Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang
disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu,
tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat
dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara
kesejahteraan secara umum (Siti Resmi,2011). Menurut Supramo dan Theresia (2010)
perlawanan pajak dapat berupa perlawanan pasif maupun aktif. Perlawanan pasif merupakan
perlawanan dalam bentuk hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan memiliki
hubungan erat dengan struktur ekonomi. Sedangkan perlawanan aktif merupakan perlawanan
yang dapat dilihat secara nyata dalam bentuk perbuatan secara langsung yang ditujukan
kepada aparat pajak dengan tujuan untuk mengurangi pajak. Perlawanan aktif terhadap pajak
dapat dilakukan dengan penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax
evasion).
Pengelakan Pajak (tax evasion) merupakan usaha aktif Wajib Pajak dalam hal
mengurangi, menghapuskan, manipulasi ilegal terhadap utang pajak atau meloloskan diri
untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-
undangan. Sedangkan, penghindaran pajak (tax avoidance) ialah manipulasi penghasilannya
secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang (Siti Kurnia Rahayu, 2010).
Penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan perusahaan tentu saja melalui
kebijakan yang diambil oleh pemimpin perusahaan itu sendiri. Dimana pimpinan perusahaan
sebagai pengambil keputusan dan kebijakan dalam perusahaan tentu memiliki karakater yang
berbeda-beda. Seorang pemimpin perusahaan bisa saja memiliki karakter risk taker atau risk
averse yang tercermin dari besar kecilnya risiko perusahaan (Budiman, 2012). Perusahaan
melakukan penghindaran pajak karena pemegang saham tentu menginginkan adanya
pengembalian yang berlipat ganda dari investasinya pada perusahaan. Mengurangi jumlah
beban pajak artinya meningkatkan keuntungan perusahaan (Harto dan Puspita, 2014).
Dari laman yang dikutip pada CNN Indonesia PT Google telah melakukan penghindaran
pajak. Belum banyak negara yang berhasil menuntut hak penerimaan pajak dari perusahaan
raksasa internet itu. Salah satu negara yang berhasil adalah Inggris yang bisa membuat
Google membayar 130 juta poundsterling atau lebih dari Rp2 triliun atas utang pajak sejak
2005 hingga 2016 silam. Upaya penyelidikannya memakan waktu hingga 6 tahun,
menggunakan data penjualan yang tak bisa dibantah.
Google mendapatkan pemasukan iklan online dari seluruh dunia. Sejumlah media
internasional melaporkan nilai penjualan Google di Inggris pada 2013 saja mencapai 3,8
miliar poundsterling. Namun, pajak yang dibayarkan hanya 20,4 juta poundsterling. Hal ini
bisa terjadi karena Google mengalihkan pendapatan ke kantor pusatnya di Irlandia yang
merupakan negara surga pajak.
Namun, belum semua negara berhasil seperti Inggris. Pada awal tahun
ini, Reuters memberitakan Google melakukan peralihan keuntungan 2017 senilai 19,9 miliar
euro atas operasionalnya di Belanda ke sebuah perusahaan cangkang di Bermuda.
Selain itu, PT Adaro Energy Tbk juga melakukan penghindaran pajak. Dilansir dari
Detikfinance, Adaro disebut melakukan transfer pricing melalui anak usahanya di Singapura,
Coaltrade Services International. Upaya itu disebutkan telah dilakukan sejak 2009 hingga
2017. Adaro diduga telah mengatur sedemikian rupa sehingga mereka bisa membayar pajak
US$ 125 juta atau setara Rp 1,75 triliun (kurs Rp 14 ribu) lebih rendah daripada yang
seharusnya dibayarkan di Indonesia.
Memang cara itu tidak melanggar aturan, tapi tidak etis dilakukan. Sebab perusahaan
yang mendulang keuntungan melalui sumber daya di Indonesia, namun pemasukan pajak
yang diterima negara tidak maksimal. Malah keuntungan itu dilarikan ke negara dengan pajak
yang lebih rendah.
Komite urusan fiskal dari Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) menyebutkan tiga karakter penghindaran pajak, yaitu (1) Adanya unsur artifisial di
mana berbagai pengaturan seolah-olah terdapat di dalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan
karena ketiadaan faktor pajak, (2) memanfaatkan loopholes dari undangundang atau
menerapkan ketentuanketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang
sebetulnya dimaksudkan oleh pembuat undangundang, (3) para konsultan menunjukan alat
atau cara untuk melakukan penghindaran pajak dengan syarat Wajib Pajak menjaga serahasia
mungkin (Council of Executive Secretaries of Tax Organization, 1991).
Penghindaran pajak yang terkait kondisi keuangan perusahaan diantaranya ukuran
perusahaan. Ukuran perusahaan menunjukkan kestabilan dan kemampuan perusahaan untuk
melakukan aktivitas ekonominya (Kurniasih dan Sari, 2013:59). Semakin besar ukuran suatu
perusahaan maka semakin menjadi pusat perhatian dari pemerintah dan akan menimbul kan
kecenderungan bagi para manajer perusahaan untuk berlaku patuh (compliances) atau agresif
(tax avoidance) dalam perpajakan. (Kurniasih dan Sari, 2013:59). Semakin besar ukuran
perusahaan, maka perusahaan akan lebih mempertimbangkan risiko dalam hal mengelola
beban pajaknya. (Darmawan, 2014:147). Semakin besar ukuran perusahaan maka semakin
mampu perusahaan tersebut dalam mengatur perpajakan dengan melakukan tax saving yang
dapat memasukan tax avoidance (Surbakti, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Ardyansah, Danis dan Zulaikah (2014), ditemukan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap Effective Tax Rate. Tarif pajak efektif atau
ETR (Effective Tax Rate) digunakan untuk mengukur pajak yang dibayarkan sebagai
proporsi dari pendapatan ekonomi (Ardyansah dan Zulaikha, 2014). Reinaldi dan Charoline
(2015) menyatakan bahwa perusahaan dengan ukuran besar akan lebih stabil dan lebih
mampu dalam menghasilkan laba dan membayar kewajibannya dibanding perusahaan dengan
total aktiva yang kecil. Danis dan Zulaikah (2014) Adanya pengaruh negatif yang signifikan
dari ukuran perusahaan terhadap ETR dikarenakan perusahaan besar memiliki ruang lebih
besar untuk perencanaan pajak yang baik dan mengadopsi praktek akuntansi yang efektif
untuk menurunkan ETR perusahaan.
Kondisi keuangan lainnya yang diprediksi dapat mempengaruhi penghindaran pajak
yaitu leverage. Leverage dapat didefinisikan sebagai penggunaan aktiva atau dana dimana
untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menutup biaya tetap atau membayar beban tetap
(Riyanto, 1996: 291). Menurut Howton dalam Suharli dan Oktorina (2005) perusahaan
leverage mempunyai peluang investasi yang tidak menguntungkan serta arus kas bebas
tinggi. Dengan membedakan perusahaan yang pembayaran devidennya tinggi dengan yang
rendah, dikatakan bahwa perusahaan yang pembayaran devidennya rendah mempengaruhi
harga saham secara positif pada pengumuman penawaranhutang. Kebijakan hutang
dinyatakan dalam rasio leverage.
Rasio leverage merupakan penggunaan aktiva dan sumber dana oleh perusahaan yang
memiliki biaya tetap berarti sumber dana yang berasal dari pinjaman karena memiliki bunga
sebagai beban tetap dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensial pemegang
saham (Sjahrial, 2007). Rasio leverage yang digunakan dalam penelitian ini adalah Debt to
Equity Ratio (DER). Rasio ini membandingkan total utang dengan modal sendiri perusahaan.
Semakin rendah DER perusahaan, semakin baik kondisi perusahaan tersebut.
Kurniasih dan Sari (2013: 65) melakukan penelitian mengenai pengaruh
leverageterhadap penghindaran pajak. Hasilnya, leverage tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap penghindaran pajak. Hasil ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
Richardson dan Lanis (2007) yang menyatakan bahwa “ETRs have a significant negative
association witih capital structure for leverage” (Richardson dan Lanis, 2007: 702).
1.2 Rumusan Masalah
1. Seberapa besar ukuran perusahaan berpengaruh terhadap penghindaran pajak?
2. Seberapa besar leverage berpengaruh terhadap penghindaraan pajak?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap penghindaraan
pajak.
2. Untuk mengetahui apakah leverage berpengaruh terhadap penghindaraan pajak.

