Efektivitas Online Cognitive Behavior Therapy Untuk Mengurangi Gejala Gangguan Cemas Menyeluruh
Efektivitas Online Cognitive Behavior Therapy Untuk Mengurangi Gejala Gangguan Cemas Menyeluruh
BAB I
PENDAHULUAN
DK mengatakan bahwa ia menyadari sejak kecil sering merasa takut dan cemas. Hal
ini tercermin dalam pernyataan sebagai berikut
“Aku waktu TK sering muntah-muntah, takut dan cemas gitu. Terus waktu
SMP kayanya aku ada OCD soalnya aku sering cuci tangan terus. Waktu SMA
aku sering takut gagal, takut gak lulus ujian, padahal aku tau waktu SMA itu
aku termasuk anak yang pintar di kelas, tapi aku tetep takut. Aku pernah
kepikiran mau suicide, aku udah bilang mama. Terus waktu mama udah kasih
jawaban bahwa tenang aja, kamu pasti bakal lulus, aku jadi lebih tenang.”
Pemikiran DK tersebut muncul karena ia merasa harus memiliki jiwa kompetitif yang
ditanamkan ayahnya. Hal ini tercermin dalam pernyataan berikut
“Ayahku sering bilang bahwa nilaiku harus bagus, harus lebih baik dari orang
lain. Aku juga udah diles in dari TK. Aku ingat Ayahku pernah bilang kalau gak
ada yang bisa dibanggain dari aku.”
DK juga mengatakan bahwa ia merasa cemas akan masa depan. Hal ini tercermin
dalam pernyataan berikut
“ Aku takut kehilangan orang tuaku, karena aku belum bisa bahagiaan mereka.
Orang tua ku jauh sama aku, ini ayah lagi sakit, jadi aku takut kalau meninggal.
Aku ini gak bisa jadi apa-apa, gak bisa kerja maksimal di kerjaan, aku ini kaya
karyawan yang selalu rewel, ngeluh dan selalu nyusahin perusahaan. Aku butuh
diayem-ayemin. Aku juga takut gak bisa menjalankan tanggungjawab dalam
pernikahan nanti. Takut gak bisa jadi ibu yang baik.”
DK juga memiliki pandangan negatif atas dirinya, seperti tercermin dalam pernyataan
berikut
“Aku gak nyaman sama ekspektasi orang lain. Takut gak bisa memenuhi
ekspektasi orang lain. Takut gagal. Lebih baik orang lain gak usah berharap sama aku.
Aku ini masih di bawah standar. Aku takut dapat image jelek, jadi lebih baik aku diem
aja.”
Dalam kasus tersebut, DK menyadari bahwa hal tersebut mengganggu dirinya. Ia juga
menyadari bahwa dirinya sering berpikiran jelek tentang dirinya sendiri bahkan sebelum
orang lain menilainya. Permasalahan ini akan terus berlanjut jka pemikiran atau belief
individu tersebut tidak ditangani.
Dalam Barlow’s model disebutkan bahwa GAD dipengaruhi oleh kerentanan secara
biologis dan psikologis terhadap hal negatif dalam hidup. Sementara dalam model
intolerance of uncertainty dipahami bahwa kecemasan berhubungan dengan kesulitan
individu memberikan toleransi keraguan pada masa depan dan kemungkinan konsekuensi
negatif dalam hidup. Pembentukan keyakinan yang salah (false belief) atau keyakinan yang
positif (positive belief) tentang kecemasan mempengaruhi bagaimana individu bersikap
terhadap kecemasan. Kecemasan dan kekhawatiran adalah upaya kognitif untuk
menghasilkan cara mencegah kejadian buruk terjadi dan/atau mempersiapkan diri untuk
kejadian tersebut (Borza, 2017).
Individu dengan GAD seringkali memiliki kecemasan dan kekhawatiran yang tidak
realistis, hal ini disebabkan karena adanya pemikiran yang tidak benar (false belief /
irrational belief). Kehidupan sehari-hari sering merasa khawatir, cemas dan takut.
