Anda di halaman 1dari 75

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339737553

Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Book · May 2011

CITATIONS READS

0 12,710

1 author:

Endra Wijaya
Pancasila University
36 PUBLICATIONS   24 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Research Grant from the Ministry of Education of Republic of Indonesia View project

Legal Language; Criminal Law View project

All content following this page was uploaded by Endra Wijaya on 06 March 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGANTAR
HUKUM ACARA
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Endra Wijaya

Pusat Kajian Ilmu Hukum


Fakultas Hukum Universitas Pancasila

i
Judul:
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Penulis:
Endra Wijaya

Kolase pada kover:


een.

Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum


Fakultas Hukum Universitas Pancasila
(PKIH FHUP).

Alamat PKIH FHUP:


Gedung Fakultas Hukum Universitas Pancasila, lantai 2,
Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa.
Jakarta Selatan, 12640.

Cetakan ke-1: Mei 2011.

ISBN: 978 – 602 – 99279 – 1 – 7

Pengutipan sebagian isi buku ini untuk


keperluan membuat karya tulis ilmiah
adalah diperbolehkan
dengan menyebutkan buku ini sebagai sumbernya.

ii
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis ingin mengucapkan syukur


alhamdulillaah atas segala kekuatan dan kesehatan yang telah
Allah SWT berikan kepada diri penulis, sehingga dengan itu
penulis mampu menyelesaikan karya tulis berupa buku
”sederhana” ini.
Tujuan dari disusunnya buku Pengantar Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara ini ialah untuk membantu para
mahasiswa agar mereka dapat dengan lebih mudah memahami
materi-materi yang ada dalam perkuliahan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara.
Oleh karena hal tersebut di atas, maka isinya memang
sengaja disusun dalam bentuk yang ringkas dari setiap materi
yang dianggap penting yang ada di dalam mata kuliah Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, selain
ditujukan untuk kalangan mahasiswa, buku ini juga diharapkan
dibaca oleh siapapun yang ingin dengan mudah dan cepat
memahami prosedur Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara.
Agar lebih utuh pemahamannya mengenai materi yang
disajikan, maka kepada para mahasiswa atau para pembaca
diharapkan juga membaca bahan pustaka lainnya yang
relevan. Untuk itu, di bagian akhir buku ini (bagian daftar
pustaka) penulis cantumkan beberapa bahan pustaka yang
dimaksud.
Dalam penyelesaian buku ini, penulis banyak
memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bantuan
moral maupun materiel. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Para pimpinan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
(FHUP).
2. Para dosen (tim pengajar) mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara di FHUP: Ibu Poppy
Yayati, S.H. (alm.), Ibu Diani Kesuma, S.H.,M.H., dan
Bapak Ali Abdullah, S.H.,M.H.
3. Pritha “si pelangi”.

iii
4. Rekan diskusi penulis: Ariffianto Trias Aji, S.H., dan Deni
Bram, S.H.,M.H.
5. Rekan-rekan penulis di Pusat Kajian Ilmu Hukum FHUP
(PKIH FHUP).
6. Bapak dan Ibu, serta rekan dosen lainnya.
7. Para mahasiswa saya yang selalu membuat saya tetap
semangat untuk berkarya dan tersenyum.
Demikianlah, semoga buku ini dapat bermanfaat.

Jakarta, Mei 2011

Penulis.

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………… iii


DAFTAR ISI …………………………………………………….. v

I. PENDAHULUAN …………………………….…………… 1
A. Negara Hukum dan
Peradilan Tata Usaha Negara ……………………. 1
B. Sejarah Pembentukan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia …….. 5
C. Sekilas Perkembangan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia …….. 10

II. PERBEDAAN ANTARA


HUKUM ACARA PERDATA DAN
HUKUM ACARA PERADILAN
TATA USAHA NEGARA ………………………………… 13

III. SUBJEK (PARA PIHAK) DALAM


SENGKETA TATA USAHA NEGARA …………………. 16
A. Penggugat ………………………………………….. 16
B. Tergugat …………………………………………….. 17
C. Perkembangan dalam Praktik:
Perguruan Tinggi Swasta sebagai Tergugat
dalam Sengketa Tata Usaha Negara ................... 20

IV. OBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA .............. 22


A. Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) ...... 24
B. Keputusan Tata Usaha Negara
yang Fiktif Negatif ................................................. 27
C. Pengecualian terhadap Objek Sengketa
Tata Usaha Negara ............................................... 30

V. UPAYA ADMINISTRATIF .............................................. 34

VI. PEMBERIAN KUASA ..................................................... 39

v
VII. GUGATAN .................................................................... 42

VIII. PEMERIKSAAN SENGKETA


TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN ................... 47

IX. JAWABAN, REPLIK, DUPLIK, PEMBUKTIAN,


SIMPULAN, DAN PUTUSAN ........................................ 48
A. Jawaban ............................................................... 48
B. Replik dan Duplik .................................................. 50
C. Pembuktian ........................................................... 50
D. Simpulan ............................................................... 53
E. Putusan ............................................................... 53

X. ACARA PEMERIKSAAN DALAM


HUKUM ACARA PERADILAN
TATA USAHA NEGARA ................................................ 55
A. Pemeriksaan dengan Acara Biasa
(Acara Contradictoir) .......................................... 55
B. Pemeriksaan dengan Acara Cepat ....................... 56
C. Pemeriksaan dengan Acara Singkat .................... 56

XI. INTERVENSI ............................................................... 58

XII. UPAYA HUKUM ............................................................ 60


A. Banding ............................................................... 60
B. Kasasi ................................................................... 61
C. Peninjauan Kembali ............................................. 62

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 63


TENTANG PENULIS ............................................................ 65

***

vi
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

I. PENDAHULUAN

A. Negara Hukum dan Peradilan Tata Usaha Negara


Sejarah terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
(Peradilan TUN) merupakan rangkaian peristiwa yang telah
berjalan dalam waktu yang panjang. Sejarah terbentuknya
Peradilan TUN dapat dilihat mulai dari adanya ide negara
hukum. Ide negara hukum ini berkaitan dengan konsep
nomocracy. Nomos berarti norma, dan cratos berarti
kekuasaan. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa di
dalam nomokrasi, maka yang berperan sebagai faktor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau
hukum. Karena itulah, istilah nomokrasi erat hubungannya
dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai
kekuasaan yang tertinggi. 1
Dalam ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum
sebagai kekuasaan yang tertinggi, yang sesungguhnya
dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri,
bukannya orang. Dari bukunya Plato yang berjudul Nomoi,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan The
Laws, dapat diperoleh gambaran dengan jelas bahwa ide
nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan,
yaitu sejak zaman Yunani kuno. 2
Kemudian pada zaman modern, konsep negara hukum
di negara-negara Eropa Kontinental dikembangkan antara lain
oleh Immanuel Kant, Julius Stahl dan Fichte, dengan
menggunakan istilah rechtsstaat. Dalam sistem Anglo Saxon,
konsep negara hukum dikembangkan antara lain oleh AV.
Dicey, dengan sebutan the rule of law.

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 151.
2
Ibid.

-1-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Menurut Stahl, konsep negara hukum atau rechtsstaat


itu mencangkup 4 (empat) unsur penting, yaitu: 3
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan;
4. Peradilan TUN.
Peradilan TUN, seperti halnya peradilan yang lain, tentu
juga menjalankan prinsip peradilan yang bebas dan tidak
memihak. Dari sudut ini, jelas Peradilan TUN tidaklah berbeda
dengan badan-badan peradilan yang lainnya. Tetapi
penyebutannya yang secara khusus sebagai salah satu pilar
dari konsep rechtsstaat, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Stahl, menunjukkan bahwa Peradilan TUN adalah sesuatu
yang penting keberadaannya dalam sebuah negara hukum.
Dalam negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi
setiap warga negara untuk dapat menggugat keputusan
pejabat administrasi negara melalui Peradilan TUN.
Keberadaan Peradilan TUN tersebut dengan demikian dapat
menjamin agar warga negara tidak dilanggar hak-haknya
oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara
sebagai pihak yang berkuasa. Atas dasar itulah, maka
keberadaan dari Peradilan TUN dapat dikatakan penting. 4
Oleh karenanya, dapatlah dipahami kemudian mengapa Stahl
menyebutkan keberadaan Peradilan TUN secara tegas dan
tersendiri.
Sejalan dengan pendapat Stahl, Sjachran Basah,
seorang ahli hukum dari Indonesia, juga berpendapat bahwa
Peradilan Administrasi Negara atau Peradilan TUN
mempunyai peran yang penting. Basah menjelaskan bahwa
“... hakikat hukum administrasi negara bersifat ganda, yaitu:
pertama, memungkinkan administrasi negara untuk men-
jalankan fungsinya; ke dua, melindungi warga negara terhadap
sikap-tindak administrasi itu sendiri. Dalam suatu negara
hukum harus ada lembaga yang diberi tugas dan kewenangan

3
Ibid., hlm. 152.
4
Asshiddiqie, ibid., hlm. 158.

-2-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

untuk menyatakan dengan suatu putusan, apakah tindakan


yang dilakukan oleh aparatur pemerintah itu berdasarkan
hukum atau tidak. Di sinilah Peradilan Administrasi Negara
(TUN) berfungsi untuk mengisi apa sesungguhnya makna
negara hukum itu” 5 (huruf miring dari penulis).
Secara garis besar, tujuan pembentukan Peradilan TUN
ialah untuk:
1. Mengawasi pelaksanaan wewenang pejabat TUN
(pemerintah sebagai pemegang dan pelaksana
kekuasaan eksekutif), agar ia tidak melakukan per-
buatan yang dapat merugikan warga negara. Ini artinya
bahwa Peradilan TUN itu merupakan suatu bentuk
sarana kontrol yuridis (kontrol dari sudut hukum) bagi
pelaksanaan wewenang pemerintah. 6
2. Menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga
negaranya, yaitu sengketa yang timbul akibat dari
adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap
melanggar hak-hak warga negaranya.
3. Menjadi salah satu sarana guna mewujudkan
pemerintahan yang efisien, efektif, bersih, berwibawa
serta selalu melaksanakan tugasnya dengan ber-
dasarkan kepada hukum. 7 Atau dalam kalimat lain,
dapat dikatakan juga bahwa Peradilan TUN itu
sebenarnya dapat menjadi salah satu sarana untuk
mewujudkan good governance di Indonesia. 8

5
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara: Suatu
Perbandingan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 16-17.
6
Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi
Hukum terhadap Pemerintah (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1986), hlm.
xvii. Lihat juga Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN sebagai Pranata
Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia: Studi tentang Keberadaan
PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001 (Jakarta: Perum Percetakan
Negara RI, 2005), hlm. 149.
7
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
UU No. 5 Tahun 1986, bagian Menimbang.
8
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap
Tindakan Pemerintah (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm. 220.

-3-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Di Indonesia, telah terbentuk Peradilan TUN yang


berdiri sendiri yang berpuncak di Mahkamah Agung, dan
usaha pembentukan Peradilan TUN ini dapat dikatakan telah
melalui perjalanan yang cukup panjang. Dasar hukum
dibentuknya Peradilan TUN di Indonesia ialah:
1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) 9 dan;
2. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (yang telah mencabut
undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Mahkamah Agung dan peradilan yang ada di bawahnya.

