Anda di halaman 1dari 20

PECEMARAN EKOSISTEM ESTUARI

DINAMIKA ESTUARI TROPIS

SIRKULASI ESTUARIA

Perbedaan salinitas di wilayah estuaria mengakibatkan adanya proses pergerakan


massa air. Air laut yang memeiliki massa jenis yang lebih besar daripada air tawar,
menyebabkan air asin di muara yang berada di lapisan dasar dan mendorong air tawar menuju
laut. Sistem sirkulasi dalam estuari tersebut yang mengilhami proses terjadinya upwelling.
Proses pergerakan antara masa air laut dan air tawar ini menyebabkan terjadinya stratifikasi
yang kemudian mendasarnya tipetipe estuaria, yaitu :

a) Estuaria berstratifikasi sempurna atau estuaria baji garam (salt wedge estuary),
jika aliran sungai lebih besar dari pada pasang surut sehingga mendominasi
sirkulasi estuaria;
b) Estuaria berstratifikasi sebagian atau parsial (moderately stratified estuary), jika
aliran sungai berkurang, dan arus pasang surut lebih dominan maka akan terjadi
percampuran antara sebagian lapisan masa air;
c) Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal (well-mixed
estuaries), jika aliran sungai kecil atau tidak ada sama sekali, dan arus serta
pasang surut besar, maka perairan menjadi tercampur hampir keseluruhan dari
atas sampai dasar.

PRODUKTIVITAS ESTUARIA

Estuaria merupakan ekosistem produktif yang setara dengan hutan hujan tropik dan
terumbu karang, karena perannya adalah sebagai sumber zat hara, memiliki komposisi
tumbuhan yang beragam sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun,
serta sebagai tempat terjadinya fluktuasi permukaan air akibat aksi pasang surut. Produktifitas
merupakan suatu proses produksi yang menghasilkan bahan organik yang meliputi produktifftas
primer ataupun sekunder. Produktifitas primer pada wilayah estuaria dapat di artikan sebagai
banyaknya energi yang diikat atau tersimpan dalam aktifltas fotosintesis dari organisme
produser, terutama tanaman yang berklorofil dalam bentuk-bentuk substansi organik yang
dapat digunakan sebagai bahan makanan. Produktifftas ini dilakukan oleh organisme 'outotroph'
seperti juga semua tumbuhan hijau mengkonversi energi cahaya ke dalam energi biologi
dengan fiksasi karbondioksida, memisahkan molekuler air dan memproduksi karbohidrat dan
oksigen. Kegiatan fotosintesis yang dilakukan oleh organisme dalam mengkonversi energi
cahaya menjadi karbohidrat dan oksigen pada letak lintang rendah (tropik) sampai tinggi (kutub)
ternyata sangat berbeda-beda. Selanjutnya disebutkan bahwa pada wilayah estuaria tropik,
masa air permukaan maupun di dasar cukup menerima cahaya matahari sepanjang tahun
karena ketinggian matahari tidak banyak berubah sepanjang tahun dengan demikian diperoleh
kondisi cahaya optimal bagi produksi fitoplankton. Faktor penting lainnya yang mempengaruhi
produktifitas fitoplankton, yaitu curah hujan yang membawa unsur-unsur hara dari darat ke laut
melalui aliran sungai, adanya pengadukan oleh angin, arus pasang surut dan gelombang,
kemudian unsur hara akan terangkat dari dasar ke permukaan.
Tingginya produktifitas di wilayah estuaria di dukung juga oleh tersedianya kandungan
nutrien yang cukup bagi organisme di perairan tersebut. Ketersediaan nutrien pada perairan ini
dapat dipengaruhi oleh fluktuasi relatif pasang surut dan aliran permukaan (runoff) dari daratan
atau buangan limbah melalui sungai. Pasokan unsur hara tersebut terjadi pada saat air surut
melalui pembilasan oleh pasang surut dan pembilasan di bagian hulu sungai. Pada saat air
surut, masa air sungai akan lebih dominan sehingga menambah larutan unsurunsur hara
menjadi lebih tinggi dibandingkan pada saat air pasang. Pada perairan yang dangkal
pergerakan masa air lebih di dominasi oleh arus pasang surut, oleh karena itu proses
percampuran masa air secara vertikal dapat terjadi lebih efektif dan masa air dari bawah bisa
naik ke permukaan perairan dan membawa unsur-unsur hara ke permukaan.

Jadi peran wilayah estuaria, sebagai daerah perangkap nutrien dimana proses ini terjadi
akibat bahan-bahan nutrien yang terbawa oleh sungai mengandung mineral liat dalam
prosentase cukup tinggi. Mineral liat ini mempunyai kapilaritas yang tinggi atau kapasitas
absorbsi yang besar sehingga mampu menyerap nutrien, elemen-elemen renik dan bahan lain
dalam jumlah besar. Adanya proses biodekomposisi dimana hewan 'filter feeder' merubah
sejumlah besar bahan tersuspensi menjadi 'faces' atau 'pseudofaces' yang bersatu dalam
sedimen. Melalui suatu kombinasi antara pasang surut secara horizontal dan aliran masa air
dengan salinitas berbeda, sehingga kecenderungan nutrien terperangkap dalam estuaria.

NUTRIEN

1. Nitrogen (N)

Nitrogen dalam air dapat ditemukan dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Nitrogen
bersama fosfat penting dalam produksi 'algae' dan kurang lebih 75 % konsentrasi nitrogen
ditemukan pada protoplasma. Nitrogen masuk ke dalam protoplasma dalam bentak amoniak
(NH3) dan asam-asam amino dalam bentuk lain yang diabsorbsi pada waktu proses
fotosintesis. Oleh karena itu, nirogen merupakan unsur yang sangat penting bagi pertumbuhan
fitoplankton NAAN (dalam SEDIADI 1999) dan merupakan salah satu unsur utama dalam
pembentukan protein (SPENCER 1975). Nitrogen merupakan bagian dari unsur nutrien yang
diperlukan dalam proses fotosintesis yang di serap dalam bentuk nitrat (NO3) kemudian dirubah
menjadi protein dan selanjutnya menjadi sumber makanan ikan-ikan di estuaria.

2. Orthofosfat

Konsentrasi orthofosfat di dalam air dapat berkurang karena penyerapan oleh fitoplankton
dan bakteri serta adanya penyerapan oleh lumpur dasar akibat Ca 2+ pada pH tinggi atau Fe3+
pada pH rendah. Pada perairan yang memiliki nilai fosfat rendah, diatom akan dominan dari
pada fitoplankton yang lain. Menurut SPENCER (1975) percampuran air yang disebabkan oleh
arus pasang surut dapat mengangkat fosfor dalam bentuk terlarut dan bentuk partikel. Fosfat
dalam bentuk anorganik diasimilasi oleh fitoplankton dan di sirkulasi pada perairan estuaria.

