanan Nasional Indonesia.
Fahruddin Faiz mengatakan, menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan
adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang sudah terdapat pada diri setiap siswa,
agar mereka dapat mencapat keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Tujuan pendidikan menurut Dewantara adalah siswa-siswa dapat hidup dan tumbuh
sesuai kodratnya sendiri. Dengan demikian, guru tugasnya hanya merawat dan
menuntun tumbuhnya kodrat tersebut. Karena pada kenyataannya, biarpun siswa-
siswa mendapatkan pendidikan di tempat yang sama dan dididik oleh guru yang
sama, namun tetap saja setiap siswa akan memiliki jalannya sendiri-sendiri.
Pemahaman Ki Hadjar Dewantara yang disebut sebagai aliran Humanisme, sangat
mengakomodir berkembangnya potensi siswa sesuai keberagaman dan keunikan
masing-masing. Di Indonesia yang beragam, konsep ini sangat tepat sesuai dengan
keberagaman yang juga merupakan kodrat Bangsa Indonesia. Siswa tetap diberikan
kebebasannya untuk bertumbuh kembang, misalkan siswa yang berlatar belakang
Kalimantan dapat mengembangkan potensinya sesuai ke-Kalimantan-annya,
demikian pula yang berasal dari daerah-daerah lain. Kearifan-kearifan lokal dari
tiap daerah tetap mendapatkan tempat dan penghargaan.
Konsep ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang menggunakan
metode perintah, hukuman dan ketertiban. Siswa didorong untuk berkarya
berdasarkan perintah, dalam menjalankan proses pendidikan, siswa dibatasi dengan
beragam aturan ketertiban. Bilamana siswa melanggar koridor ketertiban yang
sudah ditetapkan, atau menolak dan melanggar perintah, maka hukumanlah yang
akan diterapkan. Konsep pendidikan semacam ini menjebak siswa dalam penyakit
‘intelektualisme’ atau yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan, atau positivistik.
Dampaknya siswa akan menjadi sosok yang individualis dan materialis.
Kecerdasan intelektual lebih diutamakan dan maka mengenyampingkan kecerdasan
budi pekerti. Konsep pendidikan yang tidak menghargai dan mengakomodir
keberagaman seperti ini, baik keberagaman latar belakang, kemampuan individu,
kemampuan intelektual akademis, perbedaan opini dan keunikan lainnya, akan
menghasilkan siswa yang juga tidak memili