Anda di halaman 1dari 55

Eksistensi Hakikat dan Syariat dalam Istilah Sufi (Seri 01)

dzikra.com/174-eksistensi-hakikat-dan-syariat-dalam-istilah-sufi-seri-01.html

admin 2 March 29,


2011

Eksistensi hakikat menurut orang-orang


sufi adalah takwil-takwil yang mereka
reka-reka dalam menafsirkan ayat-ayat
Alquran dan hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Kemudian mereka
simpulkan bahwa takwil-takwil tersebut
hanya bisa diketahui oleh orang-orang
khusus, atau mereka sebut ulama khos
(khusus) diatas tingkatan ini ada lagi
tingkat yang lebih tinggi yaitu ulama
khasul khos (amat lebih khusus) atau
mereka sebut ulama hakikat.

Adapun syariat menurut mereka adalah lafaz-lafaz dan makna yang zhohir dari nash-
nash Alquran dan sunnah. Hal ini dipahami oleh orang-orang awam (biasa), maka
mereka menamakan ulama yang berpegang dengan pemahaman ini dalam menghayati
ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dengan ulama ‘Aam
(umum) atau ulama syari’ah.

Dari sini mereka membagi ulama kepada dua bagian; ulama hakikat dan ulama syariat,
atau ulama batin dan ulama zahir.

1/6
Menurut mereka ulama hakikat atau ulama batin lebih tinggi kedudukannya dari ulama
syariat atau ulama zahir. Karena menurut pengakuan mereka ulama hakikat dapat
menyelami rahasia-rahasia ghaib yang tersembunyi dalam nash-nash Alquran dan
sunnah. Untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut mereka memiliki rute-rute yang
mesti dilewati. Disamping itu mereka memiliki trik-trik dalam mempengaruhi orang-
orang di luar mereka dengan berbagai cerita-cerita bohong.

Diantara bentuk-bentuk rute-rute sesat mereka adalah puasa selama empat puluh hari
berturut-turut, bersemedi dalam sebuah gua, tidak boleh memakan hewan yang
disembelih atau bintang yang berdarah, atau dilarang memakan makanan yang dibakar
dengan api.

Adakalanya mereka dalam melegalkan takwil-takwil sesat (ilmu hakikat) mereka dengan
mengaku bermimpi bertemu salah seorang nabi, seperti nabi Khaidhir atau nabi
Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Atau mereka bermimipi bertemu dengan salah
seorang wali, seperti Abdul Qadir Jailany atau yang lainnya.

Dan adakalanya mereka mengaku dalam mendapatkan takwil-takwil (ilmu hakikat)


tersebut dengan melalui berzikir sampai tidak sadarkan diri. Karena diantara kebiasaan
mereka adalah melantunkan salawatan dan syair-syair zuhud dengan berdendang dan
bergoyang sampai larut malam[1].

Disamping itu mereka menghina dan mencela orang-orang yang menuntut ilmu dangan
cara belajar kepada para ulama dan mereka sebut ini ilmu syariat. Mereka katakan
bahwa ilmu mereka (ilmu hakikat) lebih utama dari ilmu syariat yang dipelajari melalui
para ulama. Karena ilmu mereka (ilmu hakikat) mereka dapatkan langsung dari Allah.
Bahkan ilmu mereka lebih tinggi dari pada ilmu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Karena
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendapat ilmu melalui perantara yaitu malaikat Jibril
adapun ilmu mereka langsung mereka dapatkan dari sumber dimana jibril
mendapatkannya (langsung dari Allah tanpa melalui malaikat Jibril). Maka ilmu mereka
tidak melalui perantara tetapi langsung dari Allah. Sehingga mereka mengatakan, “Telah
menceritakan kepadaku hatiku dari tuhanku.” Kadangkala mereka menyebut ilmu
mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu ladunny.

Menurut mereka ilmu hakikat atau ilmu batin dan ilmu ladunni lebih utama dari ilmu
Alquran dan sunnah. Orang yang telah memiliki ilmu tersebut tidak butuh lagi kepada
Alquran dan sunnah, mereka lebih PeDe (percaya diri) dengan ilmu ladunny.

Dengan cara-cara demikian mereka dapat mengelabui orang-orang awam dan orang
yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup dalam akidah.

Bila kita teliti kandungan Alquran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
beserta perkataan para sahabat juga ulama-ulama terkemuka dikalangan umat ini tidak
ada yang menyatakan bila kita beselisih dalam hal agama ini kembali kepada ilmu
ladunni. Tetapi semua umat Islam bersepakat jalan keluar dari segala perselisihan
adalah kembali kepada Alquran dan sunnah sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya.
2/6
Firman Allah,

َ َ
{‫ﻦ‬
ُ ‫ﺴ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﺧﻴ ٌْﺮ وَأ‬
َ ‫ﻚ‬ ِ ‫ن ﺑ ِﺎﻟﻠﻪِ وَاﻟ ْﻴ َﻮْم ِ اْﻵ‬
َ ِ ‫ﺧﺮِ ذ َﻟ‬ َ ‫ﻣﻨ ُﻮ‬ ْ ُ ‫ن ﻛ ُﻨ ْﺘ‬
ِ ْ ‫ﻢ ﺗ ُﺆ‬ ْ ِ‫ل إ‬ ُ ‫ﻲٍء ﻓَُﺮدوه ُ إ ِﻟ َﻰ اﻟﻠﻪِ وَاﻟﺮ‬
ِ ‫ﺳﻮ‬ َ ‫ﻢ ﻓ ِﻲ‬
ْ ‫ﺷ‬ ْ ِ ‫ﻓَﺈ‬
ْ ُ ‫ن ﺗ َﻨ َﺎَزﻋ ْﺘ‬
59/‫]ﺗ َﺄ ْوِﻳًﻼ{ ]اﻟﻨﺴﺎء‬

“Maka jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

((‫ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻦ ﻳﻌﻴﺶ ﻣﻨﻜﻢ ﻓﺴﻴﺮى اﺧﺘﻼﻓﺎ ﻓﻌﻠﻴﻜﻢ ﺑﺴﻨﺘﻲ وﺳﻨﺔ اﻟﺨﻠﻔﺎء اﻟﺮاﺷﺪﻳﻦ اﻟﻤﻬﺪﻳﻴﻦ ﻓﺘﻤﺴﻜﻮا ﺑﻬﺎ‬
‫و ﻋ ﻀ ﻮا ﻋ ﻠ ﻴ ﻬ ﺎ ﺑ ﺎ ﻟ ﻨ ﻮا ﺟ ﺬ ( ( ر وا ه ا ﻟ ﺘ ﺮ ﻣ ﺬ ي و ﺻ ﺤ ﺤ ﻪ‬.

“Maka sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian akan melihat perpecah
belahan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para
khulafa rasyidin. Genggamlah erat-erat! Dan gigitlah dengan geraham.”

Kesesatan keyakinan orang-orang sufi tentang ilmu hakikat tidak hanya ditentang oleh
para ulama’ Ahlussunnah tapi mendapat celaan dan cercaan dari tokoh-tokoh sufi sendiri
sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnul Jauzi pada berikut ini,

Berkata Ibnul Jauzi, “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang sufi membedakan antara


syariat dan hakikat, ini sebuah kebodohan dari orang yang mengatakannya. Karena
sesungguhnya syariat seluruhnya adalah hakikat. Jika yang mereka maksud dengan
demikian itu adalah rukhshah (kemudahan) dan ‘Aziimah (ketegasan), maka masing-
masing keduanya adalah syariah. Sesungguhnya sekelompok dari golongan terkemuka
dari mereka telah mengingkari dalam hal berpalingnya mereka dari ilmu zahir dalam
syariat.”

Celaan tokoh-tokoh sufi terhadap ilmu hakikat

Diriwayatkan dari Abu Hasan bin Salim ia berkata, Seseorang datang kepada Sahal bin
Abdullah ia membawa pena dan buku, ia berkata kepada Sahal, ”Aku datang untuk
mencatat sesuatau yang Allah bisa memberi manfaat kepadaku dengannya.” Jawab
Sahal, ”Tulislah! Jika engkau mampu menemui Allah dalam keadaan membawa pena dan
buku maka lakukanlah!” Lalu orang tersebut berkata, ”Berilah aku suatu faedah (tentang
ilmu).” Jawab Sahal, ”Dunia seluruhnya adalah kebodohan kecuali yang berupa ilmu. Dan
ilmu seluruhnya adalah hujjah (yang harus dipertangungjawabkan) kecuali yang
berbentuk amal. Dan amal seluruhnya akan ditunda penerimaannya kecuali yang sesuai
menurut Alquran dan sunnah. Dan sunnah ditegakkan diatas ketaqwaan.”

Diriwayatkan pula dari Sahal bin Abdullah, “Jagalah hitam di atas putih, tidak seorangpun
meningaalkan yang Zahir (jelas) kecuali ia menjadi Zindiq.”

3/6
Diriwayatkan juga dari Sahal bin Abdullah, ia berkata, “Tiada jalan yang lebih utama
untuk menuju Allah dari pada jalan ilmu. Jika engkau berpaling dari jalan ilmu satu
langkah niscaya engkau akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh pagi.”

Dalam ungkapan di atas Sahal menegaskan bahwa ilmu dan amal yang akan diterima
Allah hanyalah yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan sunnah.

Berkata Abu Bakar Addaqaaq, ”Aku mendengar Abu Sa’id Al Kharaaz berkata, ’Setiap ilmu
batin yang bertentangan dengan ilmu zahir maka itu adalah batil (kebatilan).’”

Berkata Abu Bakar Addaqaaq, “Saat aku melewati padang Tiih Bani Israil, terbetik dalam
pikiranku bahwa ilmu hakikat bertetangan dengan ilmu syari’at. Lalu aku mendengar
suara dari arah bawah pohon, ’Setiap ilmu hakikat yang tidak sesuai dengan ilmu syariat
maka itu adalah kekafiran.’”

Berkata Ibnul Jauzi, “Imam Al Ghazaly telah memperingatkan dalam kitab Al-Ihyaa’, ia
berkata, “Sesungguhnya ilmu hakikat yang menentang ilmu syariat atau ilmu batin yang
menentang ilmu zahir maka ia kepada keakfiran lebih dekat daripada kepada keimanan.”

Berkata Ibnu ‘Uqail, “Orang-orang sufi menjadi syariat sebatas nama semata. Mereka
mengatakan yang dimaksud darinya adalah hakikat, ini adalah pendapat yang keji.
Karena syariat adalah datang dari Allah untuk kebaikan dan jalan penghabaan para
makhluk. Maka tidak ada dibalik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikan setan kedalam
jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan
ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan)[2].”

Orang-orang zindiq telah menjadikan ilmu hakikat tersebut sebagai tameng untuk
menolak hukum-hukum syariat dan sebagai topeng untuk menutup kekufuran mereka.

Berkata Ibnul Jauzi, “Orang-orang Zidiq tidak berani melangkah untuk menolak hukum-
hukum syariat sampai datang orang-orang sufi, mereka datang dengan bantuan para
pelaku maksiat. Pertama kali mereka membuat istilah hakikat dan syariat, ini adalah
tindakan yang keji. Karena syariat adalah datang dari Allah untuk kebaikan para makhluk.
Maka tidak ada dibalik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikan setan kedalam jiwa
seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu
syariat maka itu adalah tipuan (setan). Jika mereka mendengar seseorang meriwayatkan
hadits, mereka katakan, “Kasihan sangat bodoh, kenapa mereka mau mengambil ilmu
melalui yang mati dari yang mati! Sedangkan kita mengambil ilmu langsung dari Zat Yang
tidak pernah mati.” Barangsiapa yang berkata, “Telah menceritakan kepadaku bapakku
dari kakekku”. Justru aku berkata: :”Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku”.
Kata Ibnul Jauzi: “Mereka (orang-orang sufi) telah binasa dan telah membinasakan orang
lain dengan khrafat-khurafat ini. Orang-orang bodoh tertipu sehingga mengorbankan
harta demi untuk mereka[3].”

Dengan mengaku mendapat ilmu hakikat mereka bisa mengelabui dan berkilah untuk
meninggalkan perintah-perintah agama.

4/6
Berkata Ibnul Jauzi, “Ketahuilah bahwasanya melaksanakan tugas-tugas agama amat
berat, tiada yang lebih mudah bagi para pelaku maksiat dari meninggalkan jamaah.
Tidak ada yang lebih berat bagi mereka dari perintah dan larangan-larangan agama.
Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama dari orang-orang Ahlul kalam dan
orang-orang sufi. Mereka merusak keyakinan manusia dengan mempermainkan
kelicikan akal. Dan mereka ini merusak amal dan meruntuhkan sendi-sendi agama.
Mereka suka nganggur dan mendengarkan nyanyian. Para generasi salaf tidak demikian
halanya dalam hal keyakinan mereka hamba yang percaya sepenuhnya dan dalam hal
amal mereka orang yang paling sungguh melakukan amal. Berkata Ibnul Jauzi,
“Nasehatku kepada para saudaraku jangan sampai hati mereka dicekoki perkataan para
ahli kalam dan jangan sampai pendengaran mereka diserahkan kepada khurafat-khurafat
sufi. Lebih baik mereka sibuk mencari kebutuhan hidup daripada nonkrong bersama
orang-orang sufi. Mencukupkan diri dengan ilmu zahir (Ajaran Al Quran dan sunnah)
jauh lebih baik daripada terjerumus kedalam kesesatan. Sungguh telah aku kabarkan
tentang jalan kedua kelompok tersebut (ahlul kalam dan sufi). Kesudahan orang-orang
ahlul kalam adalah kebingungan dan kesudahan orang-orang sufi adalah kebodohan.”

Berkata Ibnu ‘Uqail, “Kesudahan perkataan orang-orang sufi mengingkari kenabian. Bila
mereka berbicara tentang ahli hadits, mereka katakan, “Mereka mengambil ilmu orang
mati dari yang mati, maka mereka telah menolak kenabian. Mereka merasa cukup
dengan ilmu mereka, bila mereka menghina jalan (ahli hadits) tentu mereka tidak akan
simpati mengambil ilmu melalui jalan tersebut. Barangsiapa yang berkata, ”Telah
menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku” maka ia telah terus terang tidak butuh
kepada Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. Barang siapa yang menyatakan demikian maka
sungguhnya ia telah kafir. Kalimat ini telah disusupkan kedalam agama yang
tersembunyi dibawahnya sebuah ke-zidiq-kan (kemunafikkan). Jika kita melihat
seseorang mencela Alquran dan hadits, sebaiknya kita tau bahwa ia telah mengingkari
perintah syariat. Orang yang mengatakan:: ” Telah menceritakan kepadaku hatiku dari
Tuhanku” semestinya ia sangsi, bahwa itu adalah bisikan setan.

Sesungguhnya Allah telah berfirman,

َ
ْ ِ‫ن إ ِﻟ َﻰ أوْﻟ ِﻴ َﺎﺋ ِﻬ‬
{121/‫ﻢ{ ]اﻷﻧﻌﺎم‬ ُ ‫ﻦ ﻟ َﻴ ُﻮ‬
َ ‫ﺣﻮ‬ َ ‫]وَإ ِن اﻟﺸﻴ َﺎﻃ ِﻴ‬

“Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.”

Dan ini amat jelas, karena ia meninggalkan dalil yang maksum dan memilih apa yang
terbetik dalam hatinya yang tidak bisa dipastikan selamat dari bisikan-bisikan setan[4].”

Diantara orang-orang sufi ada yang berkilah bahwa itu adalah ilham, namun jika ditanya
dimana anda bisa memastikan bahwa itu adalah ilham? Dengan apa anda bisa
membedakan antara ilham dengan apa yang dibisikan setan? Maka satu-satunya alat
termometer yang jitu untuk membedakan antara ilham dengan bisikan setan adalah
ilmu syari’at. Berarti ilmu hakikat butuh kepada ilmu syariat sebaliknya ilmu syariat tidak
butuh kepada ilmu hakikat. Orang-orang yang mau menerima petunjuk akan
berkesimpulan bahwa ilmu syariat lebih mulia dari ilmu hakikat orang-orang sufi.
5/6
Berkata Ibnul Jauzi, “Mempercayai ilham tidak harus mengikari ilmu (syari’at). Kita tidak
mengingkari bahwa Allah memberikan ilham kepada seseorang. Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

((‫ ﺻﺤﻴﺢ‬:‫ وﻗﺎل ﺷﻴﻌﺐ اﻷرﻧﺆوط‬،‫ رواه أﺣﻤﺪ‬.((‫إن ﻓﻲ اﻷﻣﻢ ﻣﺤﺪﺛﻴﻦ وإن ﻳﻜﻦ ﻓﻲ أﻣﺘﻲ ﻓﻌﻤﺮ‬.

Sesungguhnya pada umat-umat yang lalu ada orang-orang yang diberi ilham, jika terdapat
diantara umatku maka ia adalah Umar radhiallahu ‘anhu.”

Yang dimaksud dengan kalimat (‫ )اﻟﺘﺤﺪﻳﺚ‬adalah ilham tentang kebaikan. Tetapi


seseorang yang mendapat ilham bila diberi ilham yang bertentangan dengan ilmu
(syariat), maka ia tidak boleh melakukannya. Adapun Khaidhir maka ia adalah nabi, tidak
diragukan lagi para nabi dapat mengetahui akibat-akibat sesuatu melalui wahyu. Ilham
tidak termasuk ilmu sedikitpun. Hanya saja ia adalah buah dari ilmu dan ketaqwaan,
maka orang tersebut diberi taufik untuk hal yang baik dan ilham petunjuk. Adapun sikap
meninggalkan ilmu dan bergantung kapa ilham dan bisikan hati semata, maka hal ini
tidak bernilai apa-apa. Jika bukan karena ilmu syariat kita tidak akan bisa mengetahui
apa yang terdapat dalam hati, apakah ia ilham atau bisikan-bisikan setan. Ketahuilah
sesungguhnya ilham yang terdapat dalam hati tidak cukup tanpa ilmu syariat.
Sebagaimana ilmu akal tidak cukup tanpa ilmu syariat.

Adapun ungkapan, “Mereka mengambil ilmu dari orang mati meriwayatkan dari orang
yang mati”. Penilaian terbaik untuk orang yang mengatakannya adalah ia tidak tau
tentang apa yang tersimpan dalam kata-kata ini. Sebenarnya ini adalah cacian terhadap
syariat (agama). Kemudian ia sebutkan ungkapan Al-Ghazali tentang sebab-sebab orang
sufi suka bersemedi dan meninggalkan ilmu serta lebih mengutamakan berzikir dari
membaca Alquran. Lalu ia komentari dengan ungkapanya berikut, “Amat disayangkan
kata-kata seperti ini muncul dari seorang faqih, tidak diragukan lagi tentang kekejian
ungkapan ini. Hakikat dari ungkapan ini adalah membuang perintah-perintah agama
yang memerintahkan membaca Alquran dan mencari ilmu. Aku mendapati para ulama
terkemuka dari berbagai kota tidak pernah menempuh cara ini. Tetapi mereka
menyibukan diri pertama kali dengan mencari ilmu[5].”
-Bersambung insya Allah–

Penulis: DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.


Artikel www.dzikra.com

[1] Lihat Talbis Iblis karangan Ibnul Jauzy: 302.


[2] Ungkapan-ungkapan di atas disebut Ibnul Jauzy dalam kitanya Talbis Iblis, 394-395.

[3] Lihat Talbis Iblis, 450.

[4] Lihat Talbis Iblis, 451.

[5] Lihat Talbis Iblis, 392.

6/6
Eksistensi Hakekat Dan Syariat Dalam Istilah Sufiah
dzikra.com/996-eksistensi-hakekat-dan-syariat-dalam-istilah-sufiah.html

Abdillahil Hadiy May 31,


2017

Eksistensi hakekat menurut orang-orang


sufi adalah takwil-takwil yang mereka
reka-reka dalam menafsirkan ayat-ayat Al
Qur’an dan hadits-hadits Nabi .
Kemudian mereka simpulkan bahwa
takwil-takwil tersebut hanya bisa
diketahui oleh orang-orang khusus, atau
mereka sebut ulama khas (khusus) diatas
tingkatan ini ada lagi tingkat yang lebih
tinggi yaitu ulama khasul khas (amat lebih
khusus) atau mereka sebut ulama hakekat.

Adapun syariat menurut mereka adalah lafaz-lafaz dan makna yang zhohir dari nash-
nash Al Qur’an dan sunnah. Hal ini dipahami oleh orang-orang awam (biasa), maka
mereka menamakan ulama yang berpegang dengan pemahaman ini dalam menghayati
ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi dengan ulama ‘Aam (umum) atau ulama syari’ah.

Dari sini mereka membagi ulama kepada dua bagian; ulama hakekat dan ulama syariat,
atau ulama batin dan ulama zhohir.

Menurut mereka ulama hakekat atau ulama batin lebih tinggi kedudukannya dari ulama
syariat atau ulama zhohir. Karena menurut pengakuan mereka ulama hakekat dapat
menyelami rahasia-rahasia ghaib yang tersembunyi dalam nash-nash Al Qur’an dan
sunnah. Untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut mereka memiliki rute-rute yang
mesti dilewati. Disamping itu mereka memiliki trik-trik dalam mempengaruhi orang-
orang di luar mereka dengan berbagai cerita-cerita bohong.

Diantara bentuk-bentuk rute-rute sesat mereka adalah puasa selama empat puluh hari
berturut-turut, bersemedi dalam sebuah gua, tidak boleh memakan hewan yang
disembelih atau bintang yang berdarah, atau dilarang memakan makanan yang dibakar
dengan api.

Adakalanya mereka dalam melegalkan takwil-takwil sesat (ilmu hakekat) mereka dengan
mengaku bermimpi bertemu salah seorang nabi, seperti nabi Khaidhir atau nabi
Muhammad . Atau mereka bermimipi bertemu dengan salah seorang wali, seperti
Abdul Qodir Jailany atau yang lainnya.

Dan adakalanya mereka mengaku dalam mendapatkan takwil-takwil (ilmu hakekat)


tersebut dengan melalui berzikir sampai tidak sadarkan diri. Karena diantara kebiasaan
mereka adalah melantunkan selawatan dan syair-syair zuhud dengan berdendang dan
1/13
bergoyang sampai larut malam[1].

Disamping itu mereka menghina dan mencela orang-orang yang menuntut ilmu dangan
cara belajar kepada para ulama dan mereka sebut ini ilmu syariat. Mereka katakan
bahwa ilmu mereka (ilmu hakekat) lebih utama dari ilmu syariat yang dipelajari melalui
para ulama. Karena ilmu mereka (ilmu hakekat) mereka dapatkan langsung dari Allah.
Bahkan ilmu mereka lebih tinggi dari pada ilmu Nabi . Karena Nabi mendapat ilmu
melalui perantara yaitu malaikat Jibril adapun ilmu mereka langsung mereka dapatkan
dari sumber dimana jibril mendapatkannya (langsung dari Allah tanpa melalui malaikat
Jibril). Maka ilmu mereka tidak melalui perantara tetapi langsung dari Allah. Sehingga
mereka mengtakan: “telah menceritakan kepadaku hatiku dari tuhanku”. Kadangkala
mereka menyebut ilmu mereka (ilmu hakekat) dengan istilah ilmu ladunny.

Menurut mereka ilmu hakekat atau ilmu batin dan ilmu ladunni lebih utama dari ilmu Al
Qur’an dan sunnah. Orang yang telah memiliki ilmu tersebut tidak butuh lagi kepada Al
Qur’an dan sunnah, mereka lebih PD dengan ilmu ladunni.

Dengan cara-cara demikian mereka dapat mengelabui orang-orang awam dan orang
yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup dalam aqidah.

Bila kita teliti kandungan Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah beserta perkataan
para sahabat juga ulama-ulama terkemuka dikalangan umat ini tidak ada yang
menyatakan bila kita beselisih dalam hal agama ini kembali kepada ilmu ladunni. Tetapi
semua umat Islam bersepakat jalan keluar dari segala perselisihan adalah kembali
kepada Al Qur’an dan sunnah sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya.

Firman Allah:

َ
{ ‫َﻓِﺈْن ﺗَﻨَﺎَزْﻋُﺘْﻢ ِﻓﻲ َﺷْﻲٍء َﻓُﺮﱡدوُه إِﻟَﻰ ا ﱠِﷲ َواﻟﱠﺮُﺳﻮِل إِْن ُﻛْﻨُﺘْﻢ ُﺗْﺆِﻣُﻨﻮَن ِﺑﺎ ﱠِﷲ َواْﻟَﯿْﻮِم اْﻵِﺧِﺮ‬
59/‫]َذﻟَِﻚ َﺧْﯿٌﺮ َوَأْﺣَﺴُﻦ ﺗَْﺄِوﯾًﻼ{ ]اﻟﻨﺴﺎء‬

“Maka jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Sabda Rasulullah :

((‫ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻦ ﯾﻌﯿﺶ ﻣﻨﻜﻢ ﻓﺴﯿﺮى اﺧﺘﻼﻓﺎ ﻓﻌﻠﯿﻜﻢ ﺑﺴﻨﺘﻲ وﺳﻨﺔ اﻟﺨﻠﻔﺎء اﻟﺮاﺷﺪﯾﻦ اﻟﻤﻬﺪﯾﯿﻦ‬
‫ ﻓﺘ ﻤ ﺴ ﻜ ﻮا ﺑ ﻬﺎ و ﻋ ﻀ ﻮا ﻋﻠﯿ ﻬﺎ ﺑﺎﻟﻨ ﻮا ﺟ ﺬ ( ( ر وا ه اﻟﺘ ﺮ ﻣ ﺬ ي و ﺻ ﺤ ﺤ ﻪ‬.

