Anda di halaman 1dari 377

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR... TAHUN 2022
TENTANG
PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat


Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
diperlukan pembangunan nasional yang
didukung dengan perekonomian yang tangguh;
b. bahwa untuk mewujudkan perekonomian yang
tangguh diperlukan pengembangan dan
penguatan sektor keuangan yang lebih optimal
guna mendukung pertumbuhan perekonomian
nasional;
c. bahwa untuk mendukung upaya pengembangan
dan penguatan sektor keuangan di Indonesia
yang sejalan dengan perkembangan industri jasa
keuangan semakin kompleks dan beragam,
perekonomian nasional dan internasional yang
bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi
dengan tantangan yang semakin kompleks, dan
digitalisasi ekonomi dunia dan nasional, sistem
keuangan yang semakin maju, serta terdapat
beberapa lembaga jasa keuangan yang masih
belum mempunyai kerangka pengaturan dan
pengawasan, diperlukan pengaturan industri
dan/atau aktivitas bisnis keuangan baru di
bidang sektor keuangan, serta penyesuaian
berbagai aspek kebijakan di seluruh sektor
keuangan, yang meliputi perbankan, pasar
modal, pasar uang dan valuta asing,
perasuransian, program penjaminan polis,
perusahaan penjaminan, dana pensiun,
perusahaan pembiayaan, dan industri keuangan
nonbank lainnya yang pengaturannya tersebar
dalam beberapa Undang-Undang;
d. bahwa untuk percepatan penyusunan
pengaturan baru serta penyesuaian berbagai
pengaturan di sektor keuangan secara efektif dan
efisien, diperlukan terobosan hukum melalui
pembentukan Undang-Undang dengan
menggunakan metode omnibus yang dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan dalam
beberapa Undang-Undang ke dalam 1 (satu)
Undang-Undang secara komprehensif;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu membentuk Undang-Undang

1
tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan;

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23D, Pasal 33, dan Pasal
34 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6573);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3502) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5232);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,

2
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
7. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4236);
8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4420) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516);
9. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4456), sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6573);
10. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
13. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12,

3
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5394);
14. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5618);
15. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5872)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6516);
16. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam
rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6516);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGEMBANGAN DAN


PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1. Instrumen Derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran
yang nilainya merupakan turunan dari aset yang mendasarinya, yang

4
dilakukan baik di dalam bursa maupun di luar bursa.
2. Stabilitas Sistem Keuangan adalah stabilitas sistem keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan
dan penanganan krisis sistem keuangan.
3. Inovasi Teknologi Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat ITSK
adalah produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis yang menggunakan
teknologi inovatif dalam ekosistem keuangan digital.
4. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang berkaitan dengan
kegiatan penerbitan dan perdagangan Instrumen Keuangan yang
berjangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun, pinjam-meminjam atau
pendanaan, transaksi derivatif nilai tukar dan suku bunga, serta transaksi
lainnya, dalam mata uang Rupiah atau valuta asing.
5. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah
badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang
memiliki saham atau yang setara dengan saham lembaga jasa keuangan
dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian atas
lembaga jasa keuangan.
6. Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate shareholders) yang
selanjutnya disingkat PSPT adalah perorangan atau badan hukum yang
secara langsung ataupun tidak langsung memiliki saham perusahaan
atau lembaga jasa keuangan dan merupakan pengendali terakhir atau
pemilik manfaat terakhir (ultimate beneficial owner) dari keseluruhan
struktur kelompok usaha yang mengendalikan suatu perusahaan atau
lembaga jasa keuangan.
7. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan yang berkaitan
dengan kegiatan transaksi yang melibatkan pertukaran mata uang dari 2
(dua) negara yang berbeda serta derivatifnya namun tidak termasuk
penukaran bank notes yang diselenggarakan oleh kegiatan usaha
penukaran valuta asing.
8. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga
yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
9. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam 1 (satu) grup atau
kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian.
10. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi
pengelolaan dan/atau kebijakan LJK, dengan cara apapun, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
11. Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (Financial Holding Company)
yang selanjutnya disingkat PIKK adalah badan hukum yang dimiliki oleh
pemegang saham pengendali atau pemegang saham pengendali terakhir
untuk mengendalikan, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab
terhadap seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan.
12. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki
dan/atau dikendalikan oleh Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan
baik secara langsung maupun tidak langsung baik di dalam maupun di
luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan.
13. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
14. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.

5
16. Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola,
dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam
rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah
secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan
internet kepada masyarakat.
17. Kegiatan Usaha Simpan Pinjam adalah kegiatan yang dilakukan untuk
menghimpun dan menyalurkan dana melalui kegiatan usaha simpan
pinjam dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain,
dan/atau anggotanya.
18. Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang kegiatannya hanya usaha
simpan pinjam.
19. Pelaku Usaha Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat PUSK adalah
Lembaga Jasa Keuangan, pelaku usaha infrastruktur pasar keuangan,
pelaku usaha di sistem pembayaran, lembaga pendukung di sektor
keuangan, dan pelaku usaha sektor keuangan lainnya baik yang
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara
syariah, berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan di
sektor jasa keuangan.
20. Konsumen adalah orang-perseorangan atau badan, baik berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang memiliki dan/atau
memanfaatkan produk dan/atau layanan yang disediakan oleh PUSK.
21. Pelindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan pelindungan kepada konsumen.
22. Pengawasan Perilaku PUSK (Market Conduct) adalah pengawasan terhadap
perilaku PUSK dalam mendesain, menyusun dan menyampaikan
informasi, menawarkan, membuat perjanjian, memberikan pelayanan atas
penggunaan produk dan/atau layanan di sektor keuangan, serta
penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen.
23. Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis termasuk dalam bentuk
elektronik yang ditetapkan secara sepihak oleh PUSK dan memuat
klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan
digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada
Konsumen secara massal.
24. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMKM
adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh orang perorangan
atau badan usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro, kecil, dan
menengah sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-
undangan mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah.
25. Pembiayaan Inklusif adalah penyediaan dana yang diberikan bank untuk
UMKM, korporasi UMKM, dan/atau perorangan berpenghasilan rendah
dalam rupiah dan valuta asing yang digunakan untuk kegiatan produktif.
26. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ perusahaan/badan
hukum yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan perusahaan/badan hukum agar sesuai dengan
prinsip syariah.
27. Keuangan Berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari sektor jasa
keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan
hidup.
28. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

6
29. Profesi Sektor Jasa Keuangan adalah bidang pekerjaan yang memberikan
suatu jasa keprofesian di sektor jasa keuangan yang memerlukan tingkat
keahlian dan kualifikasi tertentu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
30. Pelaku Profesi Sektor Jasa Keuangan adalah seseorang yang melakukan
Profesi Sektor Jasa Keuangan.
31. Profesi Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor
Jasa Keuangan yang memberikan suatu jasa keprofesian terbatas pada
suatu industri sektor jasa keuangan.
32. Asosiasi Profesi adalah organisasi profesi yang menaungi Pelaku Profesi
Sektor Jasa Keuangan.
33. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan
sertifikasi profesi yang telah memenuhi syarat dan memperoleh lisensi.
34. Sistem Keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri atas lembaga jasa
keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem
pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana
masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas
perekonomian nasional, serta korporasi dan rumah tangga yang
terhubung dengan lembaga jasa keuangan.
35. Krisis Sistem Keuangan adalah kondisi Sistem
Keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan
perannya secara efektif dan efisien, yang ditunjukkan dengan
memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan.
36. Komite Stabilitas Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat KSSK
adalah komite yang menyelenggarakan pencegahan dan penanganan
Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan
ketahanan negara di bidang perekonomian.
37. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek atau Pembiayaan Likuiditas Jangka
Pendek Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disingkat
PLJP/PLJPS adalah pinjaman atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk
mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek yang dialami oleh Bank.
38. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
39. Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
40. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga
yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di sektor jasa
keuangan.
41. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan
program yang menjanjikan manfaat pensiun.
42. Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh
orang atau badan yang mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk
menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti atau Program Pensiun
Iuran Pasti, bagi kepentingan sebagian atau scluruh karyawannya sebagai
peserta, dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja.
43. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah Dana Pensiun yang dibentuk
oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan
Program Pensiun Iuran Pasti bagi perorangan, baik karyawan maupun
pekerja mandiri yang terpisah dari Dana Pensiun pemberi kerja bagi
karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
44. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi ketentuan yang
menjadi dasar penyelenggaraan program pensiun.

7
45. Program Pensiun adalah setiap program yang mengupayakan manfaat
pensiun bagi peserta.
46. Program Pensiun Manfaat Pasti adalah program pensiun yang manfaatnya
ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun atau program pensiun lain
yang bukan merupakan Program Pensiun Iuran Pasti.
47. Program Pensiun Iuran Pasti adalah program pensiun yang iurannya
ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan seluruh iuran serta hasil
pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing peserta
sebagai manfaat pensiun.
48. Manfaat Pensiun Normal adalah manfaat pensiun bagi peserta, yang mulai
dibayarkan pada saat peserta pensiun setelah mencapai usia pensiun
normal atau sesudahnya.
49. Manfaat Pensiun Dipercepat adalah manfaat pensiun bagi peserta yang
dibayarkan bila peserta pensiun pada usia tertentu sebelum usia pensiun
normal.
50. Manfaat Pensiun Disabilitas adalah manfaat pensiun bagi peserta yang
dibayarkan apabila peserta menjadi penyandang disabilitas.
51. Pensiun Ditunda adalah hak atas manfaat pensiun bagi peserta yang
berhenti bekerja sebelum mencapai usia pensiun normal, yang ditunda
pembayarannya sampai pada saat peserta pensiun sesuai dengan
Peraturan Dana Pensiun.
52. Pemberi Kerja adalah pendiri atau mitra pendiri yang mempekerjakan
karyawan.
53. Pendiri adalah:
a. orang atau badan yang membentuk Dana Pensiun Pemberi Kerja;
b. bank atau perusahaan asuransi jiwa yang membentuk Dana Pensiun
Lembaga Keuangan.
54. Mitra Pendiri adalah pemberi kerja yang ikut serta dalam suatu Dana
Pensiun Pemberi Kerja Pendiri, untuk kepentingan sebagian atau seluruh
karyawannya.
55. Penerima Titipan adalah bank yang menyelenggarakan jasa penitipan.

BAB II
ASAS, MAKSUD DAN TUJUAN, SERTA RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu
Asas

Pasal 2
(1) Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
a. kepentingan nasional;
b. kemanfaatan;
c. kepastian hukum;
d. keterbukaan;
e. akuntabilitas;
f. keadilan;
g. perlindungan konsumen;
h. edukasi; dan
i. keterpaduan.
(2) Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Undang-
Undang ini dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang
hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan

8
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 3
(1) Undang-Undang ini dibentuk dengan maksud mendorong kontribusi
sektor keuangan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan,
dan berkeadilan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengurangi
ketimpangan ekonomi, serta mewujudkan Indonesia yang sejahtera maju
dan bermartabat.
(2) Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
a. mengoptimalkan fungsi intermediasi sektor keuangan kepada usaha
sektor produktif;
b. meningkatkan portofolio pendanaan terhadap sektor-sektor usaha
yang produktif;
c. meningkatkan kemudahan akses dan literasi ke dan tentang jasa
keuangan;
d. meningkatkan dan memperluas inklusi sektor keuangan;
e. memperluas sumber pembiayaan jangka panjang;
f. meningkatkan daya saing dan efisiensi sektor keuangan;
g. mengembangkan instrumen dan memperkuat mitigasi risiko;
h. meningkatkan pembinaan, pengawasan, dan perlindungan konsumen;
i. memperkuat pelindungan atas data pribadi nasabah sektor keuangan;
j. memperkuat ketahanan stabilitas sistem keuangan;
k. mengembangkan dan memperkuat eksosistem sektor keuangan;
l. memperkuat wewenang, tanggung jawab, tugas, dan fungsi regulator
sektor keuangan; dan
m. meningkatkan daya saing masyarakat sehingga dapat berusaha secara
efektif dan efisien.

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup

Pasal 4
Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, ruang lingkup dalam Undang-Undang ini mengatur ekosistem sektor
keuangan yang meliputi:
a. kelembagaan;
b. Perbankan;
c. Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing;
d. Perasuransian;
e. Asuransi Usaha Bersama;
f. Program Penjaminan Polis;
g. usaha jasa pembiayaan;
h. usaha modal ventura;
i. Dana Pensiun;
j. kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi;
k. lembaga Keuangan Mikro;
l. konglomerasi keuangan;
m. ITSK;
n. penerapan keuangan berkelanjutan;
o. inklusi keuangan dan perlindungan konsumen;
p. akses pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah;
q. sumber daya manusia;
r. stabilitas sistem keuangan; dan
s. sanksi.

9
BAB III
KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan kelembagaan otoritas sektor keuangan, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa
ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5872) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516);
b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516);
c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4962); dan
e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5223).

10
Bagian Kedua
Komite Stabilitas Sektor Keuangan

Pasal 6
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5872) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 3
(1) Pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan meliputi:
a. koordinasi pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan;
b. penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
c. penanganan permasalahan Lembaga Jasa Keuangan Sistemik,
baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun
kondisi Krisis Sistem Keuangan.
(2) Koordinasi pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup
bidang:
a. fiskal;
b. moneter;
c. makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan;
d. pasar keuangan;
e. infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan
penjaminan simpanan; dan
f. resolusi Lembaga Jasa Keuangan.
(3) Penanganan Krisis Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b mencakup penanganan seluruh bidang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Penanganan permasalahan Lembaga Jasa Keuangan Sistemik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi penanganan
permasalahan likuiditas dan solvabilitas Lembaga Jasa Keuangan
Sistemik.

2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 4
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk KSSK.
(2) KSSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan
pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk
melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang
perekonomian.
(3) KSSK beranggotakan:
a. Menteri Keuangan sebagai Koordinator merangkap anggota
dengan hak suara;
b. Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota dengan hak suara;

11
c. Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota dengan hak suara;
dan
d. Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota dengan hak suara.
(4) Setiap anggota KSSK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertindak
untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 5
KSSK bertugas:
a. melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan
Stabilitas Sistem Keuangan;
b. melakukan penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
c. melakukan penanganan permasalahan ekosistem sektor keuangan
baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun
kondisi Krisis Sistem Keuangan.

4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 6
KSSK berwenang:
a. menetapkan keputusan mengenai tata kelola KSSK dan sekretariat
KSSK;
b. membentuk gugus tugas atau kelompok kerja untuk membantu
pelaksanaan tugas KSSK;
c. menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas
Sistem Keuangan;
d. melakukan penilaian terhadap kondisi Stabilitas Sistem Keuangan
berdasarkan masukan dari setiap anggota KSSK, beserta data dan
informasi pendukungnya;
e. menetapkan langkah koordinasi untuk mencegah Krisis Sistem
Keuangan dengan mempertimbangkan rekomendasi dan/atau
kesepakatan dari anggota KSSK;
f. merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan perubahan
status Stabilitas Sistem Keuangan, dari kondisi normal menjadi
kondisi Krisis Sistem Keuangan atau dari kondisi Krisis Sistem
Keuangan menjadi kondisi normal;
g. merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan langkah
penanganan Krisis Sistem Keuangan;
h. menyerahkan penanganan permasalahan solvabilitas Lembaga Jasa
Keuangan Sistemik kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
i. menetapkan langkah yang harus dilakukan oleh anggota KSSK untuk
mendukung pelaksanaan penanganan permasalahan Lembaga Jasa
Keuangan Sistemik oleh Lembaga Penjamin Simpanan;
j. menetapkan keputusan pembelian oleh Bank Indonesia atas Surat
Berharga Negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk
penanganan Lembaga Jasa Keuangan; dan
k. merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan
penyelenggaraan dan pengakhiran Program Restrukturisasi Industri
Jasa Keuangan.

5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 7

(1) KSSK dibantu oleh sekretariat KSSK yang dipimpin oleh sekretaris
KSSK.

12
(2) Sekretaris KSSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pejabat eselon I Kementerian Keuangan.
(3) Organisasi dan tata kerja sekretariat KSSK ditetapkan oleh Menteri
Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang KSSK,
sekretariat KSSK melakukan analisis, riset, dan/atau asesmen
Stabilitas Sistem Keuangan.
(5) Dalam melakukan analisis, riset, dan/atau asesmen Stabilitas Sistem
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sekretariat KSSK:
a. menggunakan data dan informasi dari sarana pertukaran
informasi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai OJK; dan
b. mendapatkan akses atas data dan informasi yang tersedia di
masing-masing lembaga anggota KSSK dan/atau data dan
informasi yang berasal dari forum koordinasi.
(6) Anggaran sekretariat KSSK bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.

6. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 9
(1) Rapat KSSK harus dihadiri oleh seluruh anggota KSSK secara fisik
dan/atau secara virtual.
(2) Rapat KSSK dipimpin oleh Koordinator KSSK.
(3) Pengambilan keputusan KSSK dilakukan dalam rapat KSSK secara
musyawarah untuk mufakat.
(4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan
berdasarkan suara terbanyak.
(5) Dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, Menteri
Keuangan sebagai Koordinator KSSK mengambil keputusan atas
nama KSSK.
(6) Keputusan KSSK dalam rapat KSSK dan/atau pelaksanaan dari
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau ayat
(5) oleh setiap anggota KSSK sah dan mengikat setiap anggota KSSK
dan/atau pihak terkait.
(7) Setiap keputusan KSSK ditandatangani oleh seluruh anggota KSSK.

7. Pasal 10 dihapus.

8. Pasal 11 dihapus.

9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 15
KSSK melaporkan kepada Presiden mengenai:
a. kondisi Stabilitas Sistem Keuangan setiap 3 (tiga) bulan;
b. penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
c. pelaksanaan Program Restrukturisasi Industri Jasa Keuangan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan.

10. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
Dalam hal Presiden memutuskan kondisi Krisis Sistem Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri Keuangan, Gubernur
Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan

13
Komisioner LPS bersama-sama melaksanakan langkah penanganan Krisis
Sistem Keuangan.

Bagian Ketiga
Lembaga Penjamin Simpanan

Pasal 7
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516)
diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 2
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin
Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS.
(2) LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum.
(3) LPS merupakan lembaga yang independen, transparan, dan
akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 3A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
LPS bertujuan menjamin dan melindungi dana masyarakat yang
ditempatkan pada Bank dan Perusahaan Perasuransian.

3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 4
LPS berfungsi:
a. menjamin simpanan nasabah penyimpan;
b. menjamin polis nasabah asuransi;
c. turut aktif dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
d. melakukan resolusi Bank dan Perusahaan Perasuransian.

4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 5
(1) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, LPS bertugas:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan
penjaminan simpanan; dan
b. melaksanakan penjaminan simpanan.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, LPS bertugas:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan program
penjaminan polis; dan
b. melaksanakan program penjaminan polis.

14
(3) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b dan huruf c, LPS bertugas:
a. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan
tindakan resolusi Bank dan Perusahaan Perasuransian termasuk
uji tuntas pada Bank dan Perusahaan Perasuransian serta
penjajakan kepada Bank dan Perusahaan Perasuransian atau
investor lain;
b. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan
resolusi Bank dan Perusahaan Perasuransian yang ditetapkan
sebagai Bank dan Perusahaan Perasuransian Dalam Resolusi;
dan
c. merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut
aktif memelihara Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dan huruf b, LPS berwenang:
a. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan Bank dan
Perusahaan Perasuransian, laporan keuangan Bank dan
Perusahaan Perasuransian, dan laporan hasil pemeriksaan Bank
dan Perusahaan Perasuransian;
b. melakukan pemeriksaan Bank dan Perusahaan Perasuransian
baik sendiri maupun bersama dengan OJK dan/atau Bank
Indonesia;
c. melakukan penempatan dana pada Bank dan Perusahaan
Perasuransian Dalam Penyehatan berdasarkan permintaan dari
OJK; dan
d. sebagai pengelola statuter berdasarkan penunjukan dari OJK.

5. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A


sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Dalam rangka melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan, LPS
dapat menjamin simpanan untuk kelompok nasabah.
(2) Ketentuan mengenai penjaminan simpanan kelompok nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
6. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), LPS berwenang:
a. menetapkan dan memungut premi penjaminan;
b. menetapkan dan memungut kontribusi pada saat Bank atau
Perusahaan Asuransi pertama kali menjadi peserta;
c. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS, termasuk
melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa
piutang;
d. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank,
laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank
sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank;
e. mendapatkan data polis nasabah asuransi, data kesehatan
perusahaan asuransi, laporan keuangan perusahaan asuransi,
dan laporan hasil pemeriksaan perusahaan asuransi sepanjang
tidak melanggar kerahasiaan perusahaan asuransi;
f. melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data
sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan huruf e;
g. menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim;

15
h. menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain
untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna
melaksanakan sebagian tugas tertentu;
i. melakukan penyuluhan kepada Bank, perusahaan asuransi, dan
masyarakat tentang penjaminan simpanan dan penjaminan polis;
dan
j. menjatuhkan sanksi administratif.
(2) LPS berwenang melakukan penyelesaian dan penanganan Bank dan
Perusahaan Perasuransian sejak penyelesaian atau penanganannya
diserahkan kepada LPS, yaitu:
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang
pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum
pemegang saham;
b. menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank dan
Perusahaan Perasuransian;
c. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah
setiap kontrak yang mengikat Bank dan Perusahaan
Perasuransian dengan pihak ketiga yang merugikan bank dan
Perusahaan asuransi; dan/atau
d. menjual dan/atau mengalihkan aset bank dan perusahaan
asuransi tanpa persetujuan debitor dan/atau kewajiban bank
tanpa persetujuan kreditor.

7. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A


sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6A
(1) Dana yang digunakan untuk menjalankan tugas LPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) bersumber dari
kekayaan LPS.
(2) Dalam hal LPS memperkirakan LPS akan atau telah mengalami
kesulitan likuiditas karena menjalankan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), LPS berwenang:
a. menjual/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank
Indonesia;
b. menerbitkan surat utang;
c. meminjam kepada pihak lain; dan/atau
d. meminjam kepada Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal LPS mengajukan pinjaman kepada Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, Pemerintah Pusat
dapat memberikan pinjaman kepada LPS.
(4) Ketentuan mengenai pemberian pinjaman Pemerintah Pusat kepada
LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

8. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan
Pasal 7B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) Bank wajib menyampaikan data simpanan berbasis nasabah kepada
LPS untuk menentukan simpanan yang layak bayar.
(2) Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b, LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap
data simpanan berbasis nasabah.
(3) Bank bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan data
simpanan berbasis nasabah yang disampaikan kepada LPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

16
(4) Penyampaian data simpanan berbasis nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan
perbankan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data simpanan
berbasis nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan LPS.

Pasal 7B
(1) Perusahaan asuransi wajib menyampaikan data polis nasabah
kepada LPS untuk menentukan polis yang layak bayar.
(2) Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf b, LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap
data polis nasabah.
(3) Perusahaan asuransi bertanggung jawab atas kebenaran dan
kelengkapan data simpanan berbasis nasabah yang disampaikan
kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penyampaian data polis berbasis nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan
perasuransian.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data polis nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan LPS.

9. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 14A
dan Pasal 14B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1) Dalam melakukan perhitungan premi penjaminan, LPS tidak
memperhitungkan penempatan dana pada Bank oleh:
a. Pemerintah Pusat dalam rangka kebijakan penanganan
permasalahan perekonomian nasional; dan/atau
b. LPS dalam rangka penanganan permasalahan Bank,
sebagai dasar perhitungan premi penjaminan.
(2) LPS memberikan penjaminan terhadap seluruh penempatan dana
Pemerintah Pusat pada Bank dalam rangka pelaksanaan kebijakan
penanganan permasalahan perekonomian nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.

Pasal 14B
(1) Perhitungan premi yang dilakukan sendiri oleh Bank menjadi final
setelah melewati jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
(2) Dalam hal LPS melakukan verifikasi dan pemeriksaan sebelum
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan
premi penjaminan simpanan menjadi final setelah perhitungan premi
disepakati bersama antara LPS dan pihak Bank.

10. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 20A,
Pasal 20B, dan Pasal 20C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20A
(1) Untuk mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan
permasalahan bank yang dapat menyebabkan terganggunya
Stabilitas Sistem Keuangan, LPS berwenang melakukan penempatan
dana pada bank yang tidak memenuhi syarat untuk menerima
PLJP/PLJPS dari Bank Indonesia.
(2) Penempatan dana pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

17
dilakukan:
a. secara langsung; dan/atau
b. secara tidak langsung melalui penjaminan LPS terhadap
penempatan dana oleh suatu bank pada bank lain yang
mengalami permasalahan likuiditas.
(3) Bank yang dapat menerima penempatan dana LPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. bank dalam penyehatan; atau
b. bank yang mengalami permasalahan likuiditas, yang tidak
memenuhi syarat sebagai penerima PLJP/PLJPS.
(4) Dalam rangka penempatan dana LPS pada bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), LPS melakukan koordinasi melalui forum
pembahasan bersama dengan Bank Indonesia dan OJK.
(5) Setiap periode penempatan dana pada bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender dan dapat
diperpanjang paling banyak 3 (tiga) kali.
(6) LPS dapat memberikan tambahan atas periode penempatan dana
berikut perpanjangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan OJK.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 20B
(1) Terhadap bank yang menerima penempatan dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20A, LPS berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan penggunaan dana;
b. melarang bank untuk melakukan tindakan tertentu;
c. menunjuk pihak lain untuk memberikan bantuan teknis
(technical assistance);
d. memerintahkan pemegang saham untuk melakukan penggantian
direksi dan/atau dewan komisaris; dan/atau
e. menunjuk pihak lain sebagai pengelola statuter.
(2) Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), LPS berkoordinasi dengan OJK.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan LPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 20C
(1) Selama jangka waktu penempatan dana LPS pada Bank atau selama
Bank belum mengembalikan penempatan dana, Bank dilarang:
a. menyalurkan kredit dan/atau pembiayaan baru kepada pihak
terkait Bank, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang telah
diperjanjikan sebelumnya;
b. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait Bank; dan
c. melakukan pembagian dividen.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan
larangan lain yang dikeluarkan oleh OJK.
(3) Direksi, komisaris, pemegang saham pengendali, pegawai, dan/atau
pihak terafiliasi dilarang menggunakan penempatan dana LPS untuk
pencairan dana dan mendapatkan manfaat keuangan untuk diri
sendiri.
(4) Larangan pencairan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
berlaku untuk pembayaran gaji pegawai Bank.

18
11. Pasal 21 dihapus.

12. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22
(1) LPS melakukan tindakan resolusi kepada Bank Dalam Resolusi
dengan cara:
a. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban
Bank kepada bank penerima;
b. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban
Bank kepada bank perantara;
c. melakukan penyertaan modal sementara; dan/atau
d. melakukan likuidasi.
(2) Tindakan resolusi dengan cara melakukan likuidasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, hanya dapat dilakukan kepada Bank
Selain Bank Sistemik atau kepada Bank yang aset dan/atau
kewajibannya telah dialihkan kepada Bank Penerima sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a atau Bank Perantara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Pemilihan tindakan resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan pertimbangan perkiraan biaya resolusi dan
faktor lain meliputi:
a. kondisi perekonomian;
b. kompleksitas kondisi permasalahan Bank;
c. pangsa pasar bank terhadap sistem perbankan.
d. kebutuhan waktu penanganan;
e. ketersediaan investor;
f. efektivitas penanganan permasalahan Bank; dan/atau
g. faktor lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan resolusi Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur
dalam Peraturan LPS.

13. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
(1) Terhitung sejak OJK menetapkan Bank Dalam Resolusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, segala hak dan wewenang RUPS,
kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank
dimaksud beralih kepada LPS.
(2) Pemegang saham dan pengurus Bank lama tidak dapat menuntut
LPS atau pihak yang ditunjuk oleh LPS dalam rangka penanganan
Bank Dalam Resolusi, sepanjang LPS dan/atau pihak yang ditunjuk
LPS melakukan tugasnya dengan iktikad baik, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan tata kelola yang baik.

14. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23
(1) Dalam pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban
bank sistemik kepada bank penerima sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf a Undang-Undang mengenai pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan atau kepada Bank Perantara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-
Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem
keuangan, LPS berwenang:

19
a. menetapkan jenis dan kriteria aset dan kewajiban Bank Sistemik
yang dialihkan;
b. mengalihkan kewajiban Bank Sistemik sesuai dengan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada bank penerima
atau Bank Perantara yang diikuti dengan pengalihan sebagian
atau seluruh aset bank sistemik tanpa persetujuan Kreditur,
Debitur, dan/atau pihak lain;
c. melakukan pembayaran kepada bank penerima atau Bank
Perantara atas selisih kurang antara nilai aset dan nilai kewajiban
bank sistemik yang dialihkan; dan
d. melakukan wewenang lain.
(2) Jenis dan kriteria aset yang dapat dialihkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. aset yang memiliki kualitas lancar atau dalam perhatian khusus,
tidak dalam sengketa, disita, dan/atau dijaminkan;
b. aset tetap dan inventaris yang digunakan dalam kegiatan usaha
bank;
c. aset tak berwujud yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha
bank;
d. aset yang menjadi agunan dari kewajiban yang dialihkan kepada
bank penerima atau Bank Perantara; dan
e. aset lainnya yang ditetapkan oleh LPS.
(3) Jenis dan kriteria kewajiban yang dapat dialihkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. simpanan nasabah penyimpan, termasuk simpanan dari bank
lain;
b. kewajiban kepada Bank Indonesia dan LPS;
c. pinjaman yang diterima dari bank lain dalam bentuk transaksi
pasar uang antarbank; dan
d. kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh LPS.

15. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24
(1) Pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank
oleh LPS kepada Bank Penerima dan/atau Bank Perantara terjadi
demi hukum sejak akta pengalihan ditandatangani.
(2) Pengalihan demi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku pula bagi perizinan untuk melakukan kegiatan tertentu yang
dimiliki Bank kepada Bank Perantara.
(3) Pengalihan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
diikuti dengan proses penyesuaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Setelah dilakukan pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau
kewajiban Bank kepada Bank Penerima dan/atau Bank Perantara,
LPS meminta OJK untuk mencabut izin usaha Bank yang telah
dialihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajibannya.
(5) LPS melakukan proses likuidasi terhadap Bank yang telah dicabut
izin usahanya oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25
(1) LPS mendirikan Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (1) huruf b untuk menerima pengalihan sebagian atau

20
seluruh aset dan/atau kewajiban Bank dan menjalankan aktivitas
usaha Bank.
(2) Dalam pendirian Bank Perantara oleh LPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), tidak berlaku ketentuan yang mewajibkan perseroan
terbatas yang didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas.
(3) OJK memberikan izin Bank Perantara dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip untuk melakukan persiapan pendirian Bank;
dan
b. izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah
persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai
dilakukan.
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
diberikan setelah memenuhi persyaratan:
a. anggaran dasar yang paling sedikit memuat kegiatan usaha
sebagai Bank;
b. modal disetor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
mengenai perseroan terbatas; dan
c. struktur organisasi dan sumber daya manusia untuk pendirian
perseroan terbatas.
(5) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan
setelah memenuhi persyaratan:
a. kewajiban penyediaan modal minimum Bank Umum tanpa
memperhitungkan ketentuan permodalan tambahan;
b. susunan organisasi paling kurang 1 (satu) direktur dan 1 (satu)
komisaris; dan
c. rencana tindak meliputi cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan,
dan pengelolaan sumber daya manusia, serta migrasi
infrastruktur Bank Perantara.
(6) Uji kemampuan dan kepatutan bagi anggota dewan komisaris dan
direksi Bank Perantara dilakukan oleh OJK setelah Bank Perantara
melakukan kegiatan usaha dan sebelum Bank Perantara dinilai
tingkat kesehatannya oleh OJK.
(7) Pada saat OJK menerbitkan izin usaha Bank Perantara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b, Bank Indonesia menerbitkan izin
Bank Perantara sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran,
tanpa memperhitungkan kewajiban Bank Dalam Resolusi kepada
Bank Indonesia.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendirian Bank Perantara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur
dalam Peraturan OJK.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendirian Bank Perantara
sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Bank Indonesisa.

17. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26
(1) LPS harus menjual seluruh saham Bank apabila LPS melakukan
tindakan resolusi dengan cara pengalihan aset dan/atau kewajiban
kepada Bank Perantara.
(2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan nilai pasar wajar serta dengan
memperhatikan fungsi utama dari Bank telah kembali dan/atau
tersedia investor.

21
(3) Sebelum LPS menjual seluruh saham Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan Bank dimaksud berubah status pengawasannya
dari Bank Dalam Resolusi menjadi Bank dalam pengawasan normal
atau Bank Dalam Penyehatan, kewenangan LPS terhadap Bank sama
dengan kewenangan pada Bank Dalam Resolusi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria fungsi utama dari Bank
telah kembali dan/atau tersedia investor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan LPS.

18. Pasal 27 dihapus.

19. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28
(1) Selisih kurang antara dana atau biaya yang dikeluarkan LPS untuk
penanganan permasalahan Bank dan pengembalian kepada LPS
merupakan biaya penanganan permasalahan dan resolusi Bank
untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan bukan
merupakan kerugian keuangan negara, sepanjang dilakukan dengan
iktikad baik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, dan tata kelola yang baik.
(2) Selisih lebih antara dana atau biaya yang dikeluarkan LPS untuk
penanganan permasalahan Bank dan pengembalian kepada LPS
merupakan penambah kekayaan LPS.

20. Pasal 29 dihapus.

21. Pasal 30 dihapus.

22. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31
(1) LPS menetapkan penyelamatan Bank Dalam Resolusi yang tidak
berdampak sistemik jika memenuhi persyaratan yang diatur oleh
LPS.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan penyelamatan Bank Dalam
Resolusi yang tidak berdampak sistemik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan LPS.

23. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 13 (tiga belas) pasal, yakni
Pasal 31A sampai dengan Pasal 31M sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31A
LPS melakukan pengambilalihan hak dan wewenang RUPS untuk
melakukan penyelamatan Bank Dalam Resolusi yang tidak berdampak
sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Pasal 31B
(1) Dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
diatur mengenai penggunaan hasil penjualan saham bank dengan
urutan:
a. pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah
dikeluarkan oleh LPS; dan
b. pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar
proporsional kepemilikan pemegang saham pengendali terhadap
ekuitas bank pada saat penyerahan sebagaimana dimaksud

22
dalam Pasal 25.
(2) Apabila setelah penggunaan hasil penjualan saham bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih ada sisa, dibagi secara
proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama sesuai dengan
perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b.

Pasal 31C
(1) LPS wajib menjual seluruh saham yang dimiliki oleh LPS dan
pemegang saham pengendali Bank Dalam Resolusi yang tidak
berdampak sistemik dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun
sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
(2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan
tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS.
(3) Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara
yang dikeluarkan oleh LPS.
(4) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali
dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam
jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
LPS menjual saham Bank tanpa memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun
berikutnya.

Pasal 31D
(1) Penanganan Bank Dalam Resolusi yang berdampak sistemik hanya
dapat dilakukan dengan penyetoran modal dari pemegang saham
Bank Dalam Resolusi yang berdampak sistemik paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari perkiraan biaya penanganan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penanganan bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan LPS.

Pasal 31E
(1) Dalam perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham
bank diatur dengan urutan:
a. pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah
dikeluarkan oleh LPS; dan
b. pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar
proporsional kepemilikan pemegang saham pengendali terhadap
ekuitas bank pada posisi sesaat setelah pemegang saham
melakukan penyetoran modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31D ayat (1).
(2) Dalam hal setelah penggunaan hasil penjualan saham bank masih
ada sisa maka sisa hasil penjualan saham bank dibagi secara
proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama sesuai dengan
perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 31F
(1) LPS wajib menjual seluruh saham bank yang dimiliki oleh LPS dan
pemegang saham pengendali Bank Dalam Resolusi yang berdampak

23
sistemik paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan kepada LPS.
(2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan
tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS.
(3) Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara
yang dikeluarkan oleh LPS.
(4) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali
dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam
jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
LPS menjual saham Bank tanpa memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun berikutnya.

Pasal 31G
(1) LPS wajib menjual seluruh saham Bank yang dimiliki oleh LPS dan
pemegang saham pengendali Bank Dalam Resolusi yang berdampak
sistemik paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan
Bank Dalam Resolusi.
(2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan
tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS.
(3) Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara
yang dikeluarkan oleh LPS.
(4) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali
dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam
jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun berikutnya.
(6) Dalam hal ekuitas bank bernilai positif pada saat penyerahan kepada
LPS untuk penggunaan hasil penjualan saham bank dimaksud
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31B.
(7) Dalam hal ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat
penyerahan kepada LPS, pemegang saham lama tidak memiliki hak
atas hasil penjualan saham bank setelah penanganan.

Pasal 31H
Setelah segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan
kepentingan lain pada Bank beralih kepada LPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22A ayat (1), LPS melakukan tindakan:
a. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset
milik atau yang menjadi hak Bank dan/atau kewajiban Bank;
b. melakukan penyertaan modal sementara;
c. menjual atau mengalihkan aset Bank tanpa persetujuan nasabah

24
debitur dan/atau kewajiban Bank tanpa persetujuan nasabah
kreditur;
d. mengalihkan manajemen Bank kepada pihak lain;
e. melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank lain;
f. melakukan pengalihan kepemilikan Bank; dan/atau
g. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah
kontrak Bank yang mengikat Bank dengan pihak ketiga, yang menurut
LPS merugikan Bank.

Pasal 31I
(1) Bank Dalam Penyehatan yang menerima penempatan dana LPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A atau Bank Dalam Resolusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, yang merupakan emiten
atau perusahaan publik, dan diperintahkan oleh LPS dan/atau OJK
untuk:
a. melakukan penambahan modal disetor; dan/atau
b. melakukan transaksi tertentu yang memenuhi kriteria:
1. materialitas transaksi tertentu; dan/atau;
2. transaksi afiliasi dan/atau transaksi yang mengandung
benturan kepentingan,
dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal mengenai hak memesan efek terlebih dahulu,
transaksi material, transaksi afiliasi, dan/atau transaksi yang
mengandung benturan kepentingan.
(2) Tindakan LPS terhadap:
a. Bank Dalam Penyehatan yang menerima penempatan dana dari
LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A; atau
b. Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
yang merupakan emiten atau perusahaan publik dan mengakibatkan
LPS menjadi pengendali baru dari bank dimaksud, tidak wajib
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal mengenai pengambilalihan perusahaan terbuka dan
penawaran tender wajib.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku secara
mutatis mutandis bagi pihak lain yang diperintahkan LPS untuk
melakukan pengambilalihan pengendalian Bank.
(4) Dalam penanganan:
a. Bank Dalam Penyehatan yang menerima penempatan dana dari
LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; atau
b. Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b,
yang merupakan emiten atau perusahaan publik, kustodian wajib
melaksanakan perintah LPS untuk mengeluarkan efek dan/atau
dana yang tercatat pada rekening efek meskipun tidak terdapat
perintah tertulis dari pemegang rekening efek atau pihak yang diberi
wewenang oleh pemegang rekening efek untuk bertindak atas
namanya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai
pasar modal.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perintah LPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat disertai pembayaran dalam jumlah
yang diatur dalam Peraturan LPS.

Pasal 31J
(1) Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan aset yang diperoleh dari:
a. penempatan dana oleh LPS pada bank;
b. penyelesaian dan/atau penanganan Bank Dalam Resolusi;

25
dan/atau
c. penanganan bank dalam program restrukturisasi perbankan,
LPS dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dan/atau
penyertaan modal pada perusahaan pengelola aset.
(2) Badan hukum perusahaan pengelola aset sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berbentuk perseroan terbatas dan seluruh sahamnya
dimiliki oleh LPS.
(3) Terhadap perusahaan pengelola aset sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas
didirikan atau dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengelolaan
aset oleh perusahaan pengelola aset dan kerja sama dengan pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
LPS.

Pasal 31K
(1) Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil
pencairan dan/atau penagihan dilakukan dengan urutan:
a. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang
terutang;
b. penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai;
c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya
operasional kantor;
d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau
pembayaran atas klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh
LPS;
e. pajak yang terutang;
f. kewajiban kepada Bank Indonesia dalam rangka PLJP/PLJPS dan
operasi moneter serta kewajiban kepada LPS karena penempatan
dana LPS pada bank;
g. bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan
penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang
tidak dijamin; dan
h. hak dari kreditur lainnya.
(2) Segala biaya yang berkaitan dengan likuidasi dan tercantum dalam
daftar biaya likuidasi menjadi beban aset bank dalam likuidasi dan
dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya.
(3) Honorarium tim likuidasi yang termasuk salah satu komponen dalam
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
berpedoman pada Peraturan LPS.
(4) Apabila seluruh kewajiban Bank dalam likuidasi telah dibayarkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa hasil
likuidasi maka sisa diserahkan kepada pemegang saham lama.
(5) Apabila seluruh aset Bank telah habis dalam proses likuidasi dan
masih terdapat kewajiban Bank terhadap pihak lain, kewajiban
tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti
menyebabkan Bank menjadi Bank Dalam Resolusi.

Pasal 31L
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penanganan permasalahan solvabilitas bank selain
bank sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.

26
Pasal 31M
(1) Selain wewenang LPS dalam Undang-Undang mengenai pencegahan
dan penanganan krisis sistem keuangan, untuk menjalankan
program restrukturisasi perbankan, LPS juga dapat menggunakan
seluruh wewenang terkait dengan penanganan Bank.
(2) Ketentuan mengenai pengalihan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank kepada Bank Penerima atau Bank
Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan
Pasal 26 berlaku secara mutatis mutandis bagi pelaksanaan
wewenang LPS untuk menyelenggarakan program restrukturisasi
perbankan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan perpajakan untuk
mendukung pelaksanaan program restrukturisasi perbankan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

24. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33
(1) Penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
hanya dapat dilakukan apabila pemegang saham Bank Gagal telah
menyetor modal sekurang kurangnya 20% (dua puluh perseratus)
dari perkiraan biaya penanganan;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penanganan bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan LPS.

25. Pasal 34 dihapus.

26. Pasal 37 dihapus.

27. Pasal 38 dihapus.

28. Pasal 40 dihapus.

29. Pasal 41 dihapus.

30. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42
(1) Dalam hal ekuitas bank bernilai positif pada saat penyerahan kepada
LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, maka dalam
rangka penggunaan hasil penjualan saham bank dimaksud berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
(2) Dalam hal ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat
penyerahan kepada LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf a, pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil
penjualan saham bank setelah penanganan.

31. Pasal 49 dihapus.

32. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54
(1) Segala biaya yang berkaitan dengan likuidasi dan tercantum dalam
daftar biaya likuidasi menjadi beban aset bank dan perusahaan

27
perasuransian dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari
setiap hasil pencairannya.
(2) Honorarium tim likuidasi yang termasuk salah satu komponen dalam
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
berpedoman pada Peraturan LPS.
(3) Apabila seluruh kewajiban bank dan perusahaan perasuransian
dalam likuidasi telah dibayarkan, masih terdapat sisa hasil likuidasi,
maka sisa tersebut diserahkan kepada pemegang saham lama.
(4) Apabila seluruh aset bank dan perusahaan perasuransian telah habis
dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban bank dan
perusahaan perasuransian terhadap pihak lain, maka kewajiban
tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti
menyebabkan bank dan perusahaan perasuransian menjadi bank
dan perusahaan perasuransian gagal.

33. Pasal 62 dihapus.

34. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63
(1) Organ LPS berupa Dewan Komisioner.
(2) Dewan Komisioner adalah pimpinan LPS.
(3) Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan Dewan
Komisioner.
(4) Ketua Dewan Komisioner berwenang mewakili LPS di dalam dan di
luar pengadilan.
(5) Ketua Dewan Komisioner dapat mendelegasikan wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada anggota Dewan
Komisioner lain, dengan atau tanpa hak substitusi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan mengenai pendelegasian wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Ketua Dewan
Komisioner LPS.

35. Pasal 64 dihapus.

36. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65
(1) Anggota Dewan Komisioner berjumlah 7 (tujuh) orang.
(2) Calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d diseleksi dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Pemilihan dan penetapan calon anggota Dewan Komisioner
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan oleh
Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat:
a. paling singkat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan
anggota Dewan Komisioner; atau
b. paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal kekosongan jabatan atau
penetapan pemberhentian anggota Dewan Komisioner.
(4) Panitia Seleksi menetapkan nama calon yang telah lulus seleksi
administratif sebanyak 3 (tiga) orang calon untuk setiap anggota
Dewan Komisioner yang dibutuhkan paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak berakhirnya waktu pendaftaran calon.
(5) Calon anggota Dewan Komisoner yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

28
kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak ditetapkan.
(6) Alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
ekonomi dan keuangan melakukan uji kelayakan terhadap calon
Dewan Komisoner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
memilih calon anggota Dewan Komisioner sesuai dengan jumlah
anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan, paling lama 45 (empat
puluh lima) hari kerja sejak diterimanya nama-nama calon anggota
Dewan Komisioner dari panitia seleksi.

37. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66
(1) Salah seorang dari anggota Dewan Komisioner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf d, ditetapkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai Ketua Dewan Komisioner.
(2) Anggota Dewan Komisioner diangkat untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali untuk
masa jabatan berikutnya.
(3) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1) huruf d melakukan tugas secara penuh waktu dan tidak
diperbolehkan menduduki jabatan eksekutif di tempat lain, kecuali
merupakan penugasan sehubungan dengan jabatan yang dipegang
atau merupakan bagian dari kegiatan sosial.

38. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67
Calon anggota Dewan Komisioner harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik;
c. cakap melakukan perbuatan hukum;
d. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus
perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit;
e. sehat jasmani;
f. berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat ditetapkan;
g. mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan; dan
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau
lebih.

39. Pasal 69 dihapus.

40. Pasal 70 dihapus.

41. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72
(1) Pengambilan keputusan Dewan Komisioner dilakukan secara
musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tercapai, Ketua Dewan Komisioner menetapkan
keputusan akhir.

29
(3) Dalam hal anggota Dewan Komisioner mempunyai kepentingan
pribadi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat
menimbulkan benturan kepentingan dengan objek yang akan
diputuskan, yang bersangkutan tidak ikut dalam pengambilan
keputusan.
(4) Keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) sah apabila berdasarkan rapat Dewan Komisioner.
(5) Rapat Dewan Komisioner dinyatakan sah apabila dihadiri lebih dari
1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota Dewan Komisioner.
(6) Keputusan Dewan Komisioner mengikat seluruh anggota Dewan
Komisioner.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan
Dewan Komisioner diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner LPS.

42. Pasal 73 dihapus.

43. Di antara Pasal 74 dan Pasal 75 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 74A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74A
(1) Komisioner LPS menetapkan dan menegakkan kode etik LPS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan LPS.

44. Pasal 77 dihapus.

45. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78
(1) Dewan Komisioner menetapkan sistem kepegawaian, sistem
penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua,
serta penghasilan lainnya bagi pegawai LPS.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Dewan Komisioner.

46. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82
(1) Kekayaan LPS berbentuk investasi dan bukan investasi.
(2) Kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada
surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia, Bank
Indonesia, dan/atau pemerintah negara asing.
(3) Investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah
negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling banyak 10%
(sepuluh persen) dari total kekayaan LPS.
(4) Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat menempatkan investasi
pada bank atau perusahaan lainnya, kecuali dalam bentuk
penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan atau
penanganan Bank Dalam Resolusi dan penyertaan modal pada
perusahaan pengelola aset (asset management company).
(5) LPS dapat menempatkan kekayaan bukan investasi untuk kegiatan
operasional.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan besaran persentase
investasi pada surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

30
47. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85
Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut.

48. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86
(1) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku
mulai berlaku, Ketua Dewan Komisioner menyusun Rencana Kerja
dan Anggaran Tahunan dan menyampaikan kepada Dewan
Komisioner.
(2) Bersamaan dengan penyampaian Rencana Kerja dan Anggaran
Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Dewan
Komisioner menyampaikan evaluasi pelaksanaan anggaran tahun
berjalan kepada Dewan Komisioner.
(3) Rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Proses persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat yang membidangi ekonomi dan keuangan.
(5) Bentuk dan susunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Dewan Komisioner.

49. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 89A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89A
(1) Selain kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89,
LPS menyusun dan menyampaikan:
a. laporan keuangan semesteran; dan
b. laporan kegiatan triwulanan,
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Dalam melakukan tindakan resolusi kepada Bank Dalam Resolusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31C ayat (1), LPS wajib
menyusun laporan penanganan pengembalian aset, baik yang
dikelola sendiri maupun yang diserahkan ke badan hukum unit
pengelola aset.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diaudit
merupakan bagian dalam laporan tahunan LPS.

50. Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga
berbunyi sebagai berikut:

BAB XA
BADAN SUPERVISI LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Pasal 89B
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi Lembaga
Penjamin Simpanan yang selanjutnya disebut Badan Supervisi LPS.
(2) Badan Supervisi LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
membantu Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan fungsi
pengawasan di bidang tertentu terhadap LPS untuk meningkatkan

31
kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas
LPS.
(3) Untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Badan Supervisi LPS bertugas membantu Dewan Perwakilan
Rakyat dalam:
a. membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan Lembaga
Penjamin Simpanan;
b. melakukan monitoring untuk meningkatkan akuntabilitas,
independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan
Lembaga Penjamin Simpanan; dan
c. menyusun laporan kinerja.
(4) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Badan Supervisi LPS berwenang:
a. meminta penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata
kelola pelaksanaan tugas dan wewenang LPS;
b. menerima tembusan laporan pelaksanaan tugas dan wewenang
kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari LPS;
c. melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan
wewenang LPS;
d. meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan
sebagaimana huruf c yang berkaitan dengan tata kelola
pelaksanaan tugas dan wewenang LPS;
e. menerima tembusan laporan keuangan semesteran dan tahunan
dari LPS;
f. melakukan telahaan atas prosedur pengambilan keputusan
kegiatan operasional LPS;
g. menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai
kelembagaan LPS; dan
h. meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Komisioner Lembaga
Penjamin Simpanan atas telaahan sebagaimana dimaksud pada
huruf c dan f dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi LPS.
(5) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk
untuk:
a. menghadiri rapat Dewan Komisioner LPS;
b. menyatakan pendapat untuk mewakili LPS; dan
c. menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara langsung maupun
tidak langsung kepada publik.
(6) Badan Supervisi LPS membuat laporan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dan sewaktu-
waktu jika diperlukan.
(7) Anggaran Badan Supervisi LPS bersumber dari anggaran operasional
LPS.
(8) Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Badan Supervisi LPS
diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 89C
(1) Keanggotaan Badan Supervisi LPS berjumlah paling sedikit 5 (lima)
orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan
oleh anggotanya.
(2) Anggota Badan Supervisi LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
(3) Anggota Badan Supervisi LPS menjabat selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

32
(4) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi LPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
d. bukan pengurus partai politik;
e. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, pasar
modal, perasuransian, industri keuangan non-Bank, sistem
keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi,
dan/atau hukum;
f. tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga
dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner OJK; dan
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan; dan
h. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi
pengurus lembaga jasa keuangan/perusahaan yang
menyebabkan lembaga jasa keuangan/perusahaan tersebut pailit
atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 89D
(1) Anggota Badan Supervisi LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89C ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Badan Supervisi LPS memberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya
masa jabatan anggota Badan Supervisi LPS paling lambat 6 (enam)
bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat memulai proses pemilihan anggota Badan
Supervisi LPS terhitung sejak tanggal diterimanya surat
pemberitahuan dari Badan Supervisi LPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru,
paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan
anggota Badan Supervisi LPS yang lama.
(4) Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi LPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Panitia
Seleksi yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Anggota Badan Supervisi LPS yang dipilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Anggota Badan Supervisi LPS dilarang memiliki benturan
kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
tugas dan wewenangnya.
(7) Anggota Badan Supervisi LPS diberhentikan apabila:
a. meninggal dunia;
b. berhalangan tetap;
c. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
d. mengundurkan diri;
e. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana kejahatan;
f. tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
g. tidak melaksanakan atau lalai atau tidak menjalankan dengan
baik fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai peraturan
perundang-undangan; atau

33
h. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89C ayat (4).
(8) Pemberhentian anggota Badan Supervisi LPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(9) Dalam hal anggota Badan Supervisi LPS diberhentikan karena alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (8), pemilihan anggota Badan
Supervisi LPS pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(10) Anggota Badan Supervisi LPS pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (10) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan
Supervisi LPS yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa jabatan
anggota Badan Supervisi LPS yang digantikan.
(11) Penggantian anggota Badan Supervisi LPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (10) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota
Badan Supervisi LPS yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.

51. Pasal 92 dihapus.

Bagian Keempat
Otoritas Jasa Keuangan

Pasal 8
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253)
diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.
2. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yangmelaksanakan
kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya.
3. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan
syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
4. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran
Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan
dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan Efek sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai pasar modal.
5. Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor
usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan
menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi
memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa
asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang
tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha

34
reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang
menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi
dan jasa aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai usaha perasuransian.
6. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
7. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai lembaga pembiayaan.
8. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan
kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan
ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan,
dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga
jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
9. Peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan
Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
10. Peraturan Dewan Komisioner adalah peraturan tertulis yang
ditetapkan oleh Dewan Komisioner dan mengikat di lingkungan
internal OJK.
11. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
12. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai lembaga
penjamin simpanan.
13. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya
dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa
Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar
Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana
Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sector jasa
keuangan.
14. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.
15. Gubernur Bank Indonesia adalah pemimpin merangkap anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia.
16. Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
17. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan adalah
pemimpin merangkap anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan.
18. Komite Etik adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang
bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan
pegawai OJK terhadap kode etik.
19. Dewan Audit adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang
bertugas melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas OJK serta
menyusun standar audit dan manajemen risiko OJK.
20. Panitia Seleksi adalah panitia yang dibentuk oleh Presiden yang
bertugas untuk memilih dan menetapkan calon anggota Dewan
Komisioner untuk disampaikan kepada Presiden.

35
21. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
22. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan adalah forum
koordinasi yang dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan
yang anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan selaku koordinator
merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua
Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota, dan
Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.

2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK.
(2) OJK merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara
tegas diatur dengan Undang-Undang.

3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5
Dalam rangka mencapai tujuan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, OJK berfungsi:
a. menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan;
b. memelihara Stabilitas Sistem Keuangan secara aktif sesuai dengan
kewenangannya; dan
c. memberikan pelindungan terhadap konsumen dan masyarakat.

4. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A


sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6A
Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK
bertugas:
a. mengatur dan melakukan pengawasan terintegrasi di sektor keuangan
serta melakukan asesmen dampak sistemik konglomerasi keuangan;
b. mendukung pelaksanaan kebijakan makroprudensial sesuai dengan
kewenangannya;
c. melaksanakan pengembangan sektor keuangan; dan
d. menetapkan kepailitan dan/atau penundaan pembayaran utang dari
debitor yang merupakan penyedia jasa di sektor perbankan, Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

5. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 8A dan
Pasal 8B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A
(1) Selain kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, OJK
berwenang:
a. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan
untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
integrasi, dan/atau konversi;
b. menetapkan pengecualian bagi pihak tertentu dari kewajiban
melakukan prinsip keterbukaan di bidang pasar modal dalam
rangka pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan;
dan

36
c. menetapkan kebijakan mengenai pemanfaatan teknologi
informasi dalam penyelenggaraan RUPS atau rapat lain yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
wajib dilakukan oleh pelaku industri jasa keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan OJK
dalam rangka melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 8B
(1) OJK merupakan satu-satunya Pihak yang berwenang mengajukan
permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang dari debitor.
(2) Debitor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bank,
perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga
kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek,
lembaga penilaian harga efek, perusahaan perasuransian, dana
pensiun, lembaga penjamin, lembaga pembiayaan, lembaga
keuangan mikro, penyelenggara layanan urun dana, penyelenggara
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau
lembaga jasa keuangan lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh OJK
sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda
dengan Undang-Undang lainnya.

6. Penjelasan Pasal 9 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.

7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10
(1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.
(2) Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan Dewan
Komisioner.
(3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdiri atas:
a. seorang Ketua merangkap anggota;
b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap
anggota;
c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap
anggota;
d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap
anggota;
e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian dan dana
pensiun;
f. seorang Kepala Eksekutif Pengawas lembaga pembiayaan, modal
ventura, financial technology, koperasi dan lembaga jasa keuangan
lainnya;
g. seorang Kepala Eksekutif Pengawas bidang penegakan hukum;
h. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota; dan
i. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan
Konsumen.
(5) Ketua Dewan Komisioner mengoordinasikan pengawasan terintegrasi
di sektor keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1)
huruf a.

37
(6) Kepala Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c
sampai dengan huruf g memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan
jasa keuangan.
(7) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b sampai dengan huruf i melaporkan pelaksanaan tugasnya
kepada Ketua Dewan Komisioner.

8. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11
(1) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) diseleksi dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Dalam rangka pemilihan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Dewan Pemilihan Rakyat membentuk Panitia Seleksi.
(3) Panitia Seleksi mengumumkan penerimaan calon anggota Dewan
Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditetapkannya Panitia Seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pendaftaran calon anggota Dewan Komisioner dilakukan dalam
waktu 12 (dua belas) hari kerja secara terus menerus.
(5) Panitia Seleksi melakukan seleksi administratif terhadap calon
anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(6) Panitia Seleksi mengumumkan nama calon yang telah lulus seleksi
administratif sebanyak 3 (tiga) orang calon untuk setiap anggota
Dewan Komisioner yang dibutuhkan untuk mendapatkan masukan
dari masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berakhirnya
waktu pendaftaran calon sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
ekonomi dan keuangan melakukan uji kelayakan terhadap calon
Dewan Komisoner sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk
memilih calon anggota Dewan Komisioner sesuai dengan jumlah
anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan, paling lama 45 (empat
puluh lima) hari kerja sejak diterimanya nama-nama calon anggota
Dewan Komisioner dari panitia seleksi.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota calon
Dewan Komisoner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

9. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12
(1) Calon anggota Dewan Komisioner terpilih disampaikan Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Presiden paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak selesainya proses pemilihan calon anggota Dewan Komisioner
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (8).
(2) Presiden mengangkat dan menetapkan calon terpilih sebagai anggota
Dewan Komisioner paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal diterimanya nama calon anggota Dewan Komisioner
terpilih dari Dewan Perwakilan Rakyat.

10. Pasal 13 dihapus.

38
11. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24
(1) Pengambilan keputusan Dewan Komisioner dilakukan secara
musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan
berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, ketua Dewan
Komisioner menetapkan keputusan akhir.
(4) Dalam hal anggota Dewan Komisioner mempunyai kepentingan
pribadi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat
menimbulkan benturan kepentingan dengan objek yang akan
diputuskan, yang bersangkutan tidak ikut dalam pengambilan
keputusan.
(5) Keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) sah apabila berdasarkan rapat Dewan Komisioner.
(6) Rapat Dewan Komisioner dinyatakan sah apabila dihadiri lebih dari
1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota Dewan Komisioner.
(7) Keputusan Dewan Komisioner mengikat seluruh anggota Dewan
Komisioner.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan
Dewan Komisioner diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner OJK.

12. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25
(1) Ketua Dewan Komisioner berwenang mewakili OJK di dalam dan di
luar pengadilan.
(2) Ketua Dewan Komisioner dapat mendelegasikan wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wakil Ketua Dewan
Komisioner dan/atau anggota Dewan Komisioner lain, dengan atau
tanpa hak substitusi, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Ketua
Dewan Komisioner OJK.

13. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38
(1) OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan
keuangan semesteran dan tahunan.
(2) OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan
kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan.
(3) Laporan kegiatan triwulanan dan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memuat pula laporan capaian kinerja OJK dan capaian
kinerja masing-masing anggota Dewan Komisioner secara rinci dan
lengkap.
(4) Dalam hal DPR memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan
laporan.
(5) Periode laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dimulai pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

39
14. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 38A
yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38A
(1) OJK wajib menyampaikan:
a. laporan keuangan semesteran dan tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1); dan
b. laporan kegiatan triwulanan dan laporan kegiatan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2),
kepada Presiden dan DPR dengan ditembuskan kepada Dewan
Pengawas OJK.
(2) Untuk penyusunan laporan keuangan semesteran dan tahunan,
Dewan Komisioner menetapkan standar dan kebijakan akuntansi
OJK.
(3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau kantor akuntan
publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(4) OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK kepada publik
melalui media cetak dan media elektronik.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan
laporan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2),
serta tata cara, bentuk, dan susunan laporan yang diumumkan
kepada publik diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner OJK.

15. Di antara Bab IX dan Bab X disisipkan 1 (satu) Bab yakni Bab IXA yang
berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA
BADAN SUPERVISI OTORITAS JASA KEUANGAN

16. Di antara Pasal 89A dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
89B, Pasal 89C, dan Pasal 89D sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89B
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi OJK.
(2) Badan Supervisi OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
membantu Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan fungsi
pengawasan di bidang tertentu terhadap OJK untuk meningkatkan
kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas
OJK.
(3) Untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Badan Supervisi OJK bertugas membantu Dewan Perwakilan
Rakyat dalam:
a. membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan OJK;
b. melakukan monitoring untuk meningkatkan akuntabilitas,
independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan OJK;
dan
c. menyusun laporan kinerja.
(4) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Badan Supervisi OJK berwenang:
a. meminta penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata
kelola pelaksanaan tugas dan wewenang OJK;
b. menerima tembusan laporan pelaksanaan tugas dan wewenang
kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari OJK;
c. melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan
wewenang OJK;

40
d. meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan
sebagaimana huruf c yang berkaitan dengan tata kelola
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK;
e. menerima tembusan laporan keuangan semesteran dan tahunan
dari OJK;
f. melakukan telahaan atas prosedur pengambilan keputusan
kegiatan operasional OJK;
g. menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai
kelembagaan OJK; dan
h. meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Komisioner OJK atas
telaahan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan f dalam rapat
bersama dengan Badan Supervisi OJK.
(5) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk
untuk:
a. menghadiri rapat Dewan Komisioner OJK;
b. menyatakan pendapat untuk mewakili OJK; dan
c. menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara langsung maupun
tidak langsung kepada publik.
(6) Badan Supervisi OJK membuat laporan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dan sewaktu-
waktu jika diperlukan.
(7) Anggaran Badan Supervisi OJK bersumber dari anggaran operasional
OJK.
(8) Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Badan Supervisi OJK
diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 89C
(1) Keanggotaan Badan Supervisi OJK berjumlah paling sedikit 5 (lima)
orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan
oleh anggotanya.
(2) Anggota Badan Supervisi OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
(3) Anggota Badan Supervisi OJK menjabat selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
d. bukan pengurus partai politik;
e. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, pasar
modal, perasuransian, industri keuangan non-Bank, sistem
keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi,
dan/atau hukum;
f. tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga
dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner OJK; dan
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan; dan
h. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi
pengurus lembaga jasa keuangan/perusahaan yang
menyebabkan lembaga jasa keuangan/perusahaan tersebut pailit
atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang

41
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 89D
(1) Anggota Badan Supervisi OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89C ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Badan Supervisi OJK memberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya
masa jabatan anggota Badan Supervisi OJK paling lambat 6 (enam)
bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat memulai proses pemilihan anggota Badan
Supervisi OJK terhitung sejak tanggal diterimanya surat
pemberitahuan dari Badan Supervisi OJK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru,
paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan
anggota Badan Supervisi OJK yang lama.
(4) Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Panitia
Seleksi yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Anggota Badan Supervisi OJK yang dipilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Anggota Badan Supervisi OJK dilarang memiliki benturan
kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
tugas dan wewenangnya.
(7) Anggota Badan Supervisi OJK diberhentikan apabila:
a. meninggal dunia;
b. berhalangan tetap;
c. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
d. mengundurkan diri;
e. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana kejahatan;
f. tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
g. tidak melaksanakan atau lalai atau tidak menjalankan dengan
baik fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai peraturan
perundang-undangan; atau
h. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89C ayat (4).
(8) Pemberhentian anggota Badan Supervisi OJK sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(9) Dalam hal anggota Badan Supervisi OJK diberhentikan karena alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (8), pemilihan anggota Badan
Supervisi OJK pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(10) Anggota Badan Supervisi OJK pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan
Supervisi OJK yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa
jabatan anggota Badan Supervisi OJK yang digantikan.
(11) Penggantian anggota Badan Supervisi OJK sebagaimana dimaksud
pada ayat (10) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota
Badan Supervisi OJK yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.

42
17. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56
(1) Paling lama 8 (delapan) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan, Presiden mengangkat dan menetapkan anggota dewan
komisioner untuk pertama kali dengan susunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) sesuai dengan tata cara
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (3) sampai dengan
ayat (9), Pasal 12 ayat (6), dan Pasal 14.
(2) Anggota dewan komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g diangkat untuk masa jabatan
5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(3) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku 2 (dua) orang anggota
dewan komisoner OJK yang sedang menjabat diakhiri masa
jabatannya 1 (satu) tahun sebelum selesai masa jabatannya.
(4) Dengan berakhirnya masa jabatan 2 (dua) anggota dewan komisioner
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan seleksi dan
pemilihan anggota dewan komisioner dan diangkat dengan masa
jabatan 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Paling lama 60 (enam puluh) hari sejak Undang-Undang ini
diundangkan, Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Panitia Seleksi
calon anggota dewan komisioner untuk pertama kali dengan
keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).
(6) Dewan Perwakilan Rakyat memilih calon anggota Dewan Komisioner
sesuai dengan jumlah anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan,
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya nama-nama calon
anggota Dewan Komisioner dari Presiden.
(7) Calon anggota Dewan Komisioner terpilih disampaikan Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Presiden paling lama 7 (tujuh) hari sejak
selesainya proses pemilihan calon anggota Dewan Komisioner
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Bagian Kelima
Bank Indonesia

Pasal 9
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4
(1) Bank Indonesia merupakan Bank Sentral Republik Indonesia.
(2) Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal tertentu yang
secara tegas diatur dengan Undang-Undang ini.

43
(3) Bank Indonesia merupakan badan hukum berdasarkan Undang-
Undang ini.

2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


3.
Pasal 7
Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai rupiah,
memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga Stabilitas
Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.

4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank
Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, dan transparan;
b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial.

5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9
(1) Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan
terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas
diatur dengan Undang-Undang ini.
(2) Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk
campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11
(1) Bank Indonesia mengelola likuiditas untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
(2) Pengelolaan likuiditas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui pembelian atau penjualan SBN
dan/atau sekuritas berharga lain di pasar keuangan, penempatan
dana pada lembaga keuangan, pembelian surat berharga negara pada
pasar perdana dalam keadaan tertentu, kebijakan giro wajib
minimum, fasilitas pendanaan jangka pendek, bauran kebijakan
moneter, dan/atau instrumen kebijakan moneter lainnya.
(3) Pengelolaan likuiditas Bank Indonesia tetap mengutamakan
pencapaian tujuan untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah dan
kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dan
memperhatikan kondisi makro ekonomi.
(4) Pengelolaan likuiditas Bank Indonesia dilaksanakan dengan
berkoordinasi bersama pemerintah, OJK, dan LPS sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(5) Tata kelola pengelolaan likuiditas Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan memenuhi prinsip

44
cermat, tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, dan
akuntabililas.

