Anda di halaman 1dari 11

adhailud Da’wah (Keutamaan Dakwah)

1
1
Dakwah adalah aktivitas menyeru manusia kepada Allah Ta’ala dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dengan harapan agar objek dakwah (mad’u) yang kita dakwahi
beriman kepada Allah Ta’ala dan mengingkari thaghut (semua yang diabdi selain Allah)
sehingga mereka keluar dari kegelapan  jahiliyah menuju cahaya Islam.

Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam, kita akan banyak menemukan pembicaraan
mengenai fadhail  (keutamaan) dakwah yang luar biasa. Penting bagi kita untuk
mengetahui, memahami, dan menghayati tentang keutamaan dakwah ini, agar memiliki
motivasi yang kuat untuk berdakwah dan bergabung bersama kafilah dakwah
dimanapun ia berada; juga dapat menjaga konsistensi, semangat, serta menjadikan kita
merasa ringan menghadapi beban dan rintangan dakwah betapapun beratnya.

Beberapa keutamaan dakwah yang dapat kita sebutkan dalam pokok bahasan ini
adalah:

Pertama,  dakwah adalah muhimmatur rusul (tugas utama para rasul) ‘alaihimus salam.

Para rasul ‘alaihimus salam  adalah orang yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk melakukan
tugas utama mereka yakni berdakwah kepada Allah Ta’ala. Keutamaan dakwah terletak
pada disandarkannya kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia
yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para nabi dan rasul ‘alaihimus salam.

ْ ‫سب َْحانَ اللَّ ِه وَ مَا َأنَا ِمنَ ا ْل ُم‬


َ‫ش ِر ِكين‬ ُ َ‫َن اتَّبَ َع ِني و‬ ‫ُق ْل َه ِذ ِه سَبي ِلي َأدْعُ و لَى اللَّ ِه عَ لَى ب ِ َأ‬
ِ ‫َصيرَ ٍة نَا وَ م‬ ‫ِإ‬ ِ

“Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku
berdakwah (mengajak kamu)  kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah,
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’”. (QS. Yusuf, 12: 108).
Ayat di atas menjelaskan bahwa jalan yang dilalui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para pengikut beliau adalah jalan dakwah. Maka barangsiapa mengaku
menjadi pengikut beliau, ia harus terlibat dalam dakwah sesuai kemampuannya masing-
masing. Ibnul Al-Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Tidaklah seseorang itu
murni sebagai pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  sampai ia mau
mendakwahkan apa-apa yang didakwahkan oleh beliau dengan dasar ilmu yang
mendalam.”[1]

Tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam, Allah Ta’ala  mengisahkan kesibukan beliau yang tak
kenal henti dalam menjalankan tugas berdakwah siang dan malam:

‫ب ِإ ِنّي دَعَ وْ تُ َقوْ ِمي لَ ْياًل وَ نَ َهارً ا‬


ِ ّ َ‫َقا َل ر‬

  “Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah mendakwahi (menyeru) kaumku
malam dan siang.’” (QS. Nuh, 71: 5).

Tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Allah Ta’ala  mengisahkan dakwah yang beliau


lakukan kepada ayah dan umatnya,

“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim, ketika ia berkata kepada bapaknya dan
kaumnya: ‘Apakah yang kamu sembah?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyembah berhala-
berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya’. Berkata Ibrahim: ‘Apakah berhala-
berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya), atau (dapatkah)
mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?’ Mereka menjawab:
‘(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian’.
Ibrahim berkata: ‘Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu
sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang
kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam, (Yaitu Tuhan) yang
telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, yang Dia
memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali), dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari
kiamat”. (QS. Asy-Syuara, 26: 69-82).