“Maka sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian akan melihat perpecah
belahan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah
para khulafa rosyidin. Genggamlah erat-erat! Dan gigitlah dengan geraham”.

2/13
Kesesatan keyakinan orang-orang sufi tentang ilmu hakekat tidak hanya ditentang oleh
para ulam Ahlussunnah tapi mendapat celaan dan cercaan dari tokoh-tokoh sufi sendiri
sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnul Jauzy pada berikut ini:

Berkata Ibnul Juzy: “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang sufi membedakan antara


syariat dan hakekat, ini sebuah kebodohan dari orang yang mengatakannya. Karena
sesungguhnya syariat seluruhnya adalah hakekat. Jika yang mereka maksud dengan
demikian itu adalah rukhshah (kemudahan) dan ‘Aziimah (ketegasan), maka masing-
masing keduanya adalah syariah. Sesungguhnya sekelompok dari golongan terkemuka
dari mereka telah mengingkari dalam hal berpalingnya mereka dari ilmu zohir dalam
syariat”.

Celaan tokoh-tokoh sufi terhadap ilmu hakekat.


Diriwayatkan dari Abu Hasan bin Salim ia berkata: seseorang datang kepada Sahal bin
Abdullah ia membawa pena dan buku, ia berkata kepada Sahal: aku datang untuk
mencatat sesuatau yang Allah bisa memberi mamfaat kepadaku dengannya. Jawab
Sahal: tulislah! Jika engkau mampu menemui Allah dalam keadaan membawa pena dan
buku maka lakukanlah! Lalu orang tersebut berkata: berilah aku suatu faedah (tentang
ilmu). Jawab Sahal: dunia seluruhnya adalah kebodohan kecuali yang berupa ilmu. Dan
ilmu seluruhnya adalah hujjah (yang harus dipertangungjawabkan) kecuali yang
berbentuk amal. Dan amal seluruhnya akan ditunda penerimaannya kecuali yang sesuai
menurut Al Qur’an dan sunnah. Dan sunnah ditegakkan diatas ketaqwaan.

Diriwayatkan pula dari Sahal bin Abdullah: “Jagalah hitam di atas putih, tidak
seorangpun meningalkan yang Zohir (jelas) kecuali ia menjadi Zindiq”.

Diriwayatkan juga dari Sahal bin Abdullah, ia berkata : “Tiada jalan yang lebih utama
untuk menuju Allah dari pada jalan ilmu. Jika engkau berpaling dari jalan ilmu satu
langkah niscaya engkau akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh pagi”.

Dalam ungkapan di atas Sahal menegaskan bahwa ilmu dan amal yang akan diterima
Allah hanyalah yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam Al Quran dan sunnah.

Berkata Abu Bakar Addaqaaq: aku mendengar Abu Sa’id Al Kharaaz berkata :
“Setiap ilmu batin yang bertentangan dengan ilmu zohir maka itu adalah batil
(kebatilan)”.

Berkata Abu Bakar Addaqaaq: “Saat aku melewati padang Tiih Bani Israil, terbetik
dalam pikiranku bahwa ilmu hakekat bertetangan dengan ilmu syari’at. Lalu aku
mendengar suara dari arah bawah pohon: setiap ilmu hakekat yang tidak sesuai dengan
ilmu syariat maka itu adalah kekafiran”.

Berkata Ibnul Jauzy: “Imam Al Ghazaly telah memperingatkan dalam kitab Al Ihyaa’, ia
berkata: “Sesungguhnya ilmu hakekat yang menentang ilmu syariat atau ilmu batin yang
menentang ilmu zohir maka ia kepada keakfiran lebih dekat daripada kepada keimanan”.

3/13
Berkata Ibnu ‘Uqail: “Orang-orang sufi menjadi syariat sebatas nama semata. Mereka
mengatakan yang dimaksud darinya adalah hakekat, ini adalah pendapat yang keji.
Karena syariat adalah datang dari Allah untuk kebaikan dan jalan penghabaan para
makhluk. Maka tidak ada dibalik hakekat kecuali sesuatu yang dibisikan setan kedalam
jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakekat di luar ketentuan
ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan)”[2].

Orang-orang zindiq telah menjadikan ilmu hakekat tersebut sebagai tameng untuk
menolak hukum-hukum syariat dan sebagai topeng untuk menutup kekufuran mereka.

Berkata Ibnul Jauzy: “Orang-orang Zidiq tidak berani melangkah untuk menolak
hukum-hukum syariat sampai datang orang-orang sufi, mereka datang dengan bantuan
para pelaku maksiat. Pertama kali mereka membuat istilah hakekat dan syariat, ini
adalah tindakan yang keji. Karena syariat adalah datang dari Allah untuk kebaikan para
makhluk. Maka tidak ada dibalik hakekat kecuali sesuatu yang dibisikan setan kedalam
jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakekat di luar ketentuan
ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan). Jika mereka mendengar seseorang
meriwayatkan hadits, mereka katakan: “kasihan sangat bodoh, kenapa mereka mau
mengambil ilmu melalui yang mati dari yang mati! Sedangkan kita mengambil ilmu
langsung dari Zat Yang tidak pernah mati”. Barangsiapa yang berkata: “Telah
menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku”. Justru aku berkata: :”Telah menceritakan
kepadaku hatiku dari Tuhanku”. Kata Ibnul Jauzy: “Mereka (orang-orang sufi) telah binasa
dan telah membinasakan orang lain dengan khrafat-khurafat ini. Orang-orang bodoh
tertipu sehingga mengorbankan harta demi untuk mereka”[3].

Dengan mengaku mendapat ilmu hakekat mereka bisa mengelabui dan berkilah untuk
meninggalkan perintah-perintah agama.

Berkata Ibnul jauzy: “Ketahuilah bahwasanya melaksanakan tugas-tugas agama amat


berat, iada yang lebih mudah bagi para pelaku maksiat dari meninggalkan jama’ah. Tidak
ada yang lebih berat bagi mereka dari perintah dan larangan-larangan agama. Tidak ada
yang lebih berbahaya terhadap agama dari orang-orang Ahlul kalam dan orang-orang
sufi. Mereka merusak keyakinan manusia dengan mempermainkan kelicikan akal. Dan
mereka ini merusak amal dan meruntuhkan sendi-sendi agama. Mereka suka nganggur
dan mendengarkan nyanyian. Para generasi salaf tidak demikian halanya dalam hal
keyakinan mereka hamba yang percaya sepenuhnya dan dalam hal amal mereka orang
yang paling sungguh melakukan amal. Berkata Ibnul Jauzy: “Nasehatku kepada para
saudaraku jangan sampai hati mereka dicekoki perkataan para ahli kalam dan jangan
sampai pendengaran mereka diserahkan kepada khurafat-khurafat sufi. Lebih baik
mereka sibuk mencari kebutuhan hidup daripada nonkrong bersama orang-orang sufi.
Mencukupkan diri dengan ilmu zohir (Ajaran Al Quran dan sunnah) jauh lebih baik
daripada terjerumus kedalam kesesatan. Sungguh telah aku kabarkan tentang jalan
kedua kelompok tersebut (ahlul kalam dan sufi). Kesudahan orang-orang ahlul kalam
adalah kebingungan dan kesudahan orang-orang sufi adalah kebodohan”.

4/13
Berkata Ibnu ‘Uqail: “Kesudahan perkataan orang-orang sufi menginkari kenabian. Bila
mereka berbicara tentang ahli hadits, mereka katakan: “Mereka mengambil ilmu orang
mati dari yang mati, maka mereka telah menolak kenabian. Mereka merasa cukup
dengan ilmu mereka, bila mereka menghina jalan (ahli hadits) tentu mereka tidak akan
simpati mengabil ilmu melalui jalan tersebut. Barangsiapa yang berkata: “Telah
menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku” maka ia telah terus terang tidak butuh
kepada Rasul . Barang siapa yang menyatakan demikian maka sungguhnya ia telah
kafir. Kalimat ini telah disusupkan kedalam agama yang tersembunyi dibawahnya
sebuah kezidiqkan (kemunafikkan). Jika kita melihat seseorang mencela Al Quran dan
hadits, sebaiknya kita tau bahwa ia telah mengingkari perintah syariat. Orang yang
mengatakan:: ” Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku” semestinya ia sangsi,
bahwa itu adalah bisikan setan.

Sesungguhnya Allah telah berfirman:

{121/‫]َوإِﱠن اﻟﱠﺸَﯿﺎِﻃﯿَﻦ ﻟَُﯿﻮُﺣﻮَن إِﻟَﻰ َأْوﻟَِﯿﺎﺋِِﻬْﻢ{ ]اﻷﻧﻌﺎم‬

“Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya”.

Dan ini amat jelas, karena ia meninggalkan dalil yang maksum dan memilih apa yang
terbetik dalam hatinya yang tidak bisa dipastikan selamat dari bisikan-bisikan setan”[4].

Diantara orang-orang sufi ada yang berkilah bahwa itu adalah ilham, namun jika ditanya
dimana anda bisa memastikan bahwa itu adalah ilham? Dengan apa anda bisa
membedakan antara ilham dengan apa yang dibisikan setan? Maka satu-satunya alat
termometer yang jitu untuk membedakan anatara ilham dengan bisikan setan adalah
ilmu syari’at. Berarti ilmu hakekat butuh kepad ilmu syariat sebaliknya ilmu syariat tidak
butuh kepada ilmu hakekat. Orang-orang yang mau menerima petunjuk akan
berkesimpulan bahwa ilmu syariat lebih mulia dari ilmu hakekat orang-orang sufi.

Berkata Ibnul Jauzy: “Mempercayai ilham tidak harus mengikari ilmu (syari’at). Kita
tidak mengingkari bahwa Allah memberikan ilham kepada seseorang. Sebagaimana
sabda Rasulullah :

((:‫ وﻗﺎل ﺷﯿﻌﺐ اﻷرﻧﺆوط‬،‫ رواه أﺣﻤﺪ‬.((‫إن ﻓﻲ اﻷﻣﻢ ﻣﺤﺪﺛﯿﻦ وإن ﯾﻜﻦ ﻓﻲ أﻣﺘﻲ ﻓﻌﻤﺮ‬
‫ﺻﺤﯿﺢ‬.

Sesungguhnya pada umat-umat yang lalu ada orang-orang yang diberi ilham, jika
terdapat diantara umatku maka ia dalah Umar t”.

Yang dimaksud dengan kalimat (‫ )اﻟﺘﺤﺪﻳﺚ‬adalah ilham tentang kebaikan. Tetapi


seseorang yang mendapat ilham bila diberi ilham yang bertentangan dengan ilmu
(syariat), maka ia tidak boleh melakukannya. Adapun Khadhir maka ia adalah nabi, tidak
diragukan lagi para nabi dapat mengetahui akibat-akibat sesuatu melalui wahyu. Ilham
tidak termasuk ilmu sedikitpun. Hanya saja ia adalah buah dari ilmu dan ketaqwaan,
5/13
maka orang tersebut diberi taufik untuk hal yang baik dan ilham petunjuk. Adapun sikap
meninggalkan ilmu dan bergantung kapa ilham dan bisikan hati semata, maka hal ini
tidak bernilai apa-apa. Jika bukan karena ilmu syariat kita tidak akan bisa mengetahui
apa yang terdapat dalam hati, apakah ia ilham atau bisikan-bisikan setan. Ketahuilah
sesungguhnya ilham yang terdapat dalam hati tidak cukup tanpa ilmu syariat.
Sebagaimana ilmu akal tidak cukup tanpa ilmu syariat.

Adapun ungkapan: “Mereka mengambil ilmu dari orang mati meriwayatkan dari orang
yang mati”. Penilaian terbaik untuk orang yang mengatakannya adalah ia tidak tau
tentang apa yang tersimpan dalam kata-kata ini. Sebenarnya ini adalah cacian terhadap
syariat (agama). Kemudian ia sebutkan ungkapan Al Ghazali tentang sebab-sebab orang
sufi suka bersemedi dan meninggalkan ilmu serta lebih mengutamakan berzikir dari
membaca Al Qur’an. Lalu ia komentari dengan ungkapanya berikut: “Amat disayangkan
kata-kata seperti ini muncul dari seorang faqih, tidak diragukan lagi tentang kekejian
ungkapan ini. Hakikat dari ungkapan ini adalah membuang perintah-perintah agama
yang memerintahkan membaca Al Qur’an dan mencari ilmu. Aku mendapati para ulama
terkemuka dari berbagai kota tidak pernah menempuh cara ini. Tetapi mereka
menyibukan diri pertama kali dengan mencari ilmu”[5].

Ilmu Batin.
Sering pula kita dengar Orang-orang sufi menyebut ilmu hakekat dengan istilah ilmu
batin. Berikut kita coba menelusuri dasar pegangan mereka dalam hal ini.

Sebagian mereka menyandarkan perkataan mereka kepada hadist maudhu’ (palsu).

((‫ﻋﻠﻢ اﻟﺒﺎﻃﻦ ﺳﺮ ﻣﻦ ﺳﺮ اﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ وﺣﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﻜﻢ اﷲ ﯾﻘﺬﻓﻪ اﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ ﻓﻲ‬


‫))ﻗﻠﻮب ﻣﻦ ﯾﺸﺎء ﻣﻦ أوﻟﯿﺎﺋﻪ‬

“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah dan hikmah dari hikmah-hikmah
Allah. Allah menjatuhkannya kedalam hati siapa yang ia kehendaki dari para wali-Nya”

‫و ﻋﺎ ﻣ ﺔ ر واﺗ ﻪ ﻻ ﯾ ﻌ ﺮ ﻓ ﻮ ن‬ ‫ﻗﺎ ل اﺑ ﻦ اﻟ ﺠ ﻮ ز ي ﻫ ﺬا ﺣ ﺪﯾ ﺚ ﻻ ﯾ ﺼ ﺢ ﻋ ﻦ ر ﺳ ﻮ ل ا ﷲ‬
1/83 :‫))اﻟﻌﻠﻞ اﻟﻤﺘﻨﺎﻫﯿﺔ‬.

Berkata Ibnul Jauzy: “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah dan kebanyakan para
rawinya tidak dikenal”.

Hadits kedua:

‫ﻋ ﻦ ا ﻟ ﺤ ﺴ ﻦ ﻋ ﻦ ﺣ ﺬ ﯾﻔ ﺔ ﺳ ﺄ ﻟ ﺖ ا ﻟ ﻨ ﺒ ﻲ ﻋ ﻦ ﻋ ﻠ ﻢ ا ﻟ ﺒ ﺎ ﻃ ﻦ ﻣ ﺎ ﻫ ﻮ ﻓﻘ ﺎ ل ) ) ﺳ ﺄ ﻟ ﺖ ﺟ ﺒ ﺮ ﯾ ﻞ ﻋ ﻨ ﻪ‬
‫ﻓﻘ ﺎ ل ﻋ ﻦ ا ﷲ ﻫ ﻮ ﺳ ﺮ ﺑ ﯿ ﻨ ﻲ و ﺑ ﯿ ﻦ أ ﺣ ﺒ ﺎ ﺋ ﻲ و أ و ﻟ ﯿ ﺎ ﺋ ﻲ و أ ﺻﻔ ﯿ ﺎ ﺋ ﻲ أ و د ﻋ ﻪ ﻓ ﻲ ﻗ ﻠ ﻮ ﺑ ﻬ ﻢ ﻻ ﯾ ﻄ ﻠ ﻊ‬
‫))ﻋﻠﯿﻪ ﻣﻠﻚ ﻣﻘﺮب وﻻ ﻧﺒﻲ ﻣﺮﺳﻞ‬.

6/13
Hasan meriwayatkan dari Huzaifah, ia berkata: Aku bertanya kepada nabi tentang apa
itu ilmu batin? Beliau berkata bertanya kepada jibril tentangnya. Maka ia menjawab dari
Allah: “Ia adalah rahasia antara-Ku dan antara para keakasih-Ku, para wali-Ku dan para
orang pilihan-Ku. Aku letakkan dalam hati mereka, tidak ketahui oleh malaikat yang
dekat (Allah) dan tidak pula nabi yang diutus”.

123 :‫)ﻗﺎل ﻋﻠﻲ اﻟﻘﺎري ﻗﺎل اﻟﻌﺴﻘﻼﻧﻲ ﻣﻮﺿﻮع واﻟﺤﺴﻦ ﻣﺎ ﻟﻘﻲ ﺣﺬﯾﻔﺔ )اﻟﻤﺼﻨﻮع‬

Berkata Ali Qori: berkata Ibnu Hajar Al Asqolaany: “(Hadist ini adalah) maudhu’ (palsu)
dan Hasan tidak pernah berjumpa Huzaifah”.

Berkata Imam Al Barbahaary: “Ilmu yang disebut orang-orang ilmu batin tidak pernah
ditemui dalam Al Quran dan tidak pula dalam sunnah. Maka ia adalah bid’ah dan sesat.
Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengamalkannya dan tidak pula
mengajarkannya”[6].

Berkata Syeikh Islam: “Sesungguhnya hakekat ilmu batin yang mereka banggakan adalah
penolakkan terhadap risalah yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad . Bahkan
penolakkan terhadap seluruh para rasul. Mereka tidak mempercayai apa yang dibawa
oleh Rasul dari Allah, baik berbentu berita maupun perintah”[7].

Berkata lagi Syeikh Islam: “Para tokoh sufi sepakat bahwa orang yang mengaku
mengetahui ilmu batin dari hakekat yang bertentangan dengan ilmu zohir dari syariat
maka ia adalah Zindiq”[8].

Menurut mereka ilmu batin dan ilmu zohir perumpamaannya bagaikan lempengan
emas dan lempengan perak. Ilmu batinn adalah lempengan emas sedangkan ilmu zohir
adalah lempengan perak. Mereka mengatakan bahwa ilmu yang diterima Rasul
dengan melalui perantara malaikat Jibril adalah lempengan perak. Sedangkan ilmu
batin mereka langsung terima dari Allah adalah lempengan emas.

Berkata Syeikh Islam Ibnu Taimiyah: “Sesungguhnya Nabi menurut mereka dari lepeng
perak. Karena menurut mereka ada dua lepengan; satu dari emas dan satu lagi dari
perak. Mereka menganggap lempengan nabi Muhammad adalah ilum zohir. Dan
lepengannya adalah emas yaitu ilmu batin. Dan lempeng perak adalah ilmu zohir.
Mereka mendapatkannya tanpa ada perantara. Berkta Ibnu Arabi dalam kitab Fususnya:
bahwa tingkat kewalian lebih tinggi dari tingkat kenabian. Karena wali mengambil tanpa
ada perantara sedangkan nabi melalui perantara (malaikat Jibril). Maka ia menganggap
lebih memiliki keutamaan diatas nabi, bahkan ia tidak suka jika memiliki kedudukan yang
sama. Ringkasnya ia tidak mau mengikuti nabi sedikitpun. Karena ia menurut
pengakuannya menengambil langsung dari Allah…maka ia mengaku lebih sempurna dari
Rasul ”.

[9].

7/13
“Barangsiapa yang menganggap bahwa diantara para wali yang telah sampai kepada
mereka risalah nabi Muhammad memiliki jalan tersendiri kepada Allah dan ia tidak
butuh kepada nabi Muhammad maka orang ini adalah kafir. Apabila ia berkata: saya
butuh kepada nabi Muhammad hanya dalam hal ilmu zuhir saja tidak dalam ilmu
batin, atau dalam hal ilmu syariat saja tidak dalam ilmu hakekat maka ia lebih jelek dari
pada Yahudi dan Nasrani. Kerena mereka (Yahudi dan nasrani) mengatakan Nabi
Muhammad hanya diutus kepada orang Arab saja tidak kepada orang-orang Ahli kitab.
Maka sesungguhnya mereka beriman dengan sebahagian dan kafir dengan bahagian
yang lain maka mereka menjadi kafir karena hal itu. Demikian pula orang yang
mengatakan bahwa nabi Muhammad hanya diutus membawa ilmu zohir saja tidak
diutus dengan ilmu batin. Ia beriman dengan sebahagian yang dibwanya dan kafir
dengan bahagian yang lain, maka ia menjadi kafir (dengan hal itu)” [10].

“Bila ada orang yang menganggap bahwa Nabi Muhammad hanya mengetahui
urusan-urusan yang zohir saja tanpa mengetahui hakekat keimanan. Dan ia mengaku
mengambil ilmu hakekat diluar Al Qur’an dan sunnah. Maka sesungguhnya orang
tersebut telah mengaku beriman dengan sebahagian yang dibawa Rasul dan tidak
beriman dengan bahagian yang lain. Ini lebih jelek dari orang yang berkata: aku beriman
dengan dengan sebahagian dan aku kafir dengan bahgian yang lain. Karena ia menilai
bahagian yang ia beriman dengannya adalah bahagian yang rendah kwalitasnya
(menurut dia) [11]“.

Kenapa ia lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani kerena ia manganggap bahagian yang ia
beriman dengannya (ilmu syariat) yang dibawa Rasul nilainya minus dibanding ilmu
batin yang mereka milki sendiri tanpa harus melalui Rasul dan malaikat Jibril.

Dengan mengaku mengetahui ilmu batin sebahagian sufi mengaku memilki syariat
sendiri, bahkan yang lebih sesat lagi terbebas dari segala perintah dan larangan agama.
Apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sang kiyai mereka yang mengaku mengetahui
ilmu batin tidak boleh dibantah, bahkan ditanya sekalipun. Bila sang kiyai minum khmar
maka dengan ilmu batin ia dapat berubah menjadi air putih. Bahkan ada yang lebih
patal dari itu semua, yang kita malu untuk mengungkapkannya disini.

Ilmu Ladunni.
Kadangkala mereka sebut ilmu mereka (ilmu hakekat) dengan istilah ilmu ladunny.

Berkata Ibnul Qoyyim: “Yang dimaksud oleh mereka dengan ilmu ladunni ialah ilmu
yang diperoleh seseorang dengan tidak melalui sebab (belajar) tetapi dengan melalui
ilham dari Allah. Berupa pemberitahuan dari Allah bagi seseorang sebagaimana nabi
Khaidir alaihissalam tanpa melalui nabi Musa alaihissalam. Sebagaimana firman Allah:

{65/‫]آََﺗْﯿَﻨﺎُه َرْﺣَﻤًﺔ ِﻣْﻦ ِﻋْﻨِﺪَﻧﺎ َوَﻋﱠﻠْﻤَﻨﺎُه ِﻣْﻦ ﻟَُﺪﱠﻧﺎ ِﻋْﻠًﻤﺎ{ ]اﻟﻜﻬﻒ‬

Maka Allah membedakan antara rahmat dan ilmu, Allah menjadikan keduanya dari sisi-
Nya. Ketika ia peroleh keduanya tanpa melalui perantara manusia. Akan tetapi khusus
8/13
dan lebih dekat dari sisi-Nya. Karena itu Allah berfirman:

ِ ‫ﺻْﺪٍق َوَأْﺧِﺮْﺟﻨِﻲ ُﻣْﺨَﺮَج‬


{‫ﺻْﺪٍق َواْﺟَﻌْﻞ ﻟِﻲ ِﻣْﻦ ﻟَُﺪْﻧَﻚ ُﺳْﻠَﻄﺎﻧًﺎ‬ ِ ‫َ ُﻗْﻞ َرﱢب َأْدِﺧْﻠﻨِﻲ ُﻣْﺪَﺧَﻞ‬
80/‫ﺼﯿًﺮا{ ]اﻹﺳﺮاء‬ ِ َ‫]ﻧ‬

“Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau
kekuasaan yang menolong”.

Maka kekuasaan yang menolong yang datang dari sisi Allah secara khusus dan lebih
dekat. Karena itu Allah katakan: “berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang
menolong” yaitu pertolongan yang diperkuat dengannya. Pertolongan yang datang dari
sisi Allah dan juga pertolongannya melalui orang-orang beriman. Sebagaimana firman
Allah:

{ 62/‫]ُﻫَﻮ اﱠﻟِﺬي َأﱠﯾَﺪَك ِﺑﻨَْﺼِﺮِه َوِﺑﺎْﻟُﻤْﺆِﻣﻨِﯿَﻦ{ ]اﻷﻧﻔﺎل‬

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin”.

