Anda di halaman 1dari 12

PULAU NIAS (TANO NIHA) : ANALISA KEBUDAYAAN MEGALITIK YANG MASIH

SANGAT MELEKAT DALAM BUDAYA NIAS

Dewi Shufiyah
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, , Jl. Semarang No.5, Sumbersari, Kec.
Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
dewi.syufiyah@gmail.com

Abstract

The country of Indonesia is famous for its natural and cultural wealth. Different cultures
throughout the whole area are the main attraction for Indonesia. Many heritage sites from
earlier times were found here, to become tourist attractions as well as interesting research. One
of them is a megalithic cultural heritage site that is found on Nias Island. Moreover, the culture
of the Nias Tribe, which is known for its megalithic cultural elements, is still thick. One of the
cultures that is interesting to study more basicly is the Hombo Batu tradition. By researching
more deeply about the cultural traditions that exist on this island, it can make knowledge about
megalithic culture more developed. Not only to increase knowledge, but also as a basis for how
to maintain and preserve the culture. With the results of this study, several conclusions were
given regarding how to develop attitudes that need to be instilled early on in oneself and the
community which are taken from the positive side of the culture in the Nias Tribe.

Keywords: Nias Tribe Culture, Megalithic Culture, Hombo Batu, Attitude Development.

Abstrak

Negara Indonesia terkenal akan kekayaan alam dan budayanya. Kebudayaan yang berbeda
diseluruh penjuru menjadi daya tarik tersendiri bagi Indonesia. Banyak situs peninggalan dari
zaman terdahulu ditemukan disini, hingga menjadi objek wisata sekaligus penelitian yang
menarik. Salah satunya adalah situs peninggalan kebudayaan megalitik yang banyak ditemukan
di Pulau Nias. Apalagi budaya Suku Nias yang dikenal masih kental akan unsur kebudayaan
megalitik. Salah satu budaya yang menarik untuk ditelaah lebih dasar lagi adalah tradisi Hombo
Batu. Dengan meneliti lebih dalam tentang tradisi budaya yang ada di Pulau ini bisa membuat
pengetahuan tentang kebudayaan megalitik lebih berkembang. Tidak hanya untuk menambah
pengetahuan, namun juga sebagai landasan bagaimana cara untuk tetap menjaga dan
melestarikan kebudayaan tersebut. Dengan hasil penelitian ini diberikan beberapa kesimpulan
mengenai bagaimana pengembangan sikap-sikap yang perlu ditanamkan sejak dini kepada diri
sendiri maupun masyarakat yang diambil dari sisi positif kebudayaan yang ada di Suku Nias ini.

Kata kunci: Budaya Suku Nias, Kebudayaan Megalitik, Hombo Batu, Pengembangan Sikap.

Pendahuluan

Menurut Soedjatmoko (2004:178) kebudayaan adalah sesuatu yang mencakup


keseluruhan dari pengetahuan, ilmu, kecakapan, alat-alat, adat kebiasaan, lembaga-lembaga
pengalaman dan perasaan yang terwujud menjadi cara hidup tertentu dan diwariskan secara
turun-temurun. Seperti halnya kebudayaan zaman megalitikum yang peninggalannya bisa dilihat
bahkan masih dilakukan pada masa kini. Kebudayaan tidak akan bisa lepas dari proses
pertumbuhan manusia, bahkan ada suatu wilayah yang masih membuat atau menggunakan
benda-benda peninggalan dari kebudayaan zaman megalitikum pada era modern seperti saat ini.
Kegiatan itu menjadi salah satu contoh dari pengertian kebudayaan diwariskan secara turun-
temurun.