Tentang Nabi Musa ‘alaihis salam, Allah Ta’ala  mengisahkan dakwah beliau dalam


banyak ayat-ayat Al-Quran, diantaranya,
‫ب ا ْلعَالَ ِمينَ َفلَمَّا َجا َء ُه ْم ِبآيَا ِتنَا ِإ َذا ُه ْم ِم ْن َها‬ َ ْ‫وَ لَ َق ْد َأر‬
ِ ّ َ‫س ْلنَا مُوسَىٰ ِبآيَا ِتنَا ِإلَىٰ ِفرْ عَ وْ نَ وَ َملَِئ ِه َف َقا َل ِإ ِنّي رَ سُو ُل ر‬
َ‫يَضْ َح ُكون‬

“Dan sesunguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa mukjizat- mukjizat
Kami kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Maka Musa
berkata:  ‘Sesungguhnya aku adalah utusan dari Tuhan seru sekalian alam’.  Maka tatkala
dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami dengan serta
merta mereka mentertawakannya.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 46-47).

Tentang Nabi Isa ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah beliau dalam firman-


Nya,

‫َأ‬ ‫ُأِل‬
ِ ‫ات َقا َل َق ْد ِجْئ تُ ُك ْم ِبا ْل ِح ْك َم ِة وَ بَ ِيّنَ لَ ُك ْم بَعْضَ الَّ ِذي تَخْ تَ ِلفُونَ ِفي ِه ۖ َفاتَّقُوا اللَّ َه وَ ِطيع‬
َّ‫ُون ِإن‬ ِ َ‫وَ لَمَّا َجا َء ِعيسَىٰ ِبا ْلبَ ِيّن‬
ْ ‫صرَ اط ٌ ُم‬
‫ستَ ِقي ٌم‬ ِ ‫اللَّ َه ُهوَ رَ ِبّي وَ رَ بُّ ُك ْم َفاعْ بُدُو ُه ۚ ٰ َه َذا‬

“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: ‘Sesungguhnya aku datang
kepadamu dengan membawa hikmah[2]  dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian
dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah
(kepada) ku’.  Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah
Dia, ini adalah jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 63-64).

Pintu kenabian dan kerasulan memang sudah tertutup selama-lamanya, namun kita
masih dapat mewarisi pekerjaan dan tugas mulia mereka, sehingga kita berharap
semoga Allah Ta’ala berkenan memuliakan kita.

Kedua, dakwah adalah ahsanul  a’mal (amal yang terbaik).

Dakwah adalah amal yang terbaik karena tujuannya adalah menjaga keberlangsungan
amal Islami di dalam setiap pribadi dan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman,

ْ ‫وَ مَنْ َأ ْحسَنُ َقوْ اًل ِممَّنْ دَعَ ا ِإلَى اللَّ ِه وَ عَ ِم َل صَ ا ِل ًحا وَ َقا َل ِإنَّ ِني ِمنَ ا ْل ُم‬
َ‫س ِل ِمين‬

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru)
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushilat, 41: 33).
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: “Allah Ta’ala menyeru
manusia: ‘Wahai manusia, siapakah yang lebih baik perkataannya selain orang yang
mengatakan Rabb kami adalah Allah, kemudian istiqamah dengan keimanan itu,
berhenti pada perintah dan larangan-Nya, dan berdakwah (mengajak) hamba-hamba
Allah untuk mengatakan apa yang ia katakan dan mengerjakan apa yang ia
kerjakan.” [3]

Bagaimana tidak akan menjadi ucapan dan pekerjaan yang terbaik? Sementara dakwah
adalah pekerjaan makhluk terbaik yakni para nabi dan rasul ‘alaihimus salam.

Sayyid Quthb rahimahullah berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran: “Sesungguhnya kalimat


dakwah adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan
kalimat-kalimat baik lainnya.  Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang
membenarkannya, dan disertai penyerahan diri kepada Allah sehingga tidak ada
penonjolan diri di dalamnya. Dengan demikian jadilah dakwah ini murni untuk Allah,
tidak ada kepentingan bagi seorang da’i kecuali menyampaikan.   Setelah itu tidak pantas
kalimat seorang da’i kita sikapi dengan berpaling, adab yang buruk, atau pengingkaran.
Karena seorang da’i datang dan maju membawa kebaikan, sehingga ia berada dalam
kedudukan yang amat tinggi…” (Fi Zhilal Al-Quran, 6/295).

Ketiga, dakwah memiliki keutamaan yang besar karena para da’i akan memperoleh
balasan yang besar dan berlipat ganda (al-hushulu ‘ala al-ajri al-‘azhim).