Kemudian, secara lebih rinci pengaturan mengenai


Peradilan TUN di Indonesia dituangkan lagi dalam bentuk UU
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
yang kemudian diubah melalui:
1. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pera-
dilan Tata Usaha Negara, dan;

9
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

-4-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

2. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan ke Dua


atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. 10
Mengenai nama yang digunakan di Indonesia, terdapat
2 (dua) macam nama (ada citeertitel-nya) yang dianggap
bermakna sama yang mengacu kepada pengertian Peradilan
TUN. Berdasarkan Pasal 144 UU Nomor 5 Tahun 1986, maka
selain dapat disebut dengan “Peradilan Tata Usaha Negara,”
dapat pula digunakan sebutan “Peradilan Administrasi
Negara.”
Penggunaan 2 (dua) nama tersebut timbul karena
adanya perbedaan pendapat pada saat pembahasan
pembentukan UU Nomor 5 Tahun 1986. Usulan pihak pe-
merintah ialah menggunakan nama “Peradilan Tata Usaha
Negara”. Sedangkan usulan dari Fraksi Karya Pembangunan
(FKP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan para akademisi
seperti dari Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara,
Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas
Hasanuddin, menggunakan nama “Peradilan Administrasi
Negara”. 11

B. Sejarah Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di


Indonesia
1. Masa Sebelum Indonesia Merdeka
Pada masa penjajahan Belanda, tidak terdapat
Peradilan TUN yang secara khusus dan berdiri sendiri untuk
menyelesaikan sengketa TUN. 12 Penyelesaian terhadap

10
Untuk selanjutnya ketiga undang-undang mengenai Peradilan Tata
Usaha Negara tersebut hanya disebutkan nomor dan tahunnya saja, tanpa
disebutkan perihalnya.
11
Menurut Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS.
Poerwadarminta, yang kembali diolah oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, bahwa administrasi adalah tata usaha. Tata usaha adalah
administrasi. Selanjutnya, tata usaha adalah penyelenggaraan urusan tulis-
menulis, surat-menyurat dalam perusahaan (termasuk negara), juga
administrasi. Untuk selengkapnya lihat Setiadi, op.cit., hlm. 39-43.
12
R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia: Sebelum Perang Dunia II
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 39.

-5-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

sengketa di bidang TUN diselesaikan oleh hakim di Peradilan


Umum atau oleh badan-badan khusus di lingkungan pe-
merintah sendiri.
Ketentuan penyelesaian sengketa di bidang TUN pada
masa penjajahan Belanda didasarkan pada Pasal 2
Reglement on de rechterlijke Organisatie en het Beleid der
Justitie (RO), yang menyatakan bahwa pemeriksaan serta
penyelesaian sengketa TUN menjadi wewenang lembaga
administrasi itu sendiri. Penyelesaian sengketa TUN semacam
itu ada yang menyebutnya dengan istilah peradilan admi-
nistrasi semu (quasi administrative rechtspraak). 13
Sebagai contoh dari peradilan administrasi semu ter-
sebut ialah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), yang dibentuk
di Jakarta pada tanggal 11 Desember 1915. 14 Dibentuknya
MPP di Indonesia ini merupakan penyesuaian dari MPP di
negara Belanda, sesuai dengan asas konkordansi. 15
Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang, badan-
badan pemerintahan dan peraturan-peraturan yang berlaku
pada masa Hindia Belanda masih tetap diberlakukan
sepanjang tidak bertentangan dengan aturan pemerintah mi-
liter Jepang. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 3 Osamu Seirei
Nomor 1 Tanggal 7 Maret 1942, yang berbunyi: 16 “Semua
badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum serta
undang-undang dari pemerintah yang terdahulu tetap diakui
sah bagi sementara waktu, asal saja tidak bertentangan
dengan aturan pemerintahan militer”.
Jadi dapatlah dikatakan, bahwa pada masa peme-
rintahan penjajah Jepang ini tidak terjadi perubahan atau

13
SF. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di
Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 22.
14
Pendapat Rochmat Soemitro. Lihat ibid., hlm. 23.
15
Asas konkordansi (concordantie) adalah asas yang menyatakan
bahwa hukum yang dianut oleh negara penjajah diterapkan pula untuk negara
yang dijajahnya. Untuk kasus Indonesia, maka hukum yang diterapkan adalah
sama dengan hukum yang berlaku di Belanda. Lihat Siahaan, op.cit., hlm. 50.
16
Marbun, op.cit.

-6-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

perkembangan yang mendasar dalam bidang Peradilan


TUN. 17

2. Masa Setelah Indonesia Merdeka


Niat sesungguhnya untuk membentuk suatu Peradilan
TUN barulah ada sejak Negara Republik Indonesia baru
merdeka. Hal ini terbukti dengan adanya UU Nomor 19 Tahun
1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan
Kehakiman dan Kejaksaan, yang dalam Pasal 6 ayat (1)-nya
menyebutkan isitilah “Peradilan Tata Usaha Pemerintahan”. 18
Selain Pasal 6 ayat (1) tersebut, UU Nomor 19 Tahun 1948,
dalam Pasal 66 dan Pasal 67, juga memuat ketentuan
mengenai Peradilan TUN. 19
Selanjutnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rak-
yat Sementara (MPRS) Nomor II/MPRS/1960 menetapkan
agar segera dibentuknya Peradilan Administrasi. Kemudian,
ketentuan ini diatur lebih lanjut pada tahun 1964 dengan
diundangkannya UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ke-
tentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 20
Namun sayangnya, baik UU Nomor 19 Tahun 1948
maupun UU Nomor 19 Tahun 1964 akhirnya tidak diberlaku-
kan lagi karena alasan politis.
Keinginan untuk membentuk Peradilan TUN, pernah
pula dirumuskan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang disiapkan
oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) 21 pada
tanggal 10 Januari 1966. 22

17
Ibid.
18
Baharuddin Lopa dan Andi Hamzah, Mengenal Peradilan Tata
Usaha Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 21. Lihat juga Daniel
Khumarga, “Persamaan dan Nuansa Perbedaan Antara Corak Peradilan Tata
Usaha Negara Perancis, Belanda dan Indonesia,” Jurnal Ilmiah Universitas
Pelita Harapan (Volume II, Nomor 3, Juni 1999): 82.
19
Marbun, op.cit., hlm. 24.
20
Ibid., hlm. 25.
21
Sekarang bernama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
22
Khumarga, loc.cit., hlm. 83.

-7-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pada tahun 1975, Lembaga Penelitian Hukum dan


Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
melakukan penelitian mengenai masalah pengaturan Pera-
dilan Administrasi Negara dalam undang-undang dari
pandangan ahli-ahli hukum administrasi negara dari masa ke
masa, terutama pendapat para ahli hukum administrasi negara
Indonesia. Kegunaan praktis penelitian ini adalah agar dapat
terwujudnya sebuah Peradilan Administrasi Negara yang
memiliki wewenang yang konkret dan tegas. 23
Masalah wewenang yang konkret dan tegas sebagai-
mana disebut di atas menjadi salah satu perhatian yang
penting dalam masa usaha pembentukan Peradilan TUN di
Indonesia. Hal ini adalah karena memang sebelum
terbentuknya UU Nomor 5 Tahun 1986 di Indonesia belum ada
satu lembaga peradilanpun yang mempunyai wewenang
khusus hanya untuk mengadili sengketa-sengketa TUN.
Sebelum terbentuknya Peradilan TUN yang mandiri, untuk
sengketa-sengketa di bidang TUN penyelesaiannya dilakukan
oleh hakim di Peradilan Umum atau oleh badan-badan khusus
di lingkungan pemerintah sendiri.
Keinginan untuk segera membentuk Peradilan TUN
kemudian dipertegas lagi oleh Presiden Soeharto, dalam
pidato kenegaraannya di hadapan Sidang Pleno Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 16 Agustus 1978.
Pidato ini direalisasikan ke dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor IV/MPR/1978 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). 24
Final draft RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara
pada tahun 1982 telah berada dalam pembahasan forum
DPR, namun karena keterbatasan waktu dan beratnya materi,
akhirnya DPR tidak dapat menyelesaikan pembentukan
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Adanya keterlambatan dan kegagalan untuk membentuk suatu
Peradilan TUN di Indonesia, menurut Sunaryati Hartono, juga

23
Ibid.
24
Ibid.

-8-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

bersumber pada pendapat dan kekhawatiran kalau-kalau,


seperti halnya perkembangan yang terjadi di Prancis, Belanda
atau negara lainnya yang telah memiliki Peradilan TUN,
lembaga peradilan semacam itu malah akan: 25
1. Menjadi manifestasi dari falsafah individualisme, se-
hingga bertentangan dengan Pancasila;
2. Merupakan pengawasan yang terlalu ketat terhadap
kebijaksanaan lembaga-lembaga pemerintah, sehingga
akan dapat sangat menghambat jalannya roda pe-
merintahan yang efektif dan efisien;
3. Menyulitkan pelaksanaan politik pemerintah, khususnya
dalam hal pengambilan keputusan.
Kekhawatiran tersebut sebenarnya tidak beralasan,
karena pembentukan Peradilan TUN di Indonesia tidaklah
akan mencontoh secara “mentah-mentah” pada sistem yang
berlaku pada Peradilan TUN di negara lain. 26 Pembentukan
Peradilan TUN di Indonesia tentu akan disesuaikan dengan
keadaan di Indonesia, bahkan akan diciptakan sistem
Peradilan TUN sendiri yang sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila.
Kebutuhan untuk menyesuaikan dengan falsafah
Pancasila tersebut artinya, bahwa di dalam usaha membentuk
Peradilan TUN di Indonesia, maka yang tetap harus menjadi
pedoman adalah cita-cita pembentukan negara hukum
Pancasila, yang menurut Philipus M. Hadjon, unsur-unsurnya
terdiri dari: 27
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat
berdasarkan asas kerukunan;
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekua-
saan negara;
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan
peradilan merupakan sarana terakhir;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

25
Lopa dan Hamzah, op.cit., hlm. 32.
26
Ibid.
27
Marbun, op.cit., hlm. 15.

-9-
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Lagi pula, dengan terbentuknya dan berjalannya fungsi


Peradilan TUN bukan berarti setiap tindakan pejabat
pemerintah akan digugat sehingga aktivitas pemerintahan
yang dilakukannya akan terhambat. Hanya pejabat pemerintah
yang melanggar hukum sajalah yang akan ditindak tegas oleh
Peradilan TUN tersebut. 28
Akhirnya pada bulan April 1986, pemerintah sekali lagi
menyampaikan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara
yang telah disempurnakan kepada DPR masa bakti 1982-
1987. Pada tanggal 20 Desember 1986, DPR menyetujui RUU
tersebut menjadi undang-undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun demikian, lembaga Peradilan TUN itu sendiri baru
benar-benar terbentuk pada tahun 1991, dengan ditetap-
kannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1991
tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

C. Sekilas Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara di


Indonesia
Melalui UU Nomor 9 Tahun 2004 terdapat beberapa
perubahan yang terjadi dalam sistem Peradilan TUN di
Indonesia. Beberapa perubahan tersebut, antara lain, ialah:
1. Pembinaan teknis, organisasi, administrasi dan finansial
pengadilan yang berada di lingkungan Peradilan TUN
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam
Pasal 7 UU Nomor 9 Tahun 2004. Sebelumnya, pada
UU Nomor 5 Tahun 1986 masalah pembinaan teknis
pengadilan ini dilakukan oleh Mahkamah Agung,
sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan
finansial pengadilan yang berada di lingkungan
Peradilan TUN dilakukan oleh Departemen Kehakiman.
2. Adanya juru sita pada pengadilan di lingkungan
Peradilan TUN, yang diatur dalam Pasal 39A UU
Nomor 9 Tahun 2004. Keberadaan juru sita ini merupa-

28
Lopa dan Hamzah, op.cit., hlm. 16.

- 10 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

kan hal yang tidak dikenal sebelumnya dalam UU


Nomor 5 Tahun 1986.
3. Mengenai alasan gugatan. Alasan gugatan pada UU
Nomor 5 Tahun 1986 terdiri dari 3 (tiga) macam alasan.
Sedangkan pada UU Nomor 9 Tahun 2004, menurut
Pasal 53 ayat (2), alasan gugatan hanya terdiri dari 2
(dua) alasan, yaitu keputusan tata usaha negara yang
digugat bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan/atau bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
4. Pasal 116 ayat (4) UU Nomor 9 Tahun 2004 telah
memberikan wewenang kepada pengadilan untuk dapat
membebankan sanksi bagi pejabat TUN yang tidak mau
melaksanakan putusan pengadilan yang telah ber-
kekuatan hukum tetap, yaitu berupa pembayaran
sejumlah uang paksa (dwangsom). Untuk melengkapi
sanksi uang paksa yang telah ditetapkan pada Pasal
116 ayat (4) tersebut, kemudian pada ayat (5)-nya,
ditambahkan lagi ketentuan “Pejabat yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa
cetak setempat oleh panitera...”.
Kemudian beberapa perubahan yang dimuat dalam UU
Nomor 51 Tahun 2009, antara lain, ialah:
1. Penguatan pengawasan terhadap para hakim di
lingkungan Peradilan TUN yang dilakukan baik secara
internal (oleh Mahkamah Agung) maupun secara
eksternal (oleh Komisi Yudisial). Hal itu diatur di dalam
Pasal 13A sampai dengan Pasal 13F UU Nomor 51
Tahun 2009.
2. Pengaturan mengenai pengadilan khusus, misalnya
Pengadilan Pajak, dan hakim ad hoc di lingkungan
Peradilan TUN, yang dimuat dalam Pasal 9A UU Nomor
51 Tahun 2009.
3. Jaminan yang diberikan bagi masyarakat untuk mem-
peroleh keterbukaan (transparansi) dalam mengakses
informasi putusan dan biaya perkara persidangan.