Peninggalan kebudayaan zaman megalitikum identik dengan bangunan yang terbuat


dari batu besar, dibeberapa tempat di Indonesia banyak ditemukan peninggalan dari zaman ini
salah satunya berada di Pulau Nias. Pulau Nias merupakan pulau yang terletak di sebelah barat
Pulau Sumatra, Indonesia. Pulau ini didiami oleh sebagian besar Suku Nias atau Ono Niha,
mereka mempunyai kebudayaan yang khas yaitu kebudayaan yang lekat terhadap kebudayaan
megalitikum. Para peneliti terdahulu mengungkapkan bahwasanya di Pulau Nias terdapat banyak
sekali peninggalan kebudayaan zaman megalitikum, dari hasil penelitian tersebut bisa
memperkuat bukti tentang keistimewaan budaya nias, budaya yang hampir pada seluruh
aspeknya masih melekat terhadap kebudayaan megalitikum.
Budaya Suku Nias ini sangat mengagumkan untuk kita telaah lebih dalam lagi.
Pasalnya, zaman megalitikum atau penyebutan lainnya yaitu zaman batu besar membawa
pengaruh yang luas bagi Suku Nias hingga saat ini. Budaya Suku Nias yang beragam mulai dari
kepercayaan, tradisi hingga pola kehidupan sehari-hari akan sangat menarik untuk dipelajari dan
bermanfaat menambah wawasan tentang kebudayaan salah satu suku di Indonesia, juga untuk
memperdalam pengetahuan terhadap zaman megalitikum. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pengaruh dari masa prasejarah memberikan dampak berkelanjutan hingga saat ini. Dengan
mempelajari sejarah kebudayaan zaman megalitikum lewat budaya Suku Nias lebih dalam, dapat
memberikan kita referensi yang bermanfaat untuk digunakan atau diaplikasikan dalam masa
mendatang. Karena pada dasarnya, budaya yang kita terapkan pada saat ini tidak terlepas dari
segala sesuatu yang dikembangkan dari zaman dahulu. Mungkin tidak terlalu terlihat dampak
atau pengaruhnya pada saat ini, tapi kita semua harus percaya bahwa apa yang kita lakukan
sekarang sedikit banyaknya merupakan pengaruh dari masa lampau. Karena itulah penelitian
lebih spesifik terhadap kebudayaan zaman megalitikum melalui budaya nias ini sangat
diperlukan untuk mendapatkan hasil yang signifikan tentang kebudayaan yang tumbuh pada
masa itu agar dapat dikembangkan pada masa kini.

Metode Penelitian

Dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode studi pustaka.
Penulis menggunakan metode library research, mengumpulkan data-data dengan mengkaji dan
mendalami beberapa artikel jurnal, buku dan dokumen, baik yang sudah dicetak maupun dalam
bentuk elektronik. Sumber lainnya yaitu karangan-karangan dari internet yang belum
dipublikasiakn yang memuat subjek bahasan yang diangkat penulis.

Pembahasan

Kebudayaan Megalitikum

Kebudayaan megalitikum adalah kebudayaan yang secara garis besar menciptakan


bangunan-bangunan menggunakan batu-batu besar. Kebanyakan menganggap zaman
megalitikum adalah zaman munculnya kembali zaman batu setelah zaman logam, akan tetapi
persepsi seperti itu adalah salah. Pada zaman logam manusia masih memerlukan batu sebagai
bahan untuk membuat benda-benda.

Zaman megalitikum merupakan kelanjutan dari zaman neolitikum. Meskipun zaman


megalitikum belum terlalu berkembang pada zaman neolitik, akan tetapi awal mula megalitikum
tumbuh yaitu pada zaman neolitikum. Zaman megalitikum baru benar-benar berkembang pada
zaman logam. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya bukti temuan kuburan zaman
megalitik yang terdapat banyak manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Salah satu
kebudayaan megalitikum yang menarik untuk ditelisik dan diungkap adalah kebudayaan lompat
batu di Suku Nias.

Suku Nias merupakan etnis suku yang menempati sebuah pulau di sebelah barat Pulau
Sumatera, secara spesifik terletak di Sumatera Utara. Pulau Nias terkenal akan keelokan
alamnya, menjadi tempat wisata yang menarik bagi masyarakat Indonesia hingga internasional.
Banyak wisata yang disuguhkan di Pulau Nias, terutama surfing atau berselancar. Disana juga
terdapat wisata yang mempertunjukkan beberapa kebudayaan Suku Nias.

