Anda di halaman 1dari 5

Buku ini menawarkan sebuah analisa atas teori hukum murni Hans Kelsen.

Sejatinya buku ini


dibangun dari posisi awal yang non-ortodoks. Alih-alih membaca karya Kelsen sebagai sebuah
kontribusi terhadap tradisi positivis dalam yurisprudensi analitis, saya memilih untuk menjadikannya
sebagai sebuah permulaan untuk mengembangkan teori hukum yang berlandaskan pada kesadaran
penuh akan sebuah peraturan hukum yang ideal. Dengan kata lain, saya ingin mengurai persoalan
bahwa apakah cukup masuk akal untuk menganggap konstruksi teori hukum murni yang sudah
dibangun Kelsen, sebagaimana dinyatakan di tahun 1913, sebagai pelaksanaan tugas teori hukum
untuk sesuatu yang diinginkan, sebagaimana kita pahami dari epigrafnya: yaitu untuk membangun
sebuah konstruksi konseptual terhadap pemikiran hukum yang memadai untuk ide “Rechsstaat”

Saya menginginkan bahwa pendekatan ini akan memudahkan kita untuk memahami bagaimana dua
tema utama dalam karya Kelsen berhubungan satu sama lain, di satu sisi yaitu usaha terkenalnya
untuk membangun sbuah ilmu yurisprudensi yang otonom, terpisah dari studi sosial empiris dan
teori moralitas, sedang usahanya di sisi yang lain, yang kurang diketahui, yaitu untuk menerapkan
teori hukum murni demi mempertahankan demokrasi liberal dan kebebasan individu. Hubungan
kedua aspek inilah, di karya Nelsen, yang sukar dipahami dan tidak mendapat perhatian yang luas.
Mereka yang melakukan pembacaan atas Nelsen sebagai bagian dari tradisi yurisprudensi analitis
biasanya memberikan sedikit perhatian pada sisi politis karyanya atau menganggap hal tersebut
tidak punya hubungan dengan teori hukum murni. Pun mereka yang sudah pernah mengkritik karya-
karya politis Nelsen dari perspektif teoretis-politis sayangnya malah berakhir sangat kurang, yang
justru diakibatkan oleh pandangan yang hanya bergantung pada teori hukum murni saja. Saya
berpendapat sebaliknya, bahwa kedua aspek dari karya Nelsen ini bisa kita pahami justru karena
keduanya saling melengkapi satu sama lain. Kekuatan utama dari teori legal Kelsen menurut saya
tidak dapat dipahami dengan baik kecuali hubungan dari kedua aspeknya bisa dibuktikan secara
jelas.

Tentu klaim bahwa teori hukum murni dapat dipahami dengan baik, melalui hubungannya dengan
karya politik kelsen dan dalam tujuannya mengembangkan teori legal yang memadai terhadap
idealnya peraturan hukum, seolah menguap seketika jika dihadapkan dengan deskripsi Kelsen sendiri
atas sifat dari tujuan legal-teoretisnya. Deskripsi Kelsen sebenarnya menjelaskan bahwa teori murni
ini bersifat positivis dan bahwa ia adalah teori hukum yang saintifik. Oleh karena itu, penting bagi
saya untuk menjelaskan strategi interpretatif yang saya pakai disini secara lebih jelas lagi serta untuk
menjelaskan kenapa, secara garis besar, studi ini penting untuk dilakukan.

Untuk mencapai pemahaman tentang bagaimana sifat politis dan legal-teroretis Kelsen yang saling
berhubungan, menurut saya, harus dilakukan dengan lebih dari sekedar upaya penafsiran saja.
Pertentangan yang terjadi antara sifat politis-teoreits dan ambisi saintifik Kelsen nyatanya adalah
pertentangan yang sebenarnya membentuk hukum positivisme secara umum. Apakah hukum
positivisme hanya dipahami sebatas untuk usaha menjelaskan nilai hukum secara netral? Atau ia
dipahami sebagai bentuk kritik sosial, yang sebenarnya sebagai tambahan atau tandingan terhadap
upaya deskriptif? Menurut saya, cara Kelsen menghubungkan teori hukumnya dengan teori politik
tidak lain didasarkan bahwa ia menganggap hukum positivism sebagai sebuah bentuk kritik sosial.
Lebih jauh lagi pemahaman Kelsen atas hukum positivis sebagai bentuk kritik sosial, yang akhirnya
membentuk teori hukum, justru sebenarnya tidak positivis dalam konteks saat ini, sekalipun jika
mesti dikaitkan dengan kepentingan praktis dari hukum positif. Teori hukum murni sejatinya
membuka ruang konseptual untuk pandangan bahwa peraturan negara (acts of state) perlu
mengambil legitimasi dari konformitasnya dengan hukum positif, sekalipun mereka dinilai tidak
sepenuhnya adil. Dalam banyak kasus, Legitimasi ini memang tidak akan cukup untuk membumikan
kewajiban penuh untuk mematuhi hukum. Tetapi Kelsen percaya bahwa kekuatan hukum positif
yang absah bisa diperkuat melalui pengenalan struktur konstitusional yang tepat, hingga nantinya ia
bisa berfungsi sebagai penghubung antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat
modern yang pluralis, yang dicirikan dengan banyaknya ketidaksetujuan moral diantara mereka.
Penekanan Kelsen atas otonomi atau kemurnian hukum normatif sejatinya dimaksudkan untuk
.membuka jalan untuk kondisi konstitusional agar mampu mencapai tujuan tersebut

