Anda di halaman 1dari 123

Kuliah 7 Pola Lokasi dan Struktur Ruang

MODEL GUNA LAHAN PERTANIAN


(TEORI VON THUNEN)
STRUKTUR PERKULIAHAN
2. Lokasi industri
Pendekatan (Weber)
neoklasik 3. Wilayah pasar
4. Pendekatan lain (Hotelling)
Individu (perilaku,
struktural,
institusional,
evolusioner)
5. Dispersi
1. Lokasi dalam Pola ruang
ruang 6. Aglomerasi

UTS
Sistem internal Perdesaan
kota Struktur internal 7. Von Thunen
(Pertanian)
Agregat 8. Monosentrik
(sistem) Perkotaan
10. Rank Size
Ranking kota 9. Polisentrik
Rule
Struktur eksternal 11. Hierarkis
(sistem kota) (Christaller,
Hubungan antar Losch)
kota
12. Jejaring
PENDAHULUAN
 Kegiatan ekonomi tidak sekedar berada pada titik tetapi dalam
ruang
 Setiap kegiatan ekonomi mengkonsumsi lahan
 Setiap kegiatan ekonomi membutuhkan penggunaan ekslusif
sejumlah lahan
 Pada umumnya, tidak lazim dua kegiatan ekonomi yang berbeda
menduduki lahan yang sama. Kec. penggunaan mixed use
 Konstelasi kegiatan-kegiatan ekonomi yang beragam dalam ruang akan
membentuk suatu pola guna lahan
 Persoalan keputusan setiap pengguna lahan:
 Dimanakah akan berlokasi?
 Berapa luas lahan yang diperlukan?
PENDAHULUAN
 Ruang kota menawarkan dua hal: lahan dan lokasi.
 Lahan: suatu kegiatan mendapatkan nilai guna (utility) dari suatu lahan
sesuai dengan nilai lokasi lahan tersebut
 nilai guna lahan dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu/perusahaan untuk
membayar (ability to pay) lahan tsb.
 Lokasi: faktor lokasi yang paling penting adalah keterpusatan (centrality)
 Karena jalur transportasi cenderung terkumpul di pusat kota, maka keterpusatan identik
dengan aksesibilitas.
 Kemampuan perusahaan untuk membayar nilai guna lahan terkait erat
dengan keterpusatan lokasi.
 Semakin jauh lokasi lahan dari pusat kota, semakin tinggi ongkos transportasi dan
semakin rendah kemampuan untuk membayar lahan.
 Akibatnya, fungsi penawaran lahan, harga lahan dan, akhirnya, kepadatan penduduk
menurun seiring dengan bertambahnya jarak dari pusat kota.
MODEL VON THUNEN
 Johann Heinrich von Thunen (1780-1850), seorang tuan tanah
dan ahli ekonomi terkemuka asal Jerman
 Pada tahun 1826 von Thunen menulis buku berjudul Der Isolierte
Staat, yang ditulis pada era agraris Jerman
 Melalui bukunya, von Thunen adalah penemu model sewa lahan
pertanian yang kelak menjadi dasar model-model guna lahan
perkotaan dan perdesaan, khususnya model struktur ruang
perkotaan konsentrik
 Model ini menjustifikasi lokasi beragam kegiatan ekonomi
berdasarkan ongkos mengirimkan produknya ke pusat kota
 Sewa lahan bervariasi menurut tabungan biaya transportasi
sehingga jenis (nilai) kegiatan ekonomi berstratifikasi menurut
jarak ke CBD (pusat kota)
 Kegunaan awal model von Thunen
 Menentukan kegunaan yang optimal untuk lahan sebagai fungsi jarak
ke (pusat) kota
 Menetapkan nilai moneter lahan (sewa lahan)
ASUMSI
1. Kota terletak pada dataran yang seragam dan homogen
dimana lahan memiliki tingkat kesuburan yang sama di
semua tempat
2. Kota menganut sistem pasar tunggal yang pusatnya berada
di tengah dataran (CBD)
3. Harga pasar diasumsikan telah ditentukan (eksogen)
 Jual-beli antar petani lokal tidak signifikan dan dilakukan secara barter
 Permintaan lokal diabaikan
4. Biaya produksi sama di semua tempat
5. Biaya transportasi hasil produksi panen di semua titik adalah
tetap per unit jarak ke pasar (ongkos transportasi sebagai
fungsi linear terhadap jarak)
 Tidak mempertimbangkan dampak jaringan transportasi alamiah
maupun buatan
 Variasi tarif ongkos transportasi antar jenis hasil panen menjadi faktor
kritis pembentukan pola guna lahan
ASUMSI
5. Pemilik lahan menyewakan lahan kepada petani yang mau
membayar dengan harga tertinggi
6. Terdapat beberapa kategori petani dengan setiap kategori
menghasilkan produk dengan harga pasar, hasil panen, dan
tarif biaya transportasi berbeda
7. Tidak ada skala ekonomi dalam produksi
 Biaya produksi dan hasil panen per unit luas terlepas dari luas
lahan pertanian
 Luas lahan pertanian tidak mempengaruhi produktivitas
KONSEP MATEMATIS
 Untuk suatu komoditas per unit pada suatu unit luas lahan pertanian:

harga pasar = ongkos produksi + sewa lahan + ongkos transportasi

atau:

Sewa lahan = harga pasar – (ongkos produksi + ongkos transportasi)

 Karena harga pasar dan ongkos produksi per unit komoditas dan per unit jarak adalah
konstan untuk komoditas yang sama, maka:

sewa lahan = f (ongkos transportasi)

dimana ongkos transportasi ditentukan oleh jarak lokasi lahan pertanian dari CBD
FUNGSI MATEMATIS (LENGKAP)

R = (p-c)q – tqD

R = sewa lahan (per unit luas)


p = harga pasar (per unit komoditas)
c = ongkos produksi (per unit komoditas)
q = jumlah komoditas yang dihasilkan (per unit luas)
t = tarif angkutan (per unit komoditas per unit jarak)
D = jarak dari pasar (CBD)
FUNGSI MATEMATIS (DISTANDARKAN)
atau:

y = A – Bx

y= R = fungsi sewa lahan per unit luas


A = (p-c)q = konstanta pendapatan netto per unit luas
B = tQ= koefisien ongkos transportasi per hektar per unit jarak
x= D = variabel jarak dari CBD
POLA GUNA LAHAN YANG TERBENTUK

 Fungsi hinterland adalah untuk melayani kota


 Barang yang paling mudah rusak dan paling
sulit diangkut diproduksi lebih dekat ke kota,
dan berlaku sebaliknya
 Harga lahan menurun seiring dengan jarak
yang semakin jauh dari kota
BAGAIMANA BENTUK KURVA, BATAS WILAYAH TANAM,
DAN POLA GUNA LAHAN YANG TERBENTUK?