‫ي اللَّ ُه ِبكَ رَ ُجالً خَ يْرٌ لَكَ ِمنْ َأنْ يَ ُكونَ لَكَ ُحمْ رُ النَّع َِم‬
َ ‫ َفوَ اللَّ ِه َأَلنْ يَ ْه ِد‬:‫ي‬ ِ ‫َقا َل رَ سُو ُل‬
ٍّ ‫هللا صلى هللا عليه وسلم ِل َع ِل‬

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah,


sesungguhnya Allah Ta’ala  menunjuki seseorang dengan (da’wah)mu maka itu lebih
bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan


bahwa: “Unta merah adalah kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat
itu.”

Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’i menyampaikan hidayah kepada
seseorang adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah Ta’ala, lebih besar dan
lebih baik dari kebanggaan seseorang terhadap kendaraan mewah miliknya.
Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan,

َّ ‫َت عَ لَ ْي ِه ال‬
ُ‫شمْ س‬ ْ ‫هللا عَ لَى يَ َديْكَ رَ ُجالً خَ يْرٌ لَكَ ِممَّا طَلَع‬
ُ ‫ي‬ َ ‫ َأَلنْ يَ ْه ِد‬،ُّ‫يَا عَ ِلي‬

“Wahai Ali,  sesungguhnya Allah  Ta’ala  menunjuki seseorang dengan usaha kedua
tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya
(lebih baik dari dunia dan isinya).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

ِ َ‫ات وَ اَأْلر‬
‫ضينَ َحتَّى النَّمْ لَ َة ِفي ُج ْح ِر َها‬ َّ ‫ ِإنَّ اللَّ َه وَ َماَل ِئ َكتَ ُه وَ َأ ْه َل ال‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
ِ َ‫سمَو‬
َ‫َّاس ا ْلخَ يْر‬
ِ ‫وت لَيُصَ لُّونَ عَ لَى ُم َعلِّ ِم الن‬ َ ‫وَ َحتَّى ا ْل ُح‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah  Ta’ala  memberi


banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di
lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan
kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili).

Berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa
besar kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!

Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits tersebut juga mengutip ucapan Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah  yang mengatakan:

‫ات‬
ِ َ‫سمَو‬ ِ ‫عَ ا ِل ٌم عَ ا ِم ٌل ُم َعلِّ ٌم يُدْعَ ى َك ِبيرً ا ِفي َملَ ُك‬
َّ ‫وت ال‬

“Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai
orang besar (mulia) di kerajaan langit.”

Keagungan balasan bagi orang yang berdakwah tidak hanya pada besarnya balasan
untuknya tetapi juga karena terus menerusnya ganjaran itu mengalir kepadanya
meskipun ia telah wafat.

Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,


‫ُأ‬ ‫َأ‬
ِ ‫سنَ ًة َف ُع ِم َل ِب َها بَ ْع َد ُه ُك ِتبَ لَ ُه ِم ْث ُل ْج ِر مَنْ عَ ِم َل ِب َها وَ اَل يَ ْن ُقصُ ِمنْ ُج‬
َ ‫ور ِه ْم‬
ْ‫شيْ ٌء وَ مَن‬ َ ‫سنَّ ًة َح‬ ُ ‫ساَل ِم‬
ْ ‫مَنْ سَنَّ ِفي اِإْل‬
‫َأ‬
‫شيْ ٌء‬ ِ َ‫سيِّـَئ ًة َف ُع ِم َل ِب َها بَ ْع َد ُه ُك ِتبَ عَ لَ ْي ِه ِم ْث ُل ِوزْ ِر مَنْ عَ ِم َل ِب َها وَ اَل يَ ْن ُقصُ ِمنْ وْ ز‬
َ ‫ار ِه ْم‬ ُ ‫ساَل ِم‬
َ ‫سنَّ ًة‬ ْ ‫سَنَّ ِفي اِإْل‬

“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya
dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang
mencontohnya tanpa  mengurangi  sedikitpun pahala mereka yang mencontohnya. Dan
barangsiapa mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang
lain, maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa
mengurangi  dosa  mereka yang menirunya.” (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).