3. Sulfat (SO4)

Sulfat pada prinsipnya berasal dari penguraian organik berupa protein yang mengandung
sulfur dipecahkan menjadi asamasam amino yang kemudian diuraikan lagi dan menghasilkan
sulfat dan sulfit. Sulfat merupakan salah satu parameter kimia yang juga berpengaruh terhadap
produktifitas primer di wilayah esturia, meskipun pengaruhnya relatif kecil namun sulfat
merupakan senyawa yang diserap oleh algae dan dibutuhkan sebagai pembentuk asam amino
esensial.

4. Ferum (Fe)

Penurunan derajat pertumbuhan pada daerah yang kekurangan Fe dapat disebabkan oleh
reduksi pada proses fotosintesis yang kemudian dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi
klorofil (SPENCER 1975). Unsur Fe dalam bentuk padatan anorganik pada perairan alami, yaitu
banyak dibawa oleh bahan-bahan terlarut melalui aliran sungai.

ANCAMAN WILAYAH ESTUARI

Estuaria merupakan wilayah yang sangat dinamis (dynamics area), rentan terhadap
perubahan dan kerusakan lingkungan baik fisik maupun biologi (ekosistem) dari dampak
aktifitas manusia di darat ataupun pemanfaatan sumberdaya perairan laut secara berlebihan
(over-exploited). Beberapa hal yang dimungkinkan menjadi sumber kerusakan dan perubahan
fisik lingkungan wilayah estuaria antara lain:

1) Semakin meningkatnya penebangan hutan dan jeleknya pengelolaan lahan di darat,


dapat meningkatkan sedimentasi di wilayah estuaria. Menurut SINUKABAN (1996) dan
MANAN (1992) laju sedimentasi di wilayah pesisir yang melalui aliran sungai bisa
dijadikan sebagai salah satu indikator kecepatan proses kerusakan pada wilayah lahan
atas, sehingga dapat menggambarkan kondisi pada wilayah lahan atas. Meningkatnya
kekeruhan akan menghalangi penetrasi cahaya yang digunakan oleh orgnisme untuk
pemapasan atau berfotosintesis. Banyaknya sedimen yang akhirnya terhenti atau
terendapkan di muara sungai dapat mengubah luas wilayah pesisir secara keseluruhan,
seperti terjadinya perubahan garis pantai, berubahnya mulut muara sungai,
terbentuknya delta baru atau tanah timbul, menurunnya kualitas perairan dan biota-biota
di muara sungai.
2) Pola pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang tidak memperhatikan daya dukung
produktifitas pada suatu kawasan estuaria, seperti sumberdaya perikanan, sehingga
kawasan muara sungai tersebut terus mendapat tekanan dan menyebabkan
menurunnya produktifitasnya.
3) Meningkatnya pembangunan di lahan atas (up-land) menjadi kawasan Industri,
pemukiman, pertanian menjadikan sumber limbah yang bersama-sama dengan aliran
sungai akan memperburuk kondisi wilayah estuaria.
4) Kegiatan-kegiatan kontruksi yang berkaitan dengan usaha pertanian, seperti pembuatan
saluran irigasi, drainase dan penebangan hutan akan mengganggu pola aliran alami
daerah tersebut. Gangguan ini meliputi aspek kualitas, volume, dan debit air.
Pengurangan debit air yang di alirkan bagi irigasi, dapat mengubah salinitas dan pola
sirkulasi air di daerah estuaria dan menyebabkan jangkauan intrusi garam semakin jauh
ke hulu sungai. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pada sebagian ekosistem
perairan pantai itu sendiri, juga pada ekosistem daratan di sekitar perairan tersebut
sehingga berakibat intrusi air laut pada air tanah.
UPAYA PENGELOLAAN WILAYAH ESTUARIA

1) Memperbaiki Daerah Lahan Atas (up-land)


Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi dampak kerusakan pada
ekosistem perairan wilayah estuaria yaitu dengan menata kembali sistem pengelolaan
daerah atas. Khususnya penggunaan lahan pada wilayah daratan yang memiliki sungai.
Jika penggunaan lahan wilayah pesisir sebagai lahan perikanan tangkap, budidaya atau
konservasi maka penggunaan lahan atas harus bersifat konservatif. Perairan pesisir
yang penggunaan lahannya sebagai lahan budidaya yang memerlukan kualitas perairan
yang baik maka penggunaan lahan atas tidak diperkenankan adanya industri yang
memproduksi bahan yang dapat menimbulkan pencemaran atau limbah.
2) Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Secara Optimal
Wilayah estuaria yang berfungsi sebagai penyedia habitat sejumlah spesies
untuk berlindung dan mencari makan serta tempat reproduksi dan tumbuh, oleh
karenanya di dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya di wilayah estuaria
diperlukan tindakan-tindakan yang bijaksana yang berorientasi pemanfaatan secara
optimal dan lestari. Pola pemanfatan sebaiknya memperhatikan daya dukung
lingkungan (carrying capacity).
3) Konservasi Hutan Mangrove
Secara ekologis hutan mangrove adalah sebagai penghasil sejumlah besar detritus dari
serasah, daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground) dan sebagai
tempat pemijahan (spawning ground). Secara fisik, hutan mangrove dapat berperan
sebagai filter sedimen yang berasal dari daratan melalui sistem perakarannya dan
mampu meredam terpaan angin badai. Secara ekonomis, dalam konservasi hutan
mangrove juga akan diperoleh nilai ekonomis sangat tinggi. Nilai ekonomi total rata-rata
sekitar Rp 37,4 juta/ha/tahun yang meliputi manfaat langsung (kayu mangrove), manfaat
tidak langsung (serasah daun, kepiting bakau, nener bandeng ikan tangkap dan ikan
umpan), option value dan existence value (SUPRIYADI & WOUTHUYZEN, in Press).
PEMANTAUAN LINGKUNGAN ESTUARI PERANCAK BERDASARKAN SEBARAN
MAKROBENTHOS

Estuaria adalah suatu tempat pertemuan antara air tawar dan air laut atau transisi
antara habitat tawar dan habitat laut. Habitat estuaria lebih subur (produktif) sehingga daerah ini
menjadi daerah asuhan (nursery ground) yang baik bagi larva maupun udang, ikan dan kerang,
bahkan menjadikan estuaria sebagai habitat sepanjang hidupnya (Genisa et al., 1999). Menurut
Tulungen et al., (2003) Selain fungsi ekologis, estuaria dimanfaatkan oleh manusia sebagai
tempat bermukim, tempat penangkapan dan budidaya perikanan, jalur transportasi , tempat
pelabuhan dan kawasan industri.

