Kel. 6 Ulumul Hadits
Kel. 6 Ulumul Hadits
MAKALAH INI GUNA UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH ULUMUL HADITS
Penyusun Kelompok 6 :
KISMANTORO-WONOGIRI
TAHUN AKADEMIK
2021/2022
KATA PENGANTAR
السالم عليمك ورمحة هللا وبراكته
ّ
Segala Puji bagi Alloh SWT yang telah memberi nikmat, hidayah, serta
inayahnya kepada kita semua sehingga kita dapat melakukan segala aktivitas
sehari-hari dan tidak ada halangan bagi kami selaku penulis makalah dapat
meyelesaikan tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits 2 dengan izi-Nya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah................................................................................................3
C. Tujuan...................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN...............................................................................................................4
A. Kedudukan Hadist................................................................................................4
B. Fungsi Hadist.................................................................................................................. 9
BAB III.................................................................................................................................... 11
PENUTUP............................................................................................................................... 11
A. KESIMPULAN........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits menurut beberapa Ulama Hadits adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbiatan, dan
ketetapan, maupun sifatnya.1 Dengan demikian, hadits adalah sumber pokok
ajaran Islam yang tentunya dapat memberikan penjelasan lebih lanjut ajaran
Islam yang tercantum dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an dan Hadist menjadi
sebuah satu kesatuan untuk pedoman umat manusia khususnya umat muslim.
Oleh karena itu hadits sangat berfungsi atas segala sesuatu yang
menyangkup dengan ayat Al-Qur’an, karena hadits berkedudukan sebagai
hukum Islam ke 2 setelah Al-Qur’an, sebab beberapa ayat Al-Qur’an masih
terdapat kejanggalan atau kurang memahamkan yang bersifat global dan
umum. Maka dari itu Hadits menjelaskan secara terperinci sehingga dapat
menafsirkan ( memahamkan ) ayat Al-Qur’an yang masih samar tersebut.
Sebagaimana Hadits Nabi Muhammad SAW :
ِ هللا َو ُسنَّ َة َر ُسوهِل
ِ ابَ َك َت: تَ َر ْك ُت ِف ْيمُك ْ َأ ْم َر ْي ِن لَ ْن ت َِضل ُّ ْوا َما تَ َم َّس ْكمُت ْ هِب ِ َما
“Nabi Muhammad SAW meninggalkan bagimu 2 perkara, jika kamu sekalian
berpegang teguh kepada keduanya maka kamu tidak akan tersesat, yaitu
Kitaballoh ( Al-Quran ) dan sunnah Rosul ( Hadits).”wallohu a’lam bisshowab
B. Rumusan Masalah :
1. Bagaimana Kedudukan Hadits?
2. Apa Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an?
1
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra, , 1999). Hal
10.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadits
Dalam hal ini Hadits merupakan sumber hukum Islam ke 2 setelah Al-Qur’an, yang
mana jika suatu hukum atau permasalahan tidak tercantum dalam Al-Qur’an. Maka Hadits
lah sebagai pelantaraan (solusi) untuk memecahkan sebuah masalah tersebut. Dalam
kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al Qur’an
atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al Quran
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum
Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk
itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang
berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan
dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang
menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak
perlu lagi ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua
umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
1. Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima
segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.
Diantara ayatnya adalah:
ِ اَي َأهُّي َا اذَّل ِ َين آ َمنُوا َأ ِطي ُعوا اهَّلل َ َوَأ ِطي ُعوا َّالر ُسو َل َوُأويِل اَأْل ْم ِر ِم ْنمُك ْ ۖ فَ ْن تَنَ َازعْمُت ْ يِف يَش ْ ٍء فَ ُردُّو ُه ىَل اهَّلل
ِإ ِإ
ون اِب هَّلل ِ َوالْ َي ْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َذٰكِل َ َخرْي ٌ َوَأ ْح َس ُن تَْأ ِوياًل
َ َُو َّالر ُسولِ ْن ُك ْنمُت ْ تُْؤ ِمن
ِإ
“Hai orang-rang yang beriman! Taatilah Allah, Rasul dan Ulil Amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalilah kepada Allah
dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian
itu lebih baik utama dan lebih baik akibatnya”. [QS. An-Nisa’ (4): 59]
َم ْن يُ ِطع ِ َّالر ُسو َل فَ َقدْ َأ َطا َع اهَّلل َ َو َم ْن ت ََوىَّل فَ َما َأ ْر َسلْنَاكَ عَلَهْي ِ ْم َح ِف ًيظا
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.”