 Permintaan internasional meningkat  harga


pasar hasil panen naik
 Harga pupuk naik  biaya produksi naik

 Tarif angkutan turun

 Terdapat beberapa komoditas: sayuran, padi,


dan ternak
 Terdapat guna lahan non-pertanian
BAGAIMANA TATANAN LOKASINYA MENURUT MODEL VON THUNEN?
RELAKSASI ASUMSI: BAGAIMANA GRAFIKNYA?

 Pengaruh intensitas produksi


 Peningkatan pendapatan per unit luas (P): jasa vs
pertanian
 Pengaruh teknologi
 Penurunan ongkos produksi (c)
 Penurunan tarif transportasi (t)

 Pengaruh ekonomi skala


 Penurunan ongkos produksi (c)
APLIKASI PERKOTAAN
 Untuk x = 0 maka y = c artinya
komoditas dengan pendapatan
netto per unit luas (p) terbesar
akan menggunakan lahan paling
intensif dan berlokasi di pusat
kota
 Untuk kasus perumahan
misalnya, kecenderungan
apartemen bertingkat berlokasi di
sekitar pusat kota diikuti
perumahan berkepadatan tinggi.
Perumahan berkepadatan rendah
berlokasi paling jauh dari pusat
kota
TUGAS INDIVIDU
 Survey harga lahan telah dilakukan di kota A.
 Kondisi geografis dan sistem ekonomi di kota A memenuhi asumsi model
sederhana sewa lahan pertanian (Von Thunen).
 Di pusat kota diperoleh bahwa harga lahan untuk kegiatan komersial Rp.
100.000/m2 dan untuk perumahan Rp. 50.000/m2.
 Pada jarak 5 km dari pusat kota, tidak ditemui lagi kegiatan komersial
sedangkan harga sewa lahan untuk perumahan Rp.25.000.
 Disamping itu, diketahui bahwa harga jual beras rata-rata di pusat kota Rp.
5.000/kg dan petani mampu menghasilkan beras rata-rata 10 ton/hektar
(=1 kg/m2).
 Ongkos produksi beras adalah Rp. 4000/kg dan ongkos pengiriman beras
adalah Rp. 50.000/ton/km (Rp. 50/kg/km).
 Gambarkan kemungkinan pola struktur ruang kota A yang mencerminkan
pola sewa lahan agregat yang paling efisien!
REFERENSI
 Anderson, W.P (2012) Economic Geography (bab 17). New York:
Routledge
 Edwards, ME. (2007) Regional and Urban Economics and
Economic Development (hlm 255-261). Boca Raton: Auerbach
Publications
 McCann, Philip. 2013. Modern Urban and Regional Economics
(hlm 107-113). Oxford: Oxford University Press.
PL-2102 Pola Lokasi dan Struktur Ruang

Kuliah 8:
Struktur Ruang Internal Kota
Monocentric city
Struktur perkuliahan
2. Lokasi industri
Pendekatan (Weber)
neoklasik 3. Wilayah pasar
(Hotelling)
Individu 4. Pendekatan lain
(perilaku, struktural,
institusional,
evolusioner)