Dahuri dkk., (2004) menjelaskan bahwa tingginya tingkat pemanfaatan di daerah


estuaria menimbulkan berbagai dampak lingkungan seperti hilangnya sumber daya estuaria.
Pemanfaatan wilayah yang cukup tinggi di sekitar wilayah estuaria ini berhubungan erat dengan
kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Karena itu, perlu dilakukan langkah ± langkah
konservatif dalam upaya agar tetap terjaga ekologi pesisir di sekitar wilayah ekosistem estuaria
perancak ini.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melalui biomonitoring dengan
makrobenthos. Makrobenthos juga sering disebut dengan makroinvertebrata. Makroinvertebrata
adalah semua jenis hewan berukuran makroskopik, tidak bertulang belakang, dapat hidup
melayang, menempel pada substrat, pada vegetasi dan pada benda lain di air selama beberapa
saat atau selama fase hidupnya (De Pauw and Vanhoeren, 1983 dalam Bahri et al., 2003).

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil pengukuran secara insitu, didapatkan hasil kualitas air dan tanah
yang disajikan pada Tabel 3. Secara umum, kondisi suhu air perairan Estuaria Perancak
berkisar 28-300C, dengan suhu maksimum yaitu 300C yang terdapat di stasiun A6. Sedangkan
suhu terendah terdapat pada stasiun A2, A3, A4, A12. Hasil pengukuran suhu dengan
termometer menunjukkan bahwa daerah estuaria Perancak merupakan daerah yang cocok
untuk pertumbuhan makrobenthos yang sesuai dengan baku mutu hidup biota laut .
Sementara pada hasil pengukuran pH air didapatkan rentang pH air antara 8,13 8,65 dengan
pH tertinggi terdapat pada A4 dan pH terendah terdapat pada stasiun A12. Rata rata pH yang
mencapai kisaran 8 ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari satu
stasiun ke stasiun yang lain. Dilihat dari baku mutu untuk biota laut yang didalamnya termasuk
makrobenthos menunjukkan bahwa wilayah estuaria Perancak memiliki pH antara 7 8,5 yang
merupakan habitat yang baik bagi makrobenthos. Natica sp., Littorina sp., Dotilla
sp., Brachydontes sp., Cerithium sp., Crassostrea sp. dan Cotylophoron cotylophorum. Hasil
identifikasi dapat dilihat pada Tabel 4. Sebaran tiap spesies pada tiap stasiun berbeda. Hal ini
dipengaruhi oleh lingkungan yang ada disekitarnya. Sebaran menunjukkan banyaknya jumlah
makhluk hidup yang berada dalam suatu daerah. Pada habitat alami yang jauh dari campur
tangan manusia, biasanya ditemukan lebih dari 100 individu makrobentos setiap sekitar 10 m2 .
Untuk indeks keanekaragaman, rata-rata tiap stasiun masuk dalam kategori dengan
keanekaragaman sedang. Ini berarti bahwa produktivitas pada stasiun tersebut cukup, kondisi
ekosistem cukup seimbang dan tekanan ekologis sedang. Keadaan ini terjadi pada stasiun
pengamatan A2, A3, A4, A6, A7, A9, A12. Sedangkan pada A11, daerah ini merupakan daerah
buangan atau outlet dari areal tambak yang menuju ke muara sehingga memungkinkan
terjadinya cemaran pada badan air yang akhirnya mengendap di substrat sekitar daerah A11
yang berpengaruh besar dalam sebaran makrobenthos.

Dilihat dari nilai indeks dominansi per titik dapat dikatakan bahwa tidak ada dominansi
yang tinggi pada semua titik. Ini dilihat dari keseluruhan nilai yang menunjukkan nilai yang
masih jauh dari C = 1, sebagai tanda bahwa dominansi pada komunitas yang tinggi.
Tingkat dominansi pada rata rata stasiun pemantauan adalah rendah. Kecuali pada A11 dan
A13 yang mempunyai dominansi yang sedang. Indek dominansi makrobentos berkisar antara
0,251-0,750. Nilai tersebut ditemukan pada stasiun A4 sebagai yang terendah yaitu 0,251 dan
pada stasiun A11 sebagai yang tertinggi dengan nilai 0,750. Spesies yang dominan pada titik ini
adalah Natica sp. dengan jumlah 57 spesies.

Sementara indeks keseragaman pada beberapa tempat menunjukkan bahwa


keseragaman daerah tersebut adalah sedang terlihat hampir pada semua titik kecuali A11 dan
A14 yang mempunyai nilai paling rendah sehingga dapat dikatakan keseragamannya buruk.
PENGENDALIAN PENCEMARAN dan KERUSAKAN di WILAYAH PESISIR

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau sangat banyak. Data SLHI
2013 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah Pulau di Indonesia 13.466 pulau dengan
garis pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan yang besar dalam
mengembangkan dan mengelola potensi sumberdaya pesisir dan laut. Wilayah pesisir dan laut Indonesia
memiliki kekayaan alam yang sangat besar serta menyediakan jasa-jasa lingkungan yang beragam,
seperti minyak dan gas, mineral, perikanan, ekosistem terumbu karang dan mangrove, maupun
pariwisata. Sayangnya, sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia pada masa lampau belum
mendapat perhatian serius sebagaimana halnya pembangunan di wilayah daratan. Beberapa kasus
pencemaran dan kerusakan lingkungan telah terjadi serta pencurian sumberdaya laut oleh pihak asing
yang tidak terkendali. Kemiskinan di wilayah pesisir juga banyak ditemukan.

Jumlah penduduk di wilayah pesisir perkotaan yang makin meningkat, ternyata mengakibatkan
sumberdaya di daratan semakin terbatas, maka wilayah pesisir dan laut beserta sumberdayanya
menjadi alternatif pendukung pembangunan daerah maupun nasional yang strategis di masa
mendatang. Oleh karena itu sangatlah beralasan, jika dalam pembangunan jangka panjang bangsa
Indonesia mengorientasikan kiprah pembangunannya terutama pada wilayah pesisir dan laut. Komitmen
pemerintah dalam bidang ini dapat terlihat dari masih diperlukannya kementerian yang mengurusi
masalah lingkungan hidup serta kelautan, bahkan pada kabinet saat ini ditambah dengan Menteri
Koordinator Maritim.

