Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

RITUAL DAN SIMBOL BUDAYA JAWA

Disusun guna memenuhi tugas


Mata kuliah : Islam dan Budaya Lokal
Dosen pengampu : Ahmad Shofi Muhyiddin, Lc., M.S.I.

Disusun oleh:
1. Arif Budiman (2240510006)
2. Miladiya Cahyati (2240510014)
3. Muhammd Khoirul Romadhon (2240510032)

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan
hidayahNya,makalah yang berjudul “Ritual dan Simbol Budaya Jawa” ini dapat
diselesaikan dalam waktu yang tepat.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari zaman kebodohan
menuju zaman datarn ilmu seperti sekarang ini.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Islam dan Budaya Lokal Ahmad Shofi Muhyiddin,LC.,M.S.I. yang telah
memberikan ilmu kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami
menyadari masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, dikarenakan
keterbatasan kemampuan pengetahuan kami. Oleh sebab itu, adanya kritik dan
saran yang membangun dari pembaca. Kami harapkan dalam pembuatan
makalah selanjutnya akan lebih baik. Demikianlah, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Kudus, 16 November 2022

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR ...................................................................................... 2


DAFTAR ISI.................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 4
A. Latar Belakang ................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4


BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 5
A. Pandangan Orang Jawa Mengenai Ritual dan Simbol Jawa .............. 5

B. Contoh Simbol Budaya Jawa ............................................................. 7


BAB III KESIMPULAN................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata “ ritual ” juga sering dikaitkan dengan istilah upacara adat yakni
tingkah laku atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan yang tertentu
menurut adat atau agama.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di sini dapat diartikan
bahwa ritual adalah aktivitas dan ekspresi dari sistem keyakinan sebagai
bagian dari tahapan upacara yang bersifat sakral.
Tradisi Ritual Jawa di golongkan dalam objek kemajuan kebudayaan
“Ritus” yaitu tata cara pelaksanaan upacara yang didasarkan pada nilai
tertentu dan di lakukan oleh kelompok masyarakat secara terus menerus dan
diwariskan pada generasi selanjutnya.
Tradisi Ritual Jawa khususnya tradisi ritual sedekahan bulanan, seperti
tradisi suronan, saparan, muludan, rajaban, ruwahan, syawalan, dan lain-lain,
yang sering dilakukan oleh masyarakat jawa merupakan wujud ekspresi
keimanan orang jawa dalam memeluk agama islam.
Menurut Novel “Pengakuan Pariyem” dilihat dari wujud fisiknya sudah
melukiskan adanya simbol-simbol budaya jawa hal ini tampak dalam sampul
nya yang dihiasi dengan gambar “gunungan” dan wayang, yang dapat di
tafsirkan bahwa untuk memahami jalannya cerita yang ada di dalamnya
seseorang harus lebih dulu mencabut gunungan seperti layaknya seorang
dalang hendak memulai suatu lakon atau cerita.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandanagn orang jawa mengenai simbol jawa?
2. Apa contoh simbol dalam budaya jawa?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Orang Jawa Mengenai Rtual dan Simbol Jawa


Penggunaan simbol merupakan sesuatu hal yang unik karena hanya
dilakukan oleh manusia. Simbol merupakan suatu bentuk komunikasi yang
tidak langsung, artinya di dalam komunikasi tersebut terdapat pesan-pesan
tersembunyi sehingga makna suatu simbol sangat bergantung pada
interpretasi individu. Selain dapat berfungsi sebagai pedoman sosial, simbol
juga dapat berfungsi sebagai alat untuk melakukan hegemoni budaya.
Pandangan hidup orang Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya
animisme- dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam. Hal itu tercermin pada
pengadaan ritual slametan yang dulunya merupakan sarana pemujaan roh-roh
nenek moyang, kini lebih banyak dimasuki muatan-muatan Islam. Tujuan
dari ritual ini pun sama sekali berbeda dengan ritual-ritual terdahulu. Selain
merupakan bentuk permohonan dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa, slametan juga mempunyai sayrat dengan ajaran moral dan
tata kelakuan yang diharapkan menjadi pedoman hidup masyarakat luas.
Tujuan dari itu semua adalah untuk menciptakan kondisi kehidupan yang
harmonis. Hal tersebut selaras dengan konsep memayu hayuning buwono,
mangasah mingising budi, mamasuh malaning bumi (memakmurkan bumi,
mengasah kepekaan batin, dan menghilangkan penyakit masyarakat).
Orang Jawa juga mempunyai cara yang khas dalam menciptakan
simbol. Salah satu caranya adalah dengan metode pemadatan seperti kata tebu
(anteping kalbu), sukun (supaya rukun), jeruk (jaba jero kudu mathuk), dan
sebagainya. Hal semacam ini menjadi pokok permasalahan yang sampai
sekarang dialami oleh masyarakat Jawa. Penyampaian sesuatu dengan
menggunakan simbol sangat rentan mengalami salah tafsir atau distorsi
makna di khalayak umum. Apalagi sampai saat ini jarang disampaikan
dengan gamblang apa makna simbol-simbol yang ada sehingga masyarakat