Ilmu ladunni adalah buah dari kesungguhan dalam beribadah dan mengikuti Rasulullah
, jujur bersama Allah dan ikhlas kepada-Nya. Juga bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu yang datang dari Rasul . Serta kesempurnaan ketundukkan kepada
beliau sehingga dibukakkan untuknya memahami Al Qur’an dan sunnah yang diberikan
secara khusus kepadanya. Sebagaimana perkataan Ali bin Abu Thalib tatkala ia ditanya:
“Apakah Rasul mengkhususkan engakau dengan sesuatu dari manusia lain?
Jawabnya:”Tidak, demi Zat yang membolak-balikkan bijian dan yang menyembuhkan
jiwa. Kecuali pemahaman yang yang diberikan Allah kepada seseorang tentang kitab
suci-Nya”.

Inilah ilmu ladunni yang hakiki, adapun ilmu orang yang menyimpang dari Al Qur’an dan
sunnah serta tidak terkait dengan keduanya maka itu adalah ilmu ladunni yang datang
dari bisikan nafsu sesat dan dari setan. Maka ia ilmu ladinni tetapi dari mana? Hanya bisa
diketahui ilmu ladunni dari Allah adalah dengan mencocokkannya dengan apa yang
dibawa oleh Rasul dari Robbnya.

Maka ilmu ladunni ada dua macam; ladunni dari Allah dan ladunni dari setan. Yang
menjadi pembeda antara keduanya adalah wahyu dan tidak ada lagi wahyu setelah
Rasulullah .

Adapun menjadikan kisah nabi Musa alaihissalam dan nabi Khaidir alaihissalam sebagai
pegangan dalam bolehnya meninggalkan wahyu dan memilih ilmu ladunni. Ini adalah
kekafiran yang mengeluarkan sesorang dari Islam serta boleh untuk dibunuh.

9/13
Perbedaanya; nabi Musa alaihissalam tidak diutus kepada nabi Khaidhir alaihissalam ,
dan nabi Khaidhir alaihissalam tidak diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa
alaihissalam . Jika ia diperintah untuk mengikutinya tentulah wajib baginya untuk hijrah
kepada nabi Musa alaihissalam dan ia akan bersamanya. Karena itu ia berkata kepada
nabi Musa alaihissalam : “Engkau Musa nabi Bani israil? Jawab nabi Musa: ya”.

Sedangkan nabi Muhammad diutus kepada seluruh makhluk. Maka kerasulannya


adalah umum untuk jin dan manusia dalam setiap masa. Jika seandainya nabi Musa
alaihissalam dan nabi Isa alaihissalam hidup maka keduanya akan menjadi pengikutnya.
Apabila nabi Isa r turun (nanti di akhir zaman) maka sesungguhnya dia akan
menjalankan hukum syariat nabi Muhammad . Barangsiapa yang mengaku bahwa
perumpamaan dia dengan nabi Muhammad adalah bagaikan nabi khaidhir dengan
nabi Musa, atau ia membolehkan hal itu bagi seseorang dari golongan umat ini. Maka
hendaklah ia mengulang keislamannya dan mengulang bersyahadat dengan syahadat
yang benar. Sesungguhnya keyakinan seperti itu membuatnya meninggalkan agama
Islam secara total. Apalagi untuk dianggap sebagai wali Allah yang khusus. Sesungguhnya
ia adalah diantara wali-wali setan, penolongnya dan penggantinya. Ini adalah garis
pembeda antara orang-orang zindiq dan orang yang benar-benar istiqomah dari
kalangan mereka”[12].

Dalam ungkapan Ibnul Qoyyim di atas di jelaskan bahwa ilmu ladunni yang dari Allah
adalah pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang ketika ia belajar ilmu syariat
yang dituntut kepeda para ulama yang diiringi dengan keikhlasan dan ketaatan kepada
Allah dan rasul-Nya . Bukan ilmu yang didapat melalui mimpi dan semedi, apalagi ilmu
tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Al Quran dan sunnah. Segala ilmu yang
bertentangan dengan Al Qur’an dan sunnah Rasulullah maka itu adalah ilmu ladunni
yang datang dari setan.

Pada tempat lain Ibnu Qoyyim berkata pula: “Ilmu ladunni yang datang dari Allah buah
dari ketundukan dan rasa cinta yang melahirkan keinginan untuk melasnakan amalan-
amalan mandub stelah melaksanakan amalan-amalan wajib. Ilmu ladunni yang datang
dari setan adalah buah dari berpaling dari wahyu (ilmu syariat) serta bisikan nafsu sesat
dan setan”[13].

“Adapun yang diperoleh tanpa melaui seabab mencari dalil maka itu tidak benar. Karena
Allah mennggantungkan mengenal ilmu dengan sebab-sebabnya sebagaimana Allah
kaitkan kejadian Alam dengan dengan sebab-sebab pula. Seorang manusia tidak akan
mungkin memperoleh ilmu kecuali ada dalil menunjukkannya kepada ilmu tesebut. Allah
telah menyokong para rasul-Nya dengan berbagai macam dalil dan keterangan. Sebagai
dalil yang menunjukkan mereka bahwa ilmu yang datang kepada mereka adalah dari sisi
Allah. Dan dalil-dalil tersebut pula yang menunjukkan akan hal itu kepada umat mereka.
Mereka memiliki dalil dan keterangan yang amat jelas bahwa yang ilmu yang datang
kepada mereka adalah dari Allah.

10/13
“Maka setiap ilmu yang tidak berdasarkan kepada dalil bagaikan pengakuan yang tidak
memiliki bukti dan hukum yang tidak ada fakta. Jika demikian halnya maka ia tidak bisa
dianggap ilmu apalagi dianggap sebagai ilmu ladunni.

Ilmu ladunni adalah ilmu yang dibuktikan dengan dalil yang shahih bahwa ia datang dari
sisi Allah melalui para rasul-Nya. Apa yang diluar itu maka itu adalah ilmu ladunni yang
datang dari diri manusia itu sendiri, darinya datang kepadanya kembali.

Telah banjir ilmu ladunni, amat murah harganya sehingga setiap golongan mengaku
mendapat ilmu ladunni. Sehingga setiap orang berbicara tentang hakekat iman, suluk
(budi pekerti), serta nama dan sifat-sifat Allah berbicara menurut apa yang terlintas
dalam pikiran yang dilontarkan setan kedalam hatinya. Ia mengira ilmunya adalah ilmu
ladunni.

Maka orang malaahidah dan zindik pum ikut mengaku bahwa ilmu mereka ilmu ladunni.
Yang menjadi persolan ilmu ladunni siapa dan dari mana ilmu ladunninya tersebut.

Allah telah mencela dengan celaan yang tajam barangsiapa menisbakan kepada Allah
sesuatu yang bukan dari-Nya. Sebagaimana firman Allah:

{{‫َوَﯾُﻘﻮُﻟﻮَن ُﻫَﻮ ِﻣْﻦ ِﻋْﻨِﺪ ا ﱠِﷲ َوَﻣﺎ ُﻫَﻮ ِﻣْﻦ ِﻋْﻨِﺪ ا ﱠِﷲ َوَﯾُﻘﻮُﻟﻮَن َﻋﻠَﻰ ا ﱠِﷲ اْﻟَﻜِﺬَب َوُﻫْﻢ َﯾْﻌﻠَُﻤﻮَن‬
78/‫]]آل ﻋﻤﺮان‬

“Mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi
Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui”.

Dan firman Allah:

{79/‫]َﻓَﻮْﯾٌﻞ ِﻟﱠﻠِﺬﯾَﻦ َﯾْﻜُﺘُﺒﻮَن اْﻟِﻜﺘَﺎَب ِﺑَﺄْﯾِﺪﯾِﻬْﻢ ُﺛﱠﻢ َﯾُﻘﻮُﻟﻮَن َﻫَﺬا ِﻣْﻦ ِﻋْﻨِﺪ ا ﱠِﷲ{ ]اﻟﺒﻘﺮة‬

“Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri,
lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”.

Juga firman Allah:

{{‫َوَﻣْﻦ َأْﻇﻠَُﻢ ِﻣﱠﻤِﻦ اْﻓﺘََﺮى َﻋﻠَﻰ ا ﱠِﷲ َﻛِﺬًﺑﺎ َأْو َﻗﺎَل ُأوِﺣَﻲ إِﻟَﱠﻲ َوﻟَْﻢ ُﯾﻮَح إِﻟَْﯿِﻪ َﺷْﻲٌء‬
93/‫]]اﻷﻧﻌﺎم‬

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah
atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak ada diwahyukan
sesuatupun kepadanya”.

Barangsiapa yang berkata: “Ilmu ini dari Allah sedangkan ia bohong dalam penisbahan
tersebut. Maka baginya bagian yang cukup dari celaan yang yang terdapat dalam ayat-
ayat tersebut. Hal ini banyak terdapat dalam Al Qur’an, Allah mencela orang yang
11/13
menyadarkan sesuatu kepada-Nya tanpa ilmu. dan orang yang berbicara tetang sesuatu
atas nama Allah tanpa ilmu. Karena itu Allah membagi hal yang diharamkan kepada
empat tingkat. Dan Allah menjadikan tingkatan tertinggi berkata atas nama Allah tanpa
ilmu. Allah menjadikannya tingkatan tertinggi dari hal-hal yang diharamkan. Hal itu
diharamkan dalam segala kondisi, bahkan diharamkan dalam seluruh agama dan diatas
lisan segala rasul. Orang yang mengatakan: “Ini adalah ilmu ladunni terhadap sesuatu
yang tidak bisa ia pastikan dari Allah serta tidak ada pula keterangan dari Allah bahwa
ilmu itu dari-Nya. Orang tersebut adalah pendusta alias pembohong diatas nama Allah,
ia adalah orang yang paling zalim dan paling dusta[14]“.

Demikianlah bahasan kita kali ini, semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang
senantiasa berpegang teguh dengan ilmu-ilmu yang beliau warisan kepada umatnya.
Juga menunjuki sesiapa yang tersesat dikalangan umat ini kepada jalan yang benar.
Wallahu A’lam.

‫ﺳﺒﺤﺎﻧﻚ اﻟﻠﻬﻢ وﺑﺤﻤﺪك أﺷﻬﺪ أن ﻻ إﻟﻪ إﻻ أﻧﺖ وأﺳﺘﻐﻔﺮك وأﺗﻮب إﻟﻴﻚ‬.


Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra., MA

Follow Us : Facebook Dr. Ali Musri Semjan Putra., MA (bisa ikuti kajian LIVE via
Facebook)

Twitter @Ali_Musri_SP | Instagram @ali_musri_semjan_Putra

[1] Lihat “Talbis Iblis” karangan Ibnul Jauzy: 302.

[2] Ungkapan-ungkapan di atas disebut Ibnul Jauzy dalam kitanya “Talbis Iblis”: 394-395.

[3] Lihat “Talbis Iblis”: 450.

[4] Lihat “Talbis Iblis”: 451.

[5] Lihat “Talbis Iblis”: 392.

[6] Lihat “Syarhus Sunnah: 50.

[7] Lihat: “Majmu’ Fatawa”: 35/140.

[8] Lihat: “Bayan Talbis Jahmiyah”: 1/238.

[9] Lihat: “Majmu’ Fatawa”: 4/172.

[10] Lihat: “Majmu’ Fatawa”: 11/225.

[11] Lihat: “Majmu’ Fatawa”: 11/226.

[12] Lihat: “Madariju As Salikiin”: 2/475-476.

[13] Lihat: “Madariju As Salikiin”: 2/477.


12/13
[14] Lihat: “Madariju As Salikiin”: 3/433-434.

13/13
Eksistensi Hakikat dan Syariat dalam Istilah Sufi (Seri 02-
Selesai)
dzikra.com/182-eksistensi-hakikat-dan-syariat-dalam-istilah-sufi-seri-02-selesai.html

admin 2 March 31,


2011

Ilmu Batin

Sering pula kita dengar Orang-orang sufi


menyebut ilmu hakikat dengan istilah ilmu
batin. Berikut kita coba menelusuri dasar
pegangan mereka dalam hal ini.

Sebagian mereka menyandarkan


perkataan mereka kepada hadist maudhu’
(palsu).

((‫ﻋﻠﻢ اﻟﺒﺎﻃﻦ ﺳﺮ ﻣﻦ ﺳﺮ اﻟﻠﻪ ﻋﺰ وﺟﻞ وﺣﻜﻢ ﻣﻦ‬


‫))ﺣﻜﻢ اﻟﻠﻪ ﻳﻘﺬﻓﻪ اﻟﻠﻪ ﻋﺰ وﺟﻞ ﻓﻲ ﻗﻠﻮب ﻣﻦ ﻳﺸﺎء ﻣﻦ أوﻟﻴﺎﺋﻪ‬

“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah dan hikmah dari hikmah-hikmah Allah.
Allah menjatuhkannya kedalam hati siapa yang ia kehendaki dari para wali-Nya.”

‫ﻗ ﺎ ل ا ﺑ ﻦ ا ﻟ ﺠ ﻮ ز ي ﻫ ﺬا ﺣ ﺪ ﻳ ﺚ ﻻ ﻳ ﺼ ﺢ ﻋ ﻦ ر ﺳ ﻮ ل ا ﻟ ﻠ ﻪ ﺻ ﻠ ﻰ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻋ ﻠ ﻴ ﻪ و ﺳ ﻠ ﻢ و ﻋ ﺎ ﻣ ﺔ ر وا ﺗ ﻪ ﻻ ﻳ ﻌ ﺮ ﻓ ﻮ ن )ا ﻟ ﻌ ﻠ ﻞ‬
1/83 :‫)اﻟﻤﺘﻨﺎﻫﻴﺔ‬

Berkata Ibnul Jauzi, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan
kebanyakan para rawinya tidak dikenal.”

1/7
Hadits kedua,

‫ﻋ ﻦ اﻟ ﺤ ﺴ ﻦ ﻋ ﻦ ﺣ ﺬﻳ ﻔ ﺔ ﺳﺄﻟ ﺖ اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻﻠ ﻰ اﻟﻠ ﻪ ﻋﻠﻴ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ ﻋ ﻦ ﻋﻠ ﻢ اﻟﺒﺎ ﻃ ﻦ ﻣﺎ ﻫ ﻮ ﻓ ﻘﺎ ل )) ﺳﺄﻟ ﺖ ﺟﺒ ﺮﻳ ﻞ‬


‫ﻋ ﻨ ﻪ ﻓ ﻘ ﺎ ل ﻋ ﻦ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻫ ﻮ ﺳ ﺮ ﺑ ﻴ ﻨ ﻲ و ﺑ ﻴ ﻦ أ ﺣ ﺒ ﺎ ﺋ ﻲ وأ و ﻟ ﻴ ﺎ ﺋ ﻲ وأ ﺻ ﻔ ﻴ ﺎ ﺋ ﻲ أ و د ﻋ ﻪ ﻓ ﻲ ﻗ ﻠ ﻮ ﺑ ﻬ ﻢ ﻻ ﻳ ﻄ ﻠ ﻊ ﻋ ﻠ ﻴ ﻪ ﻣ ﻠ ﻚ‬
‫))ﻣﻘﺮب وﻻ ﻧﺒﻲ ﻣﺮﺳﻞ‬.

Hasan meriwayatkan dari Huzaifah, ia berkata, ”Aku bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam tentang apa itu ilmu batin? Beliau berkata bertanya kepada Jibril
tentangnya. Maka ia menjawab dari Allah, “Ia adalah rahasia antara-Ku dan antara para
keakasih-Ku, para wali-Ku dan para orang pilihan-Ku. Aku letakkan dalam hati mereka, tidak
ketahui oleh malaikat yang dekat (Allah) dan tidak pula nabi yang diutus.”

123 :‫)ﻗﺎل ﻋﻠﻲ اﻟﻘﺎري ﻗﺎل اﻟﻌﺴﻘﻼﻧﻲ ﻣﻮﺿﻮع واﻟﺤﺴﻦ ﻣﺎ ﻟﻘﻲ ﺣﺬﻳﻔﺔ )اﻟﻤﺼﻨﻮع‬

Berkata Ali Qari, berkata Ibnu Hajar Al-Asqalaany, “(Hadist ini adalah) maudhu’ (palsu)
dan Hasan tidak pernah berjumpa Huzaifah.”

Berkata Imam Al Barbahaari, “Ilmu yang disebut orang-orang ilmu batin tidak pernah
ditemui dalam Alquran dan tidak pula dalam sunnah. Maka ia adalah bid’ah dan sesat.
Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengamalkannya dan tidak pula
mengajarkannya[1].”

Berkata Syeikh Islam, “Sesungguhnya hakikat ilmu batin yang mereka banggakan adalah
penolakkan terhadap risalah yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad shallallahu
‘alahi wa sallam. Bahkan penolakkan terhadap seluruh para rasul. Mereka tidak
mempercayai apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dari Allah, baik
berbentu berita maupun perintah[2].”

Berkata lagi Syeikh Islam, “Para tokoh sufi sepakat bahwa orang yang mengaku
mengetahui ilmu batin dari hakikat yang bertentangan dengan ilmu zahir dari syariat
maka ia adalah Zindiq[3].

Menurut mereka ilmu batin dan ilmu zahir perumpamaannya bagaikan lempengan
emas dan lempengan perak. Ilmu batinn adalah lempengan emas sedangkan ilmu zahir
adalah lempengan perak. Mereka mengatakan bahwa ilmu yang diterima Rasul
shallallahu ‘alahi wa sallam dengan melalui perantara malaikat Jibril adalah lempengan
perak. Sedangkan ilmu batin mereka langsung terima dari Allah adalah lempengan
emas.

Berkata Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
menurut mereka dari lepeng perak. Karena menurut mereka ada dua lepengan; satu
dari emas dan satu lagi dari perak. Mereka menganggap lempengan nabi Muhammad
shallallahu ‘alahi wa sallam adalah ilmu zahir. Dan lempengannya adalah emas yaitu ilmu
batin. Dan lempeng perak adalah ilmu zahir. Mereka mendapatkannya tanpa ada
perantara. Berkta Ibnu Arabi dalam kitab Fusus-nya, ”Bahwa tingkat kewalian lebih tinggi
dari tingkat kenabian. Karena wali mengambil tanpa ada perantara sedangkan nabi
melalui perantara (malaikat Jibril). Maka ia menganggap lebih memiliki keutamaan diatas
2/7
nabi, bahkan ia tidak suka jika memiliki kedudukan yang sama. Ringkasnya ia tidak mau
mengikuti nabi sedikitpun. Karena ia menurut pengakuannya menengambil langsung
dari Allah…maka ia mengaku lebih sempurna dari Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam[4].”

“Barangsiapa yang menganggap bahwa diantara para wali yang telah sampai kepada
mereka risalah nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam memiliki jalan tersendiri
kepada Allah dan ia tidak butuh kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam
maka orang ini adalah kafir. Apabila ia berkata: saya butuh kepada nabi Muhammad
shallallahu ‘alahi wa sallam hanya dalam hal ilmu zuhir saja tidak dalam ilmu batin, atau
dalam hal ilmu syariat saja tidak dalam ilmu hakikat maka ia lebih jelek dari pada Yahudi
dan Nasrani. Kerena mereka (Yahudi dan nasrani) mengatakan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alahi wa sallam hanya diutus kepada orang Arab saja tidak kepada orang-
orang Ahli kitab. Maka sesungguhnya mereka beriman dengan sebahagian dan kafir
dengan bahagian yang lain maka mereka menjadi kafir karena hal itu. Demikian pula
orang yang mengatakan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya
diutus membawa ilmu zahir saja tidak diutus dengan ilmu batin. Ia beriman dengan
sebahagian yang dibwanya dan kafir dengan bahagian yang lain, maka ia menjadi kafir
(dengan hal itu) [5].”

“Bila ada orang yang menganggap bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam
hanya mengetahui urusan-urusan yang zahir saja tanpa mengetahui hakikat keimanan.
Dan ia mengaku mengambil ilmu hakikat diluar Alquran dan sunnah. Maka
sesungguhnya orang tersebut telah mengaku beriman dengan sebahagian yang dibawa
Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak beriman dengan bahagian yang lain. Ini lebih
jelek dari orang yang berkata: aku beriman dengan dengan sebahagian dan aku kafir
dengan bahgian yang lain. Karena ia menilai bahagian yang ia beriman dengannya
adalah bahagian yang rendah kwalitasnya (menurut dia) [6].”

Kenapa ia lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani kerena ia manganggap bahagian yang ia
beriman dengannya (ilmu syariat) yang dibawa Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam nilainya
minus dibanding ilmu batin yang mereka milki sendiri tanpa harus melalui Rasul
shallallahu ‘alahi wa sallam dan malaikat Jibril.

Dengan mengaku mengetahui ilmu batin sebahagian sufi mengaku memilki syariat
sendiri, bahkan yang lebih sesat lagi terbebas dari segala perintah dan larangan agama.
Apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sang kiyai mereka yang mengaku mengetahui
ilmu batin tidak boleh dibantah, bahkan ditanya sekalipun. Bila sang kiyai minum khmar
maka dengan ilmu batin ia dapat berubah menjadi air putih. Bahkan ada yang lebih
patal dari itu semua, yang kita malu untuk mengungkapkannya disini.

Ilmu Ladunni

Kadangkala mereka sebut ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu ladunny.

3/7
Berkata Ibnul Qayyim, “Yang dimaksud oleh mereka dengan ilmu ladunni ialah ilmu yang
diperoleh seseorang dengan tidak melalui sebab (belajar) tetapi dengan melalui ilham
dari Allah. Berupa pemberitahuan dari Allah bagi seseorang sebagaimana nabi Khaidir
‘alaihi wasalam tanpa melalui nabi Musa shallallahu ‘alahi wa sallam. Sebagaimana
firman Allah,

ً ْ ‫ﻋﻠ‬
{65/‫ﻤﺎ{ ]اﻟﻜﻬﻒ‬ ِ ‫ﻦ ﻟ َﺪ ُﻧﺎ‬
ْ ‫ﻣ‬
ِ ُ ‫ﻤﻨ َﺎه‬
ْ ‫ﻋﻨ ْﺪ ِﻧ َﺎ وَﻋ َﻠ‬
ِ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﺔ‬
ً ‫ﻤ‬ ْ ‫] آ َﺗ َﻴ ْﻨ َﺎه ُ َر‬
َ ‫ﺣ‬

Maka Allah membedakan antara rahmat dan ilmu, Allah menjadikan keduanya dari sisi-
Nya. Ketika ia peroleh keduanya tanpa melalui perantara manusia. Akan tetapi khusus
dan lebih dekat dari sisi-Nya.

Karena itu Allah berfirman,

ِ َ ‫ﺳﻠ ْﻄ َﺎﻧ ًﺎ ﻧ‬
{80/‫ﺼﻴًﺮا{ ]اﻹﺳﺮاء‬ َ ْ ‫ﻦ ﻟ َﺪ ُﻧ‬
ُ ‫ﻚ‬ ْ ‫ﻣ‬ ْ َ ‫ﺟﻌ‬
ِ ‫ﻞ ﻟ ِﻲ‬ ْ ‫ق وَا‬
ٍ ْ ‫ﺻﺪ‬
ِ ‫ج‬
َ ‫ﺨَﺮ‬
ْ ‫ﻣ‬
ُ ‫ﺟﻨ ِﻲ‬ ْ َ ‫ق وَأ‬
ْ ِ ‫ﺧﺮ‬ ٍ ْ ‫ﺻﺪ‬ َ ‫ﺧ‬
ِ ‫ﻞ‬ َ ْ ‫ﻣﺪ‬ ِ ْ ‫ﻞ َرب أ َد‬
ُ ‫ﺧﻠ ْﻨ ِﻲ‬ ْ ُ‫]وَﻗ‬

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah
(pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan
yang menolong.’”

Maka kekuasaan yang menolong yang datang dari sisi Allah secara khusus dan lebih
dekat. Karena itu Allah katakan: “berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang
menolong” yaitu pertolongan yang diperkuat dengannya. Pertolongan yang datang dari
sisi Allah dan juga pertolongannya melalui orang-orang beriman.

Sebagaimana firman Allah,

{ 62/‫ﻦ{ ]اﻷﻧﻔﺎل‬ ُ ْ ‫ﺼﺮِهِ وَﺑ ِﺎﻟ‬


ِ ْ ‫ﻤﺆ‬
َ ‫ﻣﻨ ِﻴ‬ َ َ ‫]ﻫُﻮَ اﻟﺬ ِي أ َﻳﺪ‬
ْ َ ‫ك ﺑ ِﻨ‬

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.”

Ilmu ladunni adalah buah dari kesungguhan dalam beribadah dan mengikuti Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam, jujur bersama Allah dan ikhlas kepada-Nya. Juga bersungguh-
sungguh dalam menuntut ilmu yang datang dari Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. Serta
kesempurnaan ketundukkan kepada beliau sehingga dibukakkan untuknya memahami
Alquran dan sunnah yang diberikan secara khusus kepadanya.

Sebagaimana perkataan Ali bin Abu Thalib tatkala ia ditanya, “Apakah Rasul shallallahu
‘alahi wa sallam mengkhususkan engkau dengan sesuatu dari manusia lain?
Jawabnya,”Tidak! Demi Zat yang membolak-balikkan bijian dan yang menyembuhkan
jiwa. Kecuali pemahaman yang yang diberikan Allah kepada seseorang tentang kitab
suci-Nya.”