7. Pasal 24 dihapus.

8. Pasal 25 dihapus.

9. Pasal 26 dihapus.

10. Pasal 27 dihapus.

11. Pasal 28 dihapus.

12. Pasal 29 dihapus.

13. Pasal 30 dihapus.

14. Pasal 31 dihapus.

15. Pasal 32 dihapus.

16. Pasal 33 dihapus.

17. Pasal 34 dihapus.

18. Pasal 35 dihapus.

19. Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIA
sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB VIA
TUGAS MENETAPKAN DAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN
MAKROPRUDENSIAL

20. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A
dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35A
Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan
makroprudensial untuk mendorong terpeliharanya SSK melalui upaya
membatasi dan mencegah peningkatan risiko sistemik, dengan mendorong
intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan;
meningkatkan ketahanan sistem keuangan; serta meningkatkan inklusi
ekonomi dan keuangan.

Pasal 35B
(1) Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan
makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c,
Bank Indonesia berwenang melakukan:
a. pengaturan makroprudensial;
b. pengawasan makroprudensial;
c. pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan
keuangan berkelanjutan;
d. penyediaan dana dalam rangka menjalankan fungsi lender of the
last resort; dan

45
e. koordinasi dengan otoritas terkait.
(2) Kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dan ditetapkan terhadap Sistem Keuangan
konvensional dan syariah.

21. Di antara Bab VIA dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIB
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VIB
TUGAS MENETAPKAN KEPAILITAN

22. Di antara Pasal 35B dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal
35C dan Pasal 35D sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35C
(1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya Pihak yang berwenang
mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang dari debitor yang
merupakan penyedia jasa pembayaran dan penyelenggara
infrastruktur sistem pembayaran, penyelenggara jasa pengolahan
uang rupiah, perusahaan pialang pasar uang, penyedia electronic
trading platform (market operator), central counterparty untuk
transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar over-the-counter, atau
lembaga lainnya yang diberikan izin dan/atau penetapan oleh Bank
Indonesia, sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak
diatur berbeda dengan undang-undang lainnya.
(2) Dalam hal aparat penegak hukum melakukan upaya pembekuan aset
terhadap produk investasi industri jasa keuangan yang mempunyai
permasalahan hukum dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap,
tidak bisa membekukan keseluruhan aset dan berkordinasi dengan
otoritas kecuali aset yang berhubungan dengan perkara yang ada.

Pasal 35D
(1) Terhadap debitor yang merupakan penerbit uang elektronik,
kepailitan tidak meliputi dana yang telah dipisahkan oleh penerbit
guna memenuhi kewajiban penerbit kepada pengguna dan/atau
penyedia barang dan/atau jasa dalam penyelenggaraan uang
elektronik.
(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan
sepenuhnya untuk memenuhi kewajiban penerbit kepada pengguna
dan/atau penyedia barang dan/atau jasa dalam penyelenggaraan
uang elektronik.

23. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38A
(1) Dewan Gubernur menetapkan dan menegakkan kode etik Bank
Indonesia.
(2) Deputi Gubernur Senior bertindak sebagai Ketua Komite Kode Etik
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Gubernur.

24. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 41
(1) Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan
dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.

46
(2) Untuk setiap jabatan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden
menyampaikan paling sedikit 2 (dua) orang calon kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Proses persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat yang membidangi ekonomi dan keuangan.
(4) Calon Deputi Gubernur diusulkan oleh Presiden berdasarkan
rekomendasi dari Gubernur.
(5) Dalam hal calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib mengajukan calon baru.
(6) Dalam hal calon yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) untuk kedua kalinya tidak disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur,
Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang
sama, atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
mengangkat Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur untuk
jabatan yang lebih tinggi di dalam struktur jabatan Dewan Gubernur
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4).
(7) Anggota Dewan Gubernur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali dalam jabatan yang sama untuk
paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan berikutnya.
(8) Penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa
jabatannya dilakukan secara berkala setiap tahun paling banyak 2
(dua) orang.

25. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 47
(1) Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama
dilarang:
a. mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung pada
perusahaan mana pun juga; dan/atau
b. merangkap jabatan pada lembaga lain kecuali karena
kedudukannya wajib memangku jabatan tersebut.
(2) Dalam hal Anggota Dewan Gubernur melakukan larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (l), anggota Dewan Gubernur
tersebut wajib mengundurkan diri dari jabatannya.

26. Ketentuan Pasal 58A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 58A
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi Bank
Indonesia yang selanjutnya disebut Badan Supervisi BI.
(2) Badan Supervisi BI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
membantu Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan fungsi
pengawasan di bidang tertentu terhadap BI untuk meningkatkan
kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas
Bank Indonesia.
(3) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Badan Supervisi BI bertugas:
a. membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan Bank Indonesia;
dan
b. melakukan monitoring untuk meningkatkan akuntabilitas,
independensi, dan kredibilitas kelembagaan Bank Indonesia.

47
(4) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Badan Supervisi BI berwenang:
a. meminta penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata
kelola pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia;
b. menerima tembusan laporan pelaksanaan tugas dan wewenang
kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari Bank
Indonesia;
c. melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan
wewenang Bank Indonesia;
d. meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan
sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang berkaitan dengan tata
kelola pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia;
e. menerima tembusan laporan keuangan semesteran dan tahunan
dari Bank Indonesia;
f. melakukan telahaan atas prosedur pengambilan keputusan
kegiatan operasional Bank Indonesia;
g. menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai
kelembagaan Bank Indonesia; dan
h. meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Gubernur Bank
Indonesia atas telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c
dan huruf f dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi BI.
(5) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk
untuk:
a. menghadiri rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia;
b. menyatakan pendapat untuk mewakili Bank Indonesia; dan
c. menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara langsung maupun
tidak langsung kepada publik.
(6) Badan Supervisi BI membuat laporan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dan sewaktu-
waktu jika diperlukan.
(7) Anggaran Badan Supervisi BI bersumber dari anggaran operasional
BI.
(8) Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Badan Supervisi BI
diatur dalam Peraturan Presiden.

27. Di antara Pasal 58A dan Pasal 59 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 58B
dan Pasal 58C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58B
(1) Keanggotaan Badan Supervisi BI berjumlah paling sedikit 5 (lima)
orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan
oleh anggotanya.
(2) Anggota Badan Supervisi BI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
(3) Anggota Badan Supervisi BI menjabat selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi BI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
d. bukan pengurus partai politik;
e. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, pasar
modal, perasuransian, industri keuangan non-Bank, sistem

48
keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi,
dan/atau hukum;
f. tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga
dan/atau semenda dengan anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan; dan
h. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi
pengurus lembaga jasa keuangan/perusahaan yang
menyebabkan lembaga jasa keuangan/perusahaan tersebut pailit
atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 58C
(1) Anggota Badan Supervisi BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89C
ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Badan Supervisi BI memberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya
masa jabatan anggota Badan Supervisi BI paling lambat 6 (enam)
bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat memulai proses pemilihan anggota Badan
Supervisi BI terhitung sejak tanggal diterimanya surat
pemberitahuan dari Badan Supervisi BI sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru,
paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan
anggota Badan Supervisi BI yang lama.
(4) Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi BI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Panitia
Seleksi yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Anggota Badan Supervisi BI yang dipilih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Anggota Badan Supervisi BI dilarang memiliki benturan kepentingan
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tugas dan
wewenangnya.
(7) Anggota Badan Supervisi BI diberhentikan apabila:
a. meninggal dunia;
b. berhalangan tetap;
c. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
d. mengundurkan diri;
e. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana kejahatan;
f. tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
g. tidak melaksanakan atau lalai atau tidak menjalankan dengan
baik fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; atau
h. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58B ayat (4).
(8) Pemberhentian anggota Badan Supervisi BI sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(9) Dalam hal anggota Badan Supervisi BI diberhentikan karena alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemilihan anggota Badan
Supervisi BI pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

49
(10) Anggota Badan Supervisi BI pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan
Supervisi BI yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa jabatan
anggota Badan Supervisi BI yang digantikan.
(11) Penggantian anggota Badan Supervisi BI sebagaimana dimaksud
pada ayat (10) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota
Badan Supervisi BI yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.

28. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga Pasal 60 berbunyi sebagai berikut:


Pasal 60
(1) Tahun anggaran Bank Indonesia adalah tahun kalender.
(2) Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum dimulai tahun anggaran,
Dewan Gubernur menetapkan anggaran tahunan Bank Indonesia.
(3) Anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. anggaran untuk kegiatan operasional; dan
b. anggaran untuk kebijakan moneter dan sistem pembayaran..
(4) Anggaran kegiatan operasional dan anggaran untuk kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta evaluasi pelaksanaan
anggaran tahun berjalan disampaikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan.
(5) Proses persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat yang membidangi ekonomi dan keuangan.
(6) Anggaran untuk kebijakan moneter dan sistem pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib dilaporkan secara
khusus kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

29. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 62
(1) Surplus dari hasil kegiatan Bank Indonesia akan dibagi sebagai
berikut:
a. cadangan tujuan; dan
b. cadangan umum.
(2) Cadangan tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditentukan besarannya setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Sisa dari surplus yang sudah dikurangi cadangan tujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipupuk sebagai Cadangan
Umum sehingga jumlah modal dan Cadangan Umum menjadi 10%
(sepuluh perseratus) dari seluruh kewajiban moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(4) Dalam hal terjadi risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank
Indonesia yang mengakibatkan modal Bank Indonesia menjadi
berkurang dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah),
sebagian atau seluruh surplus tahun berjalan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan untuk Cadangan
Umum guna menutup risiko.
(5) Dalam hal setelah dilakukan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) jumlah modal Bank Indonesia masih kurang dari
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah), Pemerintah wajib
menutup kekurangan tersebut yang dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Sisa surplus setelah dikurangi pembagian sebagaimana diatur pada
ayat (1) diserahkan kepada Pemerintah.

50
30. Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga
berbunyi sebagai berikut:
BAB XA
KERAHASIAAN INFORMASI

31. Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64A
(1) Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat
sebagai anggota Dewan Gubernur, pejabat atau pegawai Bank
Indonesia dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi
apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam
rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan
keputusan Bank Indonesia atau diwajibkan oleh Undang-Undang.
(2) Setiap Orang yang bertindak untuk dan atas nama Bank Indonesia,
atau yang dipekerjakan di Bank Indonesia, dilarang menggunakan
atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada
pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan Bank Indonesia atau
diwajibkan oleh Undang-Undang.
(3) Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia, baik
karena kedudukannya, profesinya, sebagai pihak yang diawasi,
maupun hubungan apa pun dengan Bank Indonesia, dilarang
menggunakan atau mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak
lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan Bank Indonesia atau
diwajibkan oleh Undang-Undang.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) dapat dikenai sanksi administratif dan/atau
sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerahasiaan, penggunaan, dan
pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Dewan Gubernur.

32. Pasal 70 dihapus.

Pasal 10
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 2
(1) Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah.
(2) Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas, Rupiah logam, dan Rupiah
digital.
(3) Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimbolkan dengan Rp.

2. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1) Penerbitan Rupiah digital dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Perencanaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah.

51
(3) Penerbitan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan aspek:
a. kondisi moneter;
b. kepraktisan sebagai alat pembayaran;
c. pengendalian likuiditas;
d. pengendalian inflasi;
e. keseimbangan jumlah uang yang beredar;
f. keamanan sistem data dan informasi;
g. mitigasi risiko fraud;
h. perlindungan data masyarakat; dan
i. kebutuhan masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan rupiah digital
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia.

Bagian Keenam
Pengembangan Sektor Keuangan

Pasal 11
(1) Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS melaksanakan
pengembangan sektor keuangan.
(2) Dalam melaksanakan pengembangan sektor keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan koordinasi dan dapat melibatkan kementerian/lembaga yang
lain.

Bagian Ketujuh
Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme

Pasal 12
(1) Pelaku Usaha Sektor Keuangan wajib mengidentifikasi, menilai, dan
memahami risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana
Pendanaan Terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis,
produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi.
(2) Pelaku Usaha Sektor Keuangan wajib memiliki kebijakan, pengawasan,
dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan, pengawasan, dan prosedur
pengelolaan dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB IV
PERBANKAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 13
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan di sektor perbankan, perbankan syariah, dan pembayaran klaim
penjaminan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau
menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali

52
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); dan
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516).

Bagian Kedua
Perbankan

Pasal 14
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 1
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
2. Bank adalah badan usaha yang dimiliki oleh Negara atau swasta yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
3. Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
4. Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu
lintas giral secara langsung.
5. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada
bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro,
deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu.

53
6. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah
pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
7. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah
Penyimpan dengan bank.
8. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang
sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
9. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
10. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham,
obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan
lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim
diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.
11. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
12. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil.
13. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang
modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau
dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
14. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau
kontrak antara Bank Umum dan penitip, dengan ketentuan Bank
Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas
harta tersebut.
15. Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank
Umum untuk mewakili kepentingan pemegang surat berharga
berdasarkan perjanjian antara Bank Umum dengan emiten surat
berharga yang bersangkutan;
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
17. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di
Bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan
nasabah yang bersangkutan.
18. Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan
nasabah yang bersangkutan.
19. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung
bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan.

54
20. Bank Indonesia adalah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai Bank Indonesia.
21. Pihak Terafiliasi adalah:
a. pihak yang mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan
dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal
maupun vertikal, dengan direksi, komisaris, pemegang saham
pengendali, atau pegawai;
b. pihak yang memberikan jasa kepada Bank, antara lain dewan
pengawas syariah, kantor akuntan publik, penilai, dan konsultan
hukum; dan/atau
c. pihak yang mengendalikan atau dikendalikan Bank, baik
langsung maupun tidak langsung.
22. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit; atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
23. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah
lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
24. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang
telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank
yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
25. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank
atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank
baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank
yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.
26. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham
Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank
tersebut.
27. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
28. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah
lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di
sektor jasa keuangan.

2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 6
(1) Kegiatan usaha Bank Umum meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan
berupa Tabungan, Giro, Deposito berjangka, Sertifikat Deposito,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan;
b. menyalurkan dana dalam bentuk kredit atau pembiayaan;
c. menyelenggarakan transfer dana untuk kepentingan sendiri
maupun nasabah;
d. menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank
lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain, baik dengan
menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan
wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
e. menerbitkan dan melaksanakan transaksi surat berharga untuk
kepentingan bank dan/ atau nasabahnya;
f. melakukan kegiatan penitipan barang dan surat berharga;

55
g. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; dan
h. melakukan kegiatan lainnya dengan izin OJK sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Bank Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 7
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Bank Umum dapat:
a. melakukan kegiatan penyertaan modal pada lembaga jasa keuangan
dan/atau perusahaan lain yang mendukung industri perbankan
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh OJK;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara di luar lembaga
keuangan untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau pembiayaan,
dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
c. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dana
pensiun; dan/atau
d. melakukan kerja sama dengan selain lembaga jasa keuangan dalam
pemberian layanan jasa keuangan kepada nasabah.

4. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan
Pasal 7B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan Pasal 7, Bank dapat memanfaatkan teknologi informasi.
(2) Dalam rangka mendorong pemanfaatan teknologi informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dapat membuka akses
data dan informasi nasabah kepada penyelenggara keuangan lainnya
termasuk penyelenggara ITSK berdasarkan persetujuan dan untuk
kepentingan nasabah melalui sistem atau aplikasi tertentu.
(3) Pelaksanaan pembukaan akses data dan informasi nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan
kerahasiaan bank.
(4) Ketentuan mengenai persetujuan nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK dan Peraturan Bank
Indonesia.
Pasal 7B
(1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan Pasal 7, Bank Umum dapat beroperasi sebagai bank
digital.
(2) Bank umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki 1
(satu) kantor fisik sebagai kantor pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bank digital diatur dalam Peraturan
OJK.

5. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A


sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
Dalam hal Bank Indonesia melakukan penyesuaian suku bunga, Bank
umum wajib melakukan penyesuaian ambang batas suku bunga kredit
Perbankan yang diatur dengan Peraturan OJK.

56
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Bank Umum dilarang:
a. melakukan penyertaan modal di luar lembaga keuangan kecuali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
b. melakukan usaha perasuransian, kecuali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7; dan
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

7. Ketentuan Pasal 12A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 12A
(1) Dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya, Bank
Umum dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui
pelelangan maupun di luar pelelangan.
(2) Bank Umum harus memperhitungkan harga pembelian Agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban Nasabah
Bank Umum yang bersangkutan.
(3) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Umum,
selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada
Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang
langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan
Peraturan OJK.

8. Di antara Pasal 12A dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
12B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12B
(1) Bank Umum dan Bank Umum Syariah wajib menyalurkan kredit atau
pembiayaan paling sedikit 20% (dua puluh persen) untuk sektor
produktif, usaha mikro, kecil, dan menengah.
(2) Dalam penyaluran kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Umum dan Bank Umum Syariah memperhatikan
pemerataan antar daerah.

9. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 13
(1) Kegiatan usaha BPR meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
berupa Tabungan dan Deposito Berjangka dan/atau bentuk
lainnya yang dipersamakan;
b. menyalurkan dana dalam bentuk kredit atau pembiayaan;
c. melakukan kegiatan transfer dana baik untuk kepentingan
sendiri maupun kepentingan nasabah;
d. menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank
lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain;
e. melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing;
f. melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR
sesuai dengan pembatasan yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan;
g. melakukan kerja sama dengan selain lembaga jasa keuangan
dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada nasabah; dan
h. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh OJK dan Bank
Indonesia.

57
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK dan Peraturan
Bank Indonesia.

10. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13, BPR dapat memanfaatkan teknologi informasi.

11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 14
BPR dilarang:
a. menerima simpanan berupa Giro;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing selain kegiatan usaha
penukaran valuta asing;
c. melakukan penyertaan modal kecuali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13A;
d. membeli surat berharga;
e. melakukan usaha perasuransian; dan/atau
f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Pasal 13A.

12. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 12A
berlaku juga bagi BPR.

13. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1) Bank Umum dapat bekerjasama dengan BPR dalam penyaluran
kredit atau pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama Bank Umum dan BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

14. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16A
(1) Persyaratan izin pendirian Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ditentukan oleh OJK.
(2) Setiap Orang wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk memperoleh izin kegiatan usaha Bank sesuai
dengan Struktur Bank yang diajukan.
(3) Struktur Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pengelompokan Bank yang memenuhi aspek kesehatan Bank
berdasarkan pada:
a. aspek permodalan;
b. kegiatan usaha;
c. wilayah operasional Bank; dan
d. aspek lainnya,
yang mengacu kepada kepentingan ekonomi nasional.
(4) Dalam hal Bank melakukan perubahan Struktur Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib mendapatkan izin dari OJK.

58
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam
Peraturan OJK.

15. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 18
(1) Setiap Bank wajib memiliki kantor pusat yang berkedudukan di
wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
(2) Bank dapat melakukan kegiatan usaha melalui jaringan kantor fisik
dan/atau melalui jaringan teknologi informasi.
(3) Persyaratan dan tata cara pembukaan, penutupan, dan perubahan
jaringan kantor Bank ditetapkan oleh OJK.

16. Pasal 19 dihapus.

17. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19A
(1) BPR memiliki jaringan kantor dalam wilayah yang terbatas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan wilayah jaringan kantor
BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
OJK.

18. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 20
(1) Pembukaan kantor cabang dan kantor perwakilan Bank yang
berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin
OJK.
(2) Persyaratan dan tata cara pembukaan, penutupan, dan perubahan
jaringan kantor dari kantor cabang Bank yang berkedudukan di luar
negeri ditetapkan oleh OJK.

19. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 20A
dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20A
(1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian termasuk manajemen
risiko dalam melakukan kegiatan usahanya.
(2) Bank wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan
prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 20B
(1) Bank wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan
kewajaran dalam melakukan kegiatan usaha.
(2) Bank wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan
prinsip tata kelola Bank yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana
dimaksud pada (1) diatur dengan Peraturan OJK.

20. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 21
(1) Bentuk badan hukum Bank Umum adalah Perseroan Terbatas.
(2) Bentuk badan hukum BPR adalah Perseroan Terbatas.

59
(3) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang Bank yang
berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor
pusatnya.

21. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 23
(1) BPR didirikan oleh
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia.
(2) BPR dapat melakukan penawaran umum di bursa efek dengan syarat
ketentuan yang diatur oleh OJK.
(3) Ketentuan mengenai pendirian BPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

22. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 28
(1) Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan Bank
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan Bank
wajib mendapat izin dari OJK dan LPS.
(3) Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dapat
melakukan konversi atau integrasi menjadi bank dengan badan
hukum Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
dan pemisahan Bank serta konversi atau integrasi diatur dalam
Peraturan OJK dan Peraturan LPS.

23. Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28A
(1) BPR dapat melakukan Penggabungan dengan LKM.
(2) Dalam hal terjadi Penggabungan antara BPR dengan LKM, entitas
hasil penggabungan tersebut wajib menjadi BPR.
(3) Ketentuan mengenai Penggabungan BPR dengan LKM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK.

24. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 29
(1) OJK melakukan pengaturan terhadap bank.
(2) OJK melakukan pengawasan terhadap bank secara langsung dan
tidak langsung.
(3) Bank wajib mematuhi dan/atau melaksanakan tindak lanjut
pengawasan OJK.
(4) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan Bank serta aspek terkait
tingkat kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan yang
ditetapkan oleh OJK.

25. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29A
(1) Bank wajib memenuhi rasio kecukupan modal minimum Bank sesuai
dengan tingkat risiko Bank.
(2) Rasio kecukupan modal minimum Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia dan LPS.

60
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rasio kecukupan modal minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

26. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30
(1) Bank wajib menyampaikan segala data, informasi, dan keterangan
atau penjelasan mengenai usahanya serta hal lain yang terkait
dengan kegiatan usahanya kepada OJK.
(2) OJK melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala
maupun setiap waktu apabila diperlukan.
(3) OJK dapat melakukan pemeriksaan atas dokumen, berkas, data
elektronik, dan data lainnya.
(4) OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap pihak terelasi dalam
kelompok usaha bank dan pihak lain yang menerima fasilitas
penyediaan dana dari Bank.
(5) Bank wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka
memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan
penjelasan kepada OJK dalam pelaksanan pengawasan.

27. Pasal 31 dihapus.

28. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 31A
OJK dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama OJK dalam
melaksanakan tugas tertentu.

29. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 33
(1) Hasil pemeriksaan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
dituangkan dalam bentuk laporan pemeriksaan.
(2) Hasil penugasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A
dituangkan dalam bentuk laporan penugasan.
(3) Laporan pemeriksaan dan laporan penugasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat rahasia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan penugasan
tertentu dalam Pasal 31A diatur dalam Peraturan OJK.

30. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 34
(1) Bank wajib menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya
dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Laporan keuangan tahunan wajib diaudit oleh akuntan publik yang
terdaftar di OJK.

31. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 35
Bank wajib mengumumkan kondisi keuangan dan non keuangan Bank
dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh OJK.

61
32. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36
OJK dapat menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) bagi BPR.

33. Di antara Pasal 36 dan 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, OJK berwenang meminta
Bank melakukan tindakan tertentu, yaitu:
a. mengambil dan menyerahkan data/dokumen dari setiap tempat yang
terkait Bank;
b. mengambil dan menyerahkan data/dokumen dan keterangan dari
setiap pihak yang menurut penilaian OJK memiliki pengaruh
terhadap Bank; dan
c. melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan
maupun rekening Kredit.

34. Pasal 37 dihapus.

35. Di antara Pasal 37B dan Pasal 38 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
37C, Pasal 37D, dan Pasal 37Esehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37C
(1) Bank Umum wajib menyusun rencana resolusi Bank.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana resolusi Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan LPS.

Pasal 37D
(1) OJK berwenang mengatur dan mengembangkan sistem layanan
informasi keuangan terkait dengan pertukaran informasi debitur.
(2) Informasi debitur yang dikelola oleh OJK dapat dipertukarkan kepada
pihak yang wajib menjadi pelapor, debitur, dan pihak lain dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) OJK dapat mengenakan biaya atas proses penyediaan informasi
debitur kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Setiap pihak yang memperoleh informasi debitur dari OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang untuk memberikan
informasi debitur kepada pihak lain tanpa persetujuan dari OJK.
(5) Dalam rangka pertukaran informasi debitur, OJK berwenang
mengatur dan mengawasi Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan.

Pasal 37E
(1) OJK menetapkan dimulainya penyidikan terhadap tindak pidana
perbankan.
(2) Dalam hal OJK memutuskan bahwa tindak pidana perbankan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dilanjutkan ke
tahap penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
berwenang menetapkan tindakan administratif berupa pemberian
sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan tindak pidana
perbankan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. teguran tertulis;
b. denda uang;
c. penurunan tingkat kesehatan bank;

62
d. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang
tertenntu maupun untuk bank secara keseluruhan;
f. pemberhentian pegurus bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota tahunan koperasi mengangkat
pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK; dan/atau
g. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham
dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

36. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 40
(1) Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai
Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.
(2) Dalam hal Nasabah Penyimpan sekaligus sebagai Nasabah Debitur,
Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai
Nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan.

37. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 40A,
Pasal 40B, dan Pasal 40C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40A
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 tidak berlaku untuk:
a. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dengan
nasabah, nasabah dengan nasabah, serta terkait dengan nasabah;
b. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
c. permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan
niaga mengenai kepailitan atau permintaan likuidator yang ditetapkan
berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta;
d. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang
dibuat secara tertulis;
e. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah
meninggal dunia;
f. dalam rangka tukar menukar informasi antarbank;
g. untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
h. permintaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
i. kepentingan instansi lain untuk tujuan penyelenggaraan negara di
tingkat pusat dan kepentingan umum sesuai dengan tugas dan
kewenangan dalam Undang-Undang.

Pasal 40B
OJK berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank:
a. untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40A huruf b; dan
b. untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A huruf g.

Pasal 40C
Setiap Orang yang mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan
dan Simpanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A wajib menjaga
kerahasiaan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan yang
diperolehnya.

38. Pasal 41 dihapus.

39. Pasal 41A dihapus.

63
40. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40A huruf b, OJK berwenang memberikan izin
kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang
berdasarkan undang-undang untuk memperoleh informasi dari Bank
mengenai Simpanan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain
yang terkait pada Bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis
atas permintaan tertulis dari:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan
Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda, atau kepala kejaksaan tinggi
dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau
penuntut umum;
c. Ketua Mahkamah Agung, ketua pengadilan tinggi, atau ketua
pengadilan negeri; atau
d. pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan
penyidikan atau jabatan satu tingkat dibawah pimpinan instansi
yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
(3) Untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A huruf g, OJK dapat
memberikan izin kepada polisi atau jaksa untuk memperoleh
informasi dari Bank berdasarkan Undang-Undang mengenai bantuan
timbal balik dalam masalah pidana.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan secara tertulis
atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk di
instansinya.
(5) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
menyebutkan:
a. nama dan jabatan polisi atau jaksa;
b. nama pihak terkait yang dimintakan; dan
c. uraian bahwa permintaan bantuan berkaitan dengan suatu
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
di negara peminta dan statusnya sebagai tersangka atau saksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

41. Ketentuan Pasal 42A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 42A
Bank wajib memberikan informasi yang diminta oleh pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42.

42. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 43
Dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A huruf a,
direksi Bank dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang
keadaan keuangan Nasabah dan informasi lain yang relevan dengan
perkara berdasarkan permintaan ketua pengadilan negeri, ketua
pengadilan tinggi, atau Ketua Mahkamah Agung.

64
43. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A
Atas permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan
pengadilan niaga mengenai kepailitan atau likuidator yang ditetapkan
berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A huruf c, Bank wajib memberikan
informasi mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan pada Bank yang
terkait dengan pelaksanaan kepailitan atau likuidasi.

44. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 44
Dalam rangka tukar menukar informasi antarbank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40A huruf f, direksi Bank dapat memberitahukan
rahasia bank kepada Bank lain.

45. Ketentuan Pasal 44A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 44A
(1) Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan
yang dibuat secara tertulis, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A
huruf d, Bank wajib memberikan Rahasia Bank pada Bank yang
bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan.
(2) Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris
yang sah dari Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40A huruf e, berhak memperoleh keterangan mengenai
Simpanan Nasabah Penyimpan.

46. Di antara Pasal 44A dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
44B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44B
Dalam rangka pemenuhan pembukaan Rahasia Bank untuk tujuan
penyelenggaraan negara dan kepentingan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40A huruf i, instansi terkait harus berkoordinasi dengan OJK.

47. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A
dan Pasal 45B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45A
(1) Pejabat atau pegawai OJK dan otoritas keuangan lainnya yang
berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam
melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan
Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat
diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
(3) Dalam hal pejabat atau pegawai OJK dan otoritas keuangan lainnya
yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini
menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas dan kewenangan, yang bersangkutan mendapat bantuan
hukum dari lembaga yang diwakili atau yang menugaskannya.

Pasal 45B
(1) Dalam hal dibutuhkan, otoritas keuangan lainnya dapat
berkoordinasi dengan OJK terkait pemenuhan kebutuhan tertentu
terhadap Bank.

65
(2) Pemenuhan kebutuhan tertentu terhadap Bank dapat dipenuhi
sepanjang terdapat kewenangan sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) OJK dan otoritas keuangan lainnya secara rutin melakukan
koordinasi baik secara berkala maupun setiap waktu apabila
diperlukan.

48. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 49
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan
sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu baik
dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen
atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening
suatu bank;
b. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak
dilakukannya pencatatan baik dalam pembukuan atau dalam
laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,
laporan transaksi atau rekening suatu bank; dan/atau
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau
menghilangkan adanya suatu pencatatan baik dalam pembukuan
atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank,
atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan,
menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta
melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan
anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan/atau huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratur miliar rupiah).
(3) Anggota Dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan
sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk
menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan,
uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau
untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan
atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh
uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau
dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas
surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau
bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan
persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana
yang melebihi batas kreditnya pada bank; dan/atau
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-
undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun serta pidana denda paling sedikit

66
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
c. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan suatu imbalan,
komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga,
kepada anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank
untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan
keluarganya dalam rangka mendapatkan atau berusaha
mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka,
bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka
pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel,
surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban
lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi
orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi
batas kreditnya pada bank sebagaimana dimaksud pada huruf a,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratur miliar rupiah).
d. Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta
melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan
anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratur
miliar rupiah).

Bagian Ketiga
Perbankan Syariah

Pasal 15
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) diubah
sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat.
3. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan
usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas
Bank umum konvensional dan Bank perekonomian rakyat.

67
5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
6. Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah
Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas giral secara langsung.
7. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank perekonomian rakyat syariah.
8. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
9. Bank Perekonomian Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPR
Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak ikut
memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.
10. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang
dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau
unit syariah.
11. Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung
jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan.
12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
13. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan
pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-
masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
14. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta
Nasabah Investor dan Investasinya.
15. Pihak Terafiliasi adalah:
a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan/atau karyawan
Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;
b. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah atau UUS,
antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai,
konsultan hukum, dan/atau konsultan lainnya; dan/atau
c. pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan turut serta
memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung
maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang
saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga
direksi.
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah
dan/atau UUS.
17. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di
Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan
Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang
bersangkutan.
18. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di
Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan
Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang
bersangkutan.
19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh
fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
Prinsip Syariah.

68
20. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada
Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan,
Deposito, Sertifikat Deposito atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
21. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah, Akad
mudharabah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik
dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
22. Deposito adalah Simpanan berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah
dan/atau UUS.
23. Sertifikat Deposito adalah Simpanan dalam bentuk Deposito
berdasarkan Prinsip Syariah yang sertifikat bukti penyimpanannya
dapat dipindahtangankan.
24. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana
perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah
pemindahbukuan.
25. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank
Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang risikonya
ditanggung oleh Nasabah Investor.
25. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk
transaksi multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan,
atau bagi hasil.
26. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak
maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan
kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan
kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.
27. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank
Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum
Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak mempunyai hak
kepemilikan atas harta tersebut.
28. Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan
pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank
Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga
tersebut.

69
29. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang
telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank
yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
30. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank
atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank
baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank
yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.
31. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham
Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank
tersebut.
32. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua
badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
33. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah
otoritas jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
34. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah
lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.

2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS
wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah
atau UUS dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi
persyaratan paling sedikit mencakup:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e. kelayakan usaha.
(3) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata
“syariah” pada penulisan nama banknya.
(4) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan
jelas frasa “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS
yang bersangkutan.
(5) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin OJK.
(6) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum
Konvensional.
(7) BPR Syariah tidak dapat dikonversi menjadi BPR.
(8) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat
Bank dengan izin OJK.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan untuk memperoleh izin
usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan OJK.

70
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Setiap Bank Syariah wajib memiliki kantor pusat yang berkedudukan
di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat melakukan kegiatan usaha melalui
jaringan kantor fisik dan/atau melalui jaringan teknologi informasi.
(3) Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat
dilakukan dengan izin OJK.
(4) Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis
kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS hanya dapat dilakukan
dengan izin OJK.
(5) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka
Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar
negeri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pembukaan, penutupan, dan perubahan jaringan kantor Bank
Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai
dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan OJK.

4. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 6A dan
Pasal 6B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
(1) Setiap Bank wajib memiliki kantor pusat yang berkedudukan di
wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat melakukan kegiatan usaha melalui
jaringan kantor fisik dan/atau melalui jaringan teknologi informasi.

Pasal 6B
(1) BPR Syariah memiliki jaringan kantor dalam wilayah yang terbatas.
(2) Batasan wilayah jaringan kantor BPR Syariah ditetapkan dalam
Peraturan OJK.

5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 17
(1) Dalam rangka mendorong konsolidasi perbankan, Bank Syariah
dapat melakukan Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan.
(2) Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dapat
melakukan konversi atau integrasi menjadi Bank Umum Syariah
dengan badan hukum Indonesia.
(3) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan konversi atau integrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib memperoleh izin dari OJK.
(4) Dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah
dengan Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan
wajib menjadi Bank Syariah.
(5) Ketentuan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan konversi atau integrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan OJK.

6. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) BPR Syariah dapat melakukan Penggabungan dengan Lembaga
Keuangan Mikro.

71
(2) Dalam hal terjadi penggabungan antara BPR Syariah dengan
Lembaga Keuangan Mikro, Bank hasil penggabungan tersebut wajib
menjadi BPR Syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan BPR Syariah dengan
Lembaga Keuangan Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan OJK.

7. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 19
(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro,
Tabungan, Deposito, Sertifikat Deposito, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad
mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad mudharabah, Akad
musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad
salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak
ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat
berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n. menyelenggarakan transfer dana untuk kepentingan sendiri
maupun nasabah;
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad
wakalah;
p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi
berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q. melakukan kegiatan lain di bidang Perbankan Syariah dan di
bidang sosial dengan izin OJK sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

72
(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro,
Tabungan, Deposito, Sertifikat Deposito, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad
mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad
mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad
salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip
Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah,
mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak
ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat
berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyelenggarakan transfer dana baik untuk kepentingan sendiri
maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip
Syariah;
n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi
berdasarkan Prinsip Syariah; dan
o. melakukan kegiatan lain di bidang Perbankan Syariah dan di
bidang sosial yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Bank Umum
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kegiatan usaha
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
OJK.

8. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 20
(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah
atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah;

73
c. melakukan kegiatan penyertaan modal pada lembaga non
keuangan yang mendukung industri perbankan Syariah yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh OJK;
d. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk
mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
e. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun
berdasarkan Prinsip Syariah;
f. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal;
g. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan
Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat
berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;
i. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat
berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal;
j. melakukan kerja sama dengan lembaga jasa keuangan non bank
dalam pemasaran produk keuangan;
k. melakukan kerja sama dengan selain lembaga jasa keuangan
dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada nasabah; dan
l. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank
Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2), UUS dapat:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk
mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan
Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat
berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;
f. melakukan kerja sama dengan lembaga jasa keuangan non bank
dalam pemasaran produk keuangan;
g. melakukan kerja sama dengan selain lembaga jasa keuangan
dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada nasabah; dan
h. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank
Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh OJK serta ketentuan
peraturan perundang-undangan.

9. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 21
Kegiatan usaha BPR Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

74
1. Simpanan berupa Tabungan, Deposito atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan
2. Investasi berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau
musyarakah;
2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’;
3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;
4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
5. pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;
c. menempatkan dana dan menerima penempatan dana dari bank
syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau
Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. melakukan kegiatan transfer dana baik untuk kepentingan sendiri
maupun untuk kepentingan Nasabah;
e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah
lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan
OJK dan/atau otoritas lain yang berwenang; dan
f. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh OJK.

10. Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 21A
dan Pasal 21B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21A
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
BPR Syariah dapat:
a. melakukan kerja sama dengan lembaga jasa keuangan non-bank
dalam pemasaran produk keuangan berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kerja sama dengan selain lembaga jasa keuangan dalam
pemberian layanan jasa keuangan kepada nasabah;
c. melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan
d. melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR Syariah
sesuai dengan Peraturan OJK.

Pasal 21B
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 sampai dengan Pasal 21A, Bank Syariah dan UUS dapat
memanfaatkan teknologi informasi.
(2) Dalam rangka mendorong pemanfaatan teknologi informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan UUS dapat
membuka akses data dan informasi nasabah kepada penyelenggara
keuangan lainnya termasuk penyelenggara ITSK berdasarkan
persetujuan dan untuk kepentingan nasabah melalui sistem atau
aplikasi tertentu.
(3) Pelaksanaan pembukaan akses data dan informasi nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

75
11. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Bank Umum Syariah dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar
modal;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d;
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian kecuali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf j; dan
e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20.
(2) UUS dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar
modal;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c;
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian kecuali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f; dan
e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20.

12. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 25
BPR Syariah dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menerima Simpanan berupa Giro;
c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran
uang asing dengan izin Bank Indonesia;
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21A huruf a;
e. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21A huruf c;
f. membeli surat berharga kecuali yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
dan Pemerintah di pasar sekunder; dan
g. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 21A.

13. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 26
(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sampai
dengan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk
kepada Prinsip Syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh
Majelis Ulama Indonesia.
(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti oleh
otoritas terkait dalam bentuk peraturan.
(4) Dalam rangka penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), otoritas terkait berkoordinasi dengan Majelis Ulama
Indonesia.

76
14. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya
dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh OJK.
(3) Laporan keuangan tahunan wajib diaudit oleh akuntan publik yang
terdaftar di OJK.
(4) OJK dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi BPR Syariah.
(5) Bank wajib mengumumkan kondisi keuangan dan non keuangan
Bank dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh OJK.

15. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 38
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko dan
prinsip mengenal nasabah.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Bank Syariah dan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK.

16. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 40
(1) Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi
kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau
seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan.
(2) Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian
Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban
Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(3) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah
dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan
kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain
yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan
Peraturan OJK.

17. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 41
(1) Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai
Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan
Investasinya.
(2) Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor sekaligus
sebagai Nasabah Penerima Fasilitas, Bank dan Pihak Terafiliasi wajib
merahasiakan informasi mengenai Nasabah dalam kedudukannya
sebagai Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor.

18. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 41A,
Pasal 41B, dan Pasal 41C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41A
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 tidak berlaku untuk:
a. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dengan
nasabah, nasabah dengan nasabah, serta terkait dengan nasabah;
b. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;

77
c. permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan
niaga mengenai kepailitan atau permintaan likuidator yang ditetapkan
berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta;
d. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau
Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis;
e. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau
Nasabah Investor yang telah meninggal dunia;
f. dalam rangka tukar menukar informasi antarbank;
g. untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
h. permintaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan
sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
i. kepentingan instansi lain untuk tujuan penyelenggaraan negara di
tingkat pusat dan kepentingan umum sesuai dengan tugas dan
kewenangan dalam undang-undang.

Pasal 41B
OJK berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank:
a. untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41A huruf b; dan
b. untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A huruf g.

Pasal 41C
Setiap Orang yang mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan
dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41A wajib menjaga kerahasiaan informasi yang
diperolehnya mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan serta
informasi mengenai Nasabah Investor dan Investasi.

19. Pasal 42 dihapus.

20. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 43
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41A huruf b, OJK berwenang memberikan izin
kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang
berdasarkan undang-undang untuk memperoleh informasi dari Bank
mengenai Simpanan atau Investasi tersangka, terdakwa, terpidana,
atau pihak lain yang terkait pada Bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis
atas permintaan tertulis dari:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan
Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda, atau kepala kejaksaan tinggi
dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau
penuntut umum;
c. Ketua Mahkamah Agung, ketua pengadilan tinggi, atau ketua
pengadilan negeri; atau
d. pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan
penyidikan atau jabatan satu tingkat dibawah pimpinan instansi
yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan
(3) Untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A huruf g, OJK dapat
memberikan izin kepada polisi atau jaksa untuk memperoleh

78
informasi dari Bank berdasarkan Undang-Undang mengenai bantuan
timbal balik dalam masalah pidana.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan secara tertulis
atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk di
instansinya
(5) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
menyebutkan:
a. nama dan jabatan polisi atau jaksa;
b. nama pihak terkait yang dimintakan; dan
c. uraian bahwa permintaan bantuan berkaitan dengan suatu
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
di negara peminta dan statusnya sebagai tersangka atau saksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

21. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 44
Bank wajib memberikan informasi yang diminta oleh pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43.

22. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 45
Dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A huruf a,
direksi Bank dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang
keadaan keuangan Nasabah dan informasi lain yang relevan dengan
perkara tersebut berdasarkan permintaan ketua pengadilan negeri, ketua
pengadilan tinggi, atau Ketua Mahkamah Agung.

23. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45A
Atas permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan
pengadilan niaga mengenai kepailitan atau likuidator yang ditetapkan
berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A huruf c, Bank wajib memberikan
informasi mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan dan Investasi Nasabah
Investor pada Bank yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan atau
likuidasi.

24. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 46
Dalam rangka tukar menukar informasi antarbank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41A huruf f, direksi Bank dapat memberitahukan
Rahasia Bank kepada Bank lain.

25. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47
Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau
Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41A huruf d, Bank wajib memberikan Rahasia Bank pada
Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut.

79
26. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal
dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A huruf e, berhak memperoleh
keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Investasi
Nasabah Investor.

27. Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 48A,
Pasal 48B, dan Pasal 48C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48A
Dalam rangka pemenuhan pembukaan Rahasia Bank untuk tujuan
penyelenggaraan negara dan kepentingan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41A huruf I, instansi terkait harus berkoordinasi dengan OJK.

Pasal 48B
(1) Pejabat atau pegawai OJK dan otoritas keuangan lainnya yang
berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam
melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan
Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat
diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
(3) Dalam hal pejabat atau pegawai OJK dan otoritas keuangan lainnya
yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini
menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas dan kewenangan, maka yang bersangkutan mendapat bantuan
hukum dari lembaga yang diwakili atau yang menugaskannya

Pasal 48C
(1) Dalam hal dibutuhkan, otoritas keuangan lainnya dapat
berkoordinasi dengan OJK terkait pemenuhan kebutuhan tertentu
terhadap Bank.
(2) Pemenuhan kebutuhan tertentu terhadap Bank dapat dipenuhi
sepanjang terdapat kewenangan sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) OJK dan otoritas keuangan lainnya secara rutin melakukan
koordinasi baik secara berkala maupun setiap waktu apabila
diperlukan.
28. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Bank Syariah dan UUS wajib mematuhi peraturan yang dikeluarkan
oleh OJK.
(2) OJK melakukan pengawasan terhadap Bank Syariah dan UUS secara
langsung dan tidak langsung.
(3) Bank Syariah dan UUS wajib mematuhi dan/atau melaksanakan
tindak lanjut pengawasan dan larangan OJK.

29. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 51
Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan serta aspek
terkait tingkat kesehatan dan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan oleh OJK.

80
30. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52
(1) Bank wajib menyampaikan segala data, informasi, dan keterangan
atau penjelasan mengenai usahanya serta hal lain yang terkait
dengan kegiatan usahanya kepada OJK.
(2) OJK melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala
maupun setiap waktu apabila diperlukan
(3) OJK dapat melakukan pemeriksaan dokumen, berkas, data
elektronik, dan data lainnya.
(4) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, OJK berwenang
meminta Bank melakukan tindakan tertentu, yaitu:
a. mengambil dan menyerahkan data/dokumen dari setiap tempat
yang terkait Bank;
b. mengambil dan menyerahkan data/dokumen dan keterangan dari
setiap pihak yang menurut penilaian OJK memiliki pengaruh
terhadap Bank; dan
c. melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening
Simpanan maupun rekening Kredit.
(5) OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap pihak terelasi dalam
kelompok usaha Bank dan pihak lain yang menerima fasilitas
penyediaan dana dari Bank Syariah dan UUS.
(6) Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS
yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) tidak diumumkan dan bersifat
rahasia.
(7) Bank Syariah dan UUS wajib memberikan bantuan yang diperlukan
dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan,
dokumen, dan penjelasan kepada OJK dalam pelaksanan
pengawasan.

31. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 53
(1) OJK dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama OJK dalam
melaksanakan tugas tertentu.
(2) Hasil pelaksanaan tugas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam bentuk laporan penugasan.
(3) Laporan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat
rahasia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
penugasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan OJK.

32. Pasal 54 dihapus.

33. Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 54A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54A
(1) OJK berwenang mengatur dan mengembangkan sistem layanan
informasi keuangan terkait dengan pertukaran informasi debitur.
(2) Informasi debitur yang dikelola oleh OJK dapat dipertukarkan kepada
pihak yang wajib menjadi pelapor, debitur, dan pihak lain dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) OJK dapat mengenakan biaya atas proses penyediaan informasi
debitur kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

81
(4) Setiap pihak yang memperoleh informasi debitur dari OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang untuk memberikan
informasi debitur kepada pihak lain tanpa persetujuan dari OJK.
(5) Dalam rangka pertukaran informasi debitur, OJK berwenang
mengatur dan mengawasi Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan.

34. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.


Pasal 63
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam
pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan
usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank
Syariah atau UUS;
b. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak
dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,
dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan
transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau
menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau
dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau
laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS,
atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan,
menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
d. Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta
melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan
anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan/ atau huruf
c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp100.000.000.000,00 (seratur miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk
menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan,
uang, atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau
untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka:
1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain
dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas
penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;
2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas
surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti
kewajiban lainnya;
3. memberikan persetujuan bagi orang lain untuk
melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas
penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS; dan/atau
b. tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit

82
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja memberikan suatu imbalan,
komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga,
kepada anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah
atau UUS untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan
keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha
mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank
garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS,
atau dalam rangka pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat
wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban
lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang
lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas
penyaluran dananya pada bank sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan/atau menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan
atau melakukan pembantuan perbuatan anggota dewan komisaris,
direksi, atau pegawai Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud
dalam huruf b, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

35. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.


Pasal 66
(1) Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-
Undang ini dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan
kerugian bagi Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan
keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat;
b. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan
yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik
yang ditugasi oleh dewan komisaris;
c. memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan
melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank
Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga
membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS;
dan/atau
d. tidak melakukan langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan Batas
Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang ini dan/atau ketentuan yang berlaku,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta
melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan
anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau perbuatan anggota direksi atau
pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki
UUS sebagaimana dimaksud dalam huruf d dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima

83
miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
(3) Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan
penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta
melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan
anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratur miliar rupiah).

36. Diantara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 67A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67A
(1) OJK menetapkan dimulainya penyidikan terhadap tindak pidana
perbankan.
(2) Dalam hal OJK memutuskan tindak pidana perbankan tidak
dilanjutkan ke tahap penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK berwenang menetapkan tindakan administratif berupa
pemberian sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
tindak pidana perbankan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penurunan tingkat kesehatan bank;
d. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang
tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
f. pemberhentian pegurus bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota tahunan koperasi mengangkat
pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK; dan/atau
g. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham
dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

37. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 68
(1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai
asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari
total nilai aset bank induknya, Bank Umum Konvensional dimaksud
wajib melakukan Pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan sanksi bagi Bank
Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK.

84
Bagian Keempat
Pembayaran Klaim Penjaminan

Pasal 16
Ketentuan Pasal 20 dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516)
diubah sebagai berikut:

Pasal 20
(1) Dalam hal Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) merasa dirugikan, nasabah dapat:
a. mengajukan keberatan kepada LPS yang didukung dengan bukti nyata
dan jelas; atau
b. melakukan upaya hukum melalui pengadilan.
(2) Dalam hal LPS menerima keberatan Nasabah Penyimpan atau pengadilan
mengabulkan upaya hukum Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), LPS hanya membayar Simpanan nasabah tersebut sesuai
dengan Penjaminan berikut bunga atau kompensasi yang wajar.

BAB V
PASAR MODAL, PASAR UANG, PASAR VALUTA ASING

Bagian Kesatu
Infrastruktur Pasar

Pasal 17
(1) Penyelenggaraan pasar di sektor keuangan harus didukung oleh
infrastruktur pasar yang mengikuti perkembangan teknologi.
(2) Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sarana perdagangan;
b. sarana kliring (central counter party);
c. sarana penyelesaian transaksi dan penyimpanan Instrumen
Keuangan (Kustodian Sentral);
d. sarana penyelesaian dana (sistem pembayaran);
e. sarana pengelolaan informasi transaksi Efek dan/atau derivatif; dan
f. sarana lainnya.
(3) OJK dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mendorong pengembangan
infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dimiliki
oleh perusahaan berbadan hukum Indonesia.
(5) Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai
dengan huruf e kecuali huruf d, dapat digunakan dalam penyelenggaraan
antarpasar setelah memperoleh izin dari otoritas asal infrastruktur dan
persetujuan otoritas pengawas dari Instrumen Keuangan yang akan
menggunakan Infrastruktur pendukung.
(6) Dalam hal infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar, otoritas asal infrastruktur

85
pendukung dan otoritas pengawas dari Instrumen Keuangan yang akan
menggunakan Infrastruktur pendukung wajib melakukan koordinasi,
paling sedikit untuk:
a. pertukaran dan pemutakhiran data dan informasi;
b. pengawasan bersama; dan
c. langkah-langkah memitigasi risiko.
(7) Berdasarkan hasil pengawasan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf b dilakukan tindakan hukum dan/atau sanksi terhadap
infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh otoritas asal
masing-masing infrastruktur pasar sesuai dengan kewenangannya.
(8) Sarana pengelolaan informasi transaksi efek dan/atau derivatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan secara
terpisah dengan otoritas terkait yang mengawasi.
(9) Sarana pengelolaan informasi transaksi efek dan/atau harus
menyediakan data yang akurat, mencukupi, dan tepat waktu kepada
publik dan kepada otoritas terkait sesuai dengan tugas dan
kewenangannya.
(10) Penyelenggaraan infrastruktur pasar harus memenuhi prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang jelas dan transparan, prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko yang efektif, memenuhi prinsip keamanan, efisiensi,
dan keandalan.

Pasal 18
(1) Dalam hal terdapat Instrumen Keuangan dan/atau efek dan/atau
transaksi yang di dalamnya terdapat komponen Pasar Modal, Pasar Uang,
dan/atau komoditi yang tunduk pada kewenangan masing-masing
otoritas akan tetapi instrumen tersebut mempunyai karakteristik risiko,
hak dan manfaat yang sama terhadap investor atau penerbit, standar
pengaturan antar pengawas/regulator paling sedikit memenuhi kriteria
yang sama pada:
a. mekanisme penerbitan, keterbukaan informasi, dan pelaporan;
b. mitigasi risiko termasuk risiko sistemik dan bukan sistemik; dan
c. perlindungan investor serta sanksi yang wajar terhadap pelaku.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai komponen Pasar Modal, Pasar Uang,
dan/atau komoditi yang tunduk pada kewenangan masing-masing
otoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan
masing-masing otoritas.

Pasal 19
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan di sektor perdagangan berjangka komoditi, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232).

Pasal 20
Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang

86
Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232)
diubah sebagai berikut:

Pasal 3
(1) Komoditi yang dapat dijadikan subjek Kontrak Berjangka, Kontrak
Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya diatur dengan
Peraturan Kepala Bappebti.
(2) Komoditi yang dijadikan subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif
Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak termasuk efek dan/atau instrumen keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.

Bagian Kedua
Pasar Modal

Pasal 21
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan di sektor pasar modal, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608).

Pasal 22
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) diubah sebagai
berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Afiliasi adalah:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai
derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris
dari pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau
lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama;
d. hubungan antara perusahaan dengan pihak, baik langsung
maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh
perusahaan tersebut;
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik
langsung maupun tidak langsung, oleh pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.
2. Anggota Bursa Efek adalah:
a. perantara Pedagang Efek yang telah memperoleh izin usaha dari
OJK; dan
b. pihak lain yang memperoleh persetujuan dari OJK,
yang mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan/atau
sarana Bursa Efek sesuai dengan peraturan Bursa Efek.
3. Biro Administrasi Efek adalah Pihak yang berdasarkan kontrak
dengan Emiten dan/atau penerbit Efek melaksanakan pencatatan
pemilikan Efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan Efek.

87
4. Bursa Efek adalah Penyelenggara Pasar di Pasar Modal untuk
Transaksi Bursa.
5. Efek adalah surat berharga yang memberikan hak kepada pemilik
atau Pihak lain untuk secara langsung maupun tidak langsung
memperoleh manfaat ekonomis dari penerbitnya atau dari pihak
tertentu berdasarkan perjanjian dan setiap derivatif atas Efek, yang
dapat dialihkan dan/atau diperdagangkan di Pasar Modal.
6. Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi adalah salah
satu surat berharga yang dapat diperdagangkan di Pasar Modal.
7. Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.
8. Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau fakta penting
dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat
mempengaruhi:
a. penilaian atas harga Efek pada Penyelenggara Pasar di Pasar
Modal;
b. penilaian atas harga Efek oleh pemodal, calon pemodal, atau
Pihak lain yang berkepentingan atas peristiwa, kejadian, atau
fakta tersebut; dan/atau
c. keputusan pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang
berkepentingan atas peristiwa, kejadian, atau fakta tersebut.
9. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan
harta lain yang berkaitan dengan Efek, harta yang berkaitan dengan
portofolio investasi kolektif, serta jasa lain, termasuk menerima
dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, serta
mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
10. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang
menyelenggarakan jasa kliring dan/atau penjaminan penyelesaian
Transaksi Efek yang dilakukan melalui Penyelenggara Pasar di Pasar
Modal serta jasa lain yang dapat diterapkan untuk mendukung
kegiatan antar pasar.
11. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian,
Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
12. Manajer Investasi adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha
mengelola portofolio investasi untuk nasabah individual atau untuk
sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
bank, dan pihak lain yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan undang-undang.
13. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan:
a. penawaran Efek;
b. transaksi Efek;
b. Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya; dan
c. lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
14. Penasihat Investasi adalah Pihak yang memberi nasihat kepada Pihak
lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh
imbalan jasa.
15. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan
oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan
tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan
pelaksanaannya.
16. Penitipan Kolektif adalah jasa penitipan atas Efek dan/atau dana
yang dimiliki bersama oleh lebih dari satu Pihak yang kepentingannya
diwakili oleh Kustodian.
17. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan
Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan

88
Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang
tidak terjual.
18. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan
usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain.
19. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan
kepada OJK oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau
Perusahaan Publik.
20. Perseroan adalah perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perseroan terbatas.
21. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau
Manajer Investasi.
22. Perusahaan Publik adalah Perseroan dengan jumlah pemegang
saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
23. Pihak adalah orang perseorangan, badan hukum, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
24. Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh Pihak.
25. Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan
Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada
Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat
dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai
usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan
pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut.
26. Prospektus adalah dokumen tertulis yang memuat informasi Emiten
dan informasi lain sehubungan dengan Penawaran Umum dengan
tujuan agar Pihak lain membeli Efek.
27. Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun
dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan
dalam Portofolio Efek dan/atau Instrumen Keuangan lainnya oleh
Manajer Investasi.
28. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh Anggota Bursa Efek
sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek
mengenai jual beli Efek, pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain
mengenai Efek atau harga Efek.
29. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian
kepentingan setiap Pihak dalam portofolio investasi kolektif.
30. Wali Amanat adalah Pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek
bersifat utang dan/atau sukuk.
31. Transaksi Efek adalah setiap aktivitas atau kontrak dalam rangka
memperoleh, melepaskan, atau menggunakan Efek yang
mengakibatkan terjadinya peralihan kepemilikan atau tidak
mengakibatkan terjadinya peralihan kepemilikan di Pasar Modal.
32. Penyelenggara Pasar adalah adalah Pihak yang menyelenggarakan
dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan
pihak yang melakukan transaksi atas Efek atau instrumen keuangan
pada Pasar Modal atau pasar keuangan yang terorganisir.
33. Portofolio Investasi adalah kumpulan Efek dan/atau instrumen
investasi selain Efek.
34. Pemeringkat adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha
pemeringkatan atas:
a. suatu Efek; dan/atau
b. pihak tertentu yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal.
35. Anggota Kliring adalah lembaga yang memenuhi ketentuan dan
persyaratan Lembaga Kliring dan Penjaminan di Pasar Modal untuk
memperoleh layanan jasa kliring dan/atau penjaminan penyelesaian

89
transaksi Efek yang dilakukan melalui Penyelenggara Pasar di Pasar
Modal.
36. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi
dan Bank Kustodian yang secara kolektif mengikat pemodal dimana
Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio
investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk
melaksanakan Penitipan Kolektif.
37. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.

2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 5
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Pasal 4, OJK mempunyai:
a. kewenangan pengaturan, yaitu:
1. menetapkan persyaratan dan tata cara Pernyataan Pendaftaran,
penundaan, pembatalan, atau pencabutan efektifnya Pernyataan
Pendaftaran, serta penundaan Penawaran Umum;
2. menetapkan persyaratan pemilikan saham dan/atau
pengendalian Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau
pendaftaran dari OJK;
3. mewajibkan pendaftaran Profesi Penunjang Pasar Modal dan Wali
Amanat;
4. menetapkan persyaratan penggunaan teknologi informasi dalam
kegiatan di bidang Pasar Modal;
5. mengatur kewajiban penerbitan Efek dalam bentuk Efek tanpa
warkat;
6. menetapkan instrumen lain sebagai Efek selain yang telah
ditentukan dalam Pasal 1 angka 5;
7. mengatur penyelenggaraan layanan urun dana dengan
menggunakan teknologi informasi;
8. mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan
Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon; dan
9. memberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis atas
Undang-undang ini atau peraturan pelaksanaannya.
b. kewenangan pemberian izin, yaitu:
1. izin usaha kepada Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasihat
Investasi, dan Biro Administrasi Efek;
2. izin orang perseorangan bagi Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil
Perantara Pedagang Efek, dan Wakil Manajer Investasi; dan
3. persetujuan bagi Bank Kustodian.
c. kewenangan pengawasan, yaitu:
1. meminta Pengadilan Negeri untuk membubarkan dan menunjuk
likuidator guna melakukan pemberesan hak dan/atau kewajiban
Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Perusahaan Efek, dan/atau Pihak lain;
2. mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap Pihak
dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran
terhadap Undang-Undang ini dan atau peraturan
pelaksanaannya;
3. mewajibkan setiap Pihak untuk:

90
a) menghentikan atau memperbaiki iklan atau promosi yang
berhubungan dengan kegiatan di Pasar Modal; atau
b) mengambil langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat
yang timbul dari iklan atau promosi dimaksud;
4. melakukan pemeriksaan terhadap:
a) setiap Emiten atau Perusahaan Publik yang telah atau
diwajibkan menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada
OJK; atau
b) Pihak yang dipersyaratkan memiliki izin usaha, izin orang
perseorangan, persetujuan, atau pendaftaran profesi
berdasarkan Undang-Undang ini;
5. menunjuk Pihak lain untuk melakukan pemeriksaan tertentu
dalam rangka pelaksanaan wewenang OJK sebagaimana
dimaksud dalam angka 4;
6. meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan
pencegahan untuk jangka waktu tertentu terhadap seseorang
dalam rangka penyidikan terhadap setiap Pihak dalam hal terjadi
peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-
Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya untuk keluar
dari wilayah Indonesia;
7. mengumumkan hasil pemeriksaan;
8. membekukan atau membatalkan pencatatan suatu Efek pada
Bursa Efek atau menghentikan Transaksi Bursa atas Efek
tertentu untuk jangka waktu tertentu guna melindungi
kepentingan pemodal;
9. menghentikan kegiatan perdagangan Bursa Efek untuk jangka
waktu tertentu dalam hal keadaan darurat;
10. memeriksa keberatan yang diajukan oleh Pihak yang dikenakan
sanksi oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta memberikan
keputusan membatalkan atau menguatkan pengenaan sanksi
dimaksud;
11. melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian
masyarakat sebagai akibat pelanggaran atas ketentuan di bidang
Pasar Modal;
12. mewajibkan Pihak tertentu untuk mengungkapkan kepemilikan
Efeknya atau kepemilikan Efek Pihak lain yang diketahui atau
sepatutnya diketahui oleh Pihak tertentu tersebut;
13. mewajibkan Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan surat
tanda terdaftar atau bentuk lain yang dapat dipersamakan
dengan izin, persetujuan, atau surat tanda terdaftar dari OJK
untuk mengungkapkan pengendali dari Pihak tertentu tersebut;
14. menetapkan Pihak tertentu merupakan pengendali Pihak yang
memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari OJK;
15. melarang Pihak tertentu menjadi pengendali pada Pihak yang
memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari OJK; dan
16. melakukan hal lain berdasarkan Undang-Undang ini.

3. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 5A,
Pasal 5B, Pasal 5C, dan Pasal 5D sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya
Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari OJK wajib
menjalankan kegiatannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta dengan menerapkan tata kelola
perusahaan yang baik, standar profesi, dan/atau kode etik.

91
(2) Dalam rangka menegakkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK dapat melakukan pengawasan dan penegakan hukum
terhadap peraturan perundang-undangan yang bukan merupakan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal namun
berlaku bagi Pihak yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal
sepanjang:
a. pelanggaran atas peraturan perundang-undangan bersifat
material dan mengakibatkan pihak yang memperoleh izin,
persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan
surat tanda terdaftar dari OJK terganggu kelangsungan
usahanya, membahayakan keadaan keuangan lembaga
dimaksud, dan/atau membahayakan kepentingan nasabahnya
dan/atau pemodal; dan
b. dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur secara
khusus instansi atau lembaga yang berwenang untuk melakukan
pengawasan dan penegakan hukum terhadap peraturan
perundang-undangan.

Pasal 5B
(1) Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya
Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari OJK
bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh
anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham utama,
pemegang saham pengendali, karyawan, dan Pihak lain yang bekerja
untuk Pihak tersebut.
(2) Pertanggung jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditetapkan berlaku pula bagi Pihak yang Pernyataan Pendaftarannya
telah efektif.

Pasal 5C
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau
pihak terafiliasinya dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan,
pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar
dari OJK bertanggung jawab secara pribadi baik bersama-sama maupun
sendiri-sendiri atas kerugian yang diderita Pihak tersebut dan/atau
nasabahnya dan/atau pemodal yang timbul karena:
a. pemanfaatan Pihak dengan itikad buruk dan/atau secara melawan
hukum untuk kepentingan pribadi anggota direksi, anggota dewan
komisaris, pemegang saham dan/atau pihak terafiliasinya;
b. anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang dan/atau pihak
terafiliasinya terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Pihak;
c. anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau
pihak terafiliasinya baik langsung maupun tidak langsung dengan
itikad buruk atau secara melawan hukum menggunakan kekayaan
Pihak dan/atau nasabahnya, yang mengakibatkan kekayaan Pihak
dan/atau nasabahnya menjadi tidak cukup untuk memenuhi
kewajiban Pihak dan/atau nasabahnya; atau
d. anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris bersalah atau lalai
dalam menjalankan tugas berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan/atau anggaran dasar.

Pasal 5D
(1) Pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai
Penyelenggara Pasar di Pasar Modal terdiri atas Bursa Efek dan
Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek.

92
(2) Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek yang menyelenggarakan
kegiatan di Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Perseroan yang memperoleh izin usaha dari OJK.
(3) Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menjalankan kegiatan di luar Pasar Modal, sepanjang
memperoleh izin usaha dari otoritas yang berwenang.
(4) Untuk Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek yang menjalankan
kegiatan di luar Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
OJK dan otoritas lain yang melakukan pengawasan terhadap
kegiatan di luar Pasar Modal wajib melakukan koordinasi, sekurang-
kurangnya dalam rangka:
a. pertukaran dan pemutakhiran data dan informasi;
b. pengawasan bersama; dan
c. langkah-langkah memitigasi risiko.
(5) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan
Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK.

4. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A


sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A
(1) Selain Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha untuk
melakukan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, pihak lain dapat menjadi pemegang saham
Bursa Efek.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pihak lain yang dapat menjadi
pemegang saham Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan OJK berkoordinasi dengan Pemerintah.

5. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 13
(1) Perseroan yang telah mendapatkan izin dari OJK dapat
menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Lembaga Kliring dan
Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan
Lembaga Kliring dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

6. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 14
(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan didirikan dengan tujuan
menyediakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi
Bursa yang teratur, wajar, dan efisien.
(2) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian didirikan dengan tujuan
menyediakan jasa Kustodian sentral dan penyelesaian transaksi yang
teratur, wajar, dan efisien.
(3) Lembaga Kliring dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dapat memberikan jasa lain berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan oleh OJK.
(4) Rencana anggaran tahunan dan penggunaan laba Lembaga Kliring
dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
disusun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh dan
dilaporkan kepada OJK.

93
7. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Reksa Dana dapat menerima dan/atau memberikan pinjaman
dengan persyaratan tertentu yang diatur dalam Peraturan OJK.
(2) Reksa Dana dilarang membeli saham atau Unit Penyertaan Reksa
Dana lainnya.
(3) Ketentuan mengenai pembatasan investasi Reksa Dana diatur
dengan Peraturan OJK.

8. Setelah Bagian Kedua Bab IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian


Ketiga sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga
Pengelolaan Investasi Selain Reksa Dana

9. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A
dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29A
(1) Manajer Investasi dapat melakukan pengelolaan produk investasi
kolektif selain Reksa Dana dan pengelolaan investasi nasabah secara
individual.
(2) Pengelolaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. Perseroan; atau
b. Kontrak Investasi Kolektif.
(3) (3) Pengelolaan produk investasi kolektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat bersifat terbuka atau tertutup.
(4) Pengelolaan produk investasi kolektif dilakukan berdasarkan Kontrak
Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b antara
Manajer Investasi dan Bank Kustodian.
(5) Ketentuan mengenai pengelolaan produk investasi kolektif selain
Reksa Dana dan pengelolaan investasi nasabah secara individual
diatur dengan Peraturan OJK.