1.4 Manfaat Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian di atas, manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan adalah sebagai berikut :
a Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teori berupa bukti
empiris mengenai pengaruh Ukuran Perusahaan dan Leverage terhadap
Penghindaran Pajak.
b Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi, wawasan
dan referensi di lingkungan akademis serta bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukanmasukan dan sumbangan
pemikiran mengenai tax avoidance bagi perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
serta dapat menjadi referensi dalam tindakan pengambilan keputusan bagi pemilik
perusahaan, manajer, regulator, dan investor.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pajak

Pajak menurut Dr. Rachmat Soemitro dalam Waluyo (2002) menyatakan bahwa “
Pajak adalah iuran kepada negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditujukan dan yang
dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum”
Definisi pajak menurut UU No.28 tahun 2007 tentang KUP adalah sebagai berikut
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”

2.2 Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)


Upaya manajemen perusahaan untuk memperoleh laba yang diharapkannya melalui
penerapan manajemen pajak salah satunya adalah melalui penghindaran pajak (tax
avoidance), yaitu mengurangi jumlah pajak dengan cara yang yang tidak melanggar
peraturan perundang-undangan perpajakan. Penghindaran pajak dapat juga didefinisikan
sebagai suatu bagian dari strategi manajemen pajak yang tidak dilarang dalam undang-
undang pajak. Menurut Rego (2003), penghindaran pajak sebagai penggunaan metode
perencanaan pajak untuk secara legal mengurangi pajak penghasilan yang dibayarkan.
Namun, Desai and Dharmapala (2006) melihat penghindaran pajak sebagai penyalahgunaan
tax shelters.
Penghindaran pajak yang dilakukan secara ilegal adalah tax evasion atau dapat juga
dianggap penggelapan pajak, yaitu melakukan penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Menurut Prebble dan Prebble (2012), perbedaan tax avoidance dan tax evasion adalah
bahwa tax evasion adalah ilegal, yang terdiri dari pelanggaran yang disengaja atau
pengelakan peraturan pajak yang berlaku untuk meminimalkan kewajiban pajak. Tax
avoidance merupakan penghindaran pajak yang tidak ilegal, yaitu tindakan mengambil
keuntungan pada kesempatan yang ada dalam peraturan perpajakan untuk mengurangi
kewajiban pajak.
Penghindaran pajak merupakan upaya menghindari pajak yang dilakukan secara legal
dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku
dimana metode dan tekhnik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri untuk memperkecil
jumlah pajak terhutang (Pohan, 2011).
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penghindaran pajak (tax
avoidance) pada intinya adalah suatu cara untuk mengurangi beban pajak perusahaan dengan
memanfaatkan kelemahan-kelemahan dalam undang- undang perpajakan yang berlaku,
sehingga cara tersebut tidap dapat diaanggap ilegal.
Komite urusan fiskal dari Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) menyebutkan tiga karakter penghindaran pajak, yaitu sebagai berikut.
1) Adanya unsur artifisial di mana berbagai pengaturan seolah-olah terdapat di dalamnya
padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak.
2) Memanfaatkan loopholes dari undangundang atau menerapkan ketentuanketentuan
legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang sebetulnya dimaksudkan oleh
pembuat undangundang.
3) Para konsultan menunjukan alat atau cara untuk melakukan penghindaran pajak
dengan syarat Wajib Pajak menjaga serahasia mungkin (Council of Executive
Secretaries of Tax Organization, 1991).
Di penelitian Hoque, et al. (2011) dalam Surbakti (2012) diungkapkan beberapa cara
perusahaan melakukan penghindaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1) Menampakkan laba dari aktivitas operasional sebagai laba dari modal sehingga
mengurangi laba bersih dan utang pajak perusahaan tersebut.
2) Mengakui pembelanjaan modal sebagai pembelajaan operasional dan membebankan
yang sama terhadap laba bersih sehingga mengurangi utang pajak perusahaan.
3) Membebankan biaya personal sebagai biaya bisnis sehingga mengurangi laba bersih.
4) Membebankan depresiasi produksi yang berlebihan di bawah nilai penutupan
peralatan sehingga mengurangi laba kena pajak.
5) Mencatat pembuangan yang berlebihan dari bahan baku dalam industri manufaktur
sehingga mengurangi laba kena pajak.
Selain itu, penghindaran pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara menurut Merks
(2007) dalam Prakosa (2014) sebagai berikut:
1) Memindahkan subjek pajak dan/atau objek pajak ke negara-negara yang memberikan
perlakuan pajak khusus atau keringanan pajak (tax haven country) atas suatu jenis
penghasilan (substantive tax planning).
2) Usaha penghindaran pajak dengan mempertahankan substansi ekonomi dari transaksi
melalui pemilihan formal yang memberikan beban pajak yang paling rendah (formal
tax planning).
3) Ketentuan anti avoidance atas transaksi transfer pricing, thin capitalization, treaty
shopping, dan controlled foreign corporation (Specific Anti Avoidance Rule), serta
transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis (General Anti Avoidance Rule).
Dari definisi-definisi yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa
penghindaran pajak (tax avoidance) pada intinya adalah suatu cara untuk mengurangi beban
pajak perusahaan dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan dalam undang- undang
perpajakan yang berlaku, sehingga cara tersebut tidap dapat diaanggap ilegal.

