Anda di halaman 1dari 4

Pedagang Kaki Lima (PKL)

Terjadinya urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota menimbulkan suatu
permasalahan di perkotaan, yaitu banyaknya penduduk yang datang dari berbagai daerah.
Salah satu akibat dari adanya urbanisasi yaitu meningkatnya jumlah tenaga kerja yang
menyebabkan banyak dari kelompok masyarakat tersebut yang mengalami suatu kesulitan
dalam memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Sehingga hal ini menyebabkan mereka harus
bekerja pada sektor informal yaitu seperti Pedagang Kaki Lima (PKL) khususnya di kota-
kota besar di Indonesia hal ini mengingat pada kota-kota besar lapangan pekerjaan
didominasi oleh sektor formal, yaitu bidang yang menuntut seseorang untuk memiliki bekal
keterampilan dan juga pendidikan yang tinggi. Orang-orang yang tidak tertampung di sektor
formal selanjutnya akan masuk ke dalam sektor informal. Umumnya PKL merupakan self-
employed, yaitu mayoritas para pedagang kaki lima terdiri dari satu tenaga kerja.

Permasalahan mengenai Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak kunjung menemukan solusi
yang efektif di setiap daerah di Indonesia. Masalah ini muncul setiap tahun dan juga terus
saja berlangsung tanpa adanya suatu penyelesaian yang tepat di dalam pelaksanaannya. PKL
disini keberadaannya juga seringkali dianggap illegal dikarenakan berada di tempat umum
atau ruang publik, sehingga tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan
kepada aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan
salah satu usaha di dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal. Sektor informal
di kota-kota besar seringkali merujuk pada aktivitas perekonomian yang kecil (Kurniawan
Putra, 2017). Aktivitas informal pada hakikatnya harus memiliki lokasi atau tempat yang
tepat agar bisa mendapatkan keuntungan-keuntungan yang lebih besar dibanding dengan
tempat yang lain, serta agar meraih keuntungan secara maksimal, dan juga kegiatan yang
seefisien mungkin (Wafirotin & Marsiwi, 2016). Keberadaan pedagang kaki lima menjadi
suatu hal yang penting untuk pemerintah agar secepat mungkin dicari solusinya (Lutfiana &
Rahaju, 2022).

PKL sendiri juga merupakan orang-orang yang memiliki modal yang relatif sedikit
serta berusaha pada bidang produksi dengan melakukan penjualan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan dalam kelompok tertentu di masyarakat. Terdapat PKL yang menetap
di dalam suatu lokasi tertentu serta terdapat pula PKL yang bergerak dari suatu lokasi ke
lokasi yang lainnya menggunakan gerobak dorong, pikulan, atau juga kendaraan bermotor
yang telah dimodifikasi sedemikian rupa seiring dengan zaman yang terus berkembang. Suatu
kegiatan usaha tersebut dilaksanakan di daerah atau tempat-tempat yang diangggap lokasinya
strategis dalam suasana lingkungan informal. Di dalam hal ini, trotoar mempunyai standar
bangun yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah yaitu (1,5 meter). Namun, maraknya PKL
yang ingin mendapatkan lahan untuk berjualan mengakibatkan para PKL menggunakan
adanya trotoar tersebut untuk kegiatan berdagang. Sehingga, hal ini tidak sesuai dengan
fungsi dan kegunaan trotoar yang sebenarnya.

Melihat hal tersebut, maka juga berhubungan dengan proses perencanaan tata ruang
yang kerap kali belum mempertimbangkan adanya keberadaan PKL dan kebutuhan ruang
untuk PKL pada produk perencanaannya. Ruang-ruang kota yang ada hanya difokuskan
untuk kepentingan kegiatan serta fungsi formal saja. Dari hal tersebut, maka hal ini
mengakibatkan para pedagang kaki lima menempati lokasi-lokasi yang tidak terencana serta
tidak difungsikan untuk mereka di dalam menjalankan usahanya, contohnya seperti trotoar
yang termasuk ruang publik. Akibat berkembangnya kegiatan PKL yang tidak tertata dengan
baik tersebut mengakibatkan kualitas lingkungan kota menurun. PKL yang menempati ruang
publik juga mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi ruang. Hal tersebut mengakibatkan
kota besar menghadapi berbagai macam problem sosial yang rumit (Wibisono & Tukiman,
2017). Selain itu, PKL pun sering dipandang mempunyai berbagai dampak yang negatif bagi
kebersihan lingkungan sekitar dan kesehatan masyarakat, contohnya yaitu meningkatnya
limbah cair serta padat akibat dari para PKL yang menjual makanan dan minuman yang
seringkali limbahnya dibuang di tempat umum.

