Anda di halaman 1dari 16

KEBUDAYAAN MASYARAKAT SUKU BADUY DALAM KAMPUNG CIBEO,

KECAMATAN KANEKES, KABUPATEN CIBULARANG


(Sistem Kepercayaan, Sistem Organisasi/Lembaga Kemasyarakatan, dan
Kesenian Masyarakat Suku Baduy Dalam Kampung Cibeo)

Oleh:
Nurlindari (1605753)
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial - Universitas Pendidikan Indonesia

1. Sekilas tentang Kebudayaan Masyarakat Baduy


Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai ragam budaya yang
menarik perhatian banyak orang dengan berbagai ciri khas dari kebudayaan tempat
mereka berasal. Sebagai contohnya suku Baduy Dalam yang berada di Banten. Suku
Baduy Dalam merupakan suku pedalaman yang sangat sederhana, dengan
masyarakatnya yang memegang teguh aturan adat istiadat dan kebudayaan yang melekat
kuat dilingkungannya, tanpa ada campur tangan dari arus modernisasi. Tetapi mereka
tidak menutup ruang untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat modern. Sehingga
dijadikan sebagai objek penelitian oleh para sejarawan, mahasiswa dan siswa guna
untuk menambah wawasan dan mengetahui kebudayaan dari masyarakat Baduy itu
sediri. Sistem kepercayaan yang dianutnya yaitu Sunda Wiwitan yang diajarkan melalui
puun sebagai pemimpin tertinggi masyarakat Baduy sekaligus merupakan keturunan
karuhun.
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 1


Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes"
sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama
kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Menurut Garna dalam Koentjoroningrat (1993;139) dasar religi orang Baduy
adalah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa atau
Batara Tunggal dengan keyakinan Sunda Wiwitan atau Agama Sunda Wiwitan.
Maksudnya, mereka menghormati dan menaati terhadap nilai-nilai dan padangan hidup
yang diturunkan nenek moyang, yang mengajarkan bahwa semua hal yang berkaitan
dengan pola kehidupan mereka tidak boleh diubah.
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0”
LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki
pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-
Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang
merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas
permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang
dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di
bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian
selatan). suhu rata-rata 20 °C. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik,
Cikertawana, dan Cibeo.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy
Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan
cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Baduy tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan
dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era
Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidupmereka
dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Baduy masih
menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Baduy tidak dapat
membaca atau menulis menggambar.

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 2


Masyarakat suku baduy masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Suku Baduy
menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang
tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas
memeluk Islam.
Masyarakat Suku Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok
yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat,
yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas
Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta
memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang
asing (non WNI). Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak
seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat
nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
a. Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
b. Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
c. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau
ketua adat)
d. Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
e. Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan
dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang


dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang
tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,
Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes/Baduy Luar berciri khas
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes/Baduy Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan
wilayah Kanekes/Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya
warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
a. Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 3


b. Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
c. Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Adapun ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar


a. Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun
penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes,
termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan
cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
b. Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-
alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat
Kanekes Dalam.
c. Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki),
yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian
modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
d. Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring &
gelas kaca & plastik.
e. Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes/Baduy Dalam.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka
"Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari
luar (Permana, 2001).
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Baduy mengaku keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul
tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Baduy berbeda dengan pendapat para ahli
sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat
mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes/Baduy
dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya padaabad ke-16

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 4


berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan
Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan
Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari
wilayah pedalaman.
Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran
Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan
mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal
bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang
lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran. Van
Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah
tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).
Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-
orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan
penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja,
karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur
atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal,
pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.
Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Mereka juga mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Batara
Tunggal serta mengakui adanya Nabi dan syahadat seperti dalam ajaran islam tetapi
yang membedakan mereka tidak melaksanakan ibadah agamanya dengan apa yang
orang islam lakukan sebab masyarakat Baduy tidak memiliki kitab –kitab suci seperti
agama–agama lain sehingga tidak berpatokan kepada hal hal tertentu yang menjadi