B. Potensi Sumberdaya Pesisir

Pada umumnya sumber daya pesisir dan laut dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu (a)
sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (b) sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable
resources), (c) energi kelautan serta (d) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services).
Sumberdaya yang dapat pulih antara lain ikan, rumput laut, mangrove termasuk kegiatan mariculture.
Sumberdaya yang tidak pulih antara lain berupa mineral, pasir laut, minyak bumi, gas alam. Energi
kelautan antara lain gelombang laut, pasang surut air laut. Sedangkan jasa lingkungan di wilayah pesisir
dan laut antara lain: pariwisata bahari, transportasi laut.

Ekosistem hutan mangrove mempunyai kegunaan yang beragam sehingga mempunyai nilai
ekonomis yang sangat tinggi. Ekosistem ini juga mempunyai produktivitas biomassa yang tinggi, bahkan
dapat mencapai 5.000 grCal/m2 /tahun (Lugo & Snedaker, 1974). Kegunaan hutan mangrove antara lain
merupakan spawning ground, nursery ground dan feeding ground bagi berbagai jenis satwa air maupun
satwa darat. Selain itu, dapat digunakan pula sebagai bahan bakar, bahan bangunan, obatobatan serta
dapat melindungi pesisir dari hempasan ombak, gelombang pasang, badai serta dapat menahan
sedimen dan mencegah terjadinya abrasi pantai.

Terumbu karang merupakan kumpulan dari banyak sekali habitat mikro yang saling berhubungan
dengan ribuan spesies tumbuhan maupun tanaman sebagai penyusunnya. Ekosistem terumbu karang
mempunyai nilai yang sangat tiggi, namun sangat rentan. Fungsi terumbu karang antara lain sebagai
breeding nursery dan feeding ground bagi banyak spesies ikan, invertebrata dan reptelia, selain itu juga
dapat menahan ombak dan mencegah terjadinya abrasi. Kawasan terumbu karang juga sangat baik
untuk obyek wisata, obyek penelitian, mariculture, bioteknologi.

Lamun adalah tumbuhan berbunga (spermatophyta) yang hidup di laut, berbiji satu (monokotil) dan
terdiri dari tiga bagian utama yaitu daun, rimpang (rhizome) dan akar. Lamun dapat menyesuaikan diri
untuk hidup dan tumbuh pada lingkungan laut dengan kemampuan : hidup pada air asin, berfungsi
normal dalam keadaan terbenam, bertahan terhadap arus dan gelombang melalui sistem perakaran
yang baik, berbiak secara generatif (biji) dalam keadaan terbenam. . Produktifitas padang lamun sangat
tinggi, dapat mencapai lebih dari 5000 grCal/m2 /tahun. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun yang
dapat dijumpai dalam skala besar dan menutupi dasar perairan yang luas untuk membentuk suatu
padang lamun (seagrass bed). Keberadaan lamun di perairan laut dangkal sangat penting, karena : (1)
dapat membentuk lingkungan berupa padang lamun yang menjadi salah satu ekosistem terkaya dan
paling produktif, (2) dapat menjaga dan memelihara stabilitas pantai pesisir dan lingkungan ekosistem
estuaria, (3) merupakan sumber makanan bagi banyak hewan laut seperti duyung, penyu, ikan dan bulu
babi, (4) merupakan tempat berlindung banyak jenis hewan dan tumbuhan dari hewan pemangsa, (5)
merupakan komoditas yang banyak digunakan sebagai pupuk, kertas, pakan ternak dll. Selain bencana
alam (badai), kegiatan manusia (pencemaran dan perusakan) dapat mengancam kelestarian lamun.

Ekosistem estuaria merupakan ekosistem yang khas, karena air tawar dan air laut bertemu sehingga
sumberdaya yang dapat pulih banyak terdapat di wilayah tersebut. Indonesia yang merupakan negara
kepulauan dengan sungai-sungai yang mengalir didaratannya menjadikan wilayah estuary menjadi
banyak dan luas. Mengingat pentingnya wilayah estuary ini, maka wilayah estuary perlu dilestarikan.
Aktivitas yang paling mengancam ekosistem estuary ini adalah aktivitas manusia terutama penebangan
pohon yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi serta pencemaran lingkungan.

C. Permasalahan Pesisir

Permasalahan dalam pengelolaan pesisir di Indonesia pada dasarnya adalah masalah menejemen
dan masalah teknis yang bersumber dari daratan dan lautan. Pengelolaan pesisir belum dilaksanakan
secara terpadu, namun masih sektoral. Dalam pelaksanaan program tidak didasarkan pada rencana
strategis pengelolaan pesisir yang disusun dengan melibatkan semua stakeholder atau sudah ada
rencana strategisnya namun pelaksanaan program atau proyeknya tidak berdasarkan pada rencana
strategis yang telah dibuat tersebut. Koordinasi yang belum baik juga merupakan salah satu kendala,
beberapa daerah belum membentuk Tim Teknis Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu, sehingga
koordinator atau leading sector yang menangani pengelolaan pesisir dan laut ini tidak jelas. Pemahaman
atas pengelolaan pesisir secara terpadu oleh aparat pengelola belum merata atau tidak paham sama
sekali.

Masalah menejemen yang lain adalah kurangnya data dan informasi yang valid atau belum adanya
data base management untuk pengelolaan pesisir, adanya ego sectoral, lemahnya penegakan hukum,
rendahnya komitmen, tidak adanya dana yang berkelanjutan, perpindahan staf yang cukup sering,
belum adanya kebersamaan dan keterpaduan antar sektor, belum adanya tata ruang pesisir dan laut,
kerangka hukum untuk pengelolaan pesisir di daerah masih lemah, keterlibatan ilmuwan atau pakar
belum optimal sehingga hasil kajian ilmiah belum dipakai sebagai salah satu dasar pengambilan
keputusan, serta permasalahan lain yang masing-masing daerah berbeda sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat. Sering pengelolaan pesisir tidak mendasarkan pada prinsip good environmental
governance, yaitu: (1) partisipasi, (2) penegakan hukum, (3) transparansi, (4) kesetaraan, (5) daya
tanggap, (6) wawasan ke depan, (7) akuntabilitas, (8) pengawasan, (9) efisien dan efektif, (10)
profesionalisme.

Selain masalah menejemen seperti tersebut di atas, masalah teknis yang muncul adalah
menurunnya kualitas pesisir dan laut yang diakibatkan oleh kegiatan yang ada di daratan dan di lautan.

