Anda di halaman 1dari 8

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan
salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya,
dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami susun untuk melengkapi tugas kelompok mata pelajaran Agama
Islam. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi
bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan
sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atas dasar pemenuhan kebutuhan sehari-hari, maka terjadilah suatu kegiatan yang di
namakan jual beli. Jual beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang
menurut syara’ artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad).
Sedangkan riba yaitu memiliki sejarah yang sangat panjang dan praktiknya sudah dimulai
semenjak bangsa Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-
Islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan
sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari bermuamalah antara satu dengan
yang lainnya. Muamalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan dan
perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang
terdapat dalam Alquran tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu.
Itulah sebabnya ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam
muamalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar. Aturan yang lebih
khusus datang dari nabi. Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta
diatur agama Islam salah satunya dalam jual beli. Jual beli yang di dalamnya terdapat aturan-
aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita pahami. Jual beli seperti apakah yang
dibenarkan oleh syara’ dan jual beli manakah yang tidak diperbolehkan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian jual beli?


2. Apa dasar hukum jual beli?
3. Apa saja rukun jual beli?
4. Apa saja syarat jual beli?
5. Ada berapa macam bentuk jual beli?
6. Apa yang dimaksud dengan khiyar?

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli

Jual beli dalam istilah fikih disebut dengan al’bai yang berarti menjual, mengganti, dan
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bai dalam bahasa arab terkadang
digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asyi-syira’ (beli). Dengan kata lain al-bai
berarti jual tetapi sekaligus juga berarti beli. Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau
saling menukar. Sedangkan menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang
dengan barang yang lain dengan rukun dan syarat tertentu.
Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai
dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual
menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga
barang, menjadi milik penjual. Secara etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan
sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, almubadah, dan at-
tijarah. Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara
lain:
1. Menurut ulama Hanafiyah: Jual beli adalah “pertukaran harta (benda) dengan harta
berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’: Jual beli adalah “pertukaran harta dengan
harta untuk kepemilikan.”
3. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni: Jual beli adalah “pertukaran harta
dengan harta, untuk saling menjadikan milik.” Pengertian lainnya jual beli ialah
persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual
barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
Akad bai’ ini dapat di buat sebagai sarana untuk memiliki barang atau manfaat dari
sebuah barang untuk selama-lamanya.

B. Dasar Hukum Jual Beli


Jual beli sudah ada sejak dulu, meskipun bentuknya berbeda. Jual beli juga dibenarkan
dan berlaku sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW sampai sekarang. Jual beli mengalami
perkembangan seiring pemikiran dan pemenuhan kebutuhan manusia. Jual beli yang ada di
masyarakat di antaranya adalah:

1. Jual beli barter (tukar menukar barang dengan barang).


2. Money charger (pertukaran mata uang).
3. Jual beli kontan (langsung dibayar tunai).
4. Jual beli dengan cara mengangsur (kredit).
5. Jual beli dengan cara lelang (ditawarkan kepada masyarakat umum untuk mendapat
harga tertinggi).
6.
Berbagai macam bentuk jual beli tersebut harus dilakukan sesuai hukum jual beli
dalam agama Islam. Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah
menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syariat-Nya. Dalam Surah al-Baqarah
ayat 275 Allah SWT berfirman:…‫ َّر َم ال ِّربَا‬II‫ َع َو َح‬IIْ‫ َّل هَّللا ُ ْالبَي‬II‫… َوَأ َح‬Artinya:“… dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S. al-Baqarah: 275)

i
Riba’ adalah haram dan jual beli adalah halal. Jadi tidak semua akad jual beli adalah
haram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang berdasarkan ayat ini. Jual beli yang
dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli dalam
Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli harus
dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan.

Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:


1. Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli.
2. Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar
hutang.
3. Sunah, misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan
barang yang dijual.
4. Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual barang
untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar,
dan jual beli dengan tujuan merusak ketenteraman masyarakat.

C. Rukun Jual Beli

Dalam menetapkan rukun jail beli, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat,
menurut ulama Hanafiah rukun jual beli adalah ijab dan kabul yang menunjukkan pertukaran
barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Akan tetapi karena unsur kerelaan
itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan
indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak. Adapun rukun jual beli menurut
jumhur ulama ada empat, yaitu:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
2. Ada Shighat (lafal ijab dan qabul).
3. Ada barang yang dibeli.
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad barang yang dibeli, dan nilai tukar
barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli. Jual beli dinyatakan
sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun jual beli berarti sesuatu yang harus
ada dalam jual beli. Apabila salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi, maka jual beli tidak
dapat dilakukan.