- 11 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Jaminan mengenai transparansi itu diatur di dalam


Pasal 51A UU Nomor 51 Tahun 2009.
4. Jaminan mengenai bantuan hukum bagi setiap orang
yang sedang menghadapi masalah hukum di
pengadilan. Jaminan seperti itu diatur di dalam Pasal
144C dan Pasal 144D UU Nomor 51 Tahun 2009.

***

- 12 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

II. PERBEDAAN ANTARA


HUKUM ACARA PERDATA DAN
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Perbedaan antara hukum acara perdata (HAPER) dan


hukum acara Peradilan TUN (HAPTUN), antara lain:

No. Titik Hukum acara Hukum acara


perbedaan perdata Peradilan TUN
1. Objek Wanprestasi dan Keputusan tata
sengketa. perbuatan usaha negara
melawan hukum. (keputusan TUN).
2. Para pihak Pada prinsipnya, Kedudukan
yang siapa saja dapat penggugat dan ter-
bersengketa, menjadi peng- gugat telah ditentu-
dan gugat asalkan dia kan secara limitatif.
hubungannya cakap untuk
dengan bertindak hukum
rekonvensi dan mempunyai
(gugatan kepentingan
balik). dalam mengaju-
kan gugatannya.
Pihak yang awal- Penggugat dan
nya berkedudukan tergugat tidak boleh
sebagai tergugat ”saling tukar
dapat saja berini- kedudukan”,
siatif mengajukan sehingga akibatnya
rekonvensi (gu- di dalam HAPTUN
gatan balik). Dan tidak ada gugatan
apabila rekonven- rekonvensi
si itu diajukan, (gugatan balik).
maka pihak peng-
gugat awal akan
menjadi pihak
tergugat
rekonvensi.

- 13 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

No. Titik Hukum acara Hukum acara


perbedaan perdata Peradilan TUN
3. Sikap hakim. Hakimnya pasif. Hakimnya aktif. Hal
itu disebabkan
karena (dianggap)
kedudukan antara
penggugat dan
tergugat yang “tidak
seimbang di
hadapan hukum”.
Tergugat dianggap
“lebih kuat” dan
penggugat “lebih
lemah”.
4. Upaya Di awal persi- Tidak mengenal
perdamaian. dangan, hakim upaya perdamaian,
sudah wajib mulai tetapi penggugat
menganjurkan dimungkinkan untuk
agar pihak-pihak mencabut gugatan-
yang bersengketa nya (lihat Pasal 76).
berdamai melalui
mediasi (lihat
Pasal 7 Peraturan
Mahkamah Agung
Nomor 01 Tahun
2008 tentang Pro-
sedur Mediasi di
Pengadilan).
5. Cara (tahap) Sengketa perdata Untuk sengketa
penyelesaian diselesaikan TUN ada 2 (dua)
sengketa. dengan langsung macam cara
mengajukan gu- penyelesaian
gatan ke penga- sengketa, yaitu:
dilan. a. Melalui upaya
administratif;
b. Langsung
mengajukan
gugatan ke
Pengadilan
TUN.

- 14 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

No. Titik Hukum acara Hukum acara


perbedaan Perdata Peradilan TUN
6. Tahap Setelah gugatan Setelah gugatan
pemeriksaan didaftarkan dan didaftarkan dan
sengketa di memperoleh no- memperoleh nomor
pengadilan. mor registrasi registrasi perkara,
perkara, sengketa gugatan akan me-
langsung dapat lalui 3 (tiga)
diperiksa di muka tahapan pemeriksa-
persidangan, te- an, yaitu:
tapi harus terlebih a. Proses
dahulu menem- dismissal;
puh prosedur b. Pemeriksaan
mediasi. persiapan;
c. Pemeriksaan
di muka
persidangan.
7. Jumlah ganti Jumlah ganti rugi Jumlah ganti rugi
rugi yang tidak dibatasi. dibatasi, yaitu
dapat hanya Rp.
dituntut. 250.000,- (dua
ratus lima puluh
ribu rupiah) sampai
dengan maksimal
Rp. 5.000.000,-
(lima juta rupiah).
8. Wewenang Berwenang untuk Wewenangnya
juru sita. melakukan bukan untuk mela-
eksekusi riel. kukan eksekusi riel.
9. Prodeo. Prodeo diminta- Prodeo cukup
kan pada setiap dimintakan pada
tingkatan penga- satu tingkatan. Apa-
dilan. bila dikabulkan,
maka prodeo itu
akan berlaku juga
untuk tingkatan
selanjutnya.

***

- 15 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

III. SUBJEK (PARA PIHAK) DALAM


SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Peradilan TUN memiliki wewenang hanya untuk


mengadili sengketa TUN. Menurut Pasal 1 butir 10 UU Nomor
51 Tahun 2009: “Sengketa tata usaha negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.
Mengacu kepada rumusan pengertian sengketa TUN
tersebut, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi unsur-
unsur pembentuk dari sengketa TUN ialah: 29
1. Subjek yang bersengketa, yang terdiri dari orang atau
badan hukum perdata di satu pihak, dan badan atau
pejabat TUN di lain pihak.
2. Objek sengketanya yang berupa keputusan yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN (beschik-
king).
Selain itu, melalui Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun
1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 dapat dipahami juga bahwa
sengketa TUN baru akan terjadi apabila keputusan TUN yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN menimbulkan akibat
hukum yang merugikan bagi orang atau badan hukum
perdata.

A. Penggugat
Pihak yang mempunyai hak untuk menggugat dalam
sengketa TUN ialah hanya seseorang atau badan hukum
perdata. Seseorang itu tentunya ialah manusia sebagai
pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak untuk

29
W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha
Negara (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010), hlm. 17.

- 16 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

menggugat baru dapat digunakan apabila yang diberikan hak


menggugat itu merasa kepentingannya telah dirugikan oleh
keluarnya suatu keputusan TUN.

B. Tergugat
Dalam hukum acara Peradilan TUN, para pihak yang
bersengketa telah ditentukan secara limitatif. Penggugatnya
hanya individu atau badan hukum perdata, sedangkan yang
menjadi tergugatnya hanya “...badan atau pejabat tata usaha
negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewe-
nang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya...”
(Pasal 1 butir 12 UU Nomor 51 Tahun 2009).
Kemudian UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51
Tahun 2009 juga memberikan perincian lebih lanjut mengenai
badan atau pejabat TUN yang dapat dijadikan sebagai
tergugat dalam sengketa TUN, yaitu bahwa “Badan atau
pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” (Pasal 1 butir 8 UU
Nomor 51 Tahun 2009). Sedangkan yang dimaksud dengan
“...urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku” yang ada di dalam Pasal 1 butir 8 itu
dapat dipahami sebagai suatu “...kegiatan yang bersifat
eksekutif” (Penjelasan Pasal 1 butir 3 UU Nomor 5 Tahun
1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka badan atau
pejabat TUN yang akan dijadikan sebagai tergugat dalam
sengketa TUN sangat ditentukan oleh fungsi yang
dilaksanakan badan atau pejabat TUN tadi pada saat ia
mengeluarkan keputusan TUN yang menjadi objek sengketa.
Fungsi itu adalah fungsi eksekutif (fungsi yang bukan
legislatif 30 ataupun yudikatif 31).
30
Jika mengacu kepada teori pemisahan kekuasaan dari Montesquieu
(Trias Politica), maka fungsi legislatif ini dapat dipahami sebagai fungsi untuk
membentuk undang-undang. Lihat Safri Nugraha et al, Hukum Administrasi
Negara (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 23.
31
Fungsi untuk mengadili atau menyelesaikan sengketa.

- 17 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Apabila badan atau pejabat TUN di pusat maupun di


daerah sedang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif,
yang kegiatannya itu diwujudkan dalam bentuk keputusan
TUN dan keputusan TUN itu disengketakan, maka badan atau
pejabat TUN tadi dapat dijadikan sebagai tergugat. Yang
termasuk dalam pengertian badan atau pejabat TUN itu ialah
terdiri dari instansi-instansi, lembaga-lembaga, badan-badan,
jabatan-jabatan, komisi-komisi yang memiliki fungsi dan
kewenangan eksekutif (bukan legislatif dan yudikatif) yang
diberikan kepadanya oleh peraturan perundang-undangan.
Menurut Indroharto, yang dimaksud dengan urusan
pemerintahan yang menimbulkan fungsi eksekutif ialah segala
macam urusan mengenai masyarakat, bangsa dan negara ini
yang bukan merupakan tugas legislatif maupun mengadili
(yudikatif). 32 Jadi apa saja dan siapa saja tersebut tidak
terbatas hanya pada instansi-instansi resmi yang berada
dalam lingkungan pemerintah, karena mungkin sekali instansi
yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun
yudikatif atau bahkan mungkin pihak swasta (badan hukum
perdata), seperti universitas swasta serta yayasan,
mendapatkan pelimpahan wewenang untuk menyelenggara-
kan fungsi-fungsi di bidang eksekutif. 33 Oleh karena itu,
merekapun akhirnya dapat termasuk ke dalam kategori badan
atau pejabat TUN yang bisa digugat dalam sengketa TUN.
Dengan demikian yang menjadi ukuran untuk dapat
disebut sebagai badan atau pejabat TUN adalah fungsi yang
dilaksanakannya, dan bukan nama sehari-hari yang
digunakan, bukan pula kedudukan strukturalnya dalam
lingkungan kekuasaan eksekutif. 34

32
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara: Buku I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hlm. 165.
33
Ibid.
34
Secara garis besar, lingkungan kekuasaan eksekutif, dalam bidang
hukum administrasi negara, terdiri dari beberapa badan atau pejabat yang
disebut sebagai organisasi administrasi negara atau pejabat-pejabat
pemerintah.

- 18 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hal lain yang juga penting diperhatikan dalam hu-


bungannya untuk menentukan siapa yang dapat dijadikan
tergugat dalam sengketa TUN adalah masalah bentuk-bentuk
pelimpahan wewenang. Setiap bentuk pelimpahan wewenang
akan membawa konsekuensi yang berbeda mengenai siapa
yang bertanggung jawab apabila ada gugatan dari warga
masyarakat terhadap badan atau pejabat TUN. Ada 3 (tiga)
macam bentuk pelimpahan wewenang, yaitu: 35
1. Atribusi: pelimpahan wewenang dari suatu peraturan
perundang-undangan kepada badan atau pejabat TUN.
Jika dalam melaksanakan tugasnya badan atau pejabat
TUN tersebut menerbitkan keputusan TUN, dan
keputusan TUN itu digugat, maka yang dapat diminta-
kan pertanggungjawaban (digugat) adalah badan atau
pejabat TUN yang telah menerima wewenang tadi.
2. Delegasi: pelimpahan wewenang dari badan atau
pejabat TUN yang satu kepada badan atau pejabat
TUN yang lainnya. Jika dalam melaksanakan tugasnya
badan atau pejabat TUN yang telah menerima
pendelegasian wewenang tersebut menerbitkan ke-
putusan TUN, dan keputusan TUN itu digugat, maka
yang dapat dimintakan pertanggungjawaban (digugat)
adalah badan atau pejabat TUN yang telah menerima
pendelegasian wewenang tadi.
3. Mandat: pelimpahan wewenang dari badan atau pejabat
TUN kepada badan atau pejabat TUN yang lainnya.
Mandat biasanya terjadi dalam hubungan internal suatu
departemen atau lembaga pemerintah. Keputusan TUN
yang diterbitkan oleh badan atau pejabat TUN penerima
mandat adalah atas nama dan tanggung jawab dari
badan atau pejabat TUN yang memberikan mandat
(mandans).