Pasal 29B
(1) Manajer Investasi sebagai pengelola produk investasi kolektif selain
Reksa Dana dapat menjual dan membeli kembali Unit Penyertaan
secara terus-menerus sampai dengan jumlah Unit Penyertaan yang
ditetapkan dalam kontrak.
(2) Dalam hal pemegang Unit Penyertaan melakukan penjualan kembali,
Manajer Investasi wajib membeli kembali Unit Penyertaan.
(3) Pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
dapat dilakukan apabila:
a. Bursa Efek yang sebagian besar Portofolio Efek produk investasi
kolektif selain Reksa Dana diperdagangkan ditutup;
b. perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio Efek produk
investasi kolektif selain Reksa Dana di Bursa Efek dihentikan;
c. keadaan darurat;
d. Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana
merupakan Unit Penyertaan yang dapat diperdagangkan di Bursa
Efek; dan/atau
e. terdapat hal lain yang ditetapkan dalam kontrak pengelolaan
investasi setelah mendapat persetujuan OJK.

94
10. Ketentuan Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB V
PERUSAHAAN EFEK, WAKIL PERUSAHAAN EFEK, PENASIHAT
INVESTASI, DAN MANAJER INVESTASI

11. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 30
(1) Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari OJK dapat
melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Efek.
(2) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek atau Manajer Investasi serta kegiatan lain sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh OJK.
(3) Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi hanya
untuk Efek yang bersifat utang yang jatuh temponya tidak lebih dari
satu tahun, sertifikat deposito, polis asuransi, Efek yang diterbitkan
atau dijamin Pemerintah Indonesia, atau Efek lain yang ditetapkan
oleh OJK tidak diwajibkan untuk memperoleh izin usaha sebagai
Perusahaan Efek.
(4) OJK dapat mewajibkan Pihak tertentu untuk memperoleh persetujuan
atau pendaftaran dari OJK sebelum melakukan kegiatan sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer
Investasi untuk Efek yang kegiatan usahanya tidak diwajibkan untuk
memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang
melakukan perubahan kegiatan usaha.
(6) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan, persetujuan,
atau pendaftaran Perusahaan Efek dan Pihak tertentu diatur dengan
Peraturan OJK.

12. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38A
(1) Pemasaran dan perdagangan efek yang diterbitkan oleh entitas diluar
negeri (offshore products) hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan
efek yang bertindak sebagai Perantara Perdagangan Efek yang telah
memperoleh ijin dari OJK.
(2) Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Perantara Perdagangan Efek
dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk memasarkan dan
memperdagangkan Efek yang diterbitkan oleh entitas diluar negeri
(offshore products).
(3) OJK melakukan pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum
terhadap Perusahaan Efek yang bertidak sebagai Perantara
Perdagangan Efek dan pihak lain yang memasarkan dan
memperdagangkan Efek yang diterbitkan oleh entitas diluar negeri
(offshore products).
(4) Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Perantara Pedagang Efek
dan pihak lain yang bekerja sama dengan Perusahaan Efek yang
bertindak sebagai Perantara Pedagang Efek yang melakukan
pemasaran Efek entitas di luar negeri (offshore products) wajib
memberikan pemahaman kepada calon investor mengenai resiko dan
kesesuaian Efek dimaksud dengan selera investasi calon investor.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasaran dan perdagangan Efek
yang diterbitkan oleh Entitas di luar negeri (offshore products) oleh

95
perusahaan efek yang bertindak sebagai Perantara Pedagang Efek
dan pihak lain diatur dalam Peraturan OJK.

13. Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 42A
dan Pasal 42B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42A
Dalam pengelolaan investasi, Manajer Investasi dilarang memiliki
hubungan Afiliasi dengan Bank Kustodian, kecuali hubungan Afiliasi yang
terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah.

Pasal 42B
Setiap Pihak dilarang memiliki saham dan/atau melakukan tindakan
pengendalian pada lebih dari 1 (satu) Manajer Investasi baik secara
langsung maupun tidak langsung, kecuali:
a. karena kepemilikan saham atau penyertaan modal Pemerintah;
dan/atau
b. Manajer Investasi merupakan perusahaan terbuka.

14. Ketentuan Bab VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


BAB VIII
PENYELESAIAN TRANSAKSI EFEK DAN PENITIPAN KOLEKTIF

15. Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Bagian Kesatu
Penyelesaian Transaksi Efek dan Dana Jaminan

16. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 55
(1) Penyelesaian transaksi Efek dilaksanakan dengan penyelesaian
pembukuan, penyelesaian fisik, atau cara lain yang ditetapkan
dengan Peraturan OJK.
(2) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menjamin penyelesaian
Transaksi Efek yang ditetapkan dalam Peraturan OJK.
(3) Penyelesaian transaksi Efek oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan
dapat berupa serah terima Efek, dana pengganti, atau aset pengganti
lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan OJK.
(4) Tata cara dan penjaminan penyelesaian transaksi Efek didasarkan
pada kontrak antara Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
(5) Untuk menjamin penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat menetapkan
dana jaminan yang wajib dipenuhi oleh pemakai jasa Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
(6) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penetapan dana
jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mulai berlaku setelah
mendapat persetujuan OJK.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelesaian Transaksi Efek diatur
dalam Peraturan OJK.

17. Di antara Pasal 55 dan Pasal 56 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 55A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 55A
(1) Dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (5)

96
dikelola oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(2) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
milik industri Pasar Modal dan bukan merupakan harta dari Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
(3) Ketentuan mengenai dana jaminan diatur dengan Peraturan OJK.

18. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 61
Efek dalam Penitipan Kolektif dapat dipinjamkan atau dijaminkan dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.

19. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 64
(1) Profesi Penunjang Pasar Modal terdiri atas:
a. akuntan;
b. konsultan hukum;
c. penilai;
d. notaris; dan
e. profesi lain yang ditetapkan dengan Peraturan OJK.
(2) Untuk dapat melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal, profesi
penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
terlebih dahulu memperoleh surat tanda terdaftar dari OJK.
(3) Jika tidak terdapat instansi atau lembaga yang berwenang atau
memberikan izin pada profesi lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e, profesi lain tersebut wajib terlebih dahulu memperoleh
izin dari OJK.
(4) Dalam kondisi tertentu, OJK dapat menetapkan pengecualian
penggunaan jasa profesi penunjang pasar modal yang telah
memperoleh surat tanda terdaftar dari OJK.
(5) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian izin dan
surat tanda terdaftar profesi penunjang Pasar Modal ditetapkan
dengan Peraturan OJK.

20. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 66
(1) Setiap Profesi Penunjang Pasar Modal wajib menaati kode etik dan
standar profesi yang ditetapkan oleh asosiasi profesi masing-masing
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan/atau
peraturan pelaksanaannya.
(2) Profesi penunjang Pasar Modal wajib mendirikan atau menjadi rekan
pada kantor profesi penunjang Pasar Modal.
(3) Kantor profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat berupa perorangan atau badan usaha.
(4) OJK dapat mewajibkan kantor profesi penunjang Pasar Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memperoleh surat tanda
terdaftar dari OJK sebelum pendiri dan/atau rekan pada kantor
profesi penunjang Pasar Modal melakukan kegiatan di bidang Pasar
Modal.
(5) OJK dapat mengatur standar profesi di bidang Pasar Modal dan tata
kelola kantor profesi penunjang Pasar Modal.

21. Ketentuan Bab IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


BAB IX
PENAWARAN EFEK DAN PERUSAHAAN PUBLIK

22. Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

97
Bagian Kesatu
Penawaran Umum dan Pernyataan Pendaftaran

23. Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 69A,
Pasal 69B, dan Pasal 69C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69A
(1) Dalam rangka memperluas akses usaha mikro, kecil, dan menengah
untuk mendapatkan pendanaan dari Pasar Modal, OJK mengatur
penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran umum Efek
dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik
(securities crowdfunding) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a angka 7.
(2) OJK mengatur persyaratan maksimum jumlah penghimpunan dana
dan persyaratan investor yang dapat menggunakan mekanisme
penawaran umum Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara
sistem elektronik (securities crowdfunding) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Penyelenggara layanan urun dana yang memfasilitasi penawaran
umum Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh
izin dari OJK.
(4) Dalam hal penyelenggara urun dana memfasilitasi penawaran umum
Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Lembaga Jasa
Keuangan yang telah memiliki izin dari OJK, penyelenggara wajib
memperoleh pendaftaran/persetujuan dari OJK.
(5) Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
akan melakukan kegiatan usaha sebagai penyelenggara layanan urun
dana wajib menerapkan prinsip kehati-hatian serta manajemen
risiko.
(6) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diatur
berbeda dari peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi:
a. status perseroan terbuka;
b. pemindahan hak atas saham;
c. susunan organ perseroan; dan
d. penyelenggaraan rapat umum pemegang saham.

Pasal 69B
(1) Dalam rangka pengembangan Pasar Modal, OJK dapat mengatur
penawaran umum perusahaan berinovasi tinggi dengan
pertumbuhan cepat berdasarkan karakteristik tertentu.
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. klasifikasi saham yang dapat diterbitkan;
b. tata cara penambahan modal;
c. transaksi tertentu;
d. pencatatan Efek di Penyelenggara Pasar di Pasar Modal; dan
e. pengaturan lainnya.

Pasal 69C
(1) Bagi Perseroan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal berlaku
ketentuan Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas, sepanjang
tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal.
(2) Peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mewujudkan Pasar Modal
yang teratur, wajar, efisien, dan melindungi kepentingan pemodal.

24. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

98
Pasal 70
(1) Penawaran Umum hanya dapat dilakukan oleh Emiten yang telah
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada OJK untuk
menawarkan Efek dengan tujuan menjual Efek kepada masyarakat
dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah efektif.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
Pihak yang melakukan:
a. penawaran Efek yang bersifat utang yang jatuh temponya tidak
lebih dari 1 (satu) tahun;
b. penawaran Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin Pemerintah
Indonesia;
c. penawaran atas Efek atau surat berharga yang secara khusus
diatur dalam Undang-Undang; atau
d. penawaran Efek lain yang ditetapkan oleh OJK.

25. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 74
(1) Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif pada hari kerja ke-20 (kedua
puluh) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap
atau pada tanggal yang lebih awal jika dinyatakan efektif oleh OJK.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi dari
Emiten atau Perusahaan Publik.
(3) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan
perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pernyataan Pendaftaran tersebut dianggap telah
disampaikan kembali pada tanggal diterimanya perubahan atau
tambahan informasi tersebut.
(4) Dalam hal OJK meminta perubahan dan/atau tambahan informasi
dari Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), penghitungan waktu untuk efektifnya Pernyataan
Pendaftaran dihitung sejak tanggal diterimanya tambahan informasi
atau perubahan dimaksud.
(5) Pernyataan Pendaftaran tidak dapat menjadi efektif sampai saat
informasi tambahan atau perubahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diterima dan telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
OJK. 

(6) OJK dapat mengatur ketentuan jangka waktu Pernyataan
Pendaftaran menjadi efektif lebih cepat dari hari kerja ke-20 (kedua
puluh) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap.

26. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 82
(1) Emiten atau Perusahaan Publik dapat diwajibkan oleh OJK untuk
memberikan hak memesan Efek terlebih dahulu kepada setiap
pemegang saham secara proporsional apabila Emiten atau
Perusahaan Publik menerbitkan saham atau Efek yang dapat ditukar
dengan saham Emiten atau Perusahaan Publik.
(2) Emiten atau Perusahaan Publik dapat diwajibkan oleh OJK untuk
memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen
apabila Emiten atau Perusahaan Publik melakukan transaksi yang
kepentingan ekonomis Emiten atau Perusahaan Publik berbenturan
dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau
pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik.
(3) Emiten atau Perusahaan Publik dapat diwajibkan oleh OJK untuk
memperoleh persetujuan pemegang saham apabila Emiten atau

99
Perusahaan Publik melakukan transaksi material, perubahan
kegiatan usaha utama, transaksi Afiliasi, penggabungan, pemisahan,
peleburan, pengurangan modal, atau pembelian kembali saham.
(4) Dalam rangka memenuhi asas keterbukaan dan melindungi
kepentingan publik, Emiten atau Perusahaan Publik dapat
diwajibkan oleh OJK untuk memperoleh persetujuan mayoritas
pemegang saham independen apabila Emiten akan melakukan
transaksi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan hak
memesan Efek terlebih dahulu, transaksi yang mempunyai benturan
kepentingan, serta transaksi material dan/atau perubahan kegiatan
usaha utama, transaksi Afiliasi, penggabungan, pemisahan,
peleburan, pengurangan modal, atau pembelian kembali saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur
dengan Peraturan OJK.

27. Di antara Pasal 84 dan Pasal 85 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 84A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 84A
(1) Dalam hal Perusahaan Terbuka dibatalkan pencatatan Efeknya pada
Bursa Efek sebagai akibat dari tindakan pemegang saham pengendali
Perusahaan Terbuka yang merugikan, Perusahaan Terbuka wajib
mengubah status menjadi perseroan yang tertutup.
(2) Dalam rangka memberikan perlindungan kepada pemegang saham
publik pada Perusahaan Terbuka yang akan mengubah statusnya
menjadi perseroan yang tertutup, OJK dapat:
a. memerintahkan Perusahaan Terbuka untuk terlebih dahulu
memperoleh persetujuan pemegang saham independen dalam
rapat umum pemegang saham; dan/atau
b. memerintahkan pemegang saham pengendali untuk melakukan
penawaran tender pada harga wajar untuk membeli saham dari
pemegang saham lain yang tidak terafiliasi dengan pemegang
saham pengendali.

28. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 86
(1) Emiten yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif atau
Perusahaan Publik wajib:
a. menyampaikan laporan secara berkala kepada OJK dan
mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; dan
b. menyampaikan laporan kepada OJK dan mengumumkan kepada
masyarakat tentang peristiwa material yang dapat mempengaruhi
harga Efek sesegera mungkin setelah terjadinya peristiwa
tersebut.
(2) Emiten atau Perusahaan Publik yang Pernyataan Pendaftarannya
telah menjadi efektif dapat dikecualikan dari kewajiban untuk
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh OJK.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu penyampaian laporan
kepada OJK dan mengumumkan kepada masyarakat tentang
peristiwa material yang dapat mempengaruhi harga Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

29. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 87

100
(1) Direktur atau komisaris Emiten atau Perusahaan Publik wajib
melaporkan kepada OJK atas kepemilikan dan setiap perubahan
kepemilikannya atas saham perusahaan.
(2) Setiap Pihak yang memiliki paling sedikit 5% (lima persen) saham
Emiten atau Perusahaan Publik wajib melaporkan kepada OJK atas
kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham
perusahaan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
disampaikan sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari 5 (lima) hari
kerja terhitung sejak terjadinya kepemilikan atau perubahan
kepemilikan atas saham Emiten atau Perusahaan Publik.
(4) OJK dapat menentukan persyaratan jangka waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih cepat dari 5 (lima)
hari kerja terhitung sejak terjadinya kepemilikan atau perubahan
kepemilikan atas saham Emiten atau Perusahaan Publik.

30. Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XA
PENANGANAN PENYELENGGARA PASAR DI PASAR MODAL, BURSA
EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN DALAM KONDISI TERTENTU

31. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A,
Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 89A
(1) Dalam hal Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, OJK dapat melakukan tindakan:
a. meminta pemegang saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menambah modal;
b. memberhentikan sebagian atau seluruh anggota dewan komisaris
dan/atau direksi Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian sementara waktu dan menunjuk pengelola
statuter;
c. meminta pemegang saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengadakan rapat umum
pemegang saham;
d. memerintahkan Pihak tertentu untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan yang dinilai dapat mengatasi kesulitan yang
dihadapi oleh Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian; dan/atau
e. tindakan lain untuk menyelesaikan kesulitan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Penyelenggara Pasar di
Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Penyelenggara Pasar di Pasar
Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan/atau menurut penilaian OJK
keadaan Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga

101
Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dapat membahayakan industri Pasar Modal, OJK dapat:
a. mencabut izin usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
b. memerintahkan direksi atau pengelola statuter untuk segera
menyelenggarakan rapat umum pemegang saham guna
membubarkan badan hukum Penyelenggara Pasar di Pasar
Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan membentuk tim
likuidasi; dan/atau
c. menunjuk Pihak tertentu sebagai penyelenggara sementara fungsi
Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(3) Dalam hal rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b tidak terselenggara atau memutuskan untuk
tidak membubarkan perseroan, OJK meminta kepada Pengadilan
untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan
hukum Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, penunjukan tim likuidasi dan perintah pelaksanaan
likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usaha Penyelenggara Pasar di Pasar
Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan OJK.

Pasal 89B
(1) Dalam hal Perusahaan Efek mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, OJK dapat melakukan
tindakan:
a. meminta pemegang saham Perusahaan Efek untuk menambah
modal;
b. memberhentikan sebagian atau seluruh dewan komisaris
dan/atau direksi Perusahaan Efek sementara waktu dan
menunjuk pengelola statuter;
c. meminta pemegang untuk mengadakan rapat umum pemegang
saham Perusahaan Efek;
d. memerintahkan Pihak tertentu untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan yang dinilai dapat mengatasi kesulitan yang
dihadapi oleh Perusahaan Efek; dan/atau
e. tindakan lain untuk menyelesaikan kesulitan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan Efek.
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Perusahaan Efek dan/atau
menurut penilaian OJK keadaan Perusahaan Efek dapat
membahayakan industri Pasar Modal, OJK dapat:
a. mencabut izin usaha Perusahaan Efek; dan/atau
b. memerintahkan direksi atau pengelola statuter untuk segera
menyelenggarakan rapat umum pemegang saham guna
membubarkan badan hukum Perusahaan Efek dan membentuk
tim likuidasi.
(3) Dalam hal rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b tidak terselenggara atau memutuskan untuk

102
tidak membubarkan perseroan, OJK meminta kepada Pengadilan
untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan
hukum Perusahaan Efek, penunjukan tim likuidasi dan perintah
pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan Efek sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK.

Pasal 89C
(1) Dalam hal izin usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, atau Perusahaan Efek telah dicabut maka badan
hukum Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
atau Perusahaan Efek wajib dibubarkan dan dilikuidasi.
(2) Nama perseroan yang pernah digunakan oleh Penyelenggara Pasar di
Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek yang izin
usahanya telah dicabut, badan hukumnya telah dibubarkan, dan
dilikuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
digunakan lagi sebagai nama perseroan.

32. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 90
Dalam kegiatan perdagangan Efek atau kegiatan pengelolaan investasi,
setiap Pihak dilarang dengan sengaja secara langsung atau tidak
langsung:
a. mengelabui dengan menggunakan:
1. nama palsu;
2. martabat palsu;
3. tipu muslihat;
4. rangkaian kebohongan, dan/atau
5. cara apapun,
sehingga Pihak lain terpengaruh untuk:
a) membeli Efek;
b) menjual Efek;
c) menahan Efek; dan/atau
d) menggunakan jasanya untuk mengelola investasi, dengan
menyerahkan dana dan/atau Efek untuk dikelola,
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain; dan/atau
b. membuat pernyataan tidak benar mengenai Informasi atau Fakta
Material atau tidak mengungkapkan fakta yang material dengan
maksud:
1. menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri
atau Pihak lain;
2. mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan
Efek; dan/atau
3. mempengaruhi Pihak lain untuk menggunakan jasanya guna
mengelola investasi, dengan menyerahkan dana dan/atau Efek
untuk dikelola.

33. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 91
Setiap Pihak baik langsung maupun tidak langsung dilarang melakukan:

103
a. transaksi Efek yang tidak mengakibatkan perubahan kepemilikan;
dan/atau
b. penawaran jual atau penawaran beli Efek pada harga tertentu, Pihak
tersebut juga telah bersekongkol dengan Pihak lain yang melakukan
penawaran beli atau penawaran jual Efek yang sama pada harga yang
kurang lebih sama,
dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan
mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek baik di
Bursa Efek maupun luar Bursa Efek dalam kegiatan di Pasar Modal.

34. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 92
Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak
lain, dilarang melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung
maupun tidak langsung, yang menciptakan harga Efek tetap, naik, atau
turun yang semu baik di Bursa Efek maupun luar Bursa Efek dengan
tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain.

35. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 93
Setiap Pihak dilarang, dengan cara apapun, membuat pernyataan atau
memberikan keterangan yang tidak benar atau menyesatkan sehingga
mempengaruhi harga Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau
keterangan diberikan:
a. Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa pernyataan atau keterangan tersebut tidak benar atau
menyesatkan; dan/atau
b. Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan
kebenaran dari pernyataan atau keterangan tersebut.

36. Di antara BAB XII dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XIIA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XIIA
PRINSIP UNA VIA DAN PERINTAH TERTULIS

37. Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
100A, Pasal 100B, dan Pasal 100C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 100A
(1) OJK dapat menetapkan:
a. tidak melanjutkan ke tahap penyidikan; atau
b. dimulainya tindakan penyidikan,
terhadap dugaan terjadinya tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
(2) Dalam menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK mempertimbangkan:
a. nilai transaksi dari pelanggaran atau dampak pelanggaran;
b. ada atau tidak adanya penyelesaian atas kerugian yang timbul
akibat tindak pidana;
c. akibat tindak pidana terhadap kegiatan penawaran dan/atau
perdagangan efek secara keseluruhan; dan/atau
d. dampak kerugian terhadap sistem Pasar Modal atau kepentingan
pemodal dan/atau masyarakat.
(3) Dalam hal OJK menetapkan tidak melanjutkan ke tahap penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, OJK berwenang
menetapkan tindakan administratif berupa sanksi administratif
dan/atau perintah tertulis terhadap Pihak yang melakukan tindak

104
pidana.

Pasal 100B
OJK dapat memberikan perintah tertulis kepada Pihak yang melakukan
tindak pidana namun terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 100A ayat (1), OJK tidak melanjutkan ke tahap penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100A ayat (3), untuk mengembalikan
keuntungan yang diperoleh dan/atau kerugian yang dapat dihindari dari
tindak pidana.

Pasal 100C
(1) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100B dapat
disertai dengan perintah kepada lembaga jasa keuangan dan/atau
Pihak tertentu untuk:
a. memblokir rekening atau membekukan aset Pihak;
b. memindahbukukan dana dan/atau Efek dalam rekening Pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a ke rekening yang
ditetapkan oleh OJK;
c. mengalihkan aset Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
kepada Pihak yang ditetapkan oleh OJK; dan/atau
d. mencairkan aset dalam rekening Efek atau aset Pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sebagai pemenuhan
kewajiban pihak tersebut terhadap perintah OJK untuk
mengembalikan keuntungan yang diperoleh dan/atau kerugian
yang dapat dihindari dari tindak pidana.
(2) Dana yang berasal dari pengembalian keuntungan yang diperoleh
atau kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d bukan merupakan penerimaan OJK
dan digunakan untuk memberikan kompensasi kerugian investor
dan/atau pengembangan industri Pasar Modal.
(3) OJK mengumumkan pengenaan pengembalian yang diperoleh atau
kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b kepada masyarakat melalui situs web OJK
dan/atau media massa.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian keuntungan yang
diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan penggunaan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan OJK.

38. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 101
(1) Penyidikan atas tindak pidana di bidang Pasar Modal hanya dapat
dilakukan oleh Penyidik OJK.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Pasar Modal;
b. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pasar Modal;
c. melakukan penelitian terhadap Pihak yang diduga melakukan
atau terlibat dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal;
d. memanggil, memeriksa, dan meminta keterangan dan barang
bukti dari setiap Pihak yang disangka melakukan, atau sebagai
saksi dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal;
e. meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan
penangkalan terhadap orang asing yang diduga akan mengganggu
keamanan dan ketertiban umum melalui kegiatan di Pasar Modal;

105
f. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pasar Modal;
g. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga
terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang
dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang Pasar Modal;
h. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari
Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana
di bidang Pasar Modal;
i. meminta data, dokumen, atau barang bukti lain baik cetak
maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi
atau penyelenggara jasa penyimpanan data dan/atau dokumen;
j. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal; dan/atau
k. menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.
(3) Dalam rangka pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK berwenang memperoleh keterangan dari bank tentang
keadaan keuangan Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam
tindak pidana di bidang Pasar Modal pada bank.
(4) Dalam rangka pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK berwenang mengajukan permintaan secara langsung
kepada pejabat imigrasi tertentu dalam keadaan mendesak untuk
melaksanakan pencegahan terhadap seseorang untuk keluar dari
wilayah Republik Indonesia.
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum sesuai dengan Undang-Undang tentang
OJK.
(6) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta bantuan aparat penegak
hukum lain.
(7) Setiap pegawai OJK yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan
dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau mengungkapkan
informasi yang diperoleh kepada Pihak lain, selain dalam rangka
upaya untuk mencapai tujuan OJK atau jika diharuskan oleh
Undang-Undang lainnya.

39. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 103
(1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5D, Pasal 6,
atau Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar
rupiah).
(2) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa
memperoleh izin atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3), Pasal 30 ayat (1), Pasal 43 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa
memperoleh izin, persetujuan, atau surat tanda terdaftar

106
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Pasal 48 ayat (1),
Pasal 50 ayat (2), atau Pasal 64 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah).
(4) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan sebagai Wakil Penjamin Emisi
Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Manajer Investasi tanpa
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara pidana paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

40. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 104
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat
(1), atau Pasal 98 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).

41. Di antara Pasal 104 dan Pasal 105 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
104A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 104A
Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, atau Pihak terafiliasinya yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dan
mengemukakan secara tidak benar tentang fakta yang material kepada
nasabah mengenai kemampuan usaha atau keadaan keuangannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).

42. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 105
Manajer Investasi dan/atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

43. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 106
(1) Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000.000,00
(seratus lima puluh miliar rupiah).
(2) Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta

107
rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).

44. Di antara Pasal 106 dan Pasal 107 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
106A, Pasal 106B, dan Pasal 106C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 106A
(1) Kustodian atau Pihak terafiliasinya yang memberikan keterangan
mengenai rekening Efek pada Kustodian kepada Pihak lain selain
kepada Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Pihak yang karena kedudukan atau profesinya atau hubungan
usahanya dengan Kustodian memperoleh keterangan mengenai
rekening Efek dari Kustodian atau Pihak terafiliasinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2), yang memberikan keterangan
mengenai rekening Efek kepada Pihak lain secara melawan hukum
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 106B
Kustodian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 106C
Setiap Pihak yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana
yang diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara 1
(satu) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).

Bagian Kedua
Pasar Karbon

Pasal 23
(1) Perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.
(2) Unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti
kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat atau persetujuan teknis yang
dinyatakan dalam 1 (satu) ton karbondioksida yang tercatat dalam sistem
registri nasional pengendalian perubahan iklim.

Pasal 24
(1) Perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dilakukan dengan:
a. mekanisme pasar karbon melalui bursa karbon; dan/atau
b. perdagangan langsung.

108
(2) Bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
suatu sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon,
perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon.
(3) Perdagangan karbon melalui mekanisme pasar karbon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan:
a. pengembangan infrastruktur perdagangan karbon;
b. pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan
karbon; dan/atau
c. administrasi transaksi karbon.
(4) Pusat bursa pasar karbon berkedudukan di Indonesia.

Pasal 25
(1) Perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh izin dari otoritas yang berwenang.
(2) Otoritas yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang melakukan
pengaturan dan pengawasan sektor keuangan.

Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pasar karbon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17A sampai dengan Pasal 17C diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Keempat
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing

Pasal 27
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan
pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang, Pasar Valuta
Asing, dan transaksi derivatif.
(2) Dalam melakukan pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar
Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pembahasan bersama dengan
OJK dan LPS.

Pasal 28
Kegiatan di Pasar Uang meliputi:
a. penerbitan Instrumen Keuangan di Pasar Uang; dan
b. transaksi di Pasar Uang.

Pasal 29
(1) Kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
untuk mengatur ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak
berlaku bagi pihak yang melakukan penawaran Instrumen Keuangan di
Pasar Uang yang diterbitkan dan dijamin oleh Pemerintah Indonesia.
(2) Dalam hal penerbitan dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 merupakan kewenangan otoritas lain, Bank Indonesia dan
otoritas lain melakukan koordinasi dalam harmonisasi pengaturan dan
koordinasi pengawasan.

Pasal 30
(1) Instrumen Keuangan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 dapat dilakukan penerbitan dan transaksinya baik secara konvensional
maupun berdasarkan prinsip syariah.
(2) Instrumen Keuangan di Pasar Uang berdasarkan prinsip syariah wajib
memenuhi prinsip syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

109
Pasal 31
Dalam penyelenggaraan kegiatan Pasar Uang, pembentukan harga wajib
dilakukan secara kredibel, transparan, dan memenuhi pedoman perilaku Pasar
Uang.

Pasal 32
(1) Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang meliputi:
a. pelaku pasar;
b. lembaga pendukung Pasar Uang; dan
c. pihak lainnya yang terkait dengan kegiatan dan transaksi di Pasar
Uang.
(2) Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang harus menerapkan prinsip
kehati-hatian, manajemen risiko, mematuhi pedoman perilaku, dan
melakukan perlindungan konsumen.
(3) Ketentuan penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan
kegiatan penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak berlaku
bagi Pihak yang melakukan penawaran Instrumen Keuangan di Pasar
Uang yang diterbitkan dan dijamin Pemerintah Indonesia.

Pasal 33
Lembaga kliring (central counter party) di Pasar Uang melaksanakan fungsi
kliring untuk transaksi yang bersifat over the counter dengan menempatkan
dirinya di antara para pihak yang melakukan transaksi di Pasar Uang dan
transaksi derivatifnya dengan novasi transaksi sehingga bertindak sebagai
pembeli bagi penjual dan sebagai penjual bagi pembeli.

Bagian Kelima
Pengembangan Instrumen Keuangan di Pasar Keuangan

Paragraf 1
Pengelolaan Instrumen Keuangan

Pasal 34
(1) Badan Pengelola Instrumen Keuangan merupakan badan usaha khusus
yang dibentuk untuk melakukan kegiatan sekuritisasi yang mencakup
kegiatan:
a. menerima pengalihan atas sekumpulan aset termasuk aset keuangan
dari kreditur/pemilik aset asal (originator);
b. melakukan sekuritisasi atas sekumpulan aset termasuk aset
keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
c. menerbitkan surat berharga hasil sekuritisasi kepada investor
(beneficiary).
(2) Badan Pengelola Instrumen Keuangan berbentuk perseroan terbatas
dengan karakteristik tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.
(3) Badan Pengelola Instrumen Keuangan wajib memperoleh izin usaha dari
Otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan
usaha sesuai dengan kewenangannya dan dapat memulai kegiatan
usahanya sejak memperoleh izin usaha.
(4) Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai
Badan Pengelola Instrumen Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dan huruf c meliputi:

110
a. didirikan oleh 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang klasifikasinya
diatur oleh OJK;
b. hanya dapat dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan yang diatur dan
diawasi oleh OJK;
c. memiliki modal dasar tertentu yang diatur oleh OJK;
d. memiliki organ paling kurang memiliki 1 (satu) orang anggota Direksi
dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris;
e. pemegang saham dan/atau organ perseroan dilarang melakukan aksi
korporasi berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
dan/atau pemisahan atas perseroan Badan Pengelola Instrumen
Keuangan tanpa persetujuan dari OJK;
f. pemegang saham dilarang mengalihkan saham perseroan tanpa
persetujuan dari OJK; dan
g. pemegang saham bertanggung jawab atas kegiatan usaha yang
dilaksanakan perseroan.
(5) Kegiatan Badan Pengelola Instrumen Keuangan dapat dilakukan baik
secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
(6) Badan Pengelola Instrumen Keuangan berdasarkan persetujuan OJK
dapat membantu kegiatan penerbitan Efek bersifat utang berdasarkan
prinsip syariah.
(7) Kegiatan usaha Badan Pengelola Instrumen Keuangan diatur dan diawasi
oleh Otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi
kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 35
(1) Permohonan pailit Badan Pengelola Instrumen hanya dapat diajukan oleh
OJK.
(2) Aset yang dialihkan hak, manfaat, dan risikonya pada Badan
Pengelola Instrumen bukan merupakan bagian dari aset kreditur/pemilik
aset asal (originator) dan dicatat terpisah dari aset Badan Pengelola
Instrumen.
(3) Dalam hal kreditur/pemilik aset asal (originator) dipailitkan, semua
aset yang hak, manfaat, dan risikonya telah dialihkan sepenuhnya kepada
Badan Pengelola Instrumen tidak termasuk dalam harta pailit
(boedel pailit) kreditur/pemilik aset asal (originator).

Paragraf 2
Penyelesaian Transaksi

Pasal 36
(1) Penyelesaian transaksi Instrumen Keuangan di pasar keuangan menganut
prinsip:
a. penyelesaian transaksi Instrumen Keuangan yang telah memenuhi
persyaratan serta bersifat final dan mengikat;
b. diberlakukannya prinsip penyerahan terhadap pembayaran (delivery
versus payment) dalam transaksi Instrumen Keuangan; dan
c. diakuinya proses perhitungan hak dan kewajiban antara 2 (dua) Pihak
atau lebih yang dilakukan oleh para Pihak yang bertransaksi atau
Lembaga Kliring dan Penjaminan atau sarana kliring dengan
memperhitungkan secara langsung hasil akhir hak dan kewajiban
yang dimiliki para pihak yang dilakukan dengan mekanisme netting
dalam transaksi Instrumen Keuangan yang efisien.
(2) Transaksi Instrumen Keuangan di pasar keuangan yang terjadi sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang wajib diselesaikan seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

111
(3) Transaksi Instrumen Keuangan di pasar keuangan yang telah memenuhi
persyaratan wajib diselesaikan dan tidak dapat dibatalkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan transaksi Instrumen
Keuangan yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan
OJK.
(5) Ketentuan mengenai penyelesaian transaksi di Pasar Uang dilaksanakan
dengan penyelesaian pembukuan atau cara lain yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 37
(1) Penyelesaian transaksi derivatif suku bunga pada Pasar Uang dan
transaksi derivatif nilai tukar pada Pasar Valuta Asing dapat dilakukan
dengan mekanisme netting oleh masing-masing pihak yang melakukan
transaksi untuk setiap periode pembayaran.
(2) Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang bertransaksi,
penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat
dilakukan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sepanjang
dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam perjanjian induk transaksi
keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi
keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting).
(3) Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah
dilaksanakan proses pengakhiran transaksi keuangan melalui
perjumpaan utang (close-out netting) terhadap transaksi di Pasar Uang
dan Pasar Valuta Asing sebagaimana diperjanjikan dalam kontrak maka
transaksi tersebut wajib diselesaikan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi derivatif suku
bunga dan nilai tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penyelesaian transaksi derivatif nilai tukar dan suku bunga akibat
wanprestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia.

Pasal 38
(1) Pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out
netting) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 dapat
dilakukan baik sebelum maupun sesudah terjadi kepailitan.
(2) Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang
dilakukan berdasarkan perjanjian induk transaksi keuangan di pasar
keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui
perjumpaan utang (close-out netting) oleh debitor pailit tidak dapat
dibatalkan pengadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
(3) Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang
mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan
utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
memerlukan permohonan perjumpaan Utang sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang.

Pasal 39
Likuidator tidak dapat membatalkan atau menganggap tidak sah suatu
pembayaran atau transfer kolateral yang terjadi sehubungan dengan
penyelesaian yang diakhiri dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai
atau jumlah hak atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi
(defaulting party) kecuali terbukti bahwa pembayaran atau transfer kolateral
terjadi karena fraud.

112
Pasal 40
(1) Dalam perjanjian pada transaksi di pasar modal, pasar uang, dan pasar
valuta asing termasuk transaksi Instrumen Derivatif, para pihak dapat
menggunakan kontrak pintar (smart contract) sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan
transaksi elektronik.
(2) Kontrak pintar (smart contract) dan/atau hasil cetaknya dapat menjadi alat
bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam undang-undang
mengenai informasi dan transaksi elektronik.
(3) Penggunaan kontrak pintar (smart contract) diikuti penyimpanan
kesepakatan yang paling sedikit memuat syarat dan ketentuan mengenai
otomasi pelaksanaan hak dan kewajiban berdasarkan smart contract.
(4) Pengaturan mengenai kontrak pintar (smart contract) mengacu kepada
pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor keuangan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
informasi dan transaksi elektronik.

Pasal 41
(1) Penerbitan, penatausahaan, dan pengalihan kepemilikan Instrumen
Keuangan dapat dilakukan tanpa warkat (scripless).
(2) Instrumen Keuangan yang diterbitkan tanpa warkat (scripless)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk proses penatausahaan
dan pengalihannya, dapat menjadi alat bukti hukum yang sah
sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai informasi dan
transaksi elektronik.

Bagian Keenam
Instrumen Keuangan Surat Utang Negara

Pasal 42
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan instrumen keuangan surat utang negara, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa
ketentuan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236).

Pasal 43
Ketentuan Pasal 4 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236) diubah sebagai
berikut:
Pasal 4
Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan:
a. membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara
arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam
satu tahun anggaran;
c. mengelola portofolio utang negara; dan
d. membiayai pembangunan proyek.

BAB VI
PERASURANSIAN

113
Pasal 44
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan di sektor perasuransian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5618).

Pasal 45
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) diubah sebagai
berikut:

1. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A


sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Prinsip Syariah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(2) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti oleh
otoritas terkait dalam bentuk peraturan.
(3) Dalam rangka penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), otoritas terkait berkoordinasi dengan Majelis Ulama
Indonesia.
(4) Asuransi prinsip syariah yang tidak merujuk kepada fatwa MUI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi berupa
pembekuan usaha.
(5) Dalam Majelis Ulama Indonesia belum memberikan fatwa atau tidak
ada fatwa atas suatu aktifitas atau produk asuransi syariah, otoritas
terkait wajib berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia dan
dapat mengikuti rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 5
(1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta
Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat
diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi
Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. penjaminan kredit/pembiayaan; dan/atau
b. suretyship.
(3) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi
Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
(4) Perusahaan Asuransi Umum dan/atau Asuransi Umum Syariah
menyelenggarakan usaha pertanggungan atas tanggung jawab
hukum pihak ketiga sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh OJK.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha
Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum
Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) serta penyelenggaraan usaha
pertanggungan atas tanggung jawab hukum pihak ketiga

114
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan OJK.

3. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A


sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Dalam menyelenggarakan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 sampai dengan Pasal 5, Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan
Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Umum
Syariah, Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, dan Perusahaan
Reasuransi Syariah dapat menggunakan inovasi berbasis teknologi.
(2) Perusahaan Perasuransian yang menggunakan inovasi berbasis
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin
dari OJK.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perusahaan Perasuransian yang
menggunakan inovasi berbasis teknologi diatur dengan Peraturan
OJK.

4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 11
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan tata kelola perusahaan
yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko,
pengendalian internal, dalam melakukan kegiatan usahanya.
(2) Dalam menerapkan tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan prinsip
kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
profesional, dan kewajaran.
(3) Perusahaan Perasuransian menyusun sistem pengendalian internal
dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Perusahaan asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib
mengelompokkan investasi yang berasal dari kekayaan pemegang
polis, tertanggung, atau peserta berdasarkan tingkat risiko dan
pengembalian yang dilakukan perusahaan.
(5) Perusahaan asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi harus dapat mengelola dana
premi oleh pemegang polis yang dihimpun sesuai dengan portofolio
risiko yang diminati oleh pemegang polis asuransi dan menjelaskan
secara tertulis terkait dengan risiko dan benefit yang ada dalam
produknya.
(6) Perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah dalam
mengelola dana premi dari pemegang polis harus dapat menghitung
risiko dan manfaat yang akan didapat oleh pemegang polis asuransi
dan memastikan tidak terjadi gagal bayar ketika pemegang polis
mengajukan klaim.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam
Peraturan OJK.

5. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 12
(1) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan
anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah, aktuaris

115
perusahaan, auditor internal, dan Pengendali setiap saat wajib
memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan serta memiliki
integritas yang kuat dan dibuktikan dengan sertifikat yang
membuktikan kompetensi profesi dari lembaga profesi atau lembaga
pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penilaian
kemampuan dan kepatutan serta integritas yang kuat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

6. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 22
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan laporan, informasi,
data, dan/atau dokumen kepada OJK.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui sistem data elektronik.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Perusahaan Perasuransian yang menggunakan inovasi berbasis
teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A wajib dilakukan
melalui sistem data elektronik.
(4) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib
mengumumkan posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi
kesehatan keuangan perusahaan dalam surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan media
elektronik.
(5) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib menyediakan
informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan risiko
yang dihadapinya kepada pihak yang berkepentingan dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib
mengumumkan laporan keuangan yang telah diaudit paling lama 1
(satu) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan keuangan
kepada OJK.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan OJK.

7. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
(1) Dalam penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
penyusunan laporan keuangan oleh Perusahaan Perasuransian
menggunakan basis pencatatan akrual.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan laporan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

8. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 27
(1) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib
terdaftar di OJK.
(2) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki pengetahuan
dan kemampuan yang cukup serta memiliki reputasi yang baik.

116
(3) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab
OJK dalam pengawasan Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan
Agen Asuransi.
(4) Pembinaan Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi dan Agen Asuransi
dilakukan oleh Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Asuransi.
(5) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi harus
menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam
melayani atau bertransaksi dengan Pemegang Polis, Tertanggung,
atau Peserta dan dibuktikan dengan sertifikat keahlian yang
dikeluarkan lembaga profesi atau lembaga pendidikan yang diakui.
(6) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib
memberikan informasi yang benar, tidak palsu, dan tidak
menyesatkan kepada calon Pemegang Polis, calon Tertanggung, calon
Peserta, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengenai
risiko, manfaat, kewajiban dan pembebanan biaya terkait dengan
produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pialang Asuransi, Pialang
Reasuransi, dan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan OJK.

9. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 28
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka perolehan
bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Premi atau
Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh Pemegang Polis atau
Peserta kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah, atau dibayarkan melalui pihak lain yang melakukan kerja
sama.
(2) Pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis
hanya dapat menerima pembayaran Premi atau Kontribusi dari
Pemegang Polis atau Peserta apabila diatur dalam perjanjian kerja
sama antara pihak lain tersebut dan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah.
(3) Pertanggungan dinyatakan mulai berlaku dan mengikat para Pihak
terhitung sejak Premi atau Kontribusi diterima oleh pihak lain yang
melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis.
(4) Pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi
dilarang menahan atau mengelola Premi atau Kontribusi.
(5) Pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis
dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi.
(6) Dalam hal Premi atau Kontribusi dibayarkan melalui pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pihak lain
menyerahkan Premi atau Kontribusi kepada Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam jangka waktu yang
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak premi atau kontribusi
dibayarkan, yang diatur dalam Peraturan OJK.
(7) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib
bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul apabila
pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis

117
telah menerima Premi atau Kontribusi, tetapi belum
menyerahkannya kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi Syariah.
(8) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib
membayarkan imbalan jasa keperantaraan kepada pihak lain yang
melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis segera
setelah menerima Premi atau Kontribusi.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama antara Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dengan pihak lain diatur
dalam Peraturan OJK.

10. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 31
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan segenap keahlian,
perhatian, dan kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
(2) Perusahaan Perasuransian wajib memberikan informasi yang benar,
tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban dan
pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk
asuransi syariah yang ditawarkan.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, Perusahaan Pialang
Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menangani klaim
dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses,
dan adil.
(4) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah dilarang
melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian
atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan
penyelesaian atau pembayaran klaim.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan segenap keahlian,
perhatian, dan kecermatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
penanganan klaim dan keluhan melalui proses yang cepat,
sederhana, mudah diakses, dan adil sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK.

11. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 35
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk
koperasi atau hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa
asuransi syariah bagi anggotanya.
(2) Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah berbentuk koperasi wajib menjadi Pemegang Polis dari
perusahaan yang bersangkutan.
(3) Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah berbentuk koperasi berakhir apabila:
a. anggota meninggal dunia;
b. anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan
selama 6 (enam) bulan berturut-turut; atau
c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
keanggotaan harus berakhir.

118
(4) Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
berbentuk koperasi berhak atas seluruh keuntungan dan wajib
menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk
menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan
kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk
koperasi diatur dalam Peraturan OJK.

12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 43
(1) Perusahaan Perasuransian yang dicabut izin usahanya wajib
menghentikan kegiatan usahanya.
(2) Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan pegawai Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau
Perusahaan Reasuransi Syariah dilarang mengalihkan,
menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau
melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau
menurunkan nilai aset Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi
Syariah baik sebelum maupun sejak dicabut izin usahanya.

13. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 50
(1) Permohonan pernyataan pailit atau penundaan kewajiban
pembayaran utang terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan
Reasuransi Syariah hanya dapat diajukan oleh OJK.
(2) Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan pailit atau
penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
atau Perusahaan Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Permohonan pernyataan pailit atau penundaan kewajiban
pembayaran utang terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan
Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
diajukan dalam rangka mengeksekusi putusan pengadilan.

14. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 51
(1) Kreditur menyampaikan permohonan kepada OJK untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit atau penundaan
kewajiban pembayaran utang kepada pengadilan niaga.
(2) OJK menyetujui atau menolak permohonan yang disampaikan oleh
kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal OJK menolak permohonan yang disampaikan oleh kreditur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan
secara tertulis dengan disertai alasannya.

119
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
permohonan dari kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK.

15. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 52
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah
dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung,
Peserta, dan pihak lain yang berhak atas pembagian harta
kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak
pihak lainnya.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih
dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.
(3) Dalam hal terdapat kelebihan Dana Asuransi setelah pemenuhan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kelebihan Dana
Asuransi tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban
kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak
lain yang berhak atas manfaat asuransi.
(4) Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan
Reasuransi Syariah dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Tabarru’, dana
tanahud, dan dana investasi peserta tidak dapat digunakan untuk
membayar kewajiban selain kepada Peserta.

16. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 53
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib
menjadi peserta program penjaminan polis.
(2) Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.
(3) Pada saat program penjaminan polis berlaku berdasarkan undang-
undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketentuan mengenai
Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf
d dan Pasal 20 dinyatakan tidak berlaku untuk Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Asuransi Syariah.
(4) Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk
paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

17. Di antara Pasal 62 dan Pasal 63 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 62A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 62A
(1) Dalam menetapkan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (1), OJK mempertimbangkan ketentuan, meliputi:
a. ketersediaan tenaga individu yang akan ditunjuk sebagai
Pengelola Statuter;
b. penunjukan Pengelola Statuter harus melalu uji kelayakan dan
kepatutan;
c. dalam mengelola perusahaan asuransi yang diambil alih,
Pengelola Statuter harus melaporkan setiap keputusan dan
tindakan pengendalian pengelolaan yang dilakukan kepada OJK;
dan
d. ketentuan lainnya.

120
(2) Pemilihan pengelola Statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
dilakukan oleh OJK melalui uji kelayakan dan kompetensi serta
kepatutan.
(3) Pengelola Statuter terpilih oleh OJK diwajibkan untuk melaporkan
setiap keputusan dan tindakan pengelolaannya yang mempunyai
pengaruh material dan signifikan kepada OJK secara periodik.
(4) Pengelola Statuter terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
bertanggung jawab atas kerugian jika kerugian disebabkan oleh moral
hazard.

18. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 64
(1) Pengelola Statuter bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
atau Perusahaan Reasuransi Syariah dan/atau pihak ketiga jika
kerugian tersebut disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau
kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan
perundangan-undangan di bidang perasuransian.
(2) Dalam hal kerugian tidak disebabkan oleh kecurangan,
ketidakjujuran, atau kesengajaan untuk tidak mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemegang Saham Pengendali
wajib bertanggungjawab atas hak keuangan nasabah atau anggota.

19. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 71
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5A, Pasal 7 ayat (1), Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat
(1), Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1),
Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 19
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 28 ayat (7), dan ayat (8), Pasal 29 ayat (3), ayat (5),
dan ayat (6), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35 ayat (2) dan ayat
(4), Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), Pasal 46 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2),
Pasal 61 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 62A ayat (3), Pasal 63 ayat (2),
Pasal 64 ayat (2), dan Pasal 68 ayat (1), dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan perusahaan;
c. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh
kegiatan usaha;
d. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk
asuransi syariah untuk lini usaha tertentu;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria,
akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa
bagi Perusahaan Perasuransian;
g. pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi;
h. denda administratif; dan/atau

121
i. larangan menjadi pemegang saham, Pengendali, direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, Pengendali,
direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf c, dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan
eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan
eksekutif di bawah direksi pada badan hukum berbentuk
koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf c, pada Perusahaan Perasuransian.
(3) Dalam hal OJK menilai kondisi Perusahaan Perasuransian
membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta, OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif yang lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3), serta besaran denda administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dalam Peraturan OJK.

20. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 75
Setiap Orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau
memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan
kepada calon Pemegang Polis, calon Tertanggung, calon Peserta,
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (6) dan Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

21. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 87
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
memiliki unit syariah dengan nilai Dana Tabarru’ dan dana investasi
peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari
total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta
pada perusahaan induknya atau sesuai kesiapan masing masing
perusahaan, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
wajib melakukan pemisahan unit syariah menjadi Perusahaan
Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

BAB VII
ASURANSI USAHA BERSAMA

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup dan Prinsip Usaha Bersama

Pasal 46
(1) Usaha Bersama mempunyai ruang lingkup di bidang usaha asuransi
jiwa.
(2) Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan
usahanya:
a. tidak menerbitkan saham;
b. tidak memiliki modal disetor;

122
c. memiliki ekuitas;
d. dimiliki oleh anggota;
e. menerbitkan produk asuransi yang menimbulkan pembagian
keuntungan dan kerugian atas kegiatan Usaha Bersama bagi anggota;
f. memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota; dan
g. dapat menggunakan Prinsip Syariah yang merujuk kepada fatwa MUI
dalam melakukan usahanya.

Pasal 47
(1) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf g
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh
Majelis Ulama Indonesia.
(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti oleh otoritas
terkait dalam bentuk peraturan.
(4) Dalam rangka penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), otoritas terkait berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia.
(5) Dalam hal Majelis Ulama Indonesia belum memberikan fatwa atau tidak
ada fatwa atas suatu aktivitas atau produk asuransi syariah, otoritas
terkait wajib berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia dan dapat
mengikuti rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

Pasal 48
(1) Asuransi Usaha Bersama wajib menerapkan tata kelola yang baik
termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan pengendalian
internal dalam melakukan kegiatan usaha.
(2) Dalam menerapkan tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Asuransi Usaha Bersama wajib menerapkan prinsip kehati-hatian,
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan
kewajaran.
(3) Asuransi Usaha Bersama menyusun sistem pengendalian internal dan
prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Asuransi Usaha Bersama wajib mengelompokkan investasi yang berasal
dari kekayaan pemegang polis, tertanggung, atau peserta berdasarkan
tingkat risiko dan pengembalian yang dilakukan perusahaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Kedua
Anggaran Dasar Usaha Bersama

Pasal 49
(1) Anggaran dasar Usaha Bersama paling sedikit memuat:
a. nama dan tempat kedudukan;
b. maksud dan tujuan, serta kegiatan usaha;
c. jangka waktu berdiri;
d. hak dan kewajiban bagi anggota;
e. tata cara pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan
kerugian di antara anggota;
f. wewenang, penyelenggaraan, kepesertaan, pemilihan peserta, masa
tugas, dan pemberhentian peserta rapat umum anggota;

123
g. tata cara pencalonan, pengangkatan, penggantian, serta
pemberhentian anggota direksi Usaha Bersama dan dewan komisaris
Usaha Bersama;
h. tata cara pelaksanaan dan pengambilan keputusan dalam rapat
Direksi Usaha Bersama dan Dewan Komisaris Usaha Bersama;
i. perubahan bentuk badan hukum; dan
j. pembubaran Usaha Bersama.
(2) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam rapat umum anggota.
(3) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
(4) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diumumkan dalam tambahan berita Negara Republik Indonesia.
(5) OJK dapat memerintahkan Usaha Bersama untuk melakukan perubahan
anggaran dasar guna mewujudkan penyelenggaraan usaha yang sesuai
dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian.
(6) Usaha Bersama wajib menjalankan perintah dari OJK untuk melakukan
perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tata cara perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dan tata cara mengenai persetujuan OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Ketiga
Keanggotaan Usaha Bersama

Pasal 50
(1) Anggota Usaha Bersama terdiri atas:
a. pemegang polis perorangan berkewarganegaraan Indonesia; atau
b. pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan
yang tunduk pada hukum Indonesia.
(2) Keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berakhir apabila:
a. anggota meninggal dunia;
b. anggota tidak lagi memiliki polis asuransi pada Usaha Bersama selama
6 (enam) bulan berturut-turut; atau
c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
keanggotaan harus berakhir.
(3) Anggota Usaha Bersama berhak:
a. dipilih menjadi Peserta rapat umum anggota sesuai dengan
persyaratan dan mekanisme sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. mendapatkan seluruh keuntungan dari kegiatan usaha sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Anggota Usaha Bersama wajib:
a. mematuhi Anggaran Dasar dan keputusan yang telah disepakati dalam
rapat umum anggota; dan
b. menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Usaha Bersama harus menyatakan secara jelas hak dan kewajiban
anggota di dalam polis.

Bagian Keempat
Organ Usaha Bersama

124
Paragraf 1
Rapat Umum Anggota

Pasal 51
(1) Rapat umum anggota mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
direksi Usaha Bersama atau dewan komisaris Usaha Bersama dalam batas
yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
(2) Rapat umum anggota berwenang:
a. menetapkan kebijakan umum di bidang organisasi, tata kelola,
manajemen, anggaran, dan bisnis;
b. menetapkan anggaran dasar dan perubahannya;
c. mengangkat, mengganti, dan memberhentikan anggota direksi Usaha
Bersama dan/atau anggota dewan komisaris Usaha Bersama;
d. meminta keterangan dari direksi Usaha Bersama dan/atau dewan
komisaris Usaha Bersama dalam pelaksanaan tugas masing-masing;
e. menetapkan gaji, tunjangan, dan/atau honorarium anggota direksi
Usaha Bersama dan anggota dewan komisaris Usaha Bersama;
f. menetapkan pemanfaatan keuntungan dan pembebanan kerugian di
antara anggota;
g. menetapkan pengalihan aset atau portofolio pertanggungan;
h. menetapkan akuntan publik berdasarkan usulan dewan komisaris
Usaha Bersama;
i. mengevaluasi dan mengesahkan rencana kerja dan anggaran;
j. menilai dan menyetujui laporan tahunan yang paling sedikit memuat
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik, laporan
pengurusan yang dilakukan oleh direksi Usaha Bersama, dan laporan
pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris Usaha Bersama;
k. menetapkan persetujuan langkah lanjutan dalam rangka penyehatan
keuangan;
l. menyetujui proposal;
m. memutuskan pembubaran Usaha Bersama; dan
n. membentuk tim likuidasi dalam rangka pembubaran Usaha Bersama.
(3) Peserta rapat umum anggota wajib menjalankan wewenangnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan iktikad baik, kehati-hatian,
dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta
sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama.

Pasal 52
(1) Penyelenggaraan rapat umum anggota dapat dilaksanakan secara fisik
dan/atau melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana
media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta rapat umum
anggota saling melihat dan mendengar secara langsung serta
berpartisipasi dalam rapat.
(2) Dalam hal penyelenggaraan rapat umum anggota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan secara fisik, rapat umum anggota diadakan di
tempat kedudukan Usaha Bersama atau di tempat Usaha Bersama
melakukan kegiatan usahanya.
(3) Tempat pelaksanaan rapat umum anggota secara fisik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus terletak di wilayah Negara Republik
Indonesia.
(4) Agenda dan materi yang akan dibicarakan dan diputuskan dalam rapat
umum anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
mendapat persetujuan dari OJK.

Pasal 53

125
(1) Rapat umum anggota terdiri atas rapat umum anggota tahunan dan rapat
umum anggota luar biasa.
(2) OJK dapat memerintahkan dilakukannya rapat umum anggota luar biasa
untuk kepentingan Usaha Bersama.
(3) Rapat umum anggota dinyatakan sah jika memenuhi kuorum.
(4) Rapat umum anggota dinyatakan memenuhi kuorum jika Peserta rapat
umum anggota yang hadir telah mencapai 2/3 (dua per tiga) dari Peserta
rapat umum anggota.
(5) Keputusan rapat umum anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk
mufakat.
(6) Dalam hal keputusan musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan
berdasarkan suara terbanyak dari Peserta rapat umum anggota yang
hadir.
(7) Keputusan rapat umum anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dituangkan dalam risalah rapat umum anggota yang disetujui dan
ditandatangani oleh Peserta rapat umum anggota yang hadir.
(8) Risalah rapat umum anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib
dinyatakan dalam akta notaris.
(9) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus disampaikan
kepada OJK.
(10) Keputusan rapat umum anggota dilarang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
(11) OJK berwenang membatalkan keputusan rapat umum anggota dalam hal:
a. dinilai berpotensi membahayakan kepentingan Usaha Bersama;
b. dinilai berpotensi membahayakan industri perasuransian; dan/atau
c. tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rapat umum anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 54
(1) Peserta rapat umum anggota berhak:
a. menghadiri atau ikut serta dan menggunakan hak suara dalam rapat
umum anggota;
b. memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Usaha Bersama dari
direksi Usaha Bersama dan/atau dewan komisaris Usaha Bersama,
sepanjang berhubungan dengan agenda rapat umum anggota dan
tidak bertentangan dengan kepentingan Usaha Bersama; dan
c. memperoleh hanya penggantian biaya dan honorarium yang wajar
untuk kehadiran atau keikutsertaannya dalam rapat umum anggota
(2) Peserta rapat umum anggota dilarang:
a. meminta dan/atau menerima fasilitas untuk kepentingan pribadi
selain biaya dan/atau honorarium untuk menghadiri rapat umum
anggota;
b. mempengaruhi direksi Usaha Bersama atau dewan komisaris Usaha
Bersama dalam melakukan tugas dan kewenangannya selain melalui
mekanisme rapat umum anggota;
c. memberikan kuasa kepada sesama Peserta rapat umum anggota atau
pihak lain untuk hadir atau ikut serta dan menggunakan hak suara
dalam rapat umum anggota; dan/atau
d. merangkap jabatan sebagai anggota direksi Usaha Bersama dan/atau
anggota dewan komisaris Usaha Bersama.

126
(3) Peserta rapat umum anggota bertanggung jawab penuh secara pribadi dan
tanggung renteng atas kerugian Usaha Bersama apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan wewenangnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Pasal 55
(1) Peserta rapat umum anggota berjumlah ganjil paling sedikit 11 (sebelas)
orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang.
(2) Peserta rapat umum anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perwakilan anggota dari setiap wilayah pemilihan.
(3) Jumlah wilayah pemilihan disesuaikan dengan jumlah Peserta rapat
umum anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Jumlah Peserta rapat umum anggota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan pembagian wilayah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dalam anggaran dasar Usaha Bersama.

Pasal 56
(1) Setiap anggota berhak dipilih menjadi peserta rapat umum anggota.
(2) Untuk dapat dipilih menjadi peserta rapat umum anggota, anggota harus
memenuhi persyaratan umum:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. memiliki pengalaman organisasi;
d. tidak menjadi anggota/pengurus partai politik, calon/anggota
legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala
daerah;
e. tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses
peradilan; dan
f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan.
(3) Selain harus memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), anggota harus memenuhi persyaratan khusus sebagai berikut:
a. memiliki polis asuransi yang masih aktif dan berlaku serta yang
memiliki nilai tunai;
b. polis asuransi sebagaimana dimaksud dalam huruf a sudah berjalan
paling singkat 2 (dua) tahun sebelum tanggal pembentukan Panitia
Pemilihan;
c. polis asuransi sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum akan
berakhir dalam masa 5 (lima) tahun setelah tanggal pembentukan
panitia pemilihan; dan
d. tidak menjadi Peserta rapat umum anggota untuk 2 (dua) periode
berturut-turut pada periode sebelumnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan peserta rapat umum anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 57
(1) Pemilihan peserta rapat umum anggota dilakukan oleh panitia pemilihan
yang dibentuk oleh dewan komisaris Usaha Bersama.
(2) Dalam hal dewan komisaris Usaha Bersama tidak membentuk panitia
pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direksi Usaha Bersama
membentuk panitia pemilihan.
(3) Anggota panitia pemilihan berjumlah ganjil paling sedikit 5 (lima) orang
dan paling banyak 7 (tujuh) orang.
(4) Panitia pemilihan terdiri atas unsur:
a. akademisi di bidang perasuransian dan/atau jasa keuangan; dan
b. profesional di bidang perasuransian dan/atau jasa keuangan.

127
(5) Panitia pemilihan bertugas untuk melakukan seleksi terhadap bakal calon
peserta rapat umum anggota dari setiap wilayah pemilihan.
(6) Panitia Pemilihan menetapkan dan menyampaikan kepada direksi Usaha
Bersama urutan calon Peserta rapat umum anggota dari setiap wilayah
pemilihan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (2) dan ayat (3).
(7) Direksi Usaha Bersama menyampaikan calon peserta rapat umum
anggota kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
(8) Persetujuan oleh OJK diberikan setelah dilakukan penilaian kemampuan
dan kepatutan kepada calon peserta rapat umum anggota.
(9) OJK dapat melakukan verifikasi atas pelaksanaan proses pemilihan
Peserta rapat umum anggota.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan peserta
rapat umum anggota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(11) Tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan peserta rapat umum
anggota dan persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur
dalam Peraturan OJK.

Pasal 58
(1) Peserta rapat umum anggota memiliki masa tugas selama 5 (tahun) dan
dapat dipilih kembali.
(2) Status sebagai peserta rapat umum anggota berakhir apabila:
a. meninggal dunia;
b. masa tugas berakhir; atau
c. diberhentikan sebelum masa tugasnya berakhir.
(3) Status peserta rapat umum anggota berakhir karena diberhentikan
sebelum masa tugasnya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c, apabila:
a. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai peserta rapat umum anggota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) huruf a;
b. tidak lagi menjadi anggota;
c. mengundurkan diri;
d. tidak menghadiri atau ikut serta dalam rapat umum anggota sebanyak
3 (tiga) kali berturut-turut;
e. ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman minimal 5
(lima) tahun; atau
f. dinyatakan tidak lulus dalam penilaian kembali kemampuan dan
kepatutan oleh OJK.
(4) Penetapan pemberhentian peserta rapat umum anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keputusan rapat umum anggota
berlaku sejak tanggal keputusan rapat umum anggota atau tanggal lain
yang ditetapkan dalam keputusan rapat umum anggota.
(5) Dalam hal status peserta rapat umum anggota berakhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), peserta rapat umum anggota dilarang melakukan
tindakan yang berkaitan dengan wewenang dan hak sebagai peserta rapat
umum anggota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian peserta rapat umum
anggota diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Direksi Usaha Bersama

Pasal 59
(1) Untuk kepentingan Usaha Bersama, pengurusan Usaha Bersama
dilaksanakan oleh direksi Usaha Bersama.

128
(2) Usaha Bersama wajib memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang direksi Usaha
Bersama yang salah satunya diangkat sebagai direktur utama
berdasarkan keputusan rapat umum anggota.
(3) Paling sedikit 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota direksi Usaha
Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko sesuai dengan
bidang usaha dari Usaha Bersama.

Pasal 60
(1) Anggota direksi Usaha Bersama diangkat dan diberhentikan oleh rapat
umum anggota.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota direksi Usaha Bersama harus
memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. mampu untuk bertindak dengan iktikad baik, jujur, dan profesional;
d. tidak terafiliasi dengan anggota direksi Usaha Bersama lain, dewan
komisaris Usaha Bersama, dan/atau peserta rapat umum anggota;
e. bebas dari hubungan keuangan atau hubungan lainnya yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau
bertindak semata-mata demi kepentingan Usaha Bersama, kecuali
yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai anggota;
f. memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatannya;
g. mampu bertindak untuk kepentingan Usaha Bersama, tertanggung,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
h. bersedia mendahulukan kepentingan Usaha Bersama, tertanggung,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat daripada
kepentingan pribadi;
i. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan
objektif untuk kepentingan Usaha Bersama, tertanggung, dan/atau
pihak yang berhak memperoleh manfaat;
j. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk
mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau
menyebabkan kerugian bagi Usaha Bersama;
k. telah berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun terakhir di bidang
perasuransian dan/atau bidang lain yang relevan serta memiliki latar
belakang pendidikan/pelatihan terkait; dan
l. persyaratan lain yang ditetapkan oleh OJK.
(3) Anggota direksi Usaha Bersama diangkat untuk jangka waktu paling lama
5 (lima) tahun.
(4) Anggota direksi Usaha Bersama yang telah diangkat oleh rapat umum
anggota hanya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya setelah
memperoleh persetujuan dari OJK.
(5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh OJK
setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
(6) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa
keuangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan anggota direksi Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 61

129
(1) Anggota direksi Usaha Bersama hanya dapat menjabat selama 2 (dua)
periode berturut-turut dan dapat diangkat kembali setelah paling singkat
1 (satu) periode berikutnya.
(2) Jabatan anggota direksi Usaha Bersama berakhir apabila:
a. meninggal dunia;
b. berakhir masa jabatannya; atau
c. diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir berdasarkan
keputusan rapat umum anggota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai masa tugas dan pemberhentian anggota
direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 62
(1) Direksi Usaha Bersama bertugas untuk menjalankan pengurusan Usaha
Bersama untuk kepentingan Usaha Bersama.
(2) Anggota direksi Usaha Bersama wajib melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta sesuai dengan
maksud dan tujuan Usaha Bersama.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direksi
Usaha Bersama berwenang untuk menetapkan kebijakan dalam batas
yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar Usaha Bersama.
(4) Direksi Usaha Bersama bertanggung jawab kepada rapat umum anggota
dalam menjalankan pengurusan Usaha Bersama.
(5) Anggota Direksi Usaha Bersama:
a. bertanggung jawab kepada rapat umum anggota dalam menjalankan
pengurusan Usaha Bersama; dan
b. bertanggung jawab penuh secara pribadi dan tanggung renteng atas
kerugian Usaha Bersama apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab
Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 63
(1) Anggota direksi Usaha Bersama wajib mengungkapkan mengenai:
a. kepemilikan sahamnya pada perusahaan lain yang berkedudukan di
dalam dan/atau di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan/atau hubungan keluarga dengan anggota
direksi Usaha Bersama lain, anggota dewan komisaris Usaha Bersama,
dan/atau peserta rapat umum anggota,
kepada Usaha Bersama, peserta rapat umum anggota, dan OJK.
(2) Pengungkapan kepemilikan oleh anggota direksi Usaha Bersama kepada
OJK disampaikan dalam laporan penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi perusahaan perasuransian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.

Paragraf 3
Dewan Komisaris Usaha Bersama

Pasal 64
(1) Pengawasan Usaha Bersama dilaksanakan oleh dewan komisaris Usaha
Bersama.

130
(2) Dewan komisaris Usaha Bersama paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) orang
anggota dewan komisaris Usaha Bersama yang salah satunya diangkat
sebagai ketua dewan komisaris Usaha Bersama berdasarkan keputusan
rapat umum anggota.
(3) Paling sedikit 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota dewan komisaris
Usaha Bersama merupakan komisaris independen.
(4) Anggota dewan komisaris Usaha Bersama tidak dapat bertindak sendiri-
sendiri, melainkan berdasarkan keputusan dewan komisaris Usaha
Bersama.