Inilah ilmu ladunni yang hakiki, adapun ilmu orang yang menyimpang dari Alquran dan
sunnah serta tidak terkait dengan keduanya maka itu adalah ilmu ladunni yang datang
dari bisikan nafsu sesat dan dari setan. Maka ia ilmu ladinni tetapi dari mana? Hanya bisa
diketahui ilmu ladunni dari Allah adalah dengan mencocokkannya dengan apa yang
dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dari Rabb-nya.
4/7
Maka ilmu ladunni ada dua macam; ladunni dari Allah dan ladunni dari setan. Yang
menjadi pembeda antara keduanya adalah wahyu dan tidak ada lagi wahyu setelah
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

Adapun menjadikan kisah nabi Musa dan nabi Khaidir sebagai pegangan dalam bolehnya
meninggalkan wahyu dan memilih ilmu ladunni. Ini adalah kekafiran yang mengeluarkan
sesorang dari Islam serta boleh untuk dibunuh.

Perbedaanya; nabi Musa ‘alaihi wa sallam tidak diutus kepada nabi Khaidhir ‘alaihi wa
sallam, dan nabi Khaidhir ‘alaihi wa sallam tidak diperintahkan untuk mengikuti nabi
Musa ‘alaihi wa sallam. Jika ia diperintah untuk mengikutinya tentulah wajib baginya
untuk hijrah kepada nabi Musa ‘alahi wa sallam dan ia akan bersamanya. Karena itu ia
berkata kepada nabi Musa ‘alaihi wa sallam, “Engkau Musa nabi Bani israil?” Jawab nabi
Musa, ”ya.”

Sedangkan nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam diutus kepada seluruh makhluk.
Maka kerasulannya adalah umum untuk jin dan manusia dalam setiap masa. Jika
seandainya nabi Musa ‘alaihi wa sallam dan nabi Isa ‘alaihi wa sallam hidup maka
keduanya akan menjadi pengikutnya. Apabila nabi Isa shallallahu ‘alahi wa sallam turun
(nanti di akhir zaman) maka sesungguhnya dia akan menjalankan hukum syariat nabi
Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Barangsiapa yang mengaku bahwa
perumpamaan dia dengan nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah bagaikan
nabi khaidhir dengan nabi Musa, atau ia membolehkan hal itu bagi seseorang dari
golongan umat ini. Maka hendaklah ia mengulang keIslamannya dan mengulang
bersyahadat dengan syahadat yang benar. Sesungguhnya keyakinan seperti itu
membuatnya meninggalkan agama Islam secara total. Apalagi untuk dianggap sebagai
wali Allah yang khusus. Sesungguhnya ia adalah diantara wali-wali setan, penolongnya
dan penggantinya. Ini adalah garis pembeda antara orang-orang zindiq dan orang yang
benar-benar istiqomah dari kalangan mereka[7].”

Dalam ungkapan Ibnul Qayyim di atas di jelaskan bahwa ilmu ladunni yang dari Allah
adalah pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang ketika ia belajar ilmu syariat
yang dituntut kepeda para ulama yang diiringi dengan keikhlasan dan ketaatan kepada
Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukan ilmu yang didapat melalui mimpi
dan semedi, apalagi ilmu tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Alquran dan
sunnah. Segala ilmu yang bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam maka itu adalah ilmu ladunni yang datang dari setan.

Pada tempat lain Ibnu Qayyim berkata pula, “Ilmu ladunni yang datang dari Allah buah
dari ketundukan dan rasa cinta yang melahirkan keinginan untuk melasnakan amalan-
amalan mandub stelah melaksanakan amalan-amalan wajib. Ilmu ladunni yang datang
dari setan adalah buah dari berpaling dari wahyu (ilmu syariat) serta bisikan nafsu sesat
dan setan[8].”

5/7
“Adapun yang diperoleh tanpa melaui seabab mencari dalil maka itu tidak benar. Karena
Allah mennggantungkan mengenal ilmu dengan sebab-sebabnya sebagaimana Allah
kaitkan kejadian Alam dengan dengan sebab-sebab pula. Seorang manusia tidak akan
mungkin memperoleh ilmu kecuali ada dalil menunjukkannya kepada ilmu tesebut. Allah
telah menyokong para rasul-Nya dengan berbagai macam dalil dan keterangan. Sebagai
dalil yang menunjukkan mereka bahwa ilmu yang datang kepada mereka adalah dari sisi
Allah. Dan dalil-dalil tersebut pula yang menunjukkan akan hal itu kepada umat mereka.
Mereka memiliki dalil dan keterangan yang amat jelas bahwa yang ilmu yang datang
kepada mereka adalah dari Allah.

Maka setiap ilmu yang tidak berdasarkan kepada dalil bagaikan pengakuan yang tidak
memiliki bukti dan hukum yang tidak ada fakta. Jika demikian halnya maka ia tidak bisa
dianggap ilmu apalagi dianggap sebagai ilmu ladunni.

Ilmu ladunni adalah ilmu yang dibuktikan dengan dalil yang shahih bahwa ia datang dari
sisi Allah melalui para rasul-Nya. Apa yang diluar itu maka itu adalah ilmu ladunni yang
datang dari diri manusia itu sendiri, darinya datang kepadanya kembali.

Telah banjir ilmu ladunni, amat murah harganya sehingga setiap golongan mengaku
mendapat ilmu ladunni. Sehingga setiap orang berbicara tentang hakikat iman, suluk
(budi pekerti), serta nama dan sifat-sifat Allah berbicara menurut apa yang terlintas
dalam pikiran yang dilontarkan setan kedalam hatinya. Ia mengira ilmunya adalah ilmu
ladunni.

Maka orang malaahidah dan zindik pum ikut mengaku bahwa ilmu mereka ilmu ladunni.
Yang menjadi persolan ilmu ladunni siapa dan dari mana ilmu ladunninya tersebut.

Allah telah mencela dengan celaan yang tajam barangsiapa menisbakan kepada Allah
sesuatu yang bukan dari-Nya. Sebagaimana firman Allah,

{78/‫ن{ ]آل ﻋﻤﺮان‬ ُ َ ‫ﻢ ﻳ َﻌْﻠ‬


َ ‫ﻤﻮ‬ َ ِ ‫ن ﻋ َﻠ َﻰ اﻟﻠﻪِ اﻟ ْﻜ َﺬ‬
ْ ُ‫ب وَﻫ‬ َ ‫ﻋﻨ ْﺪ ِ اﻟﻠﻪِ وَﻳ َُﻘﻮﻟ ُﻮ‬
ِ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻣ‬
ِ َ‫ﻣﺎ ﻫُﻮ‬
َ َ‫ﻋﻨ ْﺪ ِ اﻟﻠﻪِ و‬
ِ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻣ‬ َ ‫]وَﻳ َُﻘﻮﻟ ُﻮ‬
ِ َ‫ن ﻫُﻮ‬

“Mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi
Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.”

Dan firman Allah,

َ
{79/‫ﻋﻨ ْﺪ ِ اﻟﻠﻪِ{ ]اﻟﺒﻘﺮة‬
ِ ‫ﻦ‬ َ ‫ﻢ ﺛ ُﻢ ﻳ َُﻘﻮﻟ ُﻮ‬
ِ ‫ن ﻫَﺬ َا‬
ْ ‫ﻣ‬ َ ‫ن اﻟ ْﻜ ِﺘ َﺎ‬
ْ ِ‫ب ﺑ ِﺄﻳ ْﺪ ِﻳﻬ‬ َ ‫ﻦ ﻳ َﻜ ْﺘ ُﺒ ُﻮ‬ ٌ ْ ‫]ﻓَﻮَﻳ‬
َ ‫ﻞ ﻟ ِﻠﺬ ِﻳ‬

“Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri,
lalu dikatakannya; “Ini dari Allah.”

Juga firman Allah,

{93/‫ﻲٌء{ ]اﻷﻧﻌﺎم‬ َ ِ‫ح إ ِﻟ َﻴ ْﻪ‬


ْ ‫ﺷ‬ ْ َ ‫ﻲ إ ِﻟ َﻲ وَﻟ‬
َ ‫ﻢ ﻳ ُﻮ‬ ِ ‫ل أ ُو‬
َ ‫ﺣ‬ َ ‫ﻦ اﻓْﺘ ََﺮى ﻋ َﻠ َﻰ اﻟﻠﻪِ ﻛ َﺬ ِﺑ ًﺎ أ َوْ ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻣﻤ‬
ِ ‫ﻢ‬
َ ‫] وﻣ‬
ُ َ ‫ﻦ أﻇ ْﻠ‬
ْ َ َ

6/7
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah
atau yang berkata, ‘Telah diwahyukan kepada saya’, padahal tidak ada diwahyukan
sesuatupun kepadanya.’”

Barangsiapa yang berkata, “Ilmu ini dari Allah sedangkan ia bohong dalam penisbahan
tersebut. Maka baginya bagian yang cukup dari celaan yang yang terdapat dalam ayat-
ayat tersebut. Hal ini banyak terdapat dalam Alquran, Allah mencela orang yang
menyadarkan sesuatu kepada-Nya tanpa ilmu. dan orang yang berbicara tetang sesuatu
atas nama Allah tanpa ilmu. Karena itu Allah membagi hal yang diharamkan kepada
empat tingkat. Dan Allah menjadikan tingkatan tertinggi berkata atas nama Allah tanpa
ilmu. Allah menjadikannya tingkatan tertinggi dari hal-hal yang diharamkan. Hal itu
diharamkan dalam segala kondisi, bahkan diharamkan dalam seluruh agama dan diatas
lisan segala rasul. Orang yang mengatakan: “Ini adalah ilmu ladunni terhadap sesuatu
yang tidak bisa ia pastikan dari Allah serta tidak ada pula keterangan dari Allah bahwa
ilmu itu dari-Nya. Orang tersebut adalah pendusta alias pembohong diatas nama Allah,
ia adalah orang yang paling zalim dan paling dusta[9].”

Demikianlah bahasan kita kali ini, semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang
senantiasa berpegang teguh dengan ilmu-ilmu yang beliau warisan kepada umatnya.
Juga menunjuki sesiapa yang tersesat dikalangan umat ini kepada jalan yang benar.
Wallahu A’lam.

‫ﺳ ﺒ ﺤ ﺎ ﻧ ﻚ ا ﻟ ﻠ ﻬ ﻢ و ﺑ ﺤ ﻤ ﺪ ك أ ﺷ ﻬ ﺪ أ ن ﻻ إ ﻟ ﻪ إ ﻻ أ ﻧ ﺖ وأ ﺳ ﺘ ﻐ ﻔ ﺮ ك وأ ﺗ ﻮ ب إ ﻟ ﻴ ﻚ‬

Penulis: Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.


Artikel www.dzikra.com

[1] Lihat, Syarhus Sunnah, 50.


[2] Lihat, Majmu’ Fatawa, 35/140.

[3] Lihat, Bayan Talbis Jahmiyah, 1/238.

[4] Lihat Majmu’ Fatawa, 4/172.

[5] Lihat Majmu’ Fatawa, 11/225.

[6] Lihat Majmu’ Fatawa, 11/226.

[7] Lihat Madariju As Salikiin, 2/475-476.

[8] Lihat Madariju As Salikiin, 2/477.

[9] Lihat Madariju As Salikiin, 3/433-434.

7/7
Sekilas Tentang Ajaran Sufi yang Diadopsi dari Luar Islam
dzikra.com/789-sekilas-tentang-ajaran-sufi-yang-diadopsi-dari-luar-islam.html

Dzikra November 6,
2013

1. Pengertian Sufi

Menurut pengakuan dari banyak peneliti baik dari


kalangan Sufi maupun non Sufi, sepakat berpendapat
bahwa kata Sufi belum ada kata sepakat tentang asal
kata dari kalimat tersebut. Bahkan sebahagian tokoh-
tokoh Sufi ada yang berpendapat bahwa definisi tasauf
hampir mendekati 2000 pendapat([1]). Penyebab utama
dari banyaknya perbedaan tentang hakikat Sufi kembali
kepada sekte dan fase-fase yang terdapat dalam
pemikiran Sufi itu sendiri.

Definisi yang lebih dekat dan populer adalah bahwa asal


kata Sufi dinisbakan kepada pakaian yang sering dipakai
oleh orang-orang Sufi pada awal kemunculan mereka di
kota Bashrah([2]).

Kebiasaan orang-orang Sufi dahulu adalah memakai


baju yang terbuat dari bulu domba yang tebal yang
belum dihaluskan. Bulu domba dalam bahasa Arab
disebut ( ‫)ﺻﻮف‬, maka dari kalimat ini lahir istilah (‫)ﺻﻮﻓﻲ‬
atau (‫)ﺻﻮﻓﻴﺔ‬.

Sebagaian orang-orang Sufi berpendapat bahwa


penamaan Sufi diambil dari istilah Ahlu Suffah, akan
tetapi hal tersebut jauh dari segi bahasa dan fakta
kehidupan Ahli Suffah. Para Ahli Suffah tidak pernah
berkeyakinan dan beribadah ala orang-orang Sufi.

Para Ahli Suffah tinggal di masjid sementara waktu saja,


sampai mereka memiliki tempat tinggal. Mereka juga
orang-orang yang suka berekerja keras dan mencintai
ilmu. Berbeda dengan orang Sufi yang berdiam diri di masjid karena malas bekerja dan
berdalil itu sebagai bentuk tawakal. Pada hal tawakal bukan lah meninggal berusaha,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan para
sahabat Radhiallahu ‘anhum. Kemudian penggunaan istilah Sufi untuk orang-orang yang
zuhud atau ahli ibadah tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa
Sallam maupun dikalangan para sahabat Radhiallahu ‘anhum.

2. Sejarah Awal Munculnya Sufi


1/16
Sebagaimana banyak perbedaan pendapat tentang makna Sufi demikian pula halnya
tentang waktu kapan awal mula munculnya Sufi([3]).

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Sufi pertma sekali muncul di Bashrah
dan yang pertama sekali memiliki pedepokan Sufi adalah teman-teman dari Abdul
Waahid bin Zaid. Waktu itu di Bashrah muncul suatu komunitas yang berlebih-lebihan
dalam masalah zuhud, ibadah, takut pada Allah dan semisalnya([4]).

Diantara ulama ada yang menyebutkan tentang sebab yang mendukung lahirnya Sufi di
Bashrah adalah dikarenakan wilayah Bashrah sangat berdekatan dengan wilayah
kebudayaan Persi dan kebudayaan Yunani. Jika kita teliti tentang ajaran Sufi maka
prediksi ini tidak jauh dari kebenaran, karena kebanyakan kemiripan ajaran Sufi dengan
ajaran kedua kebudayaan tersebut.

Orang yang pertama sekali dikenal dengan sebutan Sufi adalah Abu Hasyim As Sufi
meninggal pada tahun 150H. Kemudian secara berangsur-angsur Sufi mulai berkembang
keberbagai daerah-darah Islam pada sekita akhir abad ke tiga hijriyah.

3. Beberapa Ajaran Sufi Yang Diadopsi dari Luar Islam

Sufi memiliki banyak sekte, kemudian setiap sekte-sekte tersebut memilki tahapan atau
tingkatan dalam ajaran mereka. Oleh sebab itu perlu dimengerti jika ada sebahagian Sufi
merasa keberatan bila disebut ajaran mereka bersumber dari luar Islam. Akan tetapi bila
mereka telah sampai pada tahapan atau tingkat senior (tingkat hakikat) dalam ajaran
Sufi, mereka akan terjebak dengan ajaran-ajaran tersebut. Topik bahasan kita dalam
tulisan ini adalah pada tingkat senior dari kalangan Sufi. Atau Sufi yang eksrim dalam
melakukan berbagai macam bentuk bid’ah dalam agama, baik yang berhubungan
dengan keyakinan maupun ibadah dan akhlak. Setelah kita teliti ternyata kebanyakan
dari ajaran tersebut teradopsi dari ajaran luar Islam, diantara mereka ada yang
menyadarinya dan kebanyakan dari mereka belum mengetahuinya.

Berikut ini kita sebutkan beberapa ajaran di luar Islam yang teradopsi kedalam ajaran
Sufi:

1. Ajaran Yahudi

Ada beberapa ajaran Sufi yang di adopsi dari ajaran Yahudi dianataranya dalam metode
dan gaya berzikir yang dilagukan serta diiringi oleh berbagai alat musik. Seperti rebana,
gambus, kecapi, guitar, seruling, gendang. dll. Sebagaimana yang dianjurkan dalam kitab
“Perjanjian Lama” milik kaum Yahudi: “Biarkan orang-orang zionis bergembira dengan
kekuasan mereka. Hendaklah mereka memuji-Nya dengan bergoyang dan
memukul rebana…Haliluyaa…pujilah Tuhan dalam kesuciannya. Pujilah Dia
dengan gambus dan kecapi. Pujilah Dia dengan memukul rebana dan bergoyang.
Pujilah Dia dengan gitar dan seruling. Pujilah Dia dengan berbagai warna sorak-
sorai“([5]).

2/16
Disebutkan pula diantara sebab muasal penamaan pengikut nabi Musa dari orang-orang
Bani Israil dinamakan Yahudi adalah karena kebiasaan mereka ketika membaca Taurat
mengangguk-anggukkan kepala. Hal ini dapat kita saksikan sendiri bagaimana orang-
orang Yahudi ketika beribadah di depan Dinding Ratapan (tempat ibadah mereka) yang
terdapat di masjid Aqsha.

Berkata Imam Abu Bakar Tharthuusy: “Bergoyang dalam berzikir dan berusaha agar
pingsan, yang pertama sekali melakukannya adalah pengikut Samiri ketika
mengajak mereka untuk menyembah ‘Ijil (anak sapi). Mereka bergoyang-goyang
disekelilingnya dan pura-pura pingsan. Maka ia adalah agama para penyembah
‘Ijil barangsiapa yang menyerupai mereka berarti mereka termasuk golongan
mereka”([6]).

Apa yang disebutkan oleh Imam Abu Bakar Thorthusy benar-benar di kisahkan dalam
kitab suci orang Yahudi pada lembaran Khuruj ayat 32([7]).

Dalam ajaran sufi ada berbagai acara yang mereka anggap ibadah pelaksanaannya
persis sama dengan cara beribadahnya orang-orang Yahudi yang kita debutkan diatas.
Ada acara yang disebut dengan zikir jama’i, dubaan, rajaban, manaqiban, salawatan dan
maulidan. Dalam acara-cara tersebut akan kita dapati alat-alat pujian yang digunakan
orang-orang Yahudi dalam ibadah mereka. Seperti gambus, rebana, kadang-kadang
dilengkapi dengan guitar dan seruling sambil berteriak-teriak dalam mengucapkan
kalimat-kalimat pujian kepada Allah dan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Kemudian hampir semua para Sufi kita dapatkan ketika saat berzikir kepalanya digoyang
kekanan dan kekiri. Bahkan ada yang benar-benar bergoyang sambil berdiri seperti
dalam acara-acara sepesial mereka. Perbuatan tersebut mereka anggap sebagai ibadah
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Acara-acara tersebut biasanya dilaksanakan malam hari dimulai dari jam 21.00 atau jam
22.00 sampai larut malam. Sebelum acara dimulai biasanya semenjak sore sudah
diputar melaui alat pengeras suara kaset nyanyi-nyanyian mulai dari qosidah, pop dan
dangdut, bahkan kadang-kala jaipongan. Pelaksanaannya kadang-kadang di masjid atau
di rumah salah seorang jam’ah Sufi. Mereka tidak perduli dengan orang-orang sekitar
yang mau istirahat malam atau mungkin ada yang sakit. Kadang-kadang musik diputar
saat orang-orang sedang melaksanakan sholat Maghrib dan Isa. Apa yang penulis
sebutkan disini bukanlah mengada-ngada, akan tetapi sesuatu yang penulis saksikan
dengan dua mata kepala, dan terdengar dengan dua telinga. Sebagai saksi dari apa yang
penulis sebutkan disini adalah para mahasiswa kami yang selalu terganggu untuk
belajar dan menulis tugas-tugas mereka.

Ajaran tasuf seperti yang kita sebutkan diatas tidak hanya terdapat di masa sekarang
saja akan tetapi sudah berjalan lama ditengah-tengah umat ini. Salah seorang ulama
telah mengupas permasalahan ini dalam sebuah karyanya dan menjelaskan tentang
berbagai sisi kemungkaran dan kebatilan yang terdapat dalam ajaran Sufi tersebut. Dan
Alhamdulillah penulis sendiri yang meneliti manuskrip kitab tersebut. Judul kitab
tersebut adalah “Annahyu ‘Anirraqshi was Samaa'” karya Al Imam Al Hafizh Abu Muhammad
3/16
Ad Dasyty wafat tahun 665H. Kitab tersebut dicetak dalam dua jilid oleh percetakan
Wakaf Salam Riyadh-Saudi Arabia. Kalau kita ambil dari tahun kehidupan Imam Ad
Dasyty berarti ajaran Sufi seperti yang kita sebutkan di atas sudah berjalan sejak sekitar
delapan abad yang lalu. Akan tetapi bila kita membaca kitab Imam Ad Dasyty tersebut
justru para ulama sebelumnya sudah banyak mengingkarti perbuatan tersebut. Bahkan
sudah ada pada masa Imam Syafi’i, karena Imam Ad Dasyty dalam kitabnya tersebut
menyebutkan kecaman Imam Syafi’i dan ulama-ulama lain terhadap komunitas Sufi yang
ada pada masa mereka. Kala itu komunitas Sufi hanya melakukan dzikir atau membaca
syair-syair zuhud dengan suara-suara yang sendukan. Imam Syafi’i menyebut mereka
sebagai orang Zindiq. Bagaimana jika seandainya Imam Syafi’i dan para ulama tersebut
menyasikan acara-acara komunitas Sufi yang kita sekarang ini?

Ketika Imam Syafi’i menyebut tentang hukum Taghbiir: “Itu adalah rekayasa orang-orang
Zindiq untuk melalaikan manusia dari Al Qur’an”([8]).

Dalam salah satu ungkapan, beliau berkata: “Aku meninggal sesuatu di Baghdad yang
disebut dengan Taghbiir. Hasil rekayasa orang-orang Zindiq. Agar mereka bisa
menjauhkan manusia dari Al Qur’an”([9]).

Ibnu Khaldun menjelaskan dalam kitabnya “Al Muqaddimah“([10]): “Taghbiir adalah


berdendang, jika dengan syair-syair disebut nyanyi, dan apabila dengan tahlilan disebut
Taghbiir”.

Demikian pula Imam Azhary menjelaskan dalam kitabnya “Tahdzibullughah“([11]):


“Mereka bila mendengar zikir dan do’a yang dilagukan mereka itu bergoyang, maka dari
sini mereka dinamakan kaum Mughabbirah“.

Dalam masyarakat Sufi mendengar lantunan syair-syair yang diiringi dengan gendang
dan rebana serta alat musik lainnya lebih meresab dalam hati mereka dari pada
mendengarkan Al Qur’an. Dan yang lebih mengherankan adalah biasanya acara-acara
tersebut lebih ramai dari pada sholat jam’ah di masjid. Jadi mereka kalau berzikir,
slawatan ,dubaan dan rajaban berjama’ah akan tetapi sholatnya sendiri-sendiri, bahkan
banyak diantara mereka yang malaikan sholat. Apalagi kalau acara-acara tersebut
pelaksanaannya sampai larut malam maka saat waktu sholat subuh masuk mereka
ngatuk dan tidur nyenyak, lalu sholat subuhnya lewat. Na’uzubillah min dzalik.

Berikut kita sebutkan pekataan para ulama tentang Tahgbiir:

Berkata Yazid bin Harun: “Tahgbiir adalah bid’ah dholalah, tiada yang melakukannya
kecuali orang fasiq”([12]).

Berkata salah seorang dari ulama Syafi’iyah Abu Thoyib Ath Thobari: “Sesungguhnya apa
yang diyakini oleh kelompok ini (Sufi) adalah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) kaum
muslimin. Karena tidak ada diantara mereka yang menjadikan hal itu sebagai agama dan
keta’atan. Menurut pandanganku hal tidak boleh dilakukan di masjid-masjid dan dijami’-
jami’, karena tempat-temapt tersebut adalah tempat yang dimuliakan dan dihormati.
Perbuatan kelompok ini adalah meneylisihi ijma’ para ulama”([13]).
4/16
Berkata Imam Abu Bakar Tharthusyi: “Kelompok ini (Sufi) telah menyelisihi jama’ah kaum
muslimin. Karena menjadikan nyanyi-nyanyian sebagai agama dan keta’atan. Dan
mereka melakukannya di masjid-masjid dan tempat-tempat yang terhormat lainnya.
Tidak ada seorangpun dari kalanga umat ini yang berpendapat membolehkannya([14])“.