35
Indroharto, op.cit., hlm. 91-92.

- 19 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

C. Perkembangan dalam Praktik: Perguruan Tinggi Swasta


sebagai Tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam perkembangan di praktik, badan hukum perdata,
seperti yayasan perguruan tinggi swasta dan pejabat di
dalamnya, dapat dianggap juga sebagai badan atau pejabat
TUN yang dapat digugat dalam sengketa TUN. Hal itu dapat
dilihat pada putusan-putusan berikut ini:
1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA.
RI.) Nomor 269 K/TUN/1996, yang mendudukkan Ketua
Umum Dewan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi
Kristen Satya Wacana sebagai tergugat.
2. Putusan MA. RI. Nomor 61 K/TUN/1999, yang men-
dudukkan Rektor Universitas Trisakti sebagai tergugat.
3. Putusan MA. RI. Nomor 210 K/TUN/2001, yang men-
dudukkan Rektor Universitas Tarumanegara sebagai
tergugat.
Putusan MA. RI. Nomor 269 K/TUN/1996 merupakan
putusan tingkat kasasi dari sebuah sengketa TUN yang untuk
pertama kalinya diperiksa oleh Pengadilan TUN Semarang
dengan nomor perkara 01/G/TUN/1995/PTUN.Smg. Peng-
gugatnya adalah Arief Budiman melawan Dewan Pengurus
Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana sebagai
tergugat.
Dalam sengketa tersebut, penggugat berhasil men-
dudukkan Dewan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Kristen
Satya Wacana sebagai tergugat dalam sengketa TUN,
padahal Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana
adalah sebuah badan hukum perdata.
Salah satu alasan yang diajukan oleh pihak penggugat
dalam mengajukan gugatan terhadap Yayasan Perguruan
Tinggi Kristen Satya Wacana adalah bahwa kegiatan Yayasan
Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana dalam mengelola
Universitas Kristen Satya Wacana merupakan suatu bentuk

- 20 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

pelaksanaan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 1 butir 2 UU Nomor 5 Tahun 1986. 36
Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana,
sebagai badan hukum swasta, dinilai telah memperoleh
kewenangan dari menteri (pemerintah) untuk menyelenggara-
kan urusan di bidang pendidikan tinggi. Dengan demikian,
Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana dapat
dianggap sebagai badan atau pejabat TUN yang dimaksud
oleh UU Nomor 5 Tahun 1986, sehingga dia dapat dijadikan
tergugat dalam sengketa TUN. 37
Di sisi lain, berbeda dengan penjelasan tersebut di atas,
ternyata ada pula putusan pengadilan yang tetap beranggapan
bahwa yayasan perguruan tinggi swasta, termasuk para
pejabat yang ada di dalamnya, bukanlah merupakan badan
atau pejabat TUN yang dapat digugat dalam sengketa TUN.
Contoh untuk hal itu dapat dilihat pada Putusan Pengadilan
TUN Yogyakarta Nomor 05/G.TUN/2005/PTUN-YK. Dalam
sengketa di Pengadilan TUN Yogyakarta itu, Badan
Penyelenggara UPN Veteran dan Rektor UPN Veteran
Yogyakarta dinyatakan tidak bisa menjadi tergugat dalam
sengketa TUN.
Salah satu argumen (pertimbangan) yang diajukan oleh
pihak majelis hakim dalam perkara Nomor
05/G.TUN/2005/PTUN-YK ialah bahwa keberadaan dan
aktivitas (kegiatan) pihak tergugat (Badan Penyelenggara UPN
Veteran dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta) bersumber dari
fungsi yang dijalankan oleh Yayasan Kejuangan Panglima
Besar Sudirman (yayasan swasta). 38 Jadi, majelis hakim
secara implisit telah menyimpulkan bahwa pihak Badan
Penyelenggara UPN Veteran dan Rektor UPN Veteran
Yogyakarta jelas tidak mendapatkan pelimpahan wewenang di
bidang pemerintahan dari pihak badan atau pejabat TUN
36
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor
01/G/TUN/1995/PTUN.Smg.
37
Ibid.
38
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor
05/G.TUN/2005/PTUN-YK.

- 21 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

manapun. Sehingga dengan demikian, Badan Penyelenggara


UPN Veteran dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta tidak dapat
dijadikan sebagai pihak tergugat dalam sengketa TUN.

***

- 22 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

IV. OBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU


Nomor 9 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “Seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”.
Dalam proses Peradilan TUN, yang selalu menjadi
pokok sengketa (pokok permasalahan) ialah mengenai sah
atau tidaknya tindakan penggunaan wewenang pemerintahan
badan atau jabatan TUN menurut hukum publik. Sedangkan
yang dimaksud dengan tindakan menurut hukum publik adalah
tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat TUN
dalam rangka melaksanakan urusan pemerintah. 39 Tindakan
hukum pemerintah (badan atau pejabat TUN) itu memang
dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum
(menciptakan hak dan kewajiban tertentu). 40
Wujud pelaksanaan wewenang pemerintahan menurut
hukum publik yang berupa tindakan-tindakan hukum publik
dari badan atau pejabat TUN dituangkan dalam bentuk
penetapan tertulis (keputusan TUN atau beschikking). Hal
itulah yang kemudian menjadi objek dalam sengketa TUN.
Menurut Indroharto, tindakan hukum yang pada
dasarnya juga merupakan keputusan TUN namun yang
dikeluarkan secara lisan, seperti yang dilakukan anggota polisi
lalu lintas pada waktu mengatur lalu lintas di jalan, tidak
termasuk dalam keputusan TUN yang dapat dijadikan objek

39
Indroharto, op.cit., hlm. 142.
40
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), hlm. 113.

- 23 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5


Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009. 41

A. Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)


Pasal 1 butir 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor
51 Tahun 2009 menjelaskan bahwa “Keputusan tata usaha
negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan dan atau pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan per-
aturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Dari ketentuan Pasal 1 butir 9 UU Nomor 5 Tahun 1986
jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 tersebut, maka dapat diperoleh
unsur-unsur keputusan TUN sebagai objek sengketa TUN,
yaitu: 42
1. Bentuk penetapan itu harus tertulis;
2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN;
3. Berisi tindakan hukum TUN;
4. Bersifat konkret, individual dan final;
5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.

1. Unsur Penetapan Tertulis


Indroharto menjelaskan bahwa istilah penetapan tertulis
terutama ditujukan kepada isi dan bukan kepada bentuk
formalnya yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN.
Oleh karena itu, sebuah memo atau nota tetap bisa dianggap
memenuhi syarat tertulis dan akan merupakan suatu ke-
putusan TUN menurut UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor
51 Tahun 2009 apabila jelas-jelas dapat diketahui: 43
1. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
2. Maksud serta mengenai apa isi tulisan itu;

41
Indroharto, op.cit., hlm. 162-163.
42
Ibid.
43
Ibid.

- 24 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang


ditetapkan di dalamnya.
Suatu keputusan memang diharuskan tertulis, namun
yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formatnya seperti
surat keputusan pengangkatan dan sebagainya, tetapi per-
syaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan pembuktian.

2. Unsur Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara


Badan atau pejabat TUN, menurut Pasal 1 butir 2,
ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan badan
atau pejabat TUN pada saat suatu tindakan hukum TUN
dilakukan. Fungsi yang dilaksanakan oleh badan atau pejabat
TUN itu harus bersifat eksekutif.
Menurut Indroharto, yang dimaksud dengan urusan
pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai
masyarakat, bangsa dan negara, yang bukan merupakan
tugas legislatif maupun mengadili (yudikatif). 44 Jadi, apa saja
dan siapa saja tersebut tidak terbatas hanya pada instansi-
instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah,
karena mungkin sekali instansi yang berada dalam lingkungan
kekuasaan legislatif maupun yudikatif atau bahkan mungkin
pihak swasta, seperti universitas swasta serta yayasan
swasta, mendapatkan pelimpahan wewenang untuk
45
menyelenggarakan fungsi-fungsi di bidang eksekutif.
Dengan demikian yang menjadi ukuran untuk dapat
disebut sebagai badan atau pejabat TUN adalah fungsi yang
dilaksanakannya, bukan nama sehari-hari yang digunakan,
bukan pula kedudukan strukturalnya dalam salah satu
lingkungan kekuasaan negara (kekuasaan eksekutif). Jadi,
siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan
suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat diangap
berkedudukan sebagai badan atau pejabat TUN.

44
Ibid., hlm. 165.
45
Ibid.

- 25 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

3. Unsur Tindakan Hukum Tata Usaha Negara


Untuk dapat dianggap sebagai suatu penetapan tertulis,
keputusan badan atau pejabat TUN itu harus merupakan
suatu tindakan hukum, artinya memang dimaksudkan untuk
menimbulkan suatu akibat hukum TUN. Pada dasarnya, unsur
ini membedakan perbuatan-perbuatan pemerintah yang
merupakan tindakan hukum dan perbuatan pemerintah yang
merupakan tindakan faktual.
Yang menjadi wewenang Peradilan TUN hanyalah
perbuatan-perbuatan pemerintah yang merupakan tindakan
hukum, sedangkan yang faktual tidak. Yang faktual itu tetap
merupakan wewenang Peradilan Umum untuk perkara perdata
(melalui gugatan ganti rugi). 46

4. Unsur Konkret, Individual dan Final


Konkret artinya bahwa objek yang diputuskan dalam
keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau
dapat ditentukan. Misalnya, keputusan tentang pemberian
atau pencabutan izin usaha atas nama seseorang yang
tertentu.
Individual artinya bahwa keputusan TUN itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tertentu subjek dan alamat yang
dituju. Jika yang dituju itu lebih dari seorang, maka tiap-tiap
nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan.
Sedangkan final berarti bahwa keputusan TUN itu
sudah dapat menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang
dituju (sudah definitif). 47

5. Unsur Akibat Hukum bagi Seorang atau Badan Hukum


Perdata
Menimbulkan akibat hukum artinya keputusan pe-
merintah tersebut apabila dilaksanakan, maka langsung
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

46
Ibid., hlm. 171.
47
Ibid., hlm. 172-173.

- 26 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

perdata. 48 Penetapan tertulis merupakan suatu tindakan


hukum, dan sebagai tindakan hukum maka penetapan tertulis
itu selalu dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat
hukum.
Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum, maka
ia bukan suatu tindakan hukum, dan karenanya juga bukan
suatu penetapan tertulis sebagaimana dimaksudkan oleh
Pasal 1 butir 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51
Tahun 2009. 49

B. Keputusan Tata Usaha Negara yang Fiktif Negatif


Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 menjelaskan bahwa:
“ (1). Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu men-
jadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan
dengan keputusan tata usaha negara.
(2). Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara
tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon,
sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan dimaksud
telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha
negara tersebut dianggap telah menolak mengeluar-
kan keputusan yang dimaksud.
(3). Dalam hal peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak menentukan jangka waktu untuk
menjawab permohonan, maka setelah lewat jangka
waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya per-
mohonan, badan atau pejabat tata usaha negara
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan penolakan”.
Objek sengketa TUN adalah berupa surat keputusan
yang bersifat tertulis, konkret, individual dan final. Hal ini telah
diatur di dalam Pasal 1 butir 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU
Nomor 51 Tahun 2009. Namun, ada kalanya yang menjadi

