PERSFEKTIF NEGATIF PAHAM
ABOLISIONIS
SPP MENGANDUNG MASALAH DAN
TIDAK MUNGKIN MENDAPAT
KEMAJUAN MELALU! PEMBAHARUAN,
KARENA SISTEM INI CACAT
STUKTURAL YANG TIDAK DAPAT
DIPERBAIKI, SATU-SATUNYA CARA
YANG REALISTIK ADALAH MENGUBAH
DASAR-DASAR STRUKTUR SPPVan Matright blad dan Uildriks
(Criminal Justice System as a Social
Problem: An Abolisionist)
SISTEM PERADILAN PIDANA HARUS
DIHAPUSKAN SELURUHNYA KARENA
SECARA LOGIKA SISTEM INI TIDAK
AKAN DAPAT MENJADI SARANA YANG
MANUSIAWI DAN PEKA DALAM
MENGHADAPI KEJAHATAN.
DIKEMBANGKAN OLEH
LOUK HULSMAN
(Handhaving van Recht/The
Maintenenance Of Justice)
Hukum Pidana seharusnya dipandang sbg
salah satu sarana mencapai tujuan
pencegahan dan perbaikan terhadap
ketidakadilan dalam masyarakat.ALASAN L.HULSMAN
SPP MERUPAKAN MASALAH SOSIAL
1.SPP memberikan penderitaan, karena telah dijatuhkan
pemidanaan kepada pelaku, dan telah ada stigma shg
kedudukan dalam masyarakat menjadi marjinal.
2SPP dk dpt bekerja sesuai dg tujuan yg dicita-
citakan.al.Pembalasan dan melindungi masyarakat;
rehabilitatif, sosialisasi.
3.SPP tdk terkendali;tiap instansi memiliki kewenangan yg
berbeda dan sering merugikan hak asasi tersangka
pelaku kejahatan.
4. Pendekatan yg digunakan SPP punya cacat dasar;
karena batasan ttg kejahatan dan proses seseorg
memperoleh pidana kurang tepat dan tidak layak
1. Masih perlu mencari alternatif lebih manusiawi dari
lembaga penjara saat ini
2. Kerjasama, persaudaraan terkesan lebih baik daripada
birokrasi.
3. Gangguan ketertiban hrs ditoleransi daripada
dibedakan zona rawan dan aman.
4. Pandangan masyarakat seharusnya ditujuan kpd
keadaan fisik dan kebutuhan sosial.
5. Perlu dicari cara utk menghentikan proses yg _
merugikan masyarakat tetap memelihara klasifikasi,
pengawasan dan mengasingkan kelompok
masyarakat berdasarkan usia, etnis, tingkah laku,
status moral, kemampuan dan keunggulan fisik.SEBASTIAN SCHERER:
Panam abonsionis dari Hulsman menimbulkan 3 masalan:
The penal system is neither the only nor indeed the
best way of responding to delinquency (Sistem
Pemidanaan bukan satu-satunya cara terbaik untuk
menghadapi kejahatan)
Criminality has on indipendent existence as a specific
category or as some soty of given preceding the
ion of that system
criminality as a result of the institutic
(Kejahatan bukanlah sesuatu yg terjadi mendahului
sistem hukum pidana, melainkan hasil dari
pelaksanaan sistem hukum pidana tersebut).
The deliquent or the perpetrator of the act defined as
an offence by the law, is not an alien being,
recognizable as defferentiates law-abiding citizens
from evil-does in his way. In certain respects we are all
criminals (Pelaku kejahatan bukanlah mahkluk yg_
terasing dan berbeda denan warga masyarakat lain
dalam kita semua adalah penjahat.| Paham abolisionis menentang persepsi SPP yg
menitikberatkan pada tingkah laku buruk yg
dilarang dan dilandaskan pada analisis suatu
| situasi yang bersifat komplek yg didasarkan |
| pada suatu asumsi yg hanya dpt diterima jika
| tidak ditujukan kepada posisi individu baik
J
secara konsepsional maupun yg bersifat reaktif.