5
Jawa pada umumnya hanya mengikuti suatu ritual tanpa memahami inti dari
ritual tersebut. Contoh sederhananya adalah pengadaan ingkung (ayam yang
dimasak utuh) dalam berbagai ritual. Kata ingkung merupakan pemadatan
dari kalimat ingsun tambah manekung yang mempunyai makna “aku selalu
menyembah dan memohon kepada Tuhan”.
Hal semacam ini menjadi pokok permasalahan yang sampai sekarang
dialami oleh masyarakat Jawa. Penyampaian sesuatu dengan menggunakan
simbol sangat rentan mengalami salah tafsir di khalayak umum. Apalagi
sampai saat ini jarang disampaikan dengan gamblang apa makna simbol-
simbol yang ada sehingga masyarakat Jawa pada umumnya hanya mengikuti
suatu ritual tanpa memahami inti dari ritual tersebut. Contoh sederhananya
adalah pengadaan ingkung (ayam yang dimasak utuh) dalam berbagai ritual.
Kata ingkung merupakan pemadatan dari kalimat ingsun tambah manekung
yang mempunyai makna “aku selalu menyembah dan memohon kepada
Tuhan”.
Selain terdapat pada ritual-ritual agama, simbol-simbol dalam dunia
Jawa juga tersebar dalam bentuk fisik bangunan dan konsep tata ruang. Salah
satu mahakarya yang menjadi perwujudan dari simbol-simbol dalam bentuk
fisik bangunan dan konsep tata ruang adalah keraton Yogyakarta. Bangunan-
bangunan yang ada di Keraton Yogyakarta bukan sekedar bangunan fisik
yang memiliki fungsi tertentu. Bangunan-bangunan tersebut memiliki makna
simbolis atau filosofis hasil perenungan atau spekulasi melalui olah nalar
(creative thought), olah rasa (feelings) dan olah pikir (intention). Ada dua
prinsip yang menjadi akar utama pemikiran Jawa yang disimbolisasikan
dalam berbagai bangunan yang ada di keraton. Prinsip pertama yaitu sangkan
paraning dumadi-Manunggaling Kawula lan Gusti, yaitu kesatuan antara
penguasa dan rakyat. Kedua adalah prinsip Memayu hayuning Rat, yakni
mempertahankan keseimbangan kebenaran, keindahan dan kebaikan alam
(cosmic) baik mikro maupun makro. Sebagaimana telah kita ketahui, posisi
keraton berada di tengah garis imajiner antara laut selatan dengan Gunung
Merapi dan antara panggung krapyak dengan Tugu. Hal ini mengindikasikan

6
bahwa keraton memegang peran sentral sebagai penjaga keseimbangan dunia
baik mikro (manusia) maupun makro (alam semesta).1
Simbolisasi nilai-nilai tidak hanya pada bentuk dan lokasi keraton,
orang-orang yang berada di dalamnya seperti raja dan abdi dalem pun
memiliki simbol-simbol khusus yang melekat. Seorang sultan di keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai gelar Ngarsa Dalem Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati ing
Alaga, Abdurahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah ing Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Gelar yang diberikan atau melekat pada diri sultan bukan sekedar
gelar atau rangkaian kata- kata indah melainkan sarat makna yang juga
memiliki konsekuensi dan implikasi yang besar/berat. Gelar khalifatullah
menuntut Sultan untuk mempertanggungjawabkan kekuasaannya tidak hanya
kepada manusia melainkan kepada Allah. Konsekuensi berat lainnya ada pada
gelar Hamengku Buwono yang di dalamnya mengandung konsep hamangku,
hamengku, dan hamengkoni. Ketiganya mensyaratkan bahwa sultan harus
mampu mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya,
merengkuh semua pihak termasuk yang tidak menyukainya, dan juga harus
menjadi tali pengikat (suh = ikat sapu lidi) bagi seluruh rakyatnya

B. Contoh simbol budaya jawa


Setiap unsur kehidupan manusia tidak pernah lepas dari simbol.
Dengan adanya simbol maka semua nilai budaya bisa diungkapkan. Simbol
sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana
komunikasi dan landasan pemahaman bersama.