Kalau kita lihat ajaran Islam sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh
orang-orang Sufi tersebut. Berikut ini kita coba kemukan bebrapa dalil dari Al Qur’an dan
Sunnah serta perkataan para ulama mengenai metode dan gaya ibadah orang-orang sufi
yang tersebut di atas:

Firman Allah:

َ ِ ‫ﺼﻮْﺗ‬
[64/‫ﻚ{ ]اﻹﺳﺮاء‬ َ ِ‫ﻢ ﺑ‬
ْ ُ‫ﻣﻨ ْﻬ‬ َ ْ‫ﺳﺘ َﻄ َﻌ‬
ِ ‫ﺖ‬ ْ ‫ﻦا‬
ِ ‫ﻣ‬ ْ ‫}وَا‬
َ ‫ﺳﺘ َْﻔﺰِْز‬

“Dan pengaruhilah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu”

Ayat diatas adalah sanggahan Allah kepada Iblis yang enggan untuk sujud, lalu Iblis
meminta diberi tangguh sampai hari kiamat, maka Allah memeberi tangguh kepadanya
dan mempersilakan memperdaya anak Adam dengan berbagai cara, diantaranya adalah
dengan suaranya. Menurut Imam Mujahid salah seorang pakar tafsir dimasa Tabi’iin
mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan suaramu dalam ayat di atas ialah: “Nayanyi-
nyanyian dan seruling”([15]).

Dan fieman Allah”

[35/‫ﺔ{ ]اﻷﻧﻔﺎل‬ ْ َ ‫ﻣﻜ َﺎًء وَﺗ‬


ً َ ‫ﺼﺪ ِﻳ‬ ِ ْ ‫ﻋﻨ ْﺪ َ اﻟ ْﺒ َﻴ‬
ُ ‫ﺖ إ ِﻻ‬ ْ ُ‫ﺻَﻼﺗ ُﻬ‬
ِ ‫ﻢ‬ َ ‫ﻣﺎ ﻛ َﺎ‬
َ ‫ن‬ َ َ ‫}و‬

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan”.

Dalam ayat tersebut celaan bagi orang-orang musyrikin yang beribadah disekitar Ka’bah
dengan bertepuk tangan dan bersorak-sorai.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang duilakukan oleh komunitas Sufi ketika
mereka melakukan Dubaan atau yang semisalnya. Mereka bersorak sorai dan betepuk
tangan.

Dan firman Allah:

{‫ﻦ‬
ٌ ‫ﻣﻬِﻴ‬ ٌ ‫ﻢ ﻋ َﺬ َا‬
ُ ‫ب‬ َ ِ ‫ﺨﺬ َﻫَﺎ ﻫُُﺰوًا أ ُوﻟ َﺌ‬
ْ ُ‫ﻚ ﻟ َﻬ‬ ِ ‫ﻋﻠ ْﻢ ٍ وَﻳ َﺘ‬
ِ ِ‫ﻞ اﻟﻠﻪِ ﺑ ِﻐَﻴ ْﺮ‬
ِ ‫ﺳﺒ ِﻴ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ َ ‫ﻀﻞ ﻋ‬
ِ ُ ‫ﺚ ﻟ ِﻴ‬ َ ْ ‫ﺸﺘ َﺮِي ﻟ َﻬْﻮَ اﻟ‬
ِ ‫ﺤﺪ ِﻳ‬ ْ َ‫ﻦ ﻳ‬
ْ ‫ﻣ‬
َ ‫س‬
ِ ‫ﻦ اﻟﻨﺎ‬ ِ َ ‫}و‬
َ ‫ﻣ‬
[6/‫]ﻟﻘﻤﺎن‬

“Dan di antara manusia yang membeli membeli ucapan yang melalaikan untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu, dan menjadikankannya sebagai bahan olok-olokan.
Bagi mereka adalah azab yang menghinakan”.

Hampir seluruh Ahli Tafsir dari kalangan para Sahabat dan Tabi’iin mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan ( ‫ﺚ‬ َ ْ ‫ )ﻟ َﻬْﻮَ اﻟ‬ucapan yang melalaikan dalam ini adalah nyanyi-
ِ ‫ﺤﺪ ِﻳ‬
nyanyian([16]).
5/16
Dalam ayat di atas terdapat celaan dan ancaman bagi orang yang suka mendengakan
nyanyi-nyanyian. Dan apabila yang dinyanyikan itu bait-bait yang menyebut nama Allah
dan Rasul-Nya serta do’a dan zikir-zikir yang terdapat dalam Al Qur’an maka ini adalah
bahagian dari meperolok-olok nama Allah dan Rasulnya Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta
ayat-ayat-Nya!? Maka baginya di akhirat kelak adalah azab yang menghinakan.

Bersabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:

‫) )إ ﻧ ﻤ ﺎ ﻧ ﻬ ﻴ ﺖ ﻋ ﻦ ا ﻟ ﻨ ﻮ ح ﻋ ﻦ ﺻ ﻮ ﺗ ﻴ ﻦ أ ﺣ ﻤ ﻘ ﻴ ﻦ ﻓ ﺎ ﺟ ﺮ ﻳ ﻦ ﺻ ﻮ ت ﻋ ﻨ ﺪ ﻧ ﻐ ﻤ ﺔ ﻟ ﻬ ﻮ و ﻟ ﻌ ﺐ و ﻣ ﺰا ﻣ ﻴ ﺮ ﺷ ﻴ ﻄ ﺎ ن و ﺻ ﻮ ت ﻋ ﻨ ﺪ‬
((‫ﻣ ﺼﻴﺒ ﺔ ﺧ ﻤ ﺶ و ﺟ ﻮ ه و ﺷ ﻖ ﺟﻴ ﻮ ب و رﻧ ﺔ ﺷﻴ ﻄﺎ ن‬

“Sesungguhnya Aku dilarang dari dua suara; suara ketika memperoleh nikmat; bermain dan
senda gurau dan seruling setan. Dan suara ketika ditimpa musibah; memukul muka dan
merobek apakaian serta tangisan setan“([17]).

Berkata Ibnu Mas’ud: “Nyanyi itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati” ([18]).

Berkata Fudhail Ibnu ‘Iyaadh: “Nyanyi adalah mantera zina, bila mantera zina telah
berkumpul bersama pandangan dan sentuhan, maka sungguh telah sempurna sebab-
sebabnya” ([19]).

Imam Ahmad penah ditanya tentang Qoshidah (syair-syair zuhud yang dilagukan), beliau
menjawab: “Adalah Bid’ah, tidak boleh ikut duduk bersama mereka” ([20]).

Hujah sufi dalam membolehkan bergoyang saat berzikir

Diantara hujjah mereka dalam memboleh bergoyang-goyang ketika saat berzikir, merka
berhujjah dengan kisah yang disebutkan dalam sebuah hadits tentang orang Habasyah
yang melakukan permainan pedang di masjid Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam([21]).

Jawaban terhadap argumentasi orang Sufi tersebut adalah:

1. Bahwa permainan pedang yang dilakukan orang-orang Habasyah tersebut bukan


bergoyang-goyang akan tetapi dalam bentuk gerakan dalam perperangan. Seperti
maju dalam menyerang musuh sambil mengayunkan pedang atau mundur dari
serangan musuh sambil menangkis pedang lawan. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Imam Nawawy dalam kitab beliau “Syarah Shahih Muslim“([22]).
2. Orang-orang Habasyah melakukan hal itu sebagai sarana untuk latihan
ketangkasan dalam menghadapi musuh dalam perperangan, bukan sekedar main-
main belaka.
3. Kemudian tidak ada diantara mereka orang-orang Habasyah yang menganggap itu
sebagi ibadah dan melakukan gerakan-gerakan serupa ketika mereka berzikir.

Diantara oran-orang Sufi ada pula yang berhujjah dalam menhentak-hentakkan kaki
mereka saat bergoyang dengan kisah Nabi Ayub ‘Alaihis Salam ketika diperintahkan Allah
menhentakkah kakinya kebumi([23]).

Jawaban atas hujjan mereka tersebut adalah:


6/16
1. Bahwa Nabi Ayub ‘Alaihis Salam melakukan hal itu atas perintah Allah agar keluar
mata air dari bumi sebagai obat terhadap penyakit yang beliau derita. Apakah
orang-orang Sufi menemukan perintah dari Allah atau Rasulullah Sallallahu Alaihi
Wa Sallam dalam melakukan hal yang sama ketika berzikir. Apakah orang-orang
Sufi memiliki penyakit seperti Nabi Ayub ‘Alaihis Salam?
2. Nabi Ayub melakukan itu bukan dalam rangka berzikir pada Allah, atau
memandang hal tersebut sebagai sarana dalam beribadah kepada Allah. Karena
Nabi Ayub ‘Alaihis Salam tidak tidak pernah mengulangi melakukan hal tersebut
ketika beliau telah sembuh dari penyakit beliau. Apalagi melakukannya dalam
berzikir?
3. Kemudian kisah Nabi Ayub ‘Alaihis Salam telah diketahui oleh para sahabat
sebelum kita, namun tidak ada seorangpun dianatara mereka yang menggambil
pelajaran dari kisah tersebut dalam metode berzikir, atau mengajurkan hal serupa.
4. Ibnu ‘Uqail berkata: “Jika orang-orang Sufi berhujjan dengan kisah Nabi Ayub
‘Alaihis Salam dalam perbuatan mereka tersebut. Berarti kita juga boleh berhujjah
dengan kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam yang memukul batu dengan tongkat atas
bolehnya memukul muka orang Sufi dengan tongkat”([24]).
5. Berkata Imam Ghazaly: “Bergoyang dalam berzikir adalah kebodohan yang ada di
atas pundak seseorang, tidak mungkin ia tinggalkan kecuali dengan
kesusahan”([25]).

Di sini Imam Ghazaly berpendapat bahwa kebiasaan bergoyang dalam berzikir adalah
perbuatan orang yang bodoh dan sulit untuk ditinggal kecuali dengan kesusahan.
Kenapa orang Sufi kesusahan meninggalkan perbuatan tersebut? Karena mereka sudah
kecanduan dan menganggap hal tersebut sebagai sarana ibadah.

Hujah Sufi dalam membolehkan nyanyian

Diantara hujjah orang sufi dalam membolehkan bernyanyi dalam berzikir, mereka
berhujjah dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang dua anak kecil melagukan
syair-syair tentang perang Bu’ats pada hari lebaran di rumah ‘Aisyah radhiallhu ‘anha.
Tatkala Abu bakar Radhiallahu ‘anhu masuk, ia menegur kedua anak kecil tersebut. Lalu
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam berkata kepada Abu bakar: “Biarkanlah mereka
wahai Abu Bakar, karena setiap umat memiliki hari lebaran dan hari ini adalah hari lebaran
kita“([26]).

Orang-orang Sufi menjadikan hadits ini sebagai hujjah dalam membolehkan nyanyi
secara umum atau dalam berzikir secara khusus.

Jawaban para ulama terhadap kekeliruan pemahaman orang-orang Sufi dalam


memahami hadits tersebut:

7/16
1. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam hanya memberi pengecualian kepada anak-
anak kecil pada hari lebaran atau acara pernikahan saja. Adapun orang dewasa
tidak ada dalil yang membolehkannya, atau diluar waktu yang disebutkan. Dan
perbuatan itu sama sekali tidak dianggap sebagai sarana ibadah. Adapun orang-
orang sufi melakukannya pada setiap saat dan dianggap sebagai sarana ibadah
kepada Allah. Ditambah lagi yang melakukannya orang-orang yang sudah umuran
alias dewas. Dan tidak pernah seorangpun dari para sahabat maupun para ulama
yang melakukannya apalagi menganjurkannya.
2. Jika nyanyi tersebut dilakukan dalam sepanjang waktu berarti tidak ada artinya dari
pengecualian yang terdapat dalam hadits tersebut.
3. Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengingkari perbuatan dua anak kecil tersebut
karena ia mengetahui hal itu dilarang oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam
sekalipun anak kecil yang melakukannya, akan tetapi Rasulullah Sallallahu Alaihi
Wa Sallam menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan pada hari lebaran bagi anak kecil.
Hal ini membuktikan bahwa hal itu dilarang pada dasarnya.
4. Para ulama juga menjelaskan bahwa syair yang dibolehkan pada hari lebaran
khusus bagi anak kecil tersebut dengan syarat tidak mengadung unsur-unsur
negatif. Seperti mengandung nilai-nilai kesyirikan, celaan atau kata-kata yang
memancing hawa nafsu.
5. Kemudian syair-syair yang dilagukan anak-anak kecil tersebut tidak seperti lagu-
lagu yang ada di zaman sekarang yang diiringi dengan musik dan dengan suara
yang mengiurkan. Bahkan sebelumnya dilakukan latihan berkali-kali.
6. Dalam lafazh hadits tersebut menyebutkan bahwa kedua anak kecil bukanlah
penyanyi. Dijelaskan oleh para ulama maksudnya bahwa keduanya tidak memiliki
kebiasaan menyanyi. Kemudian alasan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam
membolehkannya karena hari itu adalah hari lebaran sebagai saat untuk
bergembira bagi anak-anak.
7. Jika orang-orang Sufi berhujjah dalam kebiasaan mereka dengan perbuatan anak
kecil yang terdapat dalam hadits tersebut. Berarti orang-orang Sufi suka
mencontoh dan menyerupai perbuatan anak-anak kecil.
8. Berkata Ibnu Hajar Asqolaany: “Sekelompok orang-orang Sufi berhujjah dengan
hadits ini dalam membolehkan nyanyi dan mendengarkannya baik dibantu alat
musik maupun tidak. Cukup untuk membantah paerkataan mereka dengan
ungkapan ‘Aisyah dalam hadits tersebut “Keduanya bukalah penyanyi“. Kemudia
Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Qurthuby: “Adapun bid’ah yang biasa
dilakukan orang-orang Sufi adalah hal yang tidak ada perselisihkan tentang
keharamannya…..Bahkan mereka sampai kepada puncak kebodohan sehingga
menjadikannya sebagai ibadah dan amal sholeh serta menganggap hal itu
membuahkan kebaikan. Ini adalah peninggalan orang-orang Zindiq” ([27]).

Kemudian orang-orang Sufi juga berhujjah dalam perbuatan mereka tersebut dengan
pengecualian yang dibolehkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam pada saat
walimah pernikahan ([28]).

8/16
Jawabannya adalah adanya pengecualian pada saat walimah pernikahan, hal itu
menunjukkan bahwa di luar acara walimahan adalah dilarang. Kalau tidak, tentu tidak
perlu dikecualikan kalau seandainya dibolehkan dalam setiap saat.

2. Ajaran Nasrani

Ada beberapa ajaran Sufi yang di adopsi dari ajaran Nasrani dianataranya, seperti
Tarbiyah Ruhiyah.

Dalam agama Nasrani tarbiyah ruhiyah dilakukan dengan beberapa bentuk. Mulai dari
menghindar dari segala kenikmatan dunia, seperti meninggalkan mengkosumsi sesuatu
yang enak dan lezat, memakai pakaian yang bagus, menjauhi pernikahan sampai pada
tinggkat bersemedi di gua-gua. Saat mereka menganggap telah mencapai punjak
kesucian jiwa mereka meyakini bahwa Zat Allah menyatu dengan diri mereka. Yang
mereka sebut dalam istilah mereka: manyatunya Lahuut dengan Nasuut.

Hal serupa juga ditiru oleh orang-orang Sufi dalam mentarbiah dirinya untuk mencapai
tingkat hakikat. Bila mereka telah sampai pada tingkat hakikat. Disini mereka akan dapat
mengetahui hal-hal yang ghaib sekalipun. Bahkan yang lebih eksrim lagi mereka
menganggab diri mereka telah bersatu dengan Tuhan. Ketika itu mereka meyakini tidak
perlu lagi menjalankan perintah-perintah agama. Menurut mereka perintah-perintah
agama adalah bagi orang yang belum sampai pada tingkat hakikat.

Kemudian juga dalam referensi orang-orang sufi sering menukil cerita-cerita tentang
rahib-rahib Nasrani.

Kesamaan lain adalah meninggalkan manikah dengan alasan agar lebih fokus beribadah
demi mendapatkan surga. Ajaran ini terdapat dalam Injil Matius fasal 19 ayat 12, yang
berbunyi: “Ada orang yang tidak kawain,… ia membuat dirinya demikian karena
kerajaan surga. Barangsiapa yang dapat melakukan maka hendaklah ia
melakukannya“.

Dalam surat Paulus kepada penduduk Karnitus fasal 7 ayat 1, berbnyi: “Sangat baik bagi
seorang lelaki untuk tidak menyentuh wanita“.

Berkata salah seorang tokoh Sufi Abu Sulaiman Ad Daaraany: “Tiga hal barangsiapa
yang mencarinya maka sesungguhnya ia telah condong pada dunia; mencari
kebutuhan hidup, menikahi wanita dan menulis hadits“.

Jika kita bandingkan apa yang diungkapkan oleh tokoh Sufi ini dengan apa yang terdapat
dalam ajaran Nasrani tidak jauh beda. Menurut orang Sufi menyiksa diri dengan tidak
makan dan minum serta tidak tidur adalah salah satu cara untuk menyucikan jiwa.
Bahkan bila ia sampai mengalami kondisi tidak sadarkan diri, ia akan dibuka baginya
hijab, lalu dari kondisi itu ia akan menerima ilham dan ilmu ladunni. Bahkan ada diantara
mereka yang meyakini akan menyatu dengan Tuhan.

9/16
Diantara ajaran Injil Matius fasal 10 ayat 9 dan 10, berbunyi: “ Janganlah kamu
membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah
kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua
helai, kasut atau tongkat“.

Demikian bunyi ayat-ayat Injil Matius tentang anjuran meninggal segala hal yang
dibutuhkan oleh seseorang mempertahankan hidup dalam perjanannya. Hal yang sama
akan kita dapatkan pula dari ungkapan-ungkapan tokoh Sufi sebagaimana yang sudah
sebutkan di atas.

Bagaimana pula aqidah Hulul dalam agama Nasrani? Mari kita simak apa yang terdapat
dalam Injil Matius pada fasla 10 ayat 20: “Karena bukan kamu yang berkata-kata,
melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu“.

Artinya Roh Tuhan menyusup kedalam diri seorang Rahib yang sudah layak untuk di
masuki oleh Roh tersebut. Setelah melalui proses penyucian jiwa dengan metode seperti
yang kita sebutkan sebelumnya. Demikian pula orang Sufi meyakini hal yang sama, bila
seorang wali telah sampai pada tingkat hakikat maka sebahagian sifat Tuhan akan
menyusup ke dalam dirinya. Menurut mereka dari situ seorang Sufi akan memiliki atau
mengalami hal-hal yang diluar kemampuan manusia yang mereka sebut sebagai
karomah. Jika kita membaca tentang biografi dan kisah orang-orang Sufi kita akan
mendapatkan cerita yang menggambarkan hal tersebut.

Bila hal di atas kita bandingkan dengan ajaran islam akan terlihat hal yang sangat betolak
belakang sekali.

Islam memrintahkan pemeluknya untuk beramal akan tetapi juga melarang mereka
untuk meupakan bagian mereka dari kenikmatan dunia. Hal yang dilarang Islam adalah
mendahulukan kesenangan dunia dan melalaikan kesenangan akhirat. Islam adalah
agama yang seimbang dalam segala hal; baik dalam ideologi maupun ibadah dan akhlak.

Berikut ini kita kemukakan beberapa dalil yang menjelaskan akan hal tersebut:

Firman Allah:

َ ْ ‫ﻪ إ ِﻟ َﻴ‬ َ َ ‫ﻚ ﻣﻦ اﻟﺪﻧﻴﺎ وأ َﺣﺴﻦ ﻛ‬ َ َ ‫ﻤﺎ آ َﺗ َﺎ‬


[77/‫ﻚ{ ]اﻟﻘﺼﺺ‬ ُ ‫ﻦ اﻟﻠ‬
َ ‫ﺴ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﻤﺎ أ‬
َ ْ ِ ْ َ َْ َ ِ َ َ ‫ﺼﻴﺒ‬ َ ْ ‫ﺧَﺮة َ وََﻻ ﺗ َﻨ‬
ِ َ‫ﺲ ﻧ‬ ِ ‫ﻪ اﻟﺪاَر اْﻵ‬
ُ ‫ك اﻟﻠ‬ َ ‫}وَاﺑ ْﺘ َِﻎ ﻓِﻴ‬

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu“.

Dalam ayat ini sangat jelas Allah menyuruh kita untuk mencari karunia-Nya baik yang
berhubungan dengan kebahagian akhirat maupun kenikmatan duniawi.

Dan firman Allah:

َ َ ‫}ﻳ َﺎ أ َﻳﻬﺎ اﻟﺬ ِﻳ‬


ِ ‫( وَﻛ ُﻠ ُﻮا‬87) ‫ﻦ‬
‫ﻣ ﻤﺎ‬ ُ ْ ‫ﺤ ﺐ اﻟ‬
َ ‫ﻤﻌْﺘ َﺪ ِﻳ‬ ِ ُ ‫ﻪ َﻻ ﻳ‬ َ ‫ﻢ وََﻻ ﺗ َﻌْﺘ َﺪ ُوا إ ِن اﻟﻠ‬
ْ ُ ‫ﻪ ﻟ َﻜ‬
ُ ‫ﺣ ﻞ اﻟﻠ‬
َ ‫ﻣﺎ أ‬ ِ ‫ﻣﻮا ﻃ َﻴﺒ َﺎ‬
َ ‫ت‬ َ ُ ‫ﻣﻨ ُﻮا َﻻ ﺗ‬
ُ ‫ﺤﺮ‬ َ ‫ﻦآ‬َ َ
[88 ،87/‫ﺣَﻼًﻻ ﻃ َﻴﺒ ًﺎ{ ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ َ ُ ‫ﻪ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﻟ‬ ‫ا‬ ‫ﻢ‬ُ ُ ‫ﻜ‬َ ‫ﻗ‬ ‫ز‬ ‫ر‬
َ َ
10/16
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik
dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu”.

Dalam ayat ini jelas-jelas melarang kita untuk melampaui batas yang telah ditentukan
Allah, seperti mengharamkan seseuatu yang dihalalkan Allah, melakukan ibadah yang
tidak pernah diperintahkan Allah.

Diriwayakan dalam sebuah hadits, ada tiga orang sahabat mendatangi sebahagian isteri
Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam untuk bertanya tentang bagaimana ibadah beliau jika
beliau berada di rumah beliau. Ketika mereka mendengar jawaban dari isteri Nabi
Sallallahu Alaihi Wa Sallam, mereka memandang bahwa ibadah mereka sangat sedikit
sekali bila dibanding dengan ibadah Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam yang sudah diampni
dosanya yang berlalu dan yang akan datang. Lalu mereka ingin bersungguh-sungguh
untuk beribadah. Diantara mereka ada yang ingin shalat malam tanpa tidur, yang lain
ingin berpuasa setiap hari tanpa berbuka seharipun, yang ketiga tidak mau menikah.
Saat berita itu sampai kepada Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau marah dan
menasehati mereka bertiga secara langsung. Kemudian Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam
juga menasehati kaum muslimin secara umum dalam khutbah beliau.