Pasal 65
(1) Anggota dewan komisaris Usaha Bersama diangkat dan diberhentikan
oleh rapat umum anggota.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota dewan komisaris Usaha Bersama
harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. mampu untuk bertindak dengan iktikad baik, jujur, dan profesional;
d. tidak terafiliasi dengan direksi Usaha Bersama, anggota dewan
komisaris Usaha Bersama lain, dan/atau peserta rapat umum
anggota;
e. bebas dari hubungan keuangan atau hubungan lainnya yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau
bertindak semata-mata demi kepentingan Usaha Bersama, kecuali
yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai anggota;
f. memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatannya;
g. mampu bertindak untuk kepentingan Usaha Bersama, tertanggung,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
h. bersedia mendahulukan kepentingan Usaha Bersama, tertanggung,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat dari pada
kepentingan pribadi;
i. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan
objektif untuk kepentingan Usaha Bersama, tertanggung, dan/atau
pihak yang berhak memperoleh manfaat;
j. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk
mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau
menyebabkan kerugian bagi Usaha Bersama; dan
k. persyaratan lain yang ditetapkan oleh OJK.
(3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
anggota dewan komisaris Usaha Bersama independen harus memenuhi
persyaratan:
a. bukan merupakan anggota;
b. bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan lain
yang dapat diinterprestasikan akan menghalangi atau mengurangi
kemampuan komisaris independen untuk bertindak dan berfikir
independen demi kepentingan Usaha Bersama;
c. tidak menduduki jabatan direksi Usaha Bersama dalam kurun waktu
1 (satu) tahun terakhir; dan
d. persyaratan lain yang ditetapkan oleh OJK.
(4) Anggota dewan komisaris Usaha Bersama diangkat untuk jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun
(5) Anggota dewan komisaris Usaha Bersama yang telah diangkat oleh rapat
umum anggota hanya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya setelah
memperoleh persetujuan dari OJK.
(6) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh OJK
setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.

131
(7) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa
keuangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan anggota Dewan Komisaris
Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(7) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 66
(1) Anggota dewan komisaris Usaha Bersama hanya dapat menjabat selama
2 (dua) periode berturut-turut dan dapat diangkat kembali setelah paling
singkat 1 (satu) periode berikutnya.
(2) Jabatan anggota dewan komisaris Usaha Bersama berakhir apabila:
a. meninggal dunia;
b. berakhir masa jabatannya; atau
c. diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir berdasarkan
keputusan rapat umum anggota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian anggota dewan komisaris
Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 67
(1) Dewan komisaris Usaha Bersama bertugas:
a. melakukan pengawasan terhadap pengurusan Usaha Bersama yang
dilakukan oleh direksi Usaha Bersama;
b. memberikan nasihat kepada direksi Usaha Bersama dalam
melaksanakan kegiatan pengurusan Usaha Bersama; dan
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilihan peserta rapat
umum anggota oleh panitia pemilihan.
(2) Anggota dewan komisaris Usaha Bersama wajib melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan iktikad baik, kehati-hatian,
dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta
sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris Usaha Bersama
berwenang untuk:
a. secara bersama-sama atau sendiri-sendiri meminta direksi Usaha
Bersama untuk menyediakan informasi, data, dan dokumen Usaha
Bersama;
b. memberikan rekomendasi pemberhentian dan/atau pengangkatan
Direksi Usaha Bersama kepada rapat umum anggota;
c. memberhentikan sementara waktu anggota direksi Usaha Bersama;
d. menyampaikan usulan calon akuntan publik kepada rapat umum
anggota;
e. mengangkat panitia pemilihan; dan
f. melaksanakan kewenangan lain dalam rangka tugas pengawasan dan
pemberian nasihat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar Usaha Bersama.
(4) Dewan komisaris Usaha Bersama bertanggung jawab kepada rapat umum
anggota atas pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Anggota dewan komisaris Usaha Bersama:
a. bertanggung jawab kepada rapat umum anggota atas pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
b. bertanggung jawab penuh secara pribadi dan tanggung renteng atas
kerugian Usaha Bersama apabila yang bersangkutan bersalah atau

132
lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab
anggota dewan komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 68
(1) Anggota dewan komisaris Usaha Bersama wajib mengungkapkan
mengenai:
a. kepemilikan sahamnya pada perusahaan lain yang berkedudukan di
dalam dan/atau di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan/atau hubungan keluarga dengan anggota
dewan komisaris Usaha Bersama lain, anggota direksi Usaha Bersama,
dan/atau peserta rapat umum anggota,
kepada Usaha Bersama, peserta rapat umum anggota, dan OJK.
(2) Pengungkapan kepemilikan oleh anggota dewan komisaris Usaha Bersama
kepada OJK disampaikan dalam laporan penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.

Bagian Kelima
Perubahan Bentuk Badan Hukum

Pasal 69
(1) Usaha Bersama dapat melakukan perubahan bentuk badan hukum
menjadi perseroan terbatas.
(2) Perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan prinsip:
a. wajar dan adil;
b. transparan; dan
c. memperhatikan hak dan kewajiban anggota.
(3) Rencana perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam proposal dan harus mendapatkan persetujuan
OJK.
(4) Proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan
persetujuan rapat umum anggota terlebih dahulu sebelum disampaikan
pada OJK.
(5) Perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama mengakibatkan:
a. seluruh aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban hukum Usaha
Bersama menjadi aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban hukum
badan hukum baru; dan
b. semua pegawai Usaha Bersama beralih menjadi pegawai badan hukum
baru.
(6) Pada saat Usaha Bersama berubah menjadi badan hukum baru, Usaha
Bersama dinyatakan bubar tanpa likuidasi.
(7) Proses pendirian badan hukum baru dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan perubahan bentuk
badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(7) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Pembubaran Usaha Bersama

Pasal 70

133
(1) Pembubaran Usaha Bersama dilakukan apabila izin usaha dari Usaha
Bersama dicabut oleh OJK.
(2) Pembubaran Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diputuskan terlebih dahulu dalam rapat umum anggota.
(3) Pencabutan izin usaha dilakukan dalam hal Usaha Bersama:
a. menghentikan kegiatan usaha;
b. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
c. dinyatakan pailit dan telah dilakukan pemberesan harta Usaha
Bersama, serta kepailitan dinyatakan berakhir berdasarkan penetapan
pengadilan.
(4) Status badan hukum Usaha Bersama berakhir sejak tanggal
pengumuman berakhirnya likuidasi dalam berita negara Republik
Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran Usaha Bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
OJK.

BAB VIII
PROGRAM PENJAMINAN POLIS

Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Program Penjaminan Polis

Pasal 71
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini diselenggarakan Program Penjaminan
Polis.
(2) Penyelenggaraan Program Penjaminan Polis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertujuan untuk melindungi pemegang polis, tertanggung, atau
peserta dari perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah yang
dicabut izin usahanya akibat mengalami kesulitan keuangan.
(3) Penyelenggara Program Penjaminan Polis wajib menerapkan tata kelola
yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan
pengendalian internal dalam melakukan kegiatan usahanya.
(4) Dalam menerapkan tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Penyelenggara Program Penjaminan Polis wajib menerapkan
Prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
profesional, dan kewajaran.
(5) Penyelenggara Program Penjaminan Polis menyusun sistem pengendalian
internal dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Progam Penjamin Polis dapat menggunakan prinsip syariah yang merujuk
kepada fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam melakukan usahanya.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola penyelenggara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan
OJK.

Bagian Kedua
Kepesertaan

Pasal 72
Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi
peserta Program Penjaminan Polis.

Pasal 73
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi
peserta Program Penjaminan Polis wajib:

134
a. membayar iuran awal kepesertaan;
b. memiliki kondisi keuangan yang sehat;
c. membayar iuran berkala penjaminan;
d. menyampaikan data, laporan, dan dokumen yang dibutuhkan dalam
rangka penyelenggaraan penjaminan; dan
e. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pelaksanaan Program Penjaminan Polis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah untuk membayar iuran berkala penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan LPS.

Pasal 74
(1) Iuran awal kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1)
huruf a dibayarkan 1 (satu) kali pada saat Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah menjadi peserta.
(2) Iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1)
huruf c dibayarkan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun untuk:
a. pembayaran periode 1 Januari sampai dengan 30 Juni; dan
b. pembayaran periode 1 Juli sampai dengan 31 Desember.
(3) Iuran berkala penjaminan untuk masing-masing periode sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibayarkan paling lambat tanggal:
a. 31 Januari untuk periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a; dan
b. 31 Juli untuk periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(4) Iuran awal kepersertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan iuran
berkala penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan
satu tarif yang sama untuk peserta Program Penjaminan Polis.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran Iuran awal kepersertaan dan
iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
mekanisme pembayarannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup dan Mekanisme Penjaminan

Pasal 75
(1) Pemegang Polis pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah wajib ikut serta dalam Program Penjaminan Polis.
(2) Program Penjaminan Polis hanya menjamin unsur proteksi pada setiap
produk asuransi, kecuali:
a. produk asuransi yang berkaitan dengan produk investasi;
b. produk yang nilai jaminannya dalam nilai tertentu yang cukup besar;
dan
c. produk dengan karakteristik pemegang program polis tertentu.
(3) Program asuransi sosial dan asuransi wajib dikecualikan dari Program
Penjaminan Polis.
(4) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dapat
membentuk dana jaminan bagi lini usaha yang tidak dijamin oleh Program
Penjaminan Polis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai lini usaha asuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dana jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 76
(1) Mekanisme Program Penjaminan Polis dapat dilaksanakan melalui:

135
a. pengalihan portofolio pertanggungan untuk polis asuransi yang masih
aktif atau belum berakhir saat Perusahaan Asuransi dan perusahaan
asuransi syariah dicabut izin usahanya;
b. mekanisme Program Penjaminan Polis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan secara pre-funding untuk memudahkan
penyelesaian dalam hal terjadi kegagalan perusahaan asuransi dan
kemudahan di awal program;
c. pembayaran klaim penjaminan, yang diberikan untuk kondisi:
1. klaim yang sudah disetujui sebelum Perusahaan asuransi dan
perusahaan asuransi syariah dicabut izin usahanya; klaim sedang
dalam proses saat perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi
syariah dicabut izin usahanya dan pada akhirnya klaim tersebut
disetujui;
2. klaim polis asuransi yang terjadi setelah perusahaan asuransi dan
perusahaan asuransi syariah dicabut izin usahanya namun belum
berhasil untuk dilakukan pengalihan portofolio dan pada akhirnya
klaim tersebut disetujui; dan/atau
d. pengembalian premi atau kontribusi yang belum berjalan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan mekanisme penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 77
Pengelolaan dana Program Penjaminan Polis harus dipisahkan berdasarkan
jenis usaha asuransi, meliputi asuransi jiwa dan asuransi umum baik
konvensional maupun syariah.

Bagian Keempat
Penyelenggara Program Penjaminan Polis

Paragraf 1
Lembaga Penyelenggara

Pasal 78
Program Penjaminan Polis diselenggarakan oleh LPS.

Paragraf 2
Fungsi, Tugas, dan Wewenang

Pasal 79
(1) Dalam penyelenggaraan Program Penjaminan Polis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78, LPS berfungsi menyelenggarakan Penjaminan
Polis bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPS
bertugas untuk:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan Program
Penjaminan Polis; dan
b. melaksanakan penyelenggaraan Program Penjaminan Polis.
(3) Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
LPS berwenang:

136
a. menetapkan dan memungut iuran awal kepesertaan pada saat
perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah pertama kali
menjadi peserta;
b. menetapkan dan memungut iuran berkala Program Penjaminan Polis;
c. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Program Penjaminan
Polis;
d. mendapatkan data pemegang polis, tertanggung, atau peserta, data
kesehatan perusahaan asuransi dan asuransi syariah, laporan
keuangan perusahaan asuransi dan asuransi syariah, dan laporan
hasil pemeriksaan perusahaan asuransi dan asuransi syariah dengan
memperhatikan kerahasiaan data dan informasi;
e. melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data
sebagaimana dimaksud dalam huruf d;
f. menetapan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran penjaminan
polis;
g. menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk
bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna
melaksanakan sebagian tugas tertentu yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Program Penjaminan Polis;
h. melakukan pembayaran kepada pemegang polis ketika Perusahaan
Asuransi dilikuidasi;
i. melakukan penyuluhan kepada perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, dan masyarakat mengenai program penjaminan
polis; dan
j. membentuk unit organisasi yang diperlukan untuk menyelenggarakan
Program Penjaminan Polis.
(4) Dalam menetapkan iuran awal kepesertaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a dan iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b, LPS menggunakan cadangan teknis sebagai dasar
pengenaan iuran.

Pasal 80
(1) LPS menetapkan batas nilai pertanggungan yang dijamin dalam Program
Penjaminan Polis.
(2) Penetapan batas nilai pertanggungan yang dijamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan
memperhatikan keberlanjutan Program Penjaminan Polis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas nilai pertanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan LPS.

Pasal 81
(1) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, LPS dapat meminta data,
informasi, dan/atau dokumen kepada pihak lain.
(2) Setiap pihak yang dimintai data, informasi, dan/atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikannya kepada LPS.

Paragraf 3
Pengelolaan Aset dan Kewajiban

Pasal 82
(1) LPS bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan aset dan
kewajiban penyelenggaran Program Penjaminan Polis.

137
(2) LPS memisahkan pencatatan aset dan kewajiban penyelenggaraan
program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari
pencatatan aset dan kewajiban penyelenggaraan penjaminan simpanan.
(3) Pengelolaan dan penatausahaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang bersumber dari iuran penjaminan polis dapat dilakukan dalam
bentuk investasi yang berisiko rendah.

Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Program Penjaminan Polis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 82 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB IX
USAHA JASA PEMBIAYAAN

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Usaha Jasa Pembiayaan

Pasal 84
(1) Ruang lingkup usaha jasa pembiayaan meliputi:
a. kegiatan Pembiayaan barang dan/atau jasa kepada masyarakat;
b. kegiatan Pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek
infrastruktur kepada masyarakat;
c. kegiatan menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan
pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka
melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah
secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan
jaringan internet kepada masyarakat;
d. kegiatan usahanya menyangkut pemberian pinjaman dengan jaminan
barang bergerak, jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya
kepada masyarakat; dan/atau
e. skema kegiatan Pembiayaan lain yang diatur oleh OJK.
(2) Ruang lingkup usaha jasa pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Tidak termasuk ruang lingkup usaha jasa pembiayaan, yaitu kegiatan
usaha jasa pembiayaan yang dilakukan oleh:
a. badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan yang dijalankan
berdasarkan undang-undang tersendiri;
b. perusahaan pembiayaan sekunder perumahan;
c. Badan usaha milik negara yang menjalankan pembiayaan untuk
membantu pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah serta
koperasi; dan
d. setiap pihak yang memberikan pinjaman/pembiayaan kepada pihak
lain dengan tidak ditujukan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus yang bertujuan untuk melakukan kegiatan
usaha dengan berorientasi mencari keuntungan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha jasa pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
OJK.

Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, Kepengurusan, dan Sumber Dana
Penyertaan

Paragraf 1

138
Bentuk Badan Hukum

Pasal 85
Bentuk badan hukum penyelenggara usaha jasa pembiayaan berupa perseroan
terbatas.
Paragraf 2
Kepemilikan

Pasal 86
(1) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85, dapat dimiliki oleh:
a. Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. pemerintah daerah;
c. warga negara Indonesia;
d. badan hukum Indonesia;
e. badan hukum asing; dan/atau
f. warga negara asing.
(2) Kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f hanya dapat dilakukan melalui transaksi di pasar modal dalam
kapasitas tertentu dan tidak diperkenankan sebagai pengurus
perusahaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan asing pada penyelenggara
usaha jasa pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
huruf f diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Kepengurusan dan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan

Pasal 87
(1) Anggota direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, dan
pemegang saham dari pengendali penyelenggara usaha jasa pembiayaan
wajib memenuhi persyaratan kepengurusan yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan yang melaksanakan kegiatan
usaha jasa pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki dewan
pengawas syariah yang diangkat dalam rapat umum pemegang saham
atas rekomendasi dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.

Pasal 88
(1) Anggota direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, dan
pemegang saham pengendali dari penyelenggara usaha jasa pembiayaan
wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan
kepatutan yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
OJK.

Paragraf 4
Sumber Dana Penyertaan

Pasal 89
(1) Ketentuan jumlah sumber dana penyertaan bagi penyelenggaraan usaha
jasa pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis dan lingkup kegiatan
usaha jasa pembiayaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84.

139
(2) Sumber dana penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan:
a. tidak berasal dari pinjaman; dan
b. tidak berasal dari dan untuk tujuan tindak pidana.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sumber dana penyertaan
bagi penyelenggara usaha jasa pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Ketiga
Perizinan

Pasal 90
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai
penyelenggara usaha jasa pembiayaan dari OJK, kecuali apabila diatur
dengan undang-undang tersendiri.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemohon harus menyampaikan permohonan kepada OJK dengan
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. anggaran dasar;
b. susunan organisasi;
c. modal disetor;
d. data direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah;
e. data pemegang saham atau anggota;
f. kelayakan rencana kerja termasuk sistem dan prosedur kerja usaha
jasa pembiayaan;
g. kelayakan sistem manajemen risiko;
h. kesiapan infrastruktur;
i. konfirmasi dari otoritas pengawas pihak asing yang bersangkutan,
untuk penyelenggara usaha jasa pembiayaan yang di dalamnya
terdapat penyertaan langsung pihak asing; dan
j. hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang
sehat.
(3) Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan
sesuai dengan lingkup usaha yang akan dijalankan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara proses perizinan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan OJK.

Pasal 91
(1) Pembukaan kantor cabang penyelenggara usaha jasa pembiayaan wajib
dilaporkan kepada OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan pembukaan kantor cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Keempat
Penyelenggaraan Usaha

Pasal 92
(1) Perjanjian pembiayaan antara penyelenggara usaha jasa pembiayaan
dengan calon konsumen wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis
termasuk pengaturan penetapan suku bunga.
(2) Usaha jasa pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
melakukan perubahan suku bunga harus melalui pemberitahuan terlebih
dahulu kepada konsumen.

140
(3) Ketentuan mengenai perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan OJK.

Pasal 93
(1) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan wajib menerapkan kebijakan anti
pencucian uang dan pencegahan pembiayaan terorisme dalam rangka
penyelenggaraan aktivitas usaha jasa pembiayaan yang dilakukan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan kebijakan anti pencucian
uang dan pencegahan pembiayaan terorisme sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 94
Penyelenggara usaha jasa pembiayaan dilarang:
a. menghimpun dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro,
tabungan, deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
penghimpunan dana masyarakat;
b. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban
pihak lain; dan/atau
c. menerbitkan surat sanggup bayar (promissory note), kecuali sebagai
jaminan atas utang kepada krediturnya.

Pasal 95
Jaminan fidusia yang diterima oleh penyelenggara usaha jasa pembiayaan
sebagai jaminan dalam rangka pemenuhan kewajiban konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Jaminan Fidusia memiliki
kekuatan eksekutorial.

Pasal 96
(1) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan wajib melaksanakan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 97
(1) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan wajib menerapkan manajemen
risiko secara efektif paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas
syariah;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko;
d. sistem pengendalian internal yang menyeluruh; dan
e. proses pemilihan usaha yang akan dibiayai dilakukan secara selektif
dengan menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Dalam menerapkan manajemen risiko, penyelenggara usaha jasa
pembiayaan harus memiliki pedoman penerapan manajemen risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan prinsip manajemen risiko
pada usaha jasa pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 98
(1) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan wajib memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan tingkat
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
OJK.

141
Bagian Kelima
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan

Pasal 99
(1) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan dapat melakukan penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan usaha berdasarkan
persetujuan OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, dan pemisahan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan OJK.

Bagian Keenam
Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi

Pasal 100
(1) Pencabutan izin usaha penyelenggara usaha jasa pembiayaan dilakukan
oleh OJK.
(2) Pencabutan izin usaha dilakukan dalam hal:
a. bubar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dikenai sanksi administratif pencabutan izin usaha;
c. bubar sebagai akibat melakukan penggabungan, peleburan, atau
pemisahan; atau
d. belum melakukan kegiatan usaha paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal izin usaha ditetapkan.
(3) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan bubar karena:
a. dicabut izin usahanya oleh OJK;
b. keputusan rapat umum pemegang saham;
c. jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah
berakhir; atau
d. putusan pengadilan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin usaha dan pembubaran
atas penyelenggara usaha jasa pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Ketujuh
Asosiasi Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan

Pasal 101
(1) Setiap penyelenggara usaha jasa pembiayaan wajib menjadi anggota salah
satu asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya.
(2) Asosiasi penyelenggara usaha jasa pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari OJK.
(3) OJK mendorong peran asosiasi usaha jasa pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) untuk membangun pengawasan berbasis disiplin
pasar dalam rangka penguatan dan/atau penyehatan industri usaha jasa
pembiayaan.

Bagian Kedelapan
Profesi Penunjang Usaha Jasa Pembiayaan

Pasal 102
(1) Profesi penunjang pada usaha jasa pembiayaan terdiri atas:
a. akuntan publik;
b. penilai publik;

142
c. ahli taksir; dan
d. profesi lain yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Untuk dapat menyediakan jasa bagi penyelenggara usaha jasa
pembiayaan, profesi penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib terdaftar terlebih dahulu di OJK.
(3) Penyelenggara usaha jasa pembiayaan wajib menggunakan jasa dari
profesi penunjang yang telah terdaftar di OJK.
(4) Kerja sama antara penyelenggara usaha jasa pembiayaan dan profesi
penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diketahui oleh
konsumen dan dituangkan dalam perjanjian tertulis.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran
profesi penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Kesembilan
Pengawasan dan Pelaporan

Pasal 103
(1) Pengawasan terhadap penyelenggara usaha jasa pembiayaan dilakukan
oleh OJK.
(2) Dalam rangka pengawasan, penyelenggara usaha jasa pembiayaan wajib
menyampaikan laporan bulanan, laporan keuangan tahunan dan/atau
laporan lain kepada OJK.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, OJK berwenang:
a. mencabut izin usaha penyelenggara usaha jasa pembiayaan termasuk
izin atas unit usaha syariah yang dimiliki;
b. melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara usaha jasa
pembiayaan dan/atau pihak terafiliasi;
c. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi,
dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah;
d. menonaktifkan direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas
syariah, serta menetapkan pengelola statuter;
e. memberikan perintah tertulis kepada penyelenggara usaha jasa
pembiayaan dan/atau pihak terafiliasi untuk melaksanakan atau
tidak melaksanakan hal tertentu sebagai tindak lanjut dari fungsi
pengawasan;
f. mengenakan sanksi kepada penyelenggara usaha jasa pembiayaan,
pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan
pengawas syariah; dan
g. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 104
(1) Dalam hal penyelenggara usaha jasa pembiayaan mengalami kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usahanya, OJK berwenang meminta:
a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi;
c. penyelenggara usaha jasa pembiayaan menghapusbukukan
pembiayaan yang macet, dan memperhitungkan kerugian dengan
modalnya;
d. penyelenggara usaha jasa pembiayaan melakukan penggabungan atau
peleburan dengan penyelenggara usaha jasa pembiayaan lain;

143
e. penyelenggara usaha jasa pembiayaan menjual saham kepada pembeli
yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; dan/atau
f. mengambil tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam hal menurut OJK tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi penyelenggara
usaha jasa pembiayaan, OJK mencabut izin usaha penyelenggara dan
memerintahkan direksi untuk melakukan likuidasi.

BAB X
USAHA MODAL VENTURA

Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, Kepengurusan, dan Sumber Dana
Penyertaan

Paragraf 1
Bentuk Badan Hukum

Pasal 105
Bentuk badan hukum penyelenggara usaha modal ventura berupa perseroan
terbatas.

Paragraf 2
Kepemilikan

Pasal 106
(1) Penyelenggara usaha modal ventura sebagaimana dimaksud dalam Pasal
105, dapat dimiliki oleh:
a. Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. pemerintah daerah;
c. warga negara Indonesia;
d. badan hukum Indonesia;
e. badan hukum asing; dan/atau
f. warga negara asing.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan asing pada penyelenggara
usaha modal ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
huruf f diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Kepengurusan dan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan

Pasal 107
(1) Anggota direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, dan
pemegang saham dari pengendali penyelenggara usaha modal ventura
wajib memenuhi persyaratan kepengurusan yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Penyelenggara usaha modal ventura yang melaksanakan kegiatan usaha
modal ventura berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki dewan
pengawas syariah yang diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas
rekomendasi dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah.

Pasal 108
(1) Anggota direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, dan
pemegang saham pengendali dari penyelenggara usaha modal ventura

144
wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan
kepatutan yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
OJK.

Paragraf 4
Sumber Pendanaan

Pasal 109
(1) Sumber pendanaan penyelenggara usaha modal ventura dapat berasal
dari:
a. dana ventura;
b. pinjaman;
c. sekuritisasi aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal;
d. penerbitan medium term notes;
e. penerbitan obligasi;
f. pinjaman atau pendanaan subordinasi;
g. penerbitan saham;
h. wakaf; dan/atau
i. hibah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Kedua
Kegiatan Usaha Penyelenggara Usaha Modal Ventura

Pasal 110
(1) Penyelenggara usaha modal ventura menyelenggarakan usaha modal
ventura yang meliputi:
a. penyertaan saham (equity participation);
b. penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity
participation);
c. pembiayaan melalui pembelian surat utang yang diterbitkan Pasangan
Usaha pada tahap rintisan awal (start-up) dan/atau pengembangan
usaha; dan/atau
d. pembiayaan usaha produktif.
(2) Dalam melakukan usaha modal ventura sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyelenggara usaha modal ventura dapat mengelola dana ventura.
(3) Kegiatan usaha modal ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disertai dengan pendampingan kepada pasangan usaha dan/atau debitur.
(4) Selain usaha modal ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), penyelenggara usaha modal ventura dapat menyelenggarakan kegiatan
usaha lain:
a. kegiatan jasa berbasis fee; dan/atau
b. kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan jasa berbasis fee dan kegiatan
usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
OJK.

Pasal 111
(1) Penyelenggaraan kegiatan usaha penyelenggara usaha modal ventura
berdasarkan prinsip syariah wajib memenuhi prinsip keadilan (‘adl),
keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme

145
(alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm, risywah,
dan objek haram.
(2) Penyelenggara usaha modal ventura berdasarkan prinsip syariah
menyelenggarakan usaha modal ventura syariah yang meliputi:
a. Investasi yang terdiri dari:
1. penyertaan saham (equity participation);
2. pembelian sukuk atau obligasi syariah konversi;
b. pelayanan jasa; dan/atau
c. kegiatan usaha lain berdasarkan persetujuan OJK.
(3) Dalam melakukan usaha modal ventura syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), penyelenggara usaha modal ventura berdasarkan Prinsip
Syariah dapat mengelola dana ventura yang dilakukan berdasarkan
Prinsip Syariah.
(4) Penyelenggara usaha modal ventura berdasarkan Prinsip Syariah dilarang
melakukan pembiayaan jual beli kecuali kepada pasangan usaha yang
terlebih dahulu telah menerima investasi dari penyelenggara usaha modal
ventura berdasarkan Prinsip Syariah.
(5) Kegiatan pelayanan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
merupakan kegiatan usaha penyelenggara usaha modal ventura
berdasarkan prinsip syariah yang menghasilkan tambahan pendapatan
dalam bentuk imbal jasa (ujrah/fee).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 112
(1) Penyertaan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf
a dan/atau Pasal 111 ayat (2) huruf a angka 1 wajib dilakukan oleh
penyelenggara usaha modal ventura dalam bentuk penyertaan modal
secara langsung kepada pasangan usaha yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas.
(2) Penyertaan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh
penyelenggara usaha modal ventura yang berbentuk badan usaha
perseroan komanditer dapat dilakukan dengan menunjuk direksi sebagai
perwakilan penyelenggara usaha modal ventura selaku pemilik saham
pada pasangan usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyertaan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 113
(1) Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 110 ayat (1) huruf b dan/atau investasi melalui pembelian
sukuk atau obligasi syariah konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111 ayat (2) huruf a angka 2 wajib dilakukan oleh penyelenggara usaha
modal ventura dalam bentuk pembelian obligasi konversi atau obligasi
syariah konversi yang diterbitkan oleh pasangan usaha yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyertaan melalui pembelian obligasi
konversi dan/atau investasi melalui pembelian sukuk atau obligasi
syariah konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan OJK.

Bagian Ketiga
Tujuan dan Batasan dalam Penyelenggaraan Usaha
Penyelenggara Usaha Modal Ventura

146
Pasal 114
(1) Kegiatan usaha penyelenggara usaha modal ventura sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan/atau Pasal 111 ayat (2) ditujukan
untuk calon pasangan usaha dan/atau debitur yang memiliki usaha
produktif dan/atau memiliki ide untuk pengembangan usaha produktif.
(2) Kegiatan usaha penyelenggara usaha modal ventura sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan/atau Pasal 111 ayat (2) bertujuan
untuk:
a. pengembangan suatu penemuan baru;
b. pengembangan perusahaan atau usaha orang perseorangan yang pada
tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana;
c. pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi;
d. membantu perusahaan atau usaha orang perseorangan yang berada
pada tahap pengembangan atau tahap kemunduran usaha;
e. mengambil alih perusahaan atau usaha orang perseorangan yang
berada pada tahap pengembangan atau tahap kemunduran usaha;
f. pengembangan proyek penelitian dan rekayasa;
g. pengembangan berbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi
baik dari dalam maupun luar negeri; dan/atau
h. membantu pengalihan kepemilikan perusahaan.
(3) Penyelenggara usaha modal ventura wajib mencantumkan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan/atau Pasal 111 ayat
(2) dalam anggaran dasarnya.

Pasal 115
(1) Penyelenggara usaha modal ventura wajib memiliki penyertaan saham
dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi paling rendah
sebesar 15% (lima belas persen) dari total kegiatan usaha penyelenggara
usaha modal ventura.
(2) Penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi
konversi paling rendah sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam jangka waktu paling lambat
3 (tiga) tahun setelah izin usaha ditetapkan.

Pasal 116
(1) Penyelenggara usaha modal ventura wajib memiliki nilai investasi,
penyertaan, dan/atau nilai piutang yang berasal dari kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan/atau Pasal 111 ayat
(2) huruf a terhadap total aset penyelenggara usaha modal ventura yang
selanjutnya disebut Investment and Financing to Assets Ratio (IFAR) paling
rendah sebesar 40% (empat puluh persen).
(2) Pemenuhan nilai IFAR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan OJK.

Pasal 117
(1) Penyelenggara usaha modal ventura yang melakukan peningkatan modal
disetor dalam rangka pemenuhan gearing ratio dan/atau perbandingan
ekuitas dengan modal disetor dikecualikan dari pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal peningkatan modal disetor dicatat
oleh instansi yang berwenang.
(2) Bagi penyelenggara usaha modal ventura yang melakukan penambahan
modal disetor dalam rangka pemenuhan gearing ratio dan/atau
perbandingan ekuitas dengan modal disetor dalam jangka waktu kurang
dari 3 (tiga) tahun dari penetapan izin usahanya, maka pemenuhan

147
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) diberikan
tambahan waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 118
(1) Nilai penyertaan dan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 110 kepada satu pasangan usaha dan/atau debitur dibatasi paling
tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari ekuitas penyelenggara
usaha modal ventura.
(2) Nilai investasi dan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111 kepada satu pasangan usaha dibatasi paling tinggi sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dari ekuitas penyelenggara usaha modal ventura
berdasarkan prinsip syariah.
(3) Besarnya total ekuitas sesuai dengan laporan keuangan bulanan posisi
terakhir penyelenggara usaha modal ventura sebelum dilakukannya
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Bagian Keempat
Perjanjian Kegiatan Usaha dan Tata Kelola Usaha

Paragraf 1
Perjanjian Kegiatan Usaha

Pasal 119
(1) Seluruh perjanjian kegiatan usaha antara penyelenggara usaha modal
ventura dengan pasangan usaha dan/atau debitur wajib dibuat secara
tertulis.
(2) Perjanjian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi ketentuan penyusunan perjanjian sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Paragraf 2
Tata Kelola Usaha

Pasal 120
(1) Penyelenggara usaha modal ventura wajib melaksanakan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 121
(1) Penyelenggara usaha modal ventura wajib menerapkan manajemen risiko
secara efektif yang paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas
syariah;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian internal yang menyeluruh.
(2) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyelenggara usaha modal ventura harus memiliki pedoman
penerapan manajemen risiko.

148
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan prinsip manajemen risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 122
(1) Penyelenggara usaha modal ventura wajib memenuhi persyaratan tingkat
kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Kelima
Larangan Penyelenggara Usaha Modal Ventura

Pasal 123
Penyelenggara usaha modal ventura dilarang:
a. menghimpun dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro,
tabungan, deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
penghimpunan dana masyarakat;
b. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban
pihak lain; dan
c. menerbitkan surat sanggup bayar (promissory note), kecuali sebagai
jaminan atas utang kepada krediturnya.

Bagian Keenam
Perizinan

Pasal 124
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha modal ventura wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai penyelenggara usaha modal
ventura dari OJK, kecuali apabila diatur dengan undang-undang
tersendiri.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemohon harus menyampaikan permohonan kepada OJK dengan
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. anggaran dasar;
b. susunan organisasi;
c. modal disetor;
d. data direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah;
e. data pemegang saham atau anggota;
f. kelayakan rencana kerja termasuk sistem dan prosedur kerja usaha
jasa pembiayaan;
g. kelayakan sistem manajemen risiko;
h. kesiapan infrastruktur;
i. konfirmasi dari otoritas pengawas pihak asing yang bersangkutan,
untuk penyelenggara usaha jasa pembiayaan yang di dalamnya
terdapat penyertaan langsung pihak asing; dan
j. hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha
yang sehat.
(3) Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan
sesuai dengan lingkup usaha yang akan dijalankan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 111.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara proses perizinan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan OJK.

Pasal 125

149
(1) Pembukaan kantor cabang penyelenggara usaha modal ventura wajib
dilaporkan kepada OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan pembukaan kantor cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Ketujuh
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan

Pasal 126
(1) Penyelenggara usaha modal ventura dapat melakukan penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan usaha berdasarkan
persetujuan OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, dan pemisahan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan OJK.

Bagian Kedelapan
Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi

Pasal 127
(1) Pencabutan izin usaha penyelenggara usaha modal ventura dilakukan oleh
OJK.
(2) Pencabutan izin usaha dilakukan dalam hal:
a. bubar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dikenai sanksi administratif pencabutan izin usaha;
c. bubar sebagai akibat melakukan penggabungan, peleburan, atau
pemisahan; atau
d. belum melakukan kegiatan usaha paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal izin usaha ditetapkan.
(3) Penyelenggara usaha modal ventura bubar karena:
a. dicabut izin usahanya oleh OJK;
b. keputusan rapat umum pemegang saham;
c. jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah
berakhir; atau
d. putusan pengadilan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin usaha dan pembubaran
atas penyelenggara usaha modal ventura sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK.

Bagian Kesembilan
Pengawasan dan Pelaporan

Pasal 128
(1) Pengawasan terhadap penyelenggara usaha modal ventura dilakukan oleh
OJK.
(2) Dalam rangka pengawasan, penyelenggara usaha modal ventura wajib
menyampaikan laporan bulanan, laporan keuangan tahunan, dan/atau
laporan lain kepada OJK.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, OJK berwenang untuk:
a. mencabut izin usaha penyelenggara usaha modal ventura termasuk
izin atas unit usaha syariah yang dimiliki;
b. melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara usaha modal ventura
dan/atau pihak terafiliasi;
c. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi,
dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah;

150
d. menonaktifkan direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas
syariah, serta menetapkan pengelola statuter;
e. memberi perintah tertulis kepada penyelenggara usaha modal ventura
dan/atau pihak terafiliasi untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan hal tertentu sebagai tindak lanjut dari fungsi
pengawasan;
f. mengenakan sanksi kepada penyelenggara usaha modal ventura,
pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan
pengawas syariah; dan
g. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan sebagaimana
diatur pada ayat (1) dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 129
(1) Dalam hal penyelenggara usaha modal ventura mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, OJK berwenang meminta:
a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi;
c. penyelenggara usaha modal ventura menghapusbukukan pembiayaan
yang macet, dan memperhitungkan kerugian dengan modalnya;
d. penyelenggara usaha modal ventura melakukan penggabungan atau
peleburan dengan penyelenggara usaha modal ventura lain;
e. penyelenggara usaha modal ventura menjual saham kepada pembeli
yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; dan/atau
f. mengambil tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam hal menurut OJK tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi penyelenggara
usaha modal ventura, OJK mencabut izin usaha penyelenggara dan
memerintahkan direksi untuk melakukan pembubaran.

BAB XI
DANA PENSIUN

Bagian Kesatu
Dana Pensiun

Paragraf 1

Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Dana


Pensiun

Pasal 130
Dana Pensiun memiliki status sebagai badan hukum dengan syarat dan tata
cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 131
Setiap pihak yang menjalankan Program Pensiun wajib memperoleh
pengesahan sebagai Dana Pensiun dari OJK, kecuali apabila pihak yang
dimaksud menjalankan Program Pensiun yang didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan tersendiri.

151
Paragraf 2
Ruang Lingkup Usaha Dana Pensiun

Pasal 132
(1) Jenis Dana Pensiun terdiri atas:
a. Dana Pensiun Pemberi Kerja; dan
b. Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
(2) Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a hanya dapat dibentuk oleh Pemberi Kerja atas persetujuan OJK.
(3) Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b hanya dapat dibentuk oleh badan hukum yang memiliki izin
kegiatan sebagai:
a. Bank Umum;
b. bank umum syariah;
c. perusahaan asuransi jiwa;
d. perusahaan asuransi jiwa syariah;
e. manajer investasi;
f. manajer investasi syariah; atau
g. lembaga lain yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan OJK setelah
berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.

Pasal 133
(1) Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat menyelenggarakan Program Pensiun
Manfaat Pasti dan/atau Program Pensiun Iuran Pasti.
(2) Dana Pensiun Lembaga Keuangan hanya dapat menyelenggarakan
Program Pensiun Iuran Pasti.
(3) Dana Pensiun dapat menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan
Prinsip Syariah dalam bentuk:
a. Dana Pensiun yang seluruh kegiatannya berdasarkan Prinsip Syariah;
b. unit syariah di Dana Pensiun Pemberi Kerja; atau
c. penjualan paket investasi syariah di Dana Pensiun Lembaga
Keuangan.
(4) Dalam hal tertentu, Dana Pensiun dapat memberikan manfaat Lain
sebagai tambahan dari Program Pensiun.
(5) Dana Pensiun tidak dapat menyelenggarakan program yang hanya
memberikan manfaat lain, tanpa menyelenggarakan Program Pensiun.
(6) Dalam hal Dana Pensiun menyelenggarakan manfaat lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (4):
a. aset Program Pensiun dan aset manfaat lain wajib dicatat secara
terpisah;
b. porsi iuran pada Program Pensiun wajib lebih besar dibanding iuran
untuk manfaat lain;
c. penyelenggaraan manfaat lain menggunakan sistem pendanaan;
dan/atau
d. dapat diberikan fasilitas insentif perpajakan.

Paragraf 3
Pembentukan Dana Pensiun

Pasal 134
(1) Pembentukan Dana Pensiun harus didasarkan pada:
a. pernyataan tertulis Pendiri;
b. Peraturan Dana Pensiun;
c. penunjukan pengurus dan dewan pengawas; dan

152
d. penunjukan dewan pengawas syariah bagi Dana Pensiun yang
menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3).
(2) Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat didirikan untuk lebih dari 1 (satu)
Pemberi Kerja.
(3) Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
setiap perubahannya dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Dana Pensiun memiliki status sebagai badan hukum dan dapat memulai
kegiatannya sebagai suatu Dana Pensiun sejak tanggal pengesahan
pembentukan Dana Pensiun oleh OJK.
(5) Pengurus wajib mengumumkan pembentukan Dana Pensiun dengan
menempatkan pengesahan OJK atas Peraturan Dana Pensiun pada berita
negara Republik Indonesia.

Pasal 135
(1) Pendiri mengajukan permohonan pengesahan pembentukan Dana
Pensiun kepada OJK.
(2) OJK memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak permohonan
pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam hal OJK menolak permohonan pengesahan pembentukan Dana
Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan
secara tertulis dengan disertai alasannya.

Pasal 136
(1) Pemberi Kerja dapat menjadi Mitra Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi
Kerja yang telah berdiri.
(2) Dana Pensiun yang telah berdiri dapat menggabungkan diri dengan Dana
Pensiun lain atau memisahkan diri menjadi 2 (dua) atau lebih Dana
Pensiun.

Pasal 137
(1) Pendiri mengajukan permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan
Dana Pensiun kepada OJK.
(2) OJK menyetujui atau menolak permohonan pengesahan perubahan atas
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan pengesahan diterima secara
lengkap.
(3) Dalam hal OJK menolak permohonan pengesahan perubahan atas
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan
harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya.
(4) Perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak boleh mengurangi Manfaat Pensiun yang sudah menjadi hak
peserta yang diperoleh selama kepesertaannya sampai pada saat
pengesahan OJK.
(5) Hak Peserta sebelum perubahan atas Peraturan Dana Pensiun
sebagaimana dimaksud ayat (4) wajib dipenuhi sampai saat pengesahan
perubahan atas Peraturan Dana Pensiun oleh OJK.
(6) Seluruh perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) hanya dapat dilaksanakan apabila telah mendapat
pengesahan OJK.

Paragraf 4
Penyelenggaraan Dana Pensiun

153
Pasal 138
(1) Dana Pensiun wajib menerapkan:
a. prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik; dan
b. manajemen risiko yang efektif, dalam setiap kegiatan usahanya pada
seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
(2) Dana Pensiun wajib dikelola dengan mengutamakan kepentingan Peserta
serta Pihak yang berhak atas Manfaat Pensiun sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Dana Pensiun.
(3) Dana Pensiun wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dan
peraturan pelaksanaannya.

Pasal 139
(1) Pengurus dan dewan pengawas ditunjuk oleh dan bertanggung jawab
kepada Pendiri.
(2) Pendiri dapat memberhentikan dan mengubah susunan pengurus dan
dewan pengawas.
(3) Pengurus dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus Dana Pensiun
lain, anggota direksi, atau jabatan eksekutif pada badan usaha lain.
(4) Pengurus dan dewan pengawas yang ditunjuk harus memiliki kompetensi
dan pengalaman yang memadai terkait bidang yang menjadi tanggung
jawabnya.
(5) Pendiri Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat
(3) wajib menunjuk dewan pengawas syariah atas rekomendasi lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
(6) Pendiri dapat memberhentikan dan mengubah susunan dewan pengawas
syariah.
(7) Anggota pengurus, anggota dewan pengawas, dan anggota dewan
pengawas syariah wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan
kemampuan dan kepatutan serta ketentuan dan persyaratan lain yang
ditetapkan oleh OJK.

Paragraf 5
Kepesertaan Dana Pensiun

Pasal 140
(1) Setiap karyawan pada Pemberi Kerja berhak menjadi peserta apabila
memenuhi syarat kepesertaan dalam Dana Pensiun Pemberi Kerja.
(2) Dalam hal Dana Pensiun Pemberi Kerja menetapkan adanya iuran Peserta,
karyawan berhak untuk tidak menjadi peserta.
(3) Dalam hal karyawan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memutuskan
menjadi peserta, karyawan harus menyatakan kesediaannya untuk
dipotong upah atau gajinya setiap bulan.
(4) Kepesertaan dalam Dana Pensiun Lembaga Keuangan terbuka bagi:
a. peserta mandiri; atau
b. sebagian atau seluruh karyawan yang diikutsertakan oleh Pemberi
Kerja.
(5) Pemberi Kerja yang mengikutsertakan sebagian atau seluruh karyawan
pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b membuat perjanjian tertulis dengan Dana Pensiun Lembaga
Keuangan.

Pasal 141

154
(1) Usia Pensiun Normal untuk pertama kali ditetapkan paling rendah 55
(lima puluh lima) tahun.
(2) Usia Pensiun Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan direviu
dan ditetapkan secara berkala paling lambat setiap 3 (tiga) tahun sekali
dengan mempertimbangkan angka harapan hidup dan kondisi
makroekonomi.
(3) Penetapan Usia Pensiun Normal dalam Peraturan Dana Pensiun mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 142
(1) Dana Pensiun wajib merahasiakan data pribadi peserta.
(2) Kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk
pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6
Iuran dan Manfaat Pensiun

Pasal 143
(1) Iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun berupa:
a. iuran Pemberi Kerja; dan/atau
b. iuran Peserta.
(2) Iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja dilarang hanya
berupa iuran Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

Pasal 144
(1) Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program
Pensiun Manfaat Pasti, iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 143 ayat (1) huruf a wajib ditetapkan dalam laporan aktuaris yang
disampaikan kepada OJK.
(2) Iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dihitung
berdasarkan standar praktik aktuaria Dana Pensiun yang berlaku di
Indonesia.
(3) Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program
Pensiun Iuran Pasti, iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 143 ayat (1) huruf a wajib ditetapkan dalam Peraturan Dana
Pensiun.
(4) Dalam hal terdapat iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143
ayat (1) huruf b pada Dana Pensiun Pemberi Kerja, besaran iuran Peserta
ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.

Pasal 145
(1) Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, Iuran Pemberi Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1) huruf a wajib dibayarkan secara
berkala dengan angsuran paling sedikit sekali sebulan.
(2) Dalam hal terdapat iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143
ayat (1) huruf b, berlaku ketentuan:
a. bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, Pemberi Kerja merupakan wajib
pungut iuran Peserta berdasarkan Peraturan Dana Pensiun yang
dipungut paling sedikit sekali sebulan; dan
b. bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Pemberi Kerja wajib menyetor
iuran Peserta berdasarkan perjanjian kerja sama antara Pemberi Kerja
dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
(3) Bagi Peserta Mandiri pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140 ayat (4) huruf a, iuran Peserta disetorkan
langsung kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan berdasarkan
perjanjian antara Peserta dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.

155
(4) Dalam hal Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak mampu
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut, pengurus wajib
memberitahukan hal tersebut kepada OJK.
(5) Dalam hal Mitra Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak mampu
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut, pengurus wajib memberitahukan hal
tersebut kepada Pendiri yang selanjutnya Pendiri dapat menetapkan:
a. penangguhan kepesertaan karyawan Mitra Pendiri; atau
b. pengakhiran kepesertaan karyawan Mitra Pendiri.

Pasal 146
Apabila berdasarkan laporan aktuaris yang disampaikan kepada OJK diketahui
Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun
Manfaat Pasti memiliki aset melebihi kewajibannya, kelebihan yang melampaui
batas tertentu yang ditetapkan oleh OJK harus digunakan sebagai iuran
Pemberi Kerja.

Pasal 147
Kewajiban Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program
Pensiun Manfaat Pasti sebagaimana dimaksud pada Pasal 146 dihitung dengan
menggunakan metode dan asumsi aktuaria yang wajar dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 148
(1) Dalam hal iuran Dana Pensiun Pemberi Kerja terdiri dari iuran peserta
dan iuran Pemberi Kerja, Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh iuran
kepada Dana Pensiun.
(2) Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh
iuran peserta dan iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
(3) Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, iuran peserta dan iuran Pemberi Kerja
yang belum disetor setelah melewati 1 (satu) bulan sejak jatuh temponya,
dinyatakan:
a. sebagai utang Pemberi Kerja yang dapat segera ditagih dan dikenakan
imbal hasil tertentu yang dihitung sejak hari pertama dari bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
b. sebagai piutang Dana Pensiun Pemberi Kerja yang memiliki hak
utama, apabila Pemberi Kerja dilikuidasi atau dipailitkan.
(4) Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan
Prinsip Syariah, iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja yang belum disetor
setelah melewati 1 (satu) bulan sejak jatuh tempo, dinyatakan sebagai
utang Pemberi Kerja dan dikenakan sanksi (ta’zir) berupa denda yang
dihitung sejak hari pertama dari bulan jatuh tempo penyetoran iuran.

Pasal 149
(1) Dana pensiun harus menjaga kondisi pendanaan agar berada dalam
keadaan dana terpenuhi.
(2) Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti
dinyatakan dalam keadaan dana terpenuhi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) apabila aset yang diperhitungkan untuk mendanai seluruh
manfaat pensiun tidak kurang dari kewajiban atas pembayaran seluruh
manfaat pensiun kepada peserta.
(3) Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti
dinyatakan dalam keadaan dana terpenuhi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) apabila iuran bulanan yang jatuh tempo telah disetorkan.

156
(4) Dalam hal Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam keadaan dana tidak
terpenuhi, Pemberi Kerja bertanggung jawab agar Dana Pensiun Pemberi
Kerja baik secara langsung maupun bertahap mencapai keadaan dana
terpenuhi.

Pasal 150
(1) Peserta berhak atas Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun
Disabilitas, Manfaat Pensiun Dipercepat, atau Pensiun Ditunda.
(2) Dalam hal Peserta atau pensiunan meninggal dunia, Manfaat Pensiun
dibayarkan kepada Janda/Duda.
(3) Dalam hal Janda/Duda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada,
meninggal dunia, atau kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada
Anak.
(4) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ada, Manfaat
Pensiun dibayarkan kepada pihak yang ditunjuk oleh peserta.

Pasal 151
(1) Hak terhadap setiap Manfaat Pensiun yang dibayarkan oleh Dana Pensiun
dilarang digunakan sebagai jaminan pinjaman dan tidak dapat dialihkan
maupun disita.
(2) Pembayaran Manfaat Pensiun yang dilakukan oleh Dana Pensiun
membebaskan Dana Pensiun dari tanggung jawabnya.
(3) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan pada
iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 152
(1) Besarnya hak atas Manfaat Pensiun bagi peserta Program Pensiun
Manfaat Pasti dihitung berdasarkan rumus yang ditetapkan dalam
Peraturan Dana Pensiun.
(2) Besarnya hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Iuran
Pasti merupakan himpunan:
a. iuran Peserta dan/atau Pemberi Kerja;
b. dana awal Pemberi Kerja;
c. pengalihan dana dari Dana Pensiun lain; dan
d. hasil pengembangan dari himpunan iuran Peserta dan/atau Pemberi
Kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dana awal Pemberi Kerja
sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan pengalihan dana dari
Dana Pensiun lain sebagaimana dimaksud dalam huruf c terhitung
sejak tanggal kepesertaan pada Dana Pensiun.

Pasal 153
(1) Peserta yang berhenti bekerja pada usia pensiun normal atau setelahnya
berhak atas Manfaat Pensiun Normal.
(2) Peserta yang berhenti bekerja paling cepat 5 (lima) tahun sebelum usia
pensiun normal berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat.
(3) Peserta yang berhenti bekerja dan memiliki masa kepesertaan kurang dari
3 (tiga) tahun berhak mendapatkan manfaat paling sedikit berupa
himpunan iuran peserta yang bersangkutan ditambah hasil
pengembangannya.
(4) Untuk peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti, nilai hasil
pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setiap tahunnya
paling sedikit sebesar imbal hasil deposito Bank Umum milik pemerintah
dengan jangka waktu 1 (satu) tahun.
(5) Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti apabila berhenti
bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun

157
namun belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama
dengan jumlah yang dihitung berdasarkan rumus Manfaat Pensiun bagi
kepesertaannya sampai pada saat berhenti bekerja.
(6) Peserta yang mengikuti Program Pensiun Iuran Pasti apabila berhenti
bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun
namun belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama
dengan iurannya sendiri dan iuran Pemberi Kerja beserta hasil
pengembangannya.

Pasal 154
Dalam hal terdapat pengalihan dana awal pemberi kerja atau pengalihan dana
dari Dana Pensiun lain kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) tidak berlaku dan hak Peserta
diperhitungkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 152 ayat (2).

Pasal 155
(1) Peserta mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (4) huruf a
dapat mengalihkan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat
(2) huruf c kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lainnya atau Dana
Pensiun Pemberi Kerja.
(2) Dalam hal Peserta berhak atas Pensiun Ditunda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 153 ayat (5) dan ayat (6), hak atas Pensiun Ditunda dapat
dibayarkan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan/atau Dana
Pensiun Pemberi Kerja yang bersangkutan atau dapat dialihkan kepada
Dana Pensiun Lembaga Keuangan lainnya dan/atau Dana Pensiun
Pemberi Kerja lainnya, dengan ketentuan yang bersangkutan masih hidup
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berhenti bekerja.
(3) Pemberi Kerja yang menanggung sebagian atau seluruh iuran program
pensiun bagi karyawannya dapat mengalihkan kepesertaan karyawannya
kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lain atau Dana Pensiun Pemberi
Kerja.
(4) Dalam hal Peserta turut menanggung sebagian iuran Program Pensiun,
pengalihan kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dilakukan dengan terlebih dahulu memperhatikan pendapat dari Peserta.

Pasal 156
(1) Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran apapun, kecuali
pembayaran yang ditetapkan dalam peraturan Dana Pensiun.
(2) Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta atau bagi Janda/Duda atau
Anak harus dilakukan secara berkala.

Pasal 157
(1) Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran Manfaat Pensiun kepada
Peserta yang belum mencapai usia paling rendah 5 (lima) tahun sebelum
usia pensiun normal kecuali untuk:
a. pembayaran Manfaat Pensiun kepada janda/duda atau anak;
b. pembayaran Manfaat Pensiun Disabilitas; dan
c. kondisi mendesak tertentu yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat
Pasti, Manfaat Pensiun bagi peserta atau bagi janda/duda harus
dibayarkan dengan nilai tetap atau meningkat yang pembayarannya
dilakukan untuk seumur hidup.

Pasal 158

158
(1) Tanggung jawab pembayaran Manfaat Pensiun bagi peserta atau Pihak
Yang Berhak dapat dilakukan dengan cara dibayarkan secara berkala oleh
Dana Pensiun.
(2) Peraturan Dana Pensiun harus memuat cara pembayaran Manfaat
Pensiun bagi peserta atau pihak yang berhak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

Pasal 159
(1) Manfaat Pensiun bagi peserta dan pihak yang berhak dapat dibayarkan
secara sekaligus dalam hal:
a. peserta meninggal dunia lebih cepat 5 (lima) tahun sebelum mencapai
usia pensiun normal;
b. besarnya Manfaat Pensiun lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang
ditetapkan oleh OJK;
c. pembayaran Manfaat Pensiun kepada pihak yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (4); dan/atau
d. kondisi tertentu yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Peraturan Dana Pensiun dapat memuat ketentuan yang mengatur pilihan
pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali secara sekaligus paling banyak
20% (dua puluh persen) dari Manfaat Pensiun.

Pasal 160
Seorang Peserta tidak dapat mengundurkan diri atau menuntut haknya dari
Dana Pensiun apabila masih memenuhi syarat kepesertaan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Dana Pensiun.

Pasal 161
Dana Pensiun wajib memisahkan dana yang dikategorikan sebagai dana tidak
aktif.

Paragraf 7
Aset Dana Pensiun dan Pengelolaannya

Pasal 162
(1) Aset Dana Pensiun dihimpun dari:
a. iuran Pemberi Kerja;
b. iuran Peserta;
c. hasil pengelolaan Aset;
d. pengalihan Aset dari Dana Pensiun lain; dan/atau
e. pengalihan dana awal Pemberi Kerja.
(2) Aset Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dikecualikan dari setiap tuntutan hukum atas aset Pendiri.

Pasal 163
(1) Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja harus mengelola aset Dana
Pensiun Pemberi Kerja sesuai dengan ketentuan mengenai investasi Dana
Pensiun dan arahan investasi.
(2) Dengan persetujuan Pendiri dan dewan pengawas, pengelolaan aset Dana
Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dialihkan oleh pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja kepada lembaga
keuangan yang memenuhi ketentuan OJK.

159
(3) Pengalihan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mendapat persetujuan dewan pengawas syariah bagi Dana Pensiun yang
menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah.
(4) Dalam hal pengelolaan aset Dana Pensiun Pemberi Kerja dialihkan kepada
lembaga keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja bertanggung jawab atas kepatuhan
lembaga keuangan pada pengaturan dalam Undang-Undang ini.
(5) Dana Pensiun dapat menyimpan asetnya pada bank kustodian.
(6) Aset Dana Pensiun yang disimpan pada bank kustodian sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) hanya dapat ditarik atau dialihkan atas perintah
pengurus.
(7) Dana Pensiun dapat menginvestasikan kekayaannya pada instrumen
keuangan dengan memenuhi ketentuan mengenai investasi yang
ditetapkan oleh OJK.

Pasal 164
(1) Aset Dana Pensiun Pemberi Kerja dilarang dikembalikan kepada Pemberi
Kerja.
(2) Dana Pensiun dilarang:
a. meminjamkan atau mengagunkan asetnya kepada pihak manapun,
kecuali yang dikategorikan sebagai pengelolaan portofolio investasi;
b. menginvestasikan asetnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, pada surat berharga yang diterbitkan oleh, atau pada tanah
dan/atau bangunan yang dimiliki atau yang dipergunakan oleh:
1. pengurus, Pendiri, Mitra Pendiri, pengendali Pendiri atau bank
kustodian;
2. badan usaha yang lebih dari 25% (dua puluh lima persen)
sahamnya dimiliki oleh orang atau badan yang terdiri dari Pendiri,
Mitra Pendiri, pengendali Pendiri, pengurus, bank kustodian, atau
serikat pekerja yang anggotanya adalah peserta Dana Pensiun yang
bersangkutan;
3. perusahaan anak; dan/atau
4. pejabat eksekutif dari badan sebagaimana dimaksud dalam angka
1 dan angka 2, serta keluarganya sampai derajat kedua menurut
garis lurus maupun garis ke samping, termasuk menantu dan ipar.
c. melakukan transaksi derivatif kecuali transaksi derivatif dalam rangka
lindung nilai yang diatur oleh OJK; atau
d. memiliki instrumen derivatif kecuali instrumen derivatif yang
didapatkan dari hasil kepemilikan instrumen lain yang diatur oleh
OJK.
(3) Selain larangan pada ayat (2), Dana Pensiun Lembaga Keuangan dilarang
mengalihkan pengelolaan aset kepada pihak ketiga.
(4) Dana Pensiun wajib menerapkan prinsip tata kelola Dana Pensiun yang
baik dan manajemen risiko yang efektif dalam setiap kegiatan usahanya
pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi aset Dana
Pensiun Pemberi Kerja yang dikelola oleh suatu lembaga keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (2).

Pasal 165
(1) Penyewaan atau jual beli tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya milik
Dana Pensiun kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat
(2) huruf b, hanya dapat dilakukan sepanjang menggunakan harga pasar
wajar.
(2) Harga pasar wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
penilai independen.

160
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2) huruf b tidak
berlaku bagi investasi Dana Pensiun pada Instrumen Keuangan yang
tercatat atau diperdagangkan di Pasar Modal dan Pasar Uang, dengan
memenuhi ketentuan mengenai investasi Dana Pensiun.

Pasal 166
Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan memuat
ketentuan yang mengatur mengenai penarikan iuran peserta.

Paragraf 8
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme

Pasal 167
(1) Dana Pensiun wajib menerapkan kebijakan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
(2) Dana Pensiun wajib mendapatkan informasi yang cukup mengenai calon
peserta untuk dapat menerapkan kebijakan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.

Paragraf 9
Perlakuan Perpajakan

Pasal 168
(1) Penyelenggaraan Dana Pensiun dapat diberikan fasilitas insentif
perpajakan.
(2) Ketentuan mengenai fasilitas insentif perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 10
Pengaturan, Pengawasan, dan Pelaporan Dana Pensiun

Pasal 169
(1) Pengaturan dan pengawasan atas Dana Pensiun dilakukan oleh OJK.
(2) Pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pengelolaan aset Dana Pensiun dan penyelenggaraan Program
Pensiun.

Pasal 170
(1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 169 ayat (1), OJK menetapkan Peraturan OJK.
(2) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 169 ayat (1), OJK berwenang:
a. menyetujui atau menolak pengesahan pembentukan Dana Pensiun;
b. menyetujui atau menolak pengesahan perubahan atas Peraturan Dana
Pensiun;
c. membubarkan Dana Pensiun;
d. mewajibkan Dana Pensiun menyampaikan laporan secara berkala;
e. melakukan pemeriksaan terhadap Dana Pensiun dan pihak lain yang
sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa
kepada Dana Pensiun;

161
f. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap anggota
Pengurus, anggota dewan pengawas, dan anggota dewan pengawas
syariah;
g. menonaktifkan anggota Pengurus, anggota dewan pengawas, anggota
dewan pengawas syariah, dan menetapkan Pengelola Statuter;
h. memberi perintah tertulis kepada:
1. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas
biaya Dana Pensiun dan disampaikan kepada OJK;
2. Dana Pensiun untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Dana Pensiun;
3. Dana Pensiun untuk memperbaiki atau menyempurnakan sistem
pengendalian intern untuk mengidentifikasi dan menghindari
pemanfaatan Dana Pensiun untuk kejahatan keuangan; dan
4. Dana Pensiun untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau
posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi
tertentu untuk menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal
orang tersebut tidak kompeten, tidak memenuhi kualifikasi
tertentu, tidak berpengalaman, atau melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Dana Pensiun;
i. mengenakan sanksi kepada Dana Pensiun, Pendiri, pengurus, dewan
pengawas, dan dewan pengawas syariah; dan
j. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 171
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (2) huruf e
dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu.
(2) Setiap Pendiri, Mitra Pendiri, pengurus, dewan pengawas, dewan
pengawas syariah dan lembaga atau profesi penunjang Dana Pensiun
serta pihak lain terkait dengan kegiatan Dana Pensiun wajib memberikan
keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua
pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan
kegiatan Dana Pensiun yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap orang yang pernah menjadi Pengurus, dewan pengawas, dewan
pengawas syariah, dan lembaga atau profesi penunjang Dana Pensiun
serta pihak lain terkait dengan kegiatan Dana Pensiun, wajib memberikan
keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua
pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan
kegiatan Dana Pensiun yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 172
(1) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (2) huruf h
diberikan dalam hal OJK berkesimpulan bahwa Dana Pensiun:
a. menjalankan kegiatan usahanya dengan cara tidak hati-hati dan tidak
wajar atau tidak sehat secara finansial;
b. diperkirakan akan gagal memenuhi kewajibannya;
c. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana
Pensiun; dan/atau
d. terlibat kejahatan keuangan.
(2) Dana Pensiun wajib mematuhi perintah tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

162
(3) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dijadikan alasan oleh pihak yang melakukan perjanjian dengan Dana
Pensiun untuk membatalkan atau menolak perjanjian, menghindari
kewajiban yang ditentukan di dalam perjanjian, atau melakukan hal apa
pun yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Dana Pensiun.
(4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak mendapatkan ganti
kerugian dari Dana Pensiun apabila menderita kerugian yang disebabkan
oleh perintah tertulis yang diberikan kepada Dana Pensiun.
(5) Ketentuan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
berlaku apabila pihak yang bersangkutan merupakan pihak terafiliasi
atau pihak yang terkait dengan keadaan yang menyebabkan
dikeluarkannya perintah tertulis oleh OJK.

Pasal 173
(1) OJK dapat menonaktifkan anggota pengurus, anggota dewan pengawas,
dan anggota dewan pengawas syariah, dalam hal:
a. Dana Pensiun memberikan informasi kepada OJK bahwa menurut
pertimbangan Dana Pensiun diperkirakan tidak mampu memenuhi
kewajibannya;
b. menurut pertimbangan OJK, Dana Pensiun diperkirakan tidak mampu
memenuhi kewajiban;
c. menurut pertimbangan OJK, Dana Pensiun melakukan kegiatan
usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Dana Pensiun atau secara keuangan dinilai tidak
sehat; atau
d. menurut pertimbangan OJK, Dana Pensiun dimanfaatkan untuk
memfasilitasi dan/atau melakukan kejahatan keuangan.
(2) Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh OJK sebagaimana dimaksud
Pasal 170 ayat (2) huruf g mempunyai tugas:
a. menyelamatkan aset Dana Pensiun;
b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari Dana Pensiun
sesuai dengan Undang-Undang ini;
c. menyusun langkah-langkah apabila Dana Pensiun tersebut masih
dapat diselamatkan;
d. mengajukan usulan agar OJK membubarkan Dana Pensiun apabila
Dana Pensiun tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan;
e. melaporkan kegiatannya kepada OJK; dan
f. tugas lainnya sesuai dengan kebutuhan yang akan diatur dalam
Peraturan OJK.
(3) Pada saat Pengelola Statuter mulai melakukan pengambilalihan
kepengurusan Dana Pensiun, maka:
a. pengurus, dewan pengawas, dan/atau dewan pengawas syariah tidak
dapat melakukan tindakan selaku pengurus, dewan pengawas,
dan/atau dewan pengawas syariah; dan
b. pengurus, dewan pengawas, dan/atau dewan pengawas syariah
nonaktif wajib membantu pengelola statuter dalam menjalankan
fungsi kepengurusan.
(4) Pengurus, dewan pengawas, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif
dilarang mengundurkan diri selama fungsi kepengurusan diambil alih oleh
pengelola statuter.
(5) OJK setiap saat dapat memberhentikan pengelola statuter.

Pasal 174
(1) Pengelola statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun.

163
(2) Pengelola statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi
setiap perintah tertulis dari OJK mengenai pengendalian dan pengelolaan
kegiatan usaha dari Dana Pensiun.
(3) Pengelola statuter mengambil alih pengendalian dan pengelolaan Dana
Pensiun sejak tanggal penetapan sebagai pengelola statuter.
(4) Pengelola statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi pengurus,
dewan pengawas, dan/atau dewan pengawas syariah dari Dana Pensiun.
(5) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengelola
statuter juga memiliki kewenangan untuk membatalkan atau mengakhiri
perjanjian yang dibuat oleh Dana Pensiun dengan pihak ketiga, yang
menurut pengelola statuter dapat merugikan kepentingan Dana Pensiun,
peserta, dan pihak yang berhak.
(6) Pengelola statuter bertanggung jawab atas kerugian Dana Pensiun
dan/atau pihak ketiga jika kerugian disebabkan oleh kecurangan,
ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan
peraturan perundangan-undangan di bidang Dana Pensiun.
(7) Pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun oleh pengelola statuter
berakhir apabila OJK memutuskan:
a. pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun oleh pengelola statuter
tidak diperlukan lagi; atau
b. Dana Pensiun telah dibubarkan.
(8) Pengelola statuter wajib mempertanggungjawabkan segala keputusan dan
tindakannya dalam mengendalikan dan mengelola Dana Pensiun kepada
OJK.

Pasal 175
Dalam menetapkan Pengelola Statuter, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
170 ayat (2) huruf g, OJK mempertimbangkan:
a. ketersediaan tenaga individu yang akan ditunjuk sebagai Pengelola
Statuter;
b. penunjukan Pengelola Statuter harus melalu uji kelayakan dan kepatutan;
c. dalam mengelola dana pensiun yang diambil alih, Pengelola Statuter harus
melaporkan setiap keputusan dan tindakan pengendalian dan pengelolaan
yang dilakukan kepada OJK; dan/atau
d. ketentuan lainnya.

Pasal 176
(1) Pengelola statuter bertanggung jawab atas kerugian Dana Pensiun
dan/atau pihak ketiga jika kerugian disebabkan oleh kecurangan,
ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan
peraturan perundangan-undangan di bidang Dana Pensiun.
(2) Dalam hal kerugian tidak disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran,
atau kesengajaan untuk tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan
di bidang Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang
saham pengendali wajib bertanggungjawab atas hak keuangan nasabah
atau anggota.