1. Bahan Pencemar Lingkungan Wilayah Pesisir

Beberapa bahan pencemar yang berasosiasi dengan lingkungan laut antara lain sebagai
berikut:

a) Patogen
b) Sedimen
c) Limbah padat
d) Panas
e) Material an organic beracun
f) Material organic beracun
g) Minyak
h) Nutrien
i) Bahan Radioaktif
j) Oxygen demand materials (al. karbohydrat, dan senyawa organic lainnya)
k) Material asam-basa
l) Material yang merusak estetika
2. Sumber Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Pesisir
Dalam perspektif global, pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh
limbah buangan kegiatan atau aktifitas di daratan (land-based pollution), maupun kegiatan atau
aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat
dibagi atas kontaminasi secara fisik dan secara kimiawi.
a) Pencemaran bersumber dari aktivitas di daratan (Land-based pollution)
Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan yang berpotensi mencemari
lingkungan pesisir dan laut, antara lain adalah : a) Penebangan hutan (deforestation)
b) Buangan limbah industri (disposal of industrial wastes) c) Buangan limbah
pertanian (disposal of agricultural wastes) d) Buangan limbah cair domestik (sewege
disposal) e) Buangan limbah padat (solid waste disposal) f) Konvensi lahan
mangrove & lamun (mangrove swamp conversion) g) Reklamasi di kawasan pesisir
(reclamation)
b) Pecemaran bersumber aktivitas di laut (Sea-based pollution)
Sedangkan, kegiatan atau aktivitas di laut yang berpotensi mencemari lingkungan
pesisir dan laut antara lain adalah : a. Pelayaran (shipping) b. Dumping di laut (ocean
dumping) c. Pertambangann (mining) d. Eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil
exploration and exploitation) e. Budidaya laut (marine culture) f. Perikanan (fishing)
D. Dasar-Dasar Kebijakan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
Pesisir

Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional menegaskan bahwa sumberdaya alam
agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan harus dapat dinikmati baik oleh
generasi sekarang maupun generasi mendatang. Konsep pembangunan berkelanjutan yang telah
diletakkan sebagai kebijaksanaan pada masa lalu, pada kenyataannya selama ini justru terjadi
pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang
mengganggu kelestarian alam.

Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup menyatakan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia". Selain itu pada Pasal 67 Undang-Undang tersebut menyatakan:“Setiap
orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup". Hal ini berarti antara masyarakat dan pemerintah perlu menjalin
hubungan yang baik dalam melestarikan lingkungan hidup. Dalam pengaturan sumber daya alam, fungsi
pemerintah adalah :

a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;


b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan
pemanfaatan kembali sumberdaya alam, termasuk sumberdaya genetika;
c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum
lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, termasuk
sumberdaya genetika;
d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah sampai 12 mil, maka kegiatan
pemantauan, pengawasan pengendalian, evaluasi dan pelaporan di wilayah pesisir dapat dilakukan
secara rutin dan berkesinambungan. Pada Pasal 18 Ayat (3) huruf d. Undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa kewenangan Daerah di wilayah laut termasuk penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh
pemerintah. Hal ini memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah yang
berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan laut, sehingga pemahaman atas konvensi internasional yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi sangat penting agar tidak terjadi kerancuan hukum.
Adanya wewenang melakukan penegakan hukum di wilayah laut juga dapat mendorong diadakannya
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup, sehingga langkah penegakan hukum dapat lebih lancar.
E. Analisis Permasalahan
1. Strategi Pengelolaan
Strategi pengelolaan disini dimaksudkan untuk mengelola limbah, baik limbah cair,
padat dan gas (emisi gas buang). Dengan adanya pengelolaan limbah yang benar, maka air
limbah dan gas buang dapat memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan. Suatu kota harus
mempunyai instalasi pengolahan air limbah domestik terpadu, baik limbah padat maupun
cair. Dengan demikian, kualitas air laut di pesisir dapat terjaga.
Beberapa hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan terpadu :
a. Adopsi pendekatan yang sistematis dalam implementasi proyek atau program
pengelolaan pesisir terpadu:
1. Penerapan kerangka pengelolaan lingkungan pesisir dalam pengelolaan
sektoral.
2. Penggunaan kombinasi opsi-opsi pengelolaan.
3. Adopsi pendekatan pencegahan.
b. Pelibatan sektor masyarakat umum dalam proses pengelolaan lingkungan pesisir
dan laut terpadu
c. Pengintegrasian informasi lingkungan, ekonomi dan sosial sejak tahap awal dari
proses pengelolaanlingkungan pesisir dan laut terpadu
d. Pembentukan mekanisme bagi keterpaduan dan koordinasi
e. Pembentukan mekanisme pendanaan secara berkelanjutan
f. Pengembangan kapasitas pengelolaan lingkungan pesisir dan laut terpadu di semua
tingkatan
g. Pemantauan efektifitas proyek atau program pengelolaan pesisir dan laut terpadu.
2. Strategi Pengendalian
Ada beberapa instrumen yang dapat dikembangkan dalam mencegah terjadinya
pencemaran dan kerusakan di wilayah pesisir. Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a. kajian lingkungan hidup strategis (KLHS);
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.
Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan tata ruang yang konsisten akan
mengurangi terjadinya kerusakan lingkungan. Dalam penyusunan strategi pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan, perlu memperhatikan penerapan baku mutu,
pelaksanaan program pengawasan, izin pembuangan limbah ke laut dan penaatan serta
penegakan hukum lingkungan.
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir
harus dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Masing-masing pihak yang terkait harus memperhatikan instrumen pencegahan yang
tersebut di atas, melaksanakan penanggulangan seperti yang diatur pada Pasal 53 Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009, yaitu:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Program Pemantauan Pesisir
Pemantauan dapat dilaksanakan dengan fokus dan sasaran, antara lain terhadap :
a. Kualitas buangan (effuent/emission) dan lingkungannya (air sungai, laut)
b. Penaatan hukum dan peraturan
c. Dampak dari buangan limbah 4. Abrasi dan akresi di wilayah pantai
d. Penurunan tanah dan kenaikan muka air laut di wilayah pesisir
e. Daya dukung lingkungan 7. Model prediksi perubahan lingkungan
F. Saran Langkah Tindak Untuk Peningkatan Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan di Wilayah Pesisir
Mengingat di beberapa daerah telah banyak terjadi pencemaran dan perusakan
lingkungan di wilayah pesisir, maka beberapa langkah nyata yang dapat dilaksanakan untuk
memperkecil terjadinya perusakan dan pencemaran di wilayah pesisir adalah sebagai berikut:
a. Gunakan pendekatan secara sistematis dan bertahap dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan program.
b. Gunakan prinsip-prinsip pengelolaan pesisir dan laut terpadu dan prinsip Good
Environmental Governance dalam mengimplementasikan program dan proyek.
c. Laksanakan tahapan-tahapan pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu (tahap
1s/d 6) dengan menyesuaikan keadaan situasi dan kondisi setempat.
d. Libatkan masyarakat, ilmuwan, pengusaha dan stakeholder lainnya dalam proses
pelaksanaan program.
e. Integrasikan informasi lingkungan, teknologi, ekonomi dan sosial sejak awal dalam
suatu proses pelaksanaan program.
f. Ciptakan mekanisme keuangan yang berkesinambungan untuk mendukung program
pengendalian pencemaran dan kerusakan di pesisir.
g. Kembangkan kemampuan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan program pada
semua tingkat pemerintahan
h. Pantau efektifitas program dan proyek. i. Gunakan hasil evaluasi pelaksanaan
program untuk perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan program tahun
berikutnya (berkesinambungan dan berkelanjutan). j. Mengikuti atau masuk dalam
Program Bangun Praja Lingkungan yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan
Hidup.
EKOLOGI ESTUARI

