Anda di halaman 1dari 30

BAB IV

MODERNISASI PEDESAAN DAN DAMPAKNYA

4.1 Modernisasi

Modern merupakan keadaan atau kemajuan yang rasional dalam segala

bidang serta beralih pada keadaan taraf penghidupan masyarakat secara merata dan

utuh.

Modernisasi adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hasilnya

akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Modernisasi adalah

sebuah pola perubahan tradisional menjadi modern. Modernisasi ini bersangkutan

dengan perkembangan zaman dan peradaban dari waktu ke waktu. Dari seorang ahli

ilmu politik mengatakan bahwa modernisasi ini telah berjalan dari Eropa sejak abad

ke-15.

Modernisasi mampu mempermudah proses pengembangan dan produktivitas

yang dibutuhkan masyarakat. Modernisasi berasal dari bahasa latin, modernus yang

tergabung dalam dua kata. Kata “modo” bermaksud akhir-akhir ini, dan “ernus” yang

menjelaskan periode waktu masa kini. Dari segi sejarah, terlihat dari waktu ke waktu

modernisasi ini berkembang dengan pesat diberbagai negara, mereka menyajikan

usaha pembangunan sebagai program modernisasi.

Pengertian modernisasi menurut beberapa ahli :

1. Willbert E. Moore
Modernisasi merupakan perubahan kehidupan yang tradisional dalam

artian teknologi, organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomi dan politik sehingga

mampu menandai negara-negara yang stabil.

2. Astrid S. Susanto

Modernisasi adalah langkah perubahan kemajuan terhadap pembangunan

yang diberikan.

3. Koentjaraningrat

Modernisasi adalah sebuah usaha untuk menyesuaikan pola tradisional

dengan zaman dan konstelasi dunia.

4. Soerjono Soekamto

Modernisasi merupakan sebuah perubahan sosial yang terarah

berdasarkan perencanaan (social planning)

Modernisasi sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat baik

itu di pedesaan maupun di perkotaan. Keberadaan modernisasi ini mampu membawa

masyarakat untuk melakukan perubahan yang signifikan dalam segala hal dan segala

bidang dikehidupan masyarakat.

Perlu diketahui bahwa modernisasi in memiliki maksud dan tujuan agar

mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat, selain itu proses modernisasi ini

juga berupaya untuk mampu memperbaiki pola piker yang ada dimasyarakat sehingga

menjadi lebih baik.

Beberapa ciri-ciri modernisasi yang diketahui oleh masyarakat :


1. Masyarakat dapat bersikap secara heterogen.

2. Mobilitas dalam masyarakat cukup tinggi.

3. Masyarakat tidak memiliki ikatan terhadap adat.

4. Tindakan masyarakat dalam lingkungan terjadinya modernisasi bersifat

rasional.

5. Memiliki tingkat organisasi tinggi, terutama dalam disiplin pada diri

sendiri.

6. Sentralisasi wewenang berada dalam pelaksanaan perencanaan sosial.

7. Memiliki sistem pengumpulan data yang bersifat teratur.

8. Berpikir ilmiah yang ada dalam masyarakat melembaga ke dalam

kehidupan penguasaan serta masyarakatnya.

9. Penciptaan iklim yang digemari oleh masyakarat melalui modernisasi

dalam penggunaan alat komunikasi massa.

Selain ciri-ciri modernisasi, masyarakat modern juga merupakan salah satu

ciri terjadinya modernisasi pada lingkungan masyarakat. Ciri-ciri dari masyarakat

modern, diantaranya :

1. Heterogen

Masyarakat yang mengalami modernisasi akan bercampur dan membentuk

kesatuan serta persatuan dalam proses pembangunan. Masyarakat yang

heterogen juga erat kaitannya dengan masyarakat multicultural, yaitu


masyarakat yang terdiri dari etnis serta suku berbeda dalam suatu wilayah

tertentu.

2. Sistem pelapisan terbuka

Masyarakat modern memilki sistem pelapisan yang terbuka terhadap perubahan

zaman yang dipengaruhi oleh adanya globalisasi dan dapat menyebabkan

pengelompokan lapisan sosial memudar.

3. Mobilitas masyarakat tinggi

Modernisasi masyarakat modern terjadi karena perpindahan penduduk yang sangat

tinggi dari desa ke kota.

4. Memiliki pemikiran yang objektif

Masyarakat modern memiliki sifat yang lebih objektif dalam memandang suatu

hal karena adanya banyak perubahan serta menerima perbedaan yang ada

pada masyarakat.

Modernisasi menurut Mutakin dan Pasya (2003), menunjukkan sifat

masyarakat secara umum yang dilandasi oleh sifat modern individu, karena dari

individulah tumbuh modernisasi. Sementara itu Schoorl (1980), menyatakan bahwa

pengertian modern dan modernisasi mengandung kaitan tertentu. Di dalamnya dapat

dilihat suatu penghargaan yang positif, yaitu bahwa modern, termasuk juga

modernisasi adalah baik. Di dalam kebudayaan-kebudayaan Barat biasanya terdapat

penghargaan yang demikian itu, akan tetapi hal tersebut tidak harus demikian. Di

dalam kebudayaan-kebudayaan lain asosiasi itu tidak harus ada. Bagaimana orang
menilai pengertian-pengertian itu, sangat tergantung pada pandangan hidup dan

pandangan dunianya.