Pasal 177
Pihak tertentu yang dimintai masukan dan bantuan oleh OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) dilarang menggunakan atau
mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain,
kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya
berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh Undang-Undang.

164
Pasal 178
(1) Dana Pensiun wajib menyampaikan laporan berkala kepada OJK sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti
wajib memiliki laporan aktuaris yang harus disampaikan kepada OJK
paling sedikit sekali dalam 3 (tiga) tahun atau apabila dilakukan
perubahan terhadap Peraturan Dana Pensiun yang mengakibatkan
perubahan dalam pendanaan dan manfaat pensiun.

Pasal 179
(1) Dana Pensiun wajib mengumumkan kondisi keuangan dan perhitungan
hasil usaha secara transparan kepada peserta menurut bentuk, susunan
dan waktu yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Dana Pensiun wajib menyampaikan keterangan kepada peserta mengenai
hal yang timbul dalam rangka kepesertaannya dalam bentuk dan waktu
yang ditetapkan oleh OJK.
(3) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat
informasi mengenai jumlah dana yang telah terkumpul dan/atau proyeksi
besaran manfaat yang akan diterima.
(4) Pengurus wajib menyampaikan informasi secara transparan kepada
Peserta mengenai setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun.

Pasal 180
(1) Pembubaran Dana Pensiun dapat terjadi:
a. berdasarkan permintaan Pendiri kepada OJK;
b. apabila Pendiri bubar; atau
c. apabila OJK berpendapat bahwa:
1. Dana Pensiun tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada peserta
dan pihak yang berhak;
2. Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, terhentinya iuran dinilai dapat
membahayakan keadaan keuangan Dana Pensiun dimaksud; atau
3. Bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan, tidak beroperasi dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak didirikan.
(2) OJK menetapkan:
a. pembubaran Dana Pensiun; dan
b. penunjukan likuidator oleh pendiri.
(3) Dalam hal Pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sudah
tidak ada dan/atau Dana Pensiun bermasalah, OJK dapat menunjuk dan
menetapkan likuidator.
(4) Pengurus, likuidator Pendiri, dan/atau pihak lain dapat ditunjuk sebagai
likuidator.
(5) Dewan Pengawas tidak dapat ditunjuk sebagai likuidator.
(6) Biaya yang timbul dalam rangka pembubaran Dana Pensiun dibebankan
pada Dana Pensiun, Pendiri, dan/atau Mitra Pendiri.

Pasal 181
(1) Sebelum proses likuidasi selesai, Pemberi Kerja tetap bertanggung jawab
atas iuran yang terutang sampai pada saat Dana Pensiun dibubarkan
sesuai dengan ketentuan tentang pendanaan yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Pada saat proses likuidasi, Dana Pensiun dilarang mengembalikan aset
Dana Pensiun kepada Pemberi Kerja.
(3) Setiap kelebihan kekayaan atas kewajiban pada saat pembubaran harus
dipergunakan untuk meningkatkan Manfaat Pensiun bagi peserta sampai
jumlah maksimum yang ditetapkan oleh OJK.
(4) Dalam hal masih terdapat kelebihan dana sesudah peningkatan manfaat
sampai jumlah maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sisa

165
dana tersebut harus dibagikan kepada peserta dan pihak yang berhak atas
Manfaat Pensiun.
(5) Dalam pembagian aset Dana Pensiun yang dilikuidasi, hak Peserta
dan/atau Pihak yang Berhak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada hak pihak lain kecuali dalam hal kewajiban kepada negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 182
(1) Likuidator wajib melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian likuidasi
kepada OJK.
(2) Likuidator wajib mengumumkan hasil penyelesaian likuidasi yang telah
disetujui oleh OJK dalam Berita Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Status badan hukum Dana Pensiun berakhir terhitung sejak tanggal
pengumuman hasil penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).

Paragraf 11
Asosiasi Dana Pensiun

Pasal 183
(1) Setiap Dana Pensiun wajib menjadi anggota salah satu asosiasi Dana
Pensiun yang sesuai dengan ruang lingkup usahanya.
(2) Asosiasi Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat persetujuan tertulis dari OJK.

Bagian Kedua
Program Jaminan Hari Tua Sistem Jaminan Sosial Nasional

Pasal 184
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan sistem jaminan sosial nasional, Undang-Undang ini mengubah,
menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) .

Pasal 185
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456), sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) diubah
sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 36
(1) Peserta jaminan hari tua adalah peserta yang telah membayar iuran.
(2) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan ke dalam:
a. akun utama; dan
b. akun tambahan.
(3) Iuran yang ditempatkan pada akun utama harus lebih besar daripada
iuran yang ditempatkan pada akun tambahan.

166
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran proporsi iuran yang
ditempatkan pada akun utama dan akun tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 37
(1) Besarnya manfaat jaminan hari tua ditentukan berdasarkan seluruh
akumulasi iuran yang telah disetorkan pada akun utama dan akun
tambahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 ayat (2) ditambah
hasil pengembangannya pada masing-masing akun.
(2) Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dapat dibayarkan secara
sekaligus atau berkala pada saat dan/atau setelah peserta memasuki
usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
(3) Dalam hal terdapat kepentingan mendesak, peserta dapat mengambil
sebagian atau seluruh manfaat jaminan hari tua pada akun
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b.
(4) Peserta berhak mendapatkan hasil pengembangan atas akumulasi
iuran pada akun utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(2) huruf a minimal setara tingkat imbal hasil deposito bank
Pemerintah jangka waktu satu tahun sehingga peserta memperoleh
perlidungan atas imbal hasil.
(5) Hak atas hasil pengembangan minimal sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dihitung secara akumulasi selama menjadi peserta.
(6) Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak
menerima manfaat jaminan hari tua.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat jaminan hari tua
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6), serta
hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 38
(1) Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta penerima upah
ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari:
a. upah;
b. upah sampai batas tertentu; dan/atau
c. penghasilan tertentu.
(2) Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta yang tidak menerima
upah ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan secara
berkala oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran iuran jaminan hari tua
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Program Pensiun

Paragraf 1
Harmonisasi Program Pensiun

Pasal 186
(1) Pemerintah mengharmonisasikan seluruh program pensiun terkait yang
bersifat wajib sebagai upaya peningkatan pelindungan hari tua dan
percepatan akumulasi simpanan nasional jangka panjang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi seluruh program pensiun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

167
Paragraf 2
Pengelolaan Aset dan Liabilitas Program Pensiun

Pasal 187
(1) Pengelola Program Pensiun merupakan profesional yang wajib memiliki
kompentensi dan pengalaman yang memadai
(2) Aset dan liabilitas Program Pensiun wajib dikelola dengan menerapkan
prinsip tata kelola yang baik paling sedikit menerapkan prinsip
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, dan
kewajaran.
(3) Pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bertujuan untuk
memberikan manfaat yang optimal bagi pemangku kepentingan
khususnya peserta dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat.
(4) Setiap keputusan dan tindakan terkait pengembangan aset Program
Pensiun wajib didasarkan pada analisis pengembangan aset yang objektif,
independen, dan rasional.
(5) Analisis pengembangan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
didokumentasikan dan tertuang dalam kertas kerja analisis yang
memadai.
(6) Bagi Program Pensiun yang diselenggarakan dengan prinsip Iuran Pasti,
pilihan alokasi aset sepenuhnya menjadi hak peserta.
(7) Dalam hal peserta program Pensiun yang diselenggarakan dengan prinsip
Iuran Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak memilih alokasi
aset, maka aset akan ditempatkan sesuai dengan kebijakan umum
penempatan aset Program Pensiun.
(8) Pengelola Program Pensiun wajib menyampaikan pengukuran kinerja atas
pengelolaan aset Program Pensiun kepada peserta dengan ketentuan
paling sedikit:
a. dilakukan secara transparan dan lengkap;
b. menyampaikan imbal hasil baik absolut maupun relatif; dan
c. disampaikan 1 (satu) kali dalam setahun.

Pasal 188
(1) Untuk memberikan kemungkinan imbal hasil yang lebih optimal dan
mencegah kerugian yang lebih besar, pengelola program pensiun yang
terkait dengan keuangan negara dapat melakukan cut loss dengan
ketentuan:
a. penurunan nilai atau kerugian atas aset investasi yang dilakukan cut
loss tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian Pengelola
Program Pensiun yang melakukan cut loss;
b. telah melakukan analisa yang memadai dengan hasil terdapat potensi
imbal hasil yang lebih optimal jika cut loss dilakukan dan dibuktikan
dengan kertas kerja analisis yang memadai; dan
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan cut loss.
(2) Kerugian karena melakukan cut loss dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan kerugian negara atau kerugian
lainnya yang dapat menyebabkan pengelola Program Pensiun yang
melakukan cut loss dipermasalahkan secara hukum.
(3) Dalam hal terdapat penurunan nilai aset yang dikelola, pengelola Program
Pensiun yang terkait dengan keuangan negara tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian nilai aset dimaksud dengan
ketentuan:
a. penurunan nilai atau kerugian atas aset investasi yang terjadi bukan
karena kesalahan atau kelalaian Pengelola Program Pensiun;

168
b. telah melakukan pengelolaan dan pengawasan atas aset tersebut
dengan menerapkan prinsip kehati-hatian;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas pengelolaan aset yang mengalami penurunan nilai
tersebut; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
penurunan nilai aset yang dikelola tersebut sesuai praktik bisnis yang
sehat.

Paragraf 3
Pembentukan Unit Aktuaria

Pasal 189
(1) OJK dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan wajib membentuk unit aktuaria paling lama 3 (tiga)
tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan.
(2) Unit aktuaria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi
paling sedikit:
a. demografi;
b. ekonomi;
c. keuangan;
d. investasi; dan/atau
e. pemodelan.
(3) Pembentukan unit aktuaria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada:
a. OJK ditetapkan oleh Dewan Komisioner OJK; dan
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Bagian Keempat
Pendelegasian Wewenang

Pasal 190
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. persyaratan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132
ayat (2) dan ayat (3);
b. Manfaat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6);
c. persyaratan dan tata cara pembentukan Dana Pensiun, Pernyataan
tertulis Pendiri, Peraturan Dana Pensiun, dasar pendirian Dana
Pensiun Pemberi Kerja yang didirikan untuk lebih dari 1 (satu) pemberi
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dan ayat (2);
d. permohonan pengesahan Dana Pensiun dan persetujuan dan
penolakan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dan ayat (2);
e. Mitra Pendiri, penggabungan, dan pemisahan Dana Pensiun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dan ayat (2);
f. perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada
Pasal 137 ayat (1);
g. tata kelola Dana Pensiun yang baik dan manajemen risiko yang efektif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1);
h. fungsi, tugas, tanggung jawab, tata cara penunjukan, pemberhentian
dan perubahan, kewajiban, wewenang, ketentuan, persyaratan
kemampuan, kepatutan, dan persyaratan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139;

169
i. metode dan asumsi aktuaria yang wajar dan dapat
dipertanggungjawabkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147;
j. iuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145,
Pasal 146;
k. imbal hasil tertentu dan sanksi (ta’zir) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 148 ayat (3) dan ayat (4);
l. kondisi keadaan dana terpenuhi dan tanggung jawab Pemberi Kerja
agar Dana Pensiun mencapai keadaan dana terpenuhi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 149;
m. Janda/Duda, Anak, dan pihak yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 150;
n. besarnya hak atas Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud pada
Pasal 152;
o. pengalihan hak dan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
155;
p. pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta yang belum mencapai
usia paling kurang 5 (lima) tahun sebelum usia pensiun normal dan
nilai tetap atau meningkat atas Manfaat Pensiun bagi Peserta atau bagi
Janda/Duda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157;
q. cara pembayaran Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158;
r. pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 159;
s. dana tidak aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161;
t. ketentuan tentang investasi Dana Pensiun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 163 dan Pasal 165;
u. arahan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163;
v. pengecualian atas larangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 164
ayat (2) huruf a;
w. harga pasar wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1)
dan ayat (2);
x. penerapan kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167;
y. pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168;
z. pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170;
aa. penetapan, tugas, masa tugas, dan pemberhentian Pengelola Statuter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (2) dan ayat (5);
ab. hak dan kewajiban Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172
ayat (3) dan ayat (4);
ac. penyampaian laporan berkala dan laporan aktuaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) dan ayat (2);
ad. bentuk, susunan dan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179
ayat (1) serta tata cara penyampaian keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2);
ae. pembubaran Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180
ayat (1) dan penunjukan likuidator sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 180 ayat (2) huruf b;
af. pembagian aset Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal
181 ayat (5); dan
ag. pengelolaan Aset dan Liabilitas Program Pensiun bagi Dana Pensiun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187,
diatur dalam Peraturan OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. tata cara reviu dan penetapan Usia Pensiun Normal secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141; dan

170
b. cut loss dan penurunan nilai aset yang dikelola sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2),
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM OLEH KOPERASI

Pasal 191
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).

Pasal 192
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44
(1) Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dari dan untuk:
a. anggota Koperasi yang bersangkutan; dan
b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.
(2) Kegiatan Usaha Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaksanakan sebagai salah satu atau satu-satunya kegiatan
usaha Koperasi.

2. Di antara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipkan 24 (dua puluh empat) pasal,


yakni Pasal 44A, Pasal 44B, Pasal 44C, Pasal 44D, Pasal 44E, Pasal 44F,
Pasal 44G, Pasal 44H, Pasal 44I, Pasal 44J, Pasal 44K, Pasal 44L, Pasal
44M, Pasal 44N, Pasal 44O, Pasal 44P, Pasal 44Q, Pasal 44R, Pasal 44S,
Pasal 44T, Pasal 44U, Pasal 44V, Pasal 44W, dan Pasal 44X sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44A
(1) Kegiatan Usaha Simpan Pinjam hanya dilaksanakan oleh Koperasi
Simpan Pinjam yang mendapatkan izin dari OJK.
(2) Koperasi Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk koperasi primer atau koperasi sekunder.

Pasal 44B
(1) Koperasi yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44A dengan kriteria tertentu wajib memperoleh izin usaha
sebagai Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dari OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

171
Pasal 44C
(1) Koperasi yang sudah berbadan hukum dan akan memperluas usahanya
di bidang simpan pinjam wajib mengadakan perubahan anggaran dasar
dengan mencantumkan usaha simpan pinjam sebagai salah satu
usahanya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 44D
(1) Untuk meningkatkan pelayanan kepada anggota, Koperasi Simpan
Pinjam dapat membuka jaringan pelayanan simpan pinjam, kantor
cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor kas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan jaringan pelayanan
simpan pinjam, kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor
kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 44E
(1) Koperasi Simpan Pinjam wajib menyediakan modal sendiri.
(2) Jumlah modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
berkurang jumlahnya dari jumlah yang semula.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai modal yang disetor pada awal
pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan OJK.

Pasal 44F
(1) Selain modal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44E, Koperasi
Simpan Pinjam dapat menghimpun modal pinjaman dari:
a. anggota;
b. koperasi lainnya dan atau anggotanya;
c. bank dan lembaga keuangan lainnya;
d. penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya; dan/atau
e. sumber lain yang sah.
(2) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 44G
(1) Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam terdiri dari:
a. menghimpun simpanan koperasi berjangka dan simpanan koperasi
dari anggota; dan
b. memberikan pinjaman kepada anggota.
(2) Dalam memberikan pinjaman, Koperasi Simpan Pinjam wajib
memegang teguh prinsip pemberian pinjaman yang sehat dengan
memperhatikan penilaian kemampuan dan kepatutan pemohon
pinjaman.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan prinsip pemberian
pinjaman yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan OJK.

Pasal 44H
(1) Dalam hal terdapat kelebihan dana yang telah dihimpun, setelah
melaksanakan kegiatan pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44G ayat (1) huruf b, Koperasi Simpan Pinjam dapat:

172
a. menempatkan dana dalam bentuk giro, deposito berjangka,
tabungan, dan sertifikat deposito pada bank dan lembaga keuangan
lainnya;
b. melakukan pembelian saham melalui pasar modal; dan/atau
c. mengembangkan dana tabungan melalui sarana investasi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dana, pembelian saham,
dan pengembangan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan OJK.

Pasal 44I
Pembinaan dan pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dilakukan oleh OJK.

Pasal 44J
(1) Untuk terciptanya Kegiatan Usaha Simpan Pinjam yang sehat, OJK
menetapkan ketentuan tentang prinsip kesehatan dan prinsip kehati-
hatian usaha koperasi berdasarkan skala usaha.
(2) Penentuan skala usaha dikelompokkan menjadi:
a. Koperasi Simpan Pinjam skala usaha kecil; dan
b. Koperasi Simpan Pinjam skala usaha menengah dan besar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan skala usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 44K
(1) Pengawasan terhadap Koperasi Simpan Pinjam wajib dilakukan untuk:
a. meningkatkan tata kelola dan kepercayaan para pihak terhadap
Koperasi;
b. mendorong persaingan sehat antar Koperasi Simpan Pinjam skala
menengah dan besar serta persaingan dengan lembaga penyedia jasa
keuangan lainnya; dan
c. menghindari terjadinya arbitrase regulasi.
(2) Pembinaan dan pengawasan terhadap Koperasi Simpan Pinjam skala
usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44J ayat (2) huruf a
didelegasikan dari OJK kepada instansi pemerintah pusat dan/atau
pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi pembinaan koperasi
serta usaha mikro, kecil, dan menengah, namun tetap mengacu pada
panduan yang dibuat oleh OJK.
(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap Koperasi Simpan Pinjam skala
usaha menengah dan besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44J
ayat (2) huruf b dilakukan oleh OJK.
(4) Instansi Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
menyampaikan hasil pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara berkala kepada OJK.

Pasal 44L
(1) Pengurus dan pengawas Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan
besar wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
(2) OJK melakukan penilaian kelayakan kemampuan dan kepatutan calon
pengurus dan pengawas Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan
besar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian
kelayakan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 44M

173
(1) OJK melakukan pemeriksaan terhadap Koperasi Simpan Pinjam skala
menengah dan besar, baik secara berkala maupun setiap waktu jika
diperlukan.
(2) Dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar wajib:
a. memberikan kesempatan bagi pemeriksa untuk melihat buku dan
berkas yang ada pada Koperasi Simpan Pinjam; dan
b. memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh
kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang
dilaporkan oleh Koperasi Simpan Pinjam.

Pasal 44N
(1) Dalam hal Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar
mengalami kesulitan yang mengganggu kelangsungan usahanya, OJK
dapat memberikan petunjuk kepada pengurus untuk melakukan
tindakan:
a. penambahan modal sendiri dan atau modal penyertaan dari anggota;
b. penggantian pengelola;
c. penggabungan dengan Koperasi Simpan Pinjam lain;
d. penggabungan dengan lembaga keuangan mikro berbadan hukum
koperasi;
e. penjualan sebagian aktiva tetap; dan/atau
f. tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar dianggap
mengalami kesulitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika
mengalami salah satu atau gabungan:
a. terjadi penurunan modal dari jumlah modal yang disetorkan pada
waktu pendirian;
b. penyediaan aktiva lancar tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek;
c. jumlah pinjaman yang diberikan lebih besar dari jumlah simpanan
berjangka dan tabungan;
d. mengalami kerugian;
e. pengelola melakukan penyalahgunaan keuangan; dan/atau
f. pengelola tidak melaksanakan tugasnya.
(3) Dalam hal kesulitan tidak dapat diatasi, OJK mencabut izin usaha
Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 44O
(1) Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar yang dicabut izin
usahanya wajib menyelenggarakan rapat anggota untuk memutuskan
pembubaran Koperasi Simpan Pinjam.
(2) Pelaksanaan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di bawah pengawasan OJK.

Pasal 44P
Dalam memutuskan pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44O, rapat anggota wajib mempertimbangkan masih adanya harta
kekayaan Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar yang dapat
dicairkan untuk memenuhi pembayaran kewajiban yang bersangkutan.

Pasal 44Q

174
Pembubaran Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar oleh OJK
dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan OJK.

Pasal 44R
(1) Permohonan pernyataan pailit bagi Koperasi Simpan Pinjam skala
menengah dan besar hanya dapat diajukan oleh OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan
pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan OJK.

Pasal 44S
(1) Dalam menjalankan usaha Koperasi Simpan Pinjam skala menengah
dan besar, pengurus wajib memperhatikan aspek permodalan,
likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas guna menjaga kesehatan usaha
dan menjaga kepentingan semua pihak yang terkait.
(2) Dalam hal suatu Koperasi Simpan Pinjam skala usaha menengah dan
besar mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya, OJK dapat melakukan tindakan agar:
a. anggota menambah modal;
b. rapat anggota mengganti pengurus dan/atau pengawas; dan/atau
c. rapat anggota menghapusbukukan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan
kerugian Koperasi Simpan Pinjam dengan modalnya.
(3) Apabila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum cukup
untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi Koperasi Simpan Pinjam, OJK
dapat mencabut izin usaha Koperasi Simpan Pinjam dan
memerintahkan Pengurus untuk segera menyelenggarakan rapat
anggota agar membubarkan badan hukum Koperasi Simpan Pinjam dan
membentuk tim likuidasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai aspek pengelolaan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan kesehatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 44T
(1) Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar wajib
menyampaikan kepada OJK:
a. laporan berkala;
b. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik;
dan
c. laporan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lambat 4 (empat) bulan setelah
tahun buku berakhir.
(3) Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar wajib
mengumumkan laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi paling
lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir paling sedikit pada
1 (satu) media massa nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan
OJK.

Pasal 44U
(1) OJK mengenakan pungutan kepada Koperasi Simpan Pinjam skala
menengah dan besar.
(2) Koperasi Simpan Pinjam skala menengah dan besar wajib membayar
pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

175
(3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan
OJK.
(4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
(5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi
kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut
disetorkan ke Kas Negara.
(6) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan tidak mampu
menutupi biaya yang diperlukan untuk pengawasan Koperasi Simpan
Pinjam skala menengah dan besar, OJK dapat meminta bantuan
Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan kondisi keuangan
negara.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 44V
(1) Pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah yang memiliki tugas
dan fungsi pembinaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah
menyusun kebijakan pemberdayaan Koperasi Simpan Pinjam untuk
kebijakan tingkat nasional dan regional.
(2) Kebijakan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk dalam bentuk program pendampingan, pelatihan
kewiraswastaan, teknologi dan pembukuan, alokasi pengadaan barang
dan jasa, serta fasilitasi pertemuan Koperasi Simpan Pinjam dengan
potensi pasar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pemberdayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44W
(1) Dalam rangka pemberian pelindungan kepada Koperasi Simpan Pinjam,
Pemerintah dapat:
a. menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan
oleh Koperasi;
b. menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah
berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh
badan usaha lainnya; dan/atau
c. membentuk lembaga penjamin simpanan anggota Koperasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pelaksanaan
pemberian pelindungan dan pembentukan lembaga penjamin simpanan
anggota koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 44X
(1) Koperasi Simpan Pinjam wajib memberikan pelindungan kepada setiap
anggota Koperasi dalam kegiatan usaha Koperasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44G.
(2) Untuk memberikan pelindungan kepada setiap anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Koperasi Simpan Pinjam wajib:
a. menerapkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan,
kerahasiaan, dan keamanan data/informasi;
b. menyelenggarakan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi
keuangan kepada anggota;
c. bertanggung jawab atas kerugian anggota yang timbul akibat
kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai dan/atau pihak
ketiga yang bekerja untuk kepentingan Koperasi Simpan Pinjam;

176
d. mencegah pengurus, pengawas, dan pegawainya dari perilaku:
1. memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain; dan
2. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukannya,
yang dapat merugikan anggota;
e. menaati kode etik dalam melayani anggota, yang telah ditetapkan oleh
masing-masing Koperasi; dan
f. melakukan tindakan lain yang dianggap perlu untuk melindungi
anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan anggota Koperasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

BAB XIII
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Pasal 193
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan lembaga keuangan mikro, Undang-Undang ini mengubah,
menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394).

Pasal 194
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394)
diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 5
(1) Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
terdiri dari:
a. koperasi; atau
b. Perseroan Terbatas.
(2) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) dimiliki oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi
atau Badan Usaha Milik Kelurahan.
(3) Sisa kepemilikan saham Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. koperasi.
(4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham Perseroan
Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling banyak
sebesar 20% (dua puluh persen).

2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 8
LKM hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan usaha milik kelurahan;
c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
d. Pemerintah Daerah Provinsi; dan/atau
e. koperasi.

177
3. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Dalam hal LKM mengalami kesulitan keuangan yang membahayakan
keberlangsungan usahanya seperti aspek permodalan, kualitas
piutang pembiayaan, kualitas manajemen, likuiditas, dan
profitabilitas, OJK berwenang untuk meminta:
a. pemegang saham atau anggota koperasi menambah modal;
b. pemegang saham mengganti dewan komisaris atau pengawas
dan/atau direksi atau pengurus LKM;
c. LKM menghapusbukukan Pinjaman atau Pembiayaan yang macet
dan memperhitungkan kerugian LKM dengan modalnya;
d. LKM melakukan penggabungan atau peleburan dengan LKM lain;
e. kepemilikan LKM dialihkan kepada pihak lain yang bersedia
mengambil alih seluruh kewajiban;
f. LKM menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan
LKM kepada pihak lain;
g. LKM menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban
LKM kepada LKM atau pihak lain; atau
h. tindakan lain yang ditetapkan OJK.
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
cukup untuk mengatasi kesulitan keuangan LKM, OJK mencabut izin
usaha LKM dan memerintahkan direksi atau pengurus LKM untuk
segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham, Rapat
Anggota atau rapat sejenis guna membubarkan badan hukum LKM
dan membentuk tim likuidasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan yang dilakukan OJK dan
indikator kesulitan keuangan untuk menentukan kondisi LKM yang
membahayakan keberlangsungan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan pembubaran LKM sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

4. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 33
(1) Setiap LKM yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal
14, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 27, Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 30
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian dan/atau penggantian direksi atau pengurus
LKM;
c. pembekuan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh
kegiatan usaha;
d. denda uang; dan/atau
e. pencabutan izin usaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana dan penerapan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan OJK.

5. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 34
(1) Setiap pihak yang menjalankan LKM tanpa izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang tidak mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan barang, dikenai denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

178
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain
dikenai denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai
sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara prosentase
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat selama 5 (lima) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat selama 10 (sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(7) Tanpa mengurangi hukuman denda dan/atau pidana penjara
sebagaimana diatur ayat (1) sampai dengan ayat (4) setiap pihak
dikenakan sanksi tambahan.
(8) Pelanggaran atas ketentuan ayat (1) pelaku dimaksud tidak dapat
diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau Pengurus atau Pegawai
LKM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan
sanksi;
(9) Pelanggaran atas ketentuan ayat (2) atau ayat (3) pelaku dimaksud
tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau Pengurus
atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pengenaan denda jika pelanggarannya pada ayat (2) atau dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai menjalani masa pidana jika
pelanggarannya pada ayat (3).
(10) Pelanggaran atas ketentuan ayat (4) pelaku dimaksud tidak dapat
diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau Pengurus atau Pegawai
LKM dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai
menjalani masa pidana.
(11) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi,
maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik
terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu
atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua-duanya.

6. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni Pasal


34A, Pasal 34B, Pasal 34C, Pasal 34D, Pasal 34E, Pasal 34F, dan Pasal
34G sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1) Setiap Orang tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari
Pimpinan OJK dengan sengaja memaksa LKM atau pihak terafiliasi
untuk memberikan keterangan yang tidak mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan barang, dikenai pidana penjara
paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

179
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain
dikenai denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai
pidana penjara dan pidana denda, pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap
Orang dapat dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda atau sejak selesai
menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai menjalani pidana
penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3);
c. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 34B
(1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pengurus, pegawai, dan/atau
pihak terafiliasi LKM atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan
sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) yang tidak
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang dikenai pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain
dikenai pidana penjara dan pidana denda, pelaku dikenai sanksi
penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.

180
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat10 (sepuluh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap
Orang dapat dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda atau sejak selesai
menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai menjalani pidana
penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi,
maka penuntutan terhadap badan dimaksud dilakukan baik
terhadap mereka yang memberi perintah perbuatan maupun yang
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap
keduanya.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 34C
(1) Anggota direksi atau pengurus, atau pegawai LKM yang dengan
sengaja tidak memberikan informasi yang wajib dipenuhi yang tidak
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang dikenai pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain
dikenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta
benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang

181
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat selama 3 (tiga) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi hukuman denda dan/atau pidana penjara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap
Orang dikenakan pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengenaan sanksi terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai menjalani pidana
penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34D
(1) Setiap direksi atau pengurus dan/atau pihak terafiliasi LKM yang:
a. membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan
keuangan dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar
dalam laporan kegiatan usaha dan laporan keuangan; dan
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus,
dan/atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan
atau dalam laporan keuangan, dan dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), yang tidak
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang dikenai pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain
dikenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta
benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase

182
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi hukuman denda dan/atau pidana penjara
sebagaimana diatur ayat (1), (2), (3), (4) diatas, setiap pihak
dikenakan sanksi tambahan sebagai berikut:
a. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda atau setelah selesai
menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai menjalani pidana
penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada
Pelanggaran atas ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 34E
(1) Anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi atau pengurus,
dan/atau pegawai dan/atau pihak terafiliasi LKM yang dengan
sengaja:
a. meminta atau menerima suatu imbalan, baik berupa uang
maupun barang untuk keuntungan pribadi atau keluarganya;
b. dalam rangka orang lain mendapatkan uang muka atau fasilitas
Pembiayaan dari LKM;
c. dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk
melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Pembiayaan
pada LKM; dan/atau
d. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap
ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi LKM,
yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, dikenai sanksi pidana paling singkat 1(satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

183
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain
dikenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta
benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat10 (sepuluh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi hukuman denda dan/atau pidana penjara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap
Orang dapat dikenai pidana tambahan:
a. dimaksud tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris
atau Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak tanggal pengenaan pidana denda atau sejak
selesainya menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai menjalani pidana
penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara hadap pelanggaran
atas ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah

Pasal 34F
(1) Pemegang saham atau pemilik dan/atau pihak terafiliasi LKM yang
dengan sengaja menyuruh dewan komisaris atau pengawas, direksi
atau pengurus, anggota koperasi, atau pegawai LKM untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan
LKM tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan LKM terhadap ketentuan dalam Undang-
Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku bagi LKM, yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap
harta benda atau kerusakan barang, dikenai pidana penjara paling
singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain
dikenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud

184
pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta
benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap
Orang dapat dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda atau sejak selesai
menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai menjalani pidana
penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada
Pelanggaran atas ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 34G
(1) Direksi, Dewan Komisaris, pejabat, pegawai dan/atau pihak terafiliasi
dari LKM yang dengan sengaja memberikan laporan, informasi, data,
dan/atau dokumen kepada OJK secara tidak benar, palsu, dan/atau
menyesatkan, yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, dikenai pidana penjara paling singkat
1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain
dikenai pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku
dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase

185
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat10 (sepuluh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap
Orang dapat dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda atau sejak selesai
menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak tanggal pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat pelanggarannya
pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai
menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Direksi atau Komisaris atau
Pengurus atau Pegawai LKM dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi,
penuntutan terhadap badan dimaksud dilakukan baik terhadap
mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu maupun
mereka yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau
terhadap keduanya.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB XIV
KONGLOMERASI KEUANGAN

Pasal 195
(1) OJK menetapkan lembaga jasa keuangan yang signifikan dan berada
dalam 1 (satu) grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan
dan/atau pengendalian sebagai Konglomerasi Keuangan.
(2) Dalam hal perusahaan induk dari suatu konglomerasi bukan perusahaan
di bidang jasa keuangan, OJK menetapkan lembaga jasa keuangan yang
siginifikan berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok dimaksud sebagai
Konglomerasi Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Konglomerasi Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 196
(1) Setiap orang yang mengendalikan Konglomerasi Keuangan wajib
membentuk PIKK.

186
(2) PIKK dimiliki oleh PSP/PSPT Konglomerasi Keuangan.
(3) Pihak yang mengendalikan Konglomerasi Keuangan dapat menunjuk
perusahaan yang bertindak sebagai PIKK dengan persetujuan OJK.
(4) PIKK bertanggung jawab untuk seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan.
(5) PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan untuk
Konglomerasi Keuangan dengan kriteria tertentu.
(6) PIKK diatur dan diawasi oleh OJK dan Bank Indonesia sesuai dengan
kewenangannya.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan PIKK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan Konglomerasi Keuangan dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan
OJK.

Pasal 197
(1) Kegiatan usaha PIKK meliputi:
a. Lembaga Jasa Keuangan; atau
b. kegiatan usaha lainnya yang ditetapkan oleh OJK.
(2) (2) Ketentuan mengenai kegiatan usaha PIKK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia
sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 198
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usaha PIKK wajib memperhatikan prinsip
kehati-hatian
(2) Ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 199
(1) Direksi dan Dewan Komisaris PIKK wajib memenuhi persyaratan
kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan oleh OJK.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 200
OJK berwenang untuk meminta data dan informasi terhadap pihak terelasi
dalam Konglomerasi Keuangan dan/atau pihak lain yang terkait dengan
Konglomerasi Keuangan.

Pasal 201
Pembentukan PIKK termasuk proses pengalihan aset dalam pembentukan
PIKK dapat diberikan fasilitas insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB XV
INOVASI TEKNOLOGI SEKTOR KEUANGAN
Pasal 202

(1) Ruang lingkup ITSK meliputi:


a. sistem pembayaran;
b. penyelesaian transaksi surat berharga;
c. pengelolaan investasi;
d. pengelolaan risiko;
e. penghimpunan dan/atau penyaluran dana;
f. pendukung pasar;

187
g. jasa keuangan digital lainnya yang ditetapkan oleh otoritas di sektor
keuangan sesuai dengan kewenangannya;
h. aktivitas terkait aset kripto; dan
i. aktivitas jasa keuangan lainnya.
(2) Pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masing-masing
otoritas sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

Pasal 203
(1) ITSK dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan
keuangan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Kegiatan ekonomi dan keuangan yang menggunakan ITSK berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti
Prinsip Syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Pasal 204
(1) Pihak yang menyelenggarakan ITSK terdiri atas:
a. lembaga jasa keuangan; dan/atau
b. pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
(2) Bentuk badan hukum penyelenggara ITSK adalah:
a. perseroan terbatas; atau
b. koperasi.
(3) Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan
prinsip:
a. tata kelola;
b. manajemen risiko dan kepatuhan;
c. keamanan dan keandalan sistem informasi, termasuk ketahanan
siber;
d. pelindungan konsumen dan perlindungan data pribadi; dan
e. pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 205
Pihak yang menyelenggarakan ITSK wajib menyampaikan data dan informasi
ke Bank Indonesia dan OJK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-
masing.

Pasal 206
Penyelenggara ITSK wajib melaksanakan kegiatan dalam rangka meningkatkan
inklusi dan literasi keuangan kepada konsumen dan masyarakat.

Pasal 207
(1) Bank Indonesia dan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup
kewenangannya.
(2) Pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip:
a. keseimbangan antara upaya dalam mendorong inovasi dengan mitigasi
risiko;
b. integrasi ekonomi dan keuangan digital;
c. efisiensi dan praktik bisnis yang sehat;
d. pelindungan konsumen; dan
e. integrasi pengaturan dan pengawasan antar otoritas.

188
(3) Ruang lingkup pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. pendaftaran;
b. penyediaan ruang dan/atau fasilitasi uji coba inovasi teknologi
(sandbox);
c. perizinan dan persetujuan;
d. pemantauan dan evaluasi;
e. edukasi keuangan;
f. pelindungan konsumen;
g. pelindungan data pribadi konsumen;
h. aspek kelembagaan;
i. penyelenggaraan ITSK;
j. mekanisme monitoring dan/atau pengawasan; dan
k. pengembangan atau fasilitasi uji coba inovasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pengawasan
sebagaimana dimasud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 208
(1) Bank Indonesia dan OJK dapat berkoordinasi dan/atau bekerja sama
dengan kementerian/lembaga dan/atau pihak lain dalam rangka
pengaturan, pengawasan dan penyelenggaraan ITSK.
(2) Ruang lingkup koordinasi dan/atau kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pengaturan;
b. pengawasan;
c. pertukaran data dan/atau informasi;
d. perizinan;
e. peningkatan kapasitas sumber daya manusia;
f. uji coba atau pengembangan inovasi; dan
g. aspek lainnya yang dipandang perlu.
(3) Dalam rangka pelaksanaan koordinasi, dibentuk suatu forum koordinasi
antarororitas berdasarkan undang-undang ini.
(4) Dalam rangka peningkatan efisiensi dan pengembangan ITSK, OJK dan
Bank Indonesia:
a. menyediakan ruang uji coba ITSK sesuai dengan kewenangan; dan
b. Bank Indonesia dan OJK dapat berkoordinasi dalam
menyelenggarakan ruang uji coba (sandbox) ITSK.
(5) Mekanisme dan tata cara penyeleggaraan ruang uji coba ITSK diatur oleh
Bank Indonesia dan OJK dengan memperhatikan kewenangan masing-
masing.

Pasal 209
(1) Otoritas berwenang melakukan evaluasi dan/atau tindak lanjut hasil uji
coba inovasi terhadap penyelenggara ITSK.
(2) Pihak penyelenggara tidak boleh menyediakan dan/atau menggunakan
produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis terkait virtual currency dalam
sistem pembayaran.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi dan/atau tindak lanjut hasil uji
coba inovasi terhadap penyelenggara ITSK diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 210
(1) Setiap penyelenggara ITSK wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi
Penyelenggara ITSK yang disetujui dan diatur oleh Bank Indonesia dan

189
OJK sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dalam menjalankan pengaturan bagi anggotanya, asosiasi Penyelenggara
ITSK harus mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh OJK dan
Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya.
(3) Asosiasi penyelenggara ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap setiap penyelenggaraan
ITSK yang terdaftar sebagai anggota asosiasi.
(4) Mekanisme pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur oleh OJK dan Bank Indonesia sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Pengaturan terkait kerja sama antara Bank Indonesia dan OJK dengan
asosiasi Penyelenggara ITSK diatur oleh Bank Indonesia dan OJK Bank
Indonesia sesuai dengan kewenangannya.
(6) Ketentuan mengenai mekanisme dan syarat pendaftaran sebagai anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh OJK dan Bank Indonesia
sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 211
(1) Penyelenggara ITSK wajib menyampaikan data, informasi, dan/atau
laporan yang bersifat waktu sebenarnya, berkala, dan/atau insidentil
kepada Bank Indonesia dan OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data, informasi, dan/atau
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Bank Indonesia dan Peraturan OJK.
Pasal 212
(1) Penyelenggara ITSK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko
tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan
Terorisme terkait dengan Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau kegiatan
usaha lainnya.
(2) Penyelenggara ITSK wajib memiliki kebijakan, pengawasan, dan prosedur
pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan, pengawasan, dan prosedur
pengelolaan dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan OJK.

BAB XVI
PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN

Bagian Kesatu
Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten,
dan Perusahaan Publik

Pasal 213
(1) Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik menerapkan
Keuangan Berkelanjutan dalam kegiatan usaha LJK, Emiten, dan
Perusahaan Publik.
(2) Ketentuan mengenai penerapan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK.

Bagian Kedua
Penerbitan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan

Pasal 214
(1) Penerbitan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan dilakukan untuk
tujuan pembiayaan dan/atau pembiayaan ulang atas kegiatan usaha
berwawasan lingkungan.

190
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan efek bersifat utang
berwawasan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan OJK.

Bagian Ketiga
Koordinasi Kementerian/Lembaga dalam Mempromosikan Pembangunan
Hijau dan Berkelanjutan

Pasal 215
(1) Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan OJK berkoordinasi dalam
Penguatan Keuangan Berkelanjutan Tingkat Nasional dan Kawasan
dengan mengoptimalkan mekanisme pembiayaan berkelanjutan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pembiayaan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB XVII
INKLUSI KEUANGAN DAN PELINDUNGAN KONSUMEN

Bagian Kesatu
Inklusi Keuangan

Pasal 216
(1) Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK berkoordinasi untuk mencapai
keuangan inklusif yang ditetapkan dalam rangka mencapai pembangunan
ekonomi inklusif.
(2) Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK bersinergi melakukan penyusunan
program dan melakukan evaluasi terhadap pencapaian target keuangan
inklusif.

Pasal 217
(1) PUSK wajib melaksanakan kegiatan dalam rangka meningkatkan inklusi
keuangan kepada konsumen dan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan dalam rangka peningkatan
inklusi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah dan peraturan otoritas sektor keuangan.

Bagian Kedua
Prinsip dan Tujuan Pelindungan Konsumen

Pasal 218
PUSK dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip
pelindungan konsumen.

Pasal 219
Pelindungan konsumen di sektor keuangan menerapkan prinsip:
a. edukasi yang memadai;
b. keandalan;
c. keterbukaan dan transparansi informasi produk dan/atau layanan;
d. perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab;
e. pelindungan aset, privasi, dan data konsumen;
f. penanganan pengaduan dan sengketa yang efektif dan efisien; dan
g. penegakan kepatuhan.

Pasal 220
Pelindungan konsumen di sektor keuangan diselenggarakan dengan tujuan:

191
a. mewujudkan pengetahuan dan pemahaman konsumen serta penggunaan
produk dan/atau layanan PUSK;
b. mewujudkan perilaku PUSK dalam keterbukaan dan transparansi produk
dan/atau layanan;
c. mewujudkan perilaku bisnis yang bertanggung jawab dan perlakuan yang
adil;
d. menciptakan perilaku PUSK dalam memberikan pelindungan aset, privasi
dan data konsumen;
e. mewujudkan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang
efektif dan efisien;
f. menciptakan pelindungan konsumen untuk mewujudkan kepastian
hukum; dan
g. menumbuhkan sikap bertanggung jawab PUSK mengenai hak dan
kewajibannya terhadap konsumen.

Bagian Ketiga
Cakupan Pelindungan Konsumen di Sektor Keuangan

Pasal 221
Pihak yang menyelenggarakan pelindungan konsumen di sektor keuangan
adalah PUSK yang menyelenggarakan usaha baik di luar jaringan maupun
dalam jaringan.

Pasal 222
Objek dalam penyelenggaraan pelindungan konsumen sektor keuangan adalah
transaksi antara konsumen dan PUSK atas produk dan/atau layanan sektor
keuangan.

Pasal 223
Ruang lingkup pengaturan pelindungan konsumen sektor keuangan meliputi:
a. wewenang pengaturan dan pengawasan dalam rangka pelindungan
konsumen di sektor keuangan;
b. hak dan kewajiban konsumen serta hak, kewajiban, dan larangan bagi
PUSK;
c. ketentuan perjanjian baku;
d. pelindungan data konsumen;
e. literasi keuangan;
f. pembinaan dan pengawasan;
g. penyelesaian sengketa sektor keuangan;
h. lembaga alternatif penyelesaian sengketa sektor keuangan;.
i. sanksi administratif; dan
j. ketentuan pidana.

Bagian Keempat
Wewenang Pengaturan dan Pengawasan dalam rangka Pelindungan
Konsumen di Sektor Keuangan

Pasal 224
(1) Otoritas sektor keuangan berwenang melakukan pengaturan dalam
rangka pelindungan konsumen dan masyarakat di sektor keuangan.
(2) Pelindungan konsumen di sektor keuangan tunduk pada Undang-Undang
ini.
(3) Otoritas sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
mengatur mengenai:
a. mekanisme penanganan pengaduan konsumen;
b. layanan konsumen sektor keuangan;

192
c. pengawasan perilaku pasar (market conduct);
d. penyelesaian sengketa sektor keuangan di luar pengadilan melalui
badan atau lembaga penyelesaian sengketa; dan
e. ketentuan lainnya.

Pasal 225
(1) Otoritas sektor keuangan meIakukan pengawasan untuk memastikan
kepatuhan PUSK dalam menerapkan ketentuan Pelindungan Konsumen
sesuai dengan mandat, tugas, dan fungsi otoritas sektor keuangan yang
diberikan berdasarkan Undang-Undang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan otoritas sektor keuangan sesuai
dengan kewenangannya masing-masing.

Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Sektor Keuangan

Pasal 226
(1) Penyelenggara kegiatan usaha di Sektor Keuangan wajib menerapkan
prinsip dan mematuhi ketentuan pelindungan konsumen serta melakukan
edukasi dalam rangka peningkatan literasi pelindungan konsumen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan otoritas di sektor keuangan sesuai
dengan tugas dan kewenangannya.

Pasal 227
(1) Dalam penyelenggaraan pelindungan konsumen di sektor keuangan,
PUSK memiliki hak, kewajiban, dan larangan yang harus dipatuhi.
(2) Ketentuan mengenai hak, kewajiban, dan larangan PUSK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Pasal 228
Setiap Orang dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk
simpanan dan/atau investasi dari masyarakat tanpa izin dari otoritas di sektor
keuangan, kecuali kegiatan dimaksud diatur dengan Undang-Undang lain.

Bagian Keenam
Ketentuan Perjanjian Baku

Pasal 229
(1) PUSK wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam
pembuatan perjanjian dengan konsumen.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk perjanjian
tertulis.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk
perjanjian baku yang memuat klausula baku, kecuali yang dilarang
berdasarkan Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian baku sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai
dengan kewenangannya masing-masing.

Bagian Ketujuh
Perlindungan Data Konsumen

193
Pasal 230
(1) PUSK wajib menerapkan prinsip pelindungan data pribadi dan dasar
pemrosesan pelindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan data pribadi.
(2) Pertukaran data individual konsumen di sektor keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan langsung oleh PUSK dan/atau
meIalui infrastruktur pengelolaan data secara terintegrasi yang difasilitasi
oleh otoritas di sektor keuangan.

Pasal 231
(1) Dalam penggunaan data individual nasabah, PUSK dapat melakukan
pertukaran data individual nasabah dengan pihak lain dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
perlindungan data pribadi dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang ditetapkan oleh otoritas di sektor keuangan.
(2) Pertukaran data individual konsumen di sektor keuangan dapat dilakukan
langsung oleh PUSK dan/atau meIalui infrastruktur pengelolaan data
secara terintegrasi yang difasilitasi oleh otoritas di sektor keuangan.

Pasal 232
(1) PUSK dapat mentransfer data individual konsumen kepada pihak lain di
Iuar wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelenggaraan transfer data individual nasabah yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau untuk
melindungi kepentingan nasional dapat dihentikan oleh otoritas di sektor
keuangan.

Pasal 233
Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya, PUSK wajib memastikan keamanan
sistem informasi dan ketahanan siber berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai keamanan Sistem informasi dan ketahanan
siber, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang ditetapkan
oleh otoritas di sektor keuangan.

Pasal 234
(1) PUSK wajib melaksanakan kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi
keuangan kepada konsumen dan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan dalam rangka peningkatan
literasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan otoritas di sektor keuangan.

Pasal 235
Pemerintah, Bank Indonesia, OJK, dan otoritas lainnya melakukan koordinasi
dalam rangka perlindungan konsumen di sektor keuangan.

Pasal 236
(1) Dalam rangka perlindungan konsumen, otoritas sektor keuangan
berwenang memberikan perintah atau melakukan tindakan tertentu
kepada PUSK.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan otoritas sektor keuangan.

Pasal 237
(1) PUSK wajib memiliki dan meIaksanakan mekanisme penyelesaian

194
pengaduan yang disampaikan oleh Konsumen.
(2) Dalam hal Konsumen tidak menyepakati hasil penyelesaian pengaduan
yang dilakukan oleh PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
Konsumen dapat menyampaikan pengaduan kepada badan atau Iembaga
penyelesaian sengketa atau kepada otoritas di sektor keuangan.
(3) Dalam meIakukan kegiatan pelindungan konsumen, otoritas di sektor
keuangan dapat meIakukan fasilitasi penanganan pengaduan.
(4) Pengaduan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan
atas:
a. wanprestasi atau ingkar janji;
b. perbuatan melawan hukum; atau
c. perbuatan lain sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf b merupakan tanggung jawab PUSK.
(6) PUSK wajib menjadi anggota badan atau lembaga penyelesaian sengketa.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan syarat-syarat badan
atau lembaga penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 238
Peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan konsumen di sektor
jasa keuangan bersifat khusus terhadap peraturan perundang-undangan
mengenai pelindungan konsumen di luar sektor jasa keuangan.

BAB XVIII
AKSES PEMBIAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

Pasal 239
(1) Dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi nasional melalui
pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah, perlu dilakukan
kemudahan akses pembiayaan oleh Bank kepada usaha mikro, kecil, dan
menengah.
(2) Kemudahan akses pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh seluruh bank
dan/atau lembaga keuangan nonbank dengan menerapkan prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses usaha mikro, kecil,
dan menengah diatur oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas
dan kewenangannya.

Pasal 240
(1) Dalam hal terjadi piutang macet, perlu adanya kepastian hukum dalam
rangka penanganan piutang macet pada bank dan/atau lembaga
keuangan nonbank badan usaha milik negara kepada usaha mikro, kecil,
dan menengah.
(2) Piutang macet pada bank, dan/atau lembaga keuangan nonbank badan
usaha milik negara kepada usaha mikro dan kecil dan menengah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penghapusbukuan
dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses
pembiayaan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah.
(3) Penghapusbukuan piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh bank dan/atau lembaga keuangan nonbank badan usaha
milik negara dengan ketentuan sebagai berikut:
a. terhadap piutang macet telah dilakukan upaya restrukturisasi; dan

195
b. bank dan/atau lembaga keuangan nonbank badan usaha milik negara
telah melakukan upaya penagihan secara optimal termasuk upaya
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, tetapi tetap
tidak tertagih.

Pasal 241
(1) Kerugian yang dialami oleh bank dan/atau lembaga keuangan nonbank
BUMN dalam melaksanakan penghapusbukuan dan/atau
penghapustagihan piutang merupakan kerugian bank dan/atau lembaga
keuangan nonbank BUMN yang bersangkutan.
(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan
kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan
dilakukan berdasarkan itikad baik, ketentuan peraturan perundang-
undangan, anggaran dasar, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
(3) Direksi dalam melakukan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan
piutang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (l).

BAB XIX
SUMBER DAYA MANUSIA

Bagian Kesatu
Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia pada Sektor Keuangan
Pasal 242
(1) PUSK bertanggung jawab melakukan pengembangan kualitas sumber
daya manusia melalui peningkatan kompetensi dan keahlian sumber daya
manusia.
(2) Peningkatan kompetensi dan keahlian sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan
sumber daya manusia secara berkesinambungan.
(3) Untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber
daya manusia, PUSK wajib menyediakan dana pendidikan dan pelatihan
dari anggaran tahun berjalan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan lembaga terkait di masing-
masing industri sektor keuangan.

Pasal 243
(1) PUSK harus memiliki dan menerapkan standar kompetensi.
(2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
standar kompetensi untuk bidang atau jabatan pada industri sektor
keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan lembaga
terkait di masing-masing industri sektor keuangan.

Bagian Kedua
Profesi Sektor Keuangan

Paragraf 1
Pengelolaan Profesi Sektor Keuangan

Pasal 244
Profesi Sektor Keuangan terdiri dari:
a. Profesi Penunjang Sektor Keuangan; dan
b. Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan.

196
Pasal 245
Dalam melakukan kegiatan usaha di industri sektor keuangan, Pelaku Profesi
Sektor Keuangan wajib memberikan jasa yang independen.

Pasal 246
(1) Setiap Profesi Sektor Keuangan harus memiliki Asosiasi Profesi.
(2) Setiap Pelaku Profesi Sektor Jasa Keuangan harus menjadi anggota
Asosiasi Profesi.

Pasal 247
(1) Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 harus mendapat
pengakuan dari otoritas terkait sesuai dengan kewenangannya.
(2) Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas
paling sedikit:
a. mengoordinasikan dan menetapkan penyusunan standar profesi dan
kode etik;
b. membentuk komite penegakan etika profesi;
c. menerapkan penegakan disiplin anggota terhadap etika profesi; dan
d. pelaksanaan tugas asosiasi sebagaimana dilaporkan kepada otoritas
terkait.

Pasal 248
Setiap Pelaku Profesi di Industri Sektor Keuangan wajib menaati kode etik yang
ditetapkan oleh Asosiasi Profesi masing-masing sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.

Paragraf 2
Profesi Penunjang Sektor Keuangan

Pasal 249
(1) Profesi Penunjang Sektor Keuangan terdiri atas:
a. akuntan publik;
b. akuntan berpraktik;
c. konsultan aktuaria;
d. aktuaris;
e. penilai publik;
f. konsultan pajak;
g. notaris;
h. konsultan hukum; dan
i. profesi lain yang ditetapkan oleh kementerian pembina dan pengawas
profesi terkait.
(2) Pembinaan dan pengawasan Profesi Penunjang Sektor Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f
dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan, serta pembinaan dan pengawasan
Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g dan huruf h oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), kementerian pembina dan pengawas profesi berkoordinasi
dengan otoritas terkait.
(4) Untuk dapat menyediakan jasa bagi industri sektor jasa keuangan, Profesi
Penunjang Sektor Keuangan wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari

197
kementerian pembina dan pengawas profesi terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan terdaftar di:
a. OJK untuk Profesi Penunjang Sektor Keuangan yang bergerak di pasar
modal, industri perbankan dan/atau industri keuangan non-bank;
b. Bank Indonesia untuk Profesi Penunjang Sektor Keuangan yang
bergerak di pasar uang; atau
c. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi untuk Profesi
Penunjang Sektor Keuangan yang bergerak di pasar berjangka
komoditi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembinaan
dan pengawasan Profesi Penunjang Sektor Keuangan, koordinasi antar
Lembaga terkait, serta perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
sampai dengan ayat (4) diatur dalam peraturan menteri terkait.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran
Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan peraturan lembaga terkait di masing-masing industri sektor
keuangan.

Paragraf 3
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan

Pasal 250
(1) Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan, terdiri atas:
a. wakil perantara pedagang efek;
b. wakil penjamin emisi efek;
c. wakil manajer investasi;
d. wakil agen penjual efek reksa dana;
e. treasuri dealer;
f. wakil pialang berjangka;
g. wakil penasihat berjangka;
h. wakil pengelola sentra dana berjangka; dan
i. profesi pelaku usaha sektor keuangan lainnya yang ditetapkan dengan
peraturan lembaga terkait di masing-masing industri sektor keuangan.
(2) Pembinaan dan pengawasan profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan
dilakukan oleh lembaga terkait di masing-masing industri sektor
keuangan.
(3) Untuk dapat menyediakan jasa bagi industri sektor keuangan, profesi
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
memperoleh izin dan/atau terdaftar di:
a. OJK untuk Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan di pasar modal,
industri perbankan dan/atau industri keuangan non-bank;
b. Bank Indonesia untuk Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan di pasar
uang; atau
c. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi untuk Profesi
Pelaku Usaha Sektor Keuangan di pasar berjangka komoditi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran
profesi pelaku usaha sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam peraturan lembaga terkait di masing-masing industri
sektor keuangan.

Paragraf 4
Sertifikasi Profesi Sektor Keuangan

Pasal 251

198
(1) Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib memiliki sertifikat profesi sesuai
dengan bidang pekerjaannya.
(2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh
Lembaga Sertifikasi Profesi dan/atau Asosiasi Profesi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih
dahulu wajib mendapatkan lisensi dari badan atau lembaga yang
diberikan mandat untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Untuk dapat menerbitkan sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Asosiasi profesi harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai
Lembaga Sertifikasi Profesi.
(5) Lembaga Sertifikasi Profesi mendapatkan rekomendasi dari
Kementerian/lembaga terkait di masing-masing industri sektor keuangan.
(6) Masing-masing Kementerian/lembaga di masing-masing industri sektor
keuangan dapat mengadministrasikan Lembaga Sertifikasi Profesi yang
tercatat menyelenggarakan sertifikasi Profesi Sektor Keuangan.

Pasal 252
PUSK wajib menggunakan jasa dari Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang telah
memperoleh izin dan/atau persetujuan pendaftaran dari kementerian/lembaga
yang berwenang.

Paragraf 5
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Profesi
Sektor Keuangan Dalam Negeri

Pasal 253
Pemerintah dan/atau lembaga terkait di masing-masing industri sektor
keuangan mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas profesi sektor
keuangan dalam negeri guna menciptakan industri sektor keuangan yang
kredibel.

Pasal 254
Pemerintah dapat bekerja sama dengan Asosiasi Profesi, Lembaga Sertifikasi
Profesi, dan/atau lembaga pendidikan tinggi untuk mendorong pendidikan dan
pelatihan Profesi Sektor Keuangan.

Paragraf 6
Monitoring dan Evaluasi Penguatan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Sektor Keuangan

Pasal 255
(1) OJK dengan berkoordinasi dengan Pemerintah dan/atau pihak terkait
lainnya menyusun Peta Jalan Penguatan dan Pengembangan sumber daya
manusia Sektor Keuangan.
(2) Peta jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan
monitoring dan evaluasi kebijakan sumber daya manusia Sektor
Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang penyusunan peta jalan dan tata cara
monitoring dan evaluasi dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan OJK.

Bagian Ketiga
Penerapan Tata Kelola yang Baik pada Sektor Keuangan

199
Pasal 256
(1) PUSK wajib menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik paling
sedikit mencakup:
a. keterbukaan;
b. akuntabilitas;
c. tanggung jawab;
d. independensi; dan
e. kewajaran.
(2) Selain penerapan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PUSK
harus mengikuti perkembangan dinamika industri dalam rangka
penerapan tata kelola yang baik.

Pasal 257
PUSK wajib menerapkan manajemen risiko yang efektif.

Pasal 258
PUSK wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola yang baik dan
penerapan manajemen risiko kepada lembaga terkait secara berkala untuk:
a. industri perbankan dan industri keuangan nonbank termasuk pasar modal,
laporan disampaikan kepada OJK;
b. industri di pasar uang, laporan disampaikan kepada Bank Indonesia; dan
c. industri di pasar berjangka komoditi, laporan disampaikan kepada Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.

Pasal 259
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik, penerapan
manajemen risiko, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256
sampai dengan Pasal 258 diatur dengan peraturan lembaga terkait di masing-
masing industri sektor keuangan.

Pasal 260
(1) Dalam rangka memastikan agar industri sektor keuangan dijalankan
secara profesional, efektif, efisien, dan berkinerja optimal, lembaga terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 melakukan monitoring dan
evaluasi atas penerapan tata kelola perusahaan yang baik.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara berkala.
(3) Ketentuan mengenai monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan lembaga terkait di
masing-masing industri sektor keuangan.

Bagian Keempat
Pelaporan Keuangan

Pasal 261
(1) Perusahaan di Industri Sektor Keuangan wajib menyampaikan laporan
keuangan kepada pusat data pelaporan keuangan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundangan-undangan mengenai pelaporan keuangan.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun
berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
(3) Prinsip akuntansi yang berlaku umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mencakup standar akuntansi yang dikeluarkan oleh lembaga yang
berdasarkan Undang-Undang berwenang menetapkan standar akuntansi.
(4) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diaudit oleh
Akuntan Publik yang telah memiliki izin dan terdaftar.

200
(5) Pengecualian atas ketentuan mengenai laporan keuangan yang wajib
diaudit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 262
Penyampaian laporan keuangan melalui sistem pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 261 ayat (1) tidak menghilangkan kewenangan lembaga
terkait untuk meminta laporan keuangan secara langsung kepada entitas
pelapor sehubungan dengan pelaksanaan tugas lembaga terkait berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 263
Lembaga terkait memiliki akses untuk memperoleh laporan secara langsung
dan otomatis kepada sistem pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
261 ayat (1).

BAB XX
STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Pasal 264
Ruang lingkup pengaturan Stabilitas Sistem Keuangan meliputi:
a. koordinasi kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, dan penanganan
permasalahan bank;
b. pengawasan bank dan tindak lanjut; dan
c. penanganan permasalahan Bank.

Pasal 265
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan
penataan stabilitas sistem keuangan, Undang-Undang ini mengubah,
menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5872) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516).

Pasal 266
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5872) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516) diubah sebagai berikut:

201
1. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 15A
dan Pasal 15B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1) Bank Indonesia, OJK, dan LPS melakukan koordinasi kebijakan
makroprudensial, mikroprudensial, dan penanganan permasalahan
bank melalui mekanisme forum koordinasi.
(2) Forum koordinasi mengikutsertakan Sekretariat KSSK.
(3) Dalam pelaksanaan forum koordinasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pertukaran data dan informasi.
(4) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaporkan kepada
KSSK secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(5) Mekanisme forum koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan tata kelola pertukaran data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dan/atau disepakati bersama oleh
Bank Indonesia, OJK, dan LPS.

Pasal 15B
(1) Dalam hal berdasarkan:
a. pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki masing-masing lembaga; dan/atau
b. hasil penilaian kondisi Bank dari forum koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
ditemukan potensi permasalahan Bank, OJK dengan Bank Indonesia
dan/atau LPS dapat melakukan pemeriksaan bersama.
(2) Pemeriksaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan sebagai langkah antisipatif dan/atau penanganan
permasalahan Bank.

2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 17
(1) Untuk mencegah Krisis Sistem Keuangan di bidang perbankan,
Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan
LPS menetapkan Bank Sistemik dan Bank selain Bank Sistemik.
(2) OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan LPS melakukan
pemutakhiran daftar Bank baik Bank Sistemik maupun Bank selain
Bank Sistemik secara berkala 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(3) LPS melakukan pemutakhiran kondisi penjaminan simpanan Bank
Sistemik setelah memeroleh data dari OJK.
(4) OJK menyampaikan hasil penetapan Bank Sistemik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pemutakhiran daftar Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada KSSK.

3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 18
Bank Umum wajib memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio
kecukupan modal dan rasio kecukupan likuiditas yang diatur dalam
Peraturan OJK.

4. Di antara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal


18A, Pasal 18B, Pasal 18C, dan Pasal 18D sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18A
(1) Setiap Bank Umum wajib menyusun rencana aksi pemulihan untuk
disetujui oleh OJK.
(2) Rencana aksi pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat kewajiban pemegang saham pengendali dan/atau

202
pihak lain untuk menambah modal Bank dan mengubah jenis
kewajiban tertentu menjadi modal Bank.
(3) OJK berwenang menetapkan tambahan kapasitas permodalan bagi
Bank Sistemik yang digunakan untuk menyerap kerugian pada saat
mengalami permasalahan keuangan.
(4) Ketentuan mengenai rencana aksi pemulihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) serta tambahan kapasitas permodalan Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 18B
(1) Bank Umum wajib menyusun rencana resolusi dan menyampaikan
rencana resolusi dimaksud kepada LPS untuk mendapat
persetujuan.
(2) Rencana resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. struktur Bank, kondisi keuangan, lini bisnis utama, dan fungsi
ekonomi penting, dan pihak terafiliasi; dan
b. keterkaitan dengan sistem keuangan.

Pasal 18C
(1) LPS melakukan penilaian terhadap rencana resolusi yang
disampaikan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B
ayat (1).
(2) Penilaian rencana resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan LPS baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
(3) Untuk kepentingan LPS dalam menilai rencana resolusi Bank Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Umum wajib
menyampaikan kepada LPS:
a. rencana aksi pemulihan Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18A yang telah disetujui OJK; dan
b. data dan informasi serta dokumen lainnya yang diperlukan LPS.
(4) Berdasarkan hasil penilaian terhadap rencana resolusi yang
disampaikan Bank Umum, LPS memberikan persetujuan atau
meminta perbaikan rencana resolusi Bank Umum.
(5) Terhadap rencana resolusi Bank Umum yang telah disetujui
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), LPS dapat melakukan uji
resolvabilitas untuk mengidentifikasi hambatan yang mungkin ada
pada saat implementasi tindakan resolusi Bank Umum.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil uji resolvabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) ditemukan potensi hambatan dalam
implementasi tindakan resolusi, LPS meminta secara tertulis kepada
Bank Umum untuk melakukan tindakan perbaikan dengan
tembusan kepada OJK.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana resolusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18B, penilaian rencana resolusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan uji resolvabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur dalam Peraturan LPS.

Pasal 18D
(1) OJK mengatur dan menetapkan status pengawasan Bank.
(2) Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. Bank dalam pengawasan normal;
b. Bank Dalam Penyehatan; dan

203
c. Bank Dalam Resolusi.
(3) Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan OJK.
(4) OJK dilarang membocorkan status Bank kepada publik.
(5) OJK memberitahukan perubahan status pengawasan Bank secara
tertulis kepada Bank dan LPS.
(6) Untuk melaksanakan tugas pengawasan Bank, OJK berwenang
memberikan perintah kepada Bank untuk melakukan tindakan
tertentu.
(7) Bank wajib melaksanakan perintah OJK sebagaimana dimaksud
pada ayat (6).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penetapan status
pengawasan Bank dan tindakan dalam rangka pengawasan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur
dalam Peraturan OJK.

5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 19
(1) Dalam hal Bank Umum dalam pengawasan normal memiliki
permasalahan keuangan, Bank Umum menerapkan rencana aksi
pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1) yang
sudah disetujui OJK dan menyampaikan realisasinya kepada OJK.
(2) Dalam hal rencana aksi pemulihan Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1) belum disetujui oleh OJK, Bank
Umum menerapkan langkah penyehatan yang ditetapkan oleh OJK.
(3) OJK memastikan dilaksanakannya rencana aksi pemulihan oleh
Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau langkah
penyehatan oleh Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan mengenai rencana aksi pemulihan dan langkah
penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3) diatur dalam Peraturan OJK.

6. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal


19A, Pasal 19B, Pasal 19C dan Pasal 19D sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19A
Dalam hal Bank dalam pengawasan normal mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, OJK berwenang membatasi
kewenangan RUPS, komisaris, direksi, dan pemegang saham dan/atau
melakukan tindakan termasuk meminta:
a. pemegang saham untuk menambah modal;
b. pemegang saham untuk mengganti anggota dewan komisaris
dan/atau direksi;
c. Bank menghapusbukukan kredit atau penyaluran dana yang macet
dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modalnya;
d. Bank melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank lain;
e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajibannya;
f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank
kepada pihak lain; dan/atau
g. Bank menjual sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank
kepada pihak lain.