5. Dispersi
1. Lokasi dalam Pola ruang
ruang 6. Aglomerasi
Sistem internal kota Perdesaan
7. Von Thunen
(Pertanian)
Struktur internal
8. Monosentrik
Agregat
(sistem) Perkotaan
9. Polisentrik
Ranking kota 10. Rank Size Rule
Struktur eksternal 11. Hierarkis
(sistem kota) (Christaller,
Hubungan antar Losch)
kota
12. Jejaring
Model von thunen
 Aplikasi untuk pola guna lahan
perkotaan (non-pertanian)
◦ Terdapat titik pusat dalam
ruang (pusat kota/ CBD) di
mana di sekitarnya pola guna
lahan terbentuk
◦ Pengguna lahan menghargai
akses ke CBD sehingga mau
membayar lebih untuk ruang
yang dekat dengan CBD
◦ Di sekitar CBD terjadi
mekanisme pasar dimana
persil lahan akan menjadi milik
penawar tertinggi (highest
bidder)
Pusat kota (CBD)
 Central Business District
(CBD) atau pusat kota
adalah
◦ Kawasan di mana berbagai
pelaku ekonomi bertemu untuk
melakukan usaha
◦ Tempat di mana proporsi besar
masyarakat bekerja
◦ kawasan yang berfungsi sebagai
titik kunci (titik awal) yang
dapat mendefinisikan jenis-jenis
guna lahan lain disekitarnya
◦ Pusat/ inti dari pola ruang
perkotaan
Pusat kota (CBD)
 Ciri-ciri CBD:
◦ Terdapat konsentrasi bangunan tinggi di mana keuangan dan
kegiatan jasa lainnya berlokasi
◦ KLB tertinggi
◦ Harga sewa lahan tertinggi
Kota satu pusat (monocentric city)
 Pengembangan model sewa lahan pertanian (von Thunen)
 Harga sewa lahan perkotaan cenderung menurun seiring dengan
bertambahnya jarak dari CBD
◦ Kota sebagai pusat permukiman
 kepadatan kawasan perumahan cenderung menurun seiring dengan jaraknya
dari CBD
◦ Kota sebagai pusat pekerjaan/ usaha
Model kota permukiman sederhana
 Terdapat kawasan-kawasan yang terpisah (seggregated
zones) antara penduduk berpendapatan tinggi dan
rendah
◦ Pemisahan spasial penduduk menurut pendapatan terjadi karena
perbedaan kebutuhan dan preferensi antara rumah tangga
berpendapatan tinggi dan rendah
◦ Kawasan-kawasan non-perumahan cenderung memisah
berdasarkan perbedaan jenis-jenis kegiatan ekonominya
Model kota permukiman sederhana
 Sebagian besar kawasan perkotaan terdiri dari
lahan permukiman
◦ Lahan permukiman = lahan yang digunakan oleh
rumah tangga
◦ Lahan non-permukiman = lahan yang digunakan oleh
perusahaan (pelaku usaha)
 Asumsi dasar: lahan dialokasikan untuk
penggunaan yang berbeda-beda melalui
mekanisme pasar
◦ Belum ada pengaruh peran pemerintah/ perencanaan
Asumsi 1
 CBD sebagai orientasi utama kegiatan bagi rumah tangga
◦ Setiap rumah tangga berlokasi pada jarak d dari CBD
◦ Semua pekerjaan berlokasi di CBD sehingga setiap rumah tangga
harus membayar ongkos ulang-alik sesuai dengan jarak d
 Rumah tangga memperoleh utilitas U dari konsumsi sejumlah
z (barang gabungan non-lahan) dan sejumlah q (lahan)
◦ U (Utilitas) = ukuran kesejahteraan materi yang diperoleh rumah
tangga dari mengkonsumsi barang
◦ Rumah tangga tidak memperoleh utilitas langsung dari lokasi relatif
terhadap CBD
◦ U = f(z,q)
 Setiap rumah tangga memiliki pendapatan tetap Y yang
jumlah totalnya harus dibayarkan habis untuk pembelian
barang z, sewa lahan q, dan biaya ulang-alik d
◦ 𝑌 = f(z, q, d)
Persamaan 1
 Jika:
◦ p = harga satuan barang gabungan non-
lahan
◦ r = sewa lahan per unit luas
◦ t = tarif transport ulang-alik per kilometer
 maka:
◦ 𝑌 = f(z, q, d) = pz + rq + td
Asumsi 2
 Peningkatan ongkos transportasi bersifat linear
terhadap jarak
◦ Biaya ulang-alik meningkat secara proporsional terhadap
jarak
 Tingkat konsumsi rumah tangga (z dan q) adalah tetap
dan diketahui
◦ Rumah tangga tidak dapat mensubstitusi lahan dengan
barang lainnya
 Harga satuan barang gabungan non-lahan p dan tarif
transportasi per unit jarak t sudah ditentukan
(exogenous)
 Harga sewa lahan per unit luas r belum ditentukan/
perlu dihitung (endogenous)
◦ Harga sewa lahan ditentukan melalui mekanisme pasar
Grafik 4b
 Jika T memiliki akses
terhadap kendaraan
pribadi sementara R
tidak, maka kurva R akan
semakin curam di daerah
yang tidak memiliki akses
transport umum
Guna lahan oleh perusahaan
 Konsep utilitas pada rumah
tangga setara dengan
konsep keuntungan pada
perusahaan
 Bandingkan 3 perusahaan
dengan kegiatan berbeda:
keuangan, industri, dan
pertanian dalam hal
◦ Kebutuhan intensitas
interaksi
◦ Wujud dan sifat produk
 Ongkos transport
 Tempat penyimpanan
◦ Bagaimana grafik sewa lahan
yang terbentuk?
Asumsi guna lahan perusahaan
 Jumlah faktor produksi yang tetap
 Harga produk industri tetap
 Pasar di pusat kota sangat kompetitif
 Pemasaran produk membutuhkan ongkos
transportasi
 Perusahaan terikat dalam subtitusi faktor
Harga sewa lahan perusahaan
𝑃𝑓 F – 𝐶𝑓 (u) – 𝑡 WFu
𝑅𝑓 (u) = 𝑓
𝑇𝑓 (𝑢)
Keterangan:
 Rf(u) : harga sewa lahan yang juga merupakan
fungsi dari jarak
 Pf F : total pendapatan perusahaan
 Cf(u) : ongkos penyediaan input nonlahan
yang bergantung pada jarak
 tfWFu : ongkos perjalanan dinas ke pusat kota
 Tf(u) : jumlah lahan yang digunakan oleh
perusahaan
Model Guna Lahan Kota Burgess dan Hoyt

 Burgess (konsentrik)  Hoyt (sektoral)


Referensi
 Anderson, W.P (2012) Ecomonic Geography., ch. 18 & 19
New York: Routledge
 Edwards, M. E. (2007). Regional and Urban Economics and
Economic Development:Theory and Methods. Boca Raton:
Auerbach Publications.
 O’Sullivan, A. (2003). Urban Economics. New York:
McGraw-Hill/Irwin.
Kuliah 9 Pola Lokasi dan Struktur Ruang

Desentralisasi perkotaan

Sprawl dan polycentric city


Struktur perkuliahan
2. Lokasi industri
Pendekatan (Weber)
neoklasik 3. Wilayah pasar
(Hotelling)
Individu 4. Pendekatan lain
(perilaku, struktural,
institusional,
evolusioner)

5. Dispersi
1. Lokasi dalam Pola ruang
ruang 6. Aglomerasi
Sistem internal kota Perdesaan
7. Von Thunen
(Pertanian)
Struktur internal
8. Monosentrik
Agregat
(sistem) Perkotaan
9. Polisentrik
Ranking kota 10. Rank Size Rule
Struktur eksternal
(sistem kota) 11. Hierarkis (Christaller, Losch)
Hubungan antar
kota
12. Jejaring
Desentralisasi perkotaan
 Adalah kecenderungan penduduk dan/ atau pekerjaan
untuk memencar menjauhi CBD
◦ Penduduk  suburbanisasi
◦ Pekerjaan  post-suburbanisasi
Mengapa terjadi desentralisasi
perkotaan?
 Teori konvensional (neoklasik)
 Teori kritis (Marxis, institusional)
Mengapa terjadi desentralisasi
perkotaan?
 Perkembangan teknologi (grafik)
◦ Teknologi transportasi
◦ Teknologi rumah tangga
◦ Teknologi informasi dan komunikasi
Teknologi transportasi
 Penurunan ongkos transportasi
menyebabkan kurva penawaran
sewa lahan menjadi landai dan
batas kota meluas.
 Teknologi transportasi
menyebabkan terjadinya
“penurunan” ongkos transportasi
 Mengapa?
◦ Ketika memilih moda transportasi,
sebagian besar orang tidak hanya
mempertimbangkan biaya yang
langsung yang dikeluarkan tetapi juga
biaya implisit, yakni biaya waktu
perjalanan
◦ Dengan waktu tempuh perjalanan
lebih cepat berarti kesejahteraan
materi meningkat, mis. memiliki
waktu lebih untuk berekreasi,
beristirahat, dan melakukan aktivitas
lain
Teknologi rumah tangga
 Lemari es. Mengapa?
 Dengan teknologi lemari es,
orang dapat menyimpan bahan
makanan lebih banyak dan
lebih lama sehingga frekuensi
kebutuhan untuk bepergian ke
pasar (CBD) menurun
 Ini berarti nilai kesejahteraan
untuk berada di dekat CBD
berkurang
Teknologi informasi dan komunikasi
◦ Apakah TIK dapat mengurangi
frekuensi perjalanan ke CBD?