Secara sangat ekstrem dapat dinyatakan bahwa suatu masyarakat dapat

mengadakan modernisasi, akan tetapi bersamaan dengan itu diukur dengan nilai-nilai

tertentu berkembang ke jurusan yang tidak dikehendaki; atau bersamaan dengan itu

berkembang ke jurusan yang sangat kapitalistik, yang tidak dapat diterima atas dasar

nilai-nilai marxis; atau bersamaan dengan itu masyarakat dapat menjadi begitu

terkekang, sehingga atas dasar nilai-nilai kemanusiaan perkembangan itu harus

ditolak. Penilaian terakhir atas proses modernisasi tergantung kepada pandangan

dunia orang-orang yang menilainya

Menurut Suwarsono dan Alvin Y. So (2000), teori modernisasi klasik lahir

sebagai akibat munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia setelah

Perang Dunia II, terjadinya perluasan gerakan komunis dunia, dan lahirnya negara-

negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Beberapa teori mengenai

modernisasi di antaranya adalah Teori Evolusi yang lahir pada awal abad ke-19 setelah

Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Menurut Suwarsono dan So (2000), teori ini

menganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti garis lurus,

yaitu dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju, dan membaurkan antara

pandangan subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial menuju

masyarakat modern. Perubahan sosial berjalan secara perlahan dan bertahap selama

berabad-abad
Tradisi pemikiran lain yang banyak mempengaruhi perumusan acuan-acuan

pokok teori modernisasi ialah teori fungsionalisme dari Talcott Parsons yang

menyatakan bahwa, masyarakat mempunyai berbagai kelembagaan yang saling terkait

dan tergantung satu sama lain dan setiap lembaga yang ada dalam masyarakat

melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut.

Ahli lain, Dube (1988), menyatakan bahwa modernisasi lebih banyak

dihubungkan dengan kota, industri, dan masyarakat terpelajar, seperti masyarakat

Eropa dan Amerika Utara. Konsep modernisasi yang dikemukakan oleh Dube

didasarkan pada tiga asumsi, yaitu (i) sumber kekuasaan yang mati harus selalu

meningkat dibuka dengan maksud untuk memecahkan permasalahan manusia dan

secara minimum diterima untuk memastikan standar hidup,yang semakin meningkat.

(ii) Untuk mencapai tujuan ini dapat dicapai dengan usaha individu dan kerjasama.

Dimensi kerjasama dianggap penting karena kemampuan hubungan untuk

mengoperasikan organisasi yang kompleks adalah suatu prasyarat sedikitnya

pertengahan dan jangkauan modernisasi yang lebih tinggi. (iii) Untuk menciptakan

dan menjalankan organisasi yang kompleks perubahan kepribadian yang radikal dan

perubahan yang menyertainya dalam struktur sosial dan nilai-nilai dianggap perlu.

Dari beberapa teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli tersebut, dapat

disimpulkan bahwa, (i) modernisasi merupakan proses bertahap, (ii) modernisasi dapat

juga dikatakan sebagai proses homogenisasi, (iii) modernisasi terkadang mewujud

dalam bentuk lahirnya sebagai proses Eropanisasi atau Amerikanisasi, (iv)


modernisasi juga dilihat sebagai proses yang tidak bergerak mundur, (v) modernisasi

merupakan perubahan progresif, dan (vi) modernisasi memerlukan waktu panjang.

Desa merupakan bagian kecil organisasi pemerintahan yang menjadi

perpanjangan tangan pemeritahan daerah dan pemerintah pusat. Desa dan kelurahan

yang dikelola oleh kepala desa atau lurah yang merupakan pimpinan tertinggi pada

umumnyamemepunyai keahlian dan pengetahuan khusus dalam pemerintahan.

Namun apakah didalam kemampuan dibidang ilmu pemerintahan tersebut juga

didukung oleh kemampuan dalam mengelola secara baik kekayaan yang dimiliki oleh

desa ataupun kelurahannya? Seperti yang terjadi di banyak desa saat ini. Pengelolaan

yang biasa terjadi hanya pengelolaan yang bersifat tradisonal yang hanya mampu

memberikan kualitas dan kuantitas yang tidak mampu bersaing dengan produk-produk

yang berasal dari perkotaan ataupun produk yang berasal dari luar negeri yang telah

diolah dengan baik dan dikemas dengan menarik sehinngga meningkatkan nilai

ekonomis yang terdapat dalam produk tersebut. Seperti contoh pengelolaan produk

sayuran dan buah. Banyak desa yang ada di Indonesia yang menjadi penghasil sayuran

dan buah, namun tidak mampu menembus pasar yang lebih luas dan menjadi

komuditas yang optimal sebagai penambah devisa bagi desa tersebut. Persaingan

didalam dunia usaha saat ini semakin ketat dan banyak sekali bermunculan produk-

produk sejenis namun berbagai model pengemasan dan bentuk yang lebih manarik

sehingga mempunyai keunggulan tersendiri.

Seharusnya yang terjadi didunia usaha saat ini juga memancing kreativitas

dari para pemimpin yang ada dikelurahan dan pedesaan untuk lebih memperhatikan
kembali salah satu sumber kehidupan yang rata-rata banyak dipedesaan dan kelurahan.

Kepala desa dan juga lurah juga harus berani mengambil keputusan yang tepat demi

tercapainya kesejahteraan bagi masyarakaat desa dan kemudian bisa berkembang

dengan baik. Banyak rantai pasar yang kemudian akan hidup jika hal ini dilakukan

dengan baik. Saat proses produksi awal dilakukan, dimulai dari penanaman,

pemupukan, pemanenan dan pada akhirnya sampai ke proses akhir yaitu pengemasan,

yang akan banyak sekali kegiatan bisnis yang menggunakan tenanga kerja lokal

didalamnya. Dan apabila semua proses itu dilakukan didalam satu desa yang sama,

maka juga akan berefek mengurangi pengangguran yang ada di desa tersebut.

4.2 Modernisasi Sebagai Proses Industrialisasi

Apabila melihat sejarah Eropa, maka modernisasi tidak lepas dari proses

industrialisasi. Kesejahteraan ekonomi dan kestabilan politik di Eropa tercapai setelah

terjadinya revolusi industry yang diawali oleh masa pencerahan (renaissance) dan

penemuan-penemuan baru. Berdasarkan ini dapat dinyatakan bahwa awal

modernisasi adalah industrialisasi, yakni berubahnya kehidupan dari “agraris-

tradisional” menjadi “industry-modern”. Talcott Parson menjelaskan perubahan itu

dalam teori variable pola (pattern variables) sebagai berikut :

• Perubahan dari affectivity kepada affective neutrality.