48
Siahaan, op.cit., hlm. 182.
49
Indroharto, op.cit., hlm. 174.

- 27 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

objek sengketa TUN adalah bukan merupakan suatu surat


keputusan TUN yang bentuknya nyata tertulis sebagaimana
yang disyaratkan oleh Pasal 1 butir 9 tersebut, melainkan
berupa suatu sikap diam dari badan atau pejabat TUN.
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986, menentukan
apabila badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan
keputusan (diam saja), sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka sikap diamnya tersebut disamakan
dengan keputusan TUN sehingga dia dapat digugat. Inilah
intinya, bahwa setiap badan atau pejabat TUN wajib melayani
setiap permohonan masyarakat yang dia terima, apabila hal
yang dimohonkan kepadanya itu menurut peraturan
perundang-undangan menjadi tugas (kewajibannya). Kalau
badan atau pejabat TUN melalaikan kewajibannya itu, maka
walaupun dia tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan
yang diterimanya, undang-undang menganggap dia telah
mengeluarkan suatu keputusan yang berisi penolakan
permohonan tersebut (keputusan TUN yang fiktif negatif).
Fiktif menunjukkan bahwa keputusan TUN yang digugat
sebenarnya tidak berwujud. Dia hanya merupakan sikap diam
dari badan atau pejabat TUN, yang kemudian dianggap
disamakan dengan sebuah keputusan TUN yang nyata
tertulis.
Negatif menunjukkan bahwa keputusan TUN yang
digugat dianggap berisi penolakan terhadap permohonan yang
telah diajukan oleh Individu atau badan hukum perdata kepada
badan atau pejabat TUN.
Badan atau pejabat TUN yang menerima suatu
permohonan, tetapi permohonan itu bukan merupakan
kewajibannya untuk menjawab, maka sikap diamnya tidaklah
dapat dianggap sebagai keputusan TUN yang fiktif negatif.
Dan oleh karena itu, dia tidak dapat digugat.
Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3), berkaitan dengan
masalah jangka waktu untuk menghitung sejak kapan gugatan
terhadap sikap diam badan atau pejabat TUN tersebut bisa
diajukan.

- 28 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 3 ayat (2) menentukan, apabila jangka waktu


yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
(yang mengatur kewajiban untuk memberikan jawaban atas
suatu permohonan) telah lewat, namun badan atau pejabat
TUN tetap tidak berbuat apa-apa (diam), maka dia dianggap
telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan
kepadanya.
Berdasarkan ayat (2) ini, maka gugatan terhadap badan
atau pejabat TUN yang tidak menjawab suatu permohonan
baru dapat diajukan setelah lewat jangka waktu yang
ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan (yang
mengatur kewajiban untuk memberikan jawaban atas suatu
permohonan) badan atau pejabat TUN yang bersangkutan.

Contoh jangka waktu menjawab permohonan


yang menjadi kewajiban dari badan atau pejabat TUN.

No. Peraturan Tujuan permohonan dan


batas waktu menjawab
permohonan

1. Keputusan Menteri - Mendaftarkan dan mem-


Tenaga Kerja dan peroleh izin penyelenggaraan
Transmigrasi Nomor: Lembaga Pelatihan Kerja.
KEP.229/MEN/2003
tentang Tata Cara - Paling lambat 30 (tiga puluh)
Perizinan dan hari setelah diterimanya
Pendaftaran Lembaga pengajuan pendaftaran.
Pelatihan Kerja.

2. Peraturan Menteri - Memperoleh izin kerja bagi


Kesehatan Nomor apoteker.
187/MENKES/PER/III/19
91 tentang Pelaksanaan - Paling lambat 14 (empat belas)
Masa Bakti dan Izin Kerja hari setelah diterimanya per-
Apoteker. mohonan.

- 29 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pada Pasal 3 ayat (3) menentukan apabila dalam


peraturan perundang-undangannya tidak menentukan jangka
waktu kewajiban untuk menjawab suatu permohonan, maka
setelah lewat jangka waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya
permohonan, badan atau pejabat TUN yang diam saja dapat
dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan, dan oleh
karenanya dia dapat digugat.
Jadi, apabila kembali dihubungkan dengan Pasal 1 butir
9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009,
khususnya mengenai sifat tertulis yang harus dipenuhi sebagai
syarat untuk dapat menjadi objek sengketa TUN, maka apa
yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 ini
sebenarnya merupakan perluasan dari pengertian keputusan
TUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN.

C. Pengecualian terhadap Objek Sengketa Tata Usaha


Negara
Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9
Tahun 2004 menjelaskan bahwa ada beberapa keputusan
yang dianggap bukan merupakan keputusan TUN, sehingga
keputusan-keputusan ini tidak dapat dijadikan objek sengketa
TUN, yaitu:
1. Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum
perdata.
2. Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum.
3. Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ke-
tentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5. Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Keputusan TUN mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia.

- 30 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat


maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Berikut beberapa penjelasan yang berhubungan
dengan ketentuan Pasal 2 tersebut.
Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum
perdata, misalnya ialah keputusan yang menyangkut masalah
jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dengan
perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum
perdata.
Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan
adalah keputusan yang untuk dapat berlakunya masih
memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.
Artinya, bahwa sebenarnya keputusan TUN itu belum dapat
menimbulkan akibat hukum (belum bersifat final).
Keputusan TUN berdasarkan ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, misalnya dalam perkara lalu lintas, di
mana terdakwa dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang
mewajibkannya memikul biaya perawatan si korban selama
dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupakan syarat
yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka Jaksa yang
menurut Pasal 14 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ditunjuk mengawasi dipenuhi atau tidaknya syarat
yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan perintah
kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti pembayaran
biaya perawatan tersebut kepadanya. Surat perintah itu,
menurut ketentuan Pasal 2, bukanlah suatu bentuk keputusan
TUN yang dapat menjadi objek sengketa TUN.
Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, yaitu
Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan
sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas
pertimbangan putusan pengadilan pada perkara perdata yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selain Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor
9 Tahun 2004, masih terdapat lagi pengecualian terhadap

- 31 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

keputusan TUN sehingga ia tidak bisa dijadikan objek


sengketa TUN. Hal itu diatur dalam Pasal 49.
Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1986 menjelaskan bahwa
pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa TUN tertentu dalam hal keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan:
1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan
bencana alam, atau keadaan luar biasa yang
membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Keputusan-keputusan yang telah dijelaskan di atas
dianggap tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN
yang dapat dijadikan sebagai objek sengketa TUN. Oleh
karenanya, ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU Nomor
5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 berarti membatasi
pengertian Keputusan TUN sebagai objek sengketa TUN,
yang akibatnya juga mempersempit ruang lingkup kompetensi
Peradilan TUN. 50
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan mengenai
Pasal 1 butir 9, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 49 tersebut di
atas, maka dapat diperoleh simpulan terkait dengan masalah
objek sengketa TUN dan wewenang Peradilan TUN, yaitu
bahwa wewenang Peradilan TUN untuk memeriksa sengketa
akan sangat ditentukan oleh objek sengketanya:
1. Peradilan TUN berwenang mengadili apabila objek
sengketanya memenuhi semua unsur yang telah
ditentukan di dalam Pasal 1 butir 9, atau Pasal 3.
2. Peradilan TUN tidak berwenang apabila objek seng-
ketanya tidak memenuhi semua unsur yang ditentukan
di dalam Pasal 1 butir 9, atau termasuk di dalam

50
Victor Yaved Neno, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut
Peradilan Tata Usaha Negara (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 66
dan 86.

- 32 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

kategori pengaturan yang ada di dalam Pasal 2 dan


Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9
Tahun 2004.

***

- 33 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

V. UPAYA ADMINISTRATIF

Sengketa TUN dapat diselesaikan melalui 2 (dua) cara


penyelesaian, yaitu:
1. Melalui upaya administratif (Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat
(3) UU Nomor 5 Tahun 1986). Terhadap hasil
(keputusan) upaya administratif tersebut, individu atau
badan hukum perdata dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tinggi TUN (sebagai pengadilan tingkat
pertama);
2. Langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN
(sebagai pengadilan tingkat pertama).
Pengertian upaya administratif adalah suatu prosedur
yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum
perdata apabila dia tidak puas terhadap suatu keputusan TUN.
Dan prosedur ini dilaksanakan di lingkungan pemerintah
sendiri (lingkungan kekuasaan eksekutif). 51
Upaya administratif bukanlah merupakan badan
peradilan tersendiri, karena yang memeriksa keputusan TUN
yang disengketakan (yang bertindak sebagai “hakimnya”)
dalam upaya administratif ini adalah pejabat pemerintah
sendiri (pihak eksekutif). 52
Upaya administratif ini terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Prosedur keberatan ditempuh dengan cara mengajukan
keberatan atas dikeluarkannya keputusan TUN kepada
badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan
tersebut.
2. Banding administratif ditempuh dengan cara me-
ngajukan banding (keberatan) kepada instansi
(lembaga) atasan atau instansi lain dari yang me-
ngeluarkan keputusan yang disengketakan.

51
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
UU No. 5 Tahun 1986, bagian Penjelasan Pasal 48.
52
Marbun, op.cit., 53-54.

- 34 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Untuk menentukan apakah suatu sengketa diselesaikan


melalui upaya administratif terlebih dahulu, ataukah langsung
mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN, maka harus dilihat
pada keputusan TUN yang disengketakan, apakah di dalam-
nya terbuka kemungkinan untuk melakukan upaya admi-
nistratif atau tidak.
Pada suatu keputusan TUN, terbukanya kemungkinan
untuk melakukan upaya administratif apabila suatu sengketa
terjadi dapat dilihat pada:
1. Bagian pertimbangan hukum (konsiderans) suatu kepu-
tusan TUN, atau;
2. Salah satu isi pasal dari keputusan TUN, atau;
3. Catatan kaki pada keputusan TUN yang disengketakan.

- 35 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Yang diperiksa dalam upaya administratif ialah: 53


1. Sudut doelmatigheid (sudut kebijaksanaan):
a. Alasan mengapa suatu keputusan TUN dikeluar-
kan;
b. Apa yang menjadi pertimbangan badan atau
pejabat TUN dalam mengeluarkan keputusan
TUN?
2. Sudut rechtmatigheid (sudut legalitas):
a. Apa yang menjadi dasar hukum dikeluarkannya
keputusan TUN;
b. Apakah badan atau pejabat TUN pada saat
mengeluarkan keputusan TUN memang mem-
punyai wewenang untuk hal tersebut?;
c. Apakah tata cara (formalitas) pengeluaran suatu
keputusan TUN telah ditempuh terlebih dahulu
oleh badan atau pejabat TUN yang mengeluar-
kannya? Seperti, sebagai contoh, sebelum
keputusan TUN tentang pembongkaran atau
pemecatan dikeluarkan, apakah terlebih dahulu
ada peringatan kepada pihak yang akan dikena-
kan pembongkaran atau pemecatan?
Contoh badan atau pejabat TUN yang melaksanakan
bentuk upaya administratif, antara lain:
1. BAPEK (Badan Pertimbangan Kepegawaian) untuk
banding administratif pada sengketa pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil tertentu.
2. Departemen Tenaga Kerja Pusat untuk upaya banding
administratif terhadap keberatan penolakan per-
mohonan pendaftaran organisasi pekerja oleh Kantor
Wilayah Departemen Tenaga kerja.
3. P4 Daerah dan P4 Pusat (tetapi dengan diberlakukan-
nya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, maka keberadaan
lembaga ini sudah ditiadakan).

53
Ibid., hlm. 54.

- 36 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

4. Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian diubah


menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (tetapi
dengan diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak, maka fungsi menyelesaikan
sengketa pajak ini menjadi kewenangan Pengadilan
Pajak).
Sehubungan dengan adanya upaya administratif ini,
maka kedudukan sebuah lembaga Pengadilan Tinggi TUN
dapat berfungsi sebagai:
1. Pengadilan tingkat pertama apabila objek sengketanya
membuka kemungkinan untuk melakukan upaya admi-
nistratif terlebih dulu (Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat (3) UU
Nomor 5 Tahun 1986);
2. Pengadilan tingkat banding apabila objek sengketanya
tidak memungkinkan untuk melakukan upaya admi-
nistratif (Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986).