Dan analisis paham ini lebih ditujukan terhadap
kegagalan dari SPP dibanding keberhasilan shg
| persefektif abolisionis disebut sbg “one-sidedly
| negative perspective”
Mardjono Hadisaputro
Paham yg dikemukakan oleh Hulsman tidak
merupakan suatu kegagalan melainkan
suatu kenyataan yg tidak dipisahkan dari
sejarah pekembangan hukum suatu
bangsaVv
LAS
SLY
alam Kebijakan Formulasi
PENGERTIAN “MASALAH JURIDIS”
* Yang dimaksud dgn. “masalah yuridis” (dim. kebijakan
formulasi) adalah :
~ “suatu masalah dilihat dari kebijakan formulasi yang seha-
rusnya" (menurut sistem yang sedang berlaku);
— D.p.|. kebijakan formulasi/perumusan yang bermasalah dilihat
dari sistem hukum pidana (sistem pemidanaan) yang seha-
rusnya;
Jadi bukan dilihat dari sudut :
+ filosofik (adil/tidak adil) atau teoritik/doktrinal;
+ pragmatik (manfaat/tdk; dapat diterapkan/tdk.; -> kecuali, kalau
tidak dpt diterapkannya karena ada kekurangan menurut sistem
yang seharusnya);
+ sosiologik (sesuai/tdk. dengan nilai yang hidup dim. masyarakat);
* perbandingan bobot delik;——
FORMULASI YANG SEHARUSNYA
aA
DOCU NICE Cum MCU eu Gm ue Le ure Ue
SC tach te Ce eR ecu tears
LT) etre Ta)
ry
BAHAN DISKUS!
FENOMENA LEGISLATIF
* Dalam praktek legislasi, ada 2 (dua) versi pokok :
— Ada yang “menyebut” kualifikasi delik sbg. K/P;
- Ada yang “tidak menyebut”;
* Versi lainnya :
~ Ada yang menyebut sebagian delik sebagai “pelanggaran”,
tetapi lainnya tidak disebut (UU Merek No 15/2001
- UU lama menyebut, tetapi UU Baru, tidak menyebut;
— Semula menyebut, tetapi sewaktu diamandemen, ada tambahan
delik baru yang tidak diberi kualifikasi (UU No. 25/2003 - TPPU)
— Ada yang menyebut kualifikasi “delik aduan”
+ UU No, 14/2001 (Paten)
+ UU No. 15/2001 (Merek)
+ UU No. 23/2004 (KORT)FENOMENA LEGISLATIF
* Masalah kualifikasi delik
* Kejahatan/pelanggaran;
+ Permufakatan jahat;
* Delik aduan;
* Recidive:
= Masalah perumusan pidana
* Pidana minimal;
* Pidana denda untuk korporasi;
* Masalah pidana mati (dalam UU TPK),
= Pidana pengawasan (dalam UU PA)
+ Pidana "Kurungan pengganti” dalam UU 5/99
* Masalah Subjek TP.
MASALAH RECIDIVE UNTUK TPK
+ Penjelasan Psl. 2 (2) UU:31/99 :
recidive" dijadikan syarat yuridis untuk dapat dijatuhkannya pidana mati
(sbg. Alasan pemberatan pidana),
= Tetapi tidak mengatur syarat-syarat “recidive”
Recidive untuk TPK tertentu ada dalam Psi. 486 KUHP (jo. 415, 417, 425).
— 415 > masuk ke Ps, 1 sub 1¢ UU:3/71 > Ps. 8 UU:31/99
— 417 masukke Ps. 1 sub 1¢ UU:3/71 > Ps. 10 UU:31/99
= 425 masukke Ps. 1 sub 1¢ UU:3/71 > Ps. 12 UU:31/99
+ Dgn. UU:20/2001 > pasal-pasal 415, 417, 425 dan psl-psl. lain KUHP yang
semula dijadikan TPK oleh UU:3/71 dan UU:31/99 ~ dinyatakan tdk.
berlaku (berdasar psi. 43 B UU:20/01).
sl, 415, 417, 423 > ini
+ Beat di dalam Psi. 486, sudah tidak ada lagi ps
jelik-delik tsb.
berarti tidak ada lagi aturan “recidive" untuk.
+ Jadi praktis tidak ada aturan recidive yang dapat digunakan untuk TPK.