Kebudayaan Suku Nias masih kental akan pengaruh kebudayaan zaman megalitikum.
Penduduk Suku Nias hidup dalam tatanan sosial yang sudah lama diatur dalam konsepsi
kesosialan bermasyarakat, seperti dalam situasi kepercayaan. Salah satu situasi kepercayaan yang
masih dilaksanakan dan diterapkan didalam tatanan hidup masyarakat Suku Nias adalah tradisi
lompat batu.

Lompat batu atau hombo batu adalah tradisi dari masyarakat Suku Nias yang memiliki
tujuan untuk melatih kekuatan dan ketangkasan seorang lelaki dengan cara dibuktikan melalui
serangkaian prosesi lompat batu. Prosesi lompat batu ini memiliki aturan-aturan berupa ukuran
batu, teknis dalam melompati batu dan upacara adat sebelum pelaksanaan prosesi lompat batu.
Ukuran batu yang digunakan dalam prosesi ini memiliki ketinggian berkisar 2 meter. Batu yang
dilompati merupakan bangunan yang memiliki ciri-ciri yang hampir mirip dengan tugu piramida
dan bagian atasnya datar, serta memiliki lebar 90 cm dan panjang 60 cm.
Gambar 1. Tradisi Lompat Batu
Sumber: Infozone.com

Prosesi lompat batu hanya dilaksanakan didaerah Nias Selatan terutama didaerah
kecataman Teluk Dalam. Salah satu lokasi yang digunakan dalam pelaksanaan lompat batu ini
adalah desa Bawomataluo (Sukawi, 2007). Masyarakat didesa ini masih sangat memegang teguh
tradisi lompat batu, sebab dalam kontinuitasnya tradisi lompat batu ini memiliki satu nilai
kehidupan berupa kekuatan.
Lompat batu memiliki kontribusi penting dalam situasi kesejarahan untuk menelisik
bagaimana kehidupan masyarakat Nias, terutama masyarakat Nias Selatan. Zaman dulu,
masyarakat Nias menggunakan tradisi lompat batu untuk melatih seorang lelaki agar mampu
menghadapi situasi peperangan. Namun, dizaman sekarang Nias hanya menggunakan tradisi ini
sebatas sebagai objek wisata semata.
Gambar 2. Wisata Lompat Batu di Pulau Nias
Sumber: Correcto.id

Penyebab mengapa budaya megalthikum di Suku Nias hanya digunakan sebagai objek
wisata dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor luar yang
ketidakadaannya perhatian dari pemerintah. Sedangkan dari faktor dalam sendiri, penyebab dari
kondisi ini adalah adanya perubahan fungsi hombo batu atau lompat batu dan juga
ktidakadaannya perhatian dari masyarakat sekitar.
1. Fungsi Kebudayaan Lompat Batu
Lompat batu merupakan salah satu kebudayaan dari zaman neolithikum dan
beraliran megalithikum. Dalam kontinuitasnya, peninggalan zaman neolithikum ini
memiliki beberapa fungsi utama yakni sebagai bentuk untuk melatih ketangkasan
dan kekuatan bagi seorang laki-laki sebagai dasar untuk meninjau sisi
kedewasaannnya.
Situs ini dalam konsepsinya lompat batu membawa sebuah persepsi nilai kehidupan
berupa kekuatan. Dalam menjalanin sebuah kehidupan harus memiliki sifat kuat
dalam menjalani segala sesuatu yang terjadi pada rentetan kehidupan.