PKL adalah ciri-ciri dari kota-kota yang terdapat pada negara berkembang. PKL
muncul dikarenakan keadaan ekonomi di negara berkembang itu sendiri. Maka, adanya
kegiatan yang bersifat informal seperti PKL tersebut tidak bisa dihilangkan begitu saja
dengan tanpa merusak suatu sistem ekonomi di negara berkembang secara menyeluruh.
Pengaturan PKL pada trotoar yang tidak mempertimbangkan dimensi trotoar untuk
menampung aktivitas PKL dan pejalan, akibatnya trotoar sebagai jalur pejalan tidak dapat
berfungsi, karena ruang trotoar seluruhnya digunakan untuk tempat berdagang PKL
(Widjajanti, 2009). Secara umum, terdapat beberapa ciri yang dapat dilekatkan pada PKL,
sekalipun di beberapa tempat ciri-ciri ini mungkin tidak berlaku. Ciri-ciri tersebut yaitu
berusaha dalam lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, tidak dibekali adanya izin
usaha yang resmi dari instansi yang memiliki wewenang, memiliki mobilitas yang tinggi,
melayani secara langsung konsumen akhir, tingkat kedisiplinan hukum rendah, serta
cenderung sangat pragmatis dalam memandang hukum.
Permasalahan lain yang seringkali muncul akibat dari adanya keberadaan PKL tersebut
adalah keberadaan mereka terkadang dapat menyebabkan kemacetan hal ini dikarenakan
masih banyak pedagang kaki lima yang tidak tertib pada saat membuka lapak dagangannya
sehingga mereka menggunakan trotoar dan bahu jalan yang dapat menghambat arus lalu
lintas. Dengan demikian, yang sangat dirugikan dari keberadaan PKL yang berdagang di
bahu jalan dan juga trotoar tersebut tentu para pengendara kendaraan pribadi yang terpaksa
menghadapi kemacetan parah dan juga para pejalan kaki yang mana trotoar yang seharusnya
menjadi jalur untuk para pejalan kaki, akan tetapi diisi oleh PKL. Padahal, hal tersebut sudah
dijelaskan dalam Pasal 4 Huruf (a) Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Pengaturan dan Penertiban Pedagang Kaki Lima menjelaskan setiap orang ataupun badan
yaitu seperti pedagang kaki lima dilarang menggunakan jalan atau trotoar tidak sesuai
fungsinya seperti berjualan sembarangan di area yang dilarang. PKL juga seringkali dituding
mengganggu ketertiban, sehingga keberadaannya mengekibatkan munculnya stigma negatif
di tengah masyarakat. Di dalam hal ini, terdapat pula kasus penjualan dan penyewaan lapak
PKL dengan harga bervariasi. Hal tersebut dapat dilihat bahwa dengan ini tidak hanya para
PKL saja yang melakukan pelanggaran aturan yang telah dibuat oleh pemerintah tetapi masih
ada juga beberapa oknum penegak hukum yang membantu para PKL tersebut untuk tidak
mematuhi adanya peraturan yang telah ditetapkan.

PKL selalu menjadi sebuah konflik dalam berbagai kalangan, baik kalangan masyarakat
ataupun dari kalangan pemerintah. Keberadaan PKL juga seringkali terhubung dengan
masalah mengenai penertiban serta penggusuran. Adanya usaha penertiban yang dilakukan
oleh aparat pemerintah seringkali terjadi bentrokan pada akhirnya sehingga sangat sulit untuk
mewujudkan ketertiban. Penertiban atau di dalam hal ini penataan para PKL memang sangat
penting untuk dilakukan jika melihat pada kasus disfungsi trotoar yang menjadi tempat
berdagang para PKL tersebut. Hal ini tentu saja dengan memperhatikan adanya kepentingan
umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, dan juga kebersihan
lingkungan, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kota Surabaya yaitu suatu kota metropolitan yang berkembang seiring berjalannya
waktu berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk yang semakin banyak pula sehingga
kota ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk berbondong-bondong pergi ke
Surabaya untuk dapat memperbaiki ekonomi mereka dengan bekerja disana. Hal ini juga
berdampak pada konsumsi barang dan jasa masyarakat yang meningkat selaras dengan
permintaan pemenuhan barang kebutuhan masyarakat yang terus meningkat juga. Melihat hal
tersebut, tidak heran jika PKL di Surabaya jumlahnya cukup banyak mendorong untuk
dilakukan kegiatan penertiban. Melalui laman berita idn times, Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) Kota Surabaya merilis kinerja mereka pada tahun 2017. Perilisan tersebut
memberikan hasil bahwa PKL (Pedagang Kaki Lima) menempati urutan pertama sebagai
kelompok yang paling sering untuk ditertibkan. Sepanjang tahun 2017, Satpol PP Kota
Surabaya telah berhasil menertibkan 14.883 PKL dari jumlah PKL yang ditargetkan sebesar
10.000 PKL. Penertiban terbesar terjadi pada saat bulan Mei 2017. (Sumber: Bastam, Rudy.
IDN Times, 3 Januari 2018) (Restianto & Rahaju, 2020).

Keberadaan para PKL seringkali berkumpul serta berkelompok dapat membentuk


pasar. Hal ini seperti yang terjadi di pasar pacuan kuda Kota Surabaya yang merupakan
lokasi trotoar atau jalan raya yang kemudian digunakan oleh PKL untuk menjual dagangan
mereka sehingga membentuk adanya kegiatan jual-beli seperti umumnya pasar yang kita
semua sering temui.

Daftar Pustaka:

Lutfiana, A. N., & Rahaju, T. (2022). Dampak Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kawasan
Gembong Kota Surabaya. Publika, 9, 381–390.
https://doi.org/10.26740/publika.v10n2.p381-390

Restianto, R. D., & Rahaju, T. (2020). Implementasi Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki
Lima Ke Sentra Pkl Gajah Mada Kabupaten Sidoarjo. Publika, Vol 8 No 2 (2020).

Widjajanti, R. (2009). Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima Pada Kawasan Komersial
Di Pusat Kota. Teknik, 30(3), 162–171.

Anda mungkin juga menyukai