• Perubahan dari particulatism ke universalism.

• Perubahan dari collective orientation kepada self-orientation.

• Perubahan dari functionally difused kepada fictionally spectivied.

4.3 Modernisasi Pedesaan


Berkaitan dengan modernisasi dalam bidang pertanian yang terjadi di

Indonesia ini berkaitan dengan modernisasi, bahwa usaha yang dilakukan oleh

Pemerintah Indonesia dalam memodernisasikan petani di daerah pedesaan Jawa, guna

mencukupi kebutuhan beras yang merupakan makanan pokok serta menetapkan

kebijakan nasional untuk mendorong usaha peningkatan hasil padi (Sajogyo, 1982).

Yang pertama : melalui program “Pusat Padi” (1959-1962). Suatu otoritas khusus,

“PERTANI” yang diciptakan untuk menerapkan suatu program yang terintegrasi

untuk memberikan suatu alat-alat teknologi pertanian kepada petani padi untuk

mendapatkan hasil yang lebih baik dengan kredit dan jasa perluasan intensif, berupa

pupuk, peningkatan benih lokal, pestisida, yang dibayar kembali oleh para petani

secara kredit setelah panen.

Dalam pembangunan pertanian, masalah penting tentang usahatani ialah

merombak usaha tani dalam arti luas dan pengaturannya agar dapat menggunakan

metode usahatani secara baik, benar dan efisien. Bentuk usahatani yang sesuai bagi

pertanian primitive bukanlah bentuk produktif jika metode modern dipergunakan.

Tindakan efisien yang dimaksud adalah :

a. Pemetaan dan registrasi hak kepemilikan tanah.

b. Pemagaran tanah untuk mencegah pengambilan sewenang-

wenang.

c. Konsolidasi yang terpencar-pencar.

d. Redistribusi tanah untuk mendapatkan satuan manajemen yang

efisien.
e. Mengubah syarat-syarat penyakapan.

Kebutuhan utama dalam berusaha tani ialah adanya bahan usahatani yang

jelas dan registri hak atas tanah meningkatkan produktivitas pertanian meliputi

investasi (penanaman modal) dalam tanah. Tidaklah dapat diharapkan para pemilik

tanah dalam melakukan penanaman modal, kecuali jika mereka yakin akan hak

mereka dalam memiliki tanah atau akan dibayar kembali atas usaha dan pengeluaran

yang telah mereka lakukan untuk memperbaikinya. Selanjutnya setiap perubahan

dalam sistem penguasaan tanah, pertama-tama melakukan pengetahuan siapa yang

memiliki hak pada saat itu.

Pembangunan pertanian tidak dapat begitu saja lepas dari pembangunan

pedesaan. Sebagaimana menurut pandangan umum, bahwa pedesaan hampir selalu

diidentikkan dengan pertanian dan sebaliknya, pertanian diidentikkan dengan

pedesaan. Hal initelah dimaklumi bersama karena sebagian besar petani di Indonesia

hidup di pedesaan, dan sebagian besar penduduk desa umumnya bermatapencaharian

sebagai petani. Oleh karena itu, dalam monteks bahasan mengenai pembangunan

pertanian ini penting pula diketahui beberapa aspek sosial dengan masyarakat petani

khususnya dipedesaan sebagai pusat pengembangan pertanian.

Raharjo (2004) dalam bukunya mengutip pendapat Paul H. Landis yang

menyatakan dalam garis besar ciri-ciri kebudayaan tradisional masyarakat desa

adalah sebagaai berikut :

• Adaptasi yang kuat terhadap lingkungan alamnya,

sehingga pola kebudayaan masyarakat desa terikat dan mengikuti


karakteristik khas lingkungannya (alam). Contohnya pertanian yang

sangat tergantung pada jenis tanah, keadaan iklim dan sebagainya akan

menentukan karakteristik suatu desa menurut jenis komoditas yang

dihasilkan.

• Rendahnya tingkat inovasi masyarakatnya.

• Mengembangkan filsafat hidup organis. Refleksi dan

filsafat ini adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas.

• Pola kebiasaan hidup yang lamban, akibat pengaruh irama

alam yang lamban.

• Kepercayaan terhadap takhayul.

• Hidup bersahaja.

• Rendahnya kesadaran masyarakat akan waktu.

• Cenderung bersifat praktis, tidak begitu mengindahkan

estetika dan ornament ornament, tidak berbasa-basi sehingga

menumbuhkan sifat jujur, terus terang dan bersahabat.

• Memiliki standar moral yang kaku.

Disadari atau tidak, ciri-ciri masyarakat desa diatas secara langsung atau tidak

langsung telah menciptakan karakter petani pedesaan yang cenderung subsisten dan

stagnan. Ketergantungan pada alam, rendahnya inovasi, sifat praktis, kebiasaan hidup

yang lamban, kepercayaan tpada takhayul dan kebersahajaan hidup yang mampu

melahirkan pola pertanian tradisional yang subsusten. Pertanian subsisten yang

dimaksud disini adlaah usaha pertanian yang hanya bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup pelaku usahanya saja dan keluarga ya serta tidak ditujukan untuk

mencari keuntungan. Dalam hal ini, masyarakat desa cenderung menerima atau merasa

cukup dengan apa yang bisa mereka peroleh dari alam, tanpa merasa perlu menambah

upaya untuk meningkatkan penghasilan. Ciri lainnya, yakni tebalnya rasa

kekeluargaan, gotong-royongdan persahabatan menguatkan ikatan di antara petani

pedesaan untuk salingmembantu dalam usaha tani. Masih banyak pedesaan yang

mengembangkan kelompok gotong-royong dalam pengolahan lahan, yakni dengan

bergantian melakukan pengolahan lahan diantara petani- petani anggota. Dengan

demikian masing-masing petani tidak dibebani biaya pengolahan tanah.