Pasal 19B

204
(1) OJK menetapkan Bank sebagai Bank Dalam Penyehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18D ayat (2) huruf b dalam hal
Bank tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan OJK mengenai:
a. tingkat kesehatan;
b. tingkat likuiditas; dan/atau
c. tingkat permodalan dengan memperhitungkan risiko.
(2) Penetapan Bank Dalam Penyehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan OJK.
(3) OJK menetapkan Bank Dalam Penyehatan untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal pemberitahuan tertulis OJK
kepada Bank dan LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18D ayat
(4).
(4) Dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank Dalam Penyehatan, OJK
dapat meminta LPS untuk melakukan penempatan dana pada Bank.
(5) Dalam hal Bank menerima penempatan dana dari LPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), jangka waktu Bank Dalam Penyehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir pada saat penempatan
dana LPS pada Bank berakhir.
(6) Setelah OJK menetapkan Bank sebagai Bank Dalam Penyehatan:
a. Bank Umum wajib menerapkan:
1. rencana aksi pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18A ayat (1) yang sudah disetujui OJK;
2. langkah penyehatan yang ditetapkan oleh OJK, dalam hal
rencana aksi pemulihannya belum disetujui OJK; dan
3. menyampaikan realisasinya kepada OJK;
b. OJK memastikan pelaksanaan rencana aksi pemulihan Bank
Umum atau langkah penyehatan yang ditetapkan oleh OJK;
dan/atau
c. LPS melakukan:
1. uji tuntas dalam rangka mengetahui kondisi Bank secara
keseluruhan;
2. penjajakan kepada Bank lain yang bersedia menerima
pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban
Bank; dan/atau
3. penjajakan kepada investor yang bersedia mengambil alih
Bank.
(7) OJK memerintahkan Bank Dalam Penyehatan untuk:
a. menjaga kondisi keuangan Bank sehingga tidak terjadi
penurunan aset dan/atau peningkatan kewajiban Bank secara
material; dan
b. mendukung pelaksanaan tindakan LPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) huruf c.
(8) Dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank Dalam Penyehatan, OJK
berwenang:
a. melaksanakan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19A;
b. mengambil alih kewenangan RUPS, komisaris, direksi, dan
pemegang saham;
c. memerintahkan pemegang saham untuk menambah modal;
d. memerintahkan pemegang saham untuk memberikan pinjaman
kepada Bank;
e. memerintahkan pemegang saham untuk mendukung
pelaksanaan tugas OJK dan LPS saat mengatasi permasalahan
Bank;

205
f.memerintahkan Bank menghapusbukukan kredit atau
penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian
Bank dengan modalnya;
g. menunjuk pengelola statuter dan memerintahkan Bank untuk
mendukung pelaksanaan tugas pengelola statuter yang
ditempatkan di Bank; dan/atau
h. memerintahkan Bank untuk tidak melakukan transaksi tertentu
dengan pihak terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh
OJK.
(9) OJK berwenang untuk:
a. memerintahkan Bank untuk menjual sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank kepada pihak lain;
b. memerintahkan Bank untuk menyerahkan pengelolaan seluruh
atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain; dan/atau
c. membatasi kegiatan usaha tertentu Bank.
(10) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (9), OJK berkoordinasi dengan LPS.
(11) Dalam hal LPS melakukan penempatan dana pada Bank Dalam
Penyehatan, OJK menunjuk LPS sebagai pengelola statuter.
(12) Dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank Dalam Penyehatan, OJK
melakukan penilaian terhadap pemenuhan ketentuan permodalan
dan likuiditas Bank paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.

Pasal 19C
Pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19B ayat (8) huruf
g dan ayat (11) berwenang untuk:
a. mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi direksi dan dewan
komisaris pada Bank;
b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha Bank sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh Bank
dengan pihak ketiga yang merugikan dan/atau menurut pengelola
statuter dapat merugikan kepentingan Bank dan/atau nasabah;
dan/atau
d. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kekayaan atau
usaha dan/atau kumpulan dana dari Bank yang menurut pengelola
statuter dapat mencegah kerugian yang lebih besar bagi Bank
dan/atau nasabah.

Pasal 19D
(1) OJK menetapkan Bank sebagai Bank Dalam Resolusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18C ayat (2) huruf c apabila:
a. sebelum jangka waktu Bank Dalam Penyehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19B ayat (3) atau Pasal 19B ayat (5)
berakhir, Bank mengalami pemburukan dan tidak memenuhi
ketentuan permodalan minimum dan/atau giro wajib;
b. sampai dengan jangka waktu Bank Dalam Penyehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19B ayat (3) atau Pasal 19B
ayat (5) berakhir, Bank belum dapat memenuhi ketentuan tingkat
permodalan dengan memperhitungkan risiko dan/atau belum
dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas mendasar; atau
c. Bank tidak dapat mengembalikan penempatan dana LPS.
(2) Penetapan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan OJK.

206
(3) Dalam hal Bank Dalam Resolusi merupakan Bank Sistemik, OJK
meminta penyelenggaraan rapat KSSK untuk melaporkan penetapan
Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi.
(4) Dalam rapat KSSK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KSSK
menetapkan langkah yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia, dan/atau Ketua Dewan Komisioner OJK
sesuai dengan wewenang masing-masing, untuk mendukung
tindakan resolusi LPS kepada Bank Sistemik.
(5) LPS menyampaikan laporan kepada KSSK mengenai pelaksanaan
tindakan resolusi yang telah dilakukan LPS kepada Bank Sistemik 1
(satu) kali setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

7. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 20
(1) Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dapat mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk
memperoleh PLJP/PLJPS dengan menyampaikan tembusan
permohonan kepada OJK.
(2) Untuk memperoleh PLJP/PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank harus memenuhi persyaratan:
a. solvabilitas; dan
b. agunan.
(3) Untuk menilai pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2):
a. Bank Indonesia menggunakan hasil penilaian solvabilitas dari
OJK sebagai dasar pertimbangan dalam memberikan
PLJP/PLJPS; dan
b. Bank Indonesia menilai pemenuhan persyaratan agunan Bank
berupa:
1. surat berharga yang mudah dicairkan;
2. aset kredit/pembiayaan dengan kolektibilitas lancar sebagai
agunan PLJP/PLJPS, apabila Bank tidak memiliki agunan
surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1;
dan/atau
3. aset tetap yang dimiliki Bank, apabila Bank tidak memiliki
agunan surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1
dan aset kredit/pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
angka 2.
(4) Dalam hal Bank memenuhi persyaratan solvabilitas dan agunan,
Bank Indonesia memberikan PLJP/PLJPS kepada Bank.
(5) Jangka waktu PLJP/PLJPS kepada Bank paling lama 30 (tiga puluh)
hari untuk setiap periode pemberian PLJP/PLJPS dan dapat
diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu
PLJP/PLJPS keseluruhan paling lama 180 (seratus delapan puluh)
hari.
(6) Setelah pemberian PLJP/PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam melakukan
pengawasan terhadap Bank untuk memastikan penggunaannya dan
rencana pembayarannya kembali sesuai dengan perjanjian.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian PLJP/PLJPS
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.

8. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A
dan Pasal 36B, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A

207
(1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka
penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, Bank
Indonesia berwenang:
a. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah
Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan
permasalahan sistem keuangan yang membahayakan
perekonomian nasional;
b. membeli/repo Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga
Syariah Negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk
biaya penanganan permasalahan Bank; dan
c. memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan
cara repo Surat Utang Negara atau Surat Berharga Syariah
Negara yang dimiliki korporasi/swasta melalui perbankan; dan
d. mengatur kewajiban penerimaan dan penggunaan devisa bagi
penduduk termasuk ketentuan mengenai penyerahan, repatriasi,
dan konversi devisa dalam rangka menjaga kestabilan
makroekonomi dan sistem keuangan.
(2) Pembelian Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah
Negara berjangka panjang di pasar perdana sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 huruf (a) tidak berlaku ketentuan mengenai larangan
Bank Indonesia membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dan
dilakukan berdasarkan keputusan KSSK, dilakukan berdasarkan
keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(3) Skema dan mekanisme pembelian Surat Berharga Negara di pasar
perdana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan
dalam keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank
Indonesia

Pasal 36B
(1) Dalam rangka penanganan stabilitas sistem keuangan yang
disebabkan oleh kondisi krisis, Kementerian Keuangan dapat:
a. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga
Syariah Negara dengan tujuan tertentu untuk dapat dibeli oleh
Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor
korporasi, dan atau investor ritel;
b. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal
dari dalam dan/atau luar negeri;
c. memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
d. menjalankan program pemulihan ekonomi nasional untuk
melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan
ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan
dalam menjalankan usahanya;
e. melakukan Penyertaan Modal Negara melalui Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang ditunjuk;
f. melakukan penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah
yang dilakukan langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui
lembaga keuangan, manajer investasi, dan/atau lembaga lain
yang ditunjuk;
g. melakukan penjaminan yang dapat dijalankan langsung oleh
Pemerintah dan/atau melalui satu atau beberapa badan usaha
penjaminan yang ditunjuk;
h. menyelenggarakan program penjaminan di luar program
penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang mengenai Lembaga penjamin simpanan;
(2) Kondisi krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Presiden.

208
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pen anganan stabilitas
sistem keuangan yang disebabkan oleh krisis diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

BAB XXI
SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu
Sanksi Administratif terkait ITSK

Pasal 267
(1) ITSK yang telah memperoleh status terdaftar atau berizin dari otoritas
terkait yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan perizinannya, dapat
dikenakan sanksi administratif oleh otoritas terkait.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. denda administratif;
e. pemberhentian pengurus dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan otoritas terkait;
f. pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham dalam
daftar orang tercela di sektor jasa keuangan; dan
g. pencabutan izin.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur
dengan peraturan otoritas terkait.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif terkait Konglomerasi

Pasal 268
(1) PIKK, PSP/PSPT, dan/atau LJK dalam Konglomerasi Keuangan yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 sampai
dengan Pasal 199 dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. perintah penggantian manajemen;
c. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha Konglomerasi Keuangan;
e. mengurangi kepemilikan saham pada LJK yang dikendalikan;
f. denda administratif; dan/atau
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan
otoritas terkait.

Bagian Ketiga
Sanksi Administratif terkait Asuransi Usaha Bersama

Pasal 269

209
(1) OJK berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang
yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan peraturan
pelaksanaannya.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 49 ayat (6), Pasal 51 ayat (3),
Pasal 59 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan perusahaan;
c. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan
usaha;
d. larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk lini usaha
tertentu;
e. larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali,
direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk usaha
bersama, dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan eksekutif
di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah
direksi pada badan hukum berbentuk usaha bersama, pada
perusahaan perasuransian;
f. denda administratif; dan/atau
g. pencabutan izin usaha.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
OJK.

Bagian Keempat
Sanksi Administratif terkait Program Penjaminan Polis

Pasal 270
(1) LPS menjatuhkan sanksi administratif pada perusahaan asuransi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa denda
administratif dan/atau bunga.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
LPS.
Bagian Kelima
Sanksi Administratif terkait Dana Pensiun

Pasal 271
(1) OJK berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat
(5), Pasal 138, Pasal 139 ayat (5) dan ayat (7), Pasal 142, Pasal 144 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 145 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 161, Pasal 164, Pasal
167 ayat (1), Pasal 171 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 172 ayat (2), Pasal 174
ayat (2) dan ayat (8), Pasal 178, dan Pasal 179 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Setiap Orang yang menjalakan Program Pensiun tanpa memperoleh
pengesahan sebagai Dana Pensiun dari OJK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 131 dikenai sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

210
a. teguran tertulis;
b. larangan untuk menyelenggarakan program tertentu;
c. penurunan tingkat kesehatan;
d. larangan menjadi Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah pada Dana Pensiun;
e. denda administratif; dan/atau
f. pembubaran.
(4) Dalam hal OJK menilai kondisi Dana Pensiun membahayakan
kepentingan Peserta dan/atau Pihak yang Berhak, OJK dapat
mengenakan sanksi pembubaran Dana Pensiun tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif yang lain.
(5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam
Peraturan OJK.

Bagian Keenam
Sanksi Administratif terkait Usaha Jasa Pembiayaan

Pasal 272
(1) Setiap pihak yang menyelenggarakan Usaha Jasa Pembiayaan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 88
ayat (1), Pasal 90 ayat (1), Pasal 91 ayat (1), Pasal 93 ayat (1), Pasal 96 ayat
(1), Pasal 97 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), Pasal 102 ayat (2), dan Pasal 103
ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
c. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
d. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan persetujuan penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah;
g. melakukan penilaian kembali kemampuan dan kepatutan kepada
pemegang saham pengendali, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris
Usaha Jasa Pembiayaan;
h. denda administratif;
i. pencabutan izin unit usaha syariah; dan/atau
j. pencabutan izin usaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
OJK.

Bagian Ketujuh
Sanksi Administratif terkait Koperasi Simpan Pinjam

Pasal 273
(1) Setiap pihak yang menyelenggarakan simpan pinjam yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 Angka 2 Pasal 44C
ayat (1), Pasal 44E ayat (1), Pasal 44G ayat (2), Pasal 44L ayat (1), Pasal
44M ayat (2), Pasal 44O ayat (1), Pasal 44S ayat (1), Pasal 44T ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 44U ayat (2), dan Pasal 44X dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;

211
b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
c. pembatalan persetujuan;
d. pembatalan persetujuan penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah;
e. melakukan penilaian kembali kemampuan dan kepatutan kepada
Pengurus dan/atau Pengawas;
f. denda administratif;
g. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
h. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
i. pencabutan izin unit usaha syariah; dan/atau
j. pencabutan izin usaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
OJK.

Bagian Kedelapan
Sanksi Administratif terkait Pelindungan Konsumen

Pasal 274
(1) Otoritas berwenang mengenakan sanksi administratif kepada PUSK yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini
dan peraturan pelaksananya.
(2) PUSK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218,
Pasal 228, Pasal 229 ayat (1), Pasal 230 ayat (1), Pasal 233, dan Pasal 237
ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. pengembalian keuntungan tidak sah;
d. pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha
untuk sebagian atau seluruhnya;
e. pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk
sebagian atau seluruhnya;
f. pemberhentian pengurus;
g. pencabutan izin produk dan/atau layanan; dan/atau
h. pencabutan izin usaha.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan OJK.

Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif terkait Sumber Daya Manusia

Pasal 275
PUSK, Pelaku Profesi Sektor Jasa Keuangan, dan/atau Lembaga Sertifikasi
Profesi yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dapat
dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan terkait.

Bagian Kesepuluh
Sanksi Administratif terkait Stabilitas Sistem Keuangan

Pasal 276

212
(1) Bank Umum yang melanggar ketentuan kewajiban:
a. penyusunan rencana aksi pemulihan untuk disetujui OJK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1); dan
b. melaksanakan perintah OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18D
ayat (7),
dikenai sanksi administratif oleh OJK berupa teguran tertulis, denda
administratif, dan/atau bunga.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan OJK.

Pasal 277
(1) Bank yang melanggar ketentuan kewajiban:
a. pembayaran premi penjaminan simpanan;
b. penyampaian laporan berkala dalam format yang ditentukan;
c. pemberian data, informasi, dan dokumen dibutuhkan dalam rangka
penyelenggaraan penjaminan simpanan; dan/atau
d. penempatan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor Bank
atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh
masyarakat,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPS, dikenai
sanksi administratif oleh LPS berupa denda per hari keterlambatan
penyampaian kewajiban dan/atau laporan.
(2) Pengenaan sanksi administratif kepada Bank yang melanggar ketentuan
kewajiban pembayaran premi penjaminan simpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan paling tinggi 150% (seratus
lima puluh persen) dari jumlah premi yang seharusnya dibayar untuk
setiap periode termasuk bunga dan dikenakan untuk jangka waktu paling
lama 12 (dua belas) bulan.
(3) Bank Umum yang melanggar ketentuan kewajiban:
a. penyampaian rencana resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18B ayat (1); dan/atau
b. penyampaian rencana aksi pemulihan, data dan informasi serta
dokumen lainnya yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan
rencana resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18C ayat (3),
dikenai sanksi administratif oleh LPS berupa denda dan/atau bunga.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran dan jangka waktu pengenaan
sanksi administratif untuk pelanggaran kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam
Peraturan LPS.

BAB XXII
KETENTUAN PIDANA

Bagian Kesatu
Ketentuan Pidana terkait Program Penjaminan Polis

Pasal 278
Direksi, komisaris, dan/atau pemegang saham perusahaan asuransi yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1)

213
huruf b dan huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Bagian Kedua
Ketentuan Pidana terkait Dana Pensiun

Pasal 279
Setiap Orang yang menjalankan Program Pensiun tanpa memperoleh
pengesahan sebagai Dana Pensiun dari OJK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 131, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 280
Setiap Orang yang melakukan pembayaran selain yang ditetapkan dalam
Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).

Pasal 281
Dana Pensiun yang meminjamkan atau mengagunkan aset Dana Pensiun
kepada pihak manapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2) huruf
a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 282
Dalam hal Pengelola Program Pensiun melakukan cut loss tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) dan menyebabkan
penurunan nilai aset tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 ayat (2), Pengelola Program Pensiun dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 283
(1) Setiap orang yang dengan melawan hukum mengakibatkan terjadinya
kerugian yang mengakibatkan pengurangan aset Dana Pensiun, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pengembalian kerugian dari pengurangan aset dana pensiun;
dan/atau
b. pengembalian aset dari hasil tindak pidana.

Pasal 284
Setiap orang yang karena kelalaiannya yang mengakibatkan kerugian Dana
Pensiun secara signifikan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima
ratus juta rupiah).

214
Pasal 285
Setiap orang yang:
a. membuat atau menyebabkan adanya laporan, informasi, data atau
dokumen Dana Pensiun yang tidak benar, palsu, atau menyesatkan;
b. menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya
suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen
Dana Pensiun; dan/atau
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau
menghilangkan suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan,
atau dokumen Dana Pensiun,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Pasal 286
(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh badan usaha baik yang berbentuk
badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau
kelompok terorganisir, tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
a. badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak
berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisir;
dan/atau
b. orang perseorangan yang memberi perintah untuk melakukan
dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana
dimaksud.
(2) Terhadap badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak
berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar
rupiah).
(3) Terhadap orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, dipidana sesuai dengan ketentuan pidana berdasarkan Undang-Undang
ini.

Pasal 287
Terhadap orang yang dipidana berdasarkan Pasal 284 dikenakan pula pidana
tambahan berupa pengembalian aset kepada Dana Pensiun yang dirugikan.

Pasal 288
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281,
Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, dan Pasal 285 adalah kejahatan.

Bagian Ketiga
Ketentuan Pidana terkait Usaha Jasa Pembiayaan

Pasal 289
(1) Setiap pihak yang menjalankan Usaha Jasa Pembiayaan tanpa izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) yang tidak mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, dikenai denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang

215
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat selama 5 (lima) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat
selama 10 (sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(6) Tanpa mengurangi hukuman denda dan/atau pidana penjara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang
dapat dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda atau sejak selesai menjalani pidana penjara
terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran
atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4);
dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun
sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, penuntutan terhadap
badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah
melakukan perbuatan itu maupun mereka yang bertindak sebagai
pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 290
(1) Setiap pihak tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan
OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (3) huruf e, dengan
sengaja memaksa Usaha Jasa Pembiayaan atau pihak terafiliasi untuk
memberikan keterangan, yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap
harta benda atau kerusakan barang, dikenai sanksi pidana paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dikenai
pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaku dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau
kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke pihak yang
dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase
kerugian apabila jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau

216
kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi hukuman yang diterapkan atas pidana penjara
dan/atau pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4), Setiap Orang dapat dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal pengenaan pidana denda atau sejak selesai menjalani pidana
penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
tanggal pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran
atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah

Pasal 291
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi
Usaha Jasa Pembiayaan atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan
sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, yang tidak
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang,
dikenai sanksi pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian kerugian atas
harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana

217
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak selesai menjalani masa pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 292
(1) Anggota direksi, pengurus, atau pegawai Usaha Jasa Pembiayaan yang
dengan sengaja tidak memberikan informasi yang wajib dipenuhi yang
tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(4) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(5) Tanpa mengurangi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak selesai menjalani masa pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun

218
sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 293
(1) Setiap direksi atau pengurus Usaha Jasa Pembiayaan yang:
a. membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan
dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam
laporan kegiatan usaha dan laporan keuangan; dan
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, dan/atau
menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam
laporan keuangan, dan dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha.
yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang..
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak selesai menjalani masa pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan

219
Pemerintah.

Pasal 294
(1) Anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi atau pengurus,
dan/atau pegawai dan/atau pihak terafiliasi Usaha Jasa Pembiayaan yang
dengan sengaja:
a. meminta atau menerima suatu imbalan, baik berupa uang maupun
barang untuk keuntungan pribadi atau keluarganya:
b. dalam rangka orang lain mendapatkan uang muka atau fasilitas
Pembiayaan dari Usaha Jasa Pembiayaan;
c. dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk
melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Pembiayaan pada
Usaha Jasa Pembiayaan; dan/atau
d. tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-
Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku bagi Usaha Jasa Pembiayaan,
yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain
dikenai denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai sanksi
pidana dan denda, pelaku dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta
benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak selesai menjalani masa pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas

220
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 295
(1) Pemegang saham dan/atau pihak terafiliasi Usaha Jasa Pembiayaan yang
dengan sengaja menyuruh dewan komisaris atau pengawas, direksi atau
pengurus, anggota koperasi, atau pegawai Usaha Jasa Pembiayaan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Usaha
Jasa Pembiayaan tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi Usaha Jasa Pembiayaan, yang tidak
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain
dikenai denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai sanksi
pidana dan denda, pelaku dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta
benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak selesai menjalani masa pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

221
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 296
(1) Direksi, Dewan Komisaris, pejabat, pegawai dan/atau pihak terafiliasi dari
penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang dengan sengaja memberikan
laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada OJK secara tidak
benar, palsu, dan/atau menyesatkan, yang tidak mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan barang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi
penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai direksi, komisaris, atau pegawai Usaha
Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pengenaan pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak selesai menjalani masa pidana penjara terhadap
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai direksi atau komisaris atau pegawai
Usaha Jasa Pembiayaan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
sejak selesai menjalani pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 297
(1) Setiap pihak yang menyerahkan barang bergerak sebagai jaminan di
penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dianggap sebagai pemilik.
(2) Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan tidak dapat dituntut melakukan
tindak pidana yang berhubungan dengan penerimaan barang jaminan,

222
apabila dikemudian hari diduga atau terbukti bahwa kepemilikan atau
penguasaan barang jaminan tersebut berasal dari kejahatan atau
perbuatan melanggar hukum lainnya.
(3) Pembebasan dari tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
dapat diberikan dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan telah
melakukan penerapan prinsip mengenal pengguna jasa secara patut
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Ketentuan Pidana terkait Koperasi Simpan Pinjam

Pasal 298
(1) Setiap pihak yang menjalankan Koperasi Simpan Pinjam tanpa izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 Angka 2 Pasal 44A ayat (1) yang
tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi
penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai pengurus Koperasi Simpan Pinjam dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengenaan pidana denda
terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak selesai menjalani
masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Pengurus atau Pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai
menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaiman dimaksud pada ayat (4).
(7) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, maka
penuntutan terhadap badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka
yang memberi perintah melakukan perbuatan itu maupun mereka yang
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.

223
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 299
(1) Setiap pihak tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan
OJK dengan sengaja memaksa Koperasi Simpan Pinjam atau pihak
terafiliasi untuk memberikan keterangan yang tidak mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi
penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
selesai menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Pengurus atau Pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai
menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 300
(1) Anggota Pengurus, Pegawai, dan/atau pihak terafiliasi Koperasi Simpan
Pinjam atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan
keterangan yang wajib dirahasiakan yang tidak mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan barang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

224
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
selesai menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Pengurus atau Pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai
menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 301
(1) Pengurus, atau pegawai Koperasi Simpan Pinjam yang dengan sengaja
tidak memberikan informasi yang wajib dipenuhi yang tidak
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan

225
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
selesai menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Pengurus atau Pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai
menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 302
(1) Pengurus dan/atau pihak terafiliasi Koperasi Simpan Pinjam yang:
a. membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan
dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam
laporan kegiatan usaha dan laporan keuangan; dan
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, dan/atau
menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam
laporan keuangan, dan dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,
yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling

226
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
selesai menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Pengurus atau Pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai
menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 303
(1) Pengurus, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi Koperasi Simpan Pinjam
yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima suatu imbalan, baik berupa uang maupun
barang untuk keuntungan pribadi atau keluarganya:
b. dalam rangka orang lain mendapatkan uang muka atau fasilitas
Pembiayaan dari Koperasi Simpan Pinjam;
c. dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk
melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Pembiayaan pada
Koperasi Simpan Pinjam; atau
d. tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan Koperasi Simpan Pinjam terhadap ketentuan dalam Undang-
Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Koperasi Simpan Pinjam,
yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling

227
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
selesai menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Pengurus atau Pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai
menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 304
(1) Pengurus, anggota, dan/atau pihak terafiliasi Koperasi Simpan Pinjam
yang dengan sengaja menyuruh pengurus atau pengawas, anggota
koperasi, atau pegawai Koperasi Simpan Pinjam untuk melakukan atau
tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Koperasi Simpan Pinjam
tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan Koperasi Simpan Pinjam terhadap ketentuan dalam Undang-
Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Koperasi Simpan Pinjam, yang tidak mengakibatkan
kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan

228
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
selesai menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Pengurus atau Pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai
menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 305
(1) Pengurus, anggota, dan/atau pihak terafiliasi dari Koperasi Simpan
Pinjam yang dengan sengaja memberikan laporan, informasi, data,
dan/atau dokumen kepada OJK secara tidak benar, palsu, dan/atau
menyesatkan, yang tidak mengakibatkan kerugian terhadap harta benda
atau kerusakan barang, dipidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindakan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, selain dikenai pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi penggantian
kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
(3) Sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan ke masyarakat
sejumlah kerugian yang diderita atau secara persentase kerugian apabila
jumlah pergantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak
mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(6) Tanpa mengurangi pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Setiap Orang dapat
dikenai pidana tambahan:
a. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. tidak dapat diangkat sebagai pengurus atau pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengenaan
pidana denda terhadap pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
selesai menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
c. tidak dapat diangkat sebagai Pengurus atau Pegawai Koperasi Simpan
Pinjam dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak selesai

229
menjalani masa pidana penjara terhadap pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kelima
Ketentuan Pidana terkait Pelindungan Konsumen

Pasal 306
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk
simpanan dan/atau investasi yang tidak memperoleh status terdaftar atau
izin dari otoritas di sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan
masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 diancam dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000 (1 triliun rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi,
penuntutan terhadap badan dilakukan baik kepada yang memberi
perintah melakukan perbuatan itu maupun kepada yang bertindak
sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.

Bagian Keenam
Ketentuan Pidana terkait Kelembagaan

Pasal 307
Bank, direksi, komisaris, pemegang saham, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi
yang melanggar ketentuan larangan penggunaan penempatan dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Angka 10 Pasal 20C ayat (1) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).

Pasal 308
Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak
melaksanakan, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 Angka 5 Pasal 8A ayat (1) huruf a, dipidana dengan:
a. pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga
ratus miliar rupiah) untuk orang perserorangan; atau
b. pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah) untuk korporasi.

Bagian Ketujuh
Ketentuan Pidana terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan

Pasal 309
Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan ITSK yang tidak memperoleh
status terdaftar atau izin dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling

230
sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000.000 (satu triliun rupiah).

BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN

Bagian Kesatu
Ketentuan Peralihan terkait Pasar Modal

Pasal 310
(1) Setiap pihak yang telah memiliki saham dan/atau melakukan Tindakan
Pengendalian pada lebih dari 1 (satu) Manajer Investasi berdasarkan
Undang-Undang mengenai Pasar Modal wajib menyesuaikan dengan
Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
(2) Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha untuk melakukan
kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek,
dan Manajer Investasi berdasarkan Undang-Undang mengenai Pasar
Modal wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dengan
memisahkan kegiatan usaha Manajer Investasi paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Bagian Kedua
Ketentuan Peralihan terkait Usaha Bersama

Pasal 311
(1) Polis asuransi yang dimiliki oleh pemegang polis sebelum Undang-Undang
ini berlaku, dinyatakan tetap berlaku sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam polis asuransi.
(2) Anggaran Dasar Usaha Bersama yang telah ada sebelum diundangkannya
Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan
pelaksanaannya.
(3) Ketentuan Anggaran Dasar yang bertentangan dengan Undang-Undang ini
dinyatakan tidak berlaku dan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
(4) Perpanjangan atas polis asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang ini harus mengikuti
ketentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
(5) Usaha Bersama wajib menyelenggarakan rapat umum anggota untuk
menetapkan penyesuaian Anggaran Dasar Usaha Bersama sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
(6) Kewajiban penyelenggaraan rapat umum anggota untuk menetapkan
penyesuaian Anggaran Dasar Usaha Bersama sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini wajib dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(7) Izin usaha dari Usaha Bersama yang telah ada sebelum diundangkannya
Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
(8) Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama yang telah ada pada saat
Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan sebagai rapat umum
anggota dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
(9) Anggota Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama yang telah ada pada
saat Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan sebagai peserta rapat
umum anggota.
(10) Peserta rapat umum anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

231
memiliki masa tugas paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
(11) Hak, larangan, dan kewajiban peserta rapat umum anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Bagian Ketiga
Ketentuan Peralihan terkait Program Penjaminan Polis

Pasal 312
Penyelenggaraan Program Penjaminan Polis mulai berlaku paling lama 5 (lima)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Bagian Keempat
Ketentuan Peralihan terkait Dana Pensiun

Pasal 313
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua Dana Pensiun yang telah
mendapatkan pengesahan dari OJK, dinyatakan telah mendapat
pengesahan berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
menyelenggarakan program pensiun yang menjanjikan pembayaran uang
secara sekaligus bagi Peserta sebelum 20 April 1992, tetap dapat
melanjutkan program tersebut sampai selesainya seluruh kewajiban
kepada karyawan yang telah menjadi Peserta pada tanggal 20 April 1992.
(3) Dana Pensiun yang memiliki investasi pada Pengurus, Pendiri, Mitra
Pendiri, pengendali Pendiri atau penerima titipan dan/atau badan usaha
yang lebih dari 25% (dua puluh lima persen) sahamnya dimiliki oleh
pengurus, Pendiri, Mitra Pendiri, pengendali Pendiri, penerima titipan atau
serikat pekerja harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
(4) Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan menunjuk pelaksana tugas
pengurus pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan menjadi pengurus dan
dewan komisaris dari Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan bertindak
sebagai Dewan Pengawas Dana Pensiun Lembaga Keuangan sampai
Pendiri menunjuk Dewan Pengawas yang baru.
(5) Dana Pensiun karyawan yang telah ada dalam bentuk apapun, hanya
dapat menamakan diri sebagai Dana Pensiun bila penyelenggaraanya
didasarkan pada Undang-Undang ini.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku bagi
penyelenggaraan Dana Pensiun yang diatur berdasarkan Undang-Undang
tersendiri.

Bagian Kelima
Ketentuan Peralihan terkait Usaha Jasa pembiayaan

Pasal 314
(1) Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah mendapatkan izin
usaha sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama
3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 315
Setiap Pihak di luar Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah
melakukan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan sebelum berlakunya Undang-

232
Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

Pasal 316
(1) Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah mendapatkan izin
usaha sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama
3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 317
Setiap Pihak di luar Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah
melakukan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan sebelum berlakunya Undang-
Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

Bagian Keenam
Ketentuan Peralihan terkait Pelindungan Konsumen

Pasal 318
Kewajiban PUSK sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang ini
dilaksanakan oleh PUSK dengan kriteria tertentu paling lama 5 (lima) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Bagian Ketujuh
Ketentuan Peralihan terkait Sumber Daya Manusia

Pasal 319
Kewajiban PUSK, Pelaku Profesi Sektor Keuangan, atau Lembaga Sertifikasi
Profesi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan oleh
PUSK, Pelaku Profesi Sektor Keuangan dan Lembaga Sertifikasi Profesi dengan
kriteria tertentu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

Bagian Kedelapan
Ketentuan Peralihan terkait Stabilitas Sistem Keuangan

Pasal 320
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank yang status
pengawasannya sebagai Bank dalam pengawasan intensif atau Bank dalam
pengawasan khusus, diubah status pengawasannya dan dinyatakan sebagai
Bank Dalam Penyehatan oleh OJK berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 321
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik

233
Indonesia Nomor 3608), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 322
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang oleh Lembaga sebagaimana diatur
dalam Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4443) dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi
dan perusahaan reasuransi.

Pasal 323
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 324
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 325
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang mengatur Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal
Ventura, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dan Penyelenggara Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.

Pasal 326
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perlindungan konsumen di sektor keuangan yang telah ada pada saat Undang-
Undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 327
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
sumber daya manusia, profesi, tata kelola yang baik dan pelaporan keuangan
di sektor keuangan yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.

Pasal 328
Ketentuan mengenai kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini

234
atau diatur secara khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 329
Ketentuan mengenai kewajiban Bank Umum kepada LPS untuk:
a. menyusun dan menyampaikan rencana resolusi sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-Undang ini;
b. menyampaikan rencana aksi pemulihan yang telah disetujui oleh OJK
sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang ini; dan
c. menyampaikan data dan informasi serta dokumen lainnya untuk penilaian
rencana resolusi sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang ini,
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2023.

Pasal 330
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, setelah berakhirnya masa jabatan
anggota Dewan Komisioner OJK periode tahun 2017–2022, penggantian
anggota Dewan Komisioner untuk pertama kali dilakukan dengan unsur dan
jabatan yang berbeda, yaitu Ketua Dewan Komisioner OJK, Wakil Ketua
sebagai Ketua Komite Etik, anggota Dewan Komisioner OJK yang menjadi
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian dan Dana Pensiun, Kepala
Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Modal Ventura, Financial
Technology, Koperasi, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Kepala Eksekutif
Pengawas Bidang Penegakan Hukum, Ketua Dewan Audit, serta Anggota yang
membidangi Edukasi dan Pelindungan dengan masa jabatan 5 (lima) tahun.

Pasal 331
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia, anggota Badan Supervisi OJK, dan
anggota Badan Supervisi LPS ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 332
(1) Anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat
atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS tidak
dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini kecuali
terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.
(2) Dalam hal anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan
pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan
LPS yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini
menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
dan wewenang KSSK maka yang bersangkutan mendapat bantuan hukum
dari lembaga yang diwakilinya atau yang menugaskannya.

Pasal 333
(1) Semua istilah “OJK” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku
harus dimaknai sebagai istilah “OJK” sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.
(2) Semua istilah “Bank Gagal” dan “Bank yang mengalami kesulitan
keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan
tidak dapat lagi disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
wewenang yang dimilikinya” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku diganti menjadi “Bank Dalam Resolusi”.

Pasal 334

235
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5232);
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
f. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516);
h. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456),
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
i. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

236
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
k. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
l. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
m. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5618);
n. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5872) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516); dan
o. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau
dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 335
Frasa “Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka
penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1),” dalam Pasal 16, Pasal 20, dan Pasal 24 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6516), dihapus.

Pasal 336
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan mengenai
Asuransi Usaha Bersama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun

237
2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.

Pasal 337
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 338
(1) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang ini dilakukan
setelah Undang-Undang ini berlaku.
(2) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
(3) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan
yang khusus menangani bidang legislasi.

Pasal 339
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal…

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal…

MENTERI SEKRETARIS NEGARA,

ttd.

PRATIKNO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN… NOMOR…

238
RANCANGAN
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN 2022
TENTANG
PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN

I. UMUM
Di banyak negara maju dan negara berkembang, peran sektor
keuangan sangat besar dalam mengakumulasi tabungan dan modal
nasionalnya dalam menopang pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Sektor Keuangan Indonesia saat ini masih belum cukup
berkembang.
Berdasarkan ukuran, sektor keuangan di Indonesia tergolong
masih kecil khususnya untuk sektor Perbankan, Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, dan sektor pembiayaan lainnya. Inklusi
Keuangan sudah baik namun literasi keuangan masih rendah.
Dari kedua indikator yang masih rendah tersebut diperlukan
upaya pengembangan untuk sektor keuangan nasional. Di sisi lain,
perkembangan industri jasa keuangan yang semakin kompleks juga
memerlukan penguatan LJK, khususnya untuk meningkatkan
pengawasan agar dapat meminimalkan risiko yang berdampak kepada
masyarakat.
Berbagai Undang-Undang di sektor keuangan yang ada saat ini
sudah cukup lama sehingga belum optimal dalam mengakomodir
pengaturan dan pengawasan terhadap aktivitas, produk dan
perkembangan industri keuangan.
Memperhatikan permasalahan tersebut di atas, diperlukan
perbaikan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh dan
terintegrasi dalam 1 (satu) Undang-Undang Sektor Keuangan yang
menggunakan metode omnibus melalui Undang-Undang tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Pembentukan Undang-Undang tentang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan dimaksudkan untuk meningkatkan
kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan
(sustainable) menuju Indonesia yang sejahtera maju dan bermartabat
dan perbaikan peraturan untuk mendukung upaya memperluas
jangkauan, produk, dan basis investor; mempromosikan investasi
jangka panjang; meningkatkan kompetisi dan efisiensi; memitigasi
risiko; dan meningkatkan pelindungan investor dan konsumen dalam
rangka meningkatkan kepercayaan pasar.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

239
Pasal 4
Ekosistem sektor keuangan meliputi juga industri jasa keuangan
syariah, kegiatan pendukung di sektor keuangan, serta dukungan sektor
keuangan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Angka 1
Pasal 3
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sekretaris KSSK” adalah
sekretaris KSSK sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hasil analisis, riset, dan/atau asesmen Stabilitas
Sistem Keuangan dan data dan informasi dapat
digunakan:
a. sebagai informasi kepada KSSK dan/atau
rekomendasi kepada Ketua KSSK dalam rangka
pengambilan keputusan KSSK;
b. untuk koordinasi kebijakan Stabilitas Sistem
Keuangan; dan
c. untuk kepentingan KSSK lainnya.

Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

240
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Keputusan KSSK mempunyai kekuatan hukum
mengikat (final and binding) sejak pengambilan
keputusan dalam rapat KSSK tersebut.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” termasuk
pejabat dan/atau pegawai dari Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.

Ayat (6)
Dalam hal digunakan naskah dinas elektronik,
keputusan rapat KSSK ditandatangani secara
elektronik
Ayat (7)
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 10
Dihapus.
Angka 8
Pasal 11
Dihapus.
Angka 9
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Laporan ini merupakan laporan mengenai hal
yang sama dari Lembaga Penjamin Simpanan
yang telah dievaluasi dan diberikan catatan
oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Angka 10
Pasal 34A
Cukup jelas.

Pasal 7
Angka 1
Pasal 2
Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 3A
Cukup jelas.

Angka 3
Pasal 4
Huruf a
Penjaminan simpanan nasabah penyimpan
meliputi pula penjaminan bentuk yang setara
dengan simpanan bagi Bank yang menggunakan
prinsip syariah.

241
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
LPS memelihara Stabilitas Sistem Keuangan
bersama dengan Menteri Keuangan, Otoritas
Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia, sesuai
dengan peran dan tugas masing-masing.
Huruf d
Sebagai otoritas resolusi, LPS melaksanakan
fungsi resolusi, yaitu melakukan tindakan
resolusi terhadap Bank yang mengalami
permasalahan keuangan dengan cara:
a. mengalihkan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank kepada Bank
Penerima;
b. mengalihkan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank kepada Bank
Perantara;
c. melakukan penyertaan modal sementara;
dan/atau
d. melakukan likuidasi.
Sebagai otoritas resolusi, LPS berdasarkan
Undang-Undang ini diberi mandat sebagai risk
minimizer. Hal ini tercermin antara lain dengan
adanya tindakan yang dilakukan LPS dalam
rangka mengantisipasi permasalahan Bank
melalui persiapan penanganan Bank, misalnya
pemeriksaan Bank dan penempatan dana.
Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang
ini peran LPS ditegaskan sebagai otoritas
resolusi dengan mandat risk minimizer.

Angka 4
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Data dan laporan diperoleh LPS langsung
dari Bank, sistem data dan informasi sektor
keuangan terintegrasi, dan/atau OJK.
Huruf b
Pemeriksaaan Bank yang dilakukan LPS
termasuk tetapi tidak terbatas pada
pemeriksaan dalam rangka:
1. perhitungan premi penjaminan,
termasuk melakukan rekonsiliasi,
verifikasi, dan/atau konfirmasi; dan
2. penanganan permasalahan Bank, baik
Bank dalam pengawasan normal atau
Bank Dalam Penyehatan.

242
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 5A
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kewenangan LPS untuk melakukan hapus
buku dan hapus tagih termasuk dalam
rangka penanganan dan penyelesaian
permasalahan bank.
Hapus tagih dilakukan dengan berpedoman
pada prinsip kehati-hatian dan menganut
asas transparansi.
Huruf d
Data dan laporan dapat diperoleh langsung
dari bank atau dari OJK yang isi dan
mekanismenya diatur dalam nota
kesepakatan antara LPS dan OJK.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara
lain adalah akuntan publik, konsultan
hukum, penasehat investasi, lembaga
penelitian, perusahaan penilai, dan/atau
pejabat lelang.
Yang dimaksud dengan “tugas tertentu”
antara lain adalah melakukan verifikasi,
membuat opini hukum, melakukan
penelitian mengenai risiko penjaminan,
atau melakukan likuidasi.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dengan dilakukannya pengambilalihan
segala hak dan wewenang pemegang
saham, termasuk hak dan wewenang rapat
umum pemegang saham, LPS dapat
melakukan pengamanan aset bank yang
diserahkan penanganan atau
penyelesaiannya kepada LPS, melakukan

243
pengelolaan dan pengurusan bank yang
diputuskan untuk diselamatkan, serta
pemberesan aset dan kewajiban dari bank
yang dicabut izin usahanya oleh OJK.
Kewenangan melakukan pemberesan aset
dan kewajiban dimaksudkan untuk
memaksimalkan pengembalian (recovery)
dana penjaminan.
Huruf b
Dengan ketentuan ini, LPS dapat
menguasai, mengelola, dan melakukan
tindakan kepemilikan seperti halnya
sebagai pemilik.
Huruf c
Dalam hal peninjauan ulang, pembatalan,
pengakhiran, dan/atau perubahan kontrak
oleh LPS tersebut menimbulkan kerugian
bagi suatu pihak, pihak tersebut hanya
dapat menuntut penggantian yang tidak
melebihi nilai manfaat yang telah diperoleh
dari kontrak dimaksud setelah terlebih
dahulu membuktikan secara nyata dan
jelas kerugian yang dialaminya.
Huruf d
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 6A
Ayat (1)
Ketentuan ini tidak membatasi pemegang saham
Bank dan/atau pihak lain menyediakan pendanaan
untuk menangani resolusi Bank, di samping dana
yang bersumber dari kekayaan LPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberian pinjaman Pemerintah Pusat kepada LPS
merupakan upaya Pemerintah Pusat mendukung
Stabilitas Sistem Keuangan.
Ayat (4)
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah antara lain
mengatur tingkat likuiditas, persyaratan, dan tata
cara pemberian pinjaman.

Angka 8
Pasal 7A
Ayat (1)
Penyampaian data simpanan berbasis nasabah
(single customer view) dari Bank kepada LPS tidak
menghilangkan proses rekonsiliasi dan verifikasi
oleh LPS dalam rangka penetapan simpanan
layak bayar apabila Bank menjadi Bank Dalam
Resolusi.
Penyampaian data ini dilakukan secara berkala
dan sewaktu-waktu berdasarkan permintaan
LPS.

244
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 7B
Cukup jelas.

Angka 9
Pasal 14A
Ayat (1)
Penempatan dana Pemerintah tidak dipungut
premi penjaminan simpanan karena dana
Pemerintah berasal dari dana publik atau tax
payer money yang digunakan dalam rangka
penanganan permasalahan perekonomian
nasional.
Penempatan dana LPS pada Bank tidak dipungut
premi penjaminan simpanan karena dana LPS
digunakan dalam rangka penanganan
permasalahan Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kebijakan penanganan
permasalahan perekonomian nasional” misalnya
program pemulihan ekonomi nasional.
Yang dimaksud dengan “penjaminan” adalah LPS
menjamin seluruh penempatan dana Pemerintah
pada Bank dalam rangka kebijakan penanganan
permasalahan perekonomian nasional, jika Bank
menjadi Bank Dalam Resolusi.

Pasal 14B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan
premi yang dilakukan sendiri oleh Bank dan hasil
verifikasi LPS, perhitungan premi penjaminan
simpanan yang menjadi final merupakan
perhitungan yang disepakati bersama antara LPS
dan pihak Bank.

Angka 10
Pasal 20A
Cukup jelas.
Pasal 20B
Cukup jelas.
Pasal 20C
Cukup jelas.

245
Angka 11
Pasal 21
Dihapus.

Angka 12
Pasal 22
Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 22A
Cukup jelas.

Angka 14
Pasal 23
Cukup jelas.

Angka 15
Pasal 24
Cukup jelas.

Angka 16
Pasal 25
Cukup jelas.

Angka 17
Pasal 26
Cukup jelas.

Angka 18
Pasal 27
Dihapus.

Angka 19
Pasal 28
Cukup jelas

Angka 20
Pasal 29
Dihapus.

Angka 21
Pasal 30
Dihapus.

Angka 22
Pasal 31
Cukup jelas.

Angka 23
Pasal 31A
Cukup jelas.
Pasal 31B
Cukup jelas.
Pasal 31C
Cukup jelas.

246
Pasal 31D
Cukup jelas.
Pasal 31E
Cukup jelas.
Pasal 31F
Cukup jelas.
Pasal 31G
Cukup jelas.
Pasal 31H
Cukup jelas.
Pasal 31I
Cukup jelas.
Pasal 31J
Cukup jelas.
Pasal 31K
Cukup jelas.
Pasal 31L
Cukup jelas.
Pasal 31M
Cukup jelas.

Angka 24
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perkiraan biaya
penanganan” adalah jumlah perkiraan biaya untuk
menambah modal setor bank yang bersangkutan
sampai bank tersebut memenuhi ketentuan yang
berlaku mengenai tingkat kesehatan bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 25
Pasal 34
Dihapus.

Angka 26
Pasal 37
Dihapus.

Angka 27
Pasal 38
Dihapus

Angka 28
Pasal 40
Dihapus

Angka 29
Pasal 41
Dihapus.

Angka 30
Pasal 42
Cukup jelas.

247
Angka 31
Pasal 49
Dihapus.

Angka 32
Pasal 54
Cukup jelas.

Angka 33
Pasal 62
Dihapus.

Angka 34
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Selain bertindak untuk dan atas nama lembaga
yang dipimpinnya sebagai anggota KSSK, Ketua
Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan
tertinggi dalam hubungan internal dan
eksternal kelembagaan, antara lain dalam rapat
dengan KSSK, Pemerintah, DPR, dan dalam
pertemuan dengan lembaga internasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Angka 35
Pasal 64
Dihapus.

Angka 36
Pasal 65
Cukup jelas.

Angka 37
Pasal 66
Cukup jelas.

Angka 38
Pasal 67
Cukup jelas.

Angka 39
Pasal 69
Dihapus.

248
Angka 40
Pasal 70
Dihapus.

Angka 41
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “benturan
kepentingan” yaitu benturan yang timbul
ketika kepentingan seseorang memungkinkan
orang lain melakukan tindakan yang
bertentangan dengan pihak tertentu, yang
kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh
orang lain tersebut. Benturan kepentingan
mencakup benturan kepentingan yang sudah
terjadi atau yang berpotensi akan terjadi.
Jenis benturan kepentingan adalah sebagai
berikut:
a. bersifat personal yaitu benturan
kepentingan yang timbul ketika pihak
tertentu yang diwajibkan untuk bertindak
atas kepentingan pihak lain berbenturan
dengan kepentingan pihak lain tersebut;
b. bersifat impersonal yaitu benturan
kepentingan yang timbul ketika suatu
pihak diwajibkan untuk bertindak atas
kepentingan dua pihak yang berbeda yang
kepentingannya berbenturan; dan
c. benturan kepentingan individual
(berdasarkan kepentingan organisatoris)
adalah benturan kepentingan ketika pihak
tertentu atas organisasi tertentu
melakukan tindakan untuk memenuhi
kepentingan organisasi lain yang keduanya
mempunyai benturan kepentingan.
Syarat ini dimaksudkan untuk mengurangi
potensi benturan kepentingan dan untuk
mewujudkan tata kelola (governance) yang baik
dalam LPS.
Benturan kepentingan pribadi tidak termasuk
kepentingan yang diperoleh sebagai nasabah
penyimpan Bank dan pemegang saham publik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas.

249
Angka 42
Pasal 73
Dihapus.

Angka 43
Pasal 74A
Cukup jelas.

Angka 44
Pasal 77
Dihapus.

Angka 45
Pasal 78
Ayat (1)
Sistem penggajian yang diberlakukan
mempertimbangkan sistem yang berlaku pada
industri atau pengawas perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 46
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemerintah negara
asing” adalah pemerintah yang mata uangnya
termasuk dalam “hard currency” yang memiliki
peringkat layak investasi (investment grade).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyertaan modal sementara pada perusahaan
lainnya semata-mata apabila diperlukan hanya
untuk menampung dan mengelola sementara aset
yang bermasalah dari bank yang diselamatkan.
Penyertaan modal sementara dimaksud paling
lama 2 (dua) tahun.
Ayat (5)
Bentuk kekayaan bukan investasi antara lain
giro, gedung kantor, dan perlengkapannya.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Angka 47
Pasal 85
Cukup jelas.

Angka 48
Pasal 86
Cukup jelas.

Angka 49
Pasal 89A
Ayat (1)

250
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan kegiatan triwulanan antara lain
memuat laporan kinerja yang rinci dan
lengkap tentang capaian kinerja LPS
termasuk di dalamnya:
a. kinerja pelaksanaan penjaminan
simpanan dan resolusi Bank, yang
disusun berdasarkan RKAT yang
ditetapkan; dan
b. capaian kinerja masing-masing anggota
Dewan Komisioner. Hal ini
dimaksudkan sebagai evaluasi capaian
indikator kinerja utama (key
performance indicator).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 50
Pasal 89B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Laporan evaluasi kinerja adalah laporan
hasil audit kinerja tentang efektivitas,
efisiensi, dan tata kelola.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 89C
Cukup jelas.

Pasal 89D
Cukup jelas
Angka 51
Pasal 92
Dihapus.

251
Pasal 8
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Undang-Undang”
sebagaimana dimaksud antara lain:
1. Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa
Keuangan;
2. Undang-Undang mengenai pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi
Undang-Undang; dan
4. Undang-Undang ini.
Angka 3
Pasal 5
Salah satu tujuan pendirian OJK adalah untuk
mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan.
Peran memelihara Stabilitas Sistem Keuangan
merupakan tanggung jawab beberapa otoritas. OJK
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan bersama
dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan LPS,
sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
Ketentuan ini menguatkan landasan hukum bagi OJK
untuk secara aktif memelihara Stabilitas Sistem
Keuangan baik sesuai dengan wewenang yang
dimilikinya maupun melalui mekanisme koordinasi
dalam rangka menciptakan dan memelihara Stabilitas
Sistem Keuangan secara terpadu dan efektif. Dalam
rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan, OJK di
antaranya menjaga tingkat kesehatan lembaga jasa
keuangan termasuk perbankan sesuai prinsip atau
standar yang dianjurkan dan dengan melakukan
pengaturan dan pengawasan secara keseluruhan
terhadap lembaga jasa keuangan yang berada dalam
ruang lingkup pengawasan OJK.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kegiatan di sektor jasa
keuangan” termasuk aktivitas penerbitan dan
perdagangan Instrumen Keuangan Komoditi yang
252
diantaranya meliputi Indeks Saham, Mata Uang
Asing dan Saham Tunggal Asing, dan Aset Kripto
yang mempunyai karakteristik risiko, hak, dan
manfaat yang sama terhadap investor dan
penerbit.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Angka 4
Pasal 6A
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengembangan sektor
keuangan” adalah kebijakan mikroprudensial
yang ikut mendukung pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan.
Huruf d
Cukup jelas.

Angka 5
Pasal 8A
Ayat (1)
Huruf a
Perintah tertulis kepada lembaga jasa
keuangan berlaku baik untuk lembaga
jasa keuangan yang melakukan
penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, integrasi, dan/atau
konversi maupun lembaga jasa keuangan
yang menerima penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, integrasi, dan/atau
konversi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak tertentu”
adalah emiten atau perusahaan publik
yang pernyataan pendaftaran telah
menjadi efektif menurut Undang-Undang
mengenai pasar modal.
Huruf c
Kebijakan yang dapat diatur oleh OJK
antara lain mengenai bentuk dan cara
interaksi serta partisipasi antarpeserta
serta bentuk risalah.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 8B
Ayat (1)

253
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank
sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Pengajuan permohonan
pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya
merupakan kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan dan semata-mata didasarkan atas
penilaian kondisi keuangan dan kondisi
perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu
tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk
mengajukan permohonan kepailitan ini tidak
menghapuskan kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan terkait dengan ketentuan mengenai
pencabutan izin usaha bank, pembubaran
badan hukum, dan likuidasi bank sesuai
peraturan perundang-undangan.
Permohonan pernyataan pailit untuk
perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara
pasar alternatif, lembaga kliring dan
penjaminan, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian (kustodian), hanya dapat
diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, karena
lembaga tersebut melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan dana masyarakat yang
diinvestasikan dalam efek di bawah
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas
Jasa Keuangan juga mempunyai kewenangan
penuh dalam hal pengajuan permohonan
pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang
berada di bawah pengawasannya, seperti
halnya terhadap bank.
Yang dimaksud dengan “Perusahaan
Perasuransian” adalah perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, perusahaan reasuransi syariah,
perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai
kerugian asuransi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Usaha Perasuransian. Kewenangan
untuk mengajukan permohonan pernyataan
pailit bagi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi sepenuhnya ada pada
Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini
diperlukan untuk membangun tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagai
lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai
254
lembaga pengelola dana masyarakat yang
memiliki kedudukan strategis dalam
pembangunan dan kehidupan perekonomian.
Yang dimaksud dengan “Dana Pensiun” adalah
Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai
Dana Pensiun. Kewenangan untuk mengajukan
pailit bagi Dana Pensiun, sepenuhnya ada pada
Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini
diperlukan untuk membangun tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap Dana
Pensiun, mengingat Dana Pensiun mengelola
dana masyarakat dalam jumlah besar dan dana
tersebut merupakan hak dari peserta yang
banyak jumlahnya.
Yang dimaksud dengan “lembaga jasa
keuangan lainnya” adalah lembaga jasa
keuangan lainnya sebagaimana dimaksud
dengan undang-undang mengenai otoritas jasa
keuangan.
Yang dimaksud dengan “sepanjang
pembubaran dan/atau kepailitannya tidak
diatur berbeda oleh Undang-Undang lainnya”
adalah lembaga jasa keuangan yang
melaksanakan sebagian kewenangan
Pemerintah dan merupakan badan hukum sui
generis.
Dalam hal debitor mempunyai lebih dari 1 izin
kegiatan usaha, kewenangan OJK dalam pasal
ini berlaku jika debitor mendapatan izin utama
dari OJK.
Angka 6
Pasal 9
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selain bertindak untuk dan atas nama lembaga
yang dipimpinnya sebagai anggota KSSK, Ketua
Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan
tertinggi baik dalam hubungan internal maupun
eksternal kelembagaan, antara lain dalam rapat
dengan KSSK, pemerintah, DPR, dan dalam
pertemuan dengan lembaga internasional.
Ketua Dewan Komisioner dalam bertindak sebagai
pimpinan Dewan Komisioner, antara lain

255
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas Kepala Eksekutif, termasuk menetapkan
kebijakan yang akan dilakukan oleh Kepala
Eksekutif, jika dibutuhkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan
memimpin tugas pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan di sektor
perbankan.
Huruf d
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal
memimpin tugas pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan di sektor pasar
modal.
Huruf e
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian
dan Dana Pensiun, memimpin tugas
pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan di sektor Perasuransian dan
dana pensiun.
Huruf f
Kepala Eksekutif Lembaga Pembiayaan,
Modal ventura, financial technology,
koperasi dan lembaga jasa keuangan
lainnya di sektor lembaga pembiayaan,
modal ventura, financial technology,
perkoperasian dan lembaga jasa keuangan
lainnya.
Huruf g
Kepala Eksekutif bidang penegakan
hukum di sektor penegakan hukum.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Angka 8
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

256
Ayat (3)
Di samping mengumumkan penerimaan calon
anggota Dewan Komisioner, Panitia Seleksi secara
aktif dapat mencari calon-calon yang memenuhi
persyaratan dan keterwakilan sesuai dengan
keahliannya dari sektor jasa keuangan yang
diawasi OJK.
Ayat (5)
Pendaftaran calon anggota Dewan Komisioner
dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “seleksi administratif”
adalah seleksi terhadap calon anggota Dewan
Komisioner sesuai dengan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “3 (tiga) orang calon
untuk setiap anggota Dewan Komisioner” adalah
bahwa dalam pengajuan calon, Panitia Seleksi
menyampaikan 3 (tiga) orang calon untuk setiap
anggota Dewan Komisioner dengan kualifikasi
keahlian dan pengalaman yang proporsional
dalam industri jasa keuangan. Untuk 7 (tujuh)
orang anggota Dewan Komisioner yang
dibutuhkan, Panitia Seleksi mengajukan kepada
Presiden sebanyak 21 (dua puluh satu) orang
calon anggota Dewan Komisioner.
Ayat (8)
Cukup jelas

Angka 9
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “selesainya proses
pemilihan calon anggota Dewan Komisioner”
adalah sejak ditetapkannya di rapat paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 10
Pasal 13
Dihapus.

Angka 11
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)

257
Yang dimaksud dengan “benturan
kepentingan” yaitu benturan yang timbul
ketika kepentingan seseorang memungkinkan
orang lain melakukan tindakan yang
bertentangan dengan pihak tertentu, yang
kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh
orang lain tersebut. Benturan kepentingan
mencakup benturan kepentingan yang sudah
terjadi atau yang berpotensi akan terjadi.
Jenis benturan kepentingan adalah sebagai
berikut:
a. bersifat personal yaitu benturan kepentingan
yang timbul ketika pihak tertentu yang
diwajibkan untuk bertindak atas
kepentingan pihak lain berbenturan dengan
kepentingan pihak lain tersebut;
b. bersifat impersonal yaitu benturan
kepentingan yang timbul ketika suatu pihak
diwajibkan untuk bertindak atas
kepentingan dua pihak yang berbeda yang
kepentingannya berbenturan; dan
c. benturan kepentingan individual
(berdasarkan kepentingan organisatoris)
adalah benturan kepentingan ketika pihak
tertentu atas organisasi tertentu melakukan
tindakan untuk memenuhi kepentingan
organisasi lain yang keduanya mempunyai
benturan kepentingan.
Syarat ini dimaksudkan untuk mengurangi
potensi benturan kepentingan dan untuk
mewujudkan tata kelola (governance) yang
baik dalam OJK.
Benturan kepentingan pribadi tidak
termasuk kepentingan yang diperoleh
sebagai nasabah penyimpan Bank dan
investor pasar modal.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Angka 12
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan kegiatan yang disusun OJK antara lain
memuat:

258
a. pelaksanaan tugas dan wewenang OJK pada
periode sebelumnya; dan
b. rencana kebijakan, penetapan sasaran, dan
langkah-langkah pelaksanaan tugas dan
wewenang OJK untuk periode yang akan
datang.
Ayat (3)
Capaian kinerja masing-masing anggota Dewan
Komisioner dimaksudkan sebagai evaluasi
capaian indikator kinerja utama (key
performance indicator).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penjelasan” adalah
penjelasan terkait pelaksanaan tugas dan
wewenang OJK.
Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap yaitu
komisi yang ruang lingkup tugasnya terkait
dengan keuangan, perencanaan pembangunan
nasional, dan perbankan.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 14
Pasal 38A
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian laporan OJK kepada
Presiden dan DPR dimaksudkan untuk
melaporkan pelaksanaan kegiatan dan
kinerja OJK selama tahun berjalan.
Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap yaitu
komisi yang ruang lingkup tugasnya
terkait dengan keuangan, perencanaan
pembangunan nasional, dan perbankan.
Ayat (2)
Penyusunan standar dan kebijakan
akuntansi oleh OJK dilakukan dengan
memperhatikan prinsip akuntansi yang
berlaku umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam rangka menyusun laporan keuangan
yang terkait dengan pembiayaan yang
berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Dewan Komisioner harus
memperhatikan peraturan perundang-
undangan.

Angka 15

259
Cukup jelas.

Angka 16
Pasal 89B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kinerja dan
akuntabilitas kelembagaan” yaitu dukungan
organisasi, sumber daya, tata kelola, dan
pelaksanaan anggaran operasional dalam
rangka mendukung pencapaian tujuan OJK.
Dengan demikian kinerja dan akuntabilitas
kelembagaan tersebut tidak mencakup
penetapan dan pelaksanaan kebijakan
pengaturan dan pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan,
sektor pasar modal, sektor perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya, serta
perlindungan konsumen dan penyidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 89C
Cukup jelas.

Pasal 89D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang termasuk dalam benturan kepentingan
yaitu jika anggota Badan Supervisi OJK
merupakan pengurus, dan/atau pemilik
lembaga jasa keuangan baik langsung
maupun tidak langsung.
Ayat (7)
Huruf a

260
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “berhalangan
tetap” adalah cacat fisik dan/atau cacat
mental yang tidak memungkinkan yang
bersangkutan melaksanakan tugasnya
dengan baik atau kehilangan
kewarganegaraan Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.

Angka 17
Pasal 56
Ayat (1)
Anggota Dewan Komisioner ditetapkan dengan
Keputusan Presiden
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pembentukan Panitia Seleksi ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Ayat (6)
Dalam rangka memilih calon anggota dewan
komisioner, Dewan Perwakilan Rakyat dapat
meminta calon anggota dewan komisioner untuk
melakukan presentasi dalam sidang Dewan
Perwakilan Rakyat menyangkut visi,
pengalaman, keahlian atau kemampuan, serta
hal-hal yang berkaitan dengan moral dan akhlak
anggota Dewan Komisioner. Yang dimaksud
dengan “30 (tiga puluh) hari” tidak termasuk
masa reses.
Ayat (7)

261
Yang dimaksud dengan “selesainya proses
pemilihan calon anggota Dewan Komisioner”
adalah sejak ditetapkannya di rapat paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 9
Angka 1

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “campur tangan” adalah
semua bentuk intimidasi, ancaman, pemaksaan
dan bujuk rayu dari pihak lain yang secara
langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi
kebijakan dan pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah semua
pihak di luar Bank Indonesia termasuk Pemerintah
dan/atau lembaga lainnya.
Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya
secara efektif.
Yang dimaksud dengan “untuk hal-hal tertentu”
antara lain dalam rangka pencegahan dan
penanganan Krisis Sistem Keuangan atau
perekonomian nasional.
Yang dimaksud dengan “Undang-Undang” antara
lain:
1. Undang-Undang mengenai Bank Indonesia
beserta perubahannya;
2. Undang-Undang mengenai pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi
Undang-Undang; dan
4. Undang-Undang ini.
Tidak termasuk dalam pengertian campur
tangan oleh Pemerintah antara lain ketika
Bank Indonesia berkoordinasi dengan
Pemerintah untuk memitigasi dampak krisis
dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional
serta memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.
Tidak termasuk dalam pengertian campur
tangan oleh pihak lain antara lain ketika
dilakukan kerja sama antara Bank Indonesia
dan pihak lain atau pemberian bantuan teknis
oleh pihak lain atas permintaan Bank
Indonesia dalam rangka mendukung
pelaksanaan tugas Bank Indonesia.

262
Ayat (3)
Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum
dengan Undang-undang ini dan dimaksudkan agar
terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia
dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan hukum
publik berwenang menetapkan peraturan dan
mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.

Angka 2
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “stabilitas nilai rupiah”
adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan
jasa, serta terhadap mata uang negara lain.
Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa
diukur dengan atau tercermin dari perkembangan
laju inflasi.
Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara
lain diukur dengan atau tercermin dari
perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata
uang negara lain.
Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk
mendukung pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Pada prinsipnya, peran memelihara Stabilitas
Sistem Keuangan merupakan tanggung jawab
beberapa otoritas. Bank Indonesia memelihara
Stabilitas Sistem Keuangan bersama dengan
Menteri Keuangan, OJK, dan LPS, sesuai dengan
peran dan tugas masing-masing.
Peran Bank Indonesia dalam “memelihara Stabilitas
Sistem Keuangan” antara lain dilakukan melalui
pemantauan Sistem Keuangan, menetapkan
kebijakan dalam rangka pengendalian risiko
sistemik pada Sistem Keuangan dan
mengoptimalkan fungsi intermediasi serta
menyediakan pinjaman atau pembiayaan dalam
rangka menjalankan fungsi lender of last resort.
Dalam melaksanakan peran di bidang Stabilitas
Sistem Keuangan tersebut, Bank Indonesia
berkoordinasi dengan otoritas lainnya.
Yang dimaksud dengan “pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan” adalah laju pertumbuhan yang
dapat dipertahankan dan tidak bersifat sementara
waktu (tidak terjadi overheating) dengan tetap
memperhatikan sasaran laju inflasi dan stabilitas
nilai tukar. Pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan diharapkan terus dapat mendorong
penciptaan lapangan kerja.

Angka 3
Pasal 8
Huruf a

263
Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini mempunyai keterkaitan dalam
mencapai kestabilan nilai rupiah. Tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter dilakukan Bank Indonesia antara lain
melalui pengendalian jumlah uang beredar dan
suku bunga, sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang mengenai Bank Indonesia.
Ketentuan ini dimaksudkan agar kebijakan
moneter yang diambil oleh Bank Indonesia
secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan
dapat dijadikan acuan yang pasti dan jelas bagi
dunia usaha dan masyarakat luas. Di samping
itu, ketentuan ini dimaksudkan pula agar
kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia
sudah mempertimbangkan dampaknya terhadap
perekonomian nasional secara keseluruhan,
termasuk bidang keuangan negara dan
perkembangan di sektor riil.
Huruf b
Efektivitas pencapaian tujuan memerlukan
dukungan sistem pembayaran yang efisien,
cepat, aman, dan andal, yang merupakan
sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Huruf c
Dalam menetapkan dan melaksanakan
kebijakan makroprudensial Bank Indonesia
melakukan koordinasi dengan Kementerian
Keuangan dan OJK.
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah semua
pihak di luar Bank Indonesia termasuk
Pemerintah dan/atau lembaga lainnya.
Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya
secara efektif.
Yang dimaksud “untuk hal-hal tertentu” antara
lain dalam rangka pencegahan dan penanganan
Krisis Sistem Keuangan atau perekonomian
nasional.
Yang dimaksud dengan “Undang-Undang” antara
lain:
1. Undang-Undang mengenai Bank Indonesia
beserta perubahannya;
2. Undang-Undang mengenai pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman

264
yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi
Undang-Undang; dan
4. Undang-Undang ini.
Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan
oleh Pemerintah antara lain ketika Bank
Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah
untuk memitigasi dampak krisis dan
mempercepat pemulihan ekonomi nasional serta
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.
Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan
oleh pihak lain antara lain ketika dilakukan kerja
sama antara Bank Indonesia dan pihak lain atau
pemberian bantuan teknis oleh pihak lain atas
permintaan Bank Indonesia dalam rangka
mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 5
Pasal 11
Ayat (1)
Pengelolaan likuiditas ditujukan untuk menjaga
keseimbangan antara penawaran dan permintaan
likuiditas sesuai dengan kapasitas perekonomian.
Pengelolaan likuiditas dilakukan dengan
menambah atau mengurangi likuiditas di sektor
keuangan pada saat kondisi ekonomi mengalami
kontraksi atau ekspansi sehingga mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “surat berharga
berkualitas lainnya” yaitu surat berharga yang
memiliki rating tinggi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Pembelian atau penjualan SBN dan/atau surat
berharga yang berkualitas lainnya di pasar
sekunder dilakukan secara outright dan/atau repo
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.
Penempatan dana pada lembaga keuangan dalam
rangka pengembangan pasar uang dilakukan
dalam bentuk penyertaan modal Bank Indonesia
pada lembaga keuangan yang dibentuk oleh
pemerintah dalam rangka sekuritisasi aset untuk
memperluas akses terhadap sumber pembiayaan
bagi perekonomian.
Pengaturan giro wajib minimum bank dan
pengaturan kredit atau pembiayaan ditujukan
untuk mengelola likuiditas agar sesuai dengan
kebutuhan perekonomian.
Bauran kebijakan moneter dan makro prudensial
dilakukan sebagai upaya pengelolaan likuiditas
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan melalui peningkatan fungsi

265
intermediasi yang seimbang dan berkualitas,
menjaga ketahan sistem keuangan, dan
peningkatan inklusi ekonomi dan keuangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kondisi makro ekonomi”
adalah kondisi perekonomian secara keseluruhan
atau agregat yang tercermin pada perkembangan
indikator ekonomi, antara lain inflasi, nilai tukar
rupiah, harga aset, pertumbuhan kredit,
pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, dan
neraca pembayaran.
Instrumen ini dimaksudkan sebagai upaya
mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dalam kondisi sistem keuangan
normal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 24
Dihapus.