2.3 Ukuran Perusahaan


Menurut Brigham & Houston (2010:4) ukuran perusahaan adalah sebagai berikut :
“Ukuran perusahaan merupakan ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan yang
ditunjukan atau dinilai oleh total asset, total penjualan, jumlah laba, beban pajak dan lain-
lain”.
Menurut Hartono (2008:14) ukuran perusahaan (firm size) adalah sebagai berikut :
“Besar kecilnya perusahaan dapat diukur dengan total aktiva/ besar harta perusahaan
dengan menggunakan perhitungan nilai logaritma total aktiva”.
Kemudian ukuran perusahaan menurut Torang (2012:93) adalah :
“Ukuran organisasi adalah menentukan jumlah anggota yang berhubungan dengan
pemilihan cara pengendalian kegiatan dalam usaha mencapai tujuan”.
Kemudian menurut Consoladi et al. dalam Heni Oktaviani (2014) mengatakan bahwa:
“Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi kinerja sosial perusahaan karena perusahaan
yang besar mempunyai pandangan yang lebih jauh, sehingga lebih berpartisipasi dalam
menumbuhkan kinerja sosial perusahaan”.
Dari definisi tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan
merupakan nilai besar kecilnya perusahaan yang ditunjukan oleh total aset, total penjualan,
jumlah laba, sehingga mempengaruhi kinerja sosial perusahaan dan menyebabkan
tercapainya tujuan perusahaan.
Klasifikasi ukuran perushaan menurut UU No. 20 Tahun 2008 dibagi kedalam 4 (empat)
kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar.
Pengertian dari usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar menurut UU
No. 20 Tahun 2008 Pasal 1 (Satu ) adalah sebagai berikut:
1. “Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini.
2. Usaha kecil adalah usaha produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menajdi bagian langsung maupun
tidak langsung dari usaha menengah atau besar yang memenuhi kriteria usaha kecil
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perushaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini.
4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha
dengan sejumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha
menengah, yang meliputi usaha nasional milik Negara atau Swasta, usaha patungan,
dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia”.
Mengacu pada undang-undang nomor 20 tahun 2008 pasal 6, kriteria usaha kecil/ukuran
perusahaan kecil dilihat dari segi keuangan dalam modal yang dimilikinya adalah:
1) “Kriteria Usaha Makro adalah sebagai berikut :
a Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah).
2) Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha; atau
b Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
3) Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,- (lima puluh milyar
rupiah).
4) Kriteria Usaha Besar adalah sebagai berikut:
a Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp50.000.000.000,- (lima puluh milyar
rupiah).”