2. Dalil Hadits
Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, kedudukan Hadits ini dapat
dilihat melalui Hadits Nabi saw., yang berkenaan dengan keharusan menjadikan
Hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW,
)(رواه ابن ماجاه...فعليمك بسنّيت وسنّيت اخللفاء الرا شدين املهديني متسكوا هبا وعضّ وا علهيا
“Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidiin
(khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”.
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah ).
Hadist diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada Hadist atau
menjadikan Hadist sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib,
sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.5
3. Dalil Ijma’
Umat Islam sepakat menjadikan Hadits sebagai salah satu dasar hukum
beramal karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Kesepakatan ini, telah
2
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 51
3
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 34
4
Ibid, hlm. 35
5
Muzier Suparta, Op.Cit., hlm. 55
terjadi sejak Rasulullah masih hidup. Sepeninggal beliau, masa Khulafa Al-Rasyidin
dan masa selanjutnya tidak ada yang mengingkarinya bahkan menghafal dan
menyebarluaskan ke generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan
Hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a. Ketika Abu Bakar di baiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata: “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah,
sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.6
b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad, ia berkata: “saya tahu engkau adalah
batu. Saendainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan
menciummu”
c. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Utsman bin ‘Affan berkata:
“saya duduk seperti duduknya Rasulullah, saya makan seperti makannya
rasulullah dan saya shalat seperti shalatnya Rasulullah saw.7
Demikianlah beberapa alasan hadits sebagai sumber hukum Islam, yang menunjukkan
apa yang disampaikan dan diserukan niscaya diikuti umatnya. Dan begitu cara sahabat
dalam menjaga dan mempraktikkan Sunah.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti
apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam
Sunnahnya.Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu
6
Ibit, hlm. 56
7
Ibid; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 37
8
Ibit, hlm. 57
mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum
untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama,
dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang
terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi
dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam
arti diyakini kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits
mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan
Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan
menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran
yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar
mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan
cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan
pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus
terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan
syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa
berita.
B.Fungsi Hadits
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah
untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-
Nahl :64 Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya
dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut : Menguatkan dan mengaskan
hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam
bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.
Adapun beberapa penjelasan (bayan) terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an
yaitu :
1. Bayan Taqrir
Bayan Taqrir disebut juga bayan ta’kid,9 ada juga yang menamai bayan
Itsbat.10 Yang dimaksud dengan bayan ini, adalah menetapkan, memperkuat serta
memperkokoh apa yang telah diterangkan kandungan Al-Qur’an. Seperti dalam surat
Al-Baqarah ayat 185
فَ َم ْن َشهِدَ ِم ْنمُك ُ الشَّ ه َْر فَلْ َي ُص ْم ُه
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa...”.
Ayat di ayas di-taqrir oleh Hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi:
) وإ ذا رأيمتوه فأفطروا (رواه مسمل فإذا رأيمت الهال ل فصوموا
”Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah , juga apabila melihat
(ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR.Muslim)11
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-
muwafiq li al-nas al kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sesuai
dengan nas Al-Qur’an.12
2. Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan Tafsir adalah bahwa kehadiran Hadits berfungsi
untuk memberikan rincian dan tafsir terhadap ayat-ayat AlQur’an yang masih bersifat
global (mujmal), memberi persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur’an yang
bersifat mutlak dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih bersifat umum.13
Adapun beberapa syarat dalam rincian bayan tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an,
adalah :
a. Merinci ayat-ayat yang Mujmal
Mujmal ialah ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang
singkat ini terkandung makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum
9
Ibid; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 3
10
Ibit
11
Ibid, hlm. 59: Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 39
12
Ibit, hlm. 60.
13
Ibit, hlm. 61.
jelas makna yang dimaksudkannya kecuali setelah ada penjelasan. 14 Seperti
halnya firman Alloh SWT :
ٌ الس ِارقَ ُة فَا ْق َط ُع ْوٓا َايْ ِدهَي ُ َما َج َز ۤا ًۢء ِب َما َك َس َبا نَاَك اًل ِّم َن اهّٰلل ِ َۗواهّٰلل ُ َع ِز ْي ٌز َح ِكمْي
َّ السا ِر ُق َو
َّ َو
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi maha
Bijaksana.”