D. Syarat Jual Beli


Jual beli dikatakan sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Persyaratan
itu untuk menghindari timbulnya perselisihan antara penjual dan pembeli akibat adanya
kecurangan dalam jual beli. Bentuk kecurangan dalam jual beli misalnya dengan mengurangi
timbangan, mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang berkualitas lebih
rendah kemudian dijual dengan harga barang yang berkualitas baik. Rasulullah Muhammad
SAW melarang jual beli yang mengandung unsur tipuan. Oleh karena itu seorang pedagang
dituntut untuk berlaku jujur dalam menjual dagangannya. Adapun syarat sah jual beli adalah
sebagai berikut:
1. Syarat orang yang berakad
 Berakal.
 Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, tidak sekaligus menjadi penjual atau
pembeli.

i
2. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ijab dan kabul
 Orang yang mengucapkannya telah balig dan berakal.
 Kabul sesuai dengan ijab.
 Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis.
3. Syarat barang yang diperjual belikan
 Barang yang dijual ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupan untuk mengadakan barang itu.
 Barang yang di jual memiliki manfaat.
 Barang yang dijual adalah milik penjual atau milik orang lain yang dipercayakan
kepadanya untuk dijual.
4. Syarat sah nilai tukar (harga barang)
Termasuk unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang di jual
(untuk zaman sekarang adalah uang). Ijab adalah pernyataan penjual barang sedangkan Kabul
adalah perkataan pembeli barang. Dengan demikian, ijab kabul merupakan kesepakatan
antara penjual dan pembeli atas dasar suka sama suka. Ijab dan kabul dikatakan sah apabila
memenuhi syarat sebagai berikut:
 Kabul harus sesuai dengan ijab.
 Ada kesepakatan antara ijab dengan kabul pada barang yang ditentukan mengenai ukuran
dan harganya.
 Akad tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad, misalnya:
“Buku ini akan saya jual kepadamu Rp10.000,00 jika saya menemukan uang”.
 Akad tidak boleh berselang lama, karena hal itu masih berupa janji.

E. Bentuk-bentuk Jual Beli


Ulama Hanafiyah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk,
yaitu:

1. Jual beli yang sahih


Dikatakan sahih apabila jual beli ini disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang
ditentukan, bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli yang
diperbolehkan dalam Islam adalah:
 Telah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli.
 Jenis barang yang dijual halal.
 Jenis barangnya suci.
 Barang yang dijual memiliki manfaat.

2. Jual beli yang batal


a. Jual beli sesuatu yang tidak ada
Para ulama fikih sepakan menyatakan jual beli ini tidak sah/batil. Misalnya,
memperjual belikan buah-buahan yang putiknya pun belum muncul dipohonnya atau anak
sapi yang belum ada sekalipun diperut ibunya telah ada. Hal ini sejalan dengan sabda
Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad Ibnu
Hambal, An-Nasai, dan At-Tirmidzi.
b. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli
Seperti menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di
udara. jual beli barang curian. Alasannya adalah Hadis yang diriwayatkan Ahmad ibn

i
Hambal, Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi sebagai berikut: jangan kamu membeli ikan di
dalam air, karena jual beli seperti ini adalah jual beli tipuan.
c. Jual beli yang mengandung unsur penipuan
Yang pada lahirnya baik tetapi dibalik itu terdapat unsur-unsur tipuan, sebagaimana
terdapat dalam sabda Rasulullah SAW tentang memperjual belikan ikan yang masih ada di
dalam air di atas.
d. Jual beli benda-benda najis
Seperti khamer, babi, dan darah, karena semua itu dalam pandangan Islam adalah najis
dan tidak mengandung makna harta.

3. Jual beli yang fasid


Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli fasid dengan jual beli yang batal.
Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijual belikan, maka
hukumnya batal. Seperti memperjual belikan benda-benda yang haram (khamar, babi, dan
darah). Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki,
maka jual beli itu di namakan fasid.

i
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Jual beli adalah peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang
diperbolehkan oleh syara’. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (‫ )جواز‬atau (‫)مباح‬. Rukun
jual beli ada tiga yaitu, adanya ‘aqid (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaih (barang yang
diperjual belikan), dan sighat (ijab qobul). Syaratnya ‘aqid baligh dan berakal, islam bagi
pembeli mushaf, dan tidak terpaksa, syarat bagi ma’qud ‘alaih adalah suci atau mungkin
disucikan, bermanfaat, dapat diserah terimakan secara cepat atau lambat, milik sendiri,
diketahui/dapat dilihat. Syarat sah shighat adalah tidak ada yang membatasi (memisahkan),
tidak diselingi kata-kata lain, tidak dita’likkan (digantungkan) dengan hal lain, dan tidak
dibatasi waktu.

Jual beli ada tiga macam yaitu, menjual barang yang bisa dilihat hukumnya boleh/sah,
menjual barang yang disifati (memesan barang) hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual
sesuai dengan sifatnya (sesuai promo), menjual barang yang tidak kelihatan Hukumnya tidak
boleh/tidak sah.

B. Saran

Sebagai umat Islam sebaiknya kita selalu melakukan jual beli sesuai dengan syariat
hukum Islam.

i
DAFTAR PUSTAKA

Imran, Ali. 2011. Fikih, Taharah, Ibadah, Muamalah. Bandung: CV. Media Perintis.

Moh. Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra.

Rasyid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Syafe’i, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah untuk Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Yunus, Mahmu. 2011. Fiqih Muamalah. Medan: Ratu Jaya.

https://id.wikipedia.org/wiki/Gharar

Anda mungkin juga menyukai