Hal tersebut di atas sejalan dengan pernyataan Mubyarto dan Santosa (1993)

bahwa pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk

menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian atau agrikultur

adalah sebuah cara hidup (way of life atau live hood) bagi sebagian besar petani di

Indonesia. Petani di Indonesia pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-

kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong dalam kegiatan

mereka. Jadi bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya

hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal. Ciri

petani pedesaan yang subsisten dan tradisional ini kerap dituding sebagai penyebab

terhambatnya proses modernisasi pertanian karena dengan ciri hidup yang bersahaja

dan bermotto yang didapat hari ini untuk hidup hari ini, maka tidak mudah bagi petani

untuk mengadopsi teknologi dibidang pertanian yang bisa dibilang menghilangkan

kesahajaan mereka. Perkembangan ekonomi terutama berarti, pemisahan kegiatan-


kegiatan ekonomi dari lingkungan tradisional ini. Dalam sektor pertanian, perkenalan

dengan barang-barang yang bernilai uang berarti bahwa, sebagai suatu contoh

perubahan dasar dari sistem pertanian sederhana, barang- barang hasil produksi suatu

keluarga dipakai oleh keluarga-keluarga lain yang tidak menghasilkannya. Kerja upah

dalam sektor pertanian, di mana orang-peroranganlah yang disewa dan bukan

keluarga-keluarga, sering merusak unit-unit produksi keluarga.

Sebagai akibat dari perubahan-perubahan ini, dalam masyarakat petani,

hubungan antara seorang petani dalam kehidupan ekonomi sangat berubah. Ia

sekarang menerima uang tunai sebagai imbalan kerjanya dan memakainya untuk

memperoleh barang-barang dan jasa-jasa di pasaran.

Penghasilan dan kesejahteraannya makin lama makin bergantung pada hasil

taninya dan makin berkurang pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban tradisional yang

bersumber pada sanak keluarganya dan tetangganya. Hal ini berarti bahwa petani

dalam pasaran yang sedang mengalami proses modernisasi berhadapan dengan

persoalan-persoalan penyesuaian diri

4.4 Pengaruh Modernisasi Terhadap Kehidupan Petani Di Pedesaan

Salah satu akibat dipisahkannya kegiatan-kegiatan ekonomi dari lingkungan

keluarga-komunitas adalah bahwa suatu keluarga kehilangan beberapa fungsi dan

memperoleh suatu peranan yang khusus. Oleh karena keluarga tidak lagi merupakan

suatu unit produksi, maka satu atau lebih dari anggotanya meninggalkannya untuk

mencapai pekerjaan dalam pasaran tenaga kerja. Kegiatan-kegiatan keluarga makin

lebih terpusat pada kesenangan-kesenangan emosional dan sosialisasi.


Implikasi sosial dari perubahan struktur tersebut sangat besar. Implikasi yang

fundamental, yang terutama dipaksakan oleh tuntutan-tuntutan mobilitas keluarga,

adalah terjadinya proses individuasi dan isolasi keluarga batih (nuclear family). Bila

keluarga harus mondar-mandir dalam pasaran tenaga kerja, maka tidaklah mungkin

untuk membawa eluruh anggota keluarga, malah tidak mungkin untuk

mempertahankan hubungan-hubungan yang erat dan yang bercabang-cabang itu

dengan para sepupu. Hubungan dengan anggota-anggota keluarga yang seketurunan

mulai pecah; hanya beberapa generasi yang menetap dalam satu rumahtangga yang

sama; pasangan-pasangan yang baru menikah membentuk rumahtangga sendiri dan

meninggalkan para orangtua. Suatu persoalan sosial yang timbul akibat perubahan

dalam keluarga ini adalah tempat dari orang-orang yang telah tua sekali. Oleh karena

tidak lagi ditampung oleh unit kekerabatan yang melindungi mereka, maka orang-

orang yang sangat tua ini jatuh ke dalam pengawasan komunitas atau negara sebagai

titipan yang jumlahnya makin lama makin besar. Perubahan-perubahan sosial-budaya

akibat modernisasi, tampaknya juga ditunjang oleh Revolusi Pendidikan, Revolusi

Kesehatan, dan Revolusi Transportasi. Semua itu menurut Sajogyo (1982) merupakan

keberhasilan-keberhasilan yang mencirikan modernisasi di daerah pedesaan. Akan

tetapi, perubahan tersebut belum tentu dapat diartikan sebagai pembangunan, karena

pada hakekatnya desa-desa tersebut belum mempunyai kelembagaan dan organisasi

yang mampu menggerakkan masyarakat secara mandiri.

Revolusi Pendidikan yang terjadi pada masyarakat desa menyebabkan

pendidikan masyarakat desa menjadi semakin tinggi. Hal ini ditandai dengan semakin
banyaknya sarana pendidikan yang tersedia di daerah pedesaan. Saat ini, jika ada

masyarakat desa yang kuliah di perguruan tinggi dan menjadi sarjana adalah hal yang

biasa. Meningkatnya taraf pendidikan masyarakat tentunya juga ditunjang oleh

meningkatnya pendapatan masyarakat dari hasil pertanian, karena pendidikan butuh

biaya. Dampak dari Revolusi Pendidikan ini ialah semakin berkurangnya minat

generasi muda untuk menjalani pekerjaan sebagai petani, terutama mereka yang

berpendidikan tinggi. Orangtua yang menyekolahkan anaknya sampai perguruan

tinggi, pada umumnya juga berharap agar anaknya kelak tidak lagi menjadi petani

seperti dirinya, karena pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan yang berat dan

melelahkan, sementara hasil yang diperoleh kadang-kadang tidak seimbang dengan

tenaga yang telah dikeluarkan.