Estuaria merupakan ekosistem khas yang pada umumnya terdiri atas hutan mangrove, gambut,
rawa payau dan daratan Lumpur. Ekosistem ini mempunyai fungsi yang sangat penting untuk
mendukung berbagai kehidupan. Wilayah estuaria merupakan habitat yang penting bagi sejumlah besar
ikan dan udang untuk memijah dan membesarkan anak-anaknya. Beberapa larva ikan yang dipijahkan di
laut lepas juga bermigrasi ke wilayah estuaria pada fase larvanya. Wilayah ini dapat dianggap sebagai
wilayah perairan peralihan (ekoton) antara habitat air tawar dengan habitat laut yang sangat
dipengaruhi oleh pasang surut dan karakter lokasinya serta morfologisnya yang landai. Wilayah estuaria
sangat rentang terhadap kerusakan dan perubahan alami atau buatan. Pembuangan limbah,
penggunaan perairan sebagai sarana pengangkutan, serta berubahnya sistem daerah aliran sungai,
merupakan sebagian dari penyebab degradasi kualitas ekosistem estuaria.

Estuaria merupakan salah satu bentuk dari ekosistem lahan basah, dimana lahan basah di
Indonesia luasnya = 38 juta ha (Wibowo et al., 1996). Kawasan lahan basah termasuk estuaria ini
mengalami kerusakan yang sangat serius karena pertumbuhan populasi manusia dan pembangunan,
yang antara lain berakibat terhadap menyusutnya hutan mangrove, hutan rawa dan hutan gambut
beserta keanekaragaman spesies flora dan fauna di dalamnya, pencemaran air karena penggunaan
pupuk dan racun hama dan penyakit serta berbagai industri dan kegiatan pertambangan.

DEFINISI DAN TIPE ESTUARI

Estuaria adalah bagian dari lingkungan perairan yang merupakan daerah percampuran antara air
laut dan air tawar yang berasal dari sungai, sumber air tawar lainnya (saluran air tawar dan genangan air
tawar). Menurut Bengen, 2002 dan Pritchard, 1976 dalam Tiwow (2003), estuaria adalah perairan yang
semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat
bercampur dengan air tawar.

Pencampuran air laut dan air tawar mempunyai pola pencampuran yang khusus. Berdasarkan
pola percampuran air laut, secara umum terdapat 3 model estuaria yang sangat dipengaruhi oleh
sirkulasi air, topografi , kedalaman dan pola pasang surut karena dorongan dan volume air akan sangat
berbeda khususnya yang bersumber dari air sungai (Kasim, 2005). Berikut ini pola pencampuran air laut
dan air tawar (Kasim, 2005).

1. Pola dengan dominasi air laut (Salt wedge estuary) yang ditandai dengan desakan dari air laut
pada lapisan bawah permukaan air saat terjadi pertemuan antara air sungai dan air laut.
Salinitas air dari estuaria ini sangat berbeda antara lapisan atas air dengan salinitas yang lebih
rendah di banding lapisan bawah yang lebih tinggi.
2. Pola percampuran merata antara air laut dan air sungai (well mixed estuary). Pola ini ditandai
dengan pencampuran yang merata antara air laut dan air tawar sehingga tidak terbentuk
stratifikasi secara vertikal, tetapi stratifikasinya dapat secara horizontal yang derajat salinitasnya
akan meningkat pada daerah dekat laut.
3. Pola dominasi air laut dan pola percampuran merata atau pola percampuran tidak merata
(Partially mixed estuary). Pola ini akan sangat labil atau sangat tergantung pada desakan air
sungai dan air laut. Pada pola ini terjadi percampuran air laut yang tidak merata sehingga
hampir tidak terbentuk stratifikasi salinitas baik itu secara horizontal maupun secara vertikal.
4. Pada beberapa daerah estuaria yang mempunyai topografi unik, kadang terjadi pola tersendiri
yang lebih unik. Pola ini cenderung ada jika pada daerah muara sungai tersebut mempunyai
topografi dengan bentukan yang menonjol membetuk semacam lekukan pada dasar estuaria.
Tonjolan permukaan yang mencuat ini dapat menstagnankan lapisan air pada dasar perairan
sehingga, terjadi stratifikasi salinitas secara vertikal. Pola ini menghambat turbulensi dasar yang
hingga salinitas dasar perairan cenderung tetap dengan salinitas yang lebih tinggi.

Berdasarkan geomorfologi estuaria, sejarah geologi daerah, dan keadaan iklim yang berbeda, maka
terdapat beberapa tipe estuaria. Tipe-tipe estuaria tersebut, yaitu (Nybakken, 1988) :

1. Estuaria daratan pesisir (coastal plain estuary). Pembentukannya terjadi akibat penaikan
permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai (Tiwow, 2003).
Contoh estuaria daratan pesisir, yaitu di Teluk Chesapeake, Maryland dan Charleston, Carolina
Selatan (ONR, tanpa tahun).
2. Estuaria tektonik. Terbentuk akibat aktivitas tektonik (gempa bumi atau letusan gunung berapi)
yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada
saat pasang (Tiwow, 2003). Contohnya Teluk San Fransisco di California (ONR, tanpa tahun).
3. Gobah atau teluk semi tertutup. Terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar
dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut
(Tiwow, 2003). Contohnya di sepanjang pantai Texas dan pantai Teluk Florida.
4. Fjord merupakan suatu teluk sempit (inlet) di antara tebing-tebing atau lahan terjal. Biasa
djumpai di Norwegia, Alaska, Selandia Baru, dll. Sebelumnya fjord ini merupakan sungai gletser
yang terbentuk di wilayah pegunungan di kawasan pantai. Saat suhu menjadi hangat, sungai
gletser ini mencair, akibatnya permukaan air laut naik dan membanjiri lembah di sela-sela
pegunungan tersebut

KARAKTER FISIK ESTUARI

Perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang penting terhadap
kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting adalah sebagai berikut :

