Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan (antropologi dan sosiologi)


konsep kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas. Dalam ilmu-ilmu ini
kebudayaan diartikan semua yang dipelajari manusia sebagai anggota suatu
masyarakat. Setiap generasi dalam suatu masyarakat mewariskan kepada generasi
berikutnya hal-hal yang bersifat abstrak (gagasan, nilai-nilai, norma-norma) dan
hal-hal atau benda-benda yang bersifat kongkrit. Apa yang dipelajari atau apa
yang diwariskan tersebut disebut secara umum kebudayaan. Dengan demikian
wujud kebudayaan tersebut ada yang ideal (abstrak) dan ada yang kongkrit
(benda-benda budaya). Kebudayaan dipelajari, memberi makna terhadap realitas,
bukan hanya cara bertingkah laku, juga berfikir.1

Definisi yang sangat luas tentang kebudayaan berbunyi “Kebudayaan


adalah kompleks totalitas yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, adat istiadat dan apa saja kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh oleh
sebagian anggota masyarakat”.2

E. B. Tylor dalam bukunya Primitive Culture memberikan pengertian


tentang kebudayaan sebagai berikut. Kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
lain-lain kemampuan serta kebiasaankebiasaan yang didapatkan manusia sebagai
anggota masyarakat.3

Salah satu bagian dari Maluku adalah Negeri Latuhalat. Negeri yang
terletak dipesisir, pada Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon ini, adalah salah satu
komunitas masyarakat yang hidup berkelompok dan memiliki perjalanan sejarah

1
Fred Plog dan Daniel G. Bates, Cultural Anthropology (USA: Alfred A. Knopf Inc., 1980), hlm. 9.
2
Edward Burnett Tylor, Primitive Culture (New York: J.P. Putnam’s Sons, 1971), hlm. 410
3
Dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet.
27, 1999) hlm. 188-189

1
yang panjang. Negeri Latuhalat, memiliki beranekaragam tradisi, tradisi-tradisi
tersebut memiliki peranan dan maknanya masing-masing, seperti halnya dengan
salah satu tradisi yang masih dipertahankan hingga kini yaitu., tradisi Meja Not di
mana tradisi ini memiliki makna tersendiri. Tradisi meja not ini, dapat diartikan
sebagai meja makan untuk para undangan atau meja perjamuan makan untuk para
undangan dalam suatu sistem perkawinan yang adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan perjanjian di hadapan
Tuhan Yang Maha Esa.

Budaya ini bukanlah hal baru, namun merupakan warisan turun-temurun dari para
leluhur, yang terus dipertahankan hingga saat ini. Salah satu dari kebudayaan yang
ada dan masih dipertahankan oleh masyarakat Latuhalat. Secara spesifik tradisi
meja not adalah tradisi bapanggel atau mengundang, semua saudara dan kerabat
untuk duduk makan dalam suatu jamuan makan pada acara perkawinan, sebagai
sarana persekutuan hidup orang bersaudara. Istilah Not berasal dari bahasa
Belanda Notch, yang berarti undangan atau dalam persekutuan orang Latuhalat
dikenal istilah panggel, sehingga meja not dapat diartikan sebagai meja makan
untuk para undangan atau meja perjamuan makan untuk para undangan. Meja ini
berupa sebuah meja yang panjang, yang kadang-kadang dapat ditempati oleh
kurang lebih tujuh puluh lima sampai seratus orang, dengan dekorasi bunga-bunga
dan botol-botol minuman yang disajikan juga kue-kue, serta bendera yang
masing-masing harus berjumlah ganjil. Hal ini hanya sebagai hiasan saja.
Masyarakat Latuhalat sering menyelenggarakan prosesi makan di meja not
dimana saat itu keluarga laki-laki dan perempuan berkumpul dalam kekerabatan
yang tidak biasa, sehingga prosesi meja not bisa dianggap sebagai sarana
komunikasi baik yang membawa kedua keluarga tersebut berkumpul bersama.
Jadi, makan di meja not merupakan kelanjutan dari perkawinan itu sendiri dan
memiliki nilai tertentu, karena mengandung nilai-nilai normatif, dan nilai ini ada
dalam kegiatan sosial mereka.