Petani Tradisional

• Proses bertani menggunakan alat-alat sederhana

• Proses pengolahan hasil panen secara sederhana

• Sebagian besar hasil hasil panen disimpan untuk kebutuhan

setahun

• Menggunakan sistem julo-julo

• Mobilitas rendah

• Tingkat pendidikan rendah

• Menggantungkan hidup semata-mata pada sektor pertanian

• Tingkat konsumerisme relatif rendah

• Cenderung statis
Petani Modern

• Proses bertani menggunakan peralatan modern

• Proses pengolahan hasil panen lebih modern

• Sebagian besar hasil panen dijual untuk biaya hidup sehari-hari

• Menggunakan sistem upah

• Mobilitas lebih tinggi

• Punya alternatif pekerjaan lain selain bertani

• Tingkat konsumerisme lebih tinggi

• Cenderung dinamis

Perkembangan pertanian di Indonesia ke arah pertanian komersial yang sejak

akhir tahun 1960-an, menurut beberapa pengamat, seperti Gordon (1978), Robison

(1981), dan Mortimer (1984), sebagaimana dikutip oleh Frans Hsken (1998),

merupakan terobosan terhadap hubungan kapitalis dalam ekonomi pertanian padi.

Kenyataan di sebagian besar desa di Indonesia, sekelompok kecil penduduk

menguasai sebagian besar tanah-tanah pertanian di desa itu menunjukkan terjadinya

suatu konsolidasi dalam penguasaan tanah

Perkembangan ke arah semakin terkonsentrasinya alat produksi terpenting di

tangan sekelompok kecil tuan tanah tidak sampai menyebabkan terbentuknya suatu

lapisan proletariat tunakisma yang seragam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup

tergantung seluruhnya dari upah kerja. Rasionalisasi pada panen padi yang terutama

disebabkan oleh penggunaan arit dan dipakainya mesin perontok padi telah
mengakibatkan penurunan drastis dalam jumlah perempuan pekerja panen.

Pengurangan jumlah tenaga kerja upahan seperti ini adalah berlawanan dengan

kecenderungan ke arah proletarisasi yang sering dikaitkan orang dengan penetrasi

kapitalisme dalam pertanian.

Berkurangnya kebutuhan terhadap tenaga kerja di bidang pertanian,

menyebabkan banyak buruh tani yang tidak mendapat pekerjaan setiap hari.

Sementara itu, munculnya pusat-pusat industri di kota-kota besar, membutuhkan

tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Buruh tani yang tenaganya tidak lagi

banyak dibutuhkan, termasuk juga petani-petani yang memiliki lahan sedikit, mulai

meninggalkan lahan-lahan pertanian mereka. Terjadinya revolusi hijau yang

mengharuskan lahan pertanian untuk berproduksi secara terus-menerus telah

menyebabkan turunnya kesuburan tanah. Untuk mengatasinya kemudian dibutuhkan

pupuk buatan, alat-alat pertanian modern, dan bibit unggul. Petani yang tidak punya

modal cukup, tidak bisa mengikuti sistem ini. Akibatnya, mereka kemudian menjual

tanahnya yang hanya sedikit itu, dan selanjutnya menjadi pekerja di lahan orang lain,

atau menjadi buruh. Sebagian lainnya kemudian pergi ke kota untuk mencari

pekerjaan.

Seiring dengan semakin tingginya mobilitas penduduk dari desa ke kota dan

semakin tingginya pendidikan yang diperoleh, banyak anak-anak petani saat ini yang

kemudian tidak lagi melanjutkan usaha orangtuanya. Mereka lebih tertarik untuk

bekerja di kantor menjadi pegawai, atau berusaha di bidang perdagangan yang

dianggap lebih menguntungkan dan tidak terlalu menguras tenaga. Pekerjaan sebagai
pegawai negeri, pedagang, atau bergerak di bidang jasa mereka anggap memiliki

prestise yang lebih baik daripada menjadi petani.

4.5 Pengaruh Modernisasi Petanian Bagi Kesejahteraan Masyarakat Dalam Tingkat

Menengah Kebawah

Modernisasi pertanian merupakan suatu upaya dalam menghadapi tantangan

jaman yang semakin kompleks dengan berbagai permasalahan pertanian.Pada

awalnya pertanian hanya mengandalkan keadaan alam saja tanpa melakukan suatu

inovasi untuk meningkatkan produktivitas.Namun sejalan dengan menurunya

kemampuan lahan pertanian dalam memenuhi kebutuhan sementara jumlah penduduk

yang semakin meningkat yang menyebabkan kebutuhan akan pangan pun meningkat

di samping terjadinya penyempitan lahan pertanian dengan adanya alih fungsi

lahan.Oleh karena itu, manusia mulai berfikir formula-formula yang tepat guna dalam

upaya peningkatan produktivitas pertanian.

Pemerintah dalam hal ini pihak yang mempunyai otoritas untuk mengmbil

suatu kebijakan tanpa adanya analisis dampak yang akan terjadi dalam melakukan

suatu perubahan system pertanian yang mengarah pada modernisasi

pertanian.Kenyataan di lapangan penggunaan teknologi dan bibit unggul dapat

memberikan dampak positif bagi sebagian petani yang dapat menjangkau teknologi

dan bibit unggul tersebut.Namun di sisi lain dengan adanya teknologi dan bibit

unggul tersebut memberikan pengaruh negatif terhadap kehidupan petani terutama

pelaku buruh tani yang mata pencahariannya bergantung pada pihak lain yang

membutuhkan jasanya.Tetapi dengan adanya teknologi tersebut mata pencaharian


buruh tani dapat terancam.Misalnya dalam pengelolaan tanah 1 ha jika dengan buruh

tani membutuhkan sekitar 14 orang dengan waktu beberapa hari tetapi adanya traktor

cukup dengan satu orang dan hanya membutuhkan waku kurang dari satu

hari.Sehingga penerapan teknologi bidang pertanian ini di satu sisi menguntungkan

petani di sisi lain dapat mengurangi lapang kerja yang tersedia dan akhirnya

menimbuilkan kesenjangan social yang sangat jauh antara yang kaya dan miskin.