Keempat,  dakwah dapat menyelamatkan kita dari azab Allah Ta’ala  (an-najatu minal
‘azab)

Dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i akan membawa manfaat bagi dirinya sebelum
manfaat itu dirasakan oleh orang lain yang menjadi objek dawahnya (mad’u). Manfaat
itu antara lain adalah terlepasnya tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala sehingga
ia terhindar dari adzab-Nya.

Tersebutlah sebuah daerah yang bernama “Aylah” atau “Eliah” sebuah perkampungan
Bani Israil. Penduduknya diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk menghormati hari Jumat
dan menjadikannya hari besar, namun mereka tidak bersedia dan lebih menyukai hari
Sabtu. Sebagai hukumannya Allah Ta’ala  melarang mereka untuk mencari dan
memakan ikan di hari Sabtu, dan Allah Ta’ala membuat ikan-ikan tidak muncul kecuali
di hari Sabtu. Sekelompok orang kemudian melanggar larangan ini dan membuat
perangkap ikan sehingga ikan-ikan di hari Sabtu masuk ke dalam perangkap lalu
mereka mengambilnya di hari ahad dan memakannya. Sementara orang-orang yang
tidak melanggar larangan Allah Ta’ala terbagi menjadi dua kelompok yaitu mereka yang
mencegah kemunkaran dan mereka yang diam saja.[4]

Terjadilah dialog antara orang-orang yang diam saja dengan mereka yang  berdakwah
mengingatkan saudara-saudaranya yang melanggar larangan Allah Ta’ala. Dialog ini
disebutkan dalam Al-Quran:

‫شرَّ عً ا وَ يَوْ َم اَل‬ ‫ْأ‬ َّ ‫اضرَ َة ا ْلب َْح ِر ِإ ْذ يَ ْعدُونَ ِفي ال‬ ْ َ‫سَأ ْل ُه ْم عَ ِن ا ْل َقرْ يَ ِة الَّ ِتي َكان‬
ُ ‫س ْب ِت ِه ْم‬ ِ ‫ْت ِإ ْذ تَ ِت‬
َ ‫يه ْم ِحيتَانُ ُه ْم يَوْ َم‬ ِ ‫سب‬ ِ ‫ت َح‬ ْ ‫وَ ا‬
‫َأ‬ ‫ُأ‬
‫ت َّم ٌة ِم ْن ُه ْم ِل َم َت ِعظُونَ َقوْ مًا ۙ اللَّ ُه ُم ْه ِل ُك ُه ْم وْ ُم َع ِّذبُ ُه ْم‬ ُ ‫يه ْم ۚ َك ٰ َذ ِلكَ نَ ْبلُو ُه ْم ِبمَا َكانُوا يَ ْف‬
ْ َ‫سقُونَ وَ ِإ ْذ َقال‬ ‫ْأ‬
ِ ‫يَس ِْبتُونَ ۙ اَل تَ ِت‬
‫ش ِديدًا ۖ َقالُوا َم ْع ِذرَ ًة ِإلَىٰ رَ ِبّ ُك ْم وَ لَ َعلَّ ُه ْم يَتَّقُونَ َفلَمَّا نَسُوا مَا ُذ ّكِرُ وا ِب ِه َأ ْن َج ْينَا الَّ ِذينَ يَ ْن َهوْ نَ عَ ِن السُّو ِء وَ َأخَ ْذنَا‬
َ ‫عَ َذابًا‬
َ‫سقُون‬ ُ ‫يس ِبمَا َكانُوا يَ ْف‬ٍ ‫ب بَِئ‬ ٍ ‫الَّ ِذينَ ظَلَمُوا ِب َع َذا‬

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri[5]  yang terletak di dekat laut ketika
mereka melanggar aturan pada hari Sabtu[6], di waktu datang kepada mereka ikan-ikan
(yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang
bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka.  Demikianlah Kami mencoba
mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara
mereka berkata:  ‘Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan
mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’  Mereka
menjawab:  ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada
Tuhanmu[7], dan supaya mereka bertakwa.’  Maka tatkala mereka melupakan apa yang
diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari
perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras,
disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al-A’raf, 7: 163-165).

