Anda di halaman 1dari 15

SUMBER–SUMBER HUKUM ISLAM (IJMA’ SEBAGAI HUKUM

KETIGA SETELAH AL-QUR’AN DAN SUNNAH/AL-HADITS)


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih

Diampu Oleh: Yunik Rahmiyati, M.Pd

Disusun Oleh:

Lucky Purnama Sultan. 2111101051


Muhammad Thoriq Al-Ziyad Hasan. 2111101096
Rahmad Effendy. 2111101152

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
rahmat, inayah, Taufik, dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk dan isinya yang sederhana.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada ibu Yunik Rahmiyati, M.Pd
selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqih yang telah membimbing kami
dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga berterima kasih kepada teman-
teman yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan materi-materi dalam
pembuatan makalah ini.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum


kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman dan
dosen. Demi tercapainya makalah yang sempurna. Semoga makalah ini dapat
menjadi salah satu acuan, petunjuk ataupun pedoman bagi pembaca.

Samarinda, 10 Oktober 2022

Tim penyusun

i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
Pendahuluan...............................................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
Pembahasan................................................................................................................................3
A. Pengertian Ijma’.............................................................................................................3
B. Syarat serta Kemungkinan Terjadinya Ijma’..................................................................3
C. Dasar Hukum Ijma’........................................................................................................4
D. Macam-Macam Ijma’.....................................................................................................5
E. Kehujjahan dan Kedudukan Ijma’ sebagai Dalil Hukum...............................................7
F. Kemungkinan Terjadinya Ijma’ pada Zaman Modern...................................................9
BAB III.....................................................................................................................................11
Penutup.....................................................................................................................................11
Kesimpulan...........................................................................................................................11
Daftar Pustaka..........................................................................................................................12

ii
BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentatif setingkat dibawah dalil dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan
dalil pertama setelah Al Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam
menggali hukum hukum syara’.
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat
islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal
tersebut, maka kesepakatan tersebut yang disebut ijma’, kemudian dianggaplah ijma’
mereka atas suatu hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah
hukum syariat islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah wafatnya
Rasulullah, karena sewaktu Rasulullah masih hidup, rasulullah sendirilah yang
menjadi tempat kembalinya hukum syariat islam, sehingga tidak terdapat perselisihan
mengenai syariat hukum islam, dan tidak juga terjadinya kesepakatan (ittifaq), karena
kesepakatan itu tidak akan terwujud kecuali dari beberapa orang.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
yang menjadi objek dalam pembahasan makalah ini:
1. Apa pengertian Ijma’?
2. Apa dasar dasar hukum Ijma’?
3. Apa saja syarat serta kemungkinan terjadinya Ijma’?
4. Apa saja objek dan macam macam Ijma’?
5. Bagaimana kemungkinan terjadinya Ijma’ di zaman modern?
6. Kedudukan dan kehujjahan Ijma’?

1
C. Tujuan Penulisan

Dengan memperhatikan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah
ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian Ijma’
2. Untuk mengetahui dasar dasar hukum Ijma’
3. Untuk mengetahui syarat serta kemungkinan terjadinya Ijma’
4. Untuk mengetahui objek dan macam macam Ijma’
5. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya Ijma’ pada zaman modern
6. Untuk mengetahui kedudukan dan kehujjahan Ijma’

2
BAB II

Pembahasan

D. Pengertian Ijma’

Secara bahasa, ijma berarti sebagai suatu hal berupa mengumpulkan berbagai
macam perkara yang kemudian memberi hukum atas perkara tersebut serta meyakini
hukum tersebut. Sedang secara umum, ijma adalah sebuah kebulatan atau keputusan
dari pendapat-pendapat yang berasal dari para ahli ulama ijtihad setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW serta menggunakan hukum syara’. Selain itu, mengutip dari
laman almanhaj, secara baasa, ijma berasal dari kata ajma’a yjjimiu ijma’an dan
memakai isim maf’ul mujma. Oleh karena itu, ijma mempunyai dua arti atau dua
makna. Pertama, kalimat ajma’a fulan ‘ala safar memiliki arti bahwa ia telah bertekad
dengan kuat untuk safat dan telah menguatkan niatnya. Kemudian, makna kedua ijma
adalah sepakat. Dalam kalimat ajma’ muslimun ‘ala kadza artinya adalah mereka akan
sepakat terhadap sebuah perkara atau masalah yang sedang terjadi. Dengan begitu,
umat Muslim menjadi lebih tenang ketika menghadapi suatu permasalahan dan tidak
akan tersesat dan berjalan di jalan yang baik dan benar.
Sumber hukum Islam, ijma berhasil dibuat berkat adanya musyawarah oleh
para khilafah. Namun, saat ini orang-orang yang membuat sumber hukum Islam harus
memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan. Dikarenakan ijma dapat dijadikan
sebagai sumber hukum Islam, maka tidak boleh sembarang orang dalam membuat
ijma. Dengan kata lain, hanya para ahli yang sudah berhasil mencapai mujtahid yang
di mana pendapatnya sudah bisa dipertanggungjawabkan, sehingga sumber hukum
Islam yang dihadirkan dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi semua umat
Muslim.1

E. Syarat serta Kemungkinan Terjadinya Ijma’

1. Di saat terjadinya kejadian itu terdapat beberapa adanya mujtahid. Karna


kesepakatan tidak mungkin tercapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling
memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid atau tidak
ada sama sekali atau hanya ada seorang mujtahid saja , maka menurut syara’

1
Aksioma Al-Musaqoh: Journal of Islamic …, 2018

3
ijma’ tersebut tidak sah. Oleh sebab itu masa Rasulullah tidak ada ijma’ karna
beliau sendiri sebagai Mujtahid.
2. Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh
seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan, atau
kelompok.Bila kesepakatannya hanya oleh Mujtahid dari kalangan tertentu saja
maka tidak sah menurut hukum syara’. Karna ijma’ tidak sah kecuali dengan
kesepakatan umum dari semua (yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia
Islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
3. Adanya kesepakatan tersebut jelas. Dalam artian tidak ada pertentangan dari
sebagian atau minoritas mujtahid.
4. Kesepakatan mereka di awali dengan pengungkapan pendapat masing- masing
mujtahid. Pendapat itu di ungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas
suatu peristiwa atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. Bisa juga di
ungkapkan secara perorangan mujtahid, kemudian setelah pendapatnya masing-
masing di kumpulkan di temukan adanya kesepakatan.

F. Dasar Hukum Ijma’

Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan
hukum, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115:

‫ق ال َّرس ُْو َل ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َما تَبَي ََّن لَهُ ْاله ُٰدى َويَتَّبِ ْع َغي َْر َسبِي ِْل ْال ُمْؤ ِمنِي َْن‬
ِ ِ‫َو َم ْن يُّ َشاق‬
‫ص ْيرًا‬ ِ ‫ت َم‬ ْ ‫نُ َولِّ ٖه َما تَ َو ٰلّى َونُصْ لِ ٖه َجهَنَّ ۗ َم َو َس ۤا َء‬

“Dan barang siapa yang menentang Rasulullah SAW. sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukan
ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ”

Ayat tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golong yang


menentang Rasullullah SAW. dan mengikuti jalan bukan orang mukmin. Menurut
Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan wajib hukumnya mengikuti jalan orang
mukmin dan termasuk hasil kesepakatan (ijma’) mereka. 2 Di dalam surat an_nisa’
ayat 59:
2
Susiadi AS, “Ijma’ dan Issu Kotemporer”, ASAS, Vol.6, No. 2, Juli 2014, hlm.125

4
‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرس ُْو َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم‬
Terjemahan: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
Nya, dan Ulil Amri diantara kamu”.

Lafadz ulil amri tersebut mencakup kepada urusan duniawi, seperti kepala
negara, para menteri dan sebagainya, selain itu lafadz tersebut juga mencakup
pemegang urusan din (agama) seperti mujtahid, para mufti dan para ulama. Oleh
karena itu bila masing-masing golongan tersebut telah sependapat dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa, wajib ditaati dan diikuti sebagaimana mentaati dan mengikuti
al-Quran dan Hadits Nabi.3

Di dalam Hadits-hadits Rasulullah, banyak sekali yang menjelaskan


kedudukan ijma’, diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Daud danTarmizi:

Artinya: “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan, umatku tidak
akan sepakat melalkukan kesesatan” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Dan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tabrani:

Artinya: “aku memohon kepada Allah agar umatku tidak bersepakat terhadap
sesuatu yang sesat, lalu Allah mengabulkannya” (HR. Ahmad dan al-Tabrani).4

G. Macam-Macam Ijma’

Apabila kita menelaah kitab-kitab ushul fikih, baik yang ditulis oleh para
ulama klasik maupun kontemporer, mereka membagi ijmâ’ kepada 2 macam, yaitu.

1. Ijmâ’ sharȋh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum syara’ dan kesepakatan itu dinyatakan
tegas oleh masing-masing mujtahid. Menurut Abd al-Karim Zaidan, ijmâ’ jenis
pertama ini, ijmâ’ sharȋh dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu boleh jadi
para mujtahid menghadapi suatu masalah, lalu masing-masing mereka
menyatakan kesepakatan secara bulat. Mungkin pula bisa terjadi, bahwa para
mujtahid tersebut dihadapkan dengan suatu masalah. Kemudian masing-masing
mereka mengeluarkan pendapat sendiri-sendiri dan ternyata pendapat mereka
3
Abdul Hayat, “Kehujjahan Ijma sebagai Dasar Hukum Fiqh Islam”, Jurnal Ilmiah Islam dan Sosial Vol. 12
No. 1, Januari-Juni 2011, (Martapura), hlm. 25
4
Susiadi AS, “Ijma’ dan Issu Kotemporer”, ASAS, Vol.6, No. 2, Juli 2014, hlm.125

5
terdapat persamaannya. Kemungkinan, boleh jadi pula sebagian mujtahid
mengeluarkan fatwa dan fatwa ini sampai ke mujtahid yang lainnya, dan mereka
menyetujuinya. 5Menurut ulama jumhur ijma’ sharih ini yang dapat dijadikan
hujjah (dalil hukum). Sedangkan imam syafi’i juga sepakat bahwa ijma’ sharih
yang dapat dijadikan hujjah (dalil hukum), sehingga Imam Syafi’i mengatakan
sebagai berikut: jika engkau atau salah seorang ulama mengatakan,”hukum ini
telah disepakati”, maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga megatakan
seperti apa yang engkau katakan”.6
2. Ijma’ Sukuti, ialah sebagian mujtahid pada saat menampilkan pendapatnya secara
jelas mengenai suatu pristiwa dengan sistem fatwa atau dalam majlis, sedangkan
mujtahid yang lain tidak memberikan respon atau kementar terhadap pendapat
tersebut, baik mengenai kecocokan pendapat atau perbedaannya, maka sikap
diam seperti ini yang digolongkan kepada ijma’ sukuti. 7

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijmâ, para ulama membagi menjadi
dua macam, yaitu:

1. Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ itu adalah qath’ȋ diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari persitiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijmâ yang dilakukan pada waktu yang
lain.
2. Ijma’ Zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ itu zhannȋ, masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang
dilakukan pada waktu yang lain.

Dalam kitab-kitab ushul fikih, terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan
dengan masa terjadi, tempat terjadi, atau orang yang melaksanakannya. Adapun
macam-macam ijma’ tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ijma’ al-Shahabah yaitu persesuaian paham, sebagian ulama sahabat terhadap


sesuatu urusan.

5
Panji Adam Agus Putra, “Konsep Ijma’ dan Aplikasinya dalam Muamalah Maliyyah (Hukum Ekonomi
Syariah”, Jurnal Pemikiran dan Pengembangan Perbankan Syariah, Vol. 7, No. 1, Agustus 2021, (Bandung:
Islamic Banking), hlm. 156
6
Susiadi AS, “Ijma’ dan Issu Kotemporer”, ASAS, Vol.6, No. 2, Juli 2014, hlm.126
7
Muhd. Farabi Dinata, “Konsep Ijma’ dalam Ushul Fikih di Era Modern”, (Aceh Singkil), hlm. 44

6
2. Ijma’ Ahl Madinah, yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Madinah
terhadap suatu kasus. Ijmâ ini bagi Imam Malik merupakan hujjah.
3. Ijma’ Ahl Kufah, yaitu ijmâ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Ijma’ ini
dianggap hujjjah oleh Imam Abu Hanifah.
4. Ijma’ al-Khulafa al-Arba’ah, yaitu ijmâ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar
r.a, Umar Ibn Khattab r.a, Utsman Ibn ‘Affan r.a dan Ali Ibn Abi Thalib r.a. tentu
saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat sahabat itu hidup, yatu
pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijmâ
tersebut tidak dapat dilakukan lagi.
5. Ijma’ al-Syakhayn, yaitu persesuaian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu
hukum, ijmâ iini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadis:
“Ikutilah/teladanilah kedua ornag ini sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar.
6. Ijma’ ‘Itrah, yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahlu Bait.
7. Ijma’ al-Ummah, yaitu konsensus/ksepakatan ulama yang dalam pembahasan
ini.8

H. Kehujjahan dan Kedudukan Ijma’ sebagai Dalil Hukum

Kehujjahan ijma’ sharih, Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu
merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan tidak boleh untuk
menantangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka hal tersebut
menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi. Dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
ulama tentang kehujjahan ijma ada dalam surat Annisa’ ayat 115. Sedangkan untuk
Kehujjahan ijma’ sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama
diantaranya adalah pengikut Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Sebagian dari mereka
tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’.
Mereka mengatakan bahwa diamnya sebagian mujtahid mungkin saja
menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak
melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut menyampaikan pendapatnya sehingga
kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu
qath’i atau zanni. Jadi demikian, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari
seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ atau dijadikan sebagai hujjah.
8
Panji Adam Agus Putra, “Konsep Ijma’ dan Aplikasinya dalam Muamalah Maliyyah (Hukum Ekonomi
Syariah”, Jurnal Pemikiran dan Pengembangan Perbankan Syariah, Vol. 7, No. 1, Agustus 2021, (Bandung:
Islamic Banking), hlm. 157-158

7
Sebagian besar golongan Imam Ahmad bin Hambal dan Hanafi menyatakan
bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Mereka
beralasan bahwa diamnya sebagian mujtahid adalah untuk menyatakan sepakat
ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid
lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil
tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, ijma’ sukuti bisa
juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’i karena alasannya juga menunjukkan adanya
ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.9
Kedudukan Ijma sebagai dalil hukum terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Pada prinsipnya Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ijma sebagai
upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya
dalam nash harus mempunyai landasan. Dalam pendapat jumhur ulama kedudukan
ijma menempati salah satu sumber atau dalil hukum setelah Al Quran dan Sunnah.
Hal ini berarti bahwa ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat dan diwajibkan
bagi umat islam untuk dipatuhi bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Quran
dan Sunnah. Untuk menguatkan pendapat ini, Jumhur Ulama mengemukakan
beberapa ayat dalam al-Quran diantaranya pada surah An-Nisa ayat 115. Zamakhsari
mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan ijma mempunyai hujjah yang tidak boleh
diperselisihkan sebagaimana Al Quran dan Hadits. Sedangkan Amidy
mengungkapkan bahwa ayat ini merupakan ayat yang amat kuat petunjuknya tentang
kehujjahan ijma, dimana Allah Swt mengancam orang yang mengikuti bukan jalan
orang mukmin dengan memasukkan ke neraka jahannam dan tempat yang paling
buruk. Jalan orang mukmin diartikan sebagai apa yang disepakati untuk dilakukan
oleh orang mukmin. Inilah yang disebut ijma. Dalam surah An-Nisa ayat 59. Terdapat
perintah mentaati ulil amri sesudah mentaati Allah dan Rasul berarti untuk mematuhi
ijma, karena ulil amri berarti orang yang mengurus kehidupan umat, baik dalam
urusan dunia maupun urusan agama, dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan
ulama salah satunya adalah bila mereka sepakat tentang sesuatu hukum dan inilah
yang disebut ijma. Firman Allah Swt diperkuat oleh Hadits Riwayat Tirmidzi, Daud
dan Ahmad Bin Hambal. Hadits-hadits di atas menurut Abdul Wahab Khalaf
menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati oleh seluruh ulama mujtahid
sebenarnya merupakan hukum bagi umat Islam seluruhnya. Oleh sebab itu, sesuai
9
Abdul Hayat, “Kehujjahan Ijma sebagai Dasar Hukum Fiqh Islam”, Jurnal Ilmiah Islam dan Sosial Vol. 12
No. 1, Januari-Juni 2011, (Martapura), hlm. 31

8
dengan apa yang terkadung dalam hadits di atas tidak mungkin para mujtahid
tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah
sepakat melalui para mujtahid ini, maka tidak ada alasan untuk menolaknya.
Namun demikian dalil yang dijadikan hujjah oleh jumhur ulama tentang
kedudukan ijma dibantah oleh ulama syiah. Ulama syiah tidak menganggap ijma
sebagai dalil hukum. Ijma hanya diterima dalam kedudukannya menjelaskan adanya
sunnah dan tidak menganggap ijma sebagai dalil yang berdiri sendiri di samping Al
Quran dan Hadits. Menanggapi perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan
golongan syiah, Zakky al Din Sya’ban mengatakan apa yang menjadi pegangan
jumhur ulama bahwa ijma merupakan hujjah adalah pendapat yang kuat dengan tidak
perlu memperhatikan yang menyalahinya. Dengan demikian pada prinsipnya
kedudukan ijma sangat dibutuhkan oleh umat Islam mengingat banyaknya persoalan-
persoalan umat yang perlu ditetapkan oleh mujtahid10

I. Kemungkinan Terjadinya Ijma’ pada Zaman Modern

Sebagian ulama setuju pada pendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi lagi,
karena pada waktu terjadi pristiwa pengambil hukum dengan cara ijma’, pada masa
itu para ulama mujtahid masih saling kenal, tempat tinggal mereka masih berdekatan,
wilayah umat Islam belum begitu luas seperti sekarang, dan masih memungkinkan
masing-masing mujtahid dapat memperhatikan pendapat mereka masing-masing,
tentang persoalan hukum yang diajukan kepada mereka. Ulama klasik seperti Imam
as-Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al Jauziah (dari mazhab Hanbali), begitu
juga pandagan ulama yang sudah modern seperti Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Hudri Bek dan Fath ad Duraini, mereka berpendapat tidak mungkin akan
terjadi ijma’ seperti pada masa sahabat. Mereka mengungkapkan pemikiran bahwa
ijma dapat terjadi karena mengharuskan para mujtahid di seluruh negara harus hadir
dan memberikan respon pada suatu persoalan yang diajukan kepada mereka, selain itu
persyaratan yang masuk dalam kategori mujtahid juga sangat ketat. Menurut Wahbah
az-Zuhaili, untuk melakukan ijma’ haruslah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad. Syarat ini disepakati oleh seluruh ulama. Sedangkan pada zaman sekarang

10
Agil Bahsoan, “Kedudukan Ijma sebagai Dalil Hukum terhadap Fatwa Ekonomi Islam Kontemporer di
Indonesia”, (Gorontalo), hlm. 2-4

9
sangat sulit menemukan ulama yang menguasai semua bidang keilmuan bahkan
masuk dalam kategori mujtahid. 11
Akan tetapi kalau kita melihat dari tujuan ijma’ sebagai salah satu metode
penetapan hukum yang dikarenakan adanya persoalan baru yang muncul ditengah-
tengah kehidupan masyarakat, sedangkan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits
tidak ditemukan. Maka kita perlu mempertimbangkan pendapat Abdul Wahab
Khallaf, bahwa Ijma’ akan mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada
pemerintah (ulil amri) yang dapat mengetahui mujtahid-mujtahidnya, dan setiap
pemerintah dapat mengetahui dan menentukan mujtahid suatu bangsa yang disepakati
oleh mujtahid seluruh dunia Islam. Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`,
yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid
yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam, sebagaimana yang terkandung
dalam surah an-Nisa ayat 59. Mereka diberi hak dalam agama Islam untuk membuat
undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan
rakyat mereka. Hal yang demikian dibolehkan dalam agama Islam. Jika agama Islam
membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu
saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama
memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau
peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih
tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.Menurut Hasbi Ash-
Shiddieqy, bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli permusyawaratan
untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas perintah/ undangan kepala Negara,
itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu
bakar dan Umar”.
Dengan memperhatikan pengertian pengertian ijma’ dan didukung oleh
pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Hasbi ash-Shidieqy, ada kemungkinan bahwa
Keputusan MPR RI, DPR RI dan keputusan kepala daerah atau menghimpun berbagai
macam fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai lembaga seperti fatwa ulama
NU dan fatwa ulama majlis Tarjih Muhammadiyah dan Fatwa MUI, yang kebetulan
subtansi dari isi fatwa tersebut sama-sama menyatakan tentang pengharaman rokok
karena dapat merusak kesehatan manusia dapat dianggap sebagai ijma’ lokal.12

11
Susiadi AS, “Ijma’ dan Issu Kotemporer”, ASAS, Vol.6, No. 2, Juli 2014, hlm.129
12
Muhd. Farabi Dinata, “Konsep Ijma’ dalam Ushul Fikih di Era Modern”, (Aceh Singkil), hlm. 48-49

10
BAB III
Penutup
Kesimpulan

Ijma menurut jumhur ulama adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi
Muhammad Saw pada suatu masa terhadap suatu hukum syara atau hal-hal yang
berkaitan dengan persoalan furu’iyah (amaliyah praktis). Ijma menempati salah satu
sumber atau dalil hukum sesudah Al Quran dan Hadits Nabi. Hal ini berarti bahwa ijma
dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al Quran dan Hadits.

11
Daftar Pustaka
Dinata, Muhd. Farabi;. (2021). Konsep Ijma’ dalam Ushul Fikih di Era Modern. Jurnal
Keagamaan dan Ilmu Sosial, hlm. 44-49.

Hayat, Abdul. (2011). Kehujjahan Ijma sebagai Dasar Hukum Fiqh Islam. Jurnal Ilmiah
Islam dan Sosial, hlm. 25-31.

Putra, Panji Adam Agus;. (2021). Konsep Ijma’ dan Aplikasinya dalam Muamalah
Maliyyah (Hukum Ekonomi Syariah). Jurnal Pemikiran dan Pengembangan
Perbankan Syariah, Vol. 7, No. 1, hlm. 156-158.

Susiadi. (2021). Ijma’ dan Issu Kontemporer. Bandung: Widina Bhakti Persada, hlm.
129.

12

Anda mungkin juga menyukai