Anda di halaman 1dari 5

Marak Kasus Perundungan pada

Remaja, Kenali Efek yang


Ditimbulkan untuk Korban

PIKIRAN RAKYAT - Perundungan atau bully memang perbuatan yang sangat tidak baik

dan tidak terpuji. Akibat dari perbuatan ini dampaknya bisa fatal.

Saat ini kasus bully (perundungan) kian merajalela di lingkungan masyarakat.

Korban bullying bukan saja terjadi pada orang dewasa, tetapi belakang ini sering terjadi pada

anak-anak dan remaja.

Tidak sedikit dampak negatif dari perilaku ini, baik bagi pelaku bully maupun yang korban bully. Oleh

karena itu, kebiasaan melakukan bully ini harus segera dihentikan. Dampak terbesarnya untuk

korban bisa jadi seseorang menjadi trauma atau yang lebih parah lagi dapat mengakhiri hidupnya

karena tidak kuat untuk menahan semua bullying yang ditujukan padanya Bukan hanya korban

tetapi pelaku intimidasi juga cenderung menghadapi risiko kecemasan atau depresi yang

lebih tinggi serta merugikan diri sendiri.

Bully adalah perilaku kekerasan fisik ataupun mental yang dilakukan satu orang atau lebih

dengan cara melakukan penyerangan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku kekerasan ini

biasa terjadi di lingkungan sekolah dan umumnya menimpa anak-anak atau remaja yang

secara fisik lebih lemah dari teman-teman sebayanya.


Bullying dikaitkan dengan banyak hasil negatif termasuk dampak pada kesehatan mental,

penggunaan narkoba, dan bunuh diri.

Tindakan bully tidak hanya terjadi ketika pelaku melakukan kekerasan secara fisik kepada

korban, seperti memukul, menampar, atau menendang.

Direktur Setara: Intoleransi,


Bibit Awal Munculnya Terorisme

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset Setara Institute Halili menilai isu intoleransi seharusnya

menjadi fokus untuk penanganan terorisme sejak di tingkat hulu. Sebab menurut Halili, sikap

intoleransi merupakan awal mula seseorang berubah menjadi pelaku tindak pidana terorisme.

alam riset yang dilakukan Setara Institute, sikap tersebut menjadi bibit-bibit munculnya paham

radikalisme. "Tangga pertama menuju teroris adalah intoleransi. Inkubasi bibit terorisme, begitu

banyak riset Setara yang menunjukan bahwa kita harus berikan perhatian serius pada dunia

pendidikan yang memberikan ruang bagi intoleransi," ujar Halili dalam diskusi bertajuk 'Never

Ending Terrorist' di Cikini, Menteng, Jakarta, Sabtu (19/5).

Ia mengungkap riset yang pernah dilakukan Setara Institute di 171 sekolah menengah atas negeri,

yang hasilnya mengkhawatirkan. Menurutnya, sebanyak 0,3 persen siswa terpapar ideologi teror,

sementara 2,4 persen diketahui mengalami intoleransi aktif. "Meskipun toleransi di antara mereka

cukup tinggi 61,5 persen toleransi tapi kita berikan fokus pada 2,4 persen dan 0,3 persen. Karena 0
persen itu terlalu banyak. Dalam konteks terorisme satu orang itu sudah terlalu banyak," ungkap

Halili.

Karena itu menurut Halili, dalam pencegahan terorisme, pemerintah juga perlu memperhatikan

serius mengenai pendidikan di sekolah. Menurut Setara, pemberantasan paham radikalisme perlu

sejak dini diberantas, tak cuma terfokus pada pelaku teror semata. "Jadi diawali juga oleh guru-guru

mereka, agar pengajaran kepada siswa-siswa juga tidak mengajarkan bibit bibit intoleransi," ujarnya.

Kasus KDRT Meningkat Selama

Pandemi Covid-19

TEMPO.CO, Jakarta - Polda Kalimantan Selatan mencatat kasus kekerasan terhadap

perempuan dan anak meningkat selama pandemi Covid-19, terutama kekerasan dalam

rumah tangga (KDRT).


"Jumlah kasus yang ditangani dalam setengah tahun 2021 sudah mencapai lebih dari enam

puluh persen kasus sepanjang 2020 lalu," terang Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol

Mochamad Rifa'i di Banjarmasin, Kamis, 19 Agustus 2021.

Hingga pertengahan 2021, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Subdit 4 Renakta

Ditreskrimum Polda Kalsel menangani 147 kasus terdiri dari 68 kasus kekerasan terhadap

perempuan dan 79 kasus anak. Sedangkan selama 2020, total ada 214 kasus terdiri dari

kekerasan terhadap perempuan 94 kasus dan terhadap anak 120 kasus.

Dari tindak pidana yang terjadi, mayoritas KDRT yaitu sebanyak 32 kasus. Diakui Rifa'i, KDRT

dipicu persoalan ekonomi dampak dari pandemi Covid-19 antara suami terhadap istri. "Kasus

suami istri ini kebanyakan berakhir dengan perceraian karena tidak ada jalan damai,"

bebernya.

Ada juga KDRT dengan pelaku orangtua terhadap anaknya. Polisi berupaya memediasi agar

hubungan keluarga kembali harmonis. "Namun orangtua sebagai pelaku juga membuat

surat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya. Jika sampai terulang, tindakan lebih

tegas berupa pidana siap diberikan," ucap Rifa'i.

Selain KDRT, ada sejumlah kasus lain yang juga ditangani polisi. Di antaranya penganiayaan

23 kasus, pencabulan dan perkosaan masing-masing 5 kasus, persetubuhan satu kasus dan

lain-lain dua kasus.

Sedangkan kasus kekerasan terhadap anak didominasi pencabulan dan perkosaan masing-masing 19

kasus, diikuti persetubuhan 18 kasus, penganiayaan 14 kasus, pelarian anak enam kasus,

pengeroyokan dua kasus dan perbuatan tidak menyenangkan satu kasus.

"Di samping penegakan hukum, kekerasan terhadap perempuan dan anak tentunya juga harus

dikedepankan upaya edukasi agar peristiwa jangan sampai terjadi. Harus disadari semua ada

konsekuensi hukum meski itu di lingkup keluarga," ujar Rifa'i.

Anda mungkin juga menyukai