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 5


dasar agamanya. Tetapi lebih memusatkan pada “pikukuh” atau sarat dengan berbagai
ajaran Sunda Wiwitan, hal ini dilakukan agar masyarakat Baduy hidup sejahtera tanpa
ada gangguan yang akan mengakibatkan kerugian bagi seluruh masyarakatnya. Untuk
menjaga dan mengendalikan tersebut agar tetap terpelihara maka dilaksanakanlah aturan
untuk mempertahankan pikukuh tersebut yang di sebut Buyut yang berarti larangan
untuk masyarakat Baduy dengan makna “Lojor teu menang di potong, pondok teu
meunang disambung”. Maksudnya dalam setiap kehidupan tidak boleh dikurang atau
ditambah melainkan harus utuh.
Dalam Danasasmita dan Djatisunda (1986;93) menjelaskan bahwa Buyut dalam
kehidupan mereka dibagi menjadi tiga yaitu: 1). Tabu untuk melindungi
sukma(manusia) maksudnya, perlindungan terhadap roh/jiwa atau sukma manusia yang
turun kebumi dalam keadaan bersih dan suci maka apabila ada salah satu masyarakat
Baduy yang meninggal harus dalam keadaan yang bersih dan suci pula untuk menuju
ketempat mereka berasal. 2).Tabu untuk melindungi kemurnian mandala maksudnya,
yaitu sebuah penghormatan masyarakat Baduy terhadap Desa Kanekes karena dianggap
sebagai pusat alam semesta sebagai tempat diturunkannya Nabi adam kedunia, dan
harus dijaga kemurniannya/kelestariannya agar tidak sembarang orang yang dapat
memasuki desa tersebut. dan 3). Tabu untuk melindungi kemurnian tradisi maksudnya
perlindungan adat istiadat dan kebudayaan yang melekat kuat dimasyarakatnya dengan
aturan – aturan yang dimilikinya.
Selain itu dalam pola kesehariannya masyarakat Baduy memanfaatkan waktunya
dengan berladang/bercocok tanam. Karena bagi masyarakat Baduy itu sendiri berladang
itu wajib hukumnya bagi setiap orang khususnya yang sudah berkeluarga dan masing –
masing keluarga diwajibkan untuk mempunyai satu ladang dan satu Leuit lenggang
atau Lumbung Padi, untuk mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari dan merupakan
sebuah perintah yang harus dilaksanakan sebagai salah satu penghormatan terhadap
nenek moyang dan adat istiadat yang dilakukan secara turun temurun.
Bagi masyarakat Baduy padi diibaratkan sebagai Nyi Pohaci yang harus ditanam
dengan ketentuan – ketentuan karuhun atau nenek moyang yang mereka percayai
dengan berbagai ritual didalamnya agar tidak terserang hama dan wabah sehingga hasil
yang diberikannya pun berkualitas, oleh karena itu dalam melakukan perladangan
dilakukan tujuh proses ritual, yaitu sebagai berikut : 1). nyancar/ ngarawas yaitu ritual