Gambar 3. Permainan Lompat Batu Oleh Anak-anak


Sumber: Incek.id

2. Nilai-nilai Kebudayaan Lompat Batu


Dilihat dari fungsi utamanya, tradisi lompat batu ini memiliki beberapa nilai.
Pertama, melatih ketangkasan dan kekuatan fisik. Dalam melakukan lompat batu
seseorang diperlukan memiliki kekuatan fisik, psikis dan emosi yang seimbang.
Untuk mendapatkan itu diperlukan latihan kekuatan agar memiliki ketangkasan.
Karena untuk bisa melompati batu tersebut dibutuhkan kekuatan yang cukup.
Kedua, semakin menumbuhkan sikap berani dan berjuang. Dengan adanya tradisi
lompat batu ini seseorang juga dilatih untuk menigkatkan keberanian diri, seperti
dalam mengambil keputusan untuk melompati batu itu. Orang tersebut harus yakin
bahwa dia mampu melakukannya dan harus meninggalkan rasa takutnya. Saat
seseorang dengan berani mengambil keputusan untuk melompati batu itu berarti dia
sudah memikirkan segala sesuatu tentang konsekuensi dari keputusan tersebut,
seperti kegagalan, kecelakaan saat pelaksanaan, luka kecil hingga luka yang serius.
Jika dia sudah bertekad untuk melakukan itu, maka kegagalanpun tidak akan
membuat dia mundur untuk mencapai keberhasilan dalam melompati batu itu.
Disinilah aspek sikap berjuang meningkat, seseorang akan terus berusaha untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan.
Ketiga, melatih kedewasaan dan sebagai sarana persiapan dalam menghadapi
persoalan hidup. Lompat batu merupakan tradisi dimana seseorang membuktikan
dirinya pantas dianggap dewasa atau bisa dibilang tradisi pembuktian kedewasaan
seseorang. Ketika seseorang berhasil melakukan tradisi hombo batu atau lompat
batu ini, maka dia akan mendapatkan pengakuan atas kedewasaan dan kesiapan
dalam menghadapi berbagai persoalan hidup serta telah dapat dipercaya untuk
mengemban atau dibebani amanat. Jika kita membahas tentang kedewasaan,
pastinya hal itu tidak jauh atau ada hubungannya dengan sikap tanggung jawab.
Sikap tanggung jawab disini yaitu seseorang siap menempatkan diri atas posisi-
posisi penting dalam kehidupan sosial. Kedewasaan juga memperlihatkan tentang
nilai kemandirian seseorang dalam melakukan kewajiban-kewajiban perkembangan
dengan baik, tanpa harus selalu mengandalkan orang lain (Papalia, Olda & Feldman,
2001; dan Haryani, 2014).
Keempat, menumbuhkan kegigihan dan semangat dalam berlatih. Di Pulau Nias,
anak-anak yang berusia mulai dari 10 tahun telah dilatih untuk menghadapi tradisi
lompat batu atau hombo batu ini (Niken, 2014). Untuk mendapat pengakuan
kedewasaan, anak-anak perlu memiliki kemampuan untuk dapat melompati atau
melewati batu ini. Untuk memiiliki kemampuan tersebut, perlu adanya usaha serta
latihan yang giat dan disiplin. Hal ini memberi pelajaran mengenai proses pada
kehidupan, proses-proses dalam hidup perlu dipersiapkan dengan baik. Jadi, ketika
tiba masanya seseorang akan lebih dewasa dalam hal kepribadiannya. Dengan
melakukan latihan yang giat dapat mengembangkan kekuatan dan kecepatan hingga
berkembangnya pola berpikir seorang anak.
Kelima, memiliki sikap gagah berani dan daya juang. Histori tradisi lompat batu
yaitu tradisi yang merupakan peninggalan kebudayaan dari para leluhur Suku Nias
yang dulunya dipakai sebagai pelatihan dan persiapan untuk menyelesaikan suatu
konflik dengan cara berperang. Namun pada masa kini penafsiran kata “perang”
tidak lagi diartikan sebagai suatu peristiwa mengumpulkan orang-orang dengan
membawa senjata untuk mengalahkan musuh, tetapi diartikan dengan kehidupan
yang banyak terjadi berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi. Untuk
menaklukkan segala persoalan dan tantangan hidup itu maka kita perlu
meningkatkan kemampuan diri dengan cara berlatih, tidak hanya fisik tetapi juga
pikiran. Dengan tradisi lompat batu ini seseorang sudah dilatih fisiknya dan juga
pola pikir hingga sikapnya. Fisik yang dilatih agar semakin kuat, pola pikir yang
semakin tajam dan sikap yang berani dalam mengambil keputusan. “Perang” dalam
menaklukkan tantangan-tantangan kehidupan inilah yang kemudian menumbuhkan
sikap daya juang seseorang untuk terus berusaha dalam menghadapi setiap persoalan
kehidupan.
3. Pelaksanaan Tradisi Hombo Batu atau Lompat Batu
Fahombo atau hombo batu atau lompat batu ini dilaksanakan sudah dari zaman para
leluhur, digunakan sebagai persiapan latihan untuk berperang. Karena zaman
sekarang sudah tidak terjadi peperangan, maka lompat batu hanya dilakukan sebagai
upacara adat atau sebagai ikon kebudayaan dari Suku Nias. Dalam melaksanakan
tradisi hombo batu tidak diperlukan banyak ritual khusus. Disebutkan beberapa
iringan dalam melaksanakan tradisi hombo batu (Darnis Maru’ao, 2020:61).
1) Atraksi Faluaya (Tari Perang)
Tarian Faluaya atau Tari Perang adalah lambang ksatria bagi para pemuda
Suku Nias untuk melindungi desa mereka dari bahaya atau serangan musuh.
Tarian ini sarat akan gambaran situasi peperangan pada setiap gerakannya
dan melibatkan belasan hingga ratusan penari. Para penari menggunakan
bermacam-macam alat seperti Baluse (perisai), Toho (tombak), belewa
(parang), Tologu ( pedang) dan Kalabubu (kalung yang terbuat dari logam
dan dilapisi tempurung kelapa) yang pada zaman dulu alat-alat tersebut
digunakan ketika berperang. Tarian ini dipertunjukkan sebelum tradisi
lompat batu dimulai, untuk memeriahkan dan meningkatkan semangat.
2) Tradisi Hombo Batu atau Lompat Batu
Lompat batu adalah agenda utama dari acara ini. Seluruh pemuda yang
merasa sudah siap harus memakai Baru Oholu, yaitu pakaian adat Nias yang
khusus dipakai untuk laki-laki. Baju Baru Oholu memiliki tiga perpaduan
warna yaitu merah, hitam dan kuning. Dalam setiap warna mempunyai
makna atau simbol tentang keberanian, ketangkasan dan kekayaan. Tata cara
dalam melakukan lompat batu yaitu dilakukan secara bergantian, saat
pelompat pertama sudah melompat kemudian disusul oleh pelompat kedua
hingga pelompat terakhir dan disambung kembali oleh pelompat pertama,
siklus tersebut dilakukan berulang sebanyak 3 kali putaran (Darnis Maru’ao,
2020:62).

