Anda di halaman 1dari 3

Opia

#SeleksiNADBattle2022
#Opia

jumlah kata: 480

Hans berdiri di ambang pintu, melepaskan topi stetson hitamnya sambil melihat sekeliling. Kerutan
di dahi menyatukan alisnya. Apa yang sedang dipikirkan pria itu? Lyla bertanya-tanya.

Tatapan gadis itu menyapu sekitar. Ini adalah rumah kakek yang sudah diwariskan ke ibunya yang
sudah lama ditinggalkan keluarganya. Di sisi kanan adalah ruang tamu dengan perapian batu
hampar yang mendominasi ruang besar berbentuk bujur sangkar. Di depan perapian terletak dua
sofa berwarna biru dan hijau kotak-kotak, dengan sebuah meja kopi dari kayu ek sederhana di
antaranya.

Di sebelah kiri ruang tamu bergaya modern dengan satu set sofa baru dan mahal. Di depannya ada
televisi layar besar.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Hans.

Lyla tahu, pria itu sedang berusaha menutupi getar suaranya dengan berdehem berkali-kali.

"Aku baik-baik saja." Lyla melangkah mengikuti Hans.

"Aku bekerja di kantor pos di Phoenix," tambahnya.

Hans berhenti melangkah, dengan ragu membalik badannya dan menghadap wanita berrambut
legam itu.

"Di sini?"

Lyla mengangguk.

"Setelah mendengar kabar tentangmu, aku menyusul ke sini.”

"Dan di mana kau akan tinggal?" Hans menduduki sofa kotak-kotak itu. Lyla berdiri kaku beberapa
meter di depannya.
"Aku berencana menyewa sebuah hunian kecil di sekitar tempat kerjaku."

"Kau belum menemukannya?" Hans mengerutkan kening.

"Aku baru datang ke Phoenix hari ini setelah sepekan lalu mendapat surat dari kantor pos bahwa
aku diterima."

"Lupakan tentang menyewa sebuah tempat, dan tinggal saja di sini."

“Tapi ibuku mewariskan rumah ini untukmu.” Lyla mencoba sedikit menyindir Hans.

“Haha... kau mengejekku?”

“Aku tak ingin merepotkanmu.”

“Tinggal di sini!”

Lyla mengangkat kepalanya sambil tersenyum, melihat sorot mata Hans dan dia tahu, Hans tak bisa
dibantah. Lyla menyimpan senyumnya.

****

Mereka saling menatap, masing-masing memegang cangkir berisi coklat panas yang lezat.

Lyla tertunduk. Ada gelenyar membingungkan di dadanya. Kemudian Hans mendekati mengelus
tengkuknya yang memualam.

“Kau secantik ibumu, bahkan lebih.” Hans menunduk, dan menghirup wangi rambut gadis yang
terduduk dan mulai menegang itu.

“Aku ke Phonix karena....”

“Aku tahu,” potong Hans, sambil meletakkan cangkirnya di tepian bufet di belakangnya, kemudian
meraup wajah Lyla dengan lembut. Dada Lyla berdetak kencang.

“Matamu mengatakan semuanya. Dan aku menyukai itu.” Hans memeluk Lyla dari belakang.
“Dan ibuku sudah meninggal tiga bulan lalu.”

Hans memutar kepala Lyla agar dapat melihat mata gadis itu.

“Kau melakukannya?” tanya Hans dengan senyum mengembang.

Lyla mengangguk.

“Anak pintar!” pujinya.

Kemudian menggandeng Lyla menuju sebuah kamar besar yang sudah disiapkan tuan rumah itu
sepekan lalu.

Ini yang Lyla tunggu. Memiliki ayah tirinya yang rupawan, tanpa harus berebut dengan ibunya.
Harusnya ibu Lyla tahu diri, dengan umur yang lebih tua 10 tahun dari Hans, tak pantas menjadikan
pria ini suaminya, setelah menyingkirkan ayah kandungnya dengan kematian mengenaskan.

Dan Hans tahu, hanya dengan melihat mata ibu dan anak itu saja, semua rencana yang ada di
otaknya akan berjalan sangat baik.

SELESAI

Nganjuk, 6 Februari 2022

Yulia Tan.

Note: Opia adalah kondisi ketika kamu menatap mata seseorang dan kamu
mengetahui apa yang ia rasakan, apakah itu kegetiran, sedih, takut ataupun
marah.

Anda mungkin juga menyukai