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 6


ketika mereka akan membuka lahan dengan menebas sebak belukar tanpa menebang
pohon disekitarnya. 2). Nukuh yaitu menumpukan ranting dan daun – daun pepohonan,
3) ganggang yaitu mengeringkan ranting atau dedaunan dibawah teriknya matahari, 4)
ngaduruk yaitu membakar ranting dan dedaunan hasil nukuh, 5). Ngahuru yaitu
membakar sisa-sisa ranting dan dedaunan yang masih tertinggal ketika ngaduruk, 6).
Ngaseuk yaitu menanam butiran padi kedalam tanah yang diberi lobang oleh wanita
kemudian padi ditanam oleh lelaki, 7). Diubaran atau padi diobati dengan campuran
debu dapur dicampur dengan berbagai campuran umbi agar padi tidak terserang hama.
Selain itu ada beberapa lagi ritual diantaranya: ngawalu yaitu memperingati hasil panen,
setelah itu ngalaksa atau membuat hidangan berbentuk mie tetapi lebar dan makanan –
makanan lainnya. Dan Seba yaitu silaturahmi antara masyarakat baduy dengan para
pejabat seperti bupati camat dll. Dengan membawa hasil panen masyarakat baduy
seperti beras, pisang, dan lain sebagainya.
Ritual tidak hanya digunakan dalam sistem bercocok tanam saja melainkan
terhadap faktor kehidupannya misalnya ritual apabila ada yang sakit, dengan diberikan
air yang telah diberi doa-doa dan sistem pengobatannya secara tradisional dengan
menggunakan daun–daun yang dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan.
Tetapi apabila sudah parah dan tidak bisa dibantu dengan obat tradisional dan ritual
lainnya, biasanya menggunakan bantuan dari pemerintah. Tetapi sejauh ini dengan fisik
yang sehat dan membiasakan berjalan kaki dengan jarak jauh masyarakat Baduy jarang
terserangnya penyakit, kalau ada pun biasanya yang jatuh dari pohon dan sebagainya.
selain ritual untuk orang sakit dalam pembuatan rumah pun harus melakukan ritual
sebelum dan sesudah rumah itu dibangun yang bertujuan untuk menolak bala dari hal –
hal negatif yang singgah pada rumah tersebut sehingga mengamcam keselamatan orang
didalamnya.
Menurut Winnick dalam Nur Syam (2005), menjelaskan bahwa ritual
merupakan serangkaian tindakan yang melibatkan agama atau magic didalamnya yang
dimantapkan melalui tradisi, ritual tidak sama persis dengan pemujaan karena ritual
adalah tindakan yang dilakukan keseharian. Apabila dihubungkan dengan teori diatas,
ada keterkaitannya dengan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Baduy sendiri dimana
mereka tidak menjadikan ritual sebagai pemujaan melainkan untuk aktivitas
kesehariannya, karena dengan mereka melakukan ritual, secara tidak langsung

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 7


merupakan pemnghormatan dan ketaatan terhadap nenek moyang, melestarikan adat
istiadat dan kebudayaannya dan untuk memenuhi kehidupan yang layak. Atau yang
lebih singkatnya ritual dijadikan untuk meminta sesuatu yang berhubungan dengan
keselamatan kesejahteraan penduduk didaerahnya atau hanya sebagai bentuk
terimakasih.
Pola kampung Cibeo dapat dipandang merupakan prototype kampung-kampung
masyarakat sunda. Pola kampung Cibeo memanjang dan berpusat pada sebuah lapangan
terbuka, pada kedua sisi kiri kanannya berderet rumah-rumah penduduk, sedangkan
rumah Puun terletak pada jarak yang cukup jauh berhadapan dengan bale, tempat Puun
menerima tamu atau warga masyarakat kampung itu bermusyawarah. Disamping itu
bale berfungsi sebagai tempat menginap tamu-tamu (biasanya tamu dari luar desa
kanekes hanya diizinkan menginap satu malam), tempat berbagai upacara, pesta, dan
kegiatan social atau religi lainnya.
Bale berbentuk rumah panggung, berpintu satu, berjendela kecil satu atau dua,
dan tidak terbagi dalam kamar-kamar melainkan terbuka saja, lantainya seperti pada
umumnya rumah-rumah Baduy, terbuat dari bambu atau palupuh dan dindingnya bilik
atau anyaman bambu, tiang kayu, dan palang bambu yang tidak menggunakan paku
melainkan diikat dengan tali atau di pasak dengan bambu (paseuk).
Baduy merupakan sekelompok masyarakat yang tinggal di pedalaman Banten.
Ada pendapat bahwa asal mula orang Baduy adalah sekelompok masyarakat pemeluk
agama Hindu di Jawa Barat yang terdesak ke pedalaman oleh masuknya orang-orang
islam. Orang Baduy bukanlah bangsa pengembara, sejak dahulu mereka telah mengenal
tempat tinggal menetap yang sekarang merupakan daerah Baduy. Mereka menyebut
dirinya orang kanekes. Daerah Baduy terbagi atas dua bagian, yaitu daerah kajeroan
( pedalaman ) dan daerah kaluaran (daerah luar).
Daerah kajeroan di sebut juga daerah 40 suku, yang meliputi tiga tempat, yaitu
Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawan. Cibeo merupakan tempat yang terbesar dan terdiri
atas 20 suku dan 20 rumah, cikeusik meliputi 14 rumah, dan cikartawan meliputi daerah
terkecil hanya meliputi 6 rumah. Setiap tempat mempunyai seorang Puun yang sangat
dihormati dan dijunjung tinggi oleh kaumnya.
Keadaan dikajeroan berbeda dengan kaluaran. Daerah kaluaran dipimpin oleh
seorang lurah, yang disebut Jaro, dipilih dengan cara pemilihan umum dan dipimpin

