Anda di halaman 1dari 6

Skoring TB pada Anak

April 15, 2015/in Artikel Umum /by Dr.dr. FX. Wikan Indarto, Sp.A

Dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis (TB) pada pasien anak, sebaiknya


menggunakan berbagai prosedur diagnostik. Apabila terdapat keterbatasan sarana
diagnostik maupun biaya, dapat menggunakan suatu pendekatan diagnostik lain,
yaitu sistem skoring. Sistem skoring dikembangkan oleh para ahli dari Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI), Kemenkes RI, dan WHO. Sistem ini
mempermudah penegakan diagnosis TB anak, terutama di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar. Apa yang sebaiknya dilakukan?

Penilaian atau pembobotan pada sistem skoring menurut Direktorat Jenderal


Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2013, meliputi hasil pemeriksaan tuberkulin (Uji
Mantoux) dan kontak erat dengan pasien dewasa TB menular mempunyai skor
(nilai) tertinggi, yaitu 3. Namun demikian, seperti dapat dilihat pada lampiran
tulisan ini, uji tuberkulin bukan merupakan pemeriksaan penentu utama, untuk
menegakkan diagnosis TB anak. Selain itu, pasien anak dengan jumlah skor ≥6,
dapat didiagnosis, harus ditatalaksana sebagai pasien TB, dan mendapat OAT
(Obat Anti Tuberkulosis).

Beberapa keadaan klinis khusus pada pasien, memerlukan pemeriksaan lebih lanjut
di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Misalnya ditemukan gibbus atau koksitis
TB, juga tanda bahaya TB saraf pusat, yaitu kejang, kaku kuduk, dan penurunan
kesadaran. Selain itu, juga adanya tanda kegawatan lain, misalnya sesak napas atau
pada pemeriksaan foto Rontgen polos dada atau toraks menunjukan gambaran
efusi pleura, milier, atau kavitas.

Pada sistem skoring, beberapa parameter memerlukan penjelasan khusus. Kontak


dengan pasien pasien dewasa TB BTA positif diberi skor 3, hanya bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari orang dewasa sebagai sumber penularan. Data
ini dapat diperoleh dari formulir TB 01 atau dari hasil laboratorium. Penentuan
status gizi anak dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U dengan Berat
Badan, Panjang atau Tinggi Badan, dan Umur diukur saat pasien datang (moment
opname). Penentuan status gizi untuk anak usia <5 tahun menggunakan panduan
buku KIA terbitan Kemenkes RI, sedangkan untuk anak usia >5 tahun
menggunakan kurva CDC terbitan tahun 2000. Apabila BB kurang, anak juga
harus diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
Gejala klinis demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) lama, dapat bernilai
apabila tidak membaik setelah diberikan pengobatan, sesuai baku terapi di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar. Selain itu, gambaran foto toraks yang mendukung TB
dapat berupa pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental atau lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
ataupun tuberkuloma. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB
anak

Diagnosis TB pada anak dengan sistem skoring sebaiknya ditegakkan oleh dokter.
Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak ada dokter, pelimpahan wewenang
terbatas dapat diberikan kepada petugas kesehatan lainnya. Namun demikian,
seharusnya hanya kepada petugas yang sudah dilatih tentang strategi DOTS, untuk
menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak. Dalam sistem skoring ini, anak
didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6, dengan skor maksimal 13.

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari poin kontak dengan pasien BTA positif
dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka pada anak
tersebut belum perlu diberikan OAT. Anak tersebut cukup dilakukan observasi
atau diberi INH profilaksis, tergantung dari umur anak.

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan,
maka pasien tersebut dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan, untuk
evaluasi lebih lanjut . Anak dengan skor 5 yang terdiri dari poin kontak BTA
positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak
tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi ,dan dipantau sebagai TB
anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, dan apabila terdapat
perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai 6 bulan. Semua bayi
dengan reaksi cepat (<2 minggu) setelah pemberian imunisasi BCG, seharusnya
dicurigai telah terinfeksi TB, dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas, yaitu tidak
tersedianya uji tuberkulin dan atau foto toraks, maka evaluasi dengan sistem
skoring tetap boleh dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
berarti, sebaiknya diperiksa lebih lanjut. Pemeriksaan lanjutan bertujuan untuk
mencari faktor penyebab lain, misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit
penyerta, gizi buruk, TB-MDR, maupun masalah ketidakkepatuhan berobat pasien.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan dari gejala yang
ditemukan pada anak tersebut, saat diagnosis ditegakkan.