2
Makan di meja not ini adalah bagian dari tradisi adat yang diturunkan dari
orang tua-tua dengan maksud untuk menerangkan kepada generasi berikutnya
tentang tertib sosial dasar dalam masyarakat. Makan di meja not membutuhkan
biaya yang cukup besar dan di anggap sebagai suatu keharusan yang patut untuk
dilaksanakan.ini juga merupakan bentuk keakraban yang terbangun dalam setiap
diri setiap anak negeri Latuhalat sebagai wujud nyata dalam menghargai dan
menghormati serta menjalankan nilai-nilai luhur yang telah dibentuk oleh para
leluhur dalam mengesahkan sebuah perkawinan.4

Makan di meja not memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat Latuhalat


pada umumnya karena mengandung nilai-nilai religius, sosial, moral, dan etika
serta melahirkan bentuk tertib sosial yang berlaku secara normatif bagi
masyarakat setempat.

Selain itu dalam tata cara pelaksanaanya proses makan di meja not ini
dibagi dalam beberapa tahapan, di mana setiap tahapan memiliki menu yang
berbeda. Makan di meja not harus menggunakan lima piring yang disusun
berlapis. Pada meja pertama biasanya Broit atau Pengantin dan keluarganya, serta
undangan yang mempunyai pengaruh dalam lingkungan atau negeri. Makan di
Meja Not harus menggunakan 5 piring yang disusun berlapis, sebagai gambaran
pada komunitas masyarakat negeri Latuhalat yang merupakan rumpun Uli Lima
atau disebut Pata Lima, dengan susunan sebagai berikut :

a. Piring Pertama, untuk makanan pembuka yaitu Sup


b. Piring Kedua, untuk nasi ungkep dengan lauknya.
c. Piring Ketiga, untuk jenis makanan Stof atau sejenisnya.
d. Piring Keempat untuk makanan penutup, seperti puding, buah-buahan dan es
buah.
e. Piring Kelima, sebagai pengalas untuk penyusunan Jamuan Meja berikutnya.

4
Lenny Latumeten, 2022 “Persepsi Masyarakat Terhadap Budaya Meja Not Dalam Perkawinan di
Negeri Latuhalat Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon”, Jurnal Pendidikan Sejarah dan Humaniora.
Vol. 2, No 1. Hlm 124

3
Dalam perkembangannya, jumlah piring pada prosesi Makan di Meja Not sudah
tidak lima piring lagi, namun tergantung pada kemampuan tuan rumah. Namun
yang seharusnya, jumlah piring pada Prosesi Makan di Meja Not adalah 5 piring.
Biasanya pada acara-acara pernikahan, pihak atau keluarga yang mempunyai
acara meminta orang yang tahu pengaturan Meja Not. Meja Not juga biasanya
disebut meja Salawir atau meja pelayanan. Salawir adalah orang-orang yang
bertugas melayani undangan pada acara Makan di Meja Not.

Proses pendidikan yang terjadi dalam keluarga tidak terlepas dari


percakapan meja makan. Percakapan meja makan merupakan percakapan yang
terjadi di meja makan dan dilakukan oleh dua orang atau lebih. Percakapan meja
makan memuat berbagai macam unsur, salah satunya adalah unsur-unsur didikan.
Menurut Hope S. Antone:

Percakapan meja makan menjadi sangat penting bagi proses pendidikan


karena meja makanmerupakan keramahtamahan yang hangat... tempat
alami untuk berbagi, bercakap-cakap dan bersekutu. Meja makan
senantiasa merupakan simbol rekonsiliasi dan perdamaian... simbol
kebebasan dan ucapan terima kasih serta perayaan suka cita.[5]