1) Salinitas
Salinitas di estuaria dipengaruhi oleh musim, topografi estuaria, pasang surut, dan
jumlah air tawar. Pada saat pasang-naik, air laut menjauhi hulu estuaria dan menggeser
isohaline ke hulu. Pada saat pasang-turun, menggeser isohaline ke hilir. Kondisi tersebut
menyebabkan adanya daerah yang salinitasnya berubah sesuai dengan pasang surut dan
memiliki fluktuasi salinitas yang maksimum (Nybakken, 1988).
Rotasi bumi juga mempengaruhi salinitas estuaria yang disebut dengan kekuatan
Coriolis. Rotasi bumi membelokkan aliran air di belahan bumi. Di belahan bumi utara, kekuatan
coriolis membelokkan air tawar yang mengalir ke luar sebelah kanan jika melihat estuaria ke
arah laut dan air asin mengalir ke estuaria digeser ke kanan jika melihar estuaria dari arah laut.
Salinitas juga dipengaruhi oleh perubahan penguapan musiman. Di daerah yang debit
air tawar selama setengah tahun, maka salinitasnya menjadi tinggi pada daerah hulu. Jika aliran
air tawar naik, maka gradien salinitas digeser ke hilir ke arah mulut estuaria (Nybakken, 1988).
2) Substrat
Dominasi substart pada estuaria adalah lumpur yang berasal dari sediment yang dibawa
ke estuaria oleh air laut maupun air tawar. Ion-ion yang berasal dari air laut menyebabkan
partikel lumput menjadi menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar, lebih berat,
dan mengendap membentuk dasar lumur yang khas. Partikel yang lebih besar mengendap lebih
cepat daripada partikel kecil. Partikel yang mengendap di estuaria bersifat organik sehingga
substrat menjadi kaya akan bahan organik (Nybakken, 1988).
3) Suhu
Suhu air di estuaria lebih bervariasi daripada suhu air di sekitarnya karena volume air
estuaria lebih kecil daripada luas permuakaan yang lebih besar. Hal tersebut menyebabkan air
estuaria menjadi lebih cepat panas dan cepat dingin. Suhu air tawar yang dipengaruhi oleh
perubahan suhu musiman juga menyebabkan suhu air estuaria lebih bervariasi. Pada estuaria
positif memperlihatkan bahwa pada perairan permukaan didominasi oleh air tawar, sedangkan
untuk perairan dalam didominasi oleh air laut (Nybakken, 1988).
4) Aksi ombak dan arus
Perairan estuaria yang dangkal menyebabkan tidak terbentuknya ombak yang besar.
Arus di estuaria disebabkan oleh pasang surut dan aliran sungi. Arus biasanya terdapat pada
kanal. Jika arus berubah posisi, kanal baru menjadi cepat terbentuk dan kanal lama menjadi
tertutup (Nybakken, 1988).
5) Kekeruhan
Besarnya jumlah partikel tersuspensi dalam perairan estuaria pada waktu tertentu
dalam setahun menyebabkan air menjadi sangat keruh. Kekeruhan tertinggi saat aliran sungai
maksimum dan kekeruhan minimum di dekat mulut estuaria (Nybakken, 1988).
6) Oksigen
Kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, maka jumlah
oksigen dalam air akan bervariasi. Oksigen sangat berkurang di dalam substrat. Ukuran partikel
sediment yang halus membatasi pertukaran antara air interstitial dengan kolom air di atasnya,
sehingga oksigen menjadi sangat cepat berkurang (Nybakken, 1988).

ASPEK BIOLOGI KOMPOSISI BIOTA DAN PRODUKTIVITAS HAYATI

Di estuaria terdapat tiga komonen fauna, yaitu fauna lautan, air tawar dan payau. Komponen
fauna yang terbesar didominasi oleh fauna lautan, yaitu hewan stenoalin yang terbatas kemampuannya
dalam mentolerir perubahan salinitas (umumnya > 30 o/oo) dan hewan eurihalin yang mempunyai
kemampuan mentolerir berbagai penurunan salinitas di bawah 30 o/oo. Komponen air payau terdiri dari
soesies organisme yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5 – 30 o/oo . Spesies
ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar. Komponen air tawar biasanya biasanya
terdiri dari hewan yang tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5 o/oo dan hanya terbatas pada bagian
hulu estuaria.
Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif yang setaraf dengan hutan
hujan tropik dan terumbu karang, karena :

1. Estuaria berperan sebagai jebak zat hara yang cepat di daur ulang
Jebakan ini bersifat fisik dan biologis. Ekosistem estuaria mampu menyuburkan diri
sendiri melalui dipertahankanya dan cepat di daur ulangnya zat-zat hara oleh hewan-hewan
yang hidup di dasar esutaria seperti bermacam kerang dan cacing. Ekologi Estuaria 126,
produksi detritus, yaitu partikel- partikel serasah daun tumbuhan akuatik makro (makrofiton
akuatik) seperti lamun yang kemudian di makan oleh bermacam ikan dan udang pemakan
detritus, pemanfaatan zat hara yang terpendam jauh dalam dasar lewat aktivitas mikroba
(organisme renik seperti bakteri ), lewat akar tumbuhan yang masuk jauh kedalam dasar
estuary, atau lewat aktivitas hewan penggali liang di dasar estuaria seperti bermacam
cacing.
2. Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton) maupun
tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang
tahun.
3. Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang-surut, sehingga antara
memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang diperlukan berbagai
organisme estuaria.

HABITAT ESTUARI

Kolom air di estuaria merupakan habitat untuk plankton (fitoplankton dan zooplankton),
neuston (organisme setingkat plankton yang hidup di lapisan permukaan air) dan nekton (organisme
makro yang mampu bergerak aktif). Di dasar estuaria hidup berbagai jenis organisme baik mikro
maupun makro yang disebut bentos. Setiap kelompok organisme dalam habitanya menjalankan fungsi
biologis masing-masing, misalnya fitoplankton sebagai produser melakukan aktivitas produksi melalui
proses fotosintesa, bakteri melakukan perombakan bahan organik (organisme mati) menjadi nutrien
yang dapat dimanfaatkan oleh produser dalam proses fotosintesa. Dalam satu kelompok organisme
(misalnya plankton atau bentos) maupun antar kelompok organisme (misalnya antara plankton dan
bentos terjalin suatu hubungan tropik (makan- memakan) satu sama lain, sehingga membentuk sautu
hubungan jaringan makanan.

JARINGAN MAKANAN DI ESTUARI

Dasar dari jaring makanan di estuaria adalah konversi energi matahari menjadi energi dalam
bentuk makanan yang dilakukan oleh tumbuhan rawa. Saat tumbuhan mati, protozoa dan
mikroorganisme lain mengkonsumsi material tumbuhan yang mati tersebut.