Sistem skoring ini diharapkan dapat mengurangi terjadinya ‘under’ maupun


‘overdiagnosis’ TB anak. Tentunya agar pelayanan kesehatan untuk semua pasien
anak di Indonesia, termasuk TB anak, akan semakin efisien dan dapat dijangkau
oleh BPJS Kesehatan, sebagai penjaminan biaya pasien (universal health
coverage).
Imunisasi BCG merupakan salah satu imunisasi yang wajib diberikan pada
bayi. Fungsinya adalah untuk mencegah penyakit tuberkulosis (TBC) atau yang
sekarang dikenal dengan sebutan TB.
BCG merupakan kepanjangan dari Bacillus Calmette-Guérin. Pemberian imunisasi BCG
pada bayi di Indonesia umumnya dilakukan pada bayi yang baru lahir dan dianjurkan
paling lambat diberikan sebelum bayi berusia 3 bulan.
Bagi bayi yang akan diberikan imunisasi BCG setelah usia 3 bulan, harus dilakukan tes
tuberkulin terlebih dulu. Tes tuberkulin (tes Mantoux) dilakukan dengan cara menyuntik
protein kuman TB (antigen) pada lapisan kulit lengan atas. Kulit akan bereaksi terhadap
antigen, bila sudah pernah terpapar kuman TB. Reaksi tersebut berupa benjolan merah
pada kulit di area penyuntikan.

Mencegah Penyakit Tuberkulosis
Vaksin BCG terbuat dari bakteri tuberkulosis yang telah dilemahkan dan tidak akan
menyebabkan penerima vaksin menjadi sakit TB. Bakteri yang digunakan
adalah Mycobacterium bovine, yang paling mirip dengan bakteri
penyebab tuberkulosis pada manusia. Pemberian vaksin ini akan memicu sistem
imun untuk menghasilkan sel-sel yang dapat melindungi kita dari bakteri tuberkulosis.
Imunisasi BCG sangat efektif mencegah penyakit tuberkulosis, termasuk jenis yang
paling berbahaya yaitu meningitis TB pada anak.
Tuberkulosis tidak hanya berisiko menyebabkan infeksi paru-paru, tapi juga dapat
menyerang bagian tubuh lain seperti sendi, tulang, selaput otak (meningen), dan ginjal.
Tuberkulosis sangat berbahaya dan mudah menyebar melalui cipratan air liur, lewat
bersin atau batuk, yang tanpa sengaja terhirup oleh orang lain.
Meski hampir serupa dengan cara penyebaran pilek atau flu, tuberkulosis umumnya
memerlukan waktu kontak lebih lama sebelum seseorang dapat tertular. Karena itu,
anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita TB memiliki peluang lebih
tinggi untuk tertular.

Efek Samping Imunisasi BCG


Setelah mendapat imunisasi BCG, tidak perlu panik apabila muncul seperti luka
melepuh di area suntikan. Tidak jarang, luka tersebut terasa sakit dan lebam selama
beberapa hari.
Setelah 2-6 minggu, titik suntikan dapat membesar hingga berukuran hampir 1 cm, dan
mengeras karena cairan yang berada di permukaan mengering. Kemudian, akan
meninggalkan bekas luka yang kecil. Sebagian orang mungkin akan mengalami bekas
luka yang lebih berat, tapi umumnya akan sembuh setelah beberapa minggu.
BCG sangat jarang menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi anafilaktik. Tapi
tetap lebih baik untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan jika timbul
alergi. Untuk mewaspadai efek samping yang berbahaya, vaksinasi harus dilakukan
oleh dokter atau petugas medis yang mengetahui penanganan alergi dengan tepat.
Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Imunisasi
BCG
Dosis imunisasi BCG sebanyak 0,05 ml untuk bayi di bawah usia satu tahun. Umumnya
penyuntikan imunisasi BCG dilakukan pada lengan bagian atas. Lengan bagian tersebut
tidak boleh diberikan imunisasi lain, minimal selama tiga bulan.
Meski tergolong imunisasi wajib, ada beberapa kondisi bayi yang membuat pemberian
imunisasi BCG perlu ditunda, seperti:

 Demam tinggi.
 Infeksi kulit.
 HIV positif, dan belum mendapat penanganan.
 Pengobatan kanker atau kondisi lain yang memperlemah sistem imunitas.
 Diketahui mengalami reaksi anafilaktik terhadap imunisasi BCG.
 Pernah terkena tuberkulosis, atau tinggal serumah dengan penderita
tuberkulosis.

Imunisasi BCG merupakan tindakan yang penting untuk melindungi kesehatan bayi.
Namun, perhatikan pula kondisi bayi sebelum melakukan imunisasi. Jika perlu,
konsultasikan dengan dokter spesialis anak untuk mendapatkan solusi terbaik.
https://www.slideshare.net/EsdrasIdialfero/penyuluhan-narkoba-bagi-pelajar-sma

Anda mungkin juga menyukai