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 8


oleh camat. Di daerah pedalaman juga terdapat Jaro. Jaro di daerah pedalaman atau
kajeroan itu bergelar Jaro Tangtu (Jaro Tetap) dan dipilih oleh Puun. Selain pemimpin-
pemimpin tersebut, dalam masyarakat orang Baduy masih dikenal adanya tokoh-tokoh
masyarakat lain, yaitu Jaro dan Girang Surat (Petugas tata laksana adat). Jaro adalah
pembantu pen’ren yang bertugas sebagai penghubung antara pen’ren dan pemerintah
federal (kecamatan, kabupaten).
Orang Baduy dari daerah kajeroan biasanya memakai ikat kepala putih,
sedangkan yang berasal dari daerah kaluaran memakai ikat kepala hitam. Sifat-sifat
yang terlihat dalam jiwa mereka jauh berlainan dengan sifat manusia lain. Mereka jujur,
tidak pernah berdusta apalagi membunuh dan menipu sesama manusia. Kepercayaan
mereka adalah dinamisme, semua benda besar maupun kecil mereka anggap berjiwa,
terutama sungai-sungai besar, gunung-gunung, dan batu-batu besar. Selain itu, mereka
percaya adanya dewa-dewa Pembina dan dewa perusak. Mereka juga memiliki pepatah
yang sangat dipegang teguh yaitu Nyaur kudu diukur, Nyabda kudu diunggang yang
artinya berbicara harus tepat, jelas, dan bermakna, tidak asal bunyi.
Saat ini, tercatat sekitar 11.799 jiwa masyarakat suku baduy. Dalam mengatasi
jumlah penduduk, mereka menggunakan sistem KB alami yang dijalankan masyrakat
baduy secara turun temurun yaitu dengan memakai daun canar. Caranya dengan
menempelkan daun canar ke perut lalu diikat dengan kain. Tiap tangkainya bercirikan
tahun yang diinginkan untuk menahan kehamilan. Pada daun tangkai pertama berarti
tahun pertama, dan serterusnya.
2. Sistem Kepercayaan, Ritual, dan Upacara Adat.
a. Kepercayaan
Sistem Kepercayaan yang dianut Masyarakat Baduy Dalam disebut Sunda
Wiwitan yaitu pada prinsipnya adalah agama budha yang dipengaruhi oleh hindu dan
Islam, mereka mengakui adanya Tuhan yang Masa Esa yang disebut “ Batara Tunggal”
dan juga mengakui adanya Nabi Adam, Nabi Muhammad SAW dan syahadat seperti
dalam ajaran islam tetapi mereka tidak melaksanakan ibadah agamanya dengan apa
yang orang islam lakukan. Karena kepercayaan yang mereka anut ini masih memegang
kuat adat istidat yang kuat. Selain itu dalam bertani/bercocok tanam itu mutlak
hukumnya setiap keluarga harus mempunyai satu lahan dan satu Leuit Lengang atau
lumbung padi karena itu merupakan sebuah perintah agama yang harus dilaksanakan.