Solusinya penerapan pertanian yang berabasis teknologi yang mengarah pada

modernisasi pertanian perlu dilakukan secara menyeluruh mulai dari pengelolaan

lahan hingga menghasilkan suatu produk yang siap dipasarkan.Dengan demikian,

buruh tani yang perananya digantikan dengan adanya teknologi traktor dan lainnya

dapat dialihkan pada tahap pengelolaan pasca panen atau bagian pemasaran sehingga

dengan penerapan modernisasi pertanian ini tidak lagi mengurangi lapangan kerja

namun dapat menciptakan lapangan kerja baru yang juga membantu para petani

dalam menyalurkan hasil buminya. Dengan demikian akan tercipta suatu system

produksi yang menghasilkan produk yang berkualitas dengan memperhatikan

kesejahteraan petani dan buruh tani sekitarnya.

4.6 Pengaruh Modernisasi Terhadap Ketersediaan Lapangan Pekerjaan Bagi Masyarakat

Tentunya dengan penerapan modernisasi pertanian secara otomatis tanpa

adanya penanganan yang seius akan menimbulkan masalah baru yaitu berkurngnya

lapangan pekerjaan karena peranan pekerja tergantikan oleh peralatan dan cara yang

berbasis teknologi sehingga dalam pengelolaan lahan dapat mengurangi jumlah


pekerja.Hal ini tentunya menguntungkan bagi pelaku tani dalam skala besar , tetapi

tidak untuk petani kecil yang tidak dapat menjangkau dalam pembiayaan peralatan

pertanian yang berbasis teknologi tersebut.Dengan demikian penerapan suatu

teknologi dalam upaya efisiensi dan intensifikasi pertanian guna mendapatkan

kualitas produk yang dihasilkan baik juga harus dikaji ulang mengenai dampak social

yang ditimbulkan.Jangan sampai penggunaan suatu teknologi akan mematikan mata

pencaharian petani kecil yang mengakibatkan kesenjangan social sehingga rentan

terhadap konflik social.Oleh karena itu, dalam penerapan modernisasi pertanian harus

dikaji juga mau kemana para buruh tani yang peranannya tergantikan oleh suatu

teknologi tepat guna, sepertihalnya solusi permaslahan sebelumnya, maka dalam

penerapan modernisasi pertanian perlu adanya perluasan cakupan produksi yang

tadinya hanya menghasilkan bahan mentah saja, dengan adanya penerapan

modernisasi pertanian proses produksi ditingkatkan menjadi produk yang siap

dipasarkan , sehingga dalam proses tersebut terdapat perluasan lapangan pekerjaan

yang nantinya akan diisi oleh para buruh tani yang kehilangan pekerjaan akibat

adanya penerapan teknologi.Dengan kata lain para pengambil kebijakan harus juga

memperhatikan para buruh tani yang pekerjaannya digantikan oleh suatu teknologi

dengan memberikan pekerjaan pengganti yang dihasilkan dari perluasan produksi

pertanian.Sehingga terciptanya hubungan yang sinergis antara pemerintah selaku

pengambil kebijiakan, petani dan para buruh tani dalam upaya menghasilkan produk

dan jasa yang mempunyai daya saing di era perdagangan pasar bebas ini.
4.7 Hubungan Antar Petani Sebagai Pengaruh Adanya Modernisasi Pedesaan

Sebagaimana hasil penelitian Scott yang menyebutkan bahwa hubugan antar

petani dan petani lain dapat renggang akibat suatu penerapan alat mesin

pertanaian.Hasil penelitian tersebut di Malaysia hubungan tuan tani dan buruh tani

terputus akibat adanya mesin perontok padi yang menggantikan peranan buruh tani

tersebut.Hal tersebut mungkin juga terjadi atau bahkan sudah terjadi di

Indonesia.Selain itu, antara petani kelas atas yang mampu membeli atau

menyewa peralatan pertanian tingkat kesejahteraannya akan jauh berbeda dengan

petani yang hanya mengandalkan cara tradisional. Selain dampak negative

modernisasi pertanian juga dapat memberikan pengaruh positif bagi para pelaku

tani.Salah satunya dapat mempererat hubungan petani yang terhimpun dalam suatu

wadah kelompok tani dikarenakan ketidak mampuan petani secar individu dalam

menyediakan peralatan peratnian sehingga memaksa mereka untuk melakukan

swadaya atau bergotong royong dalam menyediakan peralatan yang

dibutuhkan.Sehingga tercipta harmonisasi antar petani. Dengan demikian suatu

penerapan modernisasi dapat memberikan dampak negative atau positif tergantung

bagaimana penanganan atau inisiatif pemerintah yang bekerjasama dengan para

petani dalam menghadapi setiap permaslahan pertanian khususnya dalam penerapan

pertanian berbasis teknologi.

4.8 Konsep Perubahan Sosial Pada Masa Modernisasi

Perubahan sosial menurut (Jefta, 2015) dibagi dalam tiga kategori, yakni (a)

immanent change, yaitu wujud peralihan atau perubahan sosial yang berasal dari
dalam sistem itu sendiri tanpa ada pengaruh dari luar ; (b) selective contact change,

yaitu spontanitas atau secara tidak sadar membawa pandangan baru baik dalam

bentuk gagasan atau ide-ide baru kepada anggota-anggota suatu sistem sosial ; (c)

directed contact change, yaitu adanya pandangan baru (ide-ide atau pendapat baru)

yang dibawa secara sengaja oleh outsider.

Terdapat beberapa bentuk perubahan sosial, diantaranya :

1) Perubahan sosial lambat atau evolusi merupakan perubahan atau

peralihan dalam waktu lama dan adanya perubahan-perubahan kecil yang

terjadi dan saling mengikuti dengan lambat pula.

2) Perubahan sosial cepat atau revolusi adalah perubahan-perubahan yang

berlangsung secara cepat. Perubahan ini menyangkut sendi-sendi dasar

kehidupan masyarakat. Perubahan sosial berskala cepat sifatnya relatif

sebab terjadinya dalam waktu yang lama jua (Soekanto, 2017)

Ciri-ciri proses terjadinya perubahan sosial yakni :

1) Berbagai perubahan terjadi pada Lembaga sosial akan diikuti dengan

beragam perubahan pada lembaga sosial lainnya.