◦ Telecommuting: bekerja jarak jauh

◦ Online shopping
Mengapa terjadi desentralisasi
perkotaan?
 Namun, nilai komunikasi tatap
muka masih sangat penting
untuk kegiatan tertentu (front
office) yang menuntut
pertukaran informasi yang
sangat rumit, mis. jasa
konsultasi, jasa keuangan
Mengapa terjadi desentralisasi
perkotaan?
◦ Akumulasi modal
◦ Konflik kelas
◦ Kontrol sosial
◦ Konteks politik: fragmentasi
Desentralisasi perkotaan
 Desentralisasi perkotaan adalah trend umum dengan
penduduk dan/ atau pekerjaan menjadi lebih menyebar
menjauhi pusat kota
 Pola umum desentralisasi
◦ Polycentric city
◦ Sprawling city
Polycentric city
 Membentuk sub-pusat (konsentrasi) baru dengan kepadatan tinggi
di luar pusat kota
Edge City (Garreau, 1991)
 Edge city: pengumpulan pusat usaha, belanja dan hiburan di
luar pusat kota lama yang sebelumnya berfungsi sebagai
kawasan perumahan atau perdesaan
 Kriteria edge city:
1. Memiliki luasan ruang perkantoran yang setara dengan
standar pusat kota yang baik
2. Memiliki jumlah pertokoan setara shopping mall skala sub-
wilayah kota
3. Jumlah penduduk yang meningkat di pagi hari dan menurun
di malam hari (jumlah pekerjaan lebih banyak daripada
jumlah rumah)
4. Tempat tujuan akhir perjalanan harian (melayani semua
kebutuhan hiburan, perbelanjaan, rekreasi dst)
5. Berumur kurang dari 30 tahun (kota baru)
Edge city
Sprawling city
 Perkembangan acak, berkepadatan rendah keluar CBD
 Edgeless cities: tempat-tempat pekerjaan baru menyebar di luar
CBD tanpa membentuk konsentrasi/ sub pusat baru
Edgeless City (Lang, 2003)
 Edgeless cities terdiri dari kawasan perkantoran
yang terletak di luar pusat kota yang menyebar
secara acak, tidak teratur, tanpa ujung/ batas fisik
yang jelas.
Edgeless city
 Tampak sebagai bangunan-bangunan yang terisolasi yang
tidak ramah pejalan kaki, sulit dijangkau transportasi
umum, dan bukan kawasan campuran
 Edgeless city biasanya ditemukan di luar kawasan
perkotaan dengan harga lahan yang rendah dan
peraturan zonasi yang longgar
Kota Baru
 “Kota baru”: proyek
perumahan berskala besar (di
atas 500 hektar) yang
dilengkapi dengan berbagai
fasilitas perkotaan
(perbelanjaan, sekolah,
hiburan, rekreasi)
 Kota baru mandiri: kota baru
yang dilengkapi pusat-pusat
pekerjaan (perkantoran,
industri)
Proyek-proyek “kota baru” di Jabodetabek
Kawasan industri
 Kawasan industri: tempat pengumpulan kegiatan industri
yang dilengkapi infrastruktur dan fasilitas penunjangnya
dan dikelola oleh suatu perusahaan

(Hudalah et al, 2013)


Peran pemerintah
 Pembangunan jalan antar kota
 Pembangunan jalan by-pass/ lingkar kota
 Zoning regulation: batas minimal luas
lahan, KDB, KLB
 Kebijakan transportasi publik
 Ilustrasi gambar …
Peran pemerintah/ perencanaan
 Urban containment
 Compact city
 New urbanism
 Dekonsentrasi planologis
Urban Contaiment
 Urban containment adalah kebijakan tata ruang yang dirancang untuk
◦ membatasi pengembangan lahan di luar batas kawasan perkotaan
yang telah didefinisikan
◦ Mendorong infill development and redevelopment di dalam lingkup
batas kawasan perkotaan
 Tujuan Umum:
•Melestarikan barang publik seperti air, udara, dan lainnya
•Meminimalisir eksternalitas negatif pembangunan
•Meminimalisir biaya penyediaan layanan publik
•Memaksimalkan keadilan sosial (pemerataan pembangunan)
Meningkatkan kualitas hidup
 Hal tersebut dapat dicapai dengan cara mengkombinasikan investasi
infrastruktur publik, rencana tata ruang, dan pengembangan dan
penyebaran insentif dan disinsentif untuk mempengaruhi tingkat, waktu,
intensitas, dan lokasi pertumbuhan kota
Compact City
 Compact city dirancang untuk
lebih efisien dalam
menggunakan sumberdaya
infrastruktur, energi, dan
mengurangi penggunaan
kendaraan pribadi,
mendorong penggunaan
kendaraan umum, kendaraan
non-polutif dan berjalan kaki
karena dekatnya jarak antara
permukiman dengan kegiatan
lainnya (toko, tempat kerja,
dan lainnya).
 Compact city dikenal juga
sebagai transit-oriented
development (TOD).
Compact City
Karakteristik:
1. Kepadatan permukiman yang tinggi
2. Guna lahan campuran
3. Memiliki batas yang jelas
4. Interaksi sosial dan ekonomi yang tinggi
5. Transportasi multimoda
6. Aksesibilitas yang tinggi
7. Konektivitas jalan yang tinggi (baik untuk pejalan kaki dan
sepeda)
8. Rasio ruang terbuka yang rendah
Prasyarat
1. Pengendalian terpusat dalam perencanaan pengembangan lahan
2. Pemerintah memiliki kapasitas keuangan yang cukup untuk
membiayai infrastruktur kota
Rogers, R. G., & Gumuchdjian, P., 1998
New Urbanism