1
Haryanto, Sindung. (2013). Dunia Simbol Orang Jawa.Yogyakarta: Kepel Press
https://www.academia.edu/24289797/Aneka_Simbol_dalam_Budaya_Jawa

7
Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain menggunakan
simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpasimbol-simbol.
Ernst Cassirer mengatakan, “Manusia adalahanimal symbolicum”.
Hanyadengan menggunakan symbol-simbol, manusia dapat mengungkapkan
siapa dirinya,kemana, dan apa yang hedak dicapainya. Cara pengungkapan
tersebut bisa lewat bahasa, seni, agama dan dalam bentuk lainnya.
Dalam setiap kebudayaan terdapat banyak symbol. Setiap simbol yang
ada dalam budaya memiliki makna yang tinggi dan merupakan hasil
kesepakatan. Simbol yang ada dalam setiap budaya menggambarkan ciri khas
daerah tertentu.Maka, tak heran bila setiap daerah memiliki simbol yang
menjadi identitas bagi setiap daerah tertentu.
Jawa sebagai salah satu daerah yang memiliki berbagai jenis simbol.
Simbol yang ada di Jawa memiliki ragam dan jenis sesuai letak
geografis.Simbol yang ada di Jawa antara lain yaitu.
1. Aksarsa Jawa
Aksara Jawa adalah rangkaian huruf yang umumnya terdiri dari
satu suku kata. Setiap baris memiliki arti dan makna tersendiri, baik
secara etimologis, sosiologis, kosmologis, religius maupun kultural.
Dalam halini, penulis hanya memaparkan secara singkat setiap makna
dari aksara Jawa tersebut.
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti kehidupan manusia adalah sebuah
ketentuan yang memiliki batas waktu. Semua makhluk hidup akan
mengalami kematian,termasuk manusia. karenanya, manusia tidak boleh
dan tidak bisa mengelak dari kehendak tuhan. Dengan segala kelebihan
dan kekurangannya, manusia harus senantiasa bersedia menerima,
melaksanakan, danmemenuhi kepastian dari tuhan yang menjadi takdir
dan nasib manusia. akan tetapi, karena manusia tidak mengetahui
nasibnya seperti apa,maka ia berkewajiban untuk bekerja sebaik mungkin
dan berusaha sekuat kemampuannya, kemudian menyerahkan segalanya
kepada kehendak tuhan.
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatukan zat pemberi hidup dengan

8
yang diberi hidup. Kalimat ini juga bisa berarti menyatunya kata dan
perbuatan, selarasnya ungkapan dan tindakan yang membuat manusia
dihargai bagai manusia yang jujur dan dapat dipercaya.
Ma-Gha-Ba-Ta-Nga berarti taqwa, yaitu berusaha melaksanakan
segala sesuatu yang diperintahkan tuhan dengan sekuat tenaga berupaya
menjahui apa yang dilarang tuhan, zat yang Memberi Hidup dan
Penghidupan.
2. Reog Ponorogo
Reog Ponorogo merupakan bentuk tetater popular dalam
kelompok drama tari yang merupakan ciri khas daerah Ponorogo, Jawa
Timur. Reog Ponorogo tampi ldalam berbagai acara penting seperti
pernikahan, khitanan dan pergantian hari penting atau yang bersfat
umum. Reog Ponorogo dipercaya sebagai suatu upacara meminta
perlindungan pada kekuatan gaib setempat. Singan dan merak pada
zaman dahulu terdapat di hutan-hutan daerah Ponorogo yang dianggap
sebagai penjelmaan kekuatan gaib tersebut.Ponorogo merupakan nama
yang diberikan untuk kerajaan Wengker Jawa Timur pada abad XV
untuk menandai masuknya kerajaan tersebut ke dalam islam.Merak
singabarong membawa mutiara diparuhnya melambangkan butir tasbih
yang digunakan oleh orang islam. Diduga Raja Wijayarasa dari Wengker
ingin mendramatisir suatu peristiwa kepahlawanan dalam sejarah dan
sosok singabarong dengan sebuah patung di gugus pura belahan dekat
gunung Senanggunan yang ada sejak zaman kekuasaan Air Langga dari
kahuripan. Patung ini menggambarkan Dewa Wisnu ang berdiri di atas
burung garuda yang berdiri tegak dengan bulu-bulu ekor tergerai di
belakangnya
3. Wayang
Wayang melukiskan manusia, binatang, raksasa, tokoh berbudi
halus, kuat,lucu. Setiap tokoh yang terdapat dalam ayang memiliki ragam
yang disebut wanda.Wanda adalah penggambaran watak yang
mengungkapkan perasaan dan keadaan tertentu. Setiap tokoh dapat