Saya mempertahankan pandangan interpretasi ini dengan berpendapat bahwa teori hukum
murni sejatinya mengandung komitmen normatif yang, menurut pandangan pemikiran para positivis
kontemporer, seharusnya tidak figure in pilihan atas konsep hukum. Asumsi fundamental tentang
sifat asli normativitas hukum yang melandasi teori murni sebagai teori hukum, akan saya tunjukkan
nanti, hanya akan masuk akal jika kita mau membacanya sebagai bagian dari upaya politis-teoretis
kita untuk mengembangkan sebuah perhitungan atas legitimasi hukum. Jika kita tidak mereken
ambisi normative yang dicerminkan dalam konsepi legitimasi legal Kelsen atau jika kita tidak
menganggap bahwa tujuan akan terciptanya tatanan politik yang menaungi keberadaan legitimasi
legal adalah sebuah harapan yang rasional, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menyelami
pendapat normativitas legal milik Kelsen, lebih-lebih diantara pendapat para positivis yang kurang
kokoh dalam hal ini. Tetapi jika teori murni sebagai teori legal ini bisa mempertahankan klaimnya
atas keumuman deskriptif, sekalipun dihubungkan dengan idealisme politik dan sekalipun konsepi
Kelsen atas relasi antara teori legal dan politis mampu dijelaskan dengan koheren, konsepsi positivis
atas normativitas legal, yang menolak pandangan bahwa legalitas bisa menjadi dasar yang otonom
untuk legitimasi, tidak akan bisa dibenarkan melalui dasar metodologis saja.
Sementara itu, untuk menguatkan pendapat-pendapat tersebut dan untuk memberikan
kerangka atas diskusi selanjutnya, saya akan memberikan ulasan singkat mengenai perdebatan
kontemporer tentang status metodologis dari positivism legal dan menjelaskan bagaimana
perdebatan kontemporer ini terhubung dengan pemahaman Kelsen tentang proyek legal-teoretis.
Selanjutnya saya akan memberika tampilan sketsa daripada gagasan utama Kelsen untuk
mengembangkan teori legitimasi legal, tesisnya tentang identitas hukum dan negara, serta mencoba
untuk menghadirkan sebuah uraian atas pendapat tentang koherensi tesis identitas yang hendak
saya ambil.

Tiga Paradigma Positivisme Legal

Para positivis legal kontemporer tidak hanya beda pendapat secara substantif tentang sifat asli dari
konsepsi hukum positivis. Mereka juga berbeda pendapat tentang status metodologis dari
positivisme legal sebagai teori yurisprudensi. Karenanya, saya ingin memberikan sketsa atas tiga
paradigma positvisme kontemporer; positivism metodologi, positivisme politis,dan positivisme
Razian. Hal ini betujuan untuk memberikan latarbelakang atas upaya saya mengklasifisikan posisi
yurispruden Kelsen.

Positivisme metodologis merupakan asimilasi atas teori legal dengan ilmu sosial deskriptif
dan ia mengangkat keberadaan hukum sebagai sebuah fakta sosial. Tesis bahwa tidak ada
keterkaitan antara hukum dan moral oleh positivism metodolgis dianggap sebagai konsekuensi atas
sifat konvensional dari peraturan sosial yang sejatinya menentukan identifikasi hukum yang sah.
Sejatinya ada sistem legal yang hadir sebagai sebuah fakta sosial yang tetapi tidak memiliki suatu
standar moral pada standar legalitasnya. Positivis Politis, di sisi lain, mengklaim bahwa pemahaman
kita atas praktek legal membentuk sifat alami dari hukum kita. Pilihan yang ada atas konsep hukum
yang berbeda-beda, selagi memenuhi standar dasar kecukupan deskriptif, sebenarnya tidak secara
penuh ditentukan oleh fakta dari hal-hal objektif yang berada di luar control kita. Maka, pilihan-
pilihan seperti ini mestinya merefleksikan keinginan ideal kita atas hukum yang baik. Disinilah
menurut pendapat para positivis politis, pemisahan hukum dan moralitas bisa dibangun melalui
ruang untuk mengadopsi standar legalitas potivis yang bisa memberikan konsekuensi dan manfaat
moral untuk masyarakat. Positivis Razian, di lain sisi, berpendapat bahwa positivisme dibutuhkan
untuk menjelaskan bagaimana hukum bisa berfungsi sebagai standar yang independen dan jelas
untuk petunjuk perilaku manusia. Posisi ini sebenarnya bentuk dari deskriptif-penjelasan dimana ia
menolak ide positivisme politis yang menyatakan bahwa konsepsi hukum kita harus responsif
terhadap keinginan ideal kita atas hukum yang baik. Tetapi di waktu yang sama ia menolak asimilasi
teori legal dengan ilmu sosial empiris, yang mencirikan positivisme metodologis.