Angka 7
Pasal 25
Dihapus.
Angka 8
Pasal 26
Dihapus.
Angka 9
Pasal 27
Dihapus.
Angka 10
Pasal 28
Dihapus.
Angka 11
Pasal 29
Dihapus.
Angka 12
Pasal 30
Dihapus.
Angka 13
Pasal 31
Dihapus.
Angka 14
Pasal 32
Dihapus.
Angka 15
Pasal 33
Dihapus.
Angka 16
Pasal 34
Dihapus.
Angka 17
Pasal 35

266
Dihapus.
Angka 18
Cukup jelas.

Angka 19
Pasal 35A
Cukup jelas.

Pasal 35B
Cukup jelas.

Angka 20
Cukup jelas.

Angka 21
Pasal 35C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “otoritas” adalah otoritas di
sektor moneter, fiskal, dan sistem keuangan.

Pasal 35D
Cukup jelas.

Angka 22
Pasal 38A
Cukup jelas.

Angka 23
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “mempunyai
kepentingan langsung” adalah apabila yang
bersangkutan duduk sebagai pengurus dalam
suatu perusahaan atau menjalankan sendiri
usaha perdagangan barang atau jasa.
Yang dimaksud dengan “mempunyai
kepentingan tidak langsung” adalah apabila
yang bersangkutan memiliki kepentingan
melalui kepemilikan saham suatu perusahaan
di atas 25 % (dua puluh lima perseratus).
Huruf b
Mengingat anggota Dewan Gubernur memiliki
tugas yang sangat strategis di bidang moneter,
sistem pembayaran, dan pengaturan dan
pengawasan bank sudah sewajarnya apabila
anggota Dewan Gubernur lebih profesional dan
loyal terhadap pelaksanaan tugasnya. Rangkap
jabatan yang dimaksud termasuk pengurus

267
pada partai politik serta lembaga atau
organisasi lainnya yang dapat mengganggu
kinerja dan profesionalitasnya berkaitan
dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Namun, berdasarkan keterkaitan tugas dan
jabatannya anggota Dewan Gubernur secara
ex-officio dapat merangkap jabatan pada
lembaga-lembaga tertentu antara lain pada
International Monetary Fund (IMF), World
Bank, dan Institut Bankir Indonesia.
Ayat (2)
Dalam hal Deputi Gubernur Senior dan atau
Deputi Gubernur yang diketahui telah melakukan
pelanggaran tidak bersedia mengundurkan diri,
Gubernur mengajukan usul kepada Presiden
untuk meminta yang bersangkutan
mengundurkan diri. Apabila yang melakukan
pelanggaran adalah Gubernur, Presiden meminta
yang bersangkutan untuk mengundurkan diri.

Angka 25
Pasal 58A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kinerja dan
akuntabilitas” yaitu dukungan organisasi,
sumber daya, tata kelola, dan pelaksanaan
anggaran operasional dalam rangka mendukung
pencapaian tujuan Bank Indonesia.
Dengan demikian kinerja dan akuntabilitas
tersebut tidak mencakup penetapan dan
pelaksanaan kebijakan moneter, sistem
pembayaran, dan makroprudensial.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Angka 26
Pasal 58B
Cukup jelas.

Pasal 58C
Ayat (1)

268
Calon anggota Dewan Pengawas yang diusulkan
oleh Presiden paling sedikit berjumlah 2 (dua)
kali anggota dewan pengawas yang akan dipilih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.

Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.

Angka 27
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Klasifikasi penggunaan anggaran untuk
kebijakan moneter disepakati Bersama dengan
DPR, dalam hal ini alat kelengkapan DPR yang
membidangi ekonomi dan keuangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Angka 28
Pasal 62
Cukup jelas.

Angka 29
Cukup jelas.

Angka 30
Pasal 64A
Cukup jelas.

Angka 31

269
Pasal 70
Dihapus.
Pasal 10
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rupiah digital” adalah
uang rupiah dengan sistem pembayaran yang
dilakukan secara digital.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 14A
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ruang lingkup koordinasi pengembangan sektor keuangan
mencakup aspek pendalaman, efisiensi, dan aksesibilitas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transfer dana”
adalah rangkaian kegiatan yang dimulai
dengan perintah dari pengirim asal yang
bertujuan memindahkan sejumlah dana
kepada penerima yang disebutkan dalam
perintah transfer dana sampai dengan
diterimanya dana oleh penerima.
Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f

270
Yang dimaksud dengan “penitipan” adalah
penyimpanan harta berdasarkan perjanjian
atau kontrak antara Bank Umum dengan
penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang
bersangkutan tidak mempunyai hak
kepemilikan atas harta tersebut.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 3
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perusahaan lain yang
mendukung industri perbankan” antara lain
perusahaan di bidang teknologi informasi,
teknologi finansial, lembaga kliring, serta
switching company.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kerja sama dengan
selain lembaga jasa keuangan yang berkaitan
dengan pemberian layanan jasa keuangan
kepada nasabah” adalah kerjasama dengan
perusahaan teknologi finansial, perusahaan
yang melaksanakan transaksi perdagangan
melalui sistem elektronik (e-commerce), dan
lainnya.

Angka 4
Pasal 7A
Ayat (1)
Pemanfaatan teknologi informasi adalah dalam
rangka mendorong transformasi perbankan
menuju era digital banking.
Ayat (2)
Pelaksanaan kerja sama ditujukan untuk
mendorong transformasi digital dan membangun
keterkaitan (interlink) antara Bank dan fintech
berlandaskan asas yang mendukung
keterbukaan, interoperabilitas, keamanan,
fleksibilitas, perlindungan konsumen,
independensi, dan kebaruan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-
undangan” antara lain ketentuan mengenai
penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik
serta perlindungan data pribadi yang mengatur
mengenai:

271
a. kewajiban untuk melaksanakan prinsip
perlindungan data pribadi dalam melakukan
pemrosesan data pribadi;
b. persetujuan yang sah dari pemilik data pribadi
untuk tujuan tertentu dari nasabah dan/atau
konsumen;
c. penerapan manajemen risiko;
d. penghapusan dan/atau penghentian
penggunaan data pribadi dan pemrosesan
transaksi jika nasabah dan/atau konsumen
menarik persetujuan (consent) yang diberikan;
dan
e. kebijakan tata kelola dan prosedur.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7B
Cukup jelas.

Angka 5
Pasal 8A
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 10
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 12A
Cukup jelas.

Angka 8
Pasal 12B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sektor produktif” antara
lain sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor
perikanan, sektor industri pengolahan, sektor
konstruksi, dan sektor jasa produksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 9
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g

272
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud “kegiatan lain” antara lain,
sistem pembayaran berbasis digital dan
penerbitan kartu anjungan tunai mandiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 10
Pasal 13A
Cukup jelas.

Angka 11
Pasal 14
Larangan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
dengan kegiatan usaha BPR yang terutama ditujukan
untuk melayani namun tidak terbatas pada usaha-
usaha mikro dan kecil serta masyarakat di wilayah
setempat. Untuk itu jenis-jenis pelayanan yang dapat
diberikan oleh BPR disesuaikan dengan maksud
tersebut tanpa mengurangi daya saing BPR terhadap
bank umum maupun lembaga keuangan mikro
lainnya.

Angka 12
Pasal 15
Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 15A
Cukup jelas.

Angka 14
Pasal 16A
Cukup jelas.

Angka 15
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kantor” adalah kantor fisik
tempat kedudukan pengurusan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 19
Dihapus.

Angka 17
Pasal 19A
Cukup jelas.

Angka 18
Pasal 20
Cukup jelas.

273
Angka 19
Pasal 20A
Ayat (1)
Penerapan mengenai prinsip kehati-hatian antara
lain:
a. Dalam melakukan kegiatan usaha berupa
pemberian Kredit atau Pembiayaan, Bank
wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam, karakter,
kemampuan serta kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi utangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan.
Kredit atau Pembiayaan yang diberikan oleh
Bank mengandung risiko, sehingga Bank
harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut,
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
Nasabah Debitur untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan merupakan faktor penting yang
harus diperhatikan oleh Bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
sebelum memberikan Kredit atau Pembiayaan,
Bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
Agunan, dan prospek usaha dari Nasabah
Debitur.
b. Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan
kepada perusahaan Bank wajib
memperhatikan aspek perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bank wajib memiliki dan menerapkan sistem
pengawasan intern dalam rangka menjamin
terlaksananya proses pengambilan keputusan
dalam pengelolaan Bank yang sesuai dengan
prinsip kehati-hatian. Mengingat Bank
terutama bekerja dengan dana dari
masyarakat yang disimpan pada Bank atas
dasar kepercayaan, setiap Bank perlu terus
menjaga kesehatannya dan memelihara
kepercayaan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 20B
Cukup jelas.

Angka 20
Pasal 21
Cukup jelas.

Angka 21
Pasal 23
Ayat (1)

274
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Badan Hukum
Indonesia” antara lain adalah Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi,
Perseroan Terbatas, dan badan hukum lain
yang dimiliki oleh swasta yang didirikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 22
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “konversi” adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh kantor
cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri
untuk mengubah izin usaha kantor cabang dari
Bank yang berkedudukan di luar negeri menjadi
izin usaha Bank, dan selanjutnya dilakukan
pencabutan izin usaha kantor cabang dari Bank
yang berkedudukan di luar negeri.
Yang dimaksud dengan “integrasi” adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh kantor
cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri
dan Bank dengan mengalihkan aset dan/atau
liabilitas kantor cabang dari Bank yang
berkedudukan di luar negeri secara hukum kepada
Bank, dan selanjutnya dilakukan pencabutan izin
usaha kantor cabang dari Bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Ayat (4)
Cukup Jelas.

Angka 23
Pasal 28A
Cukup jelas.

Angka 24
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan secara langsung adalah pemeriksaan
terhadap Bank.
Pengawasan secara tidak langsung adalah
pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan

275
evaluasi atas laporan, data, dan informasi bank
yang dapat ditindaklanjuti dengan pengawasan
langsung dan/atau tindakan perbaikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 29A
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak terelasi” (sister
company) adalah beberapa perusahaan/badan
usaha yang terpisah secara kelembagaan dan/ atau
secara hukum namun dimiliki dan/atau
dikendalikan oleh pemegang saham pengendali
yang sama.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 27
Pasal 31
Dihapus.

Angka 28
Pasal 31A
Yang dimaksud “pihak lain” adalah pengelola statuter.

Angka 29
Pasal 33
Cukup jelas.

Angka 30
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laporan lainnya” antara
lain laporan penerapan tata kelola, laporan
rencana pengembangan teknologi informasi,
laporan realisasi rencana bisnis bank, laporan
profil risiko, laporan informasi perpajakan bagi
nasbah asing, dan laporan pelaksanaan audit
intern.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 31
Pasal 35

276
Cukup jelas.

Angka 32
Pasal 36
Cukup jelas.

Angka 33
Pasal 36A
Cukup jelas.

Angka 34
Pasal 37
Dihapus.

Angka 35
Pasal 37C
Cukup jelas.

Pasal 37D
Cukup jelas.

Pasal 37E
Cukup jelas.

Angka 36
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Informasi mengenai Nasabah selain sebagai
Nasabah Penyimpan, bukan merupakan informasi
yang wajib dirahasiakan Bank.
Angka 37
Pasal 40A
Huruf a
Yang dimaksud “peradilan dalam perkara
perdata” antara lain peradilan umum dan
peradilan agama. Termasuk juga untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama
dalam perceraian dan dalam rangka pemulihan
aset.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h

277
Permintaan tersebut dilakukan sesuai dengan
Undang-Undang mengenai akses informasi
keuangan untuk kepentingan perpajakan dan
peraturan pelaksanaannya.
Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 40B
Cukup jelas.

Pasal 40C
Cukup jelas.

Angka 38
Pasal 41
Dihapus.

Angka 39
Pasal 41A
Dihapus.

Angka 40
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan peradilan”
adalah kepentingan dalam proses peradilan suatu
perkara yang dimulai dari tahap penyidikan sampai
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Yang dimaksud dengan “penyidik lain yang diberi
wewenang berdasarkan Undang-Undang” antara
lain Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi
yang diberi wewenang untuk melakukan
penyidikan” adalah menteri atau pimpinan
lembaga pemerintah nonkementerian
setingkat menteri atau jabatan satu tingkat
dibawahnya yang diberikan wewenang
penyidikan berdasarkan Undang-Undang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

278
Angka 41
Pasal 42A
Cukup jelas.

Angka 42
Pasal 43
Cukup jelas.

Angka 43
Pasal 43A
Cukup jelas.

Angka 44
Pasal 44
Cukup jelas.

Angka 45
Pasal 44A
Cukup jelas.

Angka 46
Pasal 44B
Cukup jelas.
Angka 47
Pasal 45A
Cukup jelas.

Pasal 45B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “otoritas keuangan
lainnya” antara lain otoritas yang mengatur
dan menyelenggarakan pengawasan di
bidang moneter, sistem pembayaran, dan
perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Pelaksanaan koordinasi antar OJK dan
otoritas lainnya dilakukan berdasarkan
kesepakatan dan mekanisme koordinasi yang
berlaku antar lembaga.
Angka 48
Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 15
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas.

279
Angka 3
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kantor fisik” adalah kantor
tempat kedudukan pengurusan Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 6A
Cukup Jelas.

Pasal 6B
Cukup Jelas.

Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 17A
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.

280
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan “transfer dana” adalah
rangkaian kegiatan yang dimulai dengan
perintah dari pengirim asal yang bertujuan
memindahkan sejumlah dana kepada
penerima yang disebutkan dalam perintah
transfer dana sampai dengan diterimanya
dana oleh penerima.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Yang dimaksud “transfer dana” adalah
rangkaian kegiatan yang dimulai dengan
perintah dari pengirim asal yang bertujuan
memindahkan sejumlah dana kepada
penerima yang disebutkan dalam perintah
transfer dana sampai dengan diterimanya
dana oleh penerima.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

281
Angka 8
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud lembaga non keuangan
yang mendukung industri perbankan
syariah antara lain perusahaan di bidang
teknologi informasi, sistem pembayaran,
infrastruktur pasar keuangan, dan
perusahaan khusus yang bertujuan
menyelesaikan aset bermasalah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “melakukan
kerjasama dengan lembaga jasa keuangan
non-bank dalam pemasaran produk
keuangan” adalah kerjasama pemasaran
produk reksadana, bancassurance, dan
lainnya.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “kerja sama dengan
selain lembaga jasa keuangan dalam
pemberian layanan jasa keuangan kepada
nasabah” adalah kerja sama dengan
perusahaan teknologi finansial, perusahaan
yang melaksanakan transaksi perdagangan
melalui sistem elektronik (e-commerce), dan
lainnya.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

282
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “melakukan kerja
sama dengan lembaga jasa keuangan non-
bank dalam pemasaran produk keuangan”
adalah kerja sama pemasaran produk
reksadana, bancassurance, dan lainnya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kerja sama dengan
selain lembaga jasa keuangan dalam
pemberian layanan jasa keuangan kepada
nasabah” adalah kerja sama dengan
perusahaan teknologi finansial, perusahaan
yang melaksanakan transaksi perdagangan
melalui sistem elektronik (e-commerce), dan
lainnya.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 9
Pasal 21
Cukup jelas.

Angka 10
Pasal 21A
Huruf a
Yang dimaksud dengan “melakukan kerja sama
dengan lembaga jasa keuangan non-bank dalam
pemasaran produk keuangan” seperti kerja sama
pemasaran produk asuransi dan produk lainnya
berdasarkan prinsip syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "lembaga penunjang”
antara lain lembaga yang dibentuk untuk
menanggulangi kesulitas likuiditas BPR Syariah,
perusahaan teknologi informasi, dan lembaga
yang menjalankan fungsi sertifikasi proses BPR
Syariah.
Pasal 21B
Cukup jelas.

Angka 11
Pasal 24
Cukup jelas.

Angka 12
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.

283
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Huruf g
Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 26
Cukup jelas.

Angka 14
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan lainnya” antara
lain laporan penerapan tata kelola, laporan
rencana pengembangan teknologi informasi,
laporan realisasi rencana bisnis bank, laporan
profil risiko, laporan informasi perpajakan bagi
nasabah asing, dan laporan pelaksanaan audit
intern.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 15
Pasal 38
Cukup jelas.

Angka 16
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Informasi mengenai Nasabah selain sebagai
Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor, bukan
merupakan informasi yang wajib dirahasiakan
Bank.

Angka 18
Pasal 41A

284
Huruf a
Yang dimaksud dengan “peradilan dalam perkara
perdata” antara lain peradilan umum dan
peradilan agama. Termasuk juga untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama
dalam perceraian dan dalam rangka pemulihan
aset.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Permintaan tersebut dilakukan sesuai dengan
Undang-Undang mengenai akses informasi
keuangan untuk kepentingan perpajakan dan
peraturan pelaksanaanya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “tujuan penyelenggaraan
negara dan kepentingan umum” antara lain
penyelenggaraan administrasi kependudukan,
moneter, sistem pembayaran, penjaminan
simpanan, dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Pasal 41B
Cukup jelas.
Pasal 41C
Cukup jelas.

Angka 19
Pasal 42
Dihapus.
Angka 20
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan peradilan”
adalah kepentingan dalam proses peradilan suatu
perkara yang dimulai dari tahap penyidikan sampai
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Yang dimaksud dengan “penyidik lain yang diberi
wewenang berdasarkan Undang-Undang” antara
lain Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)

285
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 21
Pasal 44
Cukup jelas.

Angka 22
Pasal 45
Cukup jelas.

Angka 23
Pasal 45A
Cukup jelas.

Angka 24
Pasal 46
Cukup jelas.

Angka 25
Pasal 47
Cukup jelas.

Angka 26
Pasal 48
Cukup jelas.

Angka 27
Pasal 48A
Cukup jelas.
Pasal 48B
Cukup jelas.
Pasal 48C
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “otoritas keuangan
lainnya” antara lain otoritas yang mengatur dan
menyelenggarakan pengawasan di bidang
moneter, sistem pembayaran, dan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan koordinasi antar OJK dan Otoritas
lainnya dilakukan berdasarkan kesepakatan dan
mekanisme koordinasi yang berlaku antar
lembaga.

Angka 28
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan langsung adalah pemeriksaan
terhadap bank.
Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan
dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi

286
atas laporan, data, dan informasi bank yang
dapat ditindaklanjuti dengan pengawasan
langsung dan/atau tindakan perbaikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 29
Pasal 51
Cukup jelas.

Angka 30
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “data/dokumen”
adalah segala jenis data atau dokumen, baik
tertulis maupun elektronis, yang terkait
dengan objek pengawasan OJK.
Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang
terkait dengan Bank” adalah setiap bagian
ruangan dari kantor bank dan tempat lain di
luar bank yang terkait dengan objek
pengawasan OJK.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “data/dokumen”
adalah segala jenis data atau dokumen, baik
tertulis maupun elektronis yang terkait
dengan objek pengawasan OJK.
Yang dimaksud dengan “setiap pihak” adalah
orang atau badan hukum yang memiliki
pengaruh terhadap pengambilan keputusan
dan operasional Bank, baik langsung maupun
tidak langsung, antara lain, ultimate
shareholder atau pihak tertentu yang namanya
tidak tercantum sebagai pegawai, pengurus
atau pemegang saham bank tetapi dapat
memengaruhi kegiatan operasional bank atau
keputusan manajemen bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan
maupun rekening Pembiayaan” adalah
rekening-rekening, baik yang ada pada Bank
yang diawasi/diperiksa maupun pada Bank
lain, yang terkait dengan objek
pengawasan/pemeriksaan OJK.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pihak terelasi” (sister
company) adalah beberapa perusahaan/badan

287
usaha yang terpisah secara kelembagaan dan/atau
secara hukum namun dimiliki dan/atau
dikendalikan oleh pemegang saham pengendali
yang sama.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Angka 31
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain
akuntan publik, konsultan teknologi informasi,
penilai independen, dan konsultan hukum.
Ayat (2)
Dihapus.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 32
Pasal 54
Dihapus.

Angka 33
Pasal 54A
Cukup jelas.

Angka 34
Pasal 63
Cukup jelas.

Angka 35
Pasal 66
Cukup jelas.

Angka 36
Pasal 67A
Cukup jelas.

Angka 37
Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 16
Pasal 20
Ayat (1)
Apabila Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia,
pengajuan keberatan atau upaya hukum dapat
dilakukan oleh ahli warisnya.
Ayat (2)
Pembayaran bunga yang wajar dimaksudkan untuk
mengganti kerugian akibat hilangnya kesempatan

288
berinvestasi dan LPS tidak membayar ganti rugi yang
lain. Tingkat bunga yang wajar adalah tingkat bunga
yang pada umumnya berlaku atas simpanan.

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sarana perdagangan” adalah
sarana perdagangan di pasar perdana maupun pasar
sekunder melalui penyelenggara pasar di pasar
keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sarana kliring” adalah lembaga
kliring yang melayani baik untuk transaksi di bursa
maupun di over the counter dengan novasi.
Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “sarana pengelola informasi
transaksi efek dan/atau derivatif (trade repository)”
adalah lembaga yang mengelola semua informasi terkait
transaksi derivatif.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Salah satu bentuk koordinasi dalam mendorong
pengembangan infrastruktur pasar misalnya dengan
mendorong terbentuknya sarana pengelola informasi
transaksi derivatif yang terintegrasi untuk seluruh kelas aset.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Untuk mendukung efisiensi pasar, infrastruktur pendukung
pasar diharapkan dapat berlaku interoperability. Misalnya
pada penyelenggaraan sistem dan/atau sarana perdagangan
bagi lebih dari 1 (satu) Instrumen Keuangan dilakukan pada
penyelenggara perdagangan alternatif di bidang pasar modal
yang telah memperoleh izin usaha dari OJK dapat
menyediakan sistem dan/atau sarana perdagangan bagi
Instrumen Keuangan di Pasar Uang setelah memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas.

289
Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Dalam menetapkan instrumen lain sebagai
Efek, OJK juga memperhatikan
perkembangan model bisnis dan teknologi
yang berkembang.
Angka 7
Layanan urun dana merupakan
penyelenggaraan layanan penawaran Efek
yang dilakukan oleh penerbit untuk menjual
Efek secara langsung kepada pemodal
melalui jaringan sistem elektronik yang
bersifat terbuka.
Aspek pengaturan layanan urun dana antara
lain meliputi penyelenggara layanan,
penerbit, serta standar keamanan dan
keandalan sistem elektronik.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis
dapat berbentuk antara lain edaran, bulletin
accounting staff, atau bulletin legal staff.
Huruf b
Cukup jelas.

290
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “Pihak lain” antara
lain lembaga pendanaan Efek serta pihak
yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan
dikategorikan sebagai lembaga jasa
keuangan.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat
keterbukaan bagi Pihak tertentu atas
kepemilikan Efeknya atau kepemilikan Efek
Pihak lain yang diketahui atau sepatutnya
diketahui oleh Pihak tertentu tersebut.
Kepemilikan Efek meliputi pemilik terdaftar
atas Efek dan pemilik manfaat atas Efek.
Pemilik terdaftar atas Efek (registered owner)
adalah Pihak yang terdaftar sebagai
pemegang Efek baik yang terdaftar dalam
daftar pemegang Efek pada penerbit Efek
atau dalam Penitipan Kolektif pada
Kustodian.
Pemilik manfaat atas Efek (beneficial owner)
adalah setiap Pihak yang berhak atas
dan/atau menerima manfaat tertentu yang
berkaitan dengan Efek.
Hak dan/atau penerimaan manfaat tersebut
dapat diperoleh baik langsung maupun tidak
langsung melalui perjanjian, atau melalui
hubungan atau cara apapun.

Angka 13
Yang dimaksud dengan “pengendali” adalah
Pihak yang mempunyai kemampuan untuk
menentukan, baik langsung maupun tidak

291
langsung, dengan cara apa pun pengelolaan
dan/atau kebijakan perusahaan.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
OJK menggunakan kewenangan ini antara
lain untuk mencegah Pihak tertentu yang
melakukan tindakan tercela menjadi
pengendali pada Pihak yang memperoleh
izin, persetujuan, atau pendaftaran dari OJK
untuk menjaga integritas pasar. Kriteria
larangan Pihak tertentu dalam ketentuan ini
diatur lebih lanjut dalam Peraturan OJK.
Angka 16
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5A
Ayat (1)
Tata kelola perusahaan yang baik antara lain
mencakup:
a. pelaksanaan kerangka tata kelola perusahaan yang
efektif;
b. persamaan hak dan perlakuan pengendali dan
pemegang saham Perusahaan, nasabah
kelembagaan, dan lembaga intermediasi lainnya;
c. peran pemegang saham dalam tata kelola
perusahaan;
d. keterbukaan dan transparansi; dan
e. pertanggungjawaban direksi dan dewan komisaris.
Ayat (2)
OJK dapat menggunakan peraturan perundang-
undangan yang bukan merupakan peraturan
perundang-undangan misalnya Undang-Undang
mengenai Perseroan Terbatas, Undang-Undang
mengenai Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, dan/atau peraturan
perundang-undangan lainnya yang bersifat umum
dalam memastikan kepatuhan tata kelola pelaku di
bidang pasar modal sebagai acuan dalam melakukan
tindakan pengawasan dan penegakan hukum.
Yang dimaksud dengan “penegakan hukum” adalah
pengenaan sanksi administratif oleh OJK sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5B
Ayat (1)
Kegiatan yang dilakukan oleh anggota direksi,
anggota dewan komisaris, pemegang saham utama,
pemegang saham pengendali, karyawan, dan Pihak
lain yang bekerja untuk Pihak sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5A adalah kegiatan yang untuk
dan atas nama Pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 5C

292
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan/atau
anggota dewan komisaris termasuk jika anggota
direksi dan/atau anggota dewan komisaris
tersebut tidak mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.

Pasal 5D
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Penyelenggara Pasar di luar
Bursa Efek” adalah Pihak yang menyelenggarakan
dan menyediakan untuk mempertemukan
Transaksi Efek antar pengguna jasa secara terus
menerus di luar Bursa Efek.
Penyelenggaraan dan penyediaan sistem tersebut
dapat dilakukan secara elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Secara kelembagaan, Penyelenggara Pasar yang
pada awalnya menjalankan kegiatan di Pasar Modal
dimaksud mendapat izin dari OJK tanpa
menghilangkan kewajiban pemenuhan persyaratan
dari otoritas terkait yang melaksanakan
pengawasan kegiatan di luar Pasar Modal.

Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “persyaratan dan tata cara
perizinan” antara lain:
a. izin usaha;
b. ketentuan yang wajib diatur dalam anggaran
dasar;
c. kepengurusan; dan
d. permodalan.

Angka 4
Pasal 8A
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Ketentuan yang akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah diantaranya mengenai
kriteria pemegang saham dan batasan
kepemilikan saham.

Angka 5

293
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "persyaratan dan tata
cara perizinan” antara lain:
a. izin usaha;
b. ketentuan yang wajib diatur dalam anggaran
dasar;
c. kepengurusan; dan
d. permodalan.

Angka 6
Pasal 14
Ayat (1)
Kegiatan kliring pada dasarnya merupakan suatu
proses yang digunakan untuk menetapkan hak
dan kewajiban para Anggota Bursa Efek atas
transaksi yang mereka lakukan sehingga mereka
mengetahui hak dan kewajiban masing-masing.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 24
Ayat (1)
Pada dasarnya, Reksa Dana dapat menerima
dan/atau memberikan pinjaman. Namun, dalam
kondisi tertentu, otoritas dapat dimungkinkan
untuk memberlakukan larangan bagi Reksa Dana
menerima dan/atau memberikan pinjaman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal-hal yang berkaitan dengan pembatasan
investasi, antara lain mengenai:
a. jumlah investasi dalam satu jenis Efek;
b. batasan dalam investasi pada Efek di luar
negeri; dan
c. jenis-jenis instrumen yang dilarang dibeli oleh
Reksa Dana.

Angka 8
Cukup jelas.

Angka 9
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B

Ayat (1)

294
Pembelian kembali Unit Penyertaan produk
investasi kolektif selain Reksa Dana dilakukan
oleh Manajer Investasi dan dibebankan kepada
rekening produk investasi kolektif selain Reksa
Dana. Dana yang dipergunakan untuk membeli
kembali Unit Penyertaan yang dilakukan oleh
Manajer Investasi berasal dari kekayaan
produk investasi kolektif selain Reksa Dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sebagian besar”
adalah sejumlah nilai tertentu yang dapat
mempengaruhi secara material
perhitungan nilai portofolio dan nilai aset
bersih per Unit Penyertaan produk
investasi kolektif selain Reksa Dana.
Perhitungan nilai portofolio dan aset
bersih per Unit Penyertaan berdasarkan
harga Efek di Bursa Efek yang portofolio
produk investasi kolektif selain Reksa
Dana diperdagangkan. Apabila Bursa Efek
tersebut ditutup, tidak ada harga bagi Efek
yang menjadi dasar perhitungan nilai
portofolio dan nilai aset bersih per Unit
Penyertaan dari produk investasi kolektif
selain Reksa Dana.
Huruf b
Apabila suatu Efek yang menjadi bagian
portofolio produk investasi kolektif selain
Reksa Dana dihentikan perdagangannya
di Bursa Efek, tidak ada harga bagi Efek
tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keadaan darurat”
adalah suatu keadaan memaksa di luar
kemampuan Pihak sebagai akibat, antara
lain, adanya perang, peristiwa alam seperti
gempa bumi atau banjir, pemogokan,
sabotase atau huru-hara, terjadinya
penjualan kembali (redemption) saham
atau Unit Penyertaan produk investasi
kolektif selain Reksa Dana sedemikian
besar dan material sifatnya yang terjadi
secara mendadak (crash), dihentikannya
perdagangan Efek atas sebagian besar
Portofolio Efek produk investasi kolektif
selain Reksa Dana di Bursa Efek, atau
ditutupnya Bursa Efek dimana sebagian
besar Portofolio Efek produk investasi
kolektif selain Reksa Dana
diperdagangkan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

295
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi perkembangan Pasar
Modal yang memungkinkan adanya situasi
di luar huruf a, huruf b, dan huruf c yang
lazimnya diatur berdasarkan kontrak para
Pihak berdasarkan prinsip kebebasan
berkontrak sebagaimana diatur dalam
Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Oleh karena itu, apabila ada hal
lain di luar huruf a, huruf b, dan huruf c
tersebut, perlu persetujuan terlebih
dahulu dari OJK sebelum kontrak berlaku
dan mengikat para Pihak.
Persetujuan OJK dapat merupakan bagian
dari pernyataan efektif Pernyataan
Pendaftaran produk investasi kolektif
selain Reksa Dana, surat pencatatan
produk investasi kolektif selain Reksa
Dana atau persetujuan OJK terhadap
perubahan Kontrak Investasi Kolektif.
Angka 10
Cukup jelas.

Angka 11
Pasal 30
Ayat (1)
Untuk melaksanakan kegiatan sebagai Perusahaan
Efek diperlukan berbagai persyaratan diantaranya
keahlian dan permodalan yang cukup.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan
dalam Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
Manajer Investasi dengan kegiatan Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek maka
Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Manajer
Investasi tidak dapat melakukan kegiatan sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang
Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Oleh karena kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh
Pihak yang telah mendapatkan izin usaha dari OJK,
dan juga karena ada kemungkinan Efek baru yang
diperdagangkan dalam kegiatan tersebut belum ada
lembaga yang mengatur dan mengawasinya, OJK
dapat melaksanakan kewenangannya berdasarkan
Undang-Undang ini dan/atau peraturan
pelaksanaannya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “perubahan kegiatan usaha”
adalah perubahan kegiatan usaha yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak dapat dilakukan oleh Perusahaan
Efek.
Ayat (6)

296
Pengaturan tentang persyaratan dan tata cara
perizinan, persetujuan, atau pendaftaran termasuk
pengaturan tentang Perusahaan Efek yang didirikan
berdasarkan kekhususan karakteristik suatu
daerah.

Angka 12
Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 42A
Cukup jelas.

Pasal 42B
Cukup jelas.

Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Cukup jelas.

Angka 16
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penyelesaian pembukuan"
(book entry settlement) adalah pemenuhan hak dan
kewajiban yang timbul sebagai akibat adanya
transaksi Efek yang dilaksanakan dengan cara
mengurangi Efek dari rekening Efek yang satu dan
menambahkan Efek dimaksud pada rekening Efek
yang lain pada Kustodian, yang dalam hal ini dapat
dilakukan secara elektronik.
Peralihan hak atas Efek terjadi pada saat
penyerahan Efek atau pada waktu Efek dimaksud
dikurangkan dari rekening Efek yang satu dan
kemudian ditambahkan pada rekening Efek yang
lain.
Yang dimaksud dengan “penyelesaian fisik” adalah
penyelesaian transaksi Efek yang dilakukan
langsung oleh setiap Pihak yang melakukan
transaksi, berdasarkan serah terima fisik warkat
Efek.
Yang dimaksud dengan “cara lain” antara lain:
a. penyelesaian transaksi Efek secara langsung pada
daftar pemegang Efek tanpa melalui rekening Efek
pada Kustodian;
b. penyelesaian transaksi Efek secara internasional
atau melalui negara lain;
c. penyelesaian transaksi Efek secara elektronik
atau cara lain yang mungkin ditemukan dan
diterapkan di masa datang sesuai dengan
perkembangan teknologi; dan
d. penyelesaian transaksi Efek lain yang wajib
dilaksanakan apabila terdapat peraturan
perundang-undangan baru.
Ayat (2)

297
Dalam Peraturan OJK dapat ditetapkan jenis
transaksi Efek yang wajib dijamin oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan dan transaksi Efek yang
dapat dijamin oleh Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Angka 17
Pasal 55A
Cukup jelas.

Angka 18
Pasal 61
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
pemegang rekening sewaktu-waktu dapat
meminjamkan atau menjaminkan Efek yang tercatat
dalam rekening Efek tanpa mengeluarkan Efek tersebut
dari Penitipan Kolektif.
Hal ini diperlukan agar peminjaman atau penjaminan
Efek itu terlaksana dengan aman dan efisien.
Peminjaman atau penjaminan Efek dilakukan dengan
pemberitahuan secara tertulis oleh pemegang rekening
kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau
Bank Kustodian yang menerangkan jumlah, jenis Efek
yang dipinjamkan atau dijaminkan, Pihak yang
menerima pinjaman atau penjaminan, dan persyaratan
peminjaman atau penjaminan.

Angka 19
Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “akuntan” adalah
Akuntan yang telah memperoleh izin dari pihak
yang berwenang dan terdaftar di OJK.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “konsultan hukum”
adalah ahli hukum yang memberikan pendapat
hukum kepada Pihak lain dan terdaftar di OJK.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penilai” adalah Pihak
yang memberikan penilaian atas properti
dan/atau penilaian usaha dan terdaftar di OJK.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “notaris” adalah
pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik dan terdaftar di OJK.

298
Huruf e
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menampung kemungkinan diperlukannya jasa
profesi lain untuk memberikan pendapat atau
penilaian sesuai dengan perkembangan Pasar
Modal di masa mendatang dan terdaftar di OJK.
Yang dimaksud dengan “profesi lain” antara
lain:
a. penyedia jasa penyiapan dokumen
Pernyataan Pendaftaran;
b. pihak yang melakukan analisis dan
memberikan pendapat atas:
c. kelayakan aksi korporasi;
d. potensi pertambangan;
e. transaksi; atau
f. kesesuaian dengan prinsip keuangan
berkelanjutan.

Ayat (2)
Pendapat dan/atau penilaian Profesi Penunjang
Pasar Modal sangat penting bagi pemodal dalam
mengambil keputusan investasinya maka kegiatan
profesi tersebut di Pasar Modal perlu diawasi dengan
mewajibkannya mendaftar di OJK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan antara lain untuk
mendorong penyediaan akses keuangan di daerah
khususnya untuk pelaku usaha mikro kecil
menengah.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 20
Pasal 66
Ayat (1)
Kode etik dan standar profesi merupakan suatu
standar pemenuhan kualitas minimal jasa yang
diberikan kepada pengguna jasanya, dan
merupakan suatu kewajiban bagi setiap profesi
penunjang Pasar Modal untuk menaatinya. Namun,
dalam hal kode etik dan standar profesi dimaksud
bertentangan dengan Undang-Undang ini dan
peraturan pelaksanaannya, profesi penunjang Pasar
Modal harus mengikuti ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini dan/atau peraturan
pelaksanaannya. Hal ini penting untuk melindungi
kepentingan para pemodal.
Standar profesi antara lain meliputi standar
profesional akuntan publik, standar profesi
himpunan konsultan hukum Pasar Modal, standar
penilaian Indonesia, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan profesi
notaris.
Ayat (2)

299
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 21
Cukup jelas.

Angka 22
Cukup jelas.

Angka 23
Pasal 69A
Ayat (1)
Pengaturan khusus mengenai penghimpunan
dana masyarakat dengan menggunakan jasa
penyelenggara sistem elektronik (securities
crowdfunding) bertujuan untuk mengecualikan
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
mengenai perseroan terbatas, mengingat
kewenangan OJK untuk mengecualikan
ketentuan dalam Undang-Undang mengenai
perseroan terbatas adalah dalam hal
perusahaan tersebut berbentuk perusahaan
terbuka, sedangkan usaha mikro, kecil, dan
menengah umumnya berbentuk perusahaan
tertutup.
Pengaturan ini dilandasi oleh kebutuhan untuk
lebih mempermudah proses penawaran umum
Efek bagi usaha mikro, kecil, dan menengah
misalnya terkait dengan persyaratan kewajiban
setiap pemindahkan hak atas saham yang
diwajibkan menggunakan akta, persyaratan
pengurus minimum bagi perusahaan yang akan
menghimpun dana dari masyarakat, dan
kewajiban penyelenggaraan rapat umum
pemegang saham di tempat kedudukan
perusahaan tersebut atau tempat kegiatannya
yang diatur dalam Undang-Undang mengenai
perseroan terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)

300
Cukup jelas.

Pasal 69B
Ayat (1)
Karakteristik tertentu perusahaan berinovasi
tinggi dengan pertumbuhan cepat antara lain
dapat diukur dari pertumbuhan aset,
pendapatan, pengguna jasa, atau nilai usaha
luar biasa yang dicapai dalam waktu relatif
singkat, atau lazim disebut sebagai hypergrowth.
Selain ukuran tersebut di atas, karakteristik
tertentu tersebut dapat juga didasarkan pada
bidang usaha tertentu yang menjadi prioritas
pengembangan oleh Pemerintah untuk
menciptakan kegiatan ekonomi baru, misalnya
kegiatan ekonomi berbasis teknologi informasi.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “klasifikasi saham”
antara lain klasifikasi saham yang
didasarkan pada perbedaan hak suara,
termasuk persyaratan pemegang saham,
peralihan saham, dan kondisi tertentu hak
suara dapat digunakan dengan tetap
memperhatikan kepentingan hak pemegang
saham publik.
Pada dasarnya setiap saham dapat
mempunyai lebih dari satu hak suara atas
saham sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang mengenai perseoran terbatas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penambahan
modal” antara lain penambahan modal yang
dilaksanakan baik secara langsung
maupun melalui perusahaan yang didirikan
khusus untuk melakukan penghimpunan
dana dalam rangka penambahan modal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi tertentu”
antara lain pelaksanaan transaksi yang
dilaksanakan dengan prosedur khusus
yang berbeda dengan prosedur transaksi
bagi perusahaan yang tidak memiliki
karekteristik khusus.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pencatatan Efek”
antara lain untuk memberikan dasar bagi
Bursa Efek untuk membuat peraturan
pencatatan dengan persyaratan yang
khusus, termasuk jika diperlukan bentuk
papan perdagangan khusus.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 69C
Cukup jelas.

301
Angka 24
Pasal 70
Ayat (1)
Kegiatan Penawaran Umum merupakan salah
satu cara untuk menghimpun dana masyarakat.
Untuk itu, kepentingan masyarakat yang akan
menanamkan dananya pada Efek perlu
mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu,
setiap Pihak yang bermaksud menghimpun dana
melalui Penawaran Umum diwajibkan terlebih
dahulu menyampaikan Pernyataan Pendaftaran
kepada OJK dan Penawaran Umum tersebut
baru dapat dilakukan setelah Pernyataan
Pendaftaran dimaksud efektif.
Penawaran Umum meliputi penawaran Efek oleh
Emiten yang dilakukan dalam wilayah Republik
Indonesia atau kepada warga negara Indonesia
dengan menggunakan media massa atau
ditawarkan kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak
atau telah dijual kepada lebih dari 50 (lima
puluh) Pihak dalam batas nilai serta batas waktu
tertentu.
Yang dimaksud dengan media massa adalah
surat kabar, majalah, film, televisi, radio, dan
media elektronik lainnya, serta surat, brosur dan
barang cetak lain yang dibagikan kepada lebih
dari 100 (seratus) Pihak.
Penawaran Efek di wilayah Republik Indonesia
meliputi penawaran Efek yang dilakukan oleh
Emiten dalam negeri atau asing, baik kepada
pemodal Indonesia maupun asing, yang
dilakukan di wilayah Republik Indonesia melalui
pemenuhan Prinsip Keterbukaan.
Ketentuan Penawaran Umum berlaku juga bagi
Emiten dalam negeri yang melakukan
Penawaran Umum di luar negeri kepada warga
negara Indonesia. Hal ini diperlukan dalam
rangka melindungi warga negara Indonesia yang
melakukan investasi dalam Efek yang
ditawarkan oleh Pihak tersebut di luar wilayah
Republik Indonesia.
Penawaran Efek kepada lebih dari 100 (seratus)
Pihak tersebut tidak dikaitkan dengan apakah
penawaran tersebut diikuti dengan pembelian
Efek atau tidak. Sedangkan penjualan Efek
kepada lebih dari 50 (lima puluh) Pihak tersebut
lebih ditekankan kepada realisasi penjualan
Efek dimaksud tanpa memperhatikan apakah
penjualan tersebut dilakukan melalui
penawaran atau tidak.
Yang dimaksud dengan telah dijual dan
penjualan Efek kepada lebih dari 50 (lima puluh)
Pihak diatas termasuk pula perjanjian jual beli
Efek yang pembayaran dan penyerahan Efeknya
dilakukan pada masa yang akan datang yang
telah disepakati.

302
Jumlah 100 (seratus) Pihak dalam penawaran
Efek dan 50 (lima puluh) Pihak dalam penjualan
Efek sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan
Pasar Modal. Perubahan tersebut ditetapkan
lebih lanjut oleh OJK.

Ayat (2)
Huruf a
Pengecualian pelaksanaan ketentuan ini
diperlukan mengingat pengaturan dan
pengawasan Efek dimaksud dilaksanakan
oleh instansi lain.
Huruf b
Pengecualian untuk penawaran Efek yang
diterbitkan dan/atau dijamin oleh
Pemerintah Indonesia dalam ketentuan ini
diperlukan mengingat Pemerintah sebagai
Pihak yang menerbitkan atau menjamin
Efek dimaksud memiliki kemampuan
untuk memenuhi segala kewajiban dalam
penerbitan Efek tersebut.
Huruf c
Efek atau surat berharga yang secara
khusus diatur dalam Undang-Undang
antara lain sertifikat deposito yang diatur
dengan Undang-Undang mengenai
perbankan, resi gudang yang diatur
dengan Undang-Undang mengenai sistem
resi gudang, dan polis asuransi yang
diatur dengan Undang-Undang mengenai
perasuransian.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penawaran Efek
lain” adalah penawaran Efek baik untuk
Efek yang telah ada dan telah dikenal pada
saat Undang-Undang ini ditetapkan
maupun untuk jenis Efek baru yang akan
ada kemudian serta jenis penawaran
tertentu atas Efek yang sudah ada dan
dimaksudkan untuk mengantisipasi
kemungkinan adanya penerbitan Efek
yang perlu dikecualikan dari kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Angka 25
Pasal 74
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Emiten
memperoleh kepastian bahwa dalam hal
Pernyataan Pendaftaran yang disampaikannya
kepada OJK telah lengkap dan memenuhi
persyaratan dan prosedur yang ditetapkan,
apabila OJK tidak melakukan sesuatu,
Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif

303
dengan sendirinya pada hari ke-20 (kedua
puluh).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
OJK dapat meminta perubahan dan atau
tambahan informasi kepada Emiten atau
Perusahaan Publik yang bersangkutan.
Pernyataan Pendaftaran baru dapat dinyatakan
efektif apabila:
a. perubahan dan atau tambahan informasi yang
diminta oleh OJK telah dipenuhi; dan
b. perubahan dan atau tambahan informasi
dimaksud telah memenuhi persyaratan.

Ayat (6)
Terdapat kemungkinan bahwa Pernyataan
Pendaftaran yang disampaikan kepada OJK
belum lengkap dan belum memenuhi
persyaratan sehingga efektifnya Pernyataan
Pendaftaran akan melebihi jangka waktu 20 (dua
puluh) hari kerja.
Perkembangan kondisi perekonomian yang
bergerak cepat membutuhkan kecepatan proses
penawaran umum. Untuk itu, proses pemberian
pernyataan efektif atas kegiatan Pernyataan
Pendaftaran perlu penyesuaian seiring waktu
sesuai kebutuhan sebagai dukungan agar pasar
modal Indonesia lebih kompetitif.

Angka 26
Pasal 82
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak memesan Efek
terlebih dahulu” adalah hak yang melekat pada
saham yang memberikan kesempatan bagi
pemegang saham yang bersangkutan untuk
membeli Efek baru sebelum ditawarkan kepada
Pihak lain.
Ayat (2)
Untuk melindungi kepentingan pemegang saham
independen yang umumnya merupakan
pemegang saham minoritas dari kemungkinan
adanya penetapan harga yang tidak wajar atas
transaksi yang dilakukan oleh Emiten disebabkan
oleh adanya benturan kepentingan antara pribadi
direktur, komisaris, atau pemegang saham
utama, OJK dapat mewajibkan Emiten untuk
terlebih dahulu memperoleh persetujuan
mayoritas dari pemegang saham independen.
Ayat (3)

304
Yang dimaksud dengan “transaksi material”
adalah setiap transaksi antara lain:
a. penyertaan dalam badan usaha, proyek,
dan/atau kegiatan usaha tertentu;
b. pembelian, penjualan, pengalihan, tukar
menukar aset atau segmen usaha;
c. sewa menyewa aset;
d. pinjam meminjam dana;
e. menjaminkan aset; dan/atau
f. memberikan jaminan perusahaan,
dengan nilai tertentu yang ditetapkan oleh OJK
sebagai nilai material.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
penerbitan hak memesan Efek terlebih dahulu,
transaksi yang mempunyai benturan
kepentingan, serta transaksi material dan/atau
perubahan kegiatan usaha utama yang diatur
dalam peraturan OJK, antara lain memuat:
a. bentuk dan isi Pernyataan Pendaftaran dalam
rangka penerbitan hak memesan Efek terlebih
dahulu;
b. dokumen yang wajib disampaikan dalam
Pernyataan Pendaftaran;
c. bentuk dan isi Prospektus dalam rangka
penerbitan hak memesan Efek terlebih dahulu;
d. informasi yang wajib disampaikan kepada
pemegang saham dalam rangka transaksi yang
mempunyai benturan kepentingan, transaksi
material, dan/atau perubahan kegiatan usaha
utama; dan
e. tata cara pelaksanaan penentuan kuorum dan
suara dalam rapat umum pemegang saham
untuk memperoleh persetujuan pemegang
saham.
Angka 27
Pasal 84A
Ayat (1)
Perusahaan Terbuka dapat dibatalkan
pencatatan Efeknya oleh Bursa Efek antara lain
apabila terdapat tindakan pemegang saham
pengendali Perusahaan Terbuka yang
mengakibatkan keberlangsungan usaha (going
concern) Perusahaan Terbuka terganggu.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 28
Pasal 86
Ayat (1)
Oleh karena informasi mengenai Emiten atau
Perusahaan Publik mempunyai peranan yang
penting bagi pemodal, selain untuk efektivitas
pengawasan oleh OJK, kewajiban untuk

305
menyampaikan dan mengumumkan laporan
bagi Emiten atau Perusahaan Publik
dimaksudkan juga agar informasi mengenai
jalannya usaha perusahaan tersebut selalu
tersedia bagi masyarakat.
Huruf a
Laporan secara berkala tentang kegiatan
usaha dan keadaan keuangan Emiten atau
Perusahaan Publik diperlukan oleh
pemodal sebagai dasar pengambilan
keputusan investasi atas Efek. Oleh
karena itu, Emiten atau Perusahaan
Publik wajib menyampaikan laporan
berkala untuk setiap akhir periode
tertentu kepada OJK dan laporan tersebut
terbuka untuk umum.
Huruf b
Selain tambahan dari laporan berkala,
apabila terjadi peristiwa yang sifatnya
material, Emiten atau Perusahaan Publik
wajib menyampaikan laporan kepada OJK
dan mengumumkannya kepada
masyarakat sesegera mungkin setelah
terjadinya peristiwa yang sifatnya material
tersebut.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan
kewenangan kepada OJK untuk menetapkan
persyaratan tertentu bagi Emiten atau
Perusahaan Publik yang Pernyataan
Pendaftarannya telah menjadi efektif tidak
diwajibkan menyampaikan laporan. Persyaratan
dimaksud, antara lain berupa penentuan
maksimal jumlah pemegang saham dan modal
disetor Perusahaan Publik yang tidak diwajibkan
untuk menyampaikan laporan. Ketentuan ini
tidak berarti bahwa Perusahaan Publik yang
Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif
tidak wajib menyampaikan laporan meskipun
tidak memenuhi persyaratan sebagai
Perusahaan Publik.
Ayat (3)
Perkembangan pasar yang dinamis
membutuhkan informasi lebih cepat dari praktik
penyampaian informasi saat ini yang
menetapkan jangka waktu paling lambat akhir
hari kerja ke-2 (kedua).
OJK menentukan jangka waktu “sesegera
mungkin” berdasarkan perkembangan dan
kebutuhan pasar yang bergerak semakin cepat
dan membutuhkan informasi lebih cepat.

Angka 29
Pasal 87
Ayat (1)

306
Direktur atau komisaris Emiten atau
Perusahaan Publik wajib mengungkapkan
perubahan kepemilikan efeknya karena
kedudukannya yang penting.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Jangka waktu pelaporan kepemilikan atau
perubahan kepemilikan dihitung sejak
terjadinya transaksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 30
Cukup jelas.

Angka 31
Pasal 89A
Ayat (1)
Kondisi kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usaha tidak hanya diukur dari
keadaan keuangan Penyelenggara Pasar di Pasar
Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian namun juga mempertimbangkan
faktor non-keuangan.
Huruf a
Penambahan modal dilakukan dengan
perubahan nilai nominal saham tanpa
penerbitan saham baru.
Huruf b
Tugas pengelola statuter adalah
pengelolaan atau pengurusan
Penyelenggara Pasar di Pasar Modal,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian termasuk
penyelenggaraan rapat umum pemegang
saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 89B
Ayat (1)

307
Kondisi kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usaha tidak hanya diukur dari
keadaan keuangan Perusahaan Efek namun
juga mempertimbangkan faktor non-keuangan.
Yang mencakup faktor non-keuangan antara
lain pada faktor risiko operasional misalnya
terjadi serangan siber, faktor risiko reputasi
yang timbul akibat gugatan hukum pada
manajemen yang memegang peranan kritikal
pada perusahaan yang dampaknya
mempengaruhi keberlangsungan usaha
perusahaan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tugas pengelola statuter adalah
pengelolaan atau pengurusan
Perusahaan Efek termasuk
penyelenggaraan rapat umum pemegang
saham.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 89C
Ayat (1)
Pembubaran dan likuidasi dilakukan
berdasarkan keputusan rapat umum pemegang
saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau
Perusahaan Efek tersebut, atau berdasarkan
penetapan Pengadilan atas permohonan OJK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 90
Yang dimaksud dengan “kegiatan perdagangan Efek”
adalah kegiatan yang meliputi kegiatan penawaran,
pembelian, dan/atau penjualan Efek yang terjadi
dalam rangka Penawaran Umum, terjadi di Bursa
Efek, atau terjadi di Penyelenggara Pasar di luar
Bursa Efek yang menjalankan kegiatan di Pasar
Modal, maupun kegiatan penawaran, pembelian dan
atau penjualan Efek di luar Bursa Efek.
Yang termasuk dalam “kegiatan pengelolaan
investasi” adalah pengelolaan Portofolio Efek untuk

308
nasabah individual atau pengelolaan portofolio
investasi kolektif untuk sekelompok nasabah yang
dilakukan oleh Pengelola Investasi, antara lain pada
kegiatan penawaran jasa pengelolaan investasi.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Larangan ini dimaksudkan agar pernyataan
yang dibuat tidak menyesatkan mengenai
keadaan yang terjadi pada saat pernyataan
dibuat.
Angka 33
Pasal 91
Masyarakat pemodal sangat memerlukan informasi
mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau
harga Efek yang tercermin dari kekuatan penawaran
jual dan penawaran beli Efek sebagai dasar untuk
mengambil keputusan investasi dalam Efek.
Ketentuan ini melarang adanya tindakan yang dapat
menciptakan gambaran semu mengenai kegiatan
perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek.
Kegiatan tersebut dapat terjadi di luar Bursa Efek
misalnya pada Penyelenggara Pasar di luar Bursa
Efek yang menjalankan kegiatan di Pasar Modal.

Angka 34
Pasal 92
Ketentuan ini melarang dilakukannya serangkaian
transaksi Efek oleh satu Pihak atau beberapa Pihak
yang bersekongkol sehingga menciptakan harga Efek
tetap, naik, atau turun yang semu.
Yang dimaksud dengan “harga Efek tetap, naik, atau
turun yang semu” antara lain harga Efek tetap, naik,
atau turun yang tidak didasarkan pada kekuatan
permintaan jual atau beli Efek yang sebenarnya
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
Pihak lain.
Dampak menciptakan harga Efek tetap, naik, atau
turun yang semu dapat mempengaruhi Pihak lain
untuk membeli, menjual, atau menahan Efek.
Angka 35
Pasal 93
Harga Efek yang terpengaruh oleh pernyataan atau
keterangan yang tidak benar atau menyesatkan dapat
berupa harga Efek di Bursa Efek dan/atau di luar
Bursa Efek, baik yang terorganisasi maupun yang
tidak terorganisasi.

Angka 36
Cukup jelas.

Angka 37
Pasal 100A
Ayat (1)

309
Pelanggaran yang terjadi di Pasar Modal sangat
beragam dilihat dari segi jenis, modus operandi,
atau kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Oleh karena itu, OJK diberikan wewenang untuk
mempertimbangkan konsekuensi dari
pelanggaran yang terjadi dan wewenang untuk
meneruskannya ke tahap penyidikan
berdasarkan pertimbangan dimaksud.
Pertimbangan untuk melanjutkan ke tahap
penyidikan atau tidak didasarkan pada
penerapan prinsip una via yang membuka
pemilihan antara sanksi pidana dan sanksi
administratif.
Prinsip ini merupakan perluasan dari prinsip ne
bis in idem. Penerapan prinsip una via atas
dugaan tindak pidana di bidang Pasar Modal
melalui pengenaan sanksi atau tindakan
administratif lainnya tidak hanya ditujukan
untuk menghukum pelanggar, tetapi juga untuk
memperbaiki tatanan hukum yang terganggu
akibat pelanggaran tersebut (restorative Justice).

Ayat (2)
Tidak semua pelanggaran terhadap Undang-
Undang ini harus dilanjutkan ke tahap
penyidikan karena hal tersebut justru dapat
menghambat kegiatan penawaran dan/atau
perdagangan Efek secara keseluruhan.
Apabila kerugian yang ditimbulkan
membahayakan sistem Pasar Modal atau
kepentingan pemodal dan/atau masyarakat,
atau apabila tidak tercapai penyelesaian atas
kerugian yang telah timbul, Otoritas Jasa
Keuangan dapat memulai tindakan penyidikan
dalam rangka penuntutan tindak pidana.
Tindakan untuk memulai penyidikan oleh
Penyidik di lingkungan OJK dilakukan setelah
memperoleh penetapan dari pimpinan OJK.
Ayat (3)
Penegakan hukum di bidang pasar modal
menekankan pada prinsip restorative justice
yang menitikberatkan pada upaya pemulihan
atau perbaikan kondisi akibat suatu
pelanggaran dengan tetap mengupayakan
terwujudnya efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Pasal 100B
Cukup jelas.
Pasal 100C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)

310
Ketentuan mengenai kerugian industri Pasar
Modal dan pelaksanaan penggunaan ganti rugi
yang diatur dalam Peraturan OJK antara lain
memuat:
a. kriteria mengenai kerugian industri Pasar
Modal;
b. penentuan pihak-pihak yang dirugikan;
c. obyek yang dirugikan;
d. mekanisme pembayaran ganti rugi; dan
e. biaya yang dikeluarkan dalam rangka
penetapan besarnya ganti rugi dan
pemanfaatannya.
Angka 38
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyidikan atas tindak
pidana di bidang Pasar Modal” adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang diperlukan
sehingga dapat membuat terang tentang tindak
pidana di bidang Pasar Modal yang terjadi,
menemukan tersangka, serta mengetahui
besarnya kerugian yang ditimbulkannya.
Penyidik OJK adalah pejabat atau pegawai
tertentu di lingkungan OJK yang diangkat oleh
Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum sebagai penyidik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 103
Cukup jelas.

Angka 40
Pasal 104
Cukup jelas.

Angka 41
Pasal 104A
Cukup jelas.

Angka 42
Pasal 105
Cukup jelas.

311
Angka 43
Pasal 106
Cukup jelas.

Angka 44
Pasal 106A
Cukup jelas.
Pasal 106B
Cukup jelas.
Pasal 106C
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pasar Uang” terdiri atas Pasar Uang
Rupiah, Pasar Uang Valuta Asing, dan Pasar Valuta Asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan
fatwa di bidang syariah adalah Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a

312
Yang dimaksud dengan “pelaku pasar” antara lain
lembaga jasa keuangan, korporasi, orang
perseorangan, dan non-residen.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga pendukung Pasar
Uang” antara lain Bank, Perusahaan Efek,
Perusahaan Pialang, dan Lembaga lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pedoman perilaku mencakup panduan berperilaku dan
bertindak bagi setiap pelaku pasar dalam bertransaksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Sekuritisasi dapat dilakukan terhadap aset lain, misalnya
kebutuhan sekuritisasi aset yang memenuhi prinsip
syariah, seperti sekuritisasi atas aset berwujud maupun
tidak berwujud atau jasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Prinsip penyelesaian transaksi Instrumen Keuangan
yang telah memenuhi persyaratan serta bersifat final
dan mengikat (final and binding settlement) merupakan
sebuah prinsip bahwa Instrumen Keuangan dan/atau
dana yang telah berpindah rekening Instrumen
Keuangan pada sarana penyelesaian transaksi dan
penyimpanan Instrumen Keuangan (Kustodian
Sentral), atau pihak lain bersifat final dan tidak dapat
ditarik kembali.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c

313
Mekanisme netting wajib dilaksanakan oleh para Pihak
yang bertransaksi atau Lembaga Kliring dan
Penjaminan meskipun terjadi pembekuan kegiatan
usaha, pencabutan izin usaha, atau keputusan
pernyataan pailit terhadap Pihak yang bertransaksi.
Dengan demikian, seluruh transaksi Instrumen
Keuangan oleh para pihak yang dikenai pembekuan
kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, atau
keputusan pernyataan pailit tetap diperhitungkan
secara netting dan diselesaikan.
Ayat (2)
Waktu pengucapan putusan pernyataan pailit adalah jam,
menit, dan detik pada tanggal pengucapan putusan
pernyataan pailit yang menurut waktu yang berlaku pada
Pengadilan Niaga setempat.
Yang dimaksud dengan “seolah-olah tidak terjadi kepailitan”
adalah debitur masih memiliki kekuasaan atas harta pailit.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Transaksi Instrumen Keuangan yang
telah memenuhi persyaratan” adalah Transaksi Instrumen
Keuangan yang dilaksanakan melalui sarana perdagangan di
pasar sekunder.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing antara lain
transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar serta
repurchase agreement instrumen keuangan tertentu.
Yang dimaksud dengan “pengakhiran transaksi keuangan
melalui perjumpaan utang (close-out netting)” adalah proses
pengakhiran awal (early termination), penghitungan nilai
(valuasi), dan perjumpaan utang atas seluruh Transaksi
Derivatif di pasar keuangan antara para pihak dalam 1 (satu)
perjanjian induk untuk menghasilkan 1 (satu) nilai (single
amount) yang dapat ditagihkan kepada salah satu pihak.
Pengakhiran dalam proses close-out netting hanya terjadi
pada transaksi, namun bukan pada perjanjian induk (master
agreement).
Ayat (3)
Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing antara lain
transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar serta
repurchase agreement.
Penyelesaian proses close-out netting adalah dengan
dihasilkannya 1 (satu) nilai (single amount) yang dapat
ditagihkan kepada pihak lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.

314
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perjanjian induk transaksi
keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan
pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang
(close-out netting)” antara lain perjanjian induk transaksi
repurchase agreement dan perjanjian induk transaksi
derivatif di pasar keuangan.
Yang dimaksud dengan “pasar keuangan” antara lain pasar
uang, pasar valuta asing, dan pasar modal.
Perjumpaan utang terjadi dalam proses pengakhiran seluruh
transaksi keuangan antara kreditor dengan debitor karena
terjadinya close-out netting sebagai akibat salah satu pihak
yang diajukan kepailitan dengan menghitung nilai bersih
(netting) dari hak atau kewajiban para pihak.
Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan” termasuk
transaksi Efek di pasar modal yang penyelesaian
transaksinya dilakukan melalui mekanisme netting pada
lembaga kliring dan penjaminan.
Pelaksanaan close out netting transaksi keuangan dilakukan
menjamin kepastian hukum pelaksanaan transaksi
keuangan dan memastikan Indonesia sebagai netting
jurisdiction.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Ayat (1)
Kontrak pintar (smart contract) merupakan salah satu bentuk
dari kontrak elektronik sebagaimana diatur dalam undang-
undang mengenai informasi dan transaksi elektronik.
Kontrak pintar (smart contract) dapat berupa seperangkat
kesepakatan yang dispesifikasikan dalam bentuk digital
termasuk pada bentuk protokol komputer.
Sejalan dengan perkembangan teknologi saat ini,
dimungkinkan adanya kontrak antara lain pada transaksi
derivatif yang sifatnya standar yang didukung oleh teknologi
digital dan untuk beberapa term dapat berlaku otomatis guna
efisiensi serta bersifat mengikat, yang dilaksanakan dalam
suatu platform tertentu (antara lain Distributed Ledger
Technology/DLT). Penyusunan dan implementasi dari solusi
teknologi atas kontrak dimaksud harus konsisten dengan
standar pengaturan dan hukum yang berlaku. Penggunaan
smart derivative contracts dimaksudkan untuk mengurangi
kemungkinan adanya perbedaan antara pengertian dalam
hukum (legal meaning) dan kinerja operasional (operational
performance) dari kontrak dimaksud.
Ayat (2)

315
Smart contract dan/atau hasil cetaknya merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia.
Ayat (3)
Kesepakatan digunakan sebagai kerangka perjanjian yang
memuat bahasa natural (natural language) untuk melandasi
otomasi pelaksanaan hak dan kewajiban menggunakan
bahasa pemrograman (code) dalam smart contract.
Ayat (4)
Kewenangan pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor
keuangan sesuai dengan jenis aktivitas jasa keuangan yang
diawasinya.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Pasal 4
Huruf a
Jika suatu saat Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) mengalami defisit maka salah satu
sumber pembiayaannya adalah penerbitan Surat Utang
Negara. Pilihan atas Surat Utang Negara sebagai
sumber dari berbagai sumber pembiayaan lainnya
harus didasarkan atas perhitungan yang cermat yang
dapat meminimalkan biaya utang pada anggaran
negara.
Huruf b
Agar kegiatan dan/atau proyek yang telah ditetapkan
di dalam APBN tidak mengalami hambatan, penerbitan
Surat Utang Negara berjangka pendek (Surat
Perbendaharaan Negara) digunakan untuk menutup
kekurangan kas tersebut. Apabila penerimaan yang
direncanakan tersebut terealisasi, dananya digunakan
untuk menebus kembali Surat Perbendaharaan Negara
tersebut.
Huruf c
Manajemen portofolio utang negara bertujuan untuk
meminimalkan biaya bunga utang pada tingkat risiko
yang dapat ditoleransi. Untuk itu, portofolio utang
negara terutama portofolio Surat Utang Negara harus
dilakukan secara efisien berdasarkan praktik yang
berlaku umum di berbagai negara. Manajemen
portofolio meliputi penerbitan, pembelian kembali
sebelum jatuh tempo (buyback), dan pertukaran (bond
swap) sebagian Surat Utang Negara yang beredar.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45

316
Angka 1
Pasal 3A
Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “diperluas sesuai dengan
kebutuhan masyarakat” antara lain asuransi
pertanian dan asuransi bagi pelaku Usaha Mikro
Kecil dan Menengah.
Perluasan ruang lingkup usaha asuransi
menyertakan dampak dan risikonya kepada pihak
terkait termasuk pemegang polis.
Ayat (2)
Penjaminan kredit termasuk sektor riil,
pertanian, serta usaha mikro, kecil, dan
menengah.
Penjaminan kredit dan suretyship merupakan
kegiatan penjaminan yang melibatkan 3 (tiga)
pihak, yaitu penjamin, terjamin, dan pihak yang
menerima penjaminan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penjaminan
kredit/pembiayaan” adalah kegiatan
pemberian jaminan kredit/pembiayaan
oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban
finansial Terjamin kepada Penerima
Jaminan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “suretyship”
adalah suatu bentuk perjanjian 3 (tiga)
pihak di mana perusahaan surety
menjamin prinsipal yang akan
melaksanakan kewajiban atau suatu
prestasi kepada penerima manfaat sesuai
kontrak atau perjanjian antara prinsipal
dan penerima manfaat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 3
Pasal 5A
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 22

317
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 22A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 27
Ayat (1)
Kewajiban Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi,
dan Agen Asuransi terdaftar di OJK namun
pembinaan dan pengawasan atas kegiatan yang
dilakukan oleh individu Pialang Asuransi, Pialang
Reasuransi, dan Agen Asuransi menjadi tanggung
jawab Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Asuransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan OJK
antara lain sertifikasi dan pengawasan terhadap
Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen
Asuransi atau Perusahaan yang bergerak di
bidang Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi dan
Keagenan Asuransi di tempat para Pialang
Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi
ini bekerja/bernaung.
Angka 9
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pihak lain” antara lain
agen asuransi, bank, dan perusahaan non-bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Pihak lain” termasuk
agen asuransi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Cukup Jelas.