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 9


b. Ritual
Menurut garna koentjaraningrat, dasar religi orang baduy adalah penghormatan
ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, batara tunggal. Keyakinan
mereka itu di sebut sunda wiwitan atau agama sunda wiwitan. Orientasi, konsep-konsep
dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya ditujukan kepada pikukuh baduy untuk
bekerja menurut alur itu dalam mensejahtrakan kehidupan baduy dan dunia ramai.
Perjalanan hidup manusia di dunia fana menurut sunda wiwitan tidak terpisah
dari wadah “tiga buana” yaitu: Buana nyungcung sama dengan Buana luhur atau ambu
luhur Buana panca tengah sama dengan Buana tengah atau Ambu tengah. Buana larang
sama dengan Buana handap atau Ambu handap. Manusia yang hidup mengembara di
buana panca tengah suatu saat akan menemui buana akhir yakni buana larang.
Sedangkan proses kelahirannya di tentukan di buana luhur. Dalam pelaksanaan ajaran
sunda wiwitan di kanekes seperti tidak berpatokan pada hal-hal tertentu, karena tidak
memiliki kitab suci sebagaimana agama-agama lain. Kitab suci mereka terpatri dalam
‘PIKUKUH’ yang di dalamnya sarat dengan berbagai ajaran sunda wiwitan.
Disamping itu masyarakat baduy juga memiliki sistem pengetahuan yang
berkaitan dengan ritual dan mitos, diantaranya adalah pengetahuan tentang jagat seperti
diungkapkan dalam konsep buana dan mitologi baduy, tampaknya tidak semua tentang
dunia nyata tetapi juga tentang dunia abstrak, kehidupan mendatang. Orang baduy juga
mengenal dengan baik jenis-jenis tanaman huma dan pepohonan di hutan, termasuk
padi. Padi itu dikenal sebagai padi lokal yang di tanam di lahan kering. Sedangkan
mereka tidak menanam singkong karena dianggapnya tanaman singkong akan merusak
tanah serta berlainan dengan apa yang diamanatkan dewi Sri. Tempat menyimpan pasi
yang disebut dengan leit yang umumnya jauh dari tanah dan pintunya terdapat di atas
memiliki filosofi tersendiri dan dimaksudkan agar tidak ada tikus yang masuk dan
memakan padi mereka.
Ritual Masyarakat Baduy Dalam dilakukan secara umum dan secara pribadi.
Ritual bagi masyarakat baduy dalam hukumnya sangat wajib dan tidak boleh dilupakan
atau ditinggalkan karena menurut mereka ritual merupakan peninggalan para leluhur
tertua atau kokolot yang harus dilaksanakan secara turun temurun sampai kapan pun dan
sudah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu. Sebelum melakukan ritual terlebih
dahulu membaca syareat atau doa-doa.

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 10


Macam – macam ritual:
1) Ritual apabila ada yang sakit, tetapi tergantung dari penyakitnya apabila parah
itu dilaksanakan ritual. Sistem pengobatannya secara tradisional dengan
menggunakan daun – daun yang dipercaya memiliki khasiat untuk
menyembuhkan.
2) Ritual ketika akan membuat rumah, yaitu ritual penolak bala dari hal hal yang
negatif.
3) Ritual / upacara ngabokoran
4) Ritual nyancar (narawas) yaitu ritual ketika mereka akan membuka lahan.
5) Ritual ngaduruk (ngarajan) yaitu tabeuh binih nyipohaci kabumi.
6) Ritual ngaseuk yaitu tabor benih (nitipkeun nyipo haci dewi sri)
7) Ritual ngahuma/ ubaran huma yaitu proses nyiram sawah, menanam padi.
8) Rirual Selamet mipit yaitu panen dan memasukkan padi ke dalam leit
9) Ritual ngawalu yaitu memperingati hasil panen
10) Ritual ngalaksa, setelah ritual ngawalu yaitu dengan membuat makanan –
makanan seperti mie tetapi lebar.
11) Ritual nganyaran yaitu nyicip hasil panen
12) Ritual ngadiukeun indung
13) Ritual seba, yaitu lebih ke silaturahmi antara masyarakat baduy dengan para
pejabat seperti bupati camat dll. Dengan membawa hasil panen masyarakat
baduy yang dimilikinya.
c. Upacara Adat
Pada upacara adat khusus, warga baduy dalam berkomunikasi dengan yang
maha kuasa dengan cara membakar kemenyan. Kemenyan yang dinyalakan menjadi
medium kontak batin secara langsung dengan Nya. Mereka melakukan upacara-upacara
adat sebagia wujud sikap hormat dan ras aterimakasih kepada yang maha kuasa. Orang-
orang baduy dalam juga percaya adanya kehidupan setelah mati, percaya bahwa surge
dan neraka itu ada. Wujud kepercayaan itu terlihat dari tingkah laku dan perbuatan
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjunjung prinsip-prinsip kejujuran dan
kedamaian, berusaha senantiasa berbuat jujur, ikhlas, menjauhi rasa iri, benci, dan rasa
lain yang dapat meruska kesucian jiwa. Prinsip ajaran ini juga menjadi pegangan hidup
bagi seluruh warga baduy.