Perhatikanlah jawaban orang-orang yang berdakwah ketika ditanya mengapa mereka


menasehati orang-orang yang melanggar perintah Allah,

‫َم ْع ِذرَ ًة ِإلَى رَ بِّ ُك ْم‬

“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu.” Kami


berdakwah agar menjadi argumentasi dan penyelamat kami dihadapan Allah Ta’ala.

َ‫وَ لَ َعلَّ ُه ْم يَتَّقُون‬

“Mudah-mudahan mereka bertaqwa.”

Perhatikan pula bahwa yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari adzab-Nya adalah


orang-orang yang melarang perbuatan maksiat.

Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar adalah kontrol sosial yang harus dilakukan oleh
kaum muslimin agar kehidupan ini selalu didominasi oleh kebaikan. Karena jika
kebatilan yang mendominasi kehidupan, tentu akan menyebabkan turunnya teguran
atau adzab dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫س َفلَ َها‬ْ ‫س ِفينَ ٍة َفَأصَ ابَ بَعْضُ ُه ْم َأعْ اَل َها وَ بَعْضُ ُه ْم َأ‬ َ ‫َمثَ ُل ا ْل َقاِئ ِم عَ لَى ُحدُو ِد اللَّ ِه وَ ا ْلوَ ا ِق ِع ِفي َها َك َمثَ ِل َقوْ ٍم اسْ تَ َهمُوا عَ لَى‬
ِ َ‫ستَ َقوْ ا ِمنْ ا ْلمَا ِء مَرُّ وا عَ لَى مَنْ َفوْ َق ُه ْم َف َقالُوا لَوْ َأنَّا خَ رَ ْقنَا ِفي ن‬
‫ص ِيبنَا خَ رْ ًقا وَ لَ ْم نُْؤ ِذ‬ ْ ‫س َف ِل َها ِإ َذا ا‬ْ ‫َف َكانَ الَّ ِذينَ ِفي َأ‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ِ ‫مَنْ َفوْ َقنَا َفِإنْ يَ ْترُ ُكو ُه ْم وَ مَا رَ ادُوا َهلَ ُكوا َج ِميعًا وَ ِإنْ خَ ُذوا عَ لَى ْي ِد‬
‫يه ْم نَ َجوْ ا وَ نَ َجوْ ا َج ِميعًا‬

“Perumpamaan orang yang tegak di atas hukum-hukum Allah dengan orang yang
melanggarnya seperti kaum yang menempati posisinya di atas bahtera, ada sebagian
yang mendapatkan tempat di atas, dan ada sebagian yang mendapat tempat di bawah.
Mereka yang berada di bawah jika akan mengambil air harus melewati orang yang
berada di atas, lalu mereka berkata:  ‘Jika kita membolongi bagian bawah milik kita dan
tidak mengganggu mereka.’  Kalau mereka membiarkan keinginan orang yang akan
membolongi, mereka semua celaka, dan jika mereka (yang berada di bagian atas
bahtera)  menahan tangan mereka  (yang berada di bagian bawah bahtera)  maka
selamatlah semuanya.” (HR. Bukhari).

ِ ُ‫ وَ الَّ ِذي نَ ْف ِسي ِبيَ ِد ِه لَتَْأ مُرُ نَّ ِبا ْل َمعْر‬:َ‫سلَّ َم َقال‬
ْ‫وف وَ لَتَ ْن َهوُ نَّ عَ ن‬ َ َ‫ي صَ لَّى اللَّ ُه عَ لَ ْي ِه و‬ ِ ‫ْن ا ْليَم‬
ِ ّ ‫َان عَ نْ الن َِّب‬ ِ ‫عَ نْ ُح َذ ْي َف َة ب‬
‫ستَ َجابُ لَ ُك ْم‬ َ ‫ُوش َكنَّ اللَّ ُه َأنْ يَ ْبع‬
ْ ُ‫َث عَ لَ ْي ُك ْم ِع َقابًا ِم ْن ُه ثُ َّم تَدْعُ ونَ ُه فَاَل ي‬ ِ ‫ا ْل ُم ْن َك ِر َأوْ لَي‬

Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi


wa sallam beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus
melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-
Nya kemudian jika kalian berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak mengabulkan doa
kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini hasan).