Kecemasan seringkali mendominasi segala aktivitasnya sehingga membuat kesulitan dalam
hal sekolah, pekerjaan, sosialisasi dan membangun hubungan dengan orang lain. Individu
dengan GAD tidak dapat memberikan toleransi atau perubahan akan kondisi atau pengalaman
hidupnya. Pengalaman negatif dipandang sebagai peristiwa yang menyakitkan sehingga
menjadi sangat waspada dan khawatir. Individu sulit memandang dan menerima peristiwa
yang terjadi secara positif.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab GAD. Ditinjau dari berbagai model
GAD, dapat disimpulkan bahwa faktor etiologi GAD adalah faktor lingkungan; (pengalaman
negatif dalam hidup, perpisahan di masa anak-anak, kurangnya interaksi sosial,
ketidakpuasan dalam hidup, dan modeling kerabat yang memiliki gangguan kecemasan),
faktor kognitif (pikiran negatif, kurangnya perhatian, ketidakmampuan toleransi dalam
ketidakpastian, keyakinan yang salah tentang kemampuannya dalam menyelesaikan masalah
pemikiran menghindar, dan orientasi negatif terhadap permasalahan) dan faktor
perilaku( menghindari pengalaman internal yang tidak menyenangkan) (Gosselin & Laberge,
2003; Behar,E et al, 2009).
Menurut Erikson, masa dewasa awal (20-30 tahun) memiliki tugas perkembangan
intimasi vs isolasi, dimana individu dituntut untuk mampu membangun keakraban atau relasi
dengan orang lain seperti teman, sahabat, atau pasangan. Intimasi mendorong individu
memiliki kemampuan dan kemauan untuk saling percaya, dan komitmen dalam sebuah
hubungan. Ketika individu gagal membangun relasi dengan orang lain, maka individu akan
mengalami isolasi dari lingkungan. Isolasi adalah ketidakmampuan individu untuk bekerja
sama dengan orang lain dan tidak mampu menerima semua tanggung jawab sebagai orang
dewasa, yakni bekerja produktif dan membangun hubungan cinta yang matang (Alwisol,
2014).
Ada begitu banyak tuntutan dan tugas perkembangan yang harus diusahakan oleh
individu dewasa awal. Meskipun begitu, tidak semua individu dewasa awal memiliki
kemampuan untuk mewujudkannya sesuai harapan dan idealisme seseorang.
Ketidakmampuan individu dalam mewujudkan harapan dapat menyebabkan munculnya rasa
cemas. Menurut Cattell (Alwisol, 2014), kecemasan mampu memberikan dampak bahaya
pada fungsi fisik dan mental. Individu mampu merasakan kecemasan dalam berbagai
tingkatan sebagai dampak keadaan yang mengancam atau menekan. Individu dengan GAD
mengalami kesulitan untuk mengontrol perasaan gelisah, cemas, dan khawatir sehingga
individu sulit dalam menyesuaikan diri dalam pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Individu
dengan GAD memerlukan bantuan untuk dapat mengatasi rasa cemas dan khawatir sehingga
dapat lebih terbuka dan menerima pengalaman dan keadaan hidup masa kini.
Untuk membantu individu dengan GAD, farmakoterapi dapat efektif digunakan untuk
perawatan. Namun, perawatan dengan psikoterapi biasanya lebih dipilih oleh para klinisi
sebagai perawatan GAD. Berbagai macam psikoterapi telah berkembang, seperti kelompok
Cognitive Behavior Therapy (CBT) dan dapat pula dikombinasikan dengan berbagai teknik
spesifik seperti cognitive restructuring, exposure, problem solving, applied relaxation dan
biofeedback (Cuijpers et al, 2014). Penelitian yang telah dilakukan oleh Cuijpers dimana
membandingkan terapi CBT dengan beberapa psikoterapi seperti applied relaxation, terapi
psikodinamika, biofeedback, dan terapi suportif, mendapatkan hasil bahwa CBT merupakan
terapi yang paling efektif untuk mengatasi GAD. CBT dan applied relaxation sama efektif
dalam jangka pendek, namun CBT lebih memiliki pengaruh efektif untuk jangka panjang
dibandingkan applied relaxation (Cuijpers, et al, 2014).
CBT sebagai metode perawatan untuk GAD terdiri atas analisis fungsional,
psikoedukasi, pendekatan emosi dan perilaku, serta pendekatan kognitif. Analisis fungsional
berfungsi untuk mengetahui sejauh mana, kapan, frekuensi, dan intensitas serta situasi respon
terhadap kecemasan terpicu untuk muncul. Analisis fungsional juga mampu untuk
memvisualisasikan seberapa fungsional mental individu telah mengalami terapeutik di dalam
dirinya. Tahap kedua adalah psikoedukasi yang berfungsi sebagai edukasi pemahaman bahwa
CBT sebagai alat terapeutik yang akan membantu memfasilitasi meningkatkan motivasi
individu untuk berubah. Individu akan belajar cara berpikir yang baru untuk menentukan
perilaku-perilaku mana yang bermanfaat. Tahap ketiga adalah pendekatan emosi dan
perilaku, dimana terapis akan mencoba mengajarkan teknik relaksasi untuk memngelola
emosi positif. Pada tahap ini, individu akan mempelajari “alat psikologis” untuk mengurangi
situasi pencetus kecemasan, selain itu individu akan belajar bagaimana menyeimbangkan
mood dengan memberikan jeda pada kognitif untuk berpikir dan khawatir. Individu akan
terekspos dengan emosi mereka dan mampu mempelajari faktor dan perilaku menghindar
yang menganggunya. Tahap selanjutnya adalah pendekatan kognitif, dimana dimulai dengan
observasi diri dengan mengamati pemikirannya. Terapis akan membantu individu untuk
mundur dari automatic thoughts dan berhenti dari kekhawatirannya. Selanjutnya terapis akan
membantu individu untuk membuat evaluasi positif atas situasi yang dialami. Tujuannya
adalah berhenti dari bias kognitif seperti overgeneralization suatu keadaan (Borza, 2017).
Terapi CBT memang diperlukan dalam perawatan GAD, namun terapi CBT belum
dapat banyak tersedia karena keterbatasan klinisi yang terlatih, atau banyak klien yang belum
dapat menjangkau harga dan kesempatan perawatan CBT tatap muka (Andrews, 2010).
Sementara itu, situasi pandemi covid-19 yang membuat manusia harus menjaga jarak dan
mengurangi perjumpaan tatap muka semakin membuat sulitnya akses terapi tatap muka,
sehingga diperlukan sebuah alternatif terapi CBT yang dapat membantu individu dengan
GAD, yaitu melalui online CBT. Online CBT atau Digital CBT memiliki beberapa
keuntungan seperti harga yang lebih murah, dapat diakses dalam skala yang lebih besar tidak
terbatas pada geografis, dan dapat membantu meringankan kesulitan yang dialami untuk
bertemu terapis, seperti stigma dan paksaan (Gu et al, 2020).
Beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti pengaruh Digital CBT untuk
menurunkan gelaja GAD. Review sistematis perbandingan data percobaan computerized CBT
dan CBT tatap muka mendapatkan hasil bahwa computerized CBT dan CBT tatap muka
memiliki manfaat yang sama, bahkan peningkatan dari computerized CBT mampu bertahan
hingga 26 minggu tindak lanjut (Andrews et al., 2010). Penelitian lain mengatakan bahwa
Online CBT (NET) dan clinic CBT (CLIN) dapat menurunkan gejala kecemasan pada 115
orang remaja usia 12-18 tahun dan juga orang tua mereka. Baik NET dan CLIN memberikan
efek positif pada tindak lanjut 6 dan 12 bulan. Bagi remaja 12-18 tahun memberikan
kepuasan yang lebih besar terhadap NET, sedangkan pada orang tua memberikan nilai
kepuasan yang lebih besar pada CLIN (Spence et al., 2011). Penelitian selanjutnya dilakukan
pada 15 remaja dengan kecemasan mendapatkan hasil bahwa e-CBT melalui powerpoint dan
tugas rumah dapat menjadi metode alternatif untuk mengurangi halangan dalam perawatan
kesehatan mental. Terdapat perbedaan signifikan pada skor BYI (Beck Youth Interventions)
sebelum dan setelah percobaan (Alavi et al., 2018). Penelitian serupa pada 252 pasien covid-
19 dimana mendapatkan hasil bahwa computerized CBT (cCBT)) merupakan program
nonfarmakologi yang efektif untuk perawatan gejala kecemasan, depresi dan insomnia pada
pasian covid-19 (Liu et al.,2021).
Penelitian Online Cognitive Behavior di Indonesia untuk menangani GAD masih
jarang ditemui dan dipublikasikan, namun CBT sudah cukup popular untuk menangani kasus
GAD. Perkembangan teknologi dan layanan digital yang semakin bertumbuh serta adanya
situasi pandemi covid-19 yang membuat manusia mengurangi pertemuan tatap muka
membuat peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai penelitian yang berkaitan dengan
Online CBT dengan GAD. Hal ini untuk mengetahui apakah Online Cognitive Behavior
Therapy memiliki pengaruh terhadap penurunan gejala pada individu dengan Generalized
Anxiety Disorder pada dewasa awal.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Online Cognitive Behavior
Therapy terhadap penurunan gejala Generalized Anxiety Disorder pada dewasa awal.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan psikologi klinis, terutama dalam
penanganan terhadap generalized anxiety disorder.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menambah referensi mengenati online cognitive behavior therapy yang
digunakan untuk menurunkan gejala generalized anxiety disorder.
DAFTAR PUSTAKA
Andrews et al. (2010). Computer Therapy for Anxiety and Depressive Disorders Is Effective,
Acceptable and Practical Health Care: A Meta Analysis. PLoS ONE. 5(10).
doi:10.1371/journal.pone.0013196
Behar,E et al. (2009). Current Theoretical Models of Generalized Anxiety Disorder (GAD):
Conceptual Review and Treatment Implications. Journal of Anxiety Disorder. 23. 1011-1023.
doi:10.1016/j.janxdis.2009.07.006
Dewi, A., Prathama, A., & Iskandarsyah, A. (2016). Efektivitas Rational Emotive Behavior
Therapy terhadap Penurunan Derajat Cemas Pasien Gangguan Cemas Menyeluruh di Rumah
Sakit Dustira Cimahi. Jurnal Psikologi Indonesia , III (5). Retrieved From :
http://repository.unpad.ac.id/22078/
Global Burden of Disease Collaborative Network (2018). Global Burden of Disease Study
2017 (GBD 2017) Results. Seattle, United States: Institute for Health Metrics and Evaluation
(IHME). Retrieved from: ‘https://ourworldindata.org/grapher/number-with-anxiety-disorders-
country’
Gosselin, P., & Laberge, B. (2003). Les facteurs étiologiques du trouble d'anxiété
généralisée: état actuel des connaissances sur les facteurs psycho-sociaux [Etiological factors
of generalized anxiety disorder]. L'Encephale, 29(4 Pt 1), 351–361.
Liu et al. (2021). The Efficacy of Computerized Cognitive Behavioral Therapy for
Depressive and Anxiety Symptoms in Patients With COVID-19: Randomized Controlled
Trial. Journal Of Medical Internet Research. Doi: 10.2196/26883
Saloni Dattani, Hannah Ritchie and Max Roser (2021). "Mental Health". Published online at
OurWorldInData.org. Retrieved from: 'https://ourworldindata.org/mental-health' [Online
Resource]
Sari, N.G; Effendy,E; & Amin, M.M. (2014). Hubungan Jenis Kelamin, Status Pernikahan,
dan Status Pekerjaan dengan Gangguan Ansietas Menyeluruh di Klinik Psikiatri RS dr.
Pirngadi Medan. Majalah Kedokteran Bandung. 46(4). Retrieved from :
http://journal.fk.unpad.ac.id/i
Spence et al. (2011). A Randomized Controlled Trial of Online Versus Clinic-Based CBT for
Adolescent Anxiety. Journal of Consulting and Clinical Psychology. DOI: 10.1037/a0024512
Terlizzi EP, Villarroel MA. (2020). Symptoms of generalized anxiety disorder among adults:
United States, 2019. NCHS Data Brief. National Center for Health Statistics.