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 11


Sesuai dengan kalender hitungan adat, terdapat hari raya kawalu, merupakan
hari raya paling utama bagi komunitas adat baduy dalam, dan berlaku juga bagi baduy
luar. Perayaan hari raya ini biasa disebut dengan ngawalu yang dilaksanakan pada
bulan-bulan kawalu, berlangsung selama 3 bulan. Kira-kira jatuh sekitar akhir desember
sampai maret pada tarkih masehi. Secara kronologis, kawalu terbagi menjadi 3, yaitu
bulan kawalu tembai atau awal, kawalu tengah, dan kawalu tutug (besar atau penutup).
Bula-bulan kawalu merupakan 3 bulan paling dihormati dan disyukuri, ditandai
saat padi mulai berbunga, seterusnya hingga masa panen padi usai. Rangkaian acara
adat ngawalu yang ditutup dengan ngalaksa dilaksanakan pada kurun waktu ini. Ini
merupakan rangkaian acara syukuran dan peringatan terhadap pesan leluhur yang harus
di pegang teguh.
Terdapat pula upacara adat nganyaran yang dilakukan masing-masing keluarga.
Yaitu doa syukur khusus bagi hasil panen padi sebelum dikonsumsi. Acara-acara adat
seperti ini sama sekali tidak boleh dilanggar demi keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Pada masa kawalu ini, pada hari yang ditentukan diselnggaran satu acara besar yaitu
menumbuk padi perdana secara bersama, diikuti dan dihadiri oleh semua utusan
komunitas adat baduy. Biasanya dipusatkan di Cibeo, baduy dalam.
Selain itu terdapat ritual mapag sri, upacara dilaksanakan dengan mengarak
orang yang menjadi symbol dewi sri mengelilingi kampung. Prosesi arakan tersebut
diiringi dengan atraksi kesenian setempat. Selanjutnya, Ruwatan Bumi,
diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen, upaya tolak bala, dan
sebagai media penghormatan terhadap leluhur. Masyarakat setempat meyakini bahwa
acara tersebut mempunyai manfaat keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan
kehidupan pertanian. Berikutnya tradisi nyangku, dalam tradisi ini dilakukan
pembersihan benda-benda pusaka.
2. Sistem Organisasi/Kelembagaan dan tatanan Masyarakat
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional,
yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat
yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 12


camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat suku baduy adalah tiga "Pu'un" yang
ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak
otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu
jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang
memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan
oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan
hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka
bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam
dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3
orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut
sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai
penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam
tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung
(Makmur, 2001).
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh para ahli, bahwa penduduk desa
kanekes adalah orang baduy, tidak tercampur oleh penduduk luar, bahasanya termasuk
kategori dialek sunda banten atau subdilek baduy yang memiliki ciri-ciri khusus, seperti
tidak memiliki undak usuk, aksen tinggi dalam lagu kalimat dan beberapa jenis struktur
kalimat berlainan dengan bahasa sunda lulugu.
Menurut djatisunda secara sadar masyarakat kanekes mengakui bahwa yang
secara tegas membuat mereka berada dengan masyarakat sunda lainnya di luar kanekes
hanyalah dalam sistem beragama. Mereka menyebut orang sunda di luar kanekes
dengan “urang are” atau “dulur are”. Arti dari istilah “urang are” atau “dulur are”
menurut ayah kaiti bekas “seurat” tangtu ciukeusik, diungkapkan dengan
mengemukakan “harti urang are ta ja dulur are”, dulur-duluran mah, ngan eslam hanteu
sabagi kami didieu” (arti urang are yaitu dulur are, saudara sih saudara, tetapi islam
tidak seperti saya disini). Ungkapan tersebut memperjelas kedudukan etnik masyarakat
kanekes baduy sebagai suku bangsa sunda.