2) Masyarakat yang tidak stagnant. Perubahan masyarakat yang terjadi secara

lambat dan cepat.

3) Perubahan sosial mengakibatkan terjadinya disorganisasi.

4) Berbagai perubahan yang terjadi terorganisir khususnya dalam bidang

spiritual atau kebendaan.


5) Perubahan tipologis, perubahan-perubahan sosial dapat dikategorikan

sebagai proses sosial, segmentasi proliferasi pada unit structural yang tidak

berbeda secara merata dari unit yang ada, perubahan dalam kelompok atau

struktur serta perubahan struktu (structure change) (Soekanto, 2017)

4.9 Contoh Kasus

Modernisasi Irigasi adalah proses peningkatan manajerial dan keteknisan

(berbeda dengan hanya merehabilitasi saja) dari suatu daerah irigasi dengan tujuan

untuk memperbaiki penggunaan sumber daya (tenaga kerja, air, ekonomi,

lingkungan) dan pelayanan penyaluran air ke lahan usaha tani.

Sebagai salah satu sistem penunjang revolusi hijau, sistem irigasi sangat

menentukan. Oleh karena itu, sejak Pelita I (1969-1974) pemerintah melakukan

rehabilitasi jaringan irigasi, perbaikan pengelolaan air di tingkat tersier dan perluasan

areal irigasi. Menurut Tjondronegoro (1999) usaha pemerintah untuk merehabilitasi

pengairan di Indonesia dapat dikatakan berhasil dengan baik, karena bila

dibandingkan dengan tahun 1973 sawah berpengairan meningkat dari 27,3% menjadi

52,5% di tahun 1983, dan dampaknya perbaikan perngairan tersebut dialami oleh

semua lapisan petani. Hingga saat ini pun pemerintah terus melakukan upaya

merehabilitasi sistem dan jaringan irigasi untuk mencapai hasil yang progresif.

Jumlah rehabilitasi irigasi desa yang telah dilakukan pemerintah diseluruh Indonesia

tahun 1995 dan 1996 saja telah mencapai angka lebih dari 150 ribu ha lahan dengan

percepatan rehabilitasi lebih dari 300 ribu ha lahan Direktorat Bina Program Dirjen

Pengairan Data 1996 dikutip Silalahi, 2005). Pada tahun 2009 mendatang pemerintah
juga telah menargetkan akan membangun 560 juta ha jaringan irigasi baru di berbagai

wilayah di Indonesia (Laporan Khusus Agrifocus. Edisi 03, September 2007).

Modernisasi pada sistem irigasi di Desa Situ Ilir secara umum juga

berdampak pada kelembagaan irigasi di Desa Situ Ilir dan juga pola-pola produksi

petaniannya. Akan tetapi dampak yang ditimbulkan dengan adanya modernisasi pada

sistem irigasi tersebut merupakan kemunduran dalam fungsi kelembagaan setempat

dan juga pola-pola produksi pertaniannya. 110Kemunduran dalam fungsi

kelembagaan terlihat dari semakin melemahnya ikatan sanksi, menurunnya

kemampuan untuk mengatur pengalokasian air di musim kemarau, serta hilangnya

kebersamaan petani dalam pengelolaan jaringan irigasi. Sehingga upaya-upaya yang

perlu dilakukan untuk memperkuat kembali kelembagaan di tingkat lokal tersebut

merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan tidak dapat dihindari lagi. Sedangkan

upaya pemerintah dalam mengembangkan kelembagaan irigasi yang dibentuk secara

formal seperti halnya P3A dapat dikatakan kurang berhasil.

Secara umum pelaksanaan teknis dan sistem pada kelembagaan lama masih

tetap bertahan sementara perubahan teknis dan sistem yang baru telah

diintroduksikan. Hal ini memperlihatkan kondisi adanya dua kelembagaan yang

berjalan sendiri-sendiri. Adanya dualisme tersebut tidak meningkatkan kinerja

kelembagaan irigasi, baik pada organisasi P3A bentukan pemerintah maupun

kelembagaan tradisional irigasi bentukan masyarakat. Pada lembaga P3A, struktur

organisasi, susunan pengurus, tugas-tugas pengurus, hak dan kewajiban anggota,

telah diatur dalam AD/ART yang konsepnya telah tentukan oleh pemerintah tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari tidak diakuinya peran ulu-

ulu P3A Simega Tani, belum berjalannya iuran IPAIR, serta rendahnya kemampuan

untuk mendorong partisipasi petani dalam pemeliharaan jaringan sekunder dan

tersier.

4.10 Dampak Modernisasi

Modernisasi umumnya akan memberikan dampak sebagai wujud dari proses

berubahnya suatu lingkungan di masyarakat dari yang masih mundur menuju

kemajuan dan menjadi lebih canggih.

Dampak positif modernisasi :

1. Terjadi perubahan pada tata nilai serta sikap. Perubahan ini terjadi karena

masyarakat terbukti memiliki pola piker yang berubah, dari pola piker irasional

menjadi rasional.

2. Terjadi perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan serta teknologi.

Perubahan ini dapat menyebabkan masyarakat lebih mudah beraktivitas serta

dapat mendorongg masyarakat lain untuk berpikir lebih maju.

3. Terjadi perkembangan pada ilmu pengetahuan juga dapat memberikan bentuk

dalam proses modernisasi yang terjadi didalam masyarakat.

4. Adanya peningkatan pada kehidupan bermasyarakat yang berubah menjadi lebih

baik. Penggunaan teknologi, serta pengetahuan yang berkembang dapat

meningkatkan fungsi pada kehidupan bermasyarakat, sehingga kehidupan

masyarakat menjadi jauh lebih baik dari waktu kewaktu.