 New Urbanisme adalah gerakan dari arsitek dan perencana


yang mengusulkan strategi berbasiskan desain yang
berlandaskan akan bentuk-bentuk tradisional dari ruang kota
untuk mengurangi pembangunan secara acak di wilayah
pinggiran
 Hal-hal yang dipromosikan berorientasi pada suasana yang
ramah lingkungan dan menumbuhkan nilai komunitas, serta
prinsip-prinsip ekologis
 Prinsip ini percaya bahwa permasalahan perkotaan seperti
kemacetan dan polusi dapat diselesaikan dengan mendorong
masyarakat untuk mengendarai sepeda, berjalanan kaki atau
dengan menggunakan kendaraan umum
Dekonsentrasi Planologis
 Dekonsentrasi Planologis ialah
upaya dalam mengembangkan
kota-kota kecil dan menengah
dengan penyebaran
/pembangunan fungsi inti kota
besar ke arah luar dengan
harapan kota-kota tersebut bisa
lebih berkembang dan mandiri
dan tidak selalu bergantung pada
kota inti/kota besar (primate city)
 Misalnya memindahkan fungsi
penting kota ke arah luar kota https://4.bp.blogspot.com
inti seperti membangun kampus,
industri, pusat pelayanan, dll di
daerah luaran kota besar yakni di
kota kecil dan menengah agar
mengurangi beban kota inti atau
kota besar (primate city).
Referensi
 Anderson, W.P (2012) Ecomonic Geography., ch. 18 & 19 New York: Routledge
 Hudalah, D., Viantari, D., Firman, T., & Woltjer, J. (2013) Industrial land
development and manufacturing deconcentration in Greater Jakarta.Urban
Geography 34 (7), pp. 950-971.
 Neuman, M. (2005). The compact city fallacy. Journal of planning
education and research, 25(1), 11-26.
 Rogers, R. G., & Gumuchdjian, P. (1998). Cities for a small planet. Basic
Books.
 Nelson, Arthur C., Casey J. Dawkins, and Thomas W. Sanchez. "Urban
containment and residential segregation: A preliminary
investigation." Urban Studies 41.2 (2004): 423-439.
 Lang, E. R.,Sanchez T, and LeFurgy, J. (2006) Beyond Edgeless Cities :
Office Geography in the New Metropolis
 Lee, Bumso (2007) EDGE, or Edgeless Cities? Urban Spatial Structure
In U.S Metropolitan Areas, Journal of Regional Science, 47 (3) 2007, pp.
479-515.
 Bohl, C.C. (2000) New Urbanism and the City : Potential Application and
Implications for Distessed Inner-City Neighborhoods. Housing Policy
Debate 11(4), pp. 761-801.
Sistem Perkotaan I:
Distribusi Ukuran Kota
Kuliah 10: Pola Lokasi dan Struktur Ruang
Struktur perkuliahan
2. Lokasi industri
Pendekatan (Weber)
neoklasik 3. Wilayah pasar
4. Pendekatan lain (Hotelling)
Individu (perilaku,
struktural,
institusional,
evolusioner)
5. Dispersi
1. Lokasi dalam Pola ruang
ruang 6. Aglomerasi
Sistem internal kota Perdesaan
7. Von Thunen
(Pertanian)
Struktur internal
8. Monosentrik
Agregat
(sistem) Perkotaan
9. Polisentrik
Ranking kota 10. Rank Size Rule
Struktur eksternal
(sistem kota) 11. Hierarkis
Hubungan antar (Christaller, Losch)
kota
12. Jejaring
Pertanyaan Besar

1. Mengapa ukuran kota berbeda-beda?


2. Bagaimana kota-kota di suatu wilayah/ negara tersusun
berdasarkan ukurannya?
FA K TO R P E N G A R U H A D A N YA
P E R B E D A A N U K U R A N KOTA

Localization Dan Ketersediaan


Produksi Barang
Urbanization Lapangan Kerja di
Lokal
Economies Lokal

Sumber: O’Sullivan, 2012


Urbanisasi dan Ukuran Kota
Kota akan selalu berkembang seiring dengan berjalannya
waktu dan akan semakin kompleks kegiatannya.
Kota berkembang melalui proses industrialisasi dan
diversifikasi ekonomi.
Kompleksitas kegiatan-kegiatan pada suatu kota akan saling
melengkapi satu sama lain.
Kota memiliki kemampuan berkembang yang berbeda sesuai
kapasitas dan sumber daya yang dimilikinya.
Perbedaan laju urbanisasi dan perkembangan kota
menyebabkan terjadinya perbedaan ukuran kota.
Localization Dan
Urbanization
Economies

Ekonomi Ekonomi
Urbanisasi Lokalisasi

Ekonomi Urbanisasi:
Melakukan cost savings
Ekonomi Ekonomi Lokalisasi:
Melakukan cost savings
dengan menempatkan
industri yang berbeda-beda dalam Aglomerasi dengan menempatkan
perusahaan-perusahaan
satu lokasi bersama dengan jenis industri yang
yang berdekatan. Lokasi sama bertempat di suatu
dari satu industri menarik lokasi yang sama dan
industri lainnya. berdekatan.
Ekonomi urbanisasi ini
menumbuhkan large diverse cities
.
Localization Dan
Urbanization
Economies
: Distribusi Barang Lokal Kota Kecil
Produksi Barang ke Kota Besar
Lokal
: Pergerakan orang dari Kota Kecil
ke Kota Besar untuk memperoleh
Ilustrasi: Kebutuhannya

FENOMENA PERPINDAHAN AKIBAT


Lokal
PERPINDAHAN
A
Lokal
Kota Kecil A
VA R I A S I
PRODUK
Lokal
Lokal B
B

Kota Kecil
Lokal
URBANISASI
C

Lokal Kota Besar


C

Kota Kecil
Ketersediaan
Lapangan Kerja di
Lokal
Tiga hipotesis
distribusi ukuran
kota, yaitu:

1. Primate
2. Uniform
3. Intermediate

Sumber: Anderson, 2012


Aturan Ukuran Kota
Aturan ukuran kota (the rank size rule) mengamati hubungan yang teratur antara
ukuran (besar) kota dengan ranking-nya:

• Semakin besar suatu kota, semakin sedikit kota dengan jumlah penduduk yang mirip
• Semakin rendah ranking kota, semakin kecil perbedaan ukuran antara dua kota yang
terdekat rankingnya

Idealnya, perkalian antara ranking dan ukuran adalah sama untuk semua kota di
suatu wilayah:

Ranking . Ukuran = konstanta


Zipf’s Law
George K. Zipf (1949) melihat hubungan ini sebagai:

Pn = P1(n)-1

Pn = Jumlah penduduk kota ke-n dimana kota-kota diurutkan menurut


ukuran jumlah penduduk
P1 = Jumlah penduduk kota terbesar (the primate city).

