Pada dasarnya kerugian Keuangan Negara terjadi jika prestasi yang diterima oleh negara lebih kecil
dari uang yang dibayarkan oleh negara. Sama halnya dengan prinsip akuntansi, prestasi yang
diterima sebagai sisi debit sedangkanuang yang dikeluarkan negara sebagai sebagai kredit. Antara
debit dan kredit harus sama (balance). Jika terdapat sisi debit lebih kecil daripada sisi kreditalias
tidak balance, maka timbullah yang disebut kerugian Keuangan Negara. Bagaimana jika sisi debit
lebih besar dari sisi kredit dalam arti prestasi yang diperoleh negara lebih besar daripada uang yang
dibayarkan. Apakah pihak rekanan/penyedia barang & jasa boleh menuntut pembayaran lebih? Tentu
saja tidak bisa karena yang menjadi dasar perikatan adalah kontrak awal antara negara dan
rekanan/penyedia barang & jasa. Sebaliknya jika prestasi yang diterima negara lebih kecil dari pada
uang yang dibayarkan, negara berhak meminta pengembalian uang dari rekanan/penyedia barang &
jasa.
Berdasarkan undang-undang terdapat beberapa definisi kerugian keuangan negara sebagai berikut:
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Pasal 1 angka 22
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.“
Pada dasarnya terdapat beberapa metode yang biasa dipergunakan dalam menghitung besarnya
jumlah kerugian Keuangan Negara antara lain metodetotal loss, metode net loss, metode harga wajar
dan metode harga pokok.
1. Metode net loss (kerugian bersih)
Jumlah total loss (kerugian total) dihitung dari seluruh jumlah uang yang dibayarkan/ dikeluarkan
oleh negara karena negara tidak mendapatkan imbalan/prestasi senilai jumlah pengeluaran tersebut.
Metode total loss(kerugian total) dipergunakan untuk menghitung kerugian keuangan negara pada
kasus kegiatan fiktif dan barang/jasa yang sama sekali tidak dapat digunakan. Beberapa kondisi
ketika metode total loss dapat diterapkan:
1. Pengadaan barang/jasa fiktif
2. Kegiatan fiktif
3. Honor fiktif/tidak dibayarkan
4. Barang/jasa yang diterima tidak sesuai spesifikasi kontrak sehingga tidak dapat digunakan atau
dimanfaatkan
Bagaimana jika dalam kegiatan atau pengadaan tersebut terdapat pajak seperti PPN atau PPh yang
telah dipotong dan disetor ke kas negara? Apakah pajak tersebut menjadi pengurang kerugian
keuangan negara? Ternyata berdasarkan pengalaman saya melakukan audit, pajak-pajak tersebut
tidak mengurangi kerugian Keuangan Negara namun oleh auditor dianggap sebagai tindak lanjut.
Misal SKPD X membuat suatu kegiatan fiktif sebesar Rp100.000.000 dan atas kegiatan tersebut
bendahara SKPD X telah memotong PPN dan PPh sebesar Rp15.000.000,00. Kerugian keuangan
negara atas kegiatan fiktif tersebut tetap Rp100.000.000,00 bukan Rp85.000.000,00. Setoran pajak
Rp15.000.000,00 tidak dapat dijadikan pengurang kerugian Keuangan Negara walaupun terdapat
pemasukan ke kas negara. Pajak diinformasikan sebagai tindak lanjut. Sedangkan untuk pengadaan
barang/jasa yang hasil pekerjaannya tidak dapat digunakan/dimanfaatkan, pajak harus dikurangkan
terlebih dahulu.
2. Metode net loss (kerugian bersih)
Metode net loss (kerugian bersih) dipergunakan apabila dalam kasus pengadaan barang/jasa terjadi
kekurangan volume pekerjaan. Dalam kasus ini rekanan hanya berhak menerima pembayaran sebesar
prestasi yang dia berikan kepada negara. Hal tersebut sesuai dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah pasal 89 ayat 4 yang berbunyi
“Pembayaran bulanan/termin untuk Pekerjaan Konstruksi, dilakukan senilai pekerjaan yang telah
terpasang, termasuk peralatan dan/atau bahan yang menjadi bagian dari hasil pekerjaan yang akan
diserahterimakan, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Kontrak.”
Pajak-pajak yang telah disetorkan ke kas negara harus dikurangkan terlebih dahulu. Baru kemudian
pembayaran netto yang diterima rekanan (setelah dikurangi pajak) disandingkan dengan nilai
realisasi terpasang yang dihitung berdasarkan penghitungan volume pekerjaan terpasang oleh ahli
teknis bangunan. Auditor tidak dapat menghitung sendiri volume pekerjaan terpasang karena auditor
tidak mempunyai kompetensi di bidang teknik bangunan/konstruksi. Sebagai solusinya, auditor bisa
meminta bantuan ahli teknik misalnya dari Dinas Pekerjaan Umum atau Universitas yang
independen. Kalau kita melihat skema penghitungan kerugian keuangan negara tadi seolah-olah
auditor tidak mempertimbangkan besaran keuntungan yang berhak diterima oleh rekanan?
Jawabannya adalah jika dalam proses pengadaan sudah terdapat penyimpangan maka judgement
auditor menyatakan bahwa rekanan tersebut tidak berhak atas keuntungan.