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 13


3. Kesenian di Baduy
Calintu merupakan salah satu alat musik khas baduy dalam (terdapat juga di
baduy luar) yang di pasang di huma. Tujuannya adalah untuk menghibur padi yang baru
ditanam hingga menjelang panen. Selain calintu, terdapat pula alat music angklung khas
tanah sunda. Di Baduy music angklung hanya di mainkan pada saat upacara adat yang
sakral, sedikitnya pada dua acara. Pertama saat acara adat tanam padi serang lebih
sering diadakan dicibeo, juga disebut sebagai pembukaan angklung. Kedua, dimasing-
masing kampung pada acara adat penutupan angklung di tengah malam, mengiringi
pembuatan bubur tiis (perangkat upacara doa bagi tanaman padi di ladang) menjelang
bulan kawalu. Angklung dimainkan oleh sekitar 10-15 orang.
Baduy juga memiliki beberapa alat musik yang dapat dimainkan secara tunggal
seperti kecapi, biola, dan rebab. Bila dimainkan bersama gambang dan gong dalam satu
orkestra music tradisional, ini sungguh mengasikan. Nada-nada unik ketukan gambang
asik menganyam komposisi paduan tembang dan disana sini degung gong menepati
aksentuasinya. Masyarakat Baduy Dalam biasanya menggunakan kesenian untuk
memerihkan upacara – upacara tertentu dengan memainkan alat musik seperti angklung
(ukuran angklungnya relatif besar serta memiliki cara sendiri memainkannya) yang
disebut Angklung Buhun. Angklung ini merupakan angklung tradisional yang dipercaya
mempunyai kekuatan unsur magis sehingga dalam menggunakannya pun harus dengan
orang yang ahli untuk memainkannya agar sesuai dengan irama dan sebagai daya tarik
yang mampu menyentuh rasa, juga dijadikan jembatan sebagai alat komunikasi dalam
menyampaikan ajakan, peringatan, larangan dan penerangan guna untuk
mempertahankan kelangsungan anak – keturunannya. Angklung Buhun juga bukanlah
pagelaran yang setiap saat bisa ditonton tetapi hanya dilakukan satu tahun sekali dengan
gaya dan versi yang sama. Selanjutnya ada kecapi, kecapi ini digunakan hanya sebatas
alat musik saja tanpa diiringi nyanyian - nyanyian. Kesenian ini diperkhususkan untuk
tujuan menyambut Dewi Sri ketika sebelum panen dan sesudah panen tiba. Selain
angklung dan kecapi kesenian lainnya yaitu ada Rendo Pengiring Pantung yang
merupakan salah satu alat kesenian tradisional yang memberikan corak warna
kehidupan budaya bervariasi yang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa ingat para
warga kepada amanat leluhurnya yang harus ditaati dan dilaksankan guna untuk
menjamin keselamatan dan kesejarhteraan di masyarakat Baduy Dalam. Rendo

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 14


Pengiring Pantung ini biasanya hadir hanya satu tahun sekali setelah selesai musim
ngored, menjelang pohon padi mulai berbunga. Peristiwa ini merupakan waktu
senggang yang digunakan mereka untuk kesibukan membaca pantun,dalam membuka
tabir sejarah perjalanan hidup leluhurnya yang dilakukan dari rumah ke rumah pada
malam hari sampai larut malam. Kegiatan mantun ini biasanya dipimpin oleh tokoh
masyarakat, yang lebih mengetahui, serta bertanggung jawab untuk menyampaikan
amanat.

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 15


REFERENSI
Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara
sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, hlm. 47 – 59.
A Suhandi, Sam. (1996). Tata Kehidupan Masyarakat Baduy Daerah Jawa Barat.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung.
Ekadjati, Edi. 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: PT Girimukti
Pasaka
Erwinantu. 2012. Saba Baduy (Sebuah perjalanan wisata Budaya inspiratif ). Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Djoewisno, MS. (1986) Kahidupan Masyarakat Baduy. Bandung : PT Cipta Pratama
Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di
Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia
No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk
Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
Makmur, A. (2001). Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif kekerabatan.
Murniatno, Gatut dkk. 2000. Khazanah Budaya Lokal. Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa
Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy, Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.
Purnama, Dina dkk. 2011. Ensiklopedia Jawa Barat. Jakarta: PT Lentera Abadi

Budaya Masyarakat Baduy Dalam 16

Anda mungkin juga menyukai