Jadi, kota ke-5 jumlah penduduknya 1/5 kali kota terbesar


Gb. Rank-
size kota-
kota di U.S.
Sumber: Anderson, 2012
Gb. Distribusi
Ukuran Area
Perkotaan US
Tahun 2000
Sumber: O’Sullivan, 2012
The Rank Size Rule
• Deviasi Hukum Zipf membesar pada kota dengan ranking menengah-bawah.
Sehingga model matematis dapat disempurnakan berdasarkan aturan statistik:

Pn = P1(n)-B
↔ ln Pn = ln P1 - B(ln n)

• Distribusi ukuran kota yang baik memiliki nilai B (eksponen ranking) mendekati
1,0.
• Distribusi ukuran kota di suatu negara dikatakan primate jika gap antara kota
terbesar dengan kota-kota lainnya sangat besar  B > 1,0.
• Primate city = keadaan di mana jumlah penduduk kota terbesar di suatu negara
setidaknya dua kali lebih besar dari kota terbesar keduanya
Large Primary Cities
“Di negara berkembang, kota terbesar relatif mempunyai populasi yang besar
pula”

Sumber : O’Sullivan, 2012


Large Primary Cities (2)

Negara dengat tingkat primasi tinggi:


o Negara relatif kecil: Thailand (Bangkok), Filipina (Manila)
o Negara dengan sejarah relatif singkat: Meksiko (Mexico city)
o Negara dengan struktur ekonomi-sosio-politik yang relatif sederhana (diktator):
Rusia (Moskow), Perancis (Paris), Inggris (London)

Negara dengan tingkat primasi rendah:


o Negara besar: RRC (Beijing – Hongkong – Shanghai), AS (New York – Los Angeles –
Chicago), India (Mumbay – Kalkuta – Delhi), Brazil (Sao Paulo – Rio de Janeiro)
o Negara dengan sejarah tua: Belanda (Den Haag – Amsterdam – Rotterdam),
Jerman (Berlin – Munich – Frankfurt)
o Negara dengan struktur ekonomi-sosio-politik yang kompleks: Israel (Haifa – Tel
Aviv – Jerusalem), UAE (Dubai – Abu Dhabi)
Mengapa terjadi Primacy?
• Aglomerasi: perlu skala ekonomi yang besar untuk
membangun infrastruktur dan kelembagaan agar sistem
produksi lebih efisien
• Kemakmuran dan peluang ekonomi lebih tinggi di kota
terbesar
• Persaingan global menuntut struktur ekonomi yang semakin
rumit
• Kelembagaan: pemerintahan yang otoriter
mengkonsentrasikan semua fungsi administrasi di satu kota;
Mengapa Rank Size Rule terjadi?

Fenomena statistik?

Proses quilibrium ekonomi jangka panjang? Menunjukkan


“kematangan” suatu tatanan sistem keruangan?
• Pengaruh aglomerasi cukup kuat untuk menarik proporsi yang yang
sangat besar kegiatan ekonomi ke kota terbesar.
• Tidak semua kegiatan ekonomi tertarik ke kota terbesar karena pengaruh
kemacetan, polusi, dan lain-lain.
LALU,

DISTRIBUSI UKURAN KOTA DI INDONESIA TERMASUK

THE RANK-SIZE RULE


ATAU

LARGE PRIMARY CITY


Distribusi Ukuran Kota di
Indonesia
Jumlah Penduduk
No. Kota
Real Ideal
12000000
1 Jakarta 9607787 9607787
2 Surabaya 2929528 4803894
10000000 3 Bandung 2394873 3202596
Jumlah Penduduk (jiwa)

4 Bekasi 2334871 2401947


5 Medan 2097610 1921557
8000000
6 Tangerang 1798601 1601298
7 Depok 1738750 1372541
6000000 8 Semarang 1555984 1200973
9 Palembang 1535000 1067532
4000000 10 Makassar 1365000 960778,7

2000000

0
Jumlah Penduduk Real

Jumlah Penduduk
Ideal
Kota

Sumber Data : BPS, SP 2010


Klasifikasi Kota
Berdasarkan ukuran jumlah penduduk, klasifikasi kota sebagaimana
berikut:
1. Kota kecil: jumlah penduduk 20.000 sampai dengan 100.000.
2. Kota Sedang: jumlah penduduk 100.000 sampai dengan 500.000.
3. Kota Besar: jumlah penduduk 500.000 sampai dengan 1 juta.
4. Metropolitan: jumlah penduduk 1 sampai dengan 5 juta.
5. Megapolitan / Megacity: jumlah penduduk di atas 5 juta.

Kota-kota tersebut dapat mempunyai jangkauan pelayanan atau


keterkaitan skala internasional, nasional, wilayah (melayani satu
provinsi atau lebih) atau lokal (melayani beberapa kabupaten atau
bagian dari satu kabupaten).
Mengapa Distribusi Ukuran Kota
Berhierarki?
Hierarki sistem transportasi
Hierarki sistem administrasi
Hierarki sistem pelayanan
Referensi
Anderson, W.P. (2012). Ecomonic Geography. New York: Routledge.
Badan Pusat Statistik. (2010). Publikasi: Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Dewar, M., & Epstein, D. (2007). Planning for Megaregions in the United States. Journal of
Planning Literature, 22, 108.
Florida, Richard, Tim Gulden, and Charlotta Mellander. (2008). The Rise of the Mega-Region.
Cambridge Journal of Regions, Economy and Society. 1 (3), 459–76.
Marull, Joan, Carme Font, and Rafael Boix. (2015). Modelling Urban Networks at Mega-
Regional Scale: Are Increasingly Complex Urban Systems Sustainable? Land Use Policy 43, 15–
27.
O’Sullivan, Arthur. (2012). Urban Economics (8th ed.), Ch. 4 (pp. 70-87).
Pacione, Michael (2005) Urban geography: A global perspective (2nd ed.), Ch. 6 (pp. 159-178).
Ross, C.L., (2009). Megaregions: Planning for Global Competitiveness. Washington: Island
Press.
SISTEM PERKOTAAN II:
HIERARKIS