Karya dari H L A Hart adalah sumber tentang positivisme metodologis maupun politis. Hart
secara brilian menjelaskan pendekatan yurisrudensinya dalam The Concept of Law yang disebut
sebagai sebuah ‘usaha dalam sosiologi deskriptif.’ Dalam catatan tambahannya untuk The Concept of
Law, ia lebih jauh lagi menjelaskan metodologinya dengan klaim bahwa proyek positivis sebenarnya
betujuan untuk memberikan teori hukum umum yang bersifat deskriptif, bukan evaluative. Para
Positivis, demikian, tidak hanya berargumen bahwa standar legalitas tidak hakikatnya atau sedikitnya
perlu untuk menyertakan atau mengambil referensi dari standar moral. Mereka juga membuat klaim
meta-teoretikal bahwa teori legal adalah proyek deskriptif-penjelasan yang bisa dan memang
seharusnya menawarkan sebuah penjelasan, yang secara normatif, netral dari gejala sosial tertentu,
yaitu disebut hukum. Menurut pandangan Hart di catatan tambahannya (Postscript), positivisme
substantif dan metodologis sangat berdekatan dan terhubung. Menurut Hart, tesis substantif bahwa
tidak ada hubungan yang memang perlu antara hukum dan moralitas hanya bisa dipertahankan jika,
dan hanya jika, ia mampu menawarkan sebuah deskripsi yang non-evaluatif terhadap elemen-
elemen penting dari tatanan legal.

Sebagaimana banyak peneliti catat, Hart dalam karya-karya awal rupanya menghadirkan
argumen normatif untuk positivisme sebagai teori substantif atas legalitas. Sebagaimana Bentham,
Hart juga menganggap bahwa teori hukum alam (natural law theory) menyimpan sebuah bahaya
sosial, yaitu ancaman obsequious quietism dihadapan instruksi hukum yang tidak rasional atau tidak
adil. Kekhawatiran Hart muncul dari jalan pemikiran seperti ini: teori hukum alami 1menjelaskan
bahwa setidaknya berlaku prima facie atas kewajiban moral secara umum untuk mematuhi hukum.
Ia juga mengklaim bahwa hukum yang absah secara formal, yaitu ia yang sepatutnya dibentuk
otoritas resmi, sejatinya kekurangan validitas legal jika hukum tersebut ternyata jauh dari adil.
Walaupun demikian, teori hukum alam sedikitnya menciptakan presumsi yang menjadikan hukum
yang sudah dibuat untuk menuntut sifat kepatuhan. Sejatinya sangat sedikit hukum yang muncul
hingga jauh dari kata adil, dan pasti akan gagal dalam tindakan apapun yang ahli hukum alami
ciptakan. Maka, Hart berpendapat bahwa mereka yang menyelisihi, yang bertindak untuk menolak
kewajiban mematuhi hukum, tidak akan bisa hanya mengandalkan kritik sederhana atas immoralitas
hukum. Tetapi, ia harus ‘menghadirkan kritik moral atas institusi hukum sebagai dalil pemikiran yang
tidak terbantahkan’ yang hanya akan melemahkan pendapatnya atas kewajiban mematuhi hukum
yang tidak sempurna. Konsepsi legalitas positivis, menurut Hart, adalah penangkal terbaik untuk asas
yang berpihak pada kekuasaan yang disebabkan oleh hukum alami (natural law), karena ia secara
1
Iniharus paham nuance dan posisi Hart
eksplisit menolak bahwa tuntutan hukum harus secara moral dibenarkan bagaimanapun kecuali jika
ia dihadapkan dengan kondisi yang luarbiasa. Tentu, argument yang kedua ini, tentang pemisahan
hukum dan moraliitas, akan susah berdampingan dengan klaim bahwa positivisme legal adalah
sebuah upaya dalam sosiologi deskriptif. Sepertinya ia terlalu bergantung pada tatanan sosial yang
sudah bagus dan penjelasan ide pemisahan hukum tersebut di masyarakat, yang nantinya akan
menjadi syarat untuk mewujudkan idealnya hal itu.

Anda mungkin juga menyukai