‫ﻋ ﻦ أ ﻧ ﺲ ﺑ ﻦ ﻣ ﺎ ﻟ ﻚ ر ﺿ ﻲ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻋ ﻨ ﻪ ﻳ ﻘ ﻮ ل ﺟ ﺎ ء ﺛ ﻼ ث ر ﻫ ﻂ إ ﻟ ﻰ ﺑ ﻴ ﻮ ت أ ز وا ج ا ﻟ ﻨ ﺒ ﻲ ﺻ ﻠ ﻰ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻋ ﻠ ﻴ ﻪ و ﺳ ﻠ ﻢ ﻳ ﺴ ﺄ ﻟ ﻮ ن‬
‫ﻋ ﻦ ﻋ ﺒ ﺎ د ة ا ﻟ ﻨ ﺒ ﻲ ﺻ ﻠ ﻰ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻋ ﻠ ﻴ ﻪ و ﺳ ﻠ ﻢ ﻓ ﻠ ﻤ ﺎ أ ﺧ ﺒ ﺮ وا ﻛ ﺄ ﻧ ﻬ ﻢ ﺗ ﻘ ﺎ ﻟ ﻮ ﻫ ﺎ ﻓ ﻘ ﺎ ﻟ ﻮا أ ﻳ ﻦ ﻧ ﺤ ﻦ ﻣ ﻦ ا ﻟ ﻨ ﺒ ﻲ ﺻ ﻠ ﻰ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻋ ﻠ ﻴ ﻪ‬
‫و ﺳ ﻠ ﻢ ؟ ﻗ ﺪ ﻏ ﻔ ﺮ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻟ ﻪ ﻣ ﺎ ﺗ ﻘ ﺪ م ﻣ ﻦ ذ ﻧ ﺒ ﻪ و ﻣ ﺎ ﺗ ﺄ ﺧ ﺮ ﻗ ﺎ ل أ ﺣ ﺪ ﻫ ﻢ أ ﻣ ﺎ أ ﻧ ﺎ ﻓ ﺈ ﻧ ﻲ أ ﺻ ﻠ ﻲ ا ﻟ ﻠ ﻴ ﻞ أ ﺑ ﺪا و ﻗ ﺎ ل آ ﺧ ﺮ أ ﻧ ﺎ‬
‫أ ﺻ ﻮ م ا ﻟ ﺪ ﻫ ﺮ و ﻻ أ ﻓ ﻄ ﺮ و ﻗ ﺎ ل آ ﺧ ﺮ أ ﻧ ﺎ أ ﻋ ﺘ ﺰ ل ا ﻟ ﻨ ﺴ ﺎ ء ﻓ ﻼ أ ﺗ ﺰ و ج أ ﺑ ﺪا ﻓ ﺠ ﺎ ء ر ﺳ ﻮ ل ا ﻟ ﻠ ﻪ ﺻ ﻠ ﻰ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻋ ﻠ ﻴ ﻪ و ﺳ ﻠ ﻢ‬
‫ﻓ ﻘ ﺎ ل ) ) أ ﻧ ﺘ ﻢ ا ﻟ ﺬ ﻳ ﻦ ﻗ ﻠ ﺘ ﻢ ﻛ ﺬا و ﻛ ﺬا ؟ أ ﻣ ﺎ وا ﻟ ﻠ ﻪ أ ﺗ ﻲ ﻷ ﺧ ﺸ ﺎ ﻛ ﻢ ﻟ ﻠ ﻪ وأ ﺗ ﻘ ﺎ ﻛ ﻢ ﻟ ﻪ ﻟ ﻜ ﻨ ﻲ أ ﺻ ﻮ م وأ ﻓ ﻄ ﺮ وأ ﺻ ﻠ ﻲ وأ ر ﻗ ﺪ‬
‫وأ ﺗ ﺰ و ج ا ﻟ ﻨ ﺴ ﺎ ء ﻓ ﻤ ﻦ ر ﻏ ﺐ ﻋ ﻦ ﺳ ﻨ ﺘ ﻲ ﻓ ﻠ ﻴ ﺲ ﻣ ﻨ ﻲ ( ( ر وا ه ا ﻟ ﺒ ﺨ ﺎ ر ي و ﻣ ﺴ ﻠ ﻢ‬

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Ada tiga orang mendatangi rumah
isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi
Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Tatkala mereka mengetahui, seakan-akan mereka
memandangnya sedikit. Mereka berkata: dimana kita bila dibanding Nabi Sallallahu
Alaihi Wa Sallam? Ia telah diampuni Allah dosanya yang berlalu maupun yang akan
datang. Salah seorang diantara mereka berkata: “Saya akan senatiasa shalat malam”.
Yang lain berkata: “Aku akan puasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka”. Yang
berikutnya berkata: “Saya akan menjauhi wanita, maka saya tidak akan kawin selama-
lamanya”. Lalu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam datang dan berkata kepada
mereka: “Apakah kalian yang mengatakan begini-begini? Demi Allah saya adalah orang yang
paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah diantara kalian. Akan tetapi saya berpuasa
juga berbuka, saya sholat malam numun juga tidur, dan saya mengawini wanita.
Barangsiapa yang tidak suka pada sunnahku! Maka ia tidak termasuk golonganku”.

Bila kita lihat kehidupan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam beliau juga makan daging,
minum susu, menyisir rambut dan memakai wangi-wangian.

11/16
Ketika beliau ditanya tentang sesorang yang memakai pakaian bagus apakah itu
termasuk kategori sombong? Beliau menjawab tidak, kesombongan itu adalah menolak
kebenaran dan meremehkan orang lain.

‫ن ﻓ ِﻰ‬َ ‫ﻦ ﻛ َﺎ‬
ْ ‫ﻣ‬َ ‫ﺔ‬ َ ْ ‫ﻞ اﻟ‬
َ ‫ﺠﻨ‬ ُ ْ ‫ل »ﻻ َ ﻳ َﺪ‬
ُ ‫ﺧ‬ َ ‫ﻦ اﻟﻨﺒ ِﻰ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗَﺎ‬ ِ َ ‫ﺴﻌُﻮد ٍ رﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻋ‬ ْ ‫ﻣ‬
َ ‫ﻦ‬ ِ ْ ‫ﻦ ﻋ َﺒ ْﺪ ِ اﻟﻠﻪِ ﺑ‬ْ َ‫ﻋ‬
َ
ٌ ‫ﻤﻴ‬
‫ﻞ‬ ِ ‫ﺟ‬َ ‫ﻪ‬َ ‫ل »إ ِن اﻟﻠ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬.‫ﺔ‬ً َ ‫ﺴﻨ‬
َ ‫ﺣ‬ ُ ُ ‫ﺴﻨ ًﺎ وَﻧ َﻌْﻠ‬
َ ‫ﻪ‬ َ ‫ﺣ‬ َ ‫ﻪ‬ َ ‫ن ﻳ َﻜ ُﻮ‬
ُ ُ ‫ن ﺛ َﻮْﺑ‬ ْ ‫ﺤﺐ أ‬ َ ‫ﺟ‬
ِ ُ‫ﻞ ﻳ‬ ٌ ‫ﺟ‬
ُ ‫ﻞ إ ِن اﻟﺮ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬.«ٍ‫ﻦ ﻛ ِﺒ ْﺮ‬
ُ ‫ل َر‬ ِ ٍ‫ل ذ َرة‬
ْ ‫ﻣ‬ ُ ‫ﻣﺜ َْﻘﺎ‬ ِ ِ‫ﻗَﻠ ْﺒ ِﻪ‬
‫ ر وا ه ﻣ ﺴ ﻠ ﻢ‬. « ‫س‬ ُ ْ َ ‫ﺤﻖ وَﻏ‬ َ ْ ‫ل اﻟ ْﻜ ِﺒ ُْﺮ ﺑ َﻄ َُﺮ اﻟ‬َ ‫ﻤﺎ‬ َ ْ ‫ﺤ ﺐ اﻟ‬
ِ ‫ﻤ ﻂ اﻟﻨﺎ‬ َ ‫ﺠ‬ ِ ُ‫ﻳ‬

Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Tidak
akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji zarrah dari
kesombongan”. Seorang bertanya: sesungguhnya seseorang menyukai bajunya bagus
dan sandalnya bagus? Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam menjawab: “Sesungguhnya Allah
itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan
melecehkan manusia lain“.

Benarkah disebut karomah, hal-hal yang dimiliki para sufi setelah mereka
melakukan berbagai bentuk pratek ibadah sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya?

Para ulama kita menjelaskan tidak semua hal luar biasa yang dialami atau terjadi pada
seseorang dinilai sebagai karomah dari Allah. Karena hal-hal luar biasa itu ada tiga
bentuk; Ada yang disebut karomah dan ada pula yang berbentuk tipuan setan,
kemudian ada pula yang disebut sebagai tanda-tanda semakin dekatnya hari kiamat,
karena sebelum hari kiamat akan banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang anah-aneh.

Bisa disebut karomah bila seseorang tersebut melaksanakan ibadah-ibadahnya


berdasarkan ilmu yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah. Lalu ia mengamalkan
ilmunya tersebut dengan mentauladani Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan para
sahabat Radhiallahu ‘anhum. Kemudian tidak terindikasi terlibat dalam berbagai acara-
acara yang menyimpang dari ajaran dan sunnah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.

Namun bisa juga hal luar biasa yang dialami atau terjadi pada seseorang itu sebagai
tipuan dari setan. Sebagaimana terjadi pada orang-orang yang merubah syari’at yang
dibawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan menggantinya dengan ajara-ajaran
yang direkayasanya sendiri atau setan yang merekayasa utnuk mereka.

Seperti yang pernah dialami oleh salah seorang teman kami. Ia pernah ditawari oleh
seseorang yang dianggap Wali/Kiyai untuk memiliki ilmu kebal, tahan pedang dan
senjata tajam lainnya. Sang wali memiliki ilmu tersebut dan bisa diturunkan kepadanya.
Caranya sangat mudah, yaitu berzikir selama empat puluh hari dalam kelambu yang ada
dalam rumahnya. Kemudian saat berizikir ia membayangkan wajah sang Wali dengan
melihat foto yang terpajang dalam kelambu tersebut.

Jika seseorang yang tidak memiliki ilmu agama yang cukup, akan melihat secara sepintas
bahwa hal itu tidak ada masalah. Dan menilainya sebagai perbuatan baik, karena berzikir
adalah ibadah yang mulia.

12/16
Namun bagi orang yang mengerti ajaran agama dan aqidah yang benar akan menilai
bahwa perbuatan itu menyimpang dari beberapa segi:

Pertama: Dari segi tujuan zikir yaitu untuk mendapatkan kekebalan? Kalau dengan cara
berzikir bisa kebal dari senjata tajam pasti Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan
para Sahabat orang yang pertama sekali melakukannya dan memperoleh keutamaan
tersebut. Namun dalam kenyataan mereka banyak yang cedera bahkan meninggal dalam
peperangan?

Kedua: Dari segi mengkhususkan waktu dan tempat? Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa
Sallam tidak pernah mengajurkan dan menetukan waktu selama empat puluh hari
secara terus-menerus berzikir. Atau harus dalam kelambu yang di dalamnya dipajang
foto Sang Wali/Kiyai? Akan tetapi Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam mengajurkan berzikir
kapan dan dimana saja, tanpa perlu meninggalkan perkerjaaan dan kewajiban-
kewajiban agama yang lainnya.

Ketiga: Jika ia berzikir selama empat puluh hari terus-menerus dan tidak boleh keluar
dari tempat semediannya? Bagaimana shalat berjam’ahnya dan shalat jum’atnya? Ini
adalah cara setan menyesatkan seseorang yaitu mengutamakan amalan sunnah diatas
amala-amalan wajib. Atau mengutamakan amalan-amalan bid’ah diatas amalan-amalan
sunnah. Dan lebih sesat lagi menjadikan perkara-perkara yang diharamkan dalam agama
sebagai sarana ibadah! Seperti nyanyian dan jogetan.

Keempat: Kenapa harus membayangkan wajah Sang Wali/Kiyai saat berzikir tersebut?
Kalau yang dibayangkan wajah Sang Wali/Kiyai saat berzikir ini berarti menjadikannya
sebagai tuhan yang terdapat dalam kadungan makna zikir yang dibacanya?

Dari sini dapat kita ukur apakah perkara yang luar biasa yang dialami seseorang apakah
datang dari Allah atau datang dari setan? Dalam kehidupan orang-orang yang dianggap
memilki karomah sangat banyak cerita-cerita serupa. Padahal itu buka karomah tapi
tipu-daya setan dalam menyesatkan manusia. Bagaimana mungkin orang yang
menyimpang dalam menjalankan ajaran agama akan memiliki karomah?

Apakah ada orang sesat dan orang kafir sekalipun memiliki peristiwa-peristiwa
yang luar biasa?

Jawabannya ada, seperti Dajal dan beberapa kisah nabi-nabi palsu, diantara mereka ada
yang bisa menghilang dari penglihatan manusia. Karena ia disembunyikan oleh setan-
setan yang membelanya.

Demikian pula Dajal dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, sebagai fitnah bagi umat
yang hidup dimasanya. Dan kebanyakan manusia tertipu oleh Dajal. Karena ia bisa
menghidukan seseorang sudah mati dan mendatangkan hewan ternak yang banyak.
Namun dijelaskan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam yang hidup itu bukan orang
telah mati, akan tetapi setan menjelma menyerupai orang yang sudah mati tersebut dan
menjelma menjadi onta-onta yang banyak([29]).

13/16
Demikian pula sebelum hari kiamat akan banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang luar
biasa atau aneh di tengah-tengah kehidupan manusia, sebagai tanda-tanda semakin
dekatnya hari kiamat. Sebagai contohnya hadits yang diriwayat Abu hurairah Radhiallahu
‘anhum ia menceritakan: “Seekor Srigala mendekati gerombolan kambing yang
digembalakan, lalu ia menangkap satu ekor kambing dan lari. Ketika itu sang pengembala
langsung mengejar Srigala tersebut dan dapat menyelamatkan kambing yang ditangkapnya.
Lalu Srigala itu naik ke sebuah bukit yang rendah seraya berkata kepada sipengembala
kambing: “Engkau telah merebut rizki yang diberikan Allah kepadaku, engkau telah
merebutnya dariku”. Sang pengembala keheranan dan berkata: “Demi Allah aku belum
pernah melihat Srigala berbicara seperti pada hari ini”. Srigala menimpali ungkapan
Sipengembala: “Lebih ajib lagi seorang laki-laki yang berada dianatar dua bukit batu. Ia
menceritakan kepada kalian apa yang telah berlalu dan apa yang akan datang”.
Sipengembala itu adalah seorang Yahudi. Lalu ia menemui Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam
dan masuk Islam. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam membenarkan kisahnya tersebut,
kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya itu adalah salah satu tanda dari tanda-tanda
dekatnya hari kiamat. Boleh jadi seseorang keluar rumah, ia tidak pulang sampai berbicara
kepadanya sendal dan tongkatnya memberitahukan tentang apa yang menimpa keluarganya
setelah ia tinggalkan“([30]).

Dari kisah di atas ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil:

Pertama: Peristiwa yang luar biasa tidak mutlak sebagai karomah bagi seseorang yang
mengalaminya seperti kisah di atas dialami oleh seorang Yahudi yang belum masuk
Islam.

Kedua: Peristiwa yang luar biasa yang dialami seseorang bukanlah mutlak sebagai
ukuran tentang kemulian seseorang tersebut disisi Allah. Karena boleh jadi peristiwa
tersebut sebagai salah satu tanda dari tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat.

Ketiga: Peristiwa luar biasa tidaklah khsusus pada orang-orang sholeh, akan tetapi bisa
dialami oleh orang kafir bahkan binatang sekalipun. Seperti dalam kisah ini srigala,
sandal dan tongkat bisa berbicara. Bukan berarti bahwa srigala, sandal dan tongkat itu
memilki karomah atau kesaktian! Dan bisa diminta menyembuhkan penyakit dan lain
sebagainya. Demikian pula manusia walaupun ia mengalami hal-hal yang luar biasa
bukan berarti ia kita sembah dan kita seru, kita minta untuk melakukan sesuatu untuk
kita. Seperti mencarikan jodoh, memberi ajimat pelaris, minta kesembuhan dan lain
sebagainya.

Demikian yang dapat kami jelaskan, sebetulnya masih banyak ajaran-ajaran agma lain
yang diadopsi oleh komunitas sufi, seperti ajaran agama Majusi, Hindu, Budha,
Konghucu, kepercayaan animisme, agama Yunani kuno dll. Akan tetapi sisi-sisi yang
diadopsi hampir sama. Seperti bergoyang-goyang ketika berzikir, ajaran seperti ini
terdapat dalam ajaran Yahudi, Animisme, Hindu dan Budha. Demikian pula melagukan
ayat-ayat dan syair-syair zuhud, ajaran seperti ini terdapat dalam ajaran Hindu, Budha
dan Nasrani.

14/16
Karena antara satu agama dengan agama yang lainnya dari agama-agama tersebut
salimg memilki kemiripan dari sisi teologi dan sistem peribadatan dalam mencapai
kesucian jiwa. Atau mungkin diantara agama-agama tersebut ada yang mengadopsi
ajaran agama lain, seperti ajaran Trinitas dalam agama Nasrani diambil dari ajaran
Yunani kuno.

Allahu Al hady Ila Sawaai As Sabiil

([1]( lihat “Tashawuf Al Mansya’ wal Masdar”/ Ilahi Zhohir: 37, ‘Firaq Mu’asharah”: 2/578,
“Mashadir Talaqqi ‘Inda Sufiyah”/ Shaadiq Saalim: 34.

([2]( lihat “Majmu’ Fataawa”/ Ibnu Taimiyah: 11/6, 195.

([3]( lihat “Mashadir Talaqqi ‘Inda Sufiyah”/ Shaadiq Saalim: 39.

([4]( lihat ‘Majmu’ Fataawa”/ Ibnu Taimiyah: 11/6.

([5]( lihat “Mazmur”: 149-150, “Firaq Mu’asharah”/ ‘Al ‘Awaaji: 2/123.

([6]( lihat “Tahriim As Samaa'”: 269-270, “Tafsir Qurtuby”: 10/366, 11/238.

([7]( lihat “An Nahyu ‘Anirraqshi was Samaa'”: 2/559.

([8]( lihat “Annahyu ‘Anirraqshi was Samaa'”: 2/556.

([9]( lihat “Hilyatul Auliyaa”’/ Abu Nu’aim”: 9/146.

([10]( lihat hal: 427.

([11]( lihat hal: 8/122.

([12]( Diriwayat oleh Khalaal dalam “Al Amr bil Ma’ruf”: 107.

([13]( lihat kitab beliau “Jawabussamaa'” dalam bentuk manuskrib lembaran:2/b,dan


kitab “Annahyu ‘Annirraqshi was Samaa'”: 2/547.

([14]( lihat kitab beliau “Tahriim As Samaa'”:166-167 ” dalam bentuk manuskrib


lembaran:2/b, dan “Annahyu ‘Annirraqshi was Samaa'”: 2/548.

([15]( lihat “tafsir Thobary”: 15/118, “Hilyatul Auliyaa”’/ Abu Nu’aim”: 3/298.

([16]( silakan lihat tafsir ayat tersebut dalam kitab-kitab tafsir para ulama.

([17]( H.R. Imam Tirmizi, no (1005). Dan Tirmizi menilai hadits ini sebagai hadits hasan.

([18]( Diriwayat oleh Imam Baihaqy dalam “Syu’abil Iman”: 4/278.

([19]( Diriwayat oleh Ibnu Abi Dunya dala “Dzamil Malaahy”: 55.

15/16
([20]( Diriwayat oleh Khalaal dalam “Al Amr bil Ma’ruf”: 105.

([21]( lihat haditsnya dalam “Shahih Muslim” no (892).

([22]( lihat ‘Syarah Shohih Muslim”: 6/186.

([23]( lihat surat “Shaad” ayat: 42.

([24]( lihat “Talbiis Ibliis”/ Ibnul Jauzi: 316, “Tafsir Qurthuby”: 15/215.

([25]( lihat “Talbiis Ibliis”/ Ibnul Jauzi: 318, “Tafsir Qurthuby”: 10/263.

([26]( lihat haditsnya dalam “Shahih Bukhari” no (952) dan “Shahih Muslim” no (892).

([27]( lihat “Fathul Baary”: 2/442.

([28]( lihat haditsnya dalam “Sunan Tirmizi” no (1088), “Sunan Nasa’i” no (3369, 3370) dan
“Sunan Ibnu Majah” no (1900).

([29]( lihat kisah Dajal dalam kitab “Qishah Al Masih Ad Dajal” karya Imam Al Albany.

([30]( H.R. Imam Ahmad dalam “Musnad” no (8049) dan Abdurrazaq dalam “Mushannaf”
no (20808).

16/16
TINJAUAN MODERAT TENTANG HUKUM SYARI’AT
dzikra.com/591-tinjauan-moderat-tentang-hukum-syariat.html

Dzikra June 5,
2012

TINJAUAN MODERAT TENTANG HUKUM


SYARI’AT

Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA

Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang


Maha Bijaksana dalanm segala keputusan-
Nya dan Maha Adil dalam segala hukum-
Nya.

Selawat dan salam buat Nabi Muhammad


shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus Allah untuk menyampaikan hukum-hukum-Nya
kepada umat manusia serta untuk menegakkan keadilan ditengah-tengah umat
manusia.

Tulisan ini mengupas sekilas tentang segi-segi pentingnya menjalankan hukum Islam
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena Islam diturukan Allah untuk
mengatur segala hal yang berhubungan dengan persoalan hidup manusia. Bagi orang
yang mau mendalami ajaran Islam dengan benar akan mendapatkan apa yang penulis
katakan dengan jelas.

Pengertian Syari’at

Syari’at dalam pengertiannya dapat digunakan dalam beberapa makna:

1. Digunakan untuk menyebutkan agama secara keseluruhan, maka dikatakan:


Syari’at Islam.
2. Digunakan untuk menyebutkan tentang hukum-hukum, baik hukum pidana dan
perdata maupun ibadah dan mu’amalah secara umum. maka dikatakan: Pokok isi Al
Qur’an terdiri dari; aqidah (keyakinan), syari’at (hukum-hukum) dan akhlak (budi
pekerti). Dalam pengertian ini kata syari’at sinonim bagi kata fiqih

1/13
3. Digunakan untuk menyebut hukum hudud semata (pidana), istilah ini lebih
dominan dipakai oleh kelompok-kelompok Islam yang beraliran politik. Hal ini kita
lihat dalam penilaian mereka terhadap orang Islam yang tidak bergabung dengan
mereka dianggap tidak berjuang menegakkan syari’at. Sekalipun dalam
kenyataannya orang tersebut berjuang mengakkan Islam dengan berdakwah
sesuai dengan metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mungkin
bisa dikafirkan karena tidak ikut pemahaman dan metode mereka dalam
menegakkan syari’at. Seperti dengan cara membangkang dan melawan penguasa.

Untuk menentukan makna dari kata syari’at tersebut bergantung kepada posisi
penggunaannya dalam sebuah susunan kalimat.

Segi-Segi Pentingnya Menjalankan Hukum Islam

Sesungguhnya menjalankan hukum Islam adalah merupakan suatu hal yang amat peting
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dewasa ini. Hal itu dapat kita tinjau dari
beberapa segi:

Al Qur’an adalah pedoman hidup yang sempurna

Kitab suci Al Qur’an adalah sebaik-baik pedoman bagi manusia dalam mencapai
kebahagian. Karena ia diturunkan oleh Zat Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksna, yaitu
Allah Yang Maha Adil dalam segala hukum-Nya. Seandainya berkumpul seluruh para
pakar hukum di dunia untuk menandingi satu hukum yang disebutkan dalam Al Qur’an,
niscaya mereka tidak akan mampu. Al Qur’an tidaklah semata mengatur hubungan
pertikal dengan Allah, akan tetapi juga mengatur berbagai hal yang dibutuhkan manusia
dalam perkara duniawi. Hukum Allah adalah hukum yang terbaik dari segala hukum
buatan manusia. Demikian pula Hukum Allah adalah hukum yang paling adil dari segala
hukum yang ada di dunia.

َ ‫وﻣ‬
[50/‫ن ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ً ْ ‫ﺣﻜ‬
َ ‫ﻤﺎ ﻟ َِﻘﻮْم ٍ ﻳ ُﻮﻗِﻨ ُﻮ‬ ُ ِ ‫ﻦ اﻟﻠ ﻪ‬
َ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﻦ‬
ُ ‫ﺴ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﻦأ‬ْ َ َ

“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?”

Bila hukum Al Qur’an dilaksanakan dalam kehidupan manusia, niscaya kehidupan


mereka akan mendapat keberkahan dan rahmat dari Allah. Karena Al Qur’an adalah
kitab yang membawa keberkahan dan rahmat untuk manusia.

َ
[155/‫ن ]اﻷﻧﻌﺎم‬
َ ‫ﻤﻮ‬
ُ ‫ﺣ‬ ْ ُ ‫ك ﻓَﺎﺗﺒ ِﻌُﻮه ُ وَاﺗُﻘﻮا ﻟ َﻌَﻠﻜ‬
َ ‫ﻢ ﺗ ُْﺮ‬ ُ ُ ‫ب أﻧ َْﺰﻟ ْﻨ َﺎه‬
ٌ ‫ﻣﺒ َﺎَر‬ ٌ ‫وَﻫَﺬ َا ﻛ ِﺘ َﺎ‬

“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan
bertakwalah agar kamu diberi rahmat”.

Keadilan Al Qur’an tidak terbatas untuk orang-orang yang beriman dengan Al Qur’an
tersebut, akan tetapi mecakup seluruh manusia. Oleh sebab itu tidak perlu ada
kecemasan dari orang-orang non muslim terhadap hukum Al Qur’an tersebut.

2/13
Allah berfirman:

َ َ ‫ﺎ أ َﻳﻬﺎ اﻟﺬ ِﻳ‬


َ‫ن ﻗَﻮْم ٍ ﻋ َﻠ َﻰ أﻻ ﺗ َﻌْﺪ ِﻟ ُﻮا اﻋ ْﺪ ِﻟ ُﻮا ﻫُﻮ‬ ُ َ ‫ﺷﻨ َﺂ‬ ْ ُ ‫ﻣﻨ ﻜ‬
َ ‫ﻢ‬ ْ َ ‫ﻂ وََﻻ ﻳ‬
َ ِ ‫ﺠﺮ‬ ْ ‫ﺷﻬَﺪ َاَء ﺑ ِﺎﻟ ِْﻘ‬
ِ ‫ﺴ‬ ُ ِ‫ﻦ ﻟ ِﻠﻪ‬ ِ ‫ﻣﻨ ُﻮا ﻛ ُﻮﻧ ُﻮا ﻗَﻮا‬
َ ‫ﻣﻴ‬ َ ‫ﻦآ‬َ َ
[8/‫ن ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ُ َ
َ ‫ﻤﻠ ﻮ‬ َ ْ‫ﻤﺎ ﺗ َﻌ‬
َ ِ ‫ﺧﺒ ِﻴٌﺮ ﺑ‬
َ ‫ﻪ‬
َ ‫ﻪ إ ِن اﻟﻠ‬ َ ‫ب ﻟ ِﻠﺘْﻘﻮَى وَاﺗُﻘﻮا اﻟﻠ‬ ُ ‫أﻗَْﺮ‬

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dari sini terjawab kesangsian terhadap penerapan hukum Islam, dimana sebahagian
orang takut akan terjadi penindasan terhadap umat lain. Sesungguhnya sejarah umat
manusia telah membuktikan tentang keadilah Islam terhadap umat lain ketika Islam
berkuasa di negeri Syam dan Andalus.