318
Angka 10
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “cepat” adalah proses
penanganan klaim dan keluhan dilakukan
dengan segera, dalam waktu sesingkat-
singkatnya, dan secara cekatan.
Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah
proses penanganan klaim dan keluhan bersifat
lugas dan tidak rumit.
Yang dimaksud dengan “mudah diakses” adalah
proses penanganan klaim dan keluhan
diselenggarakan di kantor perusahaan atau
tempat lain yang mudah dikunjungi, atau
diselenggarakan dengan memanfaatkan teknologi
yang memudahkan orang untuk menyampaikan
klaim atau keluhan dan mendapatkan tanggapan.
Yang dimaksud dengan “adil” adalah proses
penanganan klaim dan keluhan dilakukan
dengan berpegang kepada kebenaran, tidak
memihak, dan tidak sewenang-wenang.
Ayat (4)
Tindakan yang dapat memperlambat
penyelesaian atau pembayaran klaim antara lain:
a. memperpanjang proses penyelesaian klaim
dengan meminta penyerahan dokumen
tertentu, yang kemudian diikuti dengan
meminta penyerahan dokumen lain yang pada
dasarnya berisi hal yang sama;
b. menunda penyelesaian dan pembayaran klaim
karena menunggu penyelesaian dan/atau
pembayaran klaim reasuransinya;
c. tidak melakukan penyelesaian klaim yang
merupakan bagian dari penutupan asuransi
karena alasan adanya keterkaitan dengan
penyelesaian klaim yang merupakan bagian
lain dari penutupan asuransi dalam 1 (satu)
polis yang sama;
d. memperlambat penunjukan perusahaan
penilai kerugian asuransi, apabila jasa penilai
kerugian asuransi dibutuhkan dalam proses
penyelesaian klaim; dan
e. menerapkan prosedur penyelesaian klaim
yang tidak sesuai dengan praktik usaha
asuransi yang berlaku umum.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 35
Cukup jelas.

Angka 12

319
Pasal 43
Ayat (1)
Sejalan dengan ruang lingkup tugas OJK yang
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan
dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan, maka kewenangan pengajuan pailit
atau penundaan kewajiban pembayaran utang
terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah yang semula
dilakukan oleh Menteri berdasarkan Undang-
Undang mengenai kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang beralih menjadi
kewenangan OJK berdasarkan Undang-Undang
ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 50
Cukup jelas.

Angka 14
Pasal 51
Cukup jelas.

Angka 15
Pasal 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain yang berhak”
adalah pihak yang berhak atas manfaat asuransi
dan pihak yang terkait dengan perluasan usaha
asuransi.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dana tanahud adalah kumpulan dana yang
berasal dari kontribusi para pemegang polis atau
peserta anuitas program pensiun syariah, qardh
dari dana perusahaan, dan/atau dana tanahud
dari reasuransi atas produk anuitas program
pensiun syariah, beserta hasil investasinya, yang
penggunaannya sesuai dengan perjanjian anuitas
syariah untuk program pensiun atau perjanjian
reasuransi syariah atas anuitas syariah untuk
program pensiun.

Angka 16
Pasal 53
Cukup jelas.

320
Angka 17
Pasal 62A
Cukup jelas.

Angka 18
Pasal 64
Cukup jelas.

Angka 19
Pasal 71
Cukup jelas.

Angka 20
Pasal 75
Cukup jelas.

Angka 21
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan OJK
antara lain mengenai kewajiban membuat rencana
kerja dan kewajiban perusahaan
menginformasikan rencana pemisahan kepada
Pemegang Polis dan Peserta.

Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “anggota” adalah pemegang
polis pada Asuransi Usaha Bersama.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

321
Pasal 50
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Keanggotaan pemegang polis badan hukum, lembaga,
kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada
hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ketentuan ini diwakili oleh pengurus atau pihak yang
ditunjuk oleh pemegang polis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban menanggung kerugian bagi Anggota tidak
sampai ke harta pribadi Anggota.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perintah OJK untuk menyelenggarakan rapat umum
anggota luar biasa antara lain disebabkan adanya indikasi
yang membahayakan kelangsungan usaha dari Usaha
Bersama, pelanggaran serius terhadap peraturan
perundang- undangan di bidang perasuransian, atau
dalam hal Direksi Usaha Bersama dan Dewan Komisaris
Usaha Bersama tidak menyelenggarakan rapat umum
anggota tahunan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)

322
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Unsur akademisi dan profesional dalam anggota panitia
pemilihan harus memiliki komposisi yang berimbang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.

Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Ayat (1)

323
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah antara
lain kewajiban, hak, dan larangan bagi anggota direksi
Usaha Bersama dalam rangka pelaksanaan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Ayat (1)
Perubahan bentuk badan hukum dilakukan dengan
tujuan untuk memperbaiki kesehatan keuangan
perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

324
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “prinsip syariah” adalah prinsip
hukum Islam dalam kegiatan penjamin polis berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Prinsip syariah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia ditindaklanjuti oleh otoritas
terkait dalam bentuk peraturan.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup Jelas.

Pasal 73
Cukup Jelas.

Pasal 74
Cukup Jelas.

Pasal 75
Ayat (1)
Program Penjaminan Polis tidak menjamin unsur investasi
yang melekat pada produk asuransi.
Ayat (2)
Lini usaha asuransi tertentu yang berhubungan langsung
dengan pemegang polis, tertanggung atau peserta antara lain
asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri,
asuransi kebakaran, dan asuransi kendaraan bermotor.
Ayat (3)
Pembentukan dana jaminan dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas penggantian sebagian atau
seluruh hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta yang
polisnya tidak dijamin Program Penjaminan Polis, dalam hal
perusahaan dicabut ijin usahanya dan dilikuidasi.
Pembentukan Dana Jaminan merupakan bagian dari upaya
melindungi Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai dana jaminan meliputi
pengaturan jenis aset yang dapat digunakan sebagai dana
jaminan, jumlah dana jaminan minimum yang harus dimiliki

325
perusahaan, penyesuaian besar dana jaminan berdasarkan
volume usaha, tata cara pemindahan atau pencairan dana
jaminan, dan penatausahaannya.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Dengan Undang-Undang ini, selain melaksanakan tugas dan
fungsinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang sektor perbankan, LPS melaksanakan
program penjaminan polis. Untuk itu, diperlukan penyesuaian
kelembagaan dan pemisahan aset dan kewajiban sesuai dengan
program yang dijamin dan mandat yang diberikan.

Pasal 79
Cukup Jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain bank
dan perusahaan asuransi, dengan tetap memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Materi muatan dalam Peraturan Pemerintah antara lain:
a. penyesuaian organisasi dan kelembagaan LPS;
b. penyesuaian pengelolaan kekayaan, pembiayaan, dan
pengelolaan aset dan kewajiban dana program yang
diselenggarakan oleh LPS;
c. penyesuaian pengaturan rencana kerja, anggaran tahunan,
pelaporan, dan akuntabilitas LPS;
d. hubungan dengan lembaga lain; dan
e. kerahasiaan data.

Pasal 84
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

326
Huruf e
Yang dimaksud dengan “skema kegiatan Pembiayaan
lain” adalah skema Pembiayaan di luar skema
Pembiayaan yang telah ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “badan usaha yang
melakukan kegiatan Pembiayaan yang dijalankan
berdasarkan undang-undang tersendiri”, antara lain:
bank umum, bank umum syariah, bank perkreditan
rakyat, bank pembiayaan rakyat syariah, lembaga
pembiayaan ekspor Indonesia, lembaga keuangan
mikro, dan/atau koperasi simpan pinjam.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rapat umum pemegang saham”
adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan
terbatas.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali”
adalah adalah badan hukum, orang perseorangan,
dan/atau kelompok usaha yang memiliki saham atau yang
setara dengan saham penyelenggara usaha jasa
pembiayaan dan mempunyai kemampuan untuk
melakukan pengendalian atas penyelenggara usaha jasa
pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 89
Ayat (1)

327
Yang dimaksud dengan “sumber dana penyertaan”
adalah modal disetor sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perseroan terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bahwa Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan hanya
dapat melakukan kegiatan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70, sehingga tidak dimungkinkan
untuk mendapatkan izin usaha atas lebih dari 1 (satu)
aktivitas usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 91
Ayat (1)
Pembukaan kantor cabang penyelenggara usaha jasa
pembiayaan harus disampaikan terlebih dahulu dalam
rencana bisnis perusahaan pada setiap tahun yang
disampaikan kepada OJK. Selanjutnya pada saat realisasi
dilaporkan kembali kepada OJK.
Penyelenggara usaha jasa pembiayaan dapat melakukan
kegiatan usaha melalui jaringan operasional dan/atau
melalui jaringan teknologi informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Cukup jelas.

Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik disesuaikan
dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan
kompleksitas usaha penyelenggara usaha jasa
pembiayaan.

328
Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan lain” termasuk anggaran
dasar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Cukup jelas.

Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110
Cukup jelas.

Pasal 111
Cukup jelas.

Pasal 112
Cukup jelas.

Pasal 113

329
Cukup jelas.

Pasal 114
Cukup jelas.

Pasal 115
Cukup jelas.

Pasal 116
Cukup jelas.

Pasal 117
Cukup jelas.

Pasal 118
Cukup jelas.

Pasal 119
Cukup jelas.

Pasal 120
Cukup jelas.

Pasal 121
Cukup jelas.

Pasal 122
Cukup jelas.

Pasal 123
Cukup jelas.

Pasal 124
Cukup jelas.

Pasal 125
Cukup jelas.

Pasal 126
Cukup jelas.

Pasal 127
Cukup jelas.

Pasal 128
Cukup jelas.

Pasal 129
Cukup jelas.

Pasal 130
Cukup jelas.

Pasal 131
Program Pensiun yang dikecualikan antara lain Program Pensiun
pada Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Program Pensiun bagi

330
penyelenggara negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 132
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank umum, bank umum syariah, perusahaan asuransi
jiwa, perusahaan asuransi jiwa syariah, manajer investasi,
dan manajer investasi syariah terdaftar dan diawasi oleh
OJK.

Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Manfaat lain hanya bersifat tambahan/pelengkap dari
Program Pensiun.

Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sistem pendanaan” adalah
penyelenggaraan manfaat lain yang dilakukan dengan
pemupukan dana sehingga cukup untuk memenuhi
kebutuhan pembayaran manfaat lain dimaksud.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 134
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur pembentukan Dana Pensiun, yang
selanjutnya digunakan untuk permohonan pengesahan
Dana Pensiun sebagai badan hukum.
Huruf a
Agar Peraturan Dana Pensiun mengikat secara hukum
bagi Pendiri, Pendiri harus menyatakan keinginannya
tersebut secara tertulis sebagai bukti kesediaannya
untuk mendirikan Dana Pensiun.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d

331
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Dana Pensiun didirikan untuk lebih dari 1 (satu)
Pemberi Kerja, 1 (satu) Pemberi Kerja bertindak sebagai
Pendiri dan Pemberi Kerja lainnya bertindak sebagai mitra
Pendiri. Dana Pensiun Pemberi Kerja yang didirikan oleh
lebih dari 1 (satu) Pemberi Kerja didasarkan pada
pertimbangan praktis, efisiensi, atau alasan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 135
Cukup jelas.

Pasal 136
Cukup jelas.

Pasal 137
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “peserta” adalah setiap orang yang
memenuhi persyaratan Peraturan Dana Pensiun.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 138
Cukup jelas.

Pasal 139
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kompetensi dan pengalaman yang memadai dibuktikan
dengan antara lain latar belakang pendidikan, lamanya
bekerja, dan/atau sertifikasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)

332
Cukup jelas.

Pasal 140
Cukup jelas.

Pasal 141
Cukup jelas.

Pasal 142
Cukup jelas.

Pasal 143
Cukup jelas.

Pasal 144
Cukup jelas.

Pasal 145
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan agar OJK berdasarkan
pemberitahuan pengurus dapat mengambil tindakan yang
dipandang perlu untuk mencegah memburuknya keadaan
Dana Pensiun yang bersangkutan dalam rangka
melindungi kepentingan peserta.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah dampak
negatif yang terjadi pada Dana Pensiun sebagai akibat dari
keadaan yang terjadi pada Mitra Pendiri.

Pasal 146
Dimungkinkannya ada kelebihan aset dimaksudkan agar
terdapat faktor pengamanan terhadap penyimpangan hasil
investasi dari yang diharapkan sehingga Dana Pensiun tetap
dapat menjaga perimbangan antara aset dan kewajiban.
Selain itu, sesuai dengan prinsip bahwa tidak diperkenankan
adanya pembayaran kembali dari Dana Pensiun kepada pemberi
kerja maka jumlah di atas batas maksimum yang ditetapkan OJK
harus dibukukan sebagai iuran pemberi kerja.

Pasal 147
Cukup jelas.

Pasal 148
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a

333
Keterlambatan Pemberi Kerja untuk menyetor iuran
kepada Dana Pensiun akan mempengaruhi
kemampuan Dana Pensiun dalam memenuhi
kewajibannya. Oleh sebab itu, tidak dikehendaki
adanya keterlambatan penyetoran iuran. Pemberi
Kerja bertanggung jawab atas keterlambatan
tersebut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hak utama” adalah Dana
Pensiun mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada pihak lain dalam hal pembubaran Pemberi
Kerja, kecuali dalam kewajiban kepada negara dan
kepada tenaga kerja pada Pemberi Kerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 149
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “seluruh manfaat pensiun” adalah
manfaat pensiun jangka pendek dan jangka panjang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 150
Cukup jelas.

Pasal 151
Ayat (1)
Manfaat Pensiun diharapkan merupakan penghasilan bagi
Peserta pada masa pensiunnya. Agar maksud tersebut
dapat tercapai, Undang-Undang ini melarang penggunaan
hak pensiun sebagai jaminan atas pinjaman atau utang,
atau disita, yang dapat mengganggu kelancaran
penghasilan peserta dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 152
Ayat (1)
Rumus Manfaat Pensiun Program Pensiun Manfaat Pasti
pada umumnya dikaitkan dengan masa kerja, faktor
penghargaan, dan penghasilan dasar pensiun.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana awal pemberi kerja”
adalah dana yang telah dihimpun oleh Pemberi Kerja

334
baik yang dikelola oleh Pemberi Kerja sendiri maupun
oleh pihak lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 153
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Peserta yang memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga)
tahun dan berhenti bekerja berdasarkan ketentuan ini
memiliki hak sedikitnya sebesar atas iurannya sendiri serta
ditambah imbal hasil yang layak. Pemberian imbal hasil
dimaksudkan agar kepada Peserta yang berhenti tersebut
tidak hanya berhak atas akumulasi iurannya saja, tetapi
juga berhak atas hasil pengembangan dari iuran yang
pernah dibayar sebagaimana lazimnya bila seseorang
menabung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 154
Yang dimaksud dengan “dana awal pemberi kerja” adalah dana
yang telah dihimpun oleh Pemberi Kerja baik yang dikelola oleh
pemberi kerja sendiri maupun oleh pihak lain.

Pasal 155
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini memberikan pilihan bagi Peserta untuk
menentukan apa yang dapat dilakukan terhadap haknya
atas Pensiun Ditunda, bila ia berhenti bekerja. Adapun batas
30 (tiga puluh) hari dimaksudkan agar jelas status hak yang
timbul bagi Janda/Duda apabila Peserta meninggal dunia,
yaitu apakah hak atas Pensiun Ditunda atau hak atas
Manfaat Pensiun Janda/Duda.
Ayat (3)
Apabila pemberi kerja menanggung sebagian iuran program
pensiun dan sebagian iuran ditanggung oleh Peserta,
pengalihan kepesertaan dapat dilakukan dengan
memperhatikan pendapat dan saran dari Peserta.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 156
Cukup jelas.

335
Pasal 157
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan pembayaran Manfaat Pensiun
pada Peserta dapat dilakukan paling cepat 5 (lima) tahun
sebelum usia pensiun normal. Misalnya, apabila usia
pensiun normal suatu Dana Pensiun ditetapkan pada usia
55 (lima puluh lima) tahun dan seorang peserta berhenti
bekerja pada usia 43 (empat puluh tiga) tahun, Manfaat
Pensiun bagi peserta tersebut tidak dapat dibayarkan
sampai peserta tersebut mencapai usia 50 (lima puluh)
tahun.

Ayat (2)
Manfaat Pensiun dibayarkan secara berkala yang frekuensi
pembayarannya dapat disesuaikan dengan frekuensi
penggajian atau pembayaran upah karyawan pada Pemberi
Kerja. Misalnya, apabila gaji karyawan dibayarkan 13 (tiga
belas) kali dalam 1 (satu) tahun, frekuensi pembayaran
Manfaat Pensiun adalah 13 (tiga belas) kali dalam 1 (satu)
tahun.

Pasal 158
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dibayarkan secara berkala” adalah
dibayarkan langsung oleh Dana Pensiun secara bulanan
sesuai dengan Peraturan Dana Pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 159
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memudahkan
penatausahaan Manfaat Pensiun, mengimbangi kenaikan
tingkat biaya hidup, dan harmonisasi peraturan terkait
penggunaan Manfaat Pensiun untuk memenuhi kewajiban
pemberi kerja kepada peserta yang dikaitkan dengan masa
kerja dalam rangka memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Ketentuan ini memungkinkan pembayaran Manfaat
Pensiun yang pertama kali bagi pensiunan atau
janda/duda atau anak untuk memperoleh sejumlah uang
sampai paling banyak 20% (dua puluh persen) dari
Manfaat Pensiun, untuk keperluan masa transisi pada
awal pensiun.

Pasal 160
Cukup jelas.

Pasal 161
Salah satu contoh dana yang dikategorikan sebagai dana tidak
aktif, yaitu Manfaat Pensiun yang sampai dengan berakhirnya
jangka waktu 1 (satu) tahun belum dibayarkan oleh Dana
Pensiun karena disebabkan oleh:
a. peserta tidak diketahui keberadaannya; atau

336
b. peserta tidak memiliki pihak yang ditunjuk sebagai pihak
yang berhak atau memiliki namun tidak diketahui
keberadaannya.

Pasal 162
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “dana awal Pemberi Kerja”
adalah dana yang telah dihimpun oleh Pemberi Kerja
baik yang dikelola oleh Pemberi Kerja sendiri maupun
oleh pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 163
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “arahan investasi” adalah
kebijakan dan strategi investasi yang ditetapkan oleh
Pendiri atau Pendiri dan dewan pengawas, yang harus
dijadikan pedoman oleh pengurus dalam melaksanakan
investasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 164
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengelolaan portofolio
investasi” adalah melakukan transaksi di pasar uang
dan pasar modal antara lain repo/reverse repo dan
securities lending.

Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “pengendali Pendiri”
adalah pihak yang memiliki kontrol atas

337
kebijakan strategis Pendiri. Pengendali Pendiri
tidak termasuk Pemerintah Republik Indonesia
selaku penerbit surat berharga untuk
keperluan fiskal yang juga bertindak selaku
pengendali perusahaan milik negara.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “perusahaan anak”
adalah badan hukum atau perusahaan yang
dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Dana
Pensiun baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 165
Cukup jelas.

Pasal 166
Cukup jelas.

Pasal 167
Cukup jelas.

Pasal 168
Cukup jelas.

Pasal 169
Cukup jelas.

Pasal 170
Cukup jelas.

Pasal 171
Cukup jelas.

Pasal 172
Cukup jelas.

Pasal 173
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)

338
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini didasarkan bahwa pengurus, dewan
pengawas, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif
dianggap pihak yang paling mengetahui keadaan
keuangan dan operasional Dana Pensiun yang sedang
diambil alih kepengurusannya oleh pengelola statuter.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 174
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud “perintah tertulis” adalah perintah secara
tertulis untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan
kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau
mencegah dan mengurangi kerugian Dana Pensiun,
peserta, atau pihak yang berhak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 175
Cukup jelas.

Pasal 176
Cukup jelas.

Pasal 177
Informasi yang dimiliki OJK dapat berupa informasi yang
sifatnya rahasia, antara lain informasi yang terkait dengan
stabilitas perekonomian nasional dan informasi yang berkaitan
dengan kepentingan pelindungan usaha Dana Pensiun dari
persaingan usaha tidak sehat. Informasi rahasia tersebut dapat
diakses oleh pegawai OJK atau pihak yang ditunjuk dan/atau
diberi tugas oleh OJK.

Pasal 178
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan aktuaris diperlukan untuk mengetahui kondisi
kebutuhan pendanaan untuk keberlanjutan program.

339
Pasal 179
Ayat (1)
Pengumuman kondisi keuangan dan perhitungan hasil
usaha kepada peserta dimaksudkan agar peserta
mengetahui keadaan keuangan suatu Dana Pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan informasi mengenai perubahan
Peraturan Dana Pensiun antara lain terkait hal-hal yang
berdampak terhadap hak yang akan diterima Peserta.

Pasal 180
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Pendiri bubar” termasuk
apabila Pendiri dalam proses likuidasi.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “tidak dapat memenuhi
kewajibannya kepada peserta dan pihak yang
berhak” antara lain tidak dapat membayar
Manfaat Pensiun yang telah jatuh tempo.
Angka 2
Kondisi pada angka ini dapat terpenuhi apabila
misalnya Pemberi Kerja tidak membayar iuran
kepada Dana Pensiun dalam jangka waktu
tertentu sehingga kondisi keuangan Dana
Pensiun Pemberi Kerja memburuk yang
ditunjukkan antara lain dengan menurunnya
kualitas aset dan rasio pendanaan sehingga
Dana Pensiun Pemberi Kerja memiliki potensi
tidak mampu membayar Manfaat Pensiun
kepada peserta, pensiunan dan pihak lain yang
berhak di masa yang akan datang.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan oleh OJK merupakan persetujuan secara
administratif tentang pembubaran Dana Pensiun.
Pembubaran tersebut memerlukan tindak lanjut agar hal
yang berhubungan dengan masalah penyelesaian dapat
dilaksanakan melalui proses likuidasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penunjukkan pengurus didasarkan pada pertimbangan
bahwa Pengurus merupakan pihak yang paling
mengetahui tentang segala aspek yang perlu diselesaikan
melalui proses likuidasi.

340
Yang dimaksud dengan “likuidator Pendiri” adalah pihak-
pihak yang memiliki tugas melakukan likuidasi Pendiri,
antara lain: likuidator pada Pendiri yang berbadan hukum
perseroan terbatas dan tim penyelesai pada Pendiri yang
berbadan hukum koperasi.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain akuntan
publik atau aktuaris.
Ayat (5)
Dewan pengawas bertugas melakukan pengawasan
terhadap proses likuidasi Dana Pensiun.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 181
Cukup jelas.

Pasal 182
Cukup jelas.

Pasal 183
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran
asosiasi dalam mengatur para anggotanya (self
regulatory) dan melancarkan koordinasi dengan OJK.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 184
Cukup jelas.

Pasal 185
Angka 1
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 186
Cukup jelas.

Pasal 187
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pengelola Program Pensiun”
adalah seluruh pengelola program pensiun termasuk
Pengelola Program Pensiun Sosial seperti BPJS
Ketenagakerjaan, Program Program Pensiun Wajib
seperti PT Asabri dan PT Taspen, dan Dana Pensiun.
Kompetensi dan pengalaman yang memadai dibuktikan
dengan antara lain latar belakang pendidikan, lamanya
bekerja, dan/atau sertifikasi.
Ayat (2)

341
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “menyampaikan pengukuran
kinerja atas pengelolaan aset Program Pensiun” adalah
imbal hasil keseluruhan yang didapatkan baik karena
sudah menjual atau melepas aset investasi (realized)
maupun imbal hasil yang didapatkan dari kenaikan atau
penurunan nilai atas aset investasi yang belum dijual
atau dilepas (unrealized) beserta biaya terkait
pengelolaan aset.

Pasal 188
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengelola Program Pensiun yang
terkait dengan keuangan negara” antara lain BPJS
Ketenagakerjaan, PT Asabri, PT Taspen, dan Dana
Pensiun pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah.
Yang dimaksud dengan “cut loss” adalah menjual aset
investasi dengan nilai di bawah harga perolehan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 189
Cukup jelas.

Pasal 190
Cukup jelas.

Pasal 191
Cukup jelas.

Pasal 192
Angka 1
Pasal 44
Ayat (1)
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
undang yang mengatur tentang perbankan,
usaha simpan pinjam tersebut diatur secara
khusus dalam Undang-undang ini. Pengertian
anggota Koperasi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a ayat ini termasuk calon anggota
yang memenuhi syarat. Sedangkan ketentuan
dalam huruf b berlaku sepanjang dilandasi

342
dengan perjanjian kerja sama antarkoperasi
yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 44A
Cukup jelas.

Pasal 44B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kriteria tertentu”
antara lain nilai aset, jumlah anggota, dan
instrumen keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44C
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “koperasi yang sudah
berbadan hukum” adalah koperasi yang telah
memperoleh pengesahan akta pendirian dan
koperasi tersebut sudah melaksanakan
kegiatan usaha tetapi bukan kegiatan usaha
simpan pinjam.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 44D
Cukup jelas.

Pasal 44E
Cukup jelas.

Pasal 44F
Ayat (1)
Penghimpunan modal pinjaman oleh
Koperasi Simpan Pinjam dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam
anggaran dasar koperasi yang bersangkutan
dan ketentuan peraturan perundangan-
undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 44G
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip pemberian
pinjaman yang sehat” adalah pemberian
pinjaman yang didasarkan atas penilaian
kelayakan dan kemampuan permohonan
pinjaman.
Ayat (3)

343
Cukup jelas.

Pasal 44H
Cukup jelas.

Pasal 44I
Yang dimaksud dengan “pembinaan” adalah upaya
yang dilakukan dengan menetapkan peraturan
menyangkut aspek kelembagaan, kegiatan usaha,
pelaporan, dan aspek lain yang berhubungan dengan
kegiatan operasional Koperasi Simpan Pinjam.
Yang dimaksud dengan “pengawasan” meliputi
pengawasan tidak langsung yang terutama dalam
bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis,
dan evaluasi pelaporan Koperasi Simpan Pinjam, dan
pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan
dan dalam bentuk tindakan perbaikan.

Pasal 44J
Ayat (1)
Ketentuan tentang prinsip kesehatan dan
prinsip kehati-hatian yang ditetapkan oleh OJK
dimaksudkan untuk memberikan pedoman
bagi usaha simpan pinjam yang dilakukan oleh
koperasi dalam menjaga kesehatan usahanya.
Ketentuan tersebut terutama berkaitan dengan
aspek keuangan dan sistem pengelolaan usaha
simpan pinjam, dan khusus mengenai aspek
keuangan diperlukan pedoman yang bersifat
kuantitatif. Pengaturan mengenai prinsip
kehati-hatian ini diperlukan karena pada
hakekatnya usaha simpan pinjam merupakan
sarana pengelolaan dana.
Penentuan skala kecil, menengah, dan besar
diperlukan mengingat Koperasi Simpan Pinjam
memiliki karakteristik kemampuan aset,
modal, dan jumlah anggota yang berbeda
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 44K
Cukup jelas.

Pasal 44L
Cukup jelas.

Pasal 44M
Ayat (1)
OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap
koperasi setiap waktu jika terjadi indikasi
penyimpangan yang dilakukan oleh koperasi
yang bersangkutan
Ayat (2)
Cukup jelas.

344
Pasal 44N
Cukup jelas.

Pasal 44O
Cukup jelas.

Pasal 44P
Cukup jelas.

Pasal 44Q
Cukup jelas.

Pasal 44R
Cukup jelas.

Pasal 44S
Cukup jelas.

Pasal 44T
Cukup jelas.

Pasal 44U
Cukup jelas.

Pasal 44V
Cukup jelas.

Pasal 44W
Cukup jelas.

Pasal 44X
Cukup jelas.

Pasal 193
Cukup jelas.

Pasal 194
Angka 1
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “koperasi” adalah
koperasi jasa.
Huruf b
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 8
Cukup jelas.

345
Angka 3
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sanksi administratif yang dikenakan
digunakan antara lain untuk membiayai proses
administrasi pembayaran kerugian kepada
pihak yang dirugikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 34A

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sanksi administratif yang dikenakan
digunakan antara lain untuk membiayai proses
administrasi pembayaran kerugian kepada
pihak yang dirugikan
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 34B

346
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sanksi administratif yang dikenakan
digunakan antara lain untuk membiayai proses
administrasi pembayaran kerugian kepada
pihak yang dirugikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 34C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang digunakan antara lain
untuk membiayai proses administrasi
pembayaran kerugian kepada pihak yang
dirugikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 34D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang digunakan antara lain
untuk membiayai proses administrasi
pembayaran kerugian kepada pihak yang
dirugikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)

347
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 34E
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang digunakan antara lain
untuk membiayai proses administrasi
pembayaran kerugian kepada pihak yang
dirugikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 34F
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang digunakan antara lain
untuk membiayai proses administrasi
pembayaran kerugian kepada pihak yang
dirugikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 34G
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang digunakan antara lain
untuk membiayai proses administrasi
pembayaran kerugian kepada pihak yang
dirugikan.
Ayat (3)

348
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 195
Ayat (1)
Contoh signifikansi antara lain berdasarkan jumlah
minimum aset pada periode tertentu, kegiatan bisnis yang
dijalankan, dan jumlah transaksi intragroup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengaturan mengenai Konglomerasi memperhatikan
antara lain:
a. OJK dapat menetapkan Grup LJK sebagai 1 (satu)
Konglomerasi Keuangan tersendiri selain kriteria
dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap
Stabilitas Sistem Keuangan;
b. Konglomerasi Keuangan memiliki struktur yang terdiri
dari:
1. Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan;
2. LJK yang dikendalikan secara langsung maupun
tidak langsung oleh PSP/PSPT yang sama;
dan/atau
3. Entitas lain yang menunjang fungsi dan bisnis
Konglomerasi Keuangan;
c. Anggota Konglomerasi Keuangan meliputi jenis LJK:
1. bank;
2. perusahaan asuransi dan reasuransi;
3. perusahaan efek;
4. perusahaan pembiayaan; dan/atau
5. lembaga jasa keuangan lain; dan
d. Lembaga jasa keuangan lain adalah entitas non LJK
yang ditetapkan oleh OJK sebagai LJK dan merupakan
bagian dari Konglomerasi Keuangan.

Pasal 196
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud “PSP” adalah badan hukum, orang
perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki
saham atau yang setara dengan saham LJK dan
mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian
atas LJK.
Yang dimaksud “PSPT” adalah perorangan atau badan
hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung
memiliki saham perusahaan atau LJK dan merupakan
pengendali terakhir atau pemilik manfaat terakhir (ultimate

349
beneficial owner) dari keseluruhan struktur kelompok
usaha yang mengendalikan suatu perusahaan atau LJK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Kriteria tertentu antara lain yang dimiliki secara langsung
oleh Pemerintah Pusat RI atau Konglomerasi Keuangan
yang tidak signifikan dan tidak berdampak terhadap sistem
keuangan.

Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 197
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan lembaga jasa keuangan adalah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang OJK.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 198
Cukup jelas.

Pasal 199
Cukup jelas.

Pasal 200
Contoh dari pihak terelasi antara lain perusahaan non
keuangan yang dimiliki dan/ atau dikendalikan oleh PSP/
PSPT.
Contoh dari pihak lain yang terkait antara lain PSP/ PSPT/
pihak yang memiliki hubungan transaksi keuangan dengan
Konglomerasi Keuangan.

Pasal 201
Cukup jelas.

Pasal 202
Ayat (1)
Huruf a
ITSK dalam sistem pembayaran mencakup antara lain
inovasi teknologi dalam tahapan pemrosesan transaksi
pembayaran yang terdiri atas kegiatan pra transaksi,
inisiasi, otorisasi.
Huruf b
ITSK dalam kliring dan penyelesaian transaksi dan
penyimpanan Instrumen Keuangan mencakup antara lain
inovasi teknologi dalam proses kliring dan proses
penyelesaian Instrumen Keuangan di pasar keuangan.

350
Huruf c
ITSK dalam penghimpunan modal mencakup antara lain
inovasi teknologi dalam penghimpunan dana masyarakat
melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa
penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding).
Huruf d
ITSK dalam pengelolaan investasi mencakup antara lain
inovasi tekonologi dalam pengelolaan investasi yang
menggunakan advance algorithm (seperti robo advisor),
automated advice and management (seperti digital financial
planner), dan retail algorithmic trading (seperti forex
trading).
Huruf e
ITSK dalam penghimpunan dan/atau penyaluran dana
mencakup antara lain digital banking, pinjam meminjam
berbasis aplikasi teknologi (P2P lending), funding agent,
financing agent, dan project financing.
Huruf f
ITSK terkait pengelolaan risiko mencakup kegiatan inovasi
teknologi dalam hal pengembangan produk, seleksi risiko
(underwriting), penanganan klaim, serta distribusi dan
penjualan.
Huruf g
ITSK terkait pendukung pasar adalah inovasi dalam
rangka mendukung kebutuhan lembaga jasa keuangan
antara lain credit scoring, aggregator, dan e-KYC yang
menggunakan teknologi antara lain artificial
intelligence/machine learning, machine readable news,
social sentiment, big data, market information platform,
dan automated data collection and analysis.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Aktivitas jasa keuangan lainnya termasuk tetapi tidak
terbatas pada antara lain di pasar uang dan pasar valuta
asing.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 203
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Prinsip Syariah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Fatwa ditindaklanjuti oleh otoritas terkait dalam bentuk
peraturan.
Dalam rangka penyusunan peraturan, otoritas terkait
berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia.

Pasal 204
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

351
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tata kelola” antara lain
keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab,
independensi, dan kewajaran.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “manajemen risiko dan
kepatuhan” antara lain pengawasan aktif oleh pengurus,
ketersediaan kebijakan dan prosedur serta pemenuhan
kecukupan struktur organisasi, proses manajemen risiko
dan fungsi manajemen risiko, serta sumber daya
manusia, dan pengendalian intern.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keamanan dan keandalan sistem
informasi” antara lain ketersediaan kebijakan dan
prosedur tertulis sistem informasi, penggunaan sistem
yang aman dan andal, antara lain pengamanan dan
perlindungan kerahasiaan data, pengelolaan fraud,
pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan
keandalan sistem, pemeliharaan dan peningkatan
keamanan teknologi, penerapan standar keamanan siber,
pengamanan data dan/atau informasi, dan pelaksanaan
audit sistem informasi secara berkala.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pelindungan konsumen” antara
lain edukasi dan literasi keuangan, serta market conduct.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan
perundang-undangan” antara lain ketentuan terkait
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme.

Pasal 205
Cukup jelas.

Pasal 206
Cukup jelas.

Pasal 207
Ayat (1)
Yang dimaksud “ruang lingkup kewenangannya” adalah
kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai OJK dan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “keseimbangan antara upaya
dalam mendorong inovasi dengan mitigasi risiko”
mencakup prinsip keterbukaan, keluwesan,
keberlanjutan, perlindungan konsumen, dan mitigasi
risiko.
Huruf b
Integrasi ekonomi dan keuangan digital berorientasi pada
ekosistem.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “efisiensi dan praktik bisnis yang
sehat” mencakup prinsip efektivitas dan efisiensi serta

352
bertanggung jawab, termasuk upaya penyelenggaraan uji
coba/pengembangan inovasi (sandbox) yang
terkoordinasi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 208
Cukup jelas.

Pasal 209
Ayat (1)
Hasil evaluasi uji coba inovasi dapat menjadi pertimbangan
dalam perumusan pengaturan, pengawasan, dan
pengembangan produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis
dalam pengembangan ekonomi dan keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 210
Ayat (1)
Persyaratan yang ditetapkan asosiasi untuk mendaftar
sebagai anggota asosiasi tidak melebihi ketentuan yang
diatur oleh OJK dan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
.
Pasal 211
Cukup jelas.

Pasal 212
Cukup jelas.

Pasal 213
Cukup jelas.

Pasal 214
Cukup jelas.

353
Pasal 215
Cukup jelas.

Pasal 216
Cukup jelas.

Pasal 217
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “otoritas sektor keuangan” adalah
adalah OJK dan Bank Indonesia.

Pasal 218
Cukup jelas.

Pasal 219
Huruf a
Yang dimaksud dengan “edukasi yang memadai” adalah prinsip
yang mengedepankan nilai dan aksi edukatif antara lain
mengenai peran PUSK dalam memberikan:
1. pemahaman terhadap karakteristik sektor keuangan,
produk, dan/atau layanannya kepada masyarakat; dan
2. pemahaman kepada konsumen mengenai produk dan/atau
layanan, manfaat, biaya dan risiko serta prosedur dan
mekanisme perlindungan konsumen di PUSK pada saat
pemasaran sampai dengan penyelesaian pengaduan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keterbukaan dan transparansi
informasi produk dan/atau layanan” adalah prinsip yang
mengutamakan kejelasan, keakuratan, kejujuran dan tidak
menyesatkan dari informasi mengenai produk dan/atau
layanan baik sebelum, saat, maupun sesudah produk
dan/atau layanan digunakan oleh konsumen termasuk
penjelasan mengenai risiko kerugian yang mungkin timbul
akibat sebab tertentu.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perlakuan yang adil dan perilaku
bisnis yang bertanggung jawab” adalah prinsip yang
mengedepankan tindakan yang adil, tidak diskriminatif dan
bertanggung jawab dari PUSK dalam menjalankan bisnisnya
dengan memperhatikan kepentingan Konsumen antara lain:
1. memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan konsumen
sebelum menawarkan produk dan/atau layanan kepada
konsumen; dan
2. meletakkan pencegahan lahirnya konflik kepentingan
antara PUSK dan konsumen sebagai dasar setiap prosedur
yang dilakukan PUSK, contohnya pemasaran produk
dan/atau layanan kepada konsumen tidak menjadikan
capaian target penjualan sebagai tujuan utama, akan tetapi
secara prioritas memusatkan tujuan pada detail informasi
produk dan/atau layanan yang akan disampaikan kepada

354
konsumen, penanganan pengaduan tidak dilakukan oleh
pegawai atau pemimpin kantor PUSK yang memiliki kaitan
dengan pengaduan dari konsumen.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perlindungan aset, privasi, dan data
konsumen” adalah prinsip yang menekankan pada kepastian
adanya prosedur, mekanisme, dan sistem dalam rangka
memberikan jaminan perlindungan, menjaga kerahasiaan dan
keamanan atas aset keuangan yang dikelola oleh PUSK, privasi,
data dan/atau informasi konsumen, serta menggunakannya
sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang disetujui
konsumen dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penanganan pengaduan dan sengketa
yang efektif” adalah prinsip yang memfokuskan pada
pemenuhan hak-hak konsumen dalam menyampaikan
pengaduan dan sengketa antara lain perangkat, prosedur, dan
mekanisme mulai dari penerimaan hingga penyelesaian
pengaduan oleh PUSK dengan sederhana, cepat, dan biaya
yang terjangkau.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “penegakan kepatuhan” adalah prinsip
yang menitikberatkan pada tindakan PUSK untuk memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan perlindungan konsumen
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor keuangan contoh:
1. pembentukan fungsi atau unit perlindungan konsumen;
2. tanggung jawab PUSK atas kesalahan dan/atau kelalaian
yang menimbulkan kerugian bagi konsumen setelah melalui
proses pembuktian;
3. tanggung jawab terhadap kerugian konsumen yang
disebabkan oleh pihak ketiga yang bertindak untuk
kepentingan PUSK; dan
4. pelaporan pelaksanaan perlindungan konsumen kepada
OJK atau Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya
masing-masing.

Pasal 220
Cukup jelas.

Pasal 221
Cukup jelas.

Pasal 222
Cukup jelas.

Pasal 223
Cukup jelas.

Pasal 224
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “otoritas sektor keuangan” adalah Bank
Indonesia dan OJK.
Ayat (2)
Cukup jelas.

355
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 225
Ayat (1)
Yang dimaksud “otoritas sektor keuangan” adalah Bank
Indonesia dan OJK.
Pengawasan untuk memastikan kepatuhan PUSK termasuk
pengawasan dengan pendekatan market conduct yang terfokus
pada perilaku PUSK dalam mendesain, menyusun dan
menyampaikan informasi, menawarkan, membuat perjanjian
atas produk dan/atau jasa, serta penanganan dan
penyelesaian pengaduan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 226
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud “otoritas sektor keuangan” adalah Bank
Indonesia dan OJK.

Pasal 227
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 226 ayat (2).

Pasal 228
Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan dan
badan hukum.

Pasal 229
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keseimbangan” adalah perjanjian
disusun dengan mempertimbangkan kesetaraan hak dan
kewajiban antara PUSK dengan konsumen.
Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah terpenuhinya segala
sesuatu yang merupakan hak dan kewajiban dalam hubungan
antara para pihak, dalam hal ini adalah PUSK dan konsumen.
Sebagai contoh kewajaran dalam membuat perjanjian,
misalnya penetapan harga atau biaya yang dikenakan atas
produk dan/atau layanan harus sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan.
Ayat (2)
Perjanjian tertulis termasuk perjanjian dalam bentuk
elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud “otoritas sektor keuangan” adalah Bank
Indonesia dan OJK.

Pasal 230
Ayat (1)
Beberapa prinsip pelindungan data pribadi, antara lain:

356
a. pengumpulan data pribadi dilakukan secara terbatas dan
spesifik, sah secara hukum, patut, dan transparan.
b. pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuan
pemrosesan, secara akurat, lengkap, tidak menyesatkan,
mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan
c. pemrosesan data pribadi dilakukan dengan melindungi hak
subjek data pribadi dan melaksanakan kewajiban-
kewajiban perlindungan data pribadi;
d. pemrosesan data pribadi dilakukan dengan
memberitahukan tujuan, aktivitas, tata kelola pemrosesan,
serta kegagalan pelindungan data pribadi;
e. pemrosesan data pribadi dilakukan dengan melindungi
keamanan data pribadi dari pengaksesan yang tidak sah,
pengungkapan yang tidak sah, pengubahan yang tidak sah,
penyalahgunaan, perusakan, dan/atau kehilangan data
pribadi; dan
f. pemrosesan data pribadi dilakukan secara bertanggung
jawab dengan memenuhi pelaksanaan prinsip perlindungan
data pribadi dan dapat dibuktikan secara jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 231
Cukup jelas.

Pasal 232
Cukup jelas.

Pasal 233
Cukup jelas.

Pasal 234
Cukup jelas.

Pasal 235
Perlindungan konsumen termasuk pengaturan perlindungan
konsumen, pengawasan perlindungan konsumen, penanganan
pengaduan konsumen, dan edukasi konsumen.
Koordinasi dilakukan dalam hal terdapat aktivitas penyediaan
layanan keuangan yang lintas industri yang diatur dan diawasi oleh
institusi yang berbeda.

Pasal 236
Cukup jelas.

Pasal 237
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “badan atau Iembaga penyelesaian
sengketa” adalah badan atau lembaga yang meIakukan
penyelesaian sengketa di Iuar pengadilan. Penyampaian
pengaduan dapat disampaikan oreh Konsumen meIalui kanal

357
resmi yang telah ditentukan oleh masing-masing otoritas di
sektor keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 238
Cukup jelas.

Pasal 239
Cukup jelas.

Pasal 240
Cukup jelas.

Pasal 241
Cukup jelas.

Pasal 242
Ayat (1)
PUSK meliputi antara lain:
a. penyelenggara ITSK,
b. lembaga perbankan,
c. penyelenggara pasar,
d. lembaga perasuransian,
e. dana pensiun,
f. lembaga pembiayaan, dan
g. lembaga jasa keuangan lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengaturan di industri perbankan dan industri keuangan non-
bank, termasuk pasar modal dilakukan oleh OJK.
Pengaturan di pasar uang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Pengaturan di pasar berjangka komoditi dilakukan oleh Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.

Pasal 243
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bidang atau jabatan” adalah jenjang
pekerjaan atau bagian pada suatu industri sektor jasa keuangan
yang melaksanakan fungsi kegiatan tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.

358
Pasal 244
Cukup jelas.

Pasal 245
Cukup jelas.

Pasal 246
Ayat (1)
Asosiasi profesi untuk Profesi Penunjang Sektor Jasa Keuangan
diakui oleh Kementerian Keuangan.
Asosiasi profesi untuk Profesi PUSK yang bergerak di pasar modal,
industri perbankan dan/atau industri keuangan non-bank diakui
oleh OJK.
Asosiasi profesi untuk Profesi PUSK yang bergerak di pasar uang
diakui oleh Bank Indonesia.
Asosiasi profesi untuk Profesi PUSK yang bergerak di pasar berjangka
komoditi diakui oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 247
Cukup jelas.

Pasal 248
Cukup jelas.

Pasal 249
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Otoritas terkait adalah OJK, Bank Indonesia, dan/atau Bappebti.
Koordinasi dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengawasan
Profesi Penunjang Sektor Jasa Keuangan yang efektif dan efisien.
Ayat (4)
Kewajiban pendaftaran adalah dalam rangka untuk memastikan
kompetensi dan keahlian Profesi Penunjang Sektor Jasa Keuangan
telah sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh industri
keuangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Peraturan OJK untuk Profesi Penunjang Sektor Jasa Keuangan
yang bergerak di pasar modal, industri perbankan dan/atau
industri keuangan non-bank;
Peraturan Bank Indonesia untuk Profesi Penunjang Sektor Jasa
Keuangan yang bergerak di pasar uang; atau
Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi untuk
Profesi Penunjang Sektor Jasa Keuangan yang bergerak di pasar
berjangka komoditi.

Pasal 250
Ayat (1)

359
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Penetapan profesi di industri perbankan dan industri
keuangan non-bank, termasuk pasar modal dilakukan oleh
OJK.
Penetapan profesi di pasar uang dilakukan oleh Bank
Indonesia.
Penetapan profesi di pasar berjangka komoditi dilakukan oleh
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengaturan di industri perbankan dan industri keuangan non-
bank, termasuk pasar modal dilakukan oleh OJK.
Pengaturan di pasar uang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Pengaturan di pasar berjangka komoditi dilakukan oleh Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.

Pasal 251
Ayat (1)
Sertifikat Profesi Sektor Jasa Keuangan mengacu pada Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, Standar Internasional,
dan/atau Standar Khusus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Administrasi Lembaga Sertifikasi Profesi untuk Profesi Penunjang
Sektor Keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan
Administrasi Lembaga Sertifikasi Profesi untuk Profesi Pelaku
Usaha Sektor Jasa Keuangan di industri perbankan dan industri
keuangan non-bank, termasuk pasar modal dilakukan oleh OJK.

360
Adminisitrasi Lembaga Sertifikasi Profesi untuk Profesi Pelaku
Usaha Sektor Jasa Keuangan di pasar uang dilakukan oleh Bank
Indonesia.
Administrasi Lembaga Sertifikasi Profesi untuk Profesi Pelaku
Usaha Sektor Jasa Keuangan di pasar berjangka komoditi
dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.

Pasal 252
Cukup jelas.

Pasal 253
Cukup jelas.

Pasal 254
Cukup jelas.

Pasal 255
Ayat (1)
Peta jalan yang disusun mencakup strategi penguatan dan
pengembangan SDM sektor keuangan dalam jangka pendek, jangka
menengah, dan /atau jangka panjang.
Pihak terkait lainnya antara lain asosiasi, LSP, lembaga pendidikan
dasar, atau perguruan tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 256
Ayat (1)
Huruf a
Keterbukaan mencakup keterbukaan dalam proses
pengambilan keputusan dan keterubkaan dalam
pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan dan
mudah diakses oleh pemangku kepentingan.
Huruf b
Akuntabilitas mencakup kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban.
Huruf c
Tanggung jawab mencakup kesesuaian pengelolaan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik.
Huruf d
Independensi mencakup keadaan yang dikelola secara
mandiri dan profesional serta bebas dari benturan
kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan
praktik.
Huruf e
Kewajaran mencakup kesetaraan, keseimbangan, dan
keadilan di dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan
yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan
perundang-undangan dan nilai-nilai etika serta standar,
prinsip, dan praktik.
Ayat (2)

361
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong penerapan tata kelola
yang baik agar benar-benar dapat menjalankan fungsinya untuk
memastikan industri sektor keuangan menjalankan praktik-praktik
usaha yang sehat.

Pasal 257
Manajemen risiko antara lain pengawasan aktif oleh pengurus,
ketersediaan kebijakan dan prosedur serta pemenuhan kecukupan
struktur organisasi, proses manajemen risiko dan fungsi manajemen
risiko, sumber daya manusia, serta pengendalian intern.

Pasal 258
Cukup jelas.

Pasal 259
Pengaturan di industri perbankan dan industri keuangan non-bank,
termasuk pasar modal dilakukan oleh OJK.
Pengaturan di pasar uang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Pengaturan di pasar berjangka komoditi dilakukan oleh Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Komoditi.

Pasal 260
Cukup jelas.

Pasal 261
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Akuntan Publik mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan dan
persetujuan pendaftaran dari lembaga terkait.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 262
Cukup jelas.

Pasal 263
Cukup jelas.

Pasal 264
Cukup jelas.

Pasal 265
Cukup jelas.

Pasal 266
Angka 1
Pasal 15A
Ayat (1)

362
Pelaksanaan koordinasi tersebut sesuai dengan
kewenangan dari Bank Indonesia, OJK, dan
LPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 15B
Ayat (1)
Pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki masing-masing
lembaga merupakan pengawasan dan
pemeriksaan yang dilakukan oleh OJK, Bank
Indonesia, atau LPS secara individual lembaga.
Potensi permasalahan Bank antara lain
ditandai dengan:
a. kondisi likuiditas individual Bank dengan
rasio likuiditas, misalnya alat likuid terhadap
dana pihak ketiga, di bawah threshold dan
diproyeksikan mengalami defisit arus kas
pada periode tertentu akibat penarikan dana
pihak ketiga dan penyelesaian kewajiban.
Defisit diproyeksikan masih berlanjut
meskipun telah mendapatkan pinjaman
antarBank dan repurchase agreement (repo)
Bank Indonesia;
b. kenaikan tingkat risiko kredit Bank,
kenaikan Non-Performing Loan (NPL) baik
secara individual maupun industri;
dan/atau
c. Pemeriksaan bersama difokuskan kepada
hal-hal yang terkait dengan permasalahan
Bank, termasuk tetapi tidak terbatas pada
aktivitas Bank pada sistem pembayaran,
transaksi Bank di foreign exchange,
portofolio dari aset kredit, tingkat
permodalan, likuiditas, tingkat kesehatan
Bank, dan dana pihak ketiga.
Ayat (2)
Langkah antisipatif yang dapat dilakukan OJK
adalah meminta kepada Bank untuk
melakukan tindakan perbaikan segera (prompt
corrective actions) dan/atau memerintahkan
Bank untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan kegiatan tertentu guna
memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor perbankan dan/atau
mencegah dan mengurangi kerugian
konsumen, masyarakat, dan sektor perbankan
(cease and desist order), serta menetapkan
status pengawasan Bank.

363
Bagi Bank Indonesia, hasil pemeriksaan ini
dapat dijadikan dasar untuk mengantisipasi
kemungkinan permohonan PLJP/PLJPS,
termasuk memastikan daftar aset Bank sudah
valid saat dijadikan agunan dalam permohonan
PLJP/PLJPS.
Bagi LPS, hasil pemeriksaan ini dapat dijadikan
dasar untuk mengantisipasi kemungkinan
penempatan dana LPS pada Bank serta
kemungkinan kegagalan Bank yang tiba-tiba.
Angka 2
Pasal 17
Cukup jelas.

Angka 3
Pasal 18
Kecukupan modal antara lain mencakup bantalan
cadangan permodalan (capital conservation buffer).
Kecukupan likuiditas antara lain mencakup rasio
kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio) dan rasio
pendanaan yang stabil (net stable funding ratio).

Angka 4
Pasal 18A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rencana aksi pemulihan”
(recovery plan) adalah rencana untuk mengatasi
permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di
Bank Umum.
Ayat (2)
Penerapan dari rencana aksi pemulihan dilakukan
untuk mengatasi permasalahan keuangan Bank
yang terjadi baik pada saat status pengawasan
normal maupun saat status pengawasan Bank
Dalam Penyehatan.
Yang dimaksud dengan “jenis kewajiban tertentu”
antara lain simpanan milik pemegang saham
pengendali dan/atau instrumen jenis kewajiban
tertentu yang dapat dikonversi menjadi modal.
Ayat (3)
Tambahan kapasitas permodalan (capital surcharge)
bagi Bank Sistemik termasuk instrumen jenis
kewajiban tertentu yang dapat dikonversi menjadi
modal.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 18B
Ayat (1)
Sebagai otoritas resolusi, pada dasarnya LPS
menyusun rencana resolusi (resolution plan). Dalam
penyusunan rencana resolusi tersebut, LPS
menyiapkan panduan penyusunan rencana resolusi
untuk Bank Umum. Berdasarkan panduan
tersebut, Bank Umum menyusun konsep awal yang
akan ditindaklanjuti oleh LPS.

364
Yang dimaksud dengan “rencana resolusi” adalah
rencana tindakan resolusi Bank Umum yang
disusun secara komprehensif, yang berisi antara
lain rincian karakteristik bank dan strategi tindakan
resolusi yang diutamakan (preferred) untuk Bank
Umum tersebut, dalam rangka menjaga
keberlangsungan fungsi ekonomi penting (critical
economic functions) Bank tanpa menyebabkan
gangguan pada Stabilitas Sistem Keuangan.
Rencana resolusi merupakan salah satu alat bantu
bagi LPS ketika akan mengambil keputusan saat
tindakan resolusi kepada Bank Umum dan tidak
bersifat mengikat bagi LPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 18C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “uji resolvabilitas”
(resolvability assessment) adalah tindakan
pengujian LPS terhadap kelayakan dan kredibilitas
atas rencana resolusi Bank Umum yang telah
disetujui LPS dan strategi dalam menghilangkan
potensi hambatan yang mungkin ada pada saat
implementasi tindakan resolusi Bank Umum.
Uji resolvabilitas dilakukan utamanya untuk
melihat dampak kegagalan Bank Umum terhadap
sistem keuangan dan perekonomian secara
keseluruhan.
Uji resolvabilitas dilakukan LPS kepada Bank
Umum sewaktu-waktu, baik pada saat Bank Umum
dalam status pengawasan normal maupun dalam
status Bank Dalam Penyehatan.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “tindakan perbaikan” antara
lain pemutakhiran rencana resolusi yang telah
disetujui LPS dan melakukan langkah antisipatif
untuk menghilangkan atau meminimalkan potensi
hambatan tersebut.
Tindakan perbaikan Bank Umum dapat dibahas
dalam Forum.
Ayat (7)
Peraturan LPS mengatur antara lain tata cara
penyusunan rencana resolusi bagi Bank Umum
termasuk kewajiban pemutakhiran rencana resolusi
oleh Bank Umum dan mekanime penilaian rencana
resolusi oleh LPS.

365
Pasal 18D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan status pengawasan Bank dalam
ketentuan ini dapat berasal dari perubahan status
Bank dalam pengawasan normal menjadi Bank
Dalam Penyehatan atau Bank Dalam Penyehatan
menjadi Bank Dalam Resolusi atau sebaliknya (vice
versa), ketika Bank memenuhi kriteria tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Dalam menetapkan ketentuan mengenai kriteria
penetapan status pengawasan Bank, OJK
mempertimbangkan rekomendasi Forum.

Angka 5
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Langkah penyehatan yang ditetapkan oleh OJK antara
lain menerbitkan perintah tertulis dan/atau melalui
mekanisme lain berdasarkan Undang-Undang
mengenai OJK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 19A
Suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya apabila kondisi usaha Bank
semakin memburuk, antara lain ditandai dengan
menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan
rentabilitas, serta pengelolaan Bank yang tidak dilakukan
berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan
yang sehat.
Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan” antara
lain pembatasan keputusan pemberian bonus (tantiem),
pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau kenaikan
gaji bagi pegawai dan pengurus.
Dalam rangka menjalankan kewenangan ini, OJK
memelihara data mengenai pemegang saham pengendali
dan ultimate shareholder.
Huruf a

366
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di
luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan
usaha lain, maupun individu yang memenuhi
persyaratan.
Huruf h
Cukup jelas.

Pasal 19B
Ayat (1)
Huruf a
Pemenuhan tingkat kesehatan dihitung
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh
OJK.
Huruf b
Pemenuhan tingkat likuiditas dihitung
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh
OJK.
Huruf c
Pemenuhan tingkat permodalan dengan
memperhitungkan risiko untuk menjaga prinsip
kehati-hatian (prudential) dalam menjalankan
kegiatan usaha Bank. Perhitungan tingkat
permodalan dapat ditambahkan dengan
tambahan modal penyangga (buffer).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberitahuan OJK kepada LPS disertai informasi
terkini tindakan pengawasan yang telah dilakukan
oleh OJK kepada Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh perhitungan jangka waktu Bank Dalam
Penyehatan apabila jangka waktu penempatan dana
LPS pada Bank diatur paling lama 10 (sepuluh)
bulan:
1. Bank AA ditetapkan sebagai Bank Dalam
Penyehatan oleh OJK pada 1 Oktober 2020. Pada
2 November 2020, Bank AA menerima penempatan
dana LPS. Status Bank Dalam Penyehatan Bank
AA berubah menjadi paling lama 10 (sepuluh)
bulan sejak penempatan dana, yaitu sampai
dengan 1 September 2021.

367
2. Bank BB ditetapkan sebagai Bank Dalam
Penyehatan oleh OJK pada 1 Oktober 2020. Pada
2 Agustus 2021, Bank BB menerima penempatan
dana LPS. Status Bank Dalam Penyehatan Bank
BB berubah menjadi paling lama 10 (sepuluh)
bulan sejak penempatan dana, yaitu sampai
dengan 1 Juni 2022.
Ayat (6)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Langkah penyehatan yang ditetapkan
OJK antara lain menerbitkan perintah
tertulis, menempatkan pengelola
statuter, dan/atau melalui mekanisme
lain berdasarkan Undang-Undang
mengenai OJK.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Perintah OJK kepada Bank dimaksudkan
untuk menjaga kondisi keuangan Bank
sehingga pada saat akan dilakukan
penanganan Bank tidak terjadi perubahan
secara material.
Perintah OJK kepada Bank dimaksudkan
untuk melancarkan proses pengalihan aset
dan/atau kewajiban Bank.
Huruf b
Dukungan tersebut dimaksudkan agar
penyelesaian transaksi pengalihan aset
dan/atau kewajiban Bank dapat dilakukan
secepat mungkin dalam hal LPS melakukan
tindakan resolusi.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g

368
Pengelola statuter adalah orang perseorangan
atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk
melaksanakan kewenangan OJK.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
LPS dapat menunjuk pihak lain bertindak untuk dan
atas nama LPS sebagai pengelola statuter.
Ayat (12)
Dalam hal OJK memberikan perintah kepada Bank
Dalam Penyehatan, Bank Dalam Penyehatan wajib
melaksanakan perintah OJK dimaksud.

Pasal 19C
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah pihak yang
menggunakan jasa Bank.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 19D
Ayat (1)
Pemberitahuan penetapan Bank Dalam Resolusi
disampaikan OJK secara tertulis kepada Bank dan
LPS, dengan antara lain menegaskan bahwa OJK
telah menetapkan Bank Dalam Resolusi, dan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini segala hak dan
wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan
kepentingan lain pada Bank dimaksud beralih
kepada LPS.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “permodalan
minimum” adalah permodalan minimum yang
disarankan untuk menjaga prinsip kehati-
hatian (prudential) dalam menjalankan
kegiatan usaha Bank.
Penetapan Bank sebagai Bank Dalam Resolusi
terjadi ketika penurunan persentase di bawah
permodalan minimum dan/atau giro wajib
pada periode Bank Dalam Penyehatan belum
berakhir.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “permasalahan
likuiditas mendasar” adalah:
1. perubahan posisi Bank di pasar uang dari
posisi pemberi pinjaman (net lender) menjadi
posisi penerima pinjaman (net borrower);

369
2. posisi arus kas yang semakin buruk sebagai
akibat maturity mismatch yang besar,
terutama pada skala waktu jangka pendek;
3. upaya Bank untuk memperoleh dana di
pasar uang dengan suku bunga atau tingkat
imbalan yang lebih tinggi dari suku bunga
wajar atau suku bunga pasar;
4. ketergantungan pada agunan untuk
memperoleh dana;
5. peningkatan pencairan deposito sebelum
jatuh tempo; dan/atau
6. permasalahan likuiditas mendasar lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 20
Ayat (1)
PLJP/PLJPS merupakan instrumen pendanaan yang
diperlukan bagi Bank setelah Bank tidak
mendapatkan pendanaan melalui mekanisme pasar
dari pasar uang antar bank. PLJP/PLJPS merupakan
perwujudan Bank Indonesia sebagai lender of the last
resort untuk mempertahankan fungsi intermediary
Bank. Dengan demikian, persyaratan dapat dipenuhi
berdasarkan kemampuan Bank.
Permohonan untuk mendapatkan PLJP/PLJPS juga
dapat diajukan oleh Bank Perantara dan Bank yang
mendapatkan penyertaan modal sementara dari LPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penilaian dilakukan untuk memastikan Bank
mempunyai agunan yang cukup. Apabila
PLJP/PLJPS tidak dapat dilunasi pada saat
jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya
berhak mencairkan agunan yang dikuasainya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Penerapan agunan ini mengikuti prinsip
agunan berlaku umum dan wajar

370
sebagaimana pada praktik kredit pada
industri perbankan.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
PLJP/PLJPS dimaksudkan untuk menjaga
kelangsungan Bank maka ketentuan tata cara
pemberian PLJP/PLJPS disusun agar dapat
diterapkan.
Angka 8
Pasal 36A
Ayat (1)
Huruf a
Kewenangan Bank Indonesia membeli Surat
Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah
Negara berjangka panjang di pasar perdana
untuk penanganan permasalahan sistem
keuangan yang membahayakan perekonomian
nasional merupakan pengecualian dari
ketentuan larangan pembelian Surat Utang
Negara untuk diri sendiri di pasar primer
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 36B
Cukup jelas.

Pasal 267
Cukup jelas.

Pasal 268
Cukup jelas.

Pasal 269
Cukup jelas.

Pasal 270
Cukup jelas.

Pasal 271

371
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Contoh kondisi yang membahayakan kepentingan Peserta
dan/atau Pihak yang Berhak yaitu Dana Pensiun tidak
dapat memenuhi kewajibannya kepada Peserta dan/atau
Pihak yang Berhak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 272
Cukup jelas.

Pasal 273
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pembekuan sebagian atau
seluruh kegiatan usaha” adalah penyelenggara Usaha
Jasa Pembiayaan dilarang untuk menerbitkan
pembiayaan baru, namun demikian penyelenggara yang
bersangkutan dapat mengelola piutang yang sudah
disalurkan oleh penyelenggara.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 274
Cukup jelas.

Pasal 275

372
Cukup jelas.

Pasal 276
Cukup jelas.

Pasal 277
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini untuk menegaskan kewenangan pemberian
sanksi oleh LPS atas pelanggaran kewajiban yang harus
dipenuhi untuk kepesertaan penjaminan dalam Undang-
Undang mengenai LPS, dimana Bank wajib memenuhi
persyaratan untuk memberikan data, informasi, dan
dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan
penjaminan simpanan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 278
Cukup jelas.

Pasal 279
Cukup jelas.

Pasal 280
Cukup jelas.

Pasal 281
Cukup jelas.

Pasal 282
Cukup jelas.

Pasal 283
Cukup jelas.

Pasal 284
Cukup jelas.

Pasal 285
Cukup jelas.

373
Pasal 286
Cukup jelas.

Pasal 287
Cukup jelas.

Pasal 288
Cukup jelas.

Pasal 289
Cukup jelas.

Pasal 290
Cukup jelas.

Pasal 291
Cukup jelas.

Pasal 292
Cukup jelas.

Pasal 293
Cukup jelas.

Pasal 294
Cukup jelas.

Pasal 295
Cukup jelas

Pasal 296
Cukup jelas.

Pasal 297
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
antara lain peraturan perundang-undangan mengenai anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di
sektor jasa keuangan.

Pasal 298
Cukup jelas

Pasal 299
Cukup jelas.

Pasal 300
Cukup jelas.

Pasal 301
Cukup jelas.

374
Pasal 302
Cukup jelas.

Pasal 303
Cukup jelas.

Pasal 304
Cukup jelas.

Pasal 305
Cukup jelas.

Pasal 306
Cukup jelas.

Pasal 307
Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” termasuk:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai
derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara pihak dengan direksi, komisaris, dan pegawai;
dan/atau
c. hubungan antara Bank dengan pihak, baik langsung maupun
tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh Bank
tersebut.

Pasal 308
Yang dimaksud dengan “Setiap Orang” adalah orang perseorangan
atau korporasi.

Pasal 309
Cukup jelas.

Pasal 310
Cukup jelas.

Pasal 311
Cukup jelas.

Pasal 312
Cukup jelas.

Pasal 313
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ayat ini memberi kemungkinan bagi Dana Pensiun
yang telah mendapat pengesahan OJK dengan sebelum
Undang-Undang ini diundangkan untuk melanjutkan
pembayaran uang secara sekaligus bagi Peserta sebelum 20
April 1992 sepanjang telah diatur dalam Peraturan Dana
Pensiun, sampai dengan berakhirnya pembayaran seluruh hak
Peserta tersebut. Selanjutnya ayat ini mengandung pengertian
bahwa dalam menyelesaikan seluruh kewajiban dimaksud,
Dana Pensiun dilarang untuk mengubah rumus manfaat bagi
kelompok Peserta dimaksud.

375
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 314
Cukup jelas.
Pasal 315
Cukup jelas.
Pasal 316
Cukup jelas.
Pasal 317
Cukup jelas.
Pasal 318
Cukup jelas.
Pasal 319
Cukup jelas.

Pasal 320
Sisa jangka waktu Bank Dalam Penyehatan tersebut ditetapkan oleh
OJK. Dalam menetapkan sisa jangka waktu Bank Dalam
Penyehatan, OJK mempertimbangkan jangka waktu status Bank
dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan khusus
yang telah dilalui.

Pasal 321
Cukup jelas.
Pasal 322
Cukup Jelas.
Pasal 323
Cukup jelas.
Pasal 324
Cukup Jelas.
Pasal 325
Cukup jelas.
Pasal 326
Cukup jelas.
Pasal 327
Cukup jelas.

Pasal 328
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara
lain Undang-Undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.

Pasal 329
Cukup jelas.

Pasal 330
Masa jabatan yang berbeda dalam pasal ini hanya berlaku untuk 1
(satu) kali masa jabatan setelah Undang-Undang ini diundangkan.

376
Selanjutnya, masa jabatan periode berikutnya mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai OJK.

Pasal 331
Cukup jelas.

Pasal 332
Cukup jelas

Pasal 333
Cukup jelas.

Pasal 334
Cukup jelas.

Pasal 335
Cukup jelas.
Pasal 336
Cukup jelas.

Pasal 337
Cukup jelas.

Pasal 338
Cukup jelas.

Pasal 339
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…

377

Anda mungkin juga menyukai