Kelima,  dakwah adalah jalan menuju khairu ummah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi


ummat terbaik sepanjang zaman dengan dakwah beliau. Dakwah secara umum dan
pembinaan kader secara khusus adalah jalan satu-satunya menuju terbentuknya khairu
ummah yang kita idam-idamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau di rumah
Arqam bin Abil Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau juga mengutus Mush’ab bin
Umair radhiyallahu ‘anhu ke Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal
masyarakat terbaik di Madinah.
Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah juga jalan
yang harus kita tempuh untuk mengembalikan kembali kejayaan ummat. Imam Malik
bin Anas berkata,

‫ال يَصْ لُحُ آخِرُ َه ِذ ِه اُأل َّم ِة ِإالَّ ِبمَا صَ لُحَ ِب ِه َأوَّ لُ َها‬
َ

“Akhir ummat ini tidak menjadi baik kecuali menggunakan cara yang digunakan untuk
memperbaiki generasi awalnya.”[8]

Ummat Islam harus memainkan peran dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam
semua keadaannya, baik ketika memperjuangkan terbentuknya khairu ummah maupun
ketika cita-cita khairu ummah itu telah terwujud. Allah Ta’ala berfirman,

ِ ُ‫َّاس تَْأ مُرُ ونَ ِبا ْل َمعْر‬


‫وف وَ تَ ْن َهوْ نَ عَ ِن ا ْل ُم ْن َك ِر وَ تُْؤ ِمنُونَ ِباللَّ ِه‬ ْ ‫ۗ ُك ْنتُ ْم خَ يْرَ ُأ َّم ٍة ُأخْ ِر َج‬
ِ ‫ت ِللن‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali
Imran, 3: 110).

Al-Hayatu Ar-Rabbaniyyah

Dengan semua keutamaan dakwah di atas, berarti seorang da’i dengan dakwahnya
sedang menjalani hidupnya dengan kehidupan rabbaniyyah yakni kehidupan yang
selalu berorientasi kepada Allah Ta’ala dan kehidupan yang selalu diisi dengan belajar
Al-Quran yang menjadi sumber kebaikan serta mengajarkannya kepada orang lain.

‫ُون اللَّ ِه وَ ٰلَ ِكنْ ُكونُوا‬ ‫مَا َكانَ ِلبَ َ َأ‬


ِ ‫َّاس ُكونُوا ِعبَادًا ِلي ِمنْ د‬ ِ ‫ش ٍر نْ يُْؤ ِتيَ ُه اللَّ ُه ا ْل ِكتَابَ وَ ا ْل ُح ْك َم وَ النُّبُوَّ َة ثُ َّم يَقُو َل ِللن‬
َ‫رَ بَّا ِن ِيّينَ ِبمَا ُك ْنتُ ْم تُ َع ِلّمُونَ ا ْل ِكتَابَ وَ ِبمَا ُك ْنتُ ْم تَدْرُ سُون‬

  “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah
dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-
penyembahku bukan penyembah Allah.’ akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya.’” (QS. Ali Imran, 3: 79).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk mengajak
ummatnya agar menjadi orang-orang yang Rabbani yakni mereka yang selalu belajar
dan mengajarkan Al-Quran sehingga hidup mereka menjadi rabbani pula. Dakwah
adalah aktivitas belajar dan mengajarkan Al-Quran baik dengan membacanya,
memahaminya, mengamalkannya, memperjuangkan tegaknya hukum-hukumnya, dan
konsisten dalam melakukan itu semua.

Kehidupan rabbaniyyah adalah kehidupan seorang da’i yang selalu mengorientasikan


semua aktivitasnya kepada Allah Ta’ala, Rabbnya, di mana kehidupan, kematian,
ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah semuanya dipersembahkan untuk
Allah Ta’ala. Ibadah yang menjadi tujuan hidup semua manusia dilaksanakan untuk
mengagungkan Allah Ta’ala seagung-agungnya dan untuk menyatakan kehinaan dan
kelemahan kita di hadapan-Nya. Dakwah adalah salah satu bentuk pengagungan
kepada Allah Ta’ala yang paling utama, karena di dalamnya seorang da’i meninggikan
kalimat-Nya melalui lisannya, amalnya, dan ajakannya kepada orang lain. Di dalam
dakwah seorang da’i bersabar menghadapi berbagai ujian berat semata-mata demi
mengagungkan Allah Ta’ala. Semakin berat tantangan dan ujian dalam mengagungkan
Allah Ta’ala, semakin besar dan mulia pengagungan itu di sisi Allah Ta’ala.