Gambar 4. Tata Cara Pelaksanaan Hombo Batu


Sumber: Travelkompas.com
3) Acara Syukuran
Kegiatan ini dilakukan jika ada pelompat yang berhasil melakukan lompatan
sebanyak 3 putaran. Keluarga dan sanak saudara pelompat akan sangat
bangga dan senang dengan keberhasilan itu sehingga mereka melakukan
acara syukuran dan selametan secara sederhana atas keberhasilan pelompat.
Acara syukuran dan selametan ini identtik dengan pemotongan ayam putih,
karena aym putih dimaknai sebagai sebuah harapan dan doa orang tua untuk
anaknya agar bisa melangkah lebih jauh dan lebih baik lagi untuk
kedepannya dan demi kebaikannya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian yang peneliti sampaikan diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa tradisi Hombo batu adalah tradisi yang turun temurun dari para leluhur. Akan tetapi
fungsi dari tradisi tersebut sedikit berubah, yang awalnya sebagai persiapan untuk menghadapi
perang, sekarang berubah fungsi sebagi upacara pada acara besar dan dipertunjukkan untuk
wisata sebagai bentuk pelestarian atas kebudayaan itu. Perubahan fungsi ini disebabkan oleh
perkembangan zaman, dimana pada zaman ini peperangan tidak lagi terjadi. Tradisi ini dijaga
dan dikembangkan bersamaan dengan kebudayaan megalitikum.