Penjelasan ini menggambarkan, percakapan meja makan adalah suatu


metafora yang sangat kaya, konkret dan akrab. Sehingga percakapan meja makan,
menjadi tradisi yang dapat digunakan sebagai ikon pendidikan bagi banyak orang.
Hope S. Antone juga menjelaskan bahwa, praktik percakapan meja makan yang
memuat unsur didikan kristani, berlangsung dalam berbagai komunitas kristen
Asia. Praktik ini tidak hanya terlihat pada keluarga-keluarga secara khusus tetap
juga dalam beberapa jemaat di gereja. Gereja-gereja di Asia menjalankan tradisi
makan dan minum bersama dalam perjamuan kudus. Beberapa gereja juga
meneladani gereja mula-mula dalam hal berdoa, belajar dan makan bersama.6

5
Hope S, Antone. Pendidikan Kristiani Kontekstual. Jakarta: 2012, 99-101
6
Antone. Pendidikan Kristiani Kontekstual.., 110-116

4
Bertolak dari penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
masalah dengan judul “Suatu Kajian PAK Terhadap Implementasi Nilai-Nilai
Budaya Meja Not di Desa Latuhalat”

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang akan diteliti adalah:

a. Bagaimana pemahaman masyarakat Latuhalat (Pelaksanaan Budaya)


terhadap makan di meja not?
b. Bagaimana kajian PAK terhadap implementasi nilai-nilai dalam Budaya
meja not?

1.1 Tujuan Penelitian


Berdasarkan dua rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Budaya makan di meja not
b. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai Budaya meja not

1.2 Manfaat Penelitian


Manfaat penulisan ini meliputi manfaat akademis dan manfaat praktis:
a. Manfaat akademis
Secara akademis penelitian ini dapat bermanfaat yaitu:
Dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan memahami budaya yang ada
khususnya di Negeri Latuhalat yaitu Budaya meja not.
b. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut:
Dapat manambah wawasan, untuk memperdalam pengetahuan tentang
Budaya meja not sebagai identitas masyarakat Negeri Latuhalat

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teoritik

A. Perkawinan
Perkawinan adalah hubungan permanen antara dua orang yang
diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas
peraturan perkawinan yang berlaku. Bentuk perkawinan tergantung
budaya setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga.
Setiap orang yang lahir di dunia ini, tidak peduli apakah dia laki-
laki atau perempuan, harus menikah. Bagi orang Kristen, pernikahan itu
sendiri ditentukan oleh Alkitab (1 Korintus :1-16). Pernikahan bukan
hanya tentang menemukan keturunan, tetapi juga tentang nilai cinta.
Artinya, baik keluarga perempuan maupun keluarga laki-laki memiliki
hubungan yang indah, terlepas dari status sosial mereka.

Perkawinan dalam perspektif orang Maluku, sejajar dengan konsep


pemikahan. Perkawinan menurut adat merupakan, urusan kedua kelompok
kekerabatan. Perkawinan di sini bersifat exogami, di mana seseorang harus
kawin dengan orang di luar kliennya.7

F. L. Cooley berpendapat bahwa bentuk perkawinan adat


diturunkan oleh para leluhur (datuk-datuk), yang telah membuat atau
menghendaki agar adat itu dijadikan pola kehidupan bagi keturunan
selanjutnya8

B. Budaya
Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.Budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas.Banyak aspek budaya turut menentukan
7
Keontjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Gramedia, Jakarta 1994, him 179
8
F. L. Coley, Mimbar dan Tahta, Sinar Harapan, Jakarta 1993, hlm 69

6
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi
banyak kegiatan sosial manusia. Dengan demikian, budayalah yang
menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan
aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang
lain. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam bukunya Soerjono Soekanto
(2012:149) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Herskovits dalam bukunya Selo Soemardjan (1964:115)
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain. Menurut Andreas Eppink dalam bukunya
Gazalba (1991:28), kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual
dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward
Burnett Tylor (1924:1), kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964:113), kebudayaanadalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi
tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu
yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide
atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

C. Teori-Teori Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada
dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti
kebudayaan Eropa, Tionghoa, India, Arab dan lain sebagainya.Kata
Kebudayaan, berasal dari kata Sanskerta buddhayah, bentuk jamak dari

7
buddhi yang berarti “budi” atau “kekal”. Menurut Koentjaraningrat
(1965:77) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa
sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
“budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai
“daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan
adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Culture dari kata Latin colere
“mengolah”, “mengerjakan”, dan berhubungan dengan tanah atau bertani
sama dengan “kebudayaan”, berkembang menjadi” “segala daya upaya
serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.
Koentjaraningrat (1965:78).