Al Qur’an adalah jalan keluar dari berbagai permasalahan yang terjadi

‫ “ ﻓ ﻠﻴ ﺴ ﺖ ﺗﻨ ﺰ ل ﺑ ﺄ ﺣ ﺪ ﻣ ﻦ أ ﻫ ﻞ د ﻳ ﻦ ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻧ ﺎ ز ﻟ ﺔ إ ﻻ و ﻓ ﻲ ﻛﺘ ﺎ ب ا ﻟ ﻠ ﻪ ا ﻟ ﺪ ﻟﻴ ﻞ ﻋ ﻠ ﻰ ﺳﺒ ﻞ ا ﻟ ﻬ ﺪ ى ﻓﻴ ﻬ ﺎ‬:‫ﻗ ﺎ ل ا ﻟ ﺸ ﺎ ﻓ ﻌ ﻲ‬
‫ﻗ ﺎ ل ا ﻟ ﻠ ﻪ ﻋ ﺰ و ﺟ ﻞ }آ ﻟ ﺮ ﻛ ﺘ ﺎ ب أ ﻧ ﺰ ﻟ ﻨ ﺎ ه إ ﻟ ﻴ ﻚ ﻟ ﺘ ﺨ ﺮ ج ا ﻟ ﻨ ﺎ س ﻣ ﻦ ا ﻟ ﻈ ﻠ ﻤ ﺎ ت إ ﻟ ﻰ ا ﻟ ﻨ ﻮ ر ﺑ ﺈ ذ ن ر ﺑ ﻬ ﻢ إ ﻟ ﻰ ﺻ ﺮا ط‬
‫اﻟ ﻌ ﺰﻳ ﺰ اﻟ ﺤ ﻤﻴ ﺪ{ و ﻗﺎ ل ﺗ ﻌﺎﻟ ﻰ } وﻧ ﺰﻟﻨﺎ ﻋﻠﻴ ﻚ اﻟ ﻜﺘﺎ ب ﺗﺒﻴﺎﻧﺎ ﻟ ﻜ ﻞ ﺷ ﻲ ء و ﻫ ﺪ ى و ر ﺣ ﻤ ﺔ وﺑ ﺸ ﺮ ى ﻟﻠ ﻤ ﺴﻠ ﻤﻴ ﻦ{ و ﻗﺎ ل‬
{ ‫ﺗ ﻌ ﺎ ﻟ ﻰ } وأ ﻧ ﺰ ﻟ ﻨ ﺎ إ ﻟ ﻴ ﻚ ا ﻟ ﺬ ﻛ ﺮ ﻟ ﺘ ﺒ ﻴ ﻦ ﻟ ﻠ ﻨ ﺎ س ﻣ ﺎ ﻧ ﺰ ل إ ﻟ ﻴ ﻬ ﻢ و ﻟ ﻌ ﻠ ﻬ ﻢ ﻳ ﺘ ﻔ ﻜ ﺮ و ن‬

Berkata Imam Syafi’i: “Maka tiada satupun permasalahan yang menimpa seseorang dari
pemeluk agama Allah. Kecuali dalam kitab Allah ada dalil yang menjelaskan jalan
petunjuk dalam permasalahan tersebut. Allah ‘Azza Wajalla berfirman:

{ِ ‫ﻤﻴﺪ‬ َ ْ ‫ط اﻟ ْﻌَﺰِﻳﺰِ اﻟ‬


ِ ‫ﺤ‬ ِ ‫ﻢ إ ِﻟ َﻰ‬
ِ ‫ﺻَﺮا‬ ِ ْ ‫ت إ ِﻟ َﻰ اﻟﻨﻮرِ ﺑ ِﺈ ِذ‬
ْ ِ‫ن َرﺑﻬ‬ َ ُ ‫ﻦ اﻟ ﻈﻠ‬
ِ ‫ﻤﺎ‬ َ ‫ﻣ‬
ِ ‫س‬
َ ‫ج اﻟﻨﺎ‬
َ ِ ‫ﺨﺮ‬ َ ْ ‫ب أ َﻧ َْﺰﻟ ْﻨ َﺎه ُ إ ِﻟ َﻴ‬
ْ ُ ‫ﻚ ﻟ ِﺘ‬ ٌ ‫}آﻟﺮ ﻛ ِﺘ َﺎ‬
[1/‫]إﺑﺮاﻫﻴﻢ‬

“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan
manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka,
(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.

Dan firman Allah Ta’ala lagi:

[89/‫ﻦ{ ]اﻟﻨﺤﻞ‬
َ ‫ﻤﻴ‬
ِ ِ ‫ﺴﻠ‬ ُ ْ ‫ﺸَﺮى ﻟ ِﻠ‬
ْ ‫ﻤ‬ ْ ُ ‫ﺔ وَﺑ‬
ً ‫ﻤ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﻲٍء وَﻫُﺪ ًى وََر‬
ْ ‫ﺷ‬ َ ‫ﻚ اﻟ ْﻜ ِﺘ َﺎ‬
َ ‫ب ﺗ ِﺒ ْﻴ َﺎﻧ ًﺎ ﻟ ِﻜ ُﻞ‬ َ ْ ‫}وَﻧ َﺰﻟ ْﻨ َﺎ ﻋ َﻠ َﻴ‬

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim”.

Juga firman Allah Ta’ala:

[44/‫ن{ ]اﻟﻨﺤﻞ‬ ْ ُ‫ﻢ وَﻟ َﻌَﻠﻬ‬


َ ‫ﻢ ﻳ َﺘ ََﻔﻜُﺮو‬ ْ ِ‫ل إ ِﻟ َﻴ ْﻬ‬
َ ‫ﻣﺎ ﻧ ُﺰ‬
َ ‫س‬
ِ ‫ﻦ ﻟ ِﻠﻨﺎ‬ َ ْ ‫}وَأ َﻧ َْﺰﻟ ْﻨ َﺎ إ ِﻟ َﻴ‬
َ ‫ﻚ اﻟﺬﻛ َْﺮ ﻟ ِﺘ ُﺒ َﻴ‬

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.[1]

3/13
Demikian Imam Syafi’i mendapatkan Al Qur’an setelah beliau membaca dan menela’ah
kandungannya. Pernyataan ini lahir dari beliau bukan sekedar polesan bibir dan wacana.
Tapi berdasarkan fakta dan ilmu yang beliau meliki tentang Al Qur’an itu sendiri.
Demikian pula para ulama-ulama dan setiap orang yang menela’ah dan memahami Al
Qur’an dengan baik dan benar. Al Qur’an tidak hanya berbicara tentang urusan akhirat
saja tapi justru menerangkan segala persoalan yang dibutuhkan manusian dalam
kehidupan di dunia. Al Qur’an tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
pencipta mereka. Tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia
dan hubungan manusia dengan alam lain. Demikian pula Al Qur’an tidak sekedar
mengatur hubungan antar umat yang seagama. Tetapi Al Qur’an juga mengatur
hubungan umat yang berbeda agama. Isi Al Qur’an tidak terbatas pada ruang lingkup
tertentu yang dibatasi oleh masa dan tempat. Akan tetapi isi Al Qur’an kompleks dan
global, Al Qur’an mengatur segala aspek sisi kehidupan manuisa dalam segala kondisi
dan situasi. Al Qur’an mengatur hubungan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana
ia mengatur hubungan antara sesama pribadi masyarakat. Sebagaimana Allah sebutkan
dalam firman-Nya.
َ ُ َ ‫}ﻳﺎ أ َﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ آ َﻣﻨﻮا أ َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﻪ وأ َﻃﻴﻌﻮا اﻟﺮﺳﻮ‬
ِ‫ﻲٍء ﻓَُﺮدوه ُ إ ِﻟ َﻰ اﻟﻠﻪ‬ َ ‫ﻢ ﻓ ِﻲ‬
ْ ‫ﺷ‬ ْ ِ ‫ﻢ ﻓَﺈ‬
ْ ُ ‫ن ﺗ َﻨ َﺎَزﻋ ْﺘ‬ ْ ُ ‫ﻣﻨ ْﻜ‬ ْ ‫ل وَأوﻟ ِﻲ اْﻷ‬
ِ ِ ‫ﻣﺮ‬ ُ ُ ِ َ َ ُ ِ ُ َ َ ِ َ َ
ْ َ َ
[59/‫ﻦ ﺗ َﺄوِﻳًﻼ{ ]اﻟﻨﺴﺎء‬ ُ ‫ﺴ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﺧﻴ ٌْﺮ وَأ‬ َ ‫ﻚ‬ ِ ‫ن ﺑ ِﺎﻟﻠﻪِ وَاﻟ ْﻴ َﻮْم ِ اْﻵ‬
َ ِ ‫ﺧﺮِ ذ َﻟ‬ َ ‫ﻣﻨ ُﻮ‬ ْ ُ ‫ن ﻛ ُﻨ ْﺘ‬
ِ ْ ‫ﻢ ﺗ ُﺆ‬ ْ ِ‫ل إ‬
ِ ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫وَاﻟﺮ‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Sudah semestinya kita menyelesaikan segala persoalan diantara kita dan persoalan
negara ini dengan ajaran Al Qur’an. Karena Al Qur’an tidak sebagaimana yang dikenal
oleh kaum liberal dan sekuler hanya sekedar mengatur persoalan rumah tangga dan
persoalan beribadah dimesjid semata. Mereka menganggap Islam tidak punya konsep
dalam mengatur kehidupan bernegara yang majemuk dan plural dalam berbagai hal.
Anggapan ini lahir dari orang yang buta tetang Al Qur’an dan sejarah Islam. Sebagaimana
Allah sebutkan dalam firman-Nya:

َ ‫ﺨﺮج ﻣ‬
َ ‫ن ﻳ َُﻘﻮﻟ ُﻮ‬
[5/‫ن إ ِﻻ ﻛ َﺬ ِﺑ ًﺎ{ ]اﻟﻜﻬﻒ‬ ْ ِ‫ﻦ أﻓْﻮَاﻫ ِﻬ‬
ْ ِ‫ﻢ إ‬ ْ ِ ُ ُ ْ َ‫ﺔ ﺗ‬ َ ِ ‫ت ﻛ َﻠ‬
ً ‫ﻤ‬ ْ ِ‫ﻋﻠ ْﻢ ٍ وََﻻ ِﻵ َﺑ َﺎﺋ ِﻬ‬
ْ ‫ﻢ ﻛ َﺒ َُﺮ‬ ِ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻣ‬ ْ ُ‫ﻣﺎ ﻟ َﻬ‬
ِ ِ‫ﻢ ﺑ ِﻪ‬ َ }

“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang
mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak
mengatakan (sesuatu) kecuali dusta”.

Kewajiban berhukum dengan apa yang diturunkan Allah

Banayak sekali ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk mejalankan hukum yang
diturunkan Allah dalam memutuskan berbagai perkara yang terjadi kehidupan kita.
Berikut ini sebutkan beberapa ayat yang berkenaan dengan hal tersebut:

Allah berfirman:

4/13
َ ْ ‫ﻪ إ ِﻟ َﻴ‬
ْ ِ ‫ﻚ ﻓَﺈ‬
‫ن ﺗ َﻮَﻟﻮْا‬ َ ‫ﻣﺎ أ َﻧ َْﺰ‬
ُ ‫ل اﻟﻠ‬ َ ‫ﺾ‬
ِ ْ‫ﻦ ﺑ َﻌ‬ َ ‫ن ﻳ َْﻔﺘ ِﻨ ُﻮ‬
ْ َ‫ك ﻋ‬
َ ُ‫ل اﻟﻠﻪ وَﻻ ﺗﺘﺒﻊ أ َﻫْﻮاَءﻫُﻢ واﺣﺬ َرﻫ‬
ْ ‫ﻢأ‬ ْ ْ ْ َ ْ َ ْ ِ َ َ ُ َ ‫ﻤﺎ أ َﻧ َْﺰ‬
َ ِ‫ﻢ ﺑ‬ ْ ُ ‫ﺣﻜ‬
ْ ُ‫ﻢ ﺑ َﻴ ْﻨ َﻬ‬ ْ ‫نا‬
َ
ِ ‫}وَأ‬
َ ‫ﻓَﺎﻋ ْﻠ َﻢ أ َﻧﻤﺎ ﻳﺮﻳﺪ اﻟﻠ‬
[49/‫ن{ ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ َ ‫ﺳُﻘﻮ‬ِ ‫س ﻟ ََﻔﺎ‬ ِ ‫ﻦ اﻟﻨﺎ‬
َ ‫ﻣ‬ ِ ‫ﻢ وَإ ِن ﻛ َﺜ ِﻴًﺮا‬ ْ ِ‫ﺾ ذ ُﻧ ُﻮﺑ ِﻬ‬
ِ ْ‫ﻢ ﺑ ِﺒ َﻌ‬
ْ ُ‫ﺼﻴﺒ َﻬ‬ِ ُ‫ن ﻳ‬ْ ‫ﻪأ‬ُ ُ ِ ُ َ ْ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah),
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah
kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik”.

Ayat ini menjelaskan beberapa hal: (1) perintah tentang wajibnya memnyelesaikan
perkara-perkara yang terjadi sesuai dengan apa yang diturunkan Allah. (2) larangan
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang menetang hukum yang diturunkan Allah. (3)
akan ada sekelompok manusia yang berusaha memfitnah untuk memalingkan kita dari
menjalankan hukum Allah. (4) ancaman Allah terhadap orang yang berpaling dari
menjalankan hukum yang diturunkan-Nya. (5) kebanyakan manusia senang berbuat
kefasikan dengan cara menolak hukum yang diturunkan Allah.

Dan firman Allah:

َ َ ِ‫ﻣﺎ أ ُﻧ ْﺰ‬
[3/‫ن{ ]اﻷﻋﺮاف‬ َ ‫ﻦ د ُوﻧ ِﻪِ أوْﻟ ِﻴ َﺎَء ﻗَﻠ ِﻴًﻼ‬
َ ‫ﻣﺎ ﺗ َﺬ َﻛُﺮو‬ ِ ‫ﻢ وََﻻ ﺗ َﺘﺒ ِﻌُﻮا‬
ْ ‫ﻣ‬ ْ ُ ‫ﻦ َرﺑﻜ‬
ْ ‫ﻣ‬ ْ ُ ‫ل إ ِﻟ َﻴ ْﻜ‬
ِ ‫ﻢ‬ َ ‫}اﺗﺒ ِﻌُﻮا‬

”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”.

Ayat ini mengaskan agar kita mengikuti segala apa yang diturunkan Allah dalam Al
Qur’an dan menjauhi segala aturan yang menyelisihinya.

Juga firman Allah:

[105/‫ﻤﺎ{ ]اﻟﻨﺴﺎء‬
ً ‫ﺼﻴ‬
ِ ‫ﺧ‬
َ ‫ﻦ‬ َ ْ ‫ﻦ ﻟ ِﻠ‬
َ ‫ﺨﺎﺋ ِﻨ ِﻴ‬ ْ ُ ‫ﻪ وََﻻ ﺗ َﻜ‬ َ ‫ﻤﺎ أ ََرا‬
ُ ‫ك اﻟﻠ‬ َ ِ‫س ﺑ‬
ِ ‫ﻦ اﻟﻨﺎ‬ َ ُ ‫ﺤﻜ‬
َ ْ ‫ﻢ ﺑ َﻴ‬ َ ْ ‫ب ﺑ ِﺎﻟ‬
ْ َ ‫ﺤﻖ ﻟ ِﺘ‬ َ ْ ‫}إ ِﻧﺎ أ َﻧ َْﺰﻟ ْﻨ َﺎ إ ِﻟ َﻴ‬
َ ‫ﻚ اﻟ ْﻜ ِﺘ َﺎ‬

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat”.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
mengadili antara manusia sesuai dengan apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Karena
bila tidak mengadili sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, khuatir akan terjadi
pembelaan terhadap orang-orang yang khianat.

Allah melarang kita untuk ragu-ragu dalam menjalankan hukum-Nya, karena kebenaran
hukum Allah itu telah diakui oleh para Ahli kitab sekalipun. Sebagaimana firman Allah:

َ ‫ل إﻟ َﻴﻜ ُﻢ اﻟ ْﻜﺘﺎب ﻣَﻔﺼًﻼ واﻟﺬﻳﻦ آ َﺗﻴﻨﺎﻫُﻢ اﻟ ْﻜﺘﺎب ﻳﻌﻠ َﻤﻮ‬ َ َ


‫ﻦ‬
ْ ‫ﻣ‬ ٌ ‫ﻣﻨ َﺰ‬
ِ ‫ل‬ ُ ‫ﻪ‬
ُ ‫ن أﻧ‬
َ ُ َْ َ َِ ُ ََْ َ ِ َ ُ َ َِ ً َ ‫ﺣﻜ‬
ُ ْ ِ َ ‫ﻤﺎ وَﻫُﻮَ اﻟﺬ ِي أﻧ َْﺰ‬ َ ‫ﻐَﻴ َْﺮ اﻟﻠﻪِ أﺑ ْﺘ َﻐِﻲ‬
[114/‫ﻦ{ ]اﻷﻧﻌﺎم‬ َ ‫ﻤﺘ َﺮِﻳ‬ ُ ْ ‫ﻦ اﻟ‬
ْ ‫ﻤ‬ ِ ‫ﺤﻖ ﻓََﻼ ﺗ َﻜ ُﻮﻧ َﻦ‬
َ ‫ﻣ‬ َ ْ ‫ﻚ ﺑ ِﺎﻟ‬
َ ‫َرﺑ‬

5/13
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami
datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari
Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-
ragu”.

Keraguan dalam menjalankan apa yang diturunkan Allah, akan membawa malapetaka
dalam kehidupan kita. Sebagaimana firman Allah:

[55/‫ن{ ]اﻟﺰﻣﺮ‬ ْ َ ‫ﻢ َﻻ ﺗ‬ َ ً ‫ل إﻟ َﻴﻜ ُﻢ ﻣﻦ رﺑﻜ ُﻢ ﻣﻦ ﻗَﺒﻞ أ َن ﻳﺄ ْﺗ ِﻴﻜ ُﻢ اﻟ ْﻌﺬ َاب ﺑﻐْﺘ‬ ُ َ


َ ‫ﺸﻌُُﺮو‬ ْ ُ ‫ﺔ وَأﻧ ْﺘ‬َ َ ُ َ ُ َ َ ْ ِ ْ ْ ِ ْ َ ْ ِ ْ ْ ِ َ ِ‫ﻣﺎ أﻧ ْﺰ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﺴ‬ ْ ‫}وَاﺗﺒ ِﻌُﻮا أ‬
َ ‫ﺣ‬

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu [1315] sebelum
datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.

Ajaran Islam jangan dipilah-pilih

Allah menyuruh kita untuk masuk kedalam Islam secar total, jangan kita memilah
sebahagian ajaran Islam dan memilih bahagian yang lain. Seperti hanya mengambil
ajaraan tentang ibadah dan akhlak saja, dan meninggalkan hukum-hukum lainnya.
Menjalankan hukum syari’at Islam adalah bagian dari mengamalkan Islam itu sendiri

Allah menyuruh kita agar masuk kedalam Islam itu secara utuh dan total.

َ ‫ﻳ َﺎ أ َﻳﻬﺎ اﻟﺬ ِﻳ‬


ْ ُ ‫ن َزﻟ َﻠ ْﺘ‬
‫ﻢ‬ ْ ِ ‫( ﻓَﺈ‬208) ‫ﻦ‬
ٌ ‫ﻣﺒ ِﻴ‬ ْ ُ ‫ﻪ ﻟ َﻜ‬
ُ ‫ﻢ ﻋ َﺪ ُو‬ ِ ‫ت اﻟﺸﻴ ْﻄ َﺎ‬
ُ ‫ن إ ِﻧ‬ ِ ‫ﺧﻄ ُﻮَا‬ ُ ‫ﺔ وََﻻ ﺗ َﺘﺒ ِﻌُﻮا‬
ً ‫ﺧﻠ ُﻮا ﻓِﻲ اﻟﺴﻠ ْﻢ ِ ﻛ َﺎﻓ‬
ُ ْ ‫ﻣﻨ ُﻮا اد‬
َ ‫ﻦآ‬َ َ
[209 ،208/‫ﻢ ]اﻟﺒﻘﺮة‬ َ َ ْ ُ
ٌ ‫ﺣﻜ ِﻴ‬
َ ‫ﻪ ﻋ َﺰِﻳٌﺰ‬ َ ‫ﻤ ﻮا أ ن ا ﻟ ﻠ‬ ُ ‫ت ﻓَﺎﻋ ْﻠ‬ُ ‫ﻢ اﻟﺒ َﻴﻨ َﺎ‬
ُ ‫ﺟﺎَءﺗ ْﻜ‬
َ ‫ﻣﺎ‬ َ ِ ‫ﻦ ﺑ َﻌْﺪ‬
ْ ‫ﻣ‬
ِ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah
kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti
kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Demikian pula dalam hal mengimani Al Qur’an, kita wajib mengimani dan
mengamalkannya dengan sempurna tanpa dipilah-pilih. Balasan bagi orang suka
memilah-milih ajaran Islam, ia akan diazab di akhilat kelak dengan azab yang keras.
Sebagaimana Allah berfirman:

َ
‫م‬
َ ْ‫ﺤﻴ َﺎةِ اﻟﺪﻧ ْﻴ َﺎ وَﻳ َﻮ‬َ ْ ‫ﺧْﺰيٌ ﻓِﻲ اﻟ‬ ِ ‫ﻢ إ ِﻻ‬ ْ ُ ‫ﻣﻨ ْﻜ‬
ِ ‫ﻚ‬ َ ِ ‫ﻞ ذ َﻟ‬ُ َ‫ﻦ ﻳ َْﻔﻌ‬ ْ ‫ﻣ‬
َ ‫ﺟَﺰاُء‬ َ ‫ﻤﺎ‬َ َ‫ﺾ ﻓ‬ٍ ْ‫ن ﺑ ِﺒ َﻌ‬ ِ ‫ﺾ اﻟ ْﻜ ِﺘ َﺎ‬
َ ‫ب وَﺗ َﻜ ُْﻔُﺮو‬ ِ ْ‫ن ﺑ ِﺒ َﻌ‬ ِ ْ ‫أﻓَﺘ ُﺆ‬
َ ‫ﻣﻨ ُﻮ‬
َ َ ِ ‫( أ ُوﻟ َﺌ‬85) ‫ن‬
ِ‫ﺧَﺮة‬ ِ ‫ﺤﻴ َﺎة َ اﻟﺪﻧ ْﻴ َﺎ ﺑ ِﺎْﻵ‬
َ ْ ‫ﺷﺘ ََﺮوُا اﻟ‬ ْ ‫ﻦا‬ َ ‫ﻚ اﻟﺬ ِﻳ‬ َ ‫ﻤﻠ ُﻮ‬
َ ْ‫ﻞ ﻋ َﻤﺎ ﺗ َﻌ‬ٍ ِ‫ﻪ ﺑ ِﻐَﺎﻓ‬
ُ ‫ﻣﺎ اﻟﻠ‬
َ َ‫ب و‬ ِ ‫ﺷﺪ اﻟ ْﻌَﺬ َا‬ َ َ ‫ن إ ِﻟ َﻰ أ‬
َ ‫ﻣﺔِ ﻳ َُﺮدو‬ َ ‫اﻟ ِْﻘﻴ َﺎ‬
[86 ،85/‫ن ]اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ‫ﺼُﺮو‬ َ ْ ‫ﻢ ﻳ ُﻨ‬ْ ُ‫ب وََﻻ ﻫ‬ ُ ‫ﻢ اﻟ ْﻌَﺬ َا‬ ُ ُ‫ﻒ ﻋ َﻨ ْﻬ‬ُ ‫ﺨﻔ‬ َ ُ ‫ﻓََﻼ ﻳ‬

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang
membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa
mereka dan mereka tidak akan ditolong”.

Ayat ini adalah celaan terhadap orang-orang Yahudi dan orang-orang yang menyerupai
6/13
prilaku mereka dalam beriman kepada kitab Allah. Mereka beriman pada sebahagiannya
dan kafir terhadap bahagian yang lain. Mereka memilih mengimani dan mengamalkan
hal-hal yang sesuai dengan hawa nafsu dan adat-istiadat mereka aja, adapun selainnya
mereka tolak .