Kuliah 11 Pola Lokasi dan Struktur Ruang


Struktur perkuliahan
2. Lokasi industri
Pendekatan (Weber)
neoklasik 3. Wilayah pasar
4. Pendekatan lain (Hotelling)
Individu (perilaku,
struktural,
institusional,
evolusioner)
5. Dispersi
1. Lokasi dalam Pola ruang
ruang 6. Aglomerasi
Sistem internal
kota Perdesaan
7. Von Thunen
(Pertanian)
Struktur internal
8. Monosentrik
Agregat
(sistem) Perkotaan
9. Polisentrik
Ranking kota 10. Rank Size Rule
Struktur eksternal
(sistem kota) 11. Hierarkis
Hubungan antar
kota
12. Jejaring
Teori tempat terpusat

 Teori tempat terpusat (central place theory) menggambarkan pola sistem


kota-kota pada suatu wilayah sebagai bentuk penyatuan dari pola lokasi
kegiatan-kegiatan industri (ekonomi).
 Teori ini dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah, ukuran dan lingkup
pelayanan kota-kota pada suatu wilayah
 Tempat terpusat (central place) adalah:
 Tempat terjadinya pertukaran barang/jasa;
 Pusat permukiman yang berfungsi untuk menyediakan barang/jasa dalam wilayah
pelayanannya
Asumsi

 Dataran homogen, tidak berbatas, tanpa hambatan.


 Moda transportasi homogen dan ongkos transportasi proporsional terhadap jarak
 Kepadatan penduduk terdistribusi secara merata
 Konsumen meminimalkan jarak tempuh dengan mengunjungi tempat terpusat terdekat yang
dapat memberikan fungsi yang diminta
 Penyedia barang/jasa berperilaku sebagai manusia rasional-ekonomis, yaitu berupaya
memaksimalkan keuntungan dengan berlokasi pada dataran dengan pasar terluas dan jauh
dari kompetitornya
 Konsumen memiliki kesamaan tingkat pendapatan dan permintaan terhadap barang/jasa
Asumsi (2)

 Tidak ada eksternalitas belanja bagi penduduk


 Terdapat minimal satu barang atau jasa yang disediakan di
pusat pelayanan
 Harga efektif untuk konsumen besarnya sama dengan jumlah
harga konstan barang dan ongkos transportasi yang
bergantung pada jarak
Konsep utama

 Teori ini dibuat berdasarkan pengembangan sederhana dari analisis (wilayah)


pemasaran (market-area analysis) dimana trade off antara skala ekonomi dan
ongkos transportasi memunculkan konfigurasi tempat-tempat terpusat
(central places)
 Batas ambang (threshold) penduduk: jumlah minimum penduduk yang dibutuhkan agar
suatu barang/jasa dapat disediakan; jumlah permintaan minimal yang diperlukan (skala
ekonomi) agar penyediaan suatu barang/jasa memungkinkan.
 Wilayah pelayanan (range) suatu barang/jasa: jarak maksimum bagi orang untuk mau
melakukan perjalanan untuk membeli barang/jasa. Pada jarak tertentu, ongkos perjalanan
akan melewati nilai/kebutuhan akan barang/jasa.
 Pemusatan tempat (centrality): ukuran populasi pada suatu
ruang secara langsung terkait dengan derajat pemusatannya
atau tingkat sejauh mana suatu tempat terletak di pusat dan
berfungsi melayani populasi di sekitarnya.
 Kompetisi spasial (spatial competition): pembagian wilayah
pelayanan antar dua pusat pelayanan dengan orde yang sama
akan berukuran sama.
Prinsip

 Semakin besar ukuran suatu pusat pelayanan, semakin besar pula jarak
antar sesama pusat pelayanan yang memiliki orde yang sama.
 Semakin besar ukuran suatu pusat pelayanan, maka akan semakin
besar spesifikasi penyediaan barang dan jasa atau semakin banyak
jumlah retail dan jasa yang ditawarkan atau ditemukan pada pusat
pelayanan tersebut.
 Semakin besar ukuran suatu pusat pelayanan, maka akan semakin
besar pula wilayah pemasaran dari pusat pelayanan tersebut.
 Semakin besar ukuran suatu pusat pelayanan, maka akan semakin
tinggi orde dari fungsi yang disediakan oleh pusat pelayanan tersebut.
 Semakin besar ukuran suatu pusat pelayanan, maka akan semakin
sedikit jumlah pusat pelayanan dengan orde yang sama.
Konfigurasi keruangan

 Teori tempat terpusat pertama


dikembangkan oleh Christaller (1933) untuk
menggambarkan sistem kota yang melayani
pasar perdesaan di Jerman Selatan
 Tempat-tempat terpusat membentuk
hierarki (orde); kota-kota mengelompok dan
digabungkan oleh batas wilayah pelayanan
kota yang lebih besar dst
 Makin besar suatu tempat terpusat, makin
tinggi hierarki/ordenya; makin luas wilayah
pelayanannya; makin banyak, beragam dan
terspesialisasi barang/jasa yang disediakan
Sistem tempat tespusat di Jerman Selatan
Pola geometris: lingkaran?

 Lingkaran beringgungan: wilayah pelayanan efisien tetapi


terdapat spot-spot yang tidak terlayani sehingga ongkos
transportasi mahal
Pola geometris: lingkaran?