D. Budaya Meja Not


Perkawinan bagi masyarakat Maluku dikenal tiga bentuk yakni
kawin lari, kawin minta, kawin masuk.9 Kawin lari atau melarikan bini
adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Kawin lari pada dasarnya
disebabkan oleh keinginan untuk menghindari prosedur perundingan dan
upacara. Kawin minta adalah sistem perkawinan yang dinilai baik karena
selain adanya kesepakatan dari pihak laki-laki dan perempuan, proses
perkawinan ini mengikuti aturan yang berlaku sehingga perundingan dan
upacara adalah proses yang harus dilewati. Sistem perkawinan ini dinilai
baik dan dilihat sebagai sistem yang berlaku secara permanen. Kelanjutan
dari tindak perkawinan di atas, masyarakat Latuhalat dulu pada umumnya
melaksanakan prosesi makan di Meja Not, di mana. pada saat itu keluarga
pihak perempuan dan laki-laki berkumpul dalam suatu tali kekerabatan
yang luar biasa, sehingga prosesi Makan di Meja Not dapat dikatakan
sebagai media atau sarana baku perkenalan, dan pemersatu kedua
keluarga. Jadi makan Meja Not merupakan proses tindak lanjut dari
perkawinan itu sendiri dan memiliki nilai tertentu, karena masyarakat akan
ada dalam sejumlah nilai yang bersifat normatif, dan berlaku secara
permanen dalam menata aktivitas sosialnya.

9
Koentjaraningrat, Op Cit, hlm 173.

8
E. Nilai dan Makna Meja Not
Makna Meja Not dapat dikatakan sebagai alat atau sarana untuk
memupuk rasa kebersamaan saudara-bersaudara, sekaligus sebagai tali
pengikat rasa kekeluargaan secara umum masyarakat Latuhalat dalam hal
ini sebagai sarana bakudapa. Jamuan Makan di Meja Not, tidak
bertentangan dengan ajaran Kristen, malah sebaliknya, memiliki nilai-nilai
yang mencerminkan Kekristenan, karena pengaturan makan di Meja Not,
serupa dengan pengaturan Meja Perjamuan Kudus dalam ajaran Kristen.
Budaya Meja Not yang di lakukan oleh masyarakat Negeri Latuhalat
kecamatan Nusaniwe Kota Ambon tidak hanya merupakan sebuah tradisi
atau permainan saja bagi masyarakat, akan tetapi di dalam budaya Meja
Not mengandung banyak atau kaya akan nilai-nilai luhur di dalamnya. Dan
dapat di ungkapkan beberapa nilainilai luhur yang melekat dalam budaya
Tersebut di antaranya :
a. Nilai Kekeluargaan.
Nilai kekeluargaan tentu tidak terbatas bersalaman, kunjungan
keluarga dan pertemuan warga, atau teman sekerja dan lain-lain.
Tapi mempunyai Makna yang jauh lebih lagi, yaitu bagaimana
upaya kita untuk memelihara diri dan keluarga kita agar tetap solid,
dan tetap rukun.

b. Nilai Penghormatan
Merupakan nilai yang berasal dari gerakan hati yang muncul
sebagai ruas keinginan diri untuk memberi suatu hal yang berarti
pada jiwa yang lain. Dalam pelaksanaan Meja Not dari pihak
keluarga yang membuat budaya ini merupakan suatu
penghormatan bagi tamu yang di undang.

c. Nilai Gotong Royong (sosial)