Menurut I Gusti Ngurah Gede Rudangga dan Gede Merta Sudiarta (2016 ):

“Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dengan total asset yang di miliki oleh perusahaan.
Dalam ukuran perusahaan terdapat tiga variabel yang dapat menentukan ukuran perusahaan
yaitu total asset, penjualan, dan kapitalisasi pasar. Karena variabel itu dapat menentukan
besarnya suatu perusahaan”.

Size = Log Total Aktiva


Menurut Taliyang (2011) dalam Lina (2013) Ukuran perusahaan diukur dengan
menggunakan logaritma natural total asset. Skala pengukurannya adalah skala rasio skala
Rasio.
Pengukuran variable ukuran perusahaan adalah sebagai berikut :

Ukuran Perusahaan = Ln Total Aktiva


Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa untuk menentukan ukuran perusahaan
digunakan dengan ukuran aktiva yang diukur sebagai logaritma dari total aktiva.
2.4 laverage
Menurut Agus Sartono (2012:120) leverage sebagai berikut :
“Financial leverage menunjukan proporsi atas penggunaan utang untuk membiayai
investasinya. Perusahaan yang tidak mempunyai leverage berarti menggunakan modal sendiri
100%”.
Adapun menurut Kasmir (2015:151) leverage adalah:
“Rasio solvabilitas atau leverage ratio merupakan rasio yang digunakan dalam
mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai dengan utang. Artinya berapa besar beban
utang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktivanya. Dalam arti luas
dikatakan bahwa rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk
membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila
perushaaan dibubarkan (dilikuidasi)”.
kemudian menurut Irham Fahmi (2015:72) leverage adalah:
“ Rasio leverage adalah mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan utang.
Penggunaan utang yang terlalu tinggi akan membahayakan perusahaan karena perusahaan
akan masuk dalam kategori extreme leverage (utang ekstrim) yaitu perusahaan terjebak
dalam tingkat utang yang tinggi dan sulit untuk melepaskan beban utang tersebut”.
Dari definisi tersebut maka Leverage merupakan pemakaian utang oleh perusahaan
untuk melakukan kegiatan operasional perusahaan atau dalam melakukan kegiatan investasi
guna memberikan gambaran terhadap keadaan perusahaan kepada pemegang saham.
Menurut Agus Sartono (2008:260), leverage terdiri dari:
1) “Leverage operasi (Operating Leverage), apabila perusahaan memiliki biaya operasi
tetap atau biaya modal tetap, maka dikatakan perusahaan menggunakan leverage
dengan mengharapkan bahwa perubahan penjualan akan mengakibatkan perubahan
laba sebelum bunga dan pajak yang lebih besar.
2) Leverage Finansial (Financial Leverage), penggunaan sumber dana yang memiliki
beban tetap dengan harapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang
lebih besar dari pada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang
tersedia bagi pemegang saham.
3) Leverage Kombinasi (Combined Leverage), apabila perusahaan memiliki baik
operating leverage maupun financial leverage dala usaha untuk meningkatkan
keuntungan bagi pemegang saham.
4) Analisis Break-Even, perencanaan kegiatan dalam perusahaan yang didasarkan atas
perkiraan tingkat output. Pemahaman hubungan antara skala perusahaan, biaya
operasi dan EBIT pada berbagai tingkat output disebut dengan analisis volume biaya
laba atau cost profit volume analysis.”

a Mengukur Operating Leverage

Dengan menggunakan operating leverage perusahaan mengharapkan bahwa


perubahan penjualan akan mengakibatkan perubahan laba sebelum bunga dan
pajak yang lebih besar. Multiplier effect hasil penggunaan biaya operasi tetap
terhadap laba sebelum bunga dan pajak disebut dengan degree of operating
leverage (DOL). Degree of operating leverage (DOL) dapat juga didefinisikan
sebagai persentase perubahan laba sebelum bunga dan pajak sebagai akibat
persentase perubahan penjualan.

Rumus :

Adapun rumus menurut Agus Harjito (2011:318) yaitu :

b Mengukur Financial Leverage


Perusahaan yang mengunakan sumber dana dengan beban tetap dikatakan bahwa
perusahaan mempunyai financial leverage. Penggunaan leverage ini dengan harapan agar
terjadi perubahan laba per saham (EPS) yang lebih besar daripada perubahan laba
sebelum bunga dan pajak (EBIT). Multiplier effect yang dihasilkan karena penggunaan
dana dengan biaya tetap ini disebut dengan degree of financial leverage (DFL).