5. Masyarakat mengalami perubahan perilaku serta cara hidup dengan ilmu

pengetahuan serta teknologi yang terus berkembang.

6. Modernisasi dapat meningkatkan efektivitas maupun efisiensi pada pekerjaan

individu dimasyarakat.

7. Efektivitas serta efisiensi yang disebabkan oleh modernisasi ini memberikan

dampak pada proses produksi, sehingga daoat meningkatkan perekonomian

disuatu negara.

8. Masyarakat akan memiliki sikap terbuka terhadap perubahan maupun memiliki

keinginan untuk selalu berinovasi agar mencapai kesejahteraan yang dicita-

citakan oleh masyarakat tersebut.

Dampak negative modernisasi :

1. Mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial yang

diakibatkan oleh modernisasi ini dapat dilihat melalui adanya fenomena terjadiya

kelompok sosial seperti kelompok asongan, pengangguran, pedagang kaki lima

dan lainnya.

2. Menyebabkan menguatnya jurang pemisah antara masyarakat berpendidikan

dengan masyarakat tidak berpendidikan dan dapat menyebabkan perubahan pada

tatanan sosial yang ada dimasyarakat.

3. Terjadi kesenjangan ekonomi yang dapat dilihat melalui perbedaan antara

kehidupan masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin, sehingga

memicu timbulnya budaya konsumtif serta budaya demonstration effect atau suka

pamer.
4. Dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkingan alam, sebagai akibat dari

pembangunan seperti pabrik industry yang terjadi secara terus menerus.

5. Modernisasi dapat menimbulkan dampak pada meningkatnya kriminalitas, karena

setiap orang memiliki keinginan untuk dapat mengguli orang lain dan berusaha

mencapai tujuan tersebut dengan berbagai cara termasuk cara-cara criminal.

6. Terjadinya pergeseran nilai-nilai pada kebudayaan lokal.

7. Hilangnya adat istiadat dari kebudayaan lokal masyarakat yang telah diturunkan

secara turun menurun serta menjadi salah satu daya tari dan nilai unik pada

masyarakat.

8. Menimbulkan terjadinya bias westernisasi atau pemujaan kepada budaya barat

yang berlebihan, baik dalam gaya hidup maupun cara pandang seseorang.

9. Terjadinya kesenjangan teknologi atau digital divide pada masyarakat.

4.11 Gejala Modernisasi

Sebelum terjadi proses modernisasi disuatu lingkungan masyarakat,

modernisasi ini terjadi melalui beberapa gejala yang dapat ditinjau dari berbagai

bidang pada aspek kehidupan dimasyarakat.

1. Bidang budaya

Gejala modernisasi yang terjadi pada bidang budaya dapat ditandai melalui

budaya tradisional yang tergeser oleh masuknya pengaruh dari budaya

dari luar. Gejala pada bidang budaya juga dapat dilihar melalui terjadinya

akulturasi antar dua budaya yang berbeda.

2. Bidang politik
Gejala modernisasi berikutnya dapat dilihat melalui bidang politik. Pada bidang

politik, gejala modernisasi dapat dilihat melalui banyaknya negara yang

terlepas dari penjajahan dan munculnya negara baru yang telah merdeka.

Pada bidang politik, gejala modernisasi juga dapat dilihat melalui tumbuhnya

negara demokrasi serta lahirnya lembaga politik. Selain itu, diakuinya hak

asasi manusia juga merupakan salah satu gejala dari terjadinya

modernisasi.

Gejala modernisasi pada bidang politik ini yang paling mudah dilihat atau disadari

oleh masyarakat, karena sistem demokrasi biasanya didukung melalui

pemilihan umum secara langsung serta rahasia yang melibatkan

masyarakat.

3. Bidang ekonomi

Pada bidang ekonomi, gejala modernisasi dapat dilihat dari semakin kompleksnya

kebutuhan masyarakat pada barang maupun jasa, sehingga sektor industri

kemudian dibangun dalam skala besar untuk memproduksi barang

permintaan konsumen.

4. Bidang sosial

Terbentuknya banyak kelompok baru dalam masyarakat merupakan

gejala terjadinya modernisasi pada bidang sosial. Kelompok baru dalam

masyarakat yang dimaksud seperti kelompok buruh, kaum-kaum

intelektual, kelompok manajer hingga kelompok ekonomi yang

didasarkan pada kelasnya yaitu kelas rendah dan kelas tinggi.


Daftar Pustaka

Joseph La Palombara, "Distribution and Development” , dalam M. Weiner (ed.),

Modernization ; The Dynamics o f Growth, (Cambridge, Mass.: Voice of

America Forum Lectures, 1966), hal. 237.

Adimihardja, Kusnaka (ed.). 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi

Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pembangunan. Humanioran

Utama Press. Bandung.

Damardono, Haryo dan Hermas E. Prabowo. 2008. Irigasi Sempurna, Swasembada

Pangan Tercapai dalam http://mediatani.wordpress. com/2008/03/12/irigasi-

sempurna-swasembada- pangan-tercapai/. (diunduh pada 27 November 2013)

Hepta.2012.

Pengaruh Modernisasi: http://hepta7.blogspot.com/2012/10/pengaruh-modernisasi-

terhadap.html (diunduh pada 27 November 2013) Idris, Soewardi (ed.) 1992.

Selayo Kec. Kubung, Kab. Solok. Ikatan Keluarga Selayo. Jakarta.

Munthe H Marhaeni.Modernisasi dan Perubahan Sosial Masyarakat dalam

Pembangunan Pertanaian Suatu Tinjauan Sosiologis.Medan: Sosiologi FISIP

USU

Abdulsyani. (2015). Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan (Edisi Revisi). Jakarta :

PT. Bumi Aksara.

Martono, N. (2012). Sosiologi Perubahan


Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern,
Poskolonial. Jakarta: Rajawali Pers.
Soekanto, S. (2017). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Suharto, E. (2010). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Kajian Strategis

Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial). Bandung; Refika

Aditama

Anda mungkin juga menyukai