9
Nilai Gotong royong merupakan sikap dan tingkah laku yang di
contohkan para leluhur bangsa ini untuk di turunkan kepada anak-
anak bangsa sebagai generasi selanjutnya di mana di dalamnya
mengandung banyak nilai-nilai positif, dan ini juga merupakan ciri
khas khusus dari bangsa Indonesia. Gotong royong merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat
suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan
lancar, mudah dan ringan.

d. Nilai Musyawarah.
Musyawarah berasal dari kata syawara yaitu berunding, berembuk,
atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Musyawarah senantiasa
di terapkan dalam kehidupan masyarakat Negeri Latuhalat
Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon. Hal ini tampak pada persiapan
serta dalam proses budaya makan di Meja Not , semua yang
dilaksanakan harus berdasarkan keputusan bersama. e. Nilai
Religius. Merupakan nilai kerohanian yang tertinggi, sifatnya
mutlak dan abadi serta bersumber dari kepercayaan dan keyakinan
manusia. Dalam pelaksanaan Meja Not pada hakikatnya
merupakan rasa bakti dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas karunianya boleh mempersatukan dua mempelai sebagai
pasangan sehidup semati. Di samping itu juga mereka bermohon
agar di masa yang akan datang selalu diberi rezeki yang melimpah
dan keselamatan kepada mereka.

f. Nilai Solidaritas.
Solidaritas adalah kebersamaan, rasa kesatuan, rasa simpati antar
sesama manusia. Dalam pelaksanaan budaya Meja Not
mengandung makna kegiatan solidaritas yang cukup menonjol
diantaranya di tempat pelaksanaan budaya meja not setiap anggota
masyarakat berhak ikut tanpa adanya perbedaan status sosal di

10
antara sesama mereka. Setiap undangan yang datang berkunjung ke
lokasi pelaksanaan budaya ini, selalu menjaga ketertiban. Hal ini
mendorong timbulnya semangat persatuan dan kesatuan yang
kokoh antar seluruh peserta atau para tamu undangan yang hadir.

2.2 Kerangka Berpikir

Meja Not adalah meja komunitas yang melambangkan persaudaraan


dimana dalam acara pernikahan kelompok ini orang berkumpul dan makan
bersama dalam ritus upacara pernikahan. Maka nilai manusia sebagai
makhluk sosial terlihat dalam peristiwa ini.

Dalam ajaran Kristus, Dia selalu mendorong manusia untuk saling


mengasihi dan melayani. Meja not merupakan adat tradisional yang memiliki
nilai positif untuk hidup bersama.

Saat ini kebiasaan makan di meja not sedang terkikis, mungkin karena
kurangnya kesadaran masyarakat Maluku khususnya masyarakat Latuhalat
untuk tidak makan di meja not, atau karena faktor ekonomi yang membuat
hidup mereka terasa begitu berat, karena membutuhkan anggaran yang besar.
Sebaiknya kebiasaan makan di meja not dilestarikan, karena memiliki nilai
tradisi yang sangat tinggi dalam masyarakat dan persaudaraan. Persyaratan
minimum masyarakat tentang budaya ini harus diperbarui. Artinya, sampai
saat ini keberatan masyarakat terhadap makan di meja not yang ada di menu
makanan terlalu besar, sehingga mereka merasa kesulitan. Sedangkan menu
makanan sehari-hari bisa diganti yang disesuaikan dengan menu makanan
sesuai kebutuhan sederhana.

BAB III

11
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penilitian ini adalah tipe penelitian kualitatif deskritif. (Moleong,
1990: 3). Bentuk dan strategis pendekatan demikian diharapkan mampu
mengungkapkan fakta sosial dan informasi tentang permasalahan yang diteliti.
Kerena penilitian ini mengkaji Budaya Meja Not Masyarakat Negeri
Latuhalat. Penilitian ini dilaksanakan di Negeri Latuhalat Kecamatan
Nusaniwe, . Pemilihan lokasi ini didasari pertimabangan bahwa peniliti dapat
memperoleh data yang akurat untuk keperluan informasi penilitian karena
masyarakatnya masih melakukan Budaya Meja Not secara mendetail dan
masih menjujung tinggi adat tersebut sebagai warisan leluhur. Peneliti
berusaha mendapatkan dan mengumpulkan data dan informasi yang
dibutuhkan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek
yang diteliti dengan cara observasi, wawancara, dan kepustakaan. Setelah data
terkumpul, dilakukan interprestasi mengunakan interprestasi deskriptif
kualitatif.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat dan waktu penelitian sebagai berikut:
 Tempat penelitian pada Masyarakat Negeri Latuhalat, Kecamatan
Nusaniwe, Kota Ambon, Provinsi Maluku
 Waktu Penelitian 1 Bulan