Adapun rumus menurut Agus Harjito (2011:327) yaitu :


c Mengukur Combined Leverage
Leverage kombinasi terjadi apabila perusahaan memiliki baik operating leverage
maupun financial leverage dalam usahanya untuk meningkatkan keuntungan bagi
pemegang saham biasa. Degree Combined Leverage (DCL) adalah multiplier effect atas
perubahan laba per lembar saham (EPS) karena perubahan penjualan. Dengan kata lain
degree of combined leverage (DCL) adalah rasio antara persentase perubahan EPS
dengan perubahan persentase penjualan.

Menurut Kasmir (2015:153) terdapat beberapa tujuan perusahaan menggunakan rasio


leverage yaitu :
1. “Untuk mengetahui posisi perusahaan terhadap kewajiban kepada pihak lainnya
(kreditor),
2. Untuk menilai keammpuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang bersifat
tetap (seperti angsuran pinjaman termasuk bunga),
3. Untuk menilai keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap dengan modal,
4. Untuk menilai seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang,
5. Untuk menilai seberapa besar pengaruh utang perusahaan terhadap pengelolaan
aktiva,
6. Untuk menilai atau mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang
dijadikan jaminan utang jangka panjang,
7. Untuk menilai berapa dana pinjaman yang segera akan ditagih, terdapat sekian kalinya
modal sendiri yang dimiliki, dan
8. Tujuan lainnya”.
Sementara itu menurut Kasmir (2015:154) manfaat rasio leverage adalah sebagai
berikut :
1. “Untuk menganalisa kemampuan posisi perusahaan terhadap kewajiban kepada
pihak lainnya,
2. Untuk menganalisis kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban yang bersifat
tetap (seperti angsuran pinjaman dan bunga),
3. Untuk menganalisis keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap dengan
modal,
4. Untuk menganalisis seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang,
5. Untuk menganalissi seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap
pengelolaan aktiva,
6. Untuk menganalissi atau mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri
yang diajdikan jaminan utang jangka panjang,
7. Untuk menganalisis berapa dana pinjaman yang segera akan ditagih ada terdapat
sekian kalinya modal sendiri, dan Manfaat lainnya”.

2.5 Penelitian Terdahulu

NO Judul Penelitian Variabel Bebas Variabel Terikat Hasil Penelitian


1. Dharma dan Ardiana Tax Avoidance Laverage Berpengaruh
(2016) Negatif
Pengaruh Laverage, Intensitas Aset Berpengaruh
Intensitas Aset Tetap, Tetap Negatif
Ukuran Perusahaan, dan Ukuran Berpengaruh
Koneksi Politik terhadap Perusahaan Positif
Tax Avoidance Koneksi Politik Tidak
Berpengaruh
2. Khoirunnisa Alviyani Penghindaran Kepemilikan Berpengaruh
(2016) Pajak Institusional
Pengaruh Corporate Kualitas audit Tidak
Governance, Karakter Berpengaruh
Eksekutif, Ukuran Komisaris Berpengaruh
Perusahaan, dan Independen
Leverage Terhadap Komite Audit Tidak
Penghindaran Pajak Berpengaruh
(Tax Avoidance) (Studi Karakter Berpengaruh
Pada Perusahaan Eksekutif
Pertanian dan Ukuran Berpengaruh
Pertambangan yang Perusahaan
Terdaftar Di Bei Tahun Leverage Tidak
2011-2014) Berpengaruh
3. Teguh, Yessi, dan Rusli Penghindaran Return on Asset Berpengaruh
(2016) Pajak
Pengaruh Return on Leverage Berpengaruh
Asset, Leverage, Ukuran
Ukuran Berpengaruh
Perusahaan,
Perusahaan
Kompensasi Rugi Fiskal
dan Kepemilikan Kompensasi Rugi Tidak
Institusi Terhadap Fiskal Berpengaruh
Penghindaran Pajak Kepemilikan Tidak
Institusi Berpengaruh
4. Yoanis dan Ni Ketut Penghindaran Proporsi Berpengaruh
(2017) Pajak Komisaris Negatif
Pengaruh Proporsi Independen
Komisaris Independen,
Kepemilikan Berpengaruh
Kepemilikan
Institusional Negatif
Institusional, Leverage,
Leverage Berpengaruh
Dan Ukuran Perusahaan
Negatif
Pada Penghindaran
Ukuran Berpengaruh
Pajak
Perusahaan Positif
5. Mulyani (2014) Penghindaran Laveage Berpengaruh
Pengaruh Karakteristik Pajak Koneksi Politik Berpengaruh
Perusahaan, Koneksi
Politik dan Reformasi Capital Intensifity Berpengaruh
Perpajakan terhadap Reformasi Tidak
Penghindaran Pajak. Perpajakan Berpengaruh