Hukum Allah jangan ditolak dengan alasan kebudayaan, adat dan kebiasaan

Sebahagian diantara manusia ada yang menolak hukum Allah dengan alasan
bertentangan dengan kebudayaan atau adat dan kebiasaan yang sudah mengakar
dimasyarakat. Ini adalah alasan klasik yang selalu dipegang oleh orang-orang yang ingin
menolak hukum Allah. Sebagaimana Allah sebutkan dalamm beberapa ayat Al Qur’an
berikut ini:

‫ﺷﻴ ْﺌ ًﺎ وََﻻ‬ َ ‫ﻢ َﻻ ﻳ َﻌِْﻘﻠ ُﻮ‬ َ َ ‫ﻞ ﻧ َﺘﺒﻊُ ﻣﺎ أ َﻟ َْﻔﻴ ْﻨ َﺎ ﻋ َﻠ َﻴ ْﻪِ آ َﺑ َﺎَءﻧ َﺎ أ َوﻟ َﻮ ﻛ َﺎ‬ َ ‫ﻣﺎ أ َﻧ َْﺰ‬
َ ‫ن‬ ْ ُ‫ن آﺑ َﺎؤ ُﻫ‬ ْ َ َ ِ ْ َ ‫ﻪ ﻗَﺎﻟ ُﻮا ﺑ‬
ُ ‫ل اﻟﻠ‬ ُ ُ‫ﻞ ﻟ َﻬ‬
َ ‫ﻢ اﺗﺒ ِﻌُﻮا‬ َ ‫}وَإ ِذ َا ﻗِﻴ‬
[170/‫ن{ ]اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ‫ﻳ َﻬْﺘ َﺪ ُو‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka
menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?.”

Dan firman Allah:

‫ﻢ َﻻ‬ َ َ ‫ﺟﺪ ْﻧ َﺎ ﻋ َﻠ َﻴ ْﻪِ آ َﺑ َﺎَءﻧ َﺎ أ َوﻟ َﻮ ﻛ َﺎ‬ َ ‫ل ﻗَﺎﻟ ُﻮا‬ َ ‫ﻣﺎ أ َﻧ َْﺰ‬
ْ ُ‫ن آﺑ َﺎؤ ُﻫ‬ ْ َ َ َ ‫ﻣﺎ و‬َ ‫ﺴﺒ ُﻨ َﺎ‬
ْ ‫ﺣ‬ ُ ‫ﻪ وَإ ِﻟ َﻰ اﻟﺮ‬
ِ ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ل اﻟﻠ‬ َ ‫ﻢ ﺗ َﻌَﺎﻟ َﻮْا إ ِﻟ َﻰ‬
ْ ُ‫ﻞ ﻟ َﻬ‬
َ ‫}وَإ ِذ َا ﻗِﻴ‬
[104/‫ن{ ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ َ ‫ﺷﻴ ْﺌ ًﺎ وََﻻ ﻳ َﻬْﺘ َﺪ ُو‬ َ ‫ن‬ َ ‫ﻤﻮ‬ ُ َ ‫ﻳ َﻌْﻠ‬

“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan
mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-
bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat
petunjuk?”

Juga firman Allah:

َ َ ‫ﻣﺎ أ َﻧ َْﺰ‬
‫ب‬ِ ‫ﻢ إ ِﻟ َﻰ ﻋ َﺬ َا‬
ْ ُ‫ن ﻳ َﺪ ْﻋ ُﻮﻫ‬ َ ‫ﺟﺪ ْﻧ َﺎ ﻋ َﻠ َﻴ ْﻪِ آ َﺑ َﺎَءﻧ َﺎ أوَﻟ َﻮْ ﻛ َﺎ‬
ُ ‫ن اﻟﺸﻴ ْﻄ َﺎ‬ َ َ ‫ﻣﺎ و‬ ْ َ ‫ﻪ ﻗَﺎﻟ ُﻮا ﺑ‬
َ ُ‫ﻞ ﻧ َﺘﺒ ِﻊ‬ ُ ‫ل اﻟﻠ‬ ُ ُ‫ﻞ ﻟ َﻬ‬
َ ‫ﻢ اﺗﺒ ِﻌُﻮا‬ َ ‫}وَإ ِذ َا ﻗِﻴ‬
[21/‫اﻟﺴﻌِﻴﺮِ{ ]ﻟﻘﻤﺎن‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah.” Mereka
menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun
syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?

Hukum orang yang membenci dan menolak hukum Allah

َ َ ‫ل اﻟﻠﻪ ﻓَﺄ َﺣﺒ‬


َ ‫ﻣﺎ أ َﻧ َْﺰ‬ َ َ ‫}ذ َﻟ‬
ْ ُ‫ﻤﺎﻟ َﻬ‬
[9/‫ﻢ{ ]ﻣﺤﻤﺪ‬ َ ْ ‫ﻂ أﻋ‬ َ ْ ُ َ ‫ﻢ ﻛ َﺮِﻫُﻮا‬
ْ ُ‫ﻚ ﺑ ِﺄﻧﻬ‬ِ

“Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan
Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”.
7/13
َ ‫ﻢ اﻟ ْﻜ َﺎﻓُِﺮو‬
[44/‫ن ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ َ ِ ‫ﻪ ﻓَﺄ ُوﻟ َﺌ‬
ُ ُ‫ﻚ ﻫ‬ َ ‫ﻤﺎ أ َﻧ َْﺰ‬
ُ ‫ل اﻟﻠ‬ ْ ُ ‫ﺤﻜ‬
َ ِ‫ﻢ ﺑ‬ ْ َ‫ﻦ ﻟ‬
ْ َ‫ﻢ ﻳ‬ ْ ‫ﻣ‬
َ َ‫و‬

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir”.

[45/‫ن ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬
َ ‫ﻤﻮ‬
ُ ِ ‫ﻢ اﻟ ﻈﺎﻟ‬ َ ِ ‫ﻪ ﻓَﺄ ُوﻟ َﺌ‬
ُ ُ‫ﻚ ﻫ‬ َ ‫ﻤﺎ أ َﻧ َْﺰ‬
ُ ‫ل اﻟﻠ‬ ْ ُ ‫ﺤﻜ‬
َ ِ‫ﻢ ﺑ‬ ْ َ‫ﻦ ﻟ‬
ْ َ‫ﻢ ﻳ‬ ْ ‫ﻣ‬
َ َ‫و‬

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang zalim”.

[47/‫ن ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ِ ‫ﻢ اﻟ َْﻔﺎ‬


َ ‫ﺳُﻘﻮ‬ َ ِ ‫ﻪ ﻓَﺄ ُوﻟ َﺌ‬
ُ ُ‫ﻚ ﻫ‬ َ ‫ﻤﺎ أ َﻧ َْﺰ‬
ُ ‫ل اﻟﻠ‬ ْ ُ ‫ﺤﻜ‬
َ ِ‫ﻢ ﺑ‬ ْ َ‫ﻦ ﻟ‬
ْ َ‫ﻢ ﻳ‬ ْ ‫ﻣ‬
َ َ‫و‬

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang fasik”.

Bila hal yang mendasari seseorang tidak mau melaksanakan hukum Allah adalah
kebencian terhadap hukum Allah itu sendiri. Maka hal tersebut bisa membawa kepada
kekufurun orang tersebut. Demikian pula orang yang berasumsi bahwa hukum Allah
tidak cocok untuk zaman sekarang, atau hukum selain hukum Allah lebih baik dari
hukum Allah dan penerapannya boleh-boleh saja. Namun untuk menghukum sesorang
itu keluar dari Islam perlu dipelajari terlebih dahulu tentang kede etik at takfiir yang
dijelaskan oleh para ulama. Tidak serta merta seseorang dikafirkan tanpa
memperhatikan kode etik yang sudah dijelaskan oleh para ulama Ahlussunnah dalam
kitab-kitab mereka. Kemudian yang berhak menerapkan kode etik tersebut terhadap
seseorang yang melakukan sebuah tindakan yang bisa mengeluarkannya dari Islam
adalah para ulama yang berkompeten serta mendapat mandat dari pemerintah.

Akan tetapi bila seseorang tidak berasumsi seperti hal-hal di atas, maka hal tersebut
tidak membawa kepada kekufuran, akan tetapi ia telah melakukan salah satu dosa
besar.

Hukum Allah adalah hukum yang paling adil dari segala hukum

Allah berfirman:

َ ‫}أ َﻟ َﻴﺲ اﻟﻠ‬


[8/‫ﻦ{ ]اﻟﺘﻴﻦ‬
َ ‫ﻤﻴ‬ َ ْ ‫ﺣﻜ َﻢ ِ اﻟ‬
ِ ِ ‫ﺤﺎ ﻛ‬ ْ ‫ﻪ ﺑ ِﺄ‬
ُ َ ْ

“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?“

Dalam ayat yang lain:

َ ‫}أ َﻓَﺤﻜ ْﻢ اﻟ ْﺠﺎﻫﻠ ِﻴﺔ ﻳﺒﻐُﻮن وﻣ‬


[50/‫ن{ ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ً ْ ‫ﺣﻜ‬
َ ‫ﻤﺎ ﻟ َِﻘﻮْم ٍ ﻳ ُﻮﻗِﻨ ُﻮ‬ ُ ِ ‫ﻦ اﻟﻠ ﻪ‬
َ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﻦ‬
ُ ‫ﺴ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﻦأ‬ْ َ َ َ َْ ِ ِ َ َ ُ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

8/13
Setiap muslim meyakini bahwa Allah adalah Maha Tahu dan Maha Bijaksana dalam
segala hukumnnya. Oleh sebab hukum-hukum Allah bila dilaksanakan akan melahirkan
keadilan dan efek positif dalam kehidupan manusia. Seperti qishash, cambuk dan rajam,
secara lahir manurut ilmu manusia yang dangkal seakan-akan kurang tepat untuk
dilaksanakan. Akan tetapi dalam kenyataan negara yang menerapkan hukum tersebut,
terbukti dapat menekan angka kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyakat
dengan sekecil-kecilnya.

Menjalankan hukum Allah akan membuka pintu kemakmuran bagi sebuah bangsa

Allah berfirman:

َ َْ َ ْ‫}وَﻟ َﻮْ أ َن أ َﻫ‬


‫ﻤﺎ ﻛ َﺎﻧ ُﻮا‬ َ ‫ﻦ ﻛ َﺬﺑ ُﻮا ﻓَﺄ‬
ْ ُ‫ﺧﺬ ْﻧ َﺎﻫ‬
َ ِ‫ﻢ ﺑ‬ ْ ِ ‫ض وَﻟ َﻜ‬
ِ ‫ﻤﺎِء وَاﻷْر‬
َ ‫ﻦ اﻟ ﺴ‬
َ ‫ﻣ‬ ْ ِ‫ﺤﻨ َﺎ ﻋ َﻠ َﻴ ْﻬ‬
ٍ ‫ﻢ ﺑ ََﺮﻛ َﺎ‬
ِ ‫ت‬ ْ َ ‫ﻣﻨ ُﻮا وَاﺗَﻘﻮْا ﻟ ََﻔﺘ‬
َ ‫ﻞ اﻟ ُْﻘَﺮى آ‬
(96 :‫ )اﻷﻋﺮاف‬.{‫ن‬ ِ ْ ‫ﻳ َﻜ‬
َ ‫ﺴﺒ ُﻮ‬

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Dalam ayat yang mulia ini Allah abadikan janjinya kepada manusia, bahwa seandainya
mereka mau melaksanakan hukum-hukum-Nya di dalam kekuasaan mereka, niscaya
Allah akan mebuka pintu-pintu kesejahteraan bagi rakyatnya.

Bahkan janjian yang sama juga Allah sampai kepada umat kepada pengikut Nabi Musa
dan nabi Isa u. Sebagaimana firman Allah:

ٌ ‫ﻢ أ ُﻣ‬
‫ﺔ‬ ْ ُ‫ﻣﻨ ْﻬ‬
ِ ‫ﻢ‬
ْ ِ‫ﺟﻠ ِﻬ‬
َ
ُ ‫ﺖ أْر‬ِ ‫ﺤ‬ ْ َ‫ﻦ ﺗ‬ْ ‫ﻣ‬ ْ ِ‫ﻦ ﻓَﻮْﻗِﻬ‬
ِ َ‫ﻢ و‬ ِ ‫ﻢ َﻷﻛ َﻠ ُﻮا‬
ْ ‫ﻣ‬ ْ ِ‫ﻦ َرﺑﻬ‬ْ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﻢ‬ َ ِ‫ﻣﺎ أ ُﻧ ْﺰ‬
ْ ِ‫ل إ ِﻟ َﻴ ْﻬ‬ َ َ‫ﻞ و‬ ِ ْ ‫ﻣﻮا اﻟﺘﻮَْراة َ وَاْﻹ ِﻧ‬
َ ‫ﺠﻴ‬ َ ‫}وﻟ َﻮ أ َﻧﻬ‬
ُ ‫ﻢ أﻗَﺎ‬
ْ ُ ْ َ
(66 :‫ )اﻟﻤﺎﺋﺪة‬. {‫ن‬ ُ
َ ‫ﻤﻠ ﻮ‬َ ْ‫ﻣﺎ ﻳ َﻌ‬
َ ‫ﺳﺎَء‬ َ ‫ﻢ‬ ْ ُ‫ﻣﻨ ْﻬ‬ َ
ِ ‫ﺼﺪ َة ٌ وَﻛﺜ ِﻴٌﺮ‬
ِ َ ‫ﻣْﻘﺘ‬ُ

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al
Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat
makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka”.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:


َْ َ ‫}وﻋ َﺪ َ اﻟﻠﻪ اﻟﺬ ِﻳ‬
‫ﻢ‬ْ ِ‫ﻦ ﻗَﺒ ْﻠ ِﻬ‬
ْ ‫ﻣ‬ ِ ‫ﻦ‬ َ ‫ﻒ اﻟﺬ ِﻳ‬ َ َ ‫ﺨﻠ‬ ْ َ ‫ﺳﺘ‬
ْ ‫ﻤﺎ ا‬ َ َ‫ض ﻛ‬ ِ ‫ﻢ ﻓِﻲ اﻷْر‬ ْ ُ‫ﺨﻠ َِﻔﻨﻬ‬ ْ َ ‫ﺴﺘ‬ ْ َ ‫ت ﻟ َﻴ‬ ِ ‫ﺤﺎ‬َ ِ ‫ﻤﻠ ُﻮا اﻟﺼﺎﻟ‬ ِ َ ‫ﻢ وَﻋ‬ْ ُ ‫ﻣﻨ ْﻜ‬ِ ‫ﻣﻨ ُﻮا‬ َ ‫ﻦآ‬ َ ُ َ
َ َ َ َ َ َ
‫ﻦ ﻛ ََﻔَﺮ‬ ‫ﻣ‬
ْ َ َ ‫و‬ ‫ﺎ‬ً ‫ﺌ‬ْ ‫ﻴ‬ ‫ﺷ‬َ ‫ﻲ‬ ِ ‫ﺑ‬ ‫ن‬
َ ‫ﻮ‬ُ ‫ﻛ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬ْ ُ ‫ﻳ‬ ‫ﻻ‬ ‫ﻲ‬ ِ ‫ﻨ‬َ ‫ﻧ‬ ‫و‬ ُ ‫ﺪ‬ُ ‫ﺒ‬ْ ‫ﻌ‬َ ‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬ً ‫ﻨ‬ ‫ﻣ‬ ‫أ‬
ْ ْ ِ ْ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ِ ‫ﻓ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺧ‬
َ ِ ‫ﺪ‬ ْ ‫ﻌ‬َ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﻢ‬
ْ ُ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻟ‬ ‫ﺪ‬َ ‫ﺒ‬ُ ‫ﻴ‬ ‫ﻟ‬ ‫و‬
َ ْ ُ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻟ‬ ‫ﻰ‬ ‫ﻀ‬
َ َ ‫ﺗ‬ ‫ر‬
ْ ‫ا‬ ‫ي‬ ِ ‫ﺬ‬ ‫ﻟ‬ ‫ا‬ ‫ﻢ‬
ُ ُ ‫ﻬ‬َ ‫ﻨ‬ ‫ﻳ‬ِ ‫د‬ ‫ﻢ‬
ْ ُ ‫ﻤﻜﻨ َﻦ‬
‫ﻬ‬ ‫ﻟ‬ َ ُ ‫وَﻟ َﻴ‬
[55/‫ن{ ]اﻟﻨﻮر‬ ِ ‫ﻢ اﻟ َْﻔﺎ‬
َ ‫ﺳُﻘﻮ‬ ُ ُ‫ﻚ ﻫ‬ َ ِ ‫ﻚ ﻓَﺄ ُوﻟ َﺌ‬ َ ِ ‫ﺑ َﻌْﺪ َ ذ َﻟ‬

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya
untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.

9/13
Dalam ayat ini Allah menjajikan kepada orang-orang mengesakan Allah dalam ibadahnya
kekuasaan, kejayaan dan kesentosaan.

Perlu diketahui bahwa yang disebut ibadah tidaklah terbatas pada shalat, zakat dan
puasa semata, akan tetapi mencakup penegakkan hukum Allah dalam segala urusan
kehidupan umat manusia. Baik yang berhubungan dengan urusan pribadi dan keluarga
maupun urusan pemerintahan negara adalah bagian dari ibadah.

Menjalankan hukum Allah bagian dari mensyukuri nikmat kemerdekaan

Menjalankan hukum Allah adalah sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat
kemerdekaan yang diberikan kepada bangsa ini. Sebagaimana tertuang dalam alinia ke
tiga dalam pembukaan UUD 1945, bahwa bangsa ini mengakui dimana kemerdekaan
adalah merupakan rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa.

Maka dari itu kita semua, baik rakyat maupun penguasa, seharusnya benar-benar
menyadari akan nikmat kemerdekaan yang diberikan Allah kepada bangsa. Betapa
besarnya nikmat kemerdekaan tersebut, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing
mengusir penjajah yang memiliki pasukan yang terlatih dan senjata yang lengkap. Maka
jikalau bukan karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya kemerdekaan tersebut
tidak akan pernah diraih bangsa ini.

Betapa banyaknya para kiyai dan santri yang gugur dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsa ini! Apa yang telah kita berikan untuk menhargai jasa-jasa mereka?
Bukaankah mereka mengorbankan jiwa dan raga mereka demi untuk mempejuangkan
Islam? Bukan untuk mengejar pangkat dan jabatan. Saatnyalah bangsa ini menghargai
perjuangan mereka dengan merealisasikan cita-cita mereka, yaitu tegaknya syari’at Allah
di bumi pertiwi ini.

Konstitusi menjamin kemerdekaan menjalankan ajaran agama

Dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaanya itu”.

Dalam pasal ini jelas sekali ditegaskan tentang kebebasan menjalankan ajaran agama
bagi setiap pemeluknya. Dan tiadak ada pengecualian terhadap ajaran tertentu dalam
agama tertentu. Menjalankan hukum Islam adalah bagian dari ajaran Islam yang
diperintahkan Allah yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya. Jika hal itu dilarang
berarti umat Islam belum memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dengan
sepenuhnya dalam menjalankan ajaran agama mereka. Berarti UUD 1945 belum
dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya oleh bangsa kita.

Menjalankan hukum agama adalah pesan tertulis dalam konstitusi

10/13
Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinia ke empat: “Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa…”.

Kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa “Negara berdasar
atas Kethanan Yang Maha Esa”.

Apa maksud para pendiri bangsa kita menjadikan “Kethanan Yang Maha Esa” sebagai sila
pertama dari Pancasila? Maskudnya adalah agar hukum Tuhan dijadikan sebagai sumber
utama dalam segala aspek kehidupan bangsa ini. “Dalam kaitan dengan tertip Hukum
Indonesia maka secara material nilai Ketuhanan Yang Maha Esa harus merupakan
sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif di Indonesia”. (Kaelan, Yogyakarta:
2008).

Bahwa pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang bertaqwa kepada Allah.
Sebagaimana disebutkant dalam pasal 31 ayat 2 bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya dalam ayat 5 dijelaskan bahwa
pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjujung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa….

Hal ini berarti bahwa nagara menjunjung tinggi nilai-nalai dan norma-norma yang datang
dari Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaran
negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuahan. Nilai-nilai yang
berasal dari Tuhan pada hakikatnya adalah merupakan hukum Tuhan yang merupakan
sumber material bagi segala norma, terutama Hukum positif di Indonesia. (Kaelan,
Yogyakarta: 2008).

Disini dapat kita pahami bahwa negara kita bukan berpaham komunis yang anti Tuhan
dah hukum Tuhan. Dan bukan pula negara liberal yang memberi kebebasan warganya
untuk menilai dan mengkritik agamanya, misalnya tentang Nabi, Rasul, Kitab Suci
bahkan Tuhan sekalipun. (Kaelan, Yogyakarta: 2008). Demikian pula bahwa negara kita
bukanlah negara sekuler yang memisahkan norma-norma hukum positif dengan nilai-
nilai dan norma-norma agama.

Apakah di Indonesia sudah ditegakkan syari’at?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tergantung kepada pengertian dan makna dari kata
syari’at yang kita sebutkan di awal tulisan ini. Jika syari’at diartikan dengan ajaran Islam
secara keseluruhan atau diartikan dengan syari’at sinonim bagi kata fiqih. Maka
jawabannya adalah sesunggunya sebahagian besar syari’at telah tegak di Indonesia,
namun secara kesuluruhan belum. Seperti shalat, infaq, sadaqah, zakat, puasa, haji,
membangun masjid, dan seterusnya. Ini semua adalah syari’at.

Akan tetapi bila syari’at diartikan dengan Hukum Hudud maka jawaban dari pertanyaan di
atas adalah negatif. Walaupun demikian halnya bukan berarti hukum syari’at yang telah
dijalankan menjadi batal atau tidak terima Allah. Dan itu juga bukanlah berarti bahwa
11/13
meninggalkannnya tidak berdosa, akan tetapi tidak membuat pelakunya keluar dari
Islam. Selama ada semangat dan niat serta upaya untuk mengingikan agar dijalankannya
syari’at itu secara utuh. Namun kondisi dan kemampuanlah yang membatasi untuk
menjalankannya. Terkhusus masalah menegakkan hukum Hudud yang berkewajiban
menjalankannya adalah penguasa, adapun rakyat dan ulama hanya sebatas
memberikan masukan dan nasehat dengan cara baik. Hal tersebut-pun tidak bisa
dijadikan alasan untuk membangkang kepada penguasa apalagi sampai berupaya untuk
menumbangakan dan mengkudeta kekuasaan yang sah.

Apa upaya untuk menyempurnakan penegakkan hukum Allah di tengah-tengah


kaum muslimin?

Upaya untuk menyempurnakan penegakkan syari’at di tengah-tengah kaum muslimin


adalah dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu dari diri sendiri. Artinya hendahnya
sertiap pribadi muslim memulai penegakkan syari’at tersebut dari diri dan keluarga
masing-masing. Kemudian di lingkungan tempat ia bekerja dan komunitasnya. Dengan
demikian sedikit demi sedikit, secara beransur-ansur syari’at tersebut akan tegak dalam
kehidupan kita.

Sebagaimana pesan Syaikh Nasiruddin Al Albany salah seorang ulama hadits abat ini:
“Tegakkanlah syari’at islam itu dalam diri kalian, niscaya Allah akan menegakkannya di
bumi kalian”.

Upaya penyempurnaan penegakkan syari’at dalam negara kita, bagaikan seorang yang
mau memperbaiki bangunan rumahnya yang rusak. Maka tidak mungkin ia
menghancurkan rumahnya secara kesesluruhan kemudian dibangun baru lagi. Karena
bila demikian halnya, ia dan kelurganya akan kehilangan tempat tinggal . Disamping itu
ia harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membangunnya lagi. Nah!
bagaimana kalau rumah itu rusak lagi, apakah setiap ada kerusakan pada rumahnya
akan dia hancurkan selalu, kemudian baru dibangun lagi? Sesungguhnya orang yang
memiliki akal sehat tidak akan melakukan itu.

Kemudian dalam memperbaiki kerusakan harus ada prioritas, jangan sembrono dengan
semaunya. Karena bila demikian halnya pekerjaanya akan sia-sia. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwah beliau. Demikian
pula nabi-nabi sebelumnya. Saat Rasulullah berdakwah di Makkah tidak pernah
menyuruh para sahabat untuk merusak dan menghacurkan rumah tokoh-tokoh kafir
Quraissy. Apalagi menculik dan membunuh. Tapi beliau memulai dari menanamkan
keimanan terlebih dulu.

Artinya cara-cara kekrasan dan anarkis tidak elegan untuk ditempuh dalam menegakkan
syari’at. Karena menupas kemungkaran tidak boleh dengan cara yang mungkar pula.
Dan menegakkan yang ma’ruf harus dengan cara yang ma’ruf pula. Oleh sebab itu tidak
dibenarkan dalam agama kita demi untuk membantu anak yatim kita mencuri dan
menipu. Untuk contoh-contoh tentang hal tersebut amat banyak dalam agama kita.

12/13
Wallahu A’alm bish Shawaab

[1] Lihat: “Ahkaamul Qur’an”: 21.

13/13

Anda mungkin juga menyukai