9
memiliki 4,5 bahkan 12 wanda yang masing- masing memiliki perasaan
dan keadaan berbeda. Hal ini dilihat dari “tundukan kepala,
badan,lekukan mata, mata dan mulut, jarak antara mata dan mulut, serta
warna yang digunakan.Pmentasan wayang diadakan dalam berbagai
acara keluarga dan sosial untuk menjaga kesejahteraan dan keselamatan,
misalnya upacara tujuh bulanan, saat bayi berusia lima tahun, khitanan,,
perkawinan dan ulang tahun, juga dipentaskan dalam upacara adat dalam
hubungan dengan kebatinan-keagamaan, seperti ruwatan, nadaran, bersih
desa
4. Kraton
Kraton merupakan pusat politik dan kerajaan. Bagi orang jawa,
keraton bukan hanya di pandang sebagai pusat kerajaan biasa tetapi juga
kerajaan keramat, karena kraton tempat bersemayam raja, yang
daripadanya mengalir kekuatan-kekuatan seperti ketentraman, keadilan,
kedamaian, dan sebagainya. Selain tempat tinggal kraton juga ditempati
kerabat kraton seperti permaisuri raja, saudara saudari raja dan pegawai
kraton, di kraton inilah semua orang dikumpulkan (ahli nujum,pelawak)
dam harta benda (keris,tombak) yang dipandang memiliki kekuaatan
untuk mrnambah kesaktian raja.
5. Kembar Mayang
Menurut cerita, kembar mayang termasuk
permintaan( Jawa:kekudangan) prabu Batara Kresna kepada pihak
Pandawa pada waktu menjelang perkawinan antara Harjuna dan Dewi
Wara Sembadra. Kembar mayang adalah hiasan yang terbuat dari janur
kuning dengan motif menurut selera masing-masing. Kembar mayang ini
dibuat apabila calon pengantin masih gadis atau perpaka.t'etapi bila salah
satu sudah janda atau duda maka hal ini tidak perlu dibuat. janur kuning
diartikan sebagai lambang kesucian tekad. Pada zaman dahulu, bila orang
ingin menjadi senopati, ketika maju kemedan perang mengalungkan
janur kuning di lehernya. artinya, dia telah mempunyai satu tekad yang
suci. Saat ini janur kuning masih tetap dipertahankan dalam berbagai

10
acara. Hal ini terlihat ketika orangjawa “nduwae gawe” artinya punya
kerja, punya hajatan. Misalnya, pada acara perkawinan, janur kunimg
berperan sebagai lambang bahwa dia sedang memiliki niat yang suci.2

2
https://www.balairungpress.com/2014/04/simbol-dalam-dunia-jawa-antara-norma-dan-etika /

11
BAB III
KESIMPULAN

Pandangan hidup orang Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya animisme-


dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam. Hal itu tercermin pada pengadaan ritual
slametan yang dulunya merupakan sarana pemujaan roh-roh nenek moyang, kini
lebih banyak dimasuki muatan-muatan Islam.
Pandangan hidup orang Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya animisme-
dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam. Hal itu tercermin pada pengadaan ritual
slametan yang dulunya merupakan sarana pemujaan roh-roh nenek moyang, kini
lebih banyak dimasuki muatan- muatan Islam. Contohnya seperti: Akasara Jawa,
Reog, Wayang,Kraton,Kembar Mayang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, Sindung. (2013). Dunia Simbol Orang Jawa.Yogyakarta: Kepel Press


https://www.academia.edu/24289797/Aneka_Simbol_dalam_Budaya_Jawa
https://www.balairungpress.com/2014/04/simbol-dalam-dunia-jawa-antara-norma-
dan- etika/

13

Anda mungkin juga menyukai