Ayat tersebut di-taqyid oleh Hadits riwayat Muslim:
ّ أويت رسول هللا صىل هللا عليه وسمّل بسارق فقطع يده من مفصل
الكهف
“Rasulullah SAW di datangi seseorang dengan membawa pencuri , maka
beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.” (H.R Muslim)16
c. Men-takhsish ayat yang ‘Am
Kata takhsish atau khas ialah kata yang menunjukkan arti khusus
tertentu atau tunggal. Sedangkan kata ‘am ialah yang menunjukkan atau
memiliki makna dalam jumlah yang banyak (umum). Yang dimaksud men-
takhsish ayat ‘am ialah membatasai keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak
berlaku pada bagian-bagian tertentu. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
14
Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 39
15
Ibit, hlm. 40.
16
Ibit
bin Hanbal, keumuman ayat bisa di-takhsis-kan oleh Hadits ahad yang
menunjuk kepada sesuatu yang khas, sedangkan menurut ulma’ Hanafiyah,
sebaliknya. Sepeti halnya sabda Nabi Muhammad SAW :
اليرث القاطل من املقتول شيئا
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H.R Ahmad)
Hadits tersebut men-takhsis keumuman firman Allah Q.S An-Nisa’: 11
ِ ۚ يُ ْو ِص ْيمُك ُ اهّٰلل ُ يِف ْ ٓ َا ْواَل ِدمُك ْ ِل َّذل َك ِر ِمث ُْل َحظِّ ااْل ُنْثَيَنْي
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan”. 17
3. Bayan Tasyri’
Kata at-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan hukum.18
Yang dimaksud bayan tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajran
yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an, atau dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-
pokoknya saja19 Banyak Hadits Nabi saw., termasuk kedalam kelompok ini,
diantaranya tentang zakat fitrah:
فرض زاكة الفطر من رمضان عىل النّاس صاعا من متر اوصاعا من: ّإن رسول هللا صىل هللا عليه وسمّل
حر اوعبد ذ كر اوأنىث من املسلمني ّ شعري عىل
ّ لك
“Bahwasannya Rasulullah saw., telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan
satu sukat (sha’) kuram atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba,
laki-laki atau perempuan. (H.R Muslim)20
4. Bayan Nasakh
Secara bahasa, an-naskh beraeti al-ibthal ( membatalkan ), al-ijalah
( menghilangkan ), at-tahwil (memindahkan ), at-taghyir ( mengubah ). Para Ulama’,
baik Muqoddimin maupun Muta’akhirin berbeda pendapat dalam
mendefinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan diantara
mereka dalam mendefinisikan kata nasakh dari segi kebahasaan.21
17
Ibit, hlm, 41-42.
18
Ibit, hlm, 42.
19
Munzier Suparta, Op.Cit., hlm. 64
20
Ibid; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 42
21
M. Agus Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) hlm.
Pada perbedaan ini, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut
menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang
lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya.22
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama’ adalah sabda Nabi
saw., dari Abu Ummah Al-Bahili :
)حق حقّه فال وص ّية لوارث (رواه أمحد واألربعة إالالنسائ ّ ّإن هللا قد أعطى
ّ لك ذي
“ Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap prang haknya (masing-
masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R Ahmad dan Al-Arba’ah,
kecuali An-Nasa’i)
Hadits diatas menurut mereka men-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 180
َ َحقًّا عَىَل الْ ُمتَّ ِقنْي,ُك ِت َب عَلَ ْيمُك ْ ِا َذا َحرَض َ َا َحدَ مُك ُ الْ َم ْو ُت ِا ْن تَ َركَ َخرْي ً ا الْ َو ِص َّي ُة ِللْ َوادِل َ ْي ِن َوااْل َ ْق َر ِبنْي َ اِب لْ َم ْع ُر ْو ِف
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalakan harta yang banyak berwasiat untuk bapak-ibu dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertaqwa.”23
22
Munzier Suparta, Op.Cit., hlm. 65
23
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit., hlm. 85-86
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Antara Hadist dan Al-Qur’an memiliki pertalian dan hubungan yang sangat erat
sekali, karenanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan Hadits
merupakan mubayyin atau penjelas dari Al-Qur’an Secara ‘aqli maupun secara naqli, maka
kedudukan hadist terhadap Al-Qur’an adalah bahwa Hadist merupakan sumber kedua setelah
Al-Qur’an.
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, 1999, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia