Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MEMPERTIMBANGKAN KONTEKS SOSIAL, BUDAYA, DAN POLITIK


DALAM MEMAHAMI HADIS

Dosen Pengampu : Dr. Islah, S.Ag., M.Pd.

Disusun Oleh :

NAMA : Muhammad Jafari

NIM : 224051016

Mata Kuliah : Studi Al-Qur’an dan Hadis

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID

SURAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits memiliki kedudukan yang sangat mulia di dalam agama
islam. Hadits merupakan sumber agama islam yang disepakati para ulama
sebagai landasan seorang muslim dalam melakukan ibadah. Selain Al
Qur’an sebagai wahyu, haditspun juga merupakan wahyu Allah kepada
nabinya Muhammad Shallalahu ‘alaihi wasallam. Hadits memiliki fungsi
penting dalam agama islam, diantaranya adalah sebagai penafsir Al
Qur’an. Jika dalam Al Qur’an disebutkan ayat yang menjelaskan sesuatu
dengan global maka hadits merincinya. Hadits juga mengkhususkan
lafadz ayat Al Qur’an yang sifatnya umum dan masih banyak fungsi
hadits yang lainnya.
Hadits Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam yang telah beliau
sabdakan 1400 tahun yang lalu itu sangat cocok dengan keadaan para
sahabat serta masyarakat di kala itu. Beliau adalah sosok pemimpin
paling paham dengan kondisi rakyatnya. Konteks zaman beliau dan para
sahabatnya berbeda dengan zaman kita, sehingga terkadang menyebabkan
hadits Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam tersebut terasa kurang bisa
diterapkan dengan konteks zaman sekarang.
Dalam memahami hadits Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam tidak
cukup hanya dengan melihat tekstual hadits, bahkan harus merujuk
kepada asbabul wurud (hal yang melatar belakangi sabda Nabi
Shallalahu ‘alaihi wasallam), tawarikhul mutun (ilmu yang mengkaji
sejarah matan hadis), ilmu Bahasa arab yang mencakup nahwu, sharaf,
balaghah dan lain sebagainya, serta hermenetik (penafsiran teks klasik
yang dapat dipahami dalam konteks kekinian yang situasinya sangat
berbeda).1

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis melakukan
perincian rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana cara mempertimbangkan konteks sosial dalam memahami
hadits?
2. Bagaimana cara mempertimbangkan konteks budaya dalam
memahami hadits?
3. Bagaimana cara mempertimbangkan konteks politik dalam memahami
hadits?

C. Pembahasan
1. Mempertimbangkan konteks sosial dalam memahami hadits.
a. Zakat Fitrah
Telah kita ketahui bersama bahwa zakat fitrah hukumnya wajib
bagi setiap muslim. Zakat ini dikeluarkan akhir bulan Ramadhan
maksimalnya adalah sebelum ditegakkan shalat idul fitri. Zakat ini
sebagai penyempurna puasa seorang muslim dari hal-hal yang
mengurangi kesempurnaan pahala puasanya.

‫صاعًا‬ َ ‫ط ِر‬ ْ ِ‫صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم زَ َكاةَ الف‬


َ ِ ‫ض َرسو ُل هَّللا‬ َ ‫ فَ َر‬:‫عن عبد هللا بن عمر رضي هللا عنه قال‬
‫ُأل‬
، َ‫ير ِمنَ ال ُم ْس ]لِ ِمين‬ ِ ‫ والص َِّغ‬،‫ وال َّذ َك ِر وا ْنثَى‬، ِّ‫ير علَى ال َع ْب ِد والحُر‬
ِ ِ‫ير وال َكب‬ ٍ ‫صاعًا ِمن َش ِع‬ َ ْ‫ أو‬،‫ِمن تَ ْم ٍر‬
.‫صاَل ِة‬
َّ ‫اس إلى ال‬ ِ َّ‫ُوج الن‬ ْ ‫وَأ َم َر بهَا‬
ِ ‫أن تَُؤ َّدى قَب َْل ُخر‬

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan
satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, kepada setiap budak atau orang
1
Lihat Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Yogyakarta: Idea Press, 2016) hlm. 14
merdeka, laki-laki atau wanita, anak maupun dewasa, dari kalangan kaum
muslimin. Beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum masyarakat
berangkat shalat id.2

Dalam hadist tersebut diterangkan bahwa zakat fitrah dikeluarkan


dalam bentuk bahan makanan pokok. Maka muncullah pertanyaan, apa
hukum membayar zakat fitrah dengan uang?

Para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama, mayoritas


ulama dari kalangan madzhab Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah
memahami hadits secara tekstual, artinya wajib membayar zakat fitrah
berupa bahan makanan pokok penduduk setempat. Bahkan tidak sah
hukumnya ketika seorang membayar zakat fitrah berupa uang. Karena
jika diperbolehkan, maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun akan
bersabda secara langsung.

Pendapat kedua, madzhab hanafiyah memahami hadits secara


kontekstual, artinya bolehnya membayar zakat fitrah dalam bentuk mata
uang. Imam Abu Hanifah terkenal orang yang cerdas, pandai
menggunakan akal pikirannya untuk menggali makna hadits tersebut
lebih mendalam. Beliau menyimpulkan bahwa dalam hadits tersebut
hanya sekedar penyebutan contoh komoditas yang dapat dikeluarkan
untuk zakat. Kebutuhan manusia di kala itu terfokus pada pangan. Seiring
berjalannya waktu kebutuhan manusia bertambah, tidak hanya pangan.
Maka beliau berpendapat bahwa zakat fitrah dengan uang diperbolehkan
dan hukumnya sah. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa
mengeluarkan zakat fitrah berupa uang karena kemaslahatan itu
diperbolehkan.3

2
Hadits Riwayat al Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984
3
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa juz 25 hlm.79
Perbedaan zaman dan kondisi sosial masyarakat di zaman nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda dengan zaman Imam Abu Hanifa,
terlebih lagi di zaman modern seperti ini. Maka bolehnya membayar
zakat fitrah dengan uang akan lebih bermanfaat bagi penerimanya.
Dengan uang tersebut bisa digunakan untuk biaya sekolah, kesehatan,
membayar listrik dan lain-lain.

b. Safar perempuan tanpa mahram

Islam datang dengan memperhatikan hak-hak wanita. Wanita


diperintahkan untuk menutup auratnya supaya tidak ternodai
kehormatanntya. Seorang wanita ketika menikah disyaratkan adanya
wali. Wanita sebagai makhluk yang lemah maka dia membutuhkan
orang-orang yang melindunginya. Dalam hal safar ada hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan larangan bagi wanita
yang bersafar tanpa mahramnya.

‫ اَل تُ َسافِ ْ]ر ْال َمرْ َأةُ ِإاَّل َم َع ِذي‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ قَا َل النَّبِ ُّي‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل‬ ٍ ‫ع َْن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬
.‫َمحْ َر ٍم‬

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata: Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda: Seorang wanita tidaklah bersafar kecuali
bersama mahramnya.4

Secara tekstual hadits ini menjelaskan larangan bagi wanita


bepergian atau bersafar tanpa didampingi dengan mahramnya. Hal ini
telah dijelaskan para ulama terdahulu. Sebagaimana yang dibawakan An
Nawawi dalam syarh shahih muslim beliau menyatakan (Semua yang
disebut safar maka wanita dilarang safar tanpa didampingi suami atau
mahramnya, sama saja apakah safarnya satu hari, dua hari dan tiga hari)5

4
Hadits Riwayat Bukhari no.1729 dan Muslim no.2391
5
An Nawawi, Syarah shahih muslim (Beirut, Darul Kitab) juz 9 hlm. 103
Sebagaimana yang dipahami mayoritas ulama, hadits tersebut
merupakan larangan bagi perempuan bepergian tanpa mahram yang
bersifat mubah atau sunah. Sedangkan yang bersifat wajib seperti haji
islam (haji yang pertama) para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam
Abu Hanifah menyebutkan wajibnya perempuan berhaji didampingi
mahramnya. Sedangkan menurut imam Malik dan Syafi’I tidak wajib
didampingi mahram. Mereka mensyaratkan mahram, baik laki-laki yang
haram dinikahi oleh perempuan tersebut, suami atau para wanita yang
terpercaya.6

Dengan demikian jika pemikiran Imam Malik dan Syafi’i


dikembangkan, maka konsep mahram yang tadinya bersifat personal
dapat digantikan dengan sistem keamanan yang menjamin keselamtan
dan keamanan perempuan tersebut. Artinya selama di situ ada djaminan
keamanan dan keselamtan bagi perempuan yang hendak bepergian jauh
sebenarnya tidak masalah.7

Jika kita melihat kondisi sosio-historis masyarakat dan geografis


saat itu (zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) sangat mungkin
larangan itu dikarenakan kekhawatiran nabi akan keselamatan wanita bila
bersafar sendiri tanpa didampingi suami atau mahram. Mengingat pada
masa itu ketika seorang bepergian dia biasa menunggang unta, bighal
(peranakan kuda dan keledai) dan keledai. Mereka melewati padang pasir
yang luas dan daerah yang jarang dijamah oleh manusia.8

Dalam kondisi seperti itu tentunya seorang perempuan yang


bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya dirasa kurang aman
sehingga keselamatan dirinya juga dikhawatirkan atau minimalnya nama
baiknya akan tercemar. Maka wajar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
6
An Nawawi, Syarah shahih muslim (Beirut, Darul Kitab) juz 5 hlm. 104
7
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Yogyakarta: Idea Press, 2016) hlm.70
8
Yusuf Al Qardhawi, Kaifa natamal ma sunah )Cairo, Dar Asy Syuruq, 2002 ) hlm. 149
melarang perempuan pergi jauh sendirian. Oleh sebab itu, jika kondisi
masyarakat sekarang sudah berubah, di mana jarak yang jauh tidak lagi
menjadi msalah, ditambah lagi dengan adanya sistem keamanan yang
menjamin keselamtan perempuan dalam bepergian maka sah-sah saja
perempuan bepergian sendirian untuk menuntut ilmu, menunaikan haji,
bekerja dan lain sebagainya. Apalagi alat transportasi dan telekomunikasi
sudah sangat canggih, yang memungkinkan untuk menjamin keselamatan
perempuan di saat harus bepergian sendirian, tanpa mahram atau suami.9

2. Mempertimbangkan konteks budaya dalam memahami hadits

Budaya di suatu daerah itu pasti berbeda dengan budaya di daerah


lain. Dalam satu ras saja terdapat beraneka ragam budaya, terlebih
berbeda ras dan suku bangsa. Suatu hal menarik untuk kita ketahui ada
saja segelintir orang yang memaksakan budaya di suatu daerah untuk bisa
dilakukan di daerahnya sendiri. Berikut kami sebutkan 2 contoh hadits
yang terkait dengan budaya.

a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan jubah.


‫ وس]]لم يلبس الجب]]ة الرومي]ة‬i‫ كان الن]]بي ص]]لى هللا علي‬:‫عن المغيرة بن شعبة رضي] هللا عنه قال‬
.‫ضيقة الكمين‬
Dari Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu anhu beliau berkata,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan jubah dari romawi yang
sempit kedua legannya.10
Hadits ini menggambarkan tentang pakaian yang dikenakan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di kala itu, beliau mengenakan jubah.

9
Lihat Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Yogyakarta: Idea Press, 2016) hlm. 71
10
Hadits riwayat Imam At Tirmidzi no.1768.
Dalam KBBI disebutkan jubah adalah baju panjang (sampai di
bawah lutut), berlengan panjang, seperti yang dipakai oleh orang Arab,
padri, atau hakim.11
Sebagian orang menganggap bahwa mengenakan jubah itu adalah
sunah. Karena itu yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan
apa yang beliau lakukan adalah suatu hal yang sudah pasti baik.
Namun benarkah demikian? Jawabannya adalah tidak. Orang yang
berpandangan demikian tidak melihat budaya arab ketika itu, atau bahkan
sampai sekarang. Mengenakan jubah bukan sunah, karena itu adalah
budaya arab. Masyarakat Indonesia memiliki budaya yang berbeda
dengan arab. Kaum muslimin di Indonesia dirasa lebih nyaman
mengenakan sarung, koko atau batik, dan songkok berbeda dengan arab
yang mengenakan jubah dan sorban.
Indonesia merupakan bangsa yang paling sedikit mengalami
arabisasi dibanding negara-negara Muslim lainnya (Madjid, 1996: 94).
Kawasan Nusantara ini merepresentasikan salah satu bagian dunia Islam
yang paling sedikit mengalami arabisasi. Namun, perkembangan Islam di
Asia Tenggara tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Islam di Timur
Tengah (Azra, 2002: 90). Begitu akrabnya Islam dengan budaya (tradisi)
lokal, Islam Nusantara tidak terlalu tertarik melakukan arabisasi.
Misalnya dalam menggunakan pakaian shalat, mereka lebih suka
memakai sarung dan songkok daripada jubah dan surban( Mujamil
Qomar, 2017: 209).

b. Menabuh rebana dalam pesta pernikahan.

‫ أعلِن]وا ه]ذا‬:‫ ق]ال رس]ول هللا ص]لى هللا علي]ه وس]لم‬:‫عن أم المؤمنين عائشة رضي هللا عنها ق]الت‬
ِ ‫واضربوا] علي ِه بال ُّد‬
.‫فوف‬ ِ ‫النِّكا َح واجعلوهُ في المساج ِد‬

11
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/jubah
Dari Ummul mukminin ‘Aisyah radhuyallahu anha berkata
Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Umumkanlah nikah,
adakanlah di masjid, dan tabuhlah rebana untuk mengumumkannya.12

Secara tekstual hadits ini memerintahkan untuk menabuh rebana


pada pesta penikahan. Telah kita ketahui dalam usul fiqh jika kita
mendapati kata perintah dalam sebuah ayat atau hadits maka secara asal
hukum perintah tersebut wajib. Para ulama menyebutkan bahwa hukum
walimah (pesta pernikahan) adalah sunah, maka menabuh rebana pun
hukumnya sunah. Sebagaimana pernyataan Ash Shan’ani: Sesungguhnya
menabuh rebana itu tidak wajib, tapi hanya sekedar sunah.13

Maka muncullah pertanyaan, bolehkah dalam pesta pernikahan


menggunakan hiburan selain rebana? Apakah hal itu dinilai menyelisihi
sunah? Perlu kita ketahui bahwa menabuh rebana itu tradisi dan budaya
yang mengakar di bangsa arab ketika zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Nampaknya boleh saja dalam mengumumkan pernikahan dengan


selain menabuh rebana, karena rebana merupakan alat musik yang ada
pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di kalangan bangsa arab.
Maka menabuh rebana itu bukan termasuk unsur agama, tetapi hanyalah
tradisi (budaya) bangsa arab ketika itu. Oleh karena itu, boleh
mengumumkan pernikahan dengan selain rebana sesuai dengan budaya
lokal dengan syarat tidak diiringi hal yang haram.14

3. Mempertimbangkan konteks politik dalam memahami hadits


a. Perempuan menjadi pemimpin
12
Hadits Riwayat Imam At Tirmidzi 1009
13
Lihat Ash Shan’ani, Subulus salam (Surabaya, Al Hidayah) juz 3 hlm. 117
14
Ali Musthafa Yaqub, Ath thuruq ash shahihah fi fahmi as sunnah an nabawiyah (Jakarta, Darus sunnah 2014)
hal 103.
‫س ق ] ْد َملَّ ُك]]وا‬ َّ ‫سول هَّللا ِ صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َ]م‬
ِ ]‫أن أ ْه َل ف‬
َ ‫]ار‬ َ ‫ لَ َّما بَلَ َغ َر‬:‫قال‬
َ ‫عن أبي بكرة رضي هللا عنه‬
.ً‫ لَ ْن يُ ْفلِ َح قَوْ ٌم ولَّوْ ا أ ْم َرهُ ُم ا ْم َرَأة‬:‫ قا َل‬،‫عليهم ب ْنتَ ِك ْس َرى‬
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata: ketika sampai kabar
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bahwa orang-orang Persia
menyerahkan kepemimpinannya kepada putri raja Kisra. Beliau
bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka (untuk memimpin) kepada wanita”15
Secara tekstual hadits tersebut melarang untuk seorang wanita itu
menjadi pemimpin, pemimpin itu adalah laki-laki. Inilah pendapat yang
diikuti mayoritas ulama. Namun persoalannya ketika kita melihat asbabul
wuru hadits ini, ternyata sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam ini
diucapkan ketika beliau mendengar berita bahwa orang-orang Persia
dipimpin oleh seorang perempuan pada tahun 9 H. Pada waktu itu derajat
perempuan di mata masyarakat masih dipandang minor. Perempuan tidak
dipercaya untuk mengurus masalah public lebih-lebih masalah
kenegaraan. Oleh sebab itu jika kondisi historis, sosiologis dan
atropologis masyarakat berubah, di mana perempuan telah memiliki
kemampuan memimpin yang baik dan masyarakat pun telah menghargai
perempuan dengan baik dan menerimanya sebagai pemimpin, maka sah-
sah saja perempuan menjadi pemimpin publik.16

Yusuf Al Qardhawi berpendapat bahwa perempuan boleh


memegang kendali kekuasaaan menurut spesialisasi masing-masing,
dan ini telah berlaku sepanjang masa. Sehingga dibolehkannya bagi
seorang wanita ikut serta dalam berpolitik.17

15
Hadits Riwayat Al Bukhari no. 4425
16
Lihat Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Yogyakarta: Idea Press, 2016) hal. 76
17
Lihat Yusuf Al-Qardhawi, Min Fiqh Daulah fi Al Islam (Cairo, Dar Asy Syuruq 1997) hal 240
Fakta membuktikan tidak sedikit daerah yang dipimpin oleh
perempuan dan sukses. Seperti Inggris yang maju ketika dipimpin oleh
Ratu Elizabeth II.

b. Aksi demonstrasi
‫ من أراد أن ينص]]ح‬:‫ قال رس]]ول هللا ص]]لى هللا علي]]ه وس]]لم‬:‫عن عياض بن غنم رضي] هللا عنه قال‬
‫وإال كان قد أدى الذي‬،‫ فإن قبل منه فذاك‬،‫ ولكن ليأخذ بيده فيخلو به‬،‫لسلطان بأمر فال يبد له عالنية‬
.‫عليه‬
Dari Iyadh bin Ghanam radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah
Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa ingin menasehati
penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat tersebut
secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat
mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak
diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu”18
Secara tekstual hadits ini menunjuk cara untuk menasehati
penguasa dengan tidak mengumbar aibnya di forum publik,
mencemarkan nama baiknya dengan bentuk tulisan kemudian
mengunggahnya di sosial media dan lain sebagainya. Tetapi cara yang
ditempuh adalah dengan menyampaikan nasehat tersebut secara diam-
diam tanpa diketahui oleh orang lain. Inilah pendapat yang diikuti oleh
mayoritas ulama.
Namun muncul pertanyaan, apakah hadits ini dapat dipraktikkan di
negara yang menganut sistem demokrasi? Tentu sulit atau tidak
memungkinkan. Zaman Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam jauh berbeda
dengan zaman kita, sistem bernegaranya pun berbeda. Dalam sistem
demokrasi, aksi demonstasi adalah suatu hal yang wajar.
Meskipun tidak tertera secara langsung di dalam Al Qur’an dan
hadits untuk menyuruh kita melakukah demonstrasi dalam bentuk
18
Hadits riwayat Ahmad juz 3 no. 403
muzhaharah, namun perlu kita pahami bahwa kita diperintahkan
untuk menyampaikan kebenaran dan menperjuangkannya.19

19
Qatrunnada, Aliefia, and Muannif Ridwan. "Tinjauan Hukum Islam dalam Menyikapi Aksi
Demonstrasi." Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin 2.2 (2022): 104-112.
Daftar Pustaka

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Yogyakarta: Idea Press, 2016)


Al Qardhawi Yusuf, Kaifa natamal ma sunah )Cairo, Dar Asy Syuruq, 2002 )

Al Qardhawi Yusuf, Min Fiqh Daulah fi Al Islam (Cairo, Dar Asy Syuruq 1997)

An Nawawi, Syarah shahih muslim (Beirut, Darul Kitab)

Ash Shan’ani, Subulus salam (Surabaya, Al Hidayah)

Azra, Azyumardi. 2015. Jaringan Islam Nusantara. Dalam Akhmad Sahal dan
Munawir Aziz (Eds.), Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan Bandung:
Mizan.

Madjid, Nurcholish. 1996. In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The
Indonesian Experiences. Dalam Mark R. Woodward (Eds.), Toward A New Paradigm Recent
Developments in Indonesian Islamic Thought. Arizona: Arizona State University.

Qatrunnada, Aliefia, and Muannif Ridwan. "Tinjauan Hukum Islam dalam Menyikapi
Aksi Demonstrasi." Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin 2.2 (2022).

Qomar, Mujamil. "Islam Nusantara: Sebuah Alternatif Model Pemikiran,


Pemahaman, dan Pengamalan Islam." El-harakah (terakreditasi) 17.2 (2015).

Y. Ali Musthafa, Ath thuruq ash shahihah fi fahmi as sunnah an nabawiyah (Jakarta,
Darus sunnah 2014)

Anda mungkin juga menyukai