Melimpahnya sumber makanan di estuaria dan sedikitnya predator menjadikan estuaria sebagai
tempat hidup anak berbagai binatang yang fase dewasanya tidak berada di estuaria. Estuaria juga
merupakan tempat mencari makan bagi binatang dewasa seperti ikan dan burung yang bermigrasi
(Nybakken, 1988).
Pada ekosistem estuaria dikenal 3 (tiga ) tipe rantai makanan yang didefinisikan berdasarkan
bentuk makanan atau bagaimana makanan tersebut dikonsumsi : grazing, detritus dan osmotik. Fauna
diestuaria, seperti udang, kepiting, kerang, ikan, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait
melalui suatu rantai dan jaring makanan yang kompleks.

Berdasarkan adaptasinya organisme di lingkungan estuaria mempunyai 3 (tiga ) tipe adaptasi


(Kennish, 1990). yaitu :

1. Adaptasi morfologis : organisme yang hidup di Lumpur memiliki rambut-rambut halus


(setae) untuk menghambat penyumbatan-penyumbatan permukaan ruang pernapasan oleh
partikel Lumpur. Ekologi Estuaria 128
2. Adaptasi fisiologis : berkaitan dengan mempertahankan keseimbangan ion cairan tubuh
dalam menghadapi fluktuasi salinitas eksternal
3. Adaptasi tingkah laku: pembuatan lubang ke dalam Lumpur oleh organisme, khususnya
invertebrata.

PERAN EKOLOGIS ESTUARI

Secara umum estuaria dimanfaatkan oleh manusia sebagai berikut ;

1) Sebagai tempat pemukiman


2) Sebagai tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan
3) Sebagai jalur transportasi
4) Sebagai pelabuhan dan kawasan industri
5) Sebagai areal hutan
6) Sebagai tempat wisata
7) Sebagai tempat perkebunan
Penetapan Konsentrasi Logam Berat Krom dan Timbal dalam Sedimen Estuari Sungai Matangpondo
Palu

1. Karakteristik Lokasi dan Kondisi Fisik Kimia Perairan Estuaria Sungai Matangpondo

Karakteristik lokasi penelitian merupakan kawasan permukiman, pelayaran, rekreasi, di sekitar lokasi
penelitian terdapat aktivitas pedagang kaki lima, perbengkelan, rumah sakit/Puskesmas, selain itu pada
bagian hulu sungai terdapat aktivitas tambang galian C dan tambang emas tradisional yang dikelola oleh
masyarakat Poboya. Aktivitas tersebut berpotensi sebagai sumber logam yang kemudian masuk ke
dalam perairan estuaria sungai Matangpondo Teluk Palu.

Suhu air pada waktu sampling berada pada kisaran 29,78 ºC – 31,8 ºC. Suhu perairan dapat
mempengaruhi keberadaan dan sifat logam krom dan timbal. Sorensen (1991) menyatakan bahwa
peningkatan suhu perairan cenderung menaikkan akumulasi dan toksisitas logam seperti krom dan
timbal, hal ini terjadi akibat meningkatnya laju metabolisme dari organisme air. Nilai salinitas dan pH air
pada semua titik amatan masing berkisar 2,23 ‰ – 4,60 ‰ dan 7,50 – 7,72. Vemberg dkk (1979) dalam
Hutagalung (1991), menyatakan bahwa penurunan salinitas dan pH serta naiknya suhu dapat
menyebabkan tingkat bioakumulasi logam semakin besar.

Kadar oksigen terlarut pada semua titik amatan berkisar 3,79 mg/L – 6,25 mg/L. Menurut Bryan
(1976) dalam Irwan (2002), pada daerah-daerah yang kekurangan oksigen, akibat tingginya bahan-bahan
organik dalam air, daya larut logam nejadi lebih rendah dan mudah mengendap.

2. KOnsentrasi Logam Cr

Berdasarkan hasil analisis pada sampel muara sungai Poboya maka didapat hasil kadar logam Cr
berada pada kisaran 10,40 mg/Kg berat kering (bk) sampai dengan 62,00 mg/Kg bk dengan rata-rata
39,24±23,67 mg/Kg. Konsentrasi Cr pada sedimen yang tertinggi ditemukan pada titik S2 yaitu sebesar
62,00 mg/Kg berat kering.

Sedimen yang mengandung pasir proses penyerapannya tidak dapat berlangsung secara sempurna
dibandingkan partikel liat. Seperti pada S-4 yang memiliki konsentrasii terkecil (10,40 mg/Kg bk) dengan
jenis sedimen pasir sangat kasar.

Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi
organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh
permukaan partikel sedimen. Logam yang terlarut dalam air pada kondisi basa akan mudah beragregasi
sehingga turun dan mengendap pada sedimen. Materi organik dalam sedimen dan kapasitas
penyerapan logam sangat berhubungan dengan ukuran partikel dan luas permukaan penyerapan,
sehingga konsentrasi logam dalam sedimen biasanya dipengaruhi oleh ukuran partikel dalam sedimen
(Evan Edinger, dkk,2004).

3. Konsentrasi Logam Pb
Hasil analisis kadar logam Pb pada kawasan muara sungai Poboya berada pada kisaran 7.25 mg/Kg
bk sampai dengan 21.50 mg/Kg dengan rata-rata 15,89± 7.43 mg/kg. konsentrasi tertingi berada pada S-
1 yaitu 21,50 mg/Kg bk. Nilai ambang batas untuk logam Pb dalam sedimen laut adalah 33 mg/Kg.
Akumulasi logam berat ke dalam sedimen dipengaruhi oleh jenis sedimen. Sedimen pada titik S-1 ini
jenis lempung yang secara visual terlihat berwarna hitam. Kondisi ini turut menggambarkan tingginya
kandungan logam berat.tipe sedimen dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam sedimen,
dengan kategori kandungan logam berat dalam lumpur >lumpur berpasir > berpasir (Evan Edinger, dkk,
2004).

Pencemaran mengisyaratkan suatu pengaruh buruk sehingga perlu diadakan pengelolaan


pencemaran lingkungan yang tercemar dan faktor pencemar. Jika suatu ekosistem sudah ada indikasi
pencmaran maka perlu suatu pengawasan yang efektif yaitu :

a. Pencemar yang memasuki lingkungan, jumlahnya dan sumbernya.


b. Pengaruh zat-zat itu. (Connell dan Miller, 1995)

Guna mengantisipasi terjadinya pencemaran maka hendaknya perlu mendapat pehatian dari pihak
pengambil kebijakan mengenai dampak lingkungan, agar tidak terjadi peningkatan akumulasi logam-
logam berat dari aktivitas manusia yang membahayakan kelangsungan hidup biota laut yang akan
datang.

Anda mungkin juga menyukai