 Lingkaran beririsan: ongkos transportasi lebih efisien tetapi


wilayah pelayanan berkurang
Pola geometris: heksagonal
 Semua tempat terpusat berlokasi di tengah
wilayah bawahannya sehingga tercapai
jarak perjalanan agregat yang minimum
 Teori sarang lebah: agar konfigurasi
tempat-tempat terpusat paling efisien
(ongkos transportasi minimal, wilayah
pelayanan optimal) maka batas wilayah
pelayanan tempat terpusat berbentuk
heksagonal
 Tempat-tempat terpusat dengan hierarki
yang sama memiliki wilayah pelayanan yang
sama dengan batas-batas saling
bersinggungan satu sama lain sehingga
tidak ada wilayah pelayanan yang saling
tumpang tindih dan semua
wilayah/penduduk terlayani
Pola geometris
 Jumlah tempat terpusat pada setiap tingkat hierarki
permukiman mengikuti perbandingan konstan (k) mulai
dari hierarki tertinggi hingga terendah
 Untuk setiap enam tempat terpusat, terdapat satu tempat
terpusat yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah/
antara keenam tempat terpusat yang lebih kecil
Asumsi Pola Geometris
 Setiap wilayah (kabupaten atau kota) terdiri dari satu heksagon.
 Setiap wilayah (kabupaten atau kota) akan memiliki satu pusat pelayanan yang melayani
kabupaten atau kota itu sendiri.
 Setiap pusat pelayanan (atau kabupaten/kota) memiliki hierarki tertentu terhadap konstelasi
eksternalnya, sehingga terdapat kemungkinan pusat tersebut akan melayani kabupaten/kota yang
hierarkinya lebih rendah.
 Setiap pusat pelayanan yang berhierarki lebih tinggi akan menyediakan barang dan jasa yang
memiliki spesifikasi sama dengan barang dan jasa yang disediakan oleh pusat pelayanan yang
berhierarki lebih rendah.
 Setiap pusat pelayanan yang berhierarki lebih rendah tidak akan menyediakan barang dan jasa
yang memiliki spesifikasi sama dengan barang dan jasa yang disediakan oleh pusat pelayanan
yang berhierarki lebih tinggi.
 Jumlah pusat pelayanan pada setiap tingkat hierarki permukiman mengikuti perbandingan
konstan (k) mulai dari hierarki tertinggi hingga terendah.
 Pusat pelayanan yang lebih tinggi akan melayani sejumlah kota yang hierarkinya dibawahnya
sesuai dengan prinsip yang dianutnya dengan perbandingan konstan (k) tertentu.
K=3, K=4, K= 7

K 3 merupakan hasil K 4 merupakan K 7 merupakan kawasan


dari kawasan sentral (1) kawasan pengaruh 1/2 pengaruh terhadap 6
ditambah dengan 1/3 dari enam kawasan kawasan tetangganya. K 7
bagian dari kawasan tetangga ditambah disebut juga sebagai tempat
tetangga yang berada kawasan sentral (1). K sentral situasi administratif
dalam pengaruh tempat 4 merupakan hierarki optimum.
sentral tersebut. K 3 tempat sentral pada
merupakan hierarki situasi lalu lintas
tempat sentral pada optimum.
kasus pasar optimum.
K = 3 (prinsip optimasi pasar)
 Digunakan untuk tujuan optimasi wilayah pasar
 Wilayah pelayanan (jumlah penduduk) tempat
terpusat dengan hierarki lebih tinggi = 3 X wilayah
pelayanan (jumlah penduduk) tempat terpusat
dengan hierarki lebih rendah
 Jarak antar tempat terpusat dengan hierarki lebih
tinggi = √3 X jarak antar tempat terpusat dengan
hierarki lebih rendah
 Jarak yang setara antara pusat yang hierarki sama,
dengan jarak antar pusat yang besar lebih jauh dari
jarak antar pusat kecil
K = 4 (prinsip minimasi ongkos transport)

 Setiap pusat ditempatkan pada


rute transport utama yang
terhubung ke pusat yang lebih
tinggi
 Menghasilkan jaringan
transportasi paling efisien
(minimasi panjang jalan yang
menghubungkan antar pusat order
di atas dan di bawahnya)
 Pusat yang lebih tinggi meliputi
separuh wilayah pasar 6 pusat di
bawahnya
K = 7 (prinsip administrasi/ kendali)

 Wilayah pasar pusat bawahan


dilingkupi wilayah pasar pusat di
atasnya (memaksimalkan
kendali pusat)
https://agnazgeograph.files.wordpress.com
https://people.hofstra.edu/
Konsekuensi
(O’Sullivan 2003)

 Ukuran dan cakupan pelayanan kota-


kota dalam suatu wilayah akan berbeda-
beda karena produk-produk konsumsi
memiliki skala ekonomi yang berbeda-
beda relatif terhadap pemintaan per unit,
sehingga memiliki wilayah pasar yang
berbeda-beda
 “Besar berarti sedikit”: Suatu wilayah
akan memiliki sedikit kota besar dan
banyak kota kecil karena kota besar
mampu menyediakan barang dan jasa
lebih banyak dan beragam
 Konsumen cenderung melakukan
perjalanan ke kota yang lebih besar,
bukan ke kota yang lebih kecil atau sama
ukurannya
Kritik

 Teori tempat terpusat merupakan model deskriptif (statis), bukan model


kausal sehingga tidak dapat menjelaskan bagaimana/mengapa proses
penghierarkian kota-kota terjadi
 Aplikasi lebih cocok untuk kegiatan ekonomi yang bersifat pelayanan
(perdagangan/jasa); terbatas jika diterapkan untuk jenis kegiatan industri,
mis. industri pengolahan yang membangkitkan pekerjaan dan cenderung
menarik penduduk dari luar wilayah
Referensi
 Anderson, W.P (2012) Ecomonic Geography, bab 22. New York: Routledge
 Edwards, M. E. (2007). Regional and Urban Economics and Economic Development: Theory and Methods.
Boca Raton: Auerbach Publications.
 Kaplan, D., James, W., dan Steven, H. (2009). Urban Geography: Second Edition. Hoboken: John Wiley & Sons,
Inc.
 Pacione, Michael (2005) Urban geography: A global perspective (2nd ed.), Ch. 6 (pp. 159-178)
 O’Sullivan, Arthur (2003) Urban Economics (International Edition), Ch. 5 (pp. 92-118)
 Friedmann, John (1986) The World City Hypothesis
 Sassen, Saskia. (2001). The Global City: New York, London, Tokyo.
 Grant, Richard (2008) Globalizing City The Urban and Economic Transformation of Accra, Ghana. Syracuse
University Press

Anda mungkin juga menyukai