2.6 Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis


Kerangka pemikiran merupakan penyusunan paradigma penelitian dalam skripsi
mengenai konsep yang diangkat oleh penulis yang berisi tentang variable bebas (independen),
baik tunggal maupun jamak dalam kaitannya dengan variable terikat (dependen). Sehingga
hasil intepretasi variable bebas (X) dapat mempengaruhi nilai variable terikat (Y), perubahan
nilai variable dependen dimaksudkan agar dapat menemui titik cerah bagi peneliti sesuai
dengan rumusan masalah yang telah dibuat.

2.6.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Penghindaran Pajak


Menurut Hasibuan (2009) dalam surbakti (2013), ukuran perusahaan adalah suatu skala
dimana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain:
toltal aset, log size, penjualan dan kapitalisasi pasar, dan lain-lain. Semakin besar perusahaan
maka semakin besar total aset yang dimilikinya.
Dalam melakukan tax planning untuk upaya menekan beban pajak seminimal mungkin,
perusahaan dapat mengelola total aset perusahaan untuk mengurangi penghasilan kena pajak
yaitu dengan memanfaatkan beban penyusutan dan amortisasi yang timbul dari pengeluaran
untuk memperoleh aset tersebut karena beban penyusutan dan amortisasi dapat digunakan
sebagai pengurang penghasilan kena pajak perusahaan. Hasil penelitian Surbakti (2012)
menunjukkan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap penghindaran pajak.

2.6.2 Pengaruh Leverage terhadap Penghindaran Pajak


Kasmir (2010) menyatakan bahwa leverage merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur sejauh mana aset perusahaan dibiayai dengan utang. Artinya, berapa besar beban
utang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan asetnya.
Perusahaan dimungkinkan menggunakan utang untuk memenuhi kebutuhan operasional
dan investasi perusahaan. Akan tetapi, utang akan menimbulkan beban tetap(fixed rate of
return) yang disebut dengan bunga. Beban bunga yang ditanggung peusahaan dapat
dimanfaatkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak perusahaan untuk menekan beban
pajaknya. Dengan begitu bahwa semakin tinggi nilai dari rasio leverage, berarti semakin
tinggi jumlah pendanaan dari utang pihak ketiga yang digunakan perusahaan dan semakin
tinggi pula biaya bunga yang timbul dari utang tersebut. Biaya bunga yang semakin tinggi
akan memberikan pengaruh berkurangnya beban pajak perusahaan. Semakin besar utang
maka laba kena pajak akan menjadi lebih kecil karena insentif pajak atas bunga utang
semakin besar, Darmawan dan Sukartha (2014). Hal tersebut membawa implikasi
meningkatnya penggunaan utang oleh perusahaan (Prakosa, 2014). Hasil penelitian
Supramono (2010) dan Sri Mulyani (2013) menunjukkan levrage berpengaruh terhadap
penghindaran pajak.

Metode Penelitian

Ukuran

Perusahaan

Penghindaran

Pajak

Leverage

2.1 Hipotesis Penelitian


Dari kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
H₁: Ukuran Perusahaan Berpengaruh terhadap Penghindaran Pajak
H₂: Laverage Berpengauh terhadap Penghindaran Pajak

Anda mungkin juga menyukai