- 37 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Upaya administratif ini bersifat wajib. Artinya, apabila


sebuah keputusan TUN di dalamnya terdapat ketentuan
mengenai upaya administratif, maka upaya administratif
tersebut harus terlebih dulu dilakukan, barulah setelah itu
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi TUN. 54 Apabila
upaya administratif ini tidak dilakukan, dan langsung mengaju-
kan gugatan ke pengadilan, maka gugatannya diputuskan
tidak diterima.

***

54
Ibid., hlm. 65.

- 38 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

VI. PEMBERIAN KUASA

Pada suatu keadaan yang menyebabkan seseorang


atau badan hukum tidak dapat secara langsung bertindak
untuk dan atas namanya dalam melakukan suatu perbuatan
hukum, maka dia dapat diwakili oleh pihak lain. Untuk me-
nunjuk wakil itu, maka diperlukan surat kuasa.
Surat kuasa dapat diartikan sebagai suatu dokumen
yang isinya seseorang (pemberi kuasa) menunjuk dan mem-
berikan wewenang kepada pihak lain (penerima kuasa) untuk
melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama pemberi
kuasa. 55
Pasal 57 UU Nomor 5 Tahun 1986 telah mengatur tata
cara pemberian kuasa dalam lingkup hukum acara Peradilan
TUN. Dari Pasal 57 itu bisa disimpulkan bahwa pemberian
kuasa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu:
1. Secara tertulis, yang dapat diwujudkan ke dalam
bentuk:
a. Surat kuasa yang dibuat di dalam negeri.
b. Surat kuasa yang dibuat di luar negeri.
2. Secara lisan.
Surat kuasa yang dibuat di dalam negeri harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bersifat khusus.
2. Mencantumkan secara jelas identitas pemberi dan
penerima kuasa, yang terdiri dari: nama, kewarga-
negaraan, alamat tempat tinggal (domisili), dan
pekerjaan yang bersangkutan.
3. Menjelaskan hal apa yang dikuasakan kepada peneri-
ma kuasa. Pada bagian ini setidaknya harus dijelaskan
mengenai:
a. Objek sengketanya secara tertentu;

55
Yudha Pandu, Klien dan Advokat dalam Praktek (Jakarta: Indonesia
Legal Center Publishing, 2004), hlm. 81.

- 39 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

b. Tindakan hukum (proses hukum) apa yang akan


dilakukan terhadap objek sengketa dimaksud,
dan;
c. Di mana tindakan hukum tersebut akan dilak-
sanakan.
4. Tanggal pemberian kuasa.
5. Meterai, dan tanda tangan pemberi serta penerima
kuasa.
Sedangkan surat kuasa yang dibuat di luar negeri pada
prinsipnya harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1. Dibuat sesuai dengan peraturan tentang pembuatan
surat kuasa di negara yang bersangkutan.
2. Diketahui oleh perwakilan negara Indonesia di negara
tersebut.
3. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh pe-
nerjemah resmi.
Kemudian bagi individu pencari keadilan yang tidak bisa
membaca dan menulis, maka pengadilan memberikan ke-
mudahan dalam hal pemberian kuasa, yaitu melalui pemberian
kuasa secara lisan. Tata cara pemberian kuasa secara lisan
itu ialah:
1. Dilakukan di muka persidangan.
2. Pemberi dan penerima kuasa hadir di muka persi-
dangan.
3. Dicatat di dalam berita acara pemeriksaan persidangan
oleh panitera.
4. Dibubuhi cap jempol pemberi kuasa.
5. Disaksikan oleh tergugat.

- 40 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Contoh surat kuasa khusus.

SURAT KUASA KHUSUS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : .......
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : .......
Pekerjaan : .......
yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa.

Dalam hal ini telah memilih domisili hukum di kantor kuasa hukumnya yang
akan disebutkan berikut, dan dengan ini memberikan kuasa kepada:

....... dan ......., keduanya berkewarganegaraan Indonesia, advokat yang


beralamat di ....... Baik untuk bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-
sama. Dan untuk selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

---------------------------------------------- Khusus ------------------------------------------

Untuk dan atas nama, serta mewakili Pemberi Kuasa mengajukan gugatan
kepada ....... atas diterbitkannya Keputusan Nomor ....... tentang .......,
tertanggal ........ Adapun gugatan itu akan diajukan melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta.

Penerima Kuasa juga diberikan kuasa untuk membuat, menandatangani


surat-surat, mengajukan replik, pembuktian, simpulan, menghadiri
persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, menghadap ke
pejabat atau instansi yang berwenang, dan melakukan tindakan hukum
lainnya untuk kepentingan Pemberi Kuasa.

Surat kuasa ini diberikan dengan hak substitusi.

Jakarta, ....... 2011


Penerima Kuasa, Pemberi Kuasa,

Meterai

....... .......

***

- 41 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

VII. GUGATAN

Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU


Nomor 9 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “Orang atau badan
hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.
Dari Pasal 53 ayat (1) tersebut dapat dipahami bahwa
gugatan itu merupakan salah satu wujud dari ketidakpuasan
seseorang (individu) atau badan hukum perdata terhadap
terbitnya keputusan TUN yang dianggap merugikan dirinya.
Pengertian gugatan adalah permohonan yang berisi
tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN dan diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan putusan (Pasal 1 butir 11 UU
Nomor 51 Tahun 2009).
Apa isi tuntutan dalam gugatan tersebut? Isi tuntutan
pokoknya ialah agar keputusan TUN yang disengketakan
dinyatakan batal atau tidak sah. Sedangkan, tuntutan tam-
bahannya dapat berupa ganti rugi dan/atau rehabilitasi (Pasal
53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun
2004).
Untuk merumuskan gugatan dalam bentuk yang tertulis
(surat gugatan) ada beberapa syarat yang harus diperhatikan
dan dipenuhi. Syarat-syarat itu ada yang secara tegas
disebutkan di dalam undang-undang, dan ada pula yang tidak
secara tegas disebutkan dalam undang-undang namun lazim
dipatuhi dalam praktik beracara di pengadilan.
Syarat-syarat surat gugatan dalam hukum acara
Peradilan TUN (Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986),
yaitu:
1. Tanggal gugatan diajukan, dan penjelasan ke mana
gugatan tersebut diajukan.

- 42 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hal ini dicantumkan pada bagian awal sebuah surat


gugatan. Contoh penulisan ke mana gugatan diajukan:
Kepada Yang Terhormat Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara ....... Yang beralamat di .......
2. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan
penggugat atau kuasa hukum penggugat (identitas
penggugat).
3. Nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat (iden-
titas tergugat).
Untuk kewarganegaraan tergugat, tidak perlu dicantum-
kan, karena tergugat yang merupakan badan atau
pejabat TUN selalu dan sudah pasti warga negara
Indonesia.
4. Dasar gugatan (fundamentum petendi atau posita)
harus memuat:
a. Penjelasan mengenai hubungan hukum yang
timbul antara penggugat dengan tergugat.
Hubungan hukum yang timbul antara penggugat
dengan tergugat ditandai dengan adanya objek
sengketa TUN, baik itu yang berupa keputusan
TUN yang tertulis wujudnya, ataupun yang
berupa keputusan TUN yang fiktif negatif.
Contoh penulisannya: Bahwa pada tanggal…….
penggugat telah menerima Keputusan
Nomor….... tertanggal….... tentang….... yang di-
terbitkan dan ditandatangani oleh tergugat…….
b. Penjelasan mengenai objek sengketa.
Hal ini adalah untuk menjelaskan bahwa objek
sengketa yang sedang digugat itu telah benar-
benar memenuhi syarat-syarat sebagai objek
sengketa TUN, sebagaimana yang ditentukan di
dalam Pasal 1 butir 9 ataupun di dalam Pasal 3
UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51
Tahun 2009.
Setelah uraian objek sengketa ini, penggugat
dapat pula menjelaskan kronologis (urutan-
urutan peristiwa), yaitu mulai dari saat ia

- 43 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

menerima objek sengketa sampai dengan ia


mengajukan gugatan terhadapnya.
c. Penjelasan mengenai tenggang waktu mengaju-
kan gugatan.
Bagian ini untuk menjelaskan bahwa gugatan
yang diajukan ke pengadilan masih dalam
tenggang waktu yang diperbolehkan untuk me-
ngajukan gugatan, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986.
d. Penjelasan mengenai alasan gugatan.
Terdapat 2 (dua) macam alasan untuk me-
ngajukan gugatan terhadap objek sengketa TUN,
yaitu: keputusan TUN yang digugat dinilai telah
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan/atau bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik (Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986
jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).
Asas-asas umum pemerintahan yang baik
(AAUPB), yang dijadikan salah satu alasan
dalam gugatan, dapat dilihat rinciannya pada UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
AAUPB tersebut, antara lain, ialah: asas kepasti-
an hukum, asas keterbukaan, asas proporsionali-
tas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.
e. Perincian kerugian yang diderita oleh penggugat
(apabila diperlukan).
f. Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan
TUN yang sedang digugat 56 (apabila diperlukan).

56
Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN (Pasal 67 UU
Nomor 5 Tahun 1986) bertujuan agar pelaksanaan keputusan TUN yang
digugat ditunda untuk sementara, selama pemeriksaan sengketa TUN sedang
berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap. Alasan pengajuan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN
yang sedang digugat, yaitu terdapat keadaan yang sangat mendesak yang

- 44 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

5. Hal-hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan


(petitum). Petitum dapat berisi:
a. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruh-
nya.
b. Menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN
yang dikeluarkan oleh tergugat.
c. Memerintahkan tergugat untuk menerbitkan ke-
putusan TUN yang baru.
d. Menghukum tergugat untuk membayar ganti ke-
rugian kepada penggugat.
e. Menghukum tergugat untuk membayar biaya
perkara yang timbul.
6. Tanda tangan pihak penggugat.
Tanda tangan pihak pengugat ini dicantumkan pada
bagian paling akhir dari surat gugatan, setelah bagian
petitum.

mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika keputusan TUN


yang digugat itu tetap dilaksanakan.

- 45 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Kerangka surat gugatan TUN.

Tanggal .......
Kepada Yang Terhormat
Ketua
Pengadilan Tata Usaha (Penjelasan ke mana gugatan
Negara ……. tersebut diajukan)
Yang beralamat di …….

Identitas penggugat.
Identitas tergugat.

Dasar gugatan (fundamentum petendi atau posita):


1. Penjelasan mengenai hubungan hukum yang timbul
antara penggugat dengan tergugat.
2. Penjelasan mengenai objek sengketa. Penggugat
dapat pula menjelaskan kronologis (urutan-urutan
peristiwa), yaitu mulai dari saat ia menerima objek
sengketa sampai dengan ia mengajukan gugatan
terhadapnya.
3. Penjelasan mengenai tenggang waktu mengajukan
gugatan.
4. Penjelasan mengenai alasan gugatan.
5. Perincian kerugian yang diderita oleh penggugat
(apabila diperlukan).
6. Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan
TUN yang sedang digugat (apabila diperlukan).

Hal-hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan


(petitum).

Tanda tangan
pihak penggugat.

***

- 46 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

VIII. PEMERIKSAAN
SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN

- 47 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

IX. JAWABAN, REPLIK, DUPLIK,


PEMBUKTIAN, SIMPULAN, DAN PUTUSAN

A. Jawaban
Jawaban merupakan tanggapan yang dibuat oleh pihak
tergugat terhadap dalil-dalil yang telah disampaikan oleh peng-
gugat di dalam surat gugatannya.
Secara garis besar, pokok-pokok materi (substansi)
yang dimuat di dalam jawaban tergugat ialah seperti yang di-
jelaskan pada bagan berikut di bawah ini.