َ‫ب ا ْلعَالَ ِمين‬


ِ ّ َ‫ي وَ َممَا ِتي ِللَّ ِه ر‬ ُ ُ‫ُق ْل ِإنَّ صَ اَل ِتي وَ ن‬
َ ‫س ِكي وَ م َْحيَا‬

“Katakanlah:  ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk


Allah, Rabb semesta alam.’” (QS. Al-An’am, 6: 162).

Al-Hayah Al-Mubarakah (Kehidupan yang Diberkahi)

Dengan selalu berdakwah di jalan Allah Ta’ala seorang da’i telah menjadikan hidupnya


penuh keberkahan. Yang dimaksud dengan keberkahan adalah kebaikan yang banyak
dan melimpah di sisi Allah Ta’ala. Para Nabi alaihimus salam adalah orang yang paling
diberkahi dan kehidupannya adalah kehidupan penuh keberkahan, perhatikan ucapan
Nabi Isa ‘alaihis salam tentang dirinya:

‫وَ َج َعلَ ِني ُمبَارَ ًكا َأيْنَ مَا ُكنْتُ وَ َأوْ صَ ا ِني ِبالصَّ اَل ِة وَ الزَّ َكا ِة مَا دُمْ تُ َح ًيّا‬
  “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku
hidup.” (QS. Maryam, 19: 31).

Penyebab utama kehidupan Nabi Isa dan para Nabi lainnya diberkahi oleh
Allah Ta’ala adalah pekerjaan mereka sebagai orang-orang yang dipilih oleh
Allah Ta’ala untuk mendakwahkan ajaran-Nya kepada manusia. Inilah yang dipahami
oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah  ketika menjelaskan surat Maryam ayat 31
di atas. Beliau berkata:

‫ وَ َج َعلَ ِني‬:‫ْح‬ ِ ‫ْث َح َّل وَ نُصْ ُح ُه ِل ُك ِ ّل مَنْ ِا ْجتَمَعَ ِب ِه َقا َل تَعَالَى ِإخْ بَارً ا عَ ِن ا ْلم‬
ِ ‫َسي‬ ُ ‫َفِإنَّ بَرَ َك َة الرَّ ُج ِل تَ ْع ِل ْي ُم ُه ِل ْلخَ ي ِْر َحي‬
‫هللا ُم َذ ّكِرً ا ِب ِه مُرَ ِّغبًا ِفيْ طَاعَ ِت ِه‬
ِ ‫َاعيًا ِإلَى‬ ْ ‫] َأ‬٣١ :‫ُمبَارَ ًكا َأيْنَ مَا ُكنْتُ [مريم‬
ِ ‫ي ُم َع ِلّمًا ِل ْلخَ ي ِْر د‬

“Keberkahan seseorang itu ada pada: Pengajarannya terhadap segala macam kebajikan
di mana pun ia berada, dan nasehat yang ia berikan kepada semua orang yang ijtima’
(berkumpul) dengannya.  Saat menceritakan tentang nabi Isa ‘alaihis
salam Allah Ta’ala  berfirman: “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana
saja aku berada”. (Q.S. Maryam: 31). Nabi ‘Isa ‘alaihis salam menjadi manusia yang
membawa berkah adalah karena ia: menjadi guru kebajikan, juru dakwah yang menyeru
manusia kepada Allah Ta’ala,  mengingatkan manusia tentang Allah Ta’ala, mendorong
dan memotivasi manusia untuk taat kepada Allah Ta’ala.” [9]

Demikian Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah melihat keberkahan dalam hidup


seseorang, di mana kehidupan yang berkah itu—menurutnya, sesuai arahan Al-Quran—
ditentukan oleh aktivitas memberi manfaat kepada orang lain melalui dakwah dan
kebaikan yang disebarkan demi meninggikan kalimat Allah Ta’ala.[10]

Wallahu A’lam…

Anda mungkin juga menyukai