Bagaimana cara para anak dilatih bisa menjadi teladan untuk metode ajar, anak dilatih
berpikir kritis dan disiplin sejak dini agar pola pikirnya dapat berkembang. Dari tradisi ini juga
menghasilkan pengembangan sikap-sikap positif yang memang perlu pelatihan untuk
menumbuhkan itu. Saat anak dilatih untuk berani dalam mengambil sebuah keputusan, dilatih
berpikir tentang resiko atas keputusannya dan dilatih untuk terus berusaha jika mengalami
kegagalan, itu yang bisa kita terapkan pada kehidupan kita sehari-hari. Baik untuk mendidik diri
sendiri maupun untuk mengembangkan potensi masyarakat.

Tradisi ini bisa dikembangkan dengan cara membuat sanggar sebagai pelatihan atau
tempat dimana pengunjung yang ingin melakukan lompat batu bisa mencoba melakukannya
tentu dengan pengawasan ahli. Tempat seperti ini bisa menjadi ikon yang lebih menarik lagi bagi
para pengunjung untuk datang belajar dan mencoba kegiatan lompat batu ini, tidak hanya
sekedar melihatnya saja. Mungkin wahana mencoba lompat batu ini bisa disesuaikan ukuran
batunya mengingat ini hanya sarana untuk mencoba, serta untuk mengurangi resiko-resiko buruk
yang tidak diinginkan.

Susku Nias dikenal dengan keindahan alamnya dan kebudayaan megalitik yang masih
kental dengan budaya mereka. Peninggalan kebudayaan megalitik yang berada di pulau ini bisa
kita telaah lebih jauh lagi, karena mungkin apa yang kita ketahui saat ini hanya sebagian kecil
dari hal-hal tersebut. Semoga dengan adanya artikel ini bisa menjadi acuan untuk kita agar lebih
bisa mengeksplor tradisi-tradisi yang ada atau bahkan hampir punah akibat globalisasi pada
zaman ini.

Daftar Rujukan

Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Volume 1). Yogyakarta:


Penerbit Kanisius.

Siregar, A.Z. & Syamsuddin. 2015. Tradisi Hombo Batu di Pulau Nias: Satu Media Pendidikan
Karakter Berbasis Kearifan Lokal. SIPATAHOENAN: South-East Asian Journal for Youth,
Sports & Health Education, 1(2). ISSN 2407-7348.

Hirza, H. 2014. Berbagai Ragam Kebudayaan Nias. Medan: Universitas Negeri Medan.

Abidin, A.K. Pengantar Filsafat Kebudayaan, 2021.

Maru’ao, D. 2020. Nilai-nilai Pendidikan Dalam Tradisi Hombo Batu di Desa Bawomataluo
Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Medan: Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara.

Halawa, I.K. 2020. Strategi Perintisan Jemaat Di Teangah Sinkretisme Dalam Budaya Nias. OSF
Preprints. DOI: 10.31219/osf.io/5rxt4.

Tedjasendjaja, G.A. & Lukman, F. 2014. Pulau Nias Dalam Visualisasi Fotografi. Jurnal Rupa
Rupa, 3(2). Dari https://journal.ubm.ac.id/index.php/rupa-rupa/article/view/163.

Sukendar, H. 1998. Album Tradisi Megalitik di Indonesia. Oleh: Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan Jakarta.
Alphilia, A. & Setiawan, H. 2015. DNA, Kebudayaan, Persebaran pada Suku Nias. Surakarta:
Institut Seni Indonesia.

Halawa, W.E.S., Triyanto, R., Budiwiwaramulja, D., & Azis, A.C.K. 2020. Analisis Gambar
Ilustrasi Hombo Batu Nias Gunungsitoli. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 9(1). Dari
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/gorga/article/view/18793.

Anda mungkin juga menyukai