Kerangka surat jawaban:


1. Tanggal dan penjelasan ke mana surat jawaban diaju-
kan.
Berbeda dengan surat gugatan, surat jawaban ini diaju-
kan kepada majelis hakim yang sudah terbentuk

- 48 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

sebelumnya melalui penetapan ketua pengadilan


(setelah menempuh proses dismissal).
Contoh penulisannya: Kepada Yang Terhormat Majelis
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam
Perkara Nomor 27/G/2008/PTUN.JKT di tempat.
2. Identitas pihak tergugat, untuk memperkenalkan diri
pihak tergugat.
3. Pernyataan sangkalan secara umum.
Contoh penulisannya: Bahwa tergugat menyangkal
semua dalil yang diajukan dalam gugatan penggugat,
kecuali yang diakui dan dinyatakan secara tegas oleh
tergugat.
4. Dasar (alasan atau dalil) jawaban:
a. Jawaban dalam eksepsi (lihat bagan di atas).
b. Jawaban dalam pokok perkara (lihat bagan di
atas).
5. Petitum.
Contoh penulisannya: Berdasar-
kan alasan-alasan yang telah
dikemukakan tergugat tersebut,
maka tergugat memohon kepada
majelis hakim agar berkenan
memberikan putusan:
1. Dalam eksepsi:
Menerima eksepsi tergugat;
2. Dalam pokok perkara:
a. Menolak gugatan peng-
gugat untuk seluruh-
nya;
b. Menyatakan bahwa surat keputusan tergugat
Nomor 122/M-PBUMN/2007 tentang Pem-
berhentian Anggota-Anggota Direksi PT.
Pelayaran Samudera Djakarta Lloyd ter-
tanggal 17 Maret 2007 adalah sah;
c. Menghukum penggugat untuk membayar
biaya perkara yang timbul.
6. Tanda tangan pihak tergugat.

- 49 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

B. Replik dan Duplik


Replik merupakan tanggapan yang dibuat oleh pihak
penggugat terhadap jawaban yang telah disampaikan oleh
tergugat. Isi replik bisa memperkuat dalil gugatan.
Duplik merupakan tanggapan yang dibuat oleh pihak
tergugat terhadap replik yang telah disampaikan oleh peng-
gugat. Isi duplik bisa memperkuat dalil jawaban.
Untuk membuat replik atau duplik adalah hak para
pihak yang bersengketa. Apabila dibuat sebaiknya memuat
hal-hal (dalil, alasan atau tanggapan) yang benar-benar baru
yang belum dimuat sebelumnya di dalam gugatan atau
jawaban.

C. Pembuktian
Pembuktian merupakan tahap yang penting di dalam
pemeriksaan perkara di muka persidangan. Karena pada ta-
hap ini, masing-masing pihak yang bersengketa mengajukan
bukti-bukti untuk memperkuat dalil yang telah mereka ajukan.
Bagi penggugat pengajuan alat bukti akan memperkuat
dalil pada gugatan, dan sedangkan bagi tergugat pengajuan
alat bukti tersebut akan memperkuat dalil pada jawaban
tergugat.
Mengenai macam-macam alat bukti yang digunakan di
lingkungan hukum acara Peradilan TUN diatur di dalam Pasal
100 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986, yaitu terdiri dari:
1. Surat atau tulisan;
2. Keterangan ahli;
3. Keterangan saksi;
4. Pengakuan para pihak;
5. Pengetahuan hakim.
Alat bukti yang tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) itu
dapat disebut sebagai alat bukti yang “langsung,” sedangkan
alat bukti yang “tidak langsung” adalah “pemeriksaan di tempat
lain dari ruangan sidang” (lihat Pasal 111 butir c).
Untuk alat bukti yang tertulis (seperti surat keputusan),
sebelum digunakan pada pemeriksaan di muka persidangan,

- 50 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

harus terlebih dahulu di nazegelen. Proses nazegelen ialah


sebagai berikut:
1. Alat bukti yang tertulis (seperti surat keputusan), se-
telah difotokopi;
2. Fotokopiannya tersebut diberi meterai Rp. 6.000,- dan
dibubuhi stempel dari kantor pos besar.
Untuk memudahkan majelis hakim memeriksa semua
bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa, di-
mintakan kepada para pihak yang bersengketa untuk mem-
buat dan menyerahkan daftar bukti.

Contoh bentuk daftar bukti.

No. Daftar Bukti Keterangan


1. Bukti P1: Surat Keputusan Nomor − Asli ada.
….… tentang……. tertanggal……. − Diperpanjang
masa berlakunya
dengan Surat
Keputusan…….
2. Bukti P2: Surat Keputusan Nomor Fotokopi.
….… tentang……. tertanggal…….
3. Bukti P3: Sertifikat Nomor ……. − Fotokopi.
− Diperpanjang
masa berlakunya
pada tanggal…….
4. Dan seterusnya.

“Bukti P1” menunjukkan bahwa alat bukti ini diajukan


oleh pihak penggugat. Apabila yang mengajukan alat bukti
adalah pihak tergugat, maka akan menggunakan penanda
“Bukti T1”.
Apabila alat bukti yang tertulis terdapat yang aslinya
dan dipegang oleh pihak yang bersengketa, maka diberi
keterangan “asli ada” pada daftar bukti. Sedangkan apabila

- 51 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

alat bukti yang tertulis tidak terdapat yang aslinya di pihak


yang bersengketa, maka diberi keterangan “fotokopi”.
Fakta notoir adalah keadaan yang sudah diketahui oleh
umum, dan tidak perlu dibuktikan lagi (Pasal 100 ayat (2) UU
Nomor 5 Tahun 1986).
Dalam hukum acara Peradilan TUN, hakim dalam
pemeriksaan sengketa harus bersikap aktif mencari (mene-
lusuri keberadaan) alat bukti untuk kepentingan penyelesaian
sengketa tersebut (Pasal 85 UU Nomor 5 Tahun 1986).
Untuk kelancaran pemeriksaan sengketa TUN, maka
ketua majelis hakim berwenang untuk memberikan petunjuk
kepada para pihak yang bersengketa mengenai alat bukti yang
dapat mereka gunakan dalam pemeriksaan. Hal itu me-
nunjukkan sifat aktif hakim dalam hukum acara Peradilan
TUN.
Saat memeriksa sengketa TUN, hakim memiliki we-
wenang untuk menentukan apa yang harus dibuktikan,
bagaimana beban pembuktiannya, serta penilaian terhadap
pembuktian tersebut. Dan di dalam hukum acara Peradilan
TUN, untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Pasal 107 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51
Tahun 2009 mengatur mengenai upaya hakim di lingkungan
Peradilan TUN agar dia menemukan kebenaran materiel. 57
Untuk mencapai kebenaran materiel, maka di dalam sistem
pembuktian hukum acara Peradilan TUN hakim dapat
menentukan sendiri:
1. Apa yang harus dibuktikan?
2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, dan hal apa
saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri?
3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk digunakan
dalam pembuktian?
4. Bagaimana kekuatan pembuktian bukti yang telah
diajukan?

57
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian dalam Sengketa
Tata Usaha Negara (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1997), hlm. 29-30.

- 52 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

D. Simpulan
Apabila pemeriksaan sengketa telah diselesaikan,
kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapat yang terakhir berupa simpulan masing-masing.
Simpulan merupakan ringkasan (resume) dari jalannya
rangkaian persidangan yang dibuat oleh masing-masing pihak.
Kesimpulan merupakan hak, sehingga boleh dibuat, boleh
juga tidak.

E. Putusan
Setelah para pihak memberikan dalil-dalilnya masing-
masing, telah menyerahkan bukti-bukti dan kesimpulannya,
serta majelis hakim memandang telah cukup semua fakta
(data), maka diambillah suatu putusan.
Syarat-syarat yang harus dimuat dalam putusan
pengadilan diatur dalam Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 5
Tahun 1986. Syarat-syarat putusan tersebut ialah terdiri dari:
1. Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman,
atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan
dan hal yang terjadi dalam persidangan selama
sengketa itu diperiksa;
5. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
7. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus,
nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau
tidak hadirnya para pihak.
Macam-macam putusan pengadilan (Pasal 97 ayat (7)
UU Nomor 5 Tahun 1986) ialah terdiri dari:
1. Gugatan ditolak: penggugat tidak berhasil dalam mem-
buktikan dan meyakinkan hakim atas dalil gugatan yang
diajukannya.

- 53 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

2. Gugatan dikabulkan: penggugat berhasil membuktikan


dan meyakinkan hakim atas dalil gugatan yang di-
ajukannya.
3. Gugatan tidak diterima: apabila gugatan diajukan tidak
sesuai dengan prosedur hukum pengajuan gugatan.
Atau dengan kata lain, bahwa gugatan yang diajukan
tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
4. Gugatan gugur: apabila gugatan diajukan secara tidak
serius. Tidak serius ini berarti:
a. Apabila pihak penggugat telah dipanggil secara
patut, namun dia tetap tidak juga mau hadir ke
muka persidangan, dan;
b. Ketidakhadirannya tersebut juga tidak disertai
alasan yang jelas.

***

- 54 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

X. ACARA PEMERIKSAAN DALAM


HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Acara pemeriksaan di muka persidangan terhadap


suatu gugatan TUN terdiri dari beberapa tahap, yaitu: pem-
bacaan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, sim-
pulan, dan putusan dari majelis hakim.
Pada acara pemeriksaan di muka persidangan tersebut,
baik pihak penggugat maupun tergugat, diberikan kesempatan
yang sama untuk mengajukan dalil (argumen) mereka masing-
masing (asas audi et alteram partem). 58
Secara lebih rinci, macam-macam acara pemeriksaan
yang dikenal di dalam hukum acara Peradilan TUN ialah terdiri
dari:
1. Acara biasa yang diatur dalam Pasal 68 sampai dengan
Pasal 97 UU Nomor 5 Tahun 1986.
2. Acara cepat yang diatur dalam Pasal 98 sampai dengan
Pasal 99 UU Nomor 5 Tahun 1986.
3. Acara singkat yang diatur dalam Pasal 62 UU Nomor 5
Tahun 1986.

A. Pemeriksaan dengan Acara Biasa (Acara Contradictoir)


Secara garis besar, pemeriksaan dengan acara biasa
ini ialah acara pemeriksaan terhadap pokok perkara (sengketa
TUN) yang telah dimuat dalam gugatan pihak penggugat.
Pada pemeriksaan dengan acara biasa, untuk me-
nyelesaikan suatu sengketa TUN, yaitu mulai dari tahapan
pembacaan gugatan sampai dengan tahap pembacaan
putusan dari majelis hakim, diusahakan agar dapat selesai
dalam waktu 6 (enam) bulan.

58
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia
(Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm. 14-15.

- 55 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

B. Pemeriksaan dengan Acara Cepat


Pemeriksaan dengan acara cepat bertujuan untuk me-
meriksa pokok perkara, namun dilakukan dalam waktu yang
relatif cepat. Pemeriksaan dengan acara cepat ini dilakukan
karena adanya alasan kepentingan penggugat yang cukup
mendesak, sehingga perlu menempuh proses pemeriksaan
sengketa yang relatif lebih cepat.
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan
cara:
1. Penggugat harus terlebih dahulu mengajukan per-
mohonan untuk dilakukannya pemeriksaan dengan
acara cepat kepada ketua pengadilan.
2. Permohonan untuk melakukan pemeriksaan dengan
acara cepat di dalamnya harus memuat penjelasan
alasan-alasan yang melatarbelakangi mengapa peng-
gugat menginginkan diadakannya pemeriksaan
dengan acara cepat tersebut. Alasan-alasan itu
berkaitan dengan adanya keadaan kepentingan yang
cukup mendesak yang dihadapi oleh penggugat.
3. Tidak melalui tahap pemeriksaan persiapan.
4. Pemeriksaan acara cepat ini dilakukan dengan hakim
tunggal yang ditetapkan oleh ketua pengadilan.
5. Batas waktu yang disediakan mulai dari tahap jawaban
sampai dengan pembuktian hanya 14 (empat belas)
hari.

C. Pemeriksaan dengan Acara Singkat


Pemeriksaan dengan acara singkat bertujuan untuk
memeriksa gugatan perlawanan terhadap penetapan hasil pro-
ses dismissal yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan.
Pemeriksaan dengan acara singkat dilakukan dengan
cara:
1. Penggugat yang tidak puas terhadap penetapan hasil
proses dismissal yang dikeluarkan oleh ketua penga-
dilan dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap
penetapan tersebut.