3.3 Sumber Data


a. Sumber data yang dibutuhkan adalah
Sumber data primer: dokumen tertulis terkait penulisan ini dan
wawancara yang bersumber dari informan yang mempunyai informasi
terkait dengan Budaya Meja Not
b. Sumber data sekunder: Sejumlah kajian literatur dan sumber internet
yang dipakai dalam mengkaji masalah ini.

12
3.4 Teknik Pengumpulan data
Data-data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan beberapa
tahap.
a. Wawancara: Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi (data) dari responder, dengan cara bertanya
langsung. Membuat penulis melakukan dialog secara langsung dan
terbuka dengan narasumber untuk mendapatkan informasi dari
fokus penelitian ini.
b. Observasi: teknik pengunpulan data ini dilakukan dengan cara
melakukan peninjauan dan pengamatan di tempat penelitian.
c. Dokumen tertulis: mengumpulkan setiap data yang akan digunakan
untuk melakukan penulisan ini.

3.5 Teknik Analisa Data


Data yang sudah dikumpulkan akan dianalisis agar data tersebut mudah
dipahami serta mendapatkan solusi atas permasalahn penelitian yang
dilakukan. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini dimulai
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yang berkaitan
dengan penulisan ini yaitu, dengan wawancara, pengamatan yang sudah
dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen-dokumen yang ada, gambar, foto,
dan sebagainya. Data yang didapatkan tentunya akan sangat banyak. Data
dibaca, dipelajari, diverifikasi dan yang terakhir interpretasi. Dengan cara
demikian maka penulisan ini dapat disusun dengan baik serta dapat
dipertanggung jawabkan.10

3.6 Defenisi Operasional


Adapun beberapa pengertian mendasar dalam tulisan ini yaitu:

10
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdkarya) 2007

13
- Perkawinan : adalah hubungan permanen antara dua orang yang diakui
sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas
peraturan perkawinan yang berlaku. Bentuk perkawinan tergantung
budaya setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda
juga.
- Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi.
- Meja Not : adalah salah satu budaya yang ada dalam masyarakat
Latuhalat dimana budaya ini merupakan suatu jenis perkawinan adat
yang diadakan oleh kedua mempelai pria dan wanita yang di dalamnya
ada kerabat-kerabat yang diundang hadir untuk makan bersama dalam
suatu jamuan makan yang dinamakan Meja Not

3.7 Cara Penyajian

Penelitian tentang “Suatu Kajian PAK Terhadap Implementasi Nilai-Nilai


Budaya Meja Not di Desa Latuhalat” Akan disajikan oleh penulis dalam
beberapa Bab sebagai berikut: Bab I, Merupakan bagian pendahuluan berisikan
tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Kerangka Teoritik, Kerangka Berpikir, dan Metode Penelitian. Bab II,
Merupakan bagian hasil penelitian yang berisikan : Gambaran Umum Lokasi
penelitian dan kemudian data yang diperoleh dari pengumpulan data serta analisa
data tersebut. Bab III, Merupakan bagian yang menyajikan kajian PAK terhadap
implementasi nilai-nilai “Budaya Meja Not”. Bab IV, Merupakan bagian penutup
yang berisikan kesimpulan dan pikiran rekomendatif sebagai upaya menyikapi
masalah yang diteliti.

14
DAFTAR PUSTAKA

Cooley.F. L, Bunga Rampai, Jakarta: BPK Gunung Mulia

Cooley. F. L, 1993, Mimbar dan Tahta, Jakarta