- 56 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

2. Gugatan perlawanan hanya dapat diajukan dalam


tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah pe-
netapan diucapkan.
3. Dengan adanya gugatan perlawanan yang diajukan
oleh penggugat (pelawan), maka otomatis gugatan
perlawanan tersebut akan diperiksa dengan meng-
gunakan acara singkat.

***

- 57 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

XI. INTERVENSI

Intervensi adalah masuknya pihak ke tiga ke dalam


suatu sengketa yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Jika
pihak ke tiga tersebut akan melakukan intervensi, maka dia
harus memiliki kepentingan terhadap sengketa yang sedang
diperiksa oleh pengadilan.
Pihak ke tiga yang melakukan intervensi disebut
dengan intervenient. Dapat berkedudukan sebagai apakah
pihak ke tiga dalam intervensi?
1. Pihak yang membela haknya (kepentingannya) sendiri,
atau;
2. Berpihak kepada salah satu pihak yang sedang ber-
sengketa.
Bagaimanakah cara intervenient masuk ke dalam suatu
sengketa yang sedang diperiksa oleh pengadilan?
1. Atas prakarsa (inisiatif) sendiri, yaitu dengan membuat
surat permohonan intervensi, dan mengajukannya ke-
pada majelis hakim yang sedang melakukan pe-
meriksaan sengketa (Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 5
Tahun 1986), atau;
2. Ditarik oleh majelis hakim. Dalam keadaan seperti itu,
pihak ke tiga tidak perlu membuat surat permohonan
intervensi (Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun
1986), atau;
3. Atas permintaan salah satu pihak yang sedang
bersengketa (lihat bagian Penjelasan Pasal 83 ayat (1)
dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986).
Kemudian, kapankah permohonan intervensi tersebut
dapat diajukan? Intervensi diajukan pada tahap pemeriksaan
persidangan, sampai sebelum masuk tahap pembuktian. 59
Namun dalam praktik, permohonan intervensi masih dapat
diajukan hingga saat tahap pemberian simpulan. 60
59
Lihat Juklak Mahkamah Agung Nomor 052/Td.TUN/III/1992.
60
Siahaan, op.cit., hlm. 194.

- 58 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Alasan kenapa intervensi baru dapat dilakukan sejak


saat tahap persidangan ialah karena baru pada tahap pe-
meriksaan persidangan inilah yang bersifat terbuka untuk
umum. Dengan terbukanya sidang untuk umum, maka pihak
ke tiga baru bisa mengetahui apakah kepentingannya akan
terganggu (terpengaruhi) dengan diperiksanya suatu
sengketa.

Kerangka permohonan intervensi.

Tanggal …….
Kepada Yang Terhormat
Ketua Majelis Hakim
Perkara Nomor …….
di .......

Identitas pemohon intervensi.

Identitas perkara. Contoh penulisannya: ……. Bersama ini mengajukan


permohonan intervensi untuk menjadi pihak dalam perkara Nomor …….,
antara ……. melawan …….

Dasar permohonan:
1. Penjelasan (ringkas) mengenai objek sengketa, penggugat, dan
tergugat.
2. Penjelasan mengenai kepentingan pemohon intervensi terhadap
sengketa yang sedang diperiksa.
3. …….

Hal-hal yang diminta untuk diputuskan oleh majelis hakim. Contoh


penulisannya:
1. Mengabulkan permohonan intervensi pemohon.
2. Menyatakan pemohon intervensi sebagai pihak dalam perkara
Nomor ……., dan mendudukkannya sebagai …….
3. Menyatakan biaya perkara yang timbul akan diperhitungkan
bersama dengan putusan akhir perkara ini.

Tanda tangan
pemohon intervensi.

***

- 59 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

XII. UPAYA HUKUM

A. Banding
Setelah dibacakan putusan pengadilan tingkat pertama,
kepada penggugat dan tergugat diberitahukan hak-hak me-
reka atas putusan tersebut:
1. Bisa menerima putusan atau;
2. Menolak putusan tersebut, serta mengajukan upaya
hukum banding.
Kepada pihak yang tidak setuju dengan putusan
pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding.
Apabila ingin mengajukan upaya banding, pembanding di-
wajibkan untuk menandatangani akta pernyataan banding
yang telah disediakan di pengadilan tingkat pertama. Jangka
waktu untuk mengajukan akta pernyataan banding ini:
1. 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan, bagi
mereka yang hadir pada saat putusan dibacakan atau;
2. 14 (empat belas) hari setelah kiriman salinan putusan
mereka terima, bagi mereka yang tidak hadir pada saat
putusan dibacakan.
Setelah mengajukan akta pernyataan banding, pem-
banding boleh mengajukan memori banding (tidak wajib), dan
oleh karenanya terbanding mengajukan kontra memori
banding (juga tidak wajib sifatnya).
Berkas-berkas yang terdiri dari akta pernyataan ban-
ding, memori banding dan kontra memori banding, kemudian
dikirimkan oleh pengadilan tingkat pertama ke pengadilan
tingkat banding.
Berkas yang dikirimkan tersebut, juga termasuk berkas
yang terdiri dari: surat kuasa, surat gugatan yang belum
diperbaiki, surat gugatan yang telah diperbaiki, jawaban,
replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, putusan dan berita
acara persidangan.
Berkas yang terdiri dari: surat kuasa, surat gugatan
yang belum diperbaiki, surat gugatan yang telah diperbaiki,
jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, putusan dan

- 60 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

berita acara persidangan, disebut dengan bundel A. Berkas


yang terdiri dari: akta pernyataan banding, memori banding
dan kontra memori banding, disebut dengan bundel B.
Pemeriksaan yang terjadi di pengadilan tingkat banding
hanya merupakan pemeriksaan berkas-berkas saja. Pada
prinsipnya pemeriksaan di tingkat banding bukanlah merupa-
kan pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka untuk umum.
Macam-macam putusan pengadilan tingkat banding:
1. Mengabulkan permohonan banding yang diajukan oleh
pembanding;
2. Menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama;
3. Membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan
mengadili sendiri;
4. Memperbaiki putusan pengadilan tingkat pertama.
Putusan banding tersebut akan dikirimkan lagi ke
pengadilan tingkat pertama, untuk selanjutnya akan dikirimkan
ke pihak-pihak yang bersengketa.

B. Kasasi
Terhadap putusan pengadilan tingkat banding, pem-
banding dan terbanding dapat lagi mengajukan upaya hukum
kasasi.
Tenggang waktu untuk mengajukan akta pernyataan
kasasi ini adalah 14 (empat belas) hari setelah salinan pu-
tusan pengadilan banding diterima oleh pembanding dan
terbanding (sifatnya wajib).
Setelah menandatangani akta pernyataan kasasi yang
telah disediakan di pengadilan tingkat pertama, pemohon
kasasi wajib membuat memori kasasi dalam waktu 14 (empat
belas) hari. Termohon kasasi dalam menghadapi memori
kasasi diperbolehkan membuat kontra memori kasasi.
Dossier yang terdiri dari bundel A dan bundel B
tersebut, kemudian dilengkapi dengan: putusan pengadilan
tingkat banding, akta pernyataan kasasi, memori kasasi dan
kontra memori kasasi. Setelah itu, dikirimkanlah dossier ke
Mahkamah Agung untuk diadakan proses kasasi.

- 61 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pada tingkat kasasi, hanya diadakan pemeriksaan


berkas-berkas. Tidak ada pemeriksaan dalam bentuk sidang
yang terbuka untuk umum. Setelah pemeriksaan berkas
selesai, maka kemudian keluarlah putusan tingkat kasasi.
Macam-macam putusan tingkat kasasi:
1. Mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan;
2. Menguatkan putusan pengadilan tingkat banding;
3. Membatalkan putusan pengadilan tingkat banding dan
mengadili sendiri;
4. Memperbaiki putusan pengadilan tingkat banding.
Putusan kasasi akan dikirimkan lagi ke pengadilan
tingkat pertama, untuk selanjutnya disampaikan ke pihak-pihak
yang bersengketa.
Putusan kasasi merupakan putusan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), sehingga
putusan ini sudah dapat dilaksanakan (dieksekusi) walaupun
para pihak ada yang mengajukan upaya hukum luar biasa
berupa peninjauan kembali.

C. Peninjauan Kembali
Mengenai tata cara (prosedur) upaya hukum luar biasa
peninjauan kembali yang berlaku bagi sengketa TUN, UU
Nomor 5 Tahun 1986 hanya mengaturnya secara singkat.
Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 menentu-
kan bahwa “Terhadap putusan Pengadilan yang telah mem-
peroleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Pasal 132
ayat (2) kemudian menambahkan lagi bahwa acara pemerik-
saan peninjauan kembali akan mengikuti ketentuan mengenai
peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

***

- 62 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.


Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap


Tindakan Pemerintah. Bandung: PT. Alumni, 2004.

HR., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali


Pers, 2008.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan


Tata Usaha Negara: Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2004.

Khumarga, Daniel. “Persamaan dan Nuansa Perbedaan Antara


Corak Peradilan Tata Usaha Negara Perancis, Belanda
dan Indonesia”. Jurnal Ilmiah Universitas Pelita Harapan
(Volume II, Nomor 3, Juni 1999).

Lopa, Baharuddin dan Andi Hamzah. Mengenal Peradilan Tata


Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.

Lotulung, Paulus Effendie. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi


Hukum terhadap Pemerintah. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer, 1986.

Marbun, SF. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di


Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2003.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia.


Yogyakarta: Liberty, 2002.

Neno, Victor Yaved. Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut


Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2006.

- 63 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Nugraha, Safri, et al. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Pandu, Yudha. Klien dan Advokat dalam Praktek. Jakarta:


Indonesia Legal Center Publishing, 2004.

Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Pembuktian dalam Sengketa


Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1997.

Setiadi, Wicipto. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara:


Suatu Perbandingan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2001.

Siahaan, Lintong O. Prospek PTUN sebagai Pranata


Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia: Studi
tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa
1991-2001. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005.

Soepomo, R. Sistem Hukum di Indonesia: Sebelum Perang


Dunia II. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Tjandra, W. Riawan. Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha


Negara. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2010.

***

- 64 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

TENTANG PENULIS

Endra Wijaya, S.H.,M.H. adalah staf pengajar pada Fakultas


Hukum Universitas Pancasila (FHUP), Jakarta. Kini menjabat
sebagai Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara/Hukum
Administrasi Negara FHUP, dan Wakil Ketua Dewan Pengurus
Pusat Kajian Ilmu Hukum FHUP. Selain mengajar, bekerja
pula pada sebuah kantor konsultan hukum di Jakarta. Lulusan
S-1 FHUP Program Kekhususan Transnasional, dan S-2
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konsentrasi Hukum dan Kehidupan Kenegaraan.

Beberapa hasil karya tulis yang pernah dipublikasikan, antara


lain, ialah:
1. “Pokok Pemikiran Critical Legal Studies (CLS) dan
Upaya Penerapannya: Melihat Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari Sudut
Pandang yang Ditawarkan oleh CLS” (Jurnal Hukum
Themis, Vol. 1, November 2006).
2. “Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara yang Sedang Digugat” (Jurnal Judicial, Fakultas
Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, Vol. 3,
No. 1, 2007).
3. “Pengantar mengenai Teori Marxis tentang Hukum”
(Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto, Vol. 8, No. 3,
September 2008).
4. “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik: Fungsinya
dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia” (Jurnal Hukum Themis, Vol. 3, Maret 2009).
5. “Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility) di
Indonesia” (Jurnal Yustisia, Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, Tahun XXI, Ed. 79, Januari-
April 2010).

- 65 -
Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

6. “Peranan Putusan Pengadilan dalam Program


Deradikalisasi Terorisme di Indonesia (Kajian Putusan
Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel)” (Jurnal Yudisial,
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Vol. 3, No. 2,
Agustus 2010).
7. Buku Partai Politik Lokal di Indonesia (Bekasi: Penerbit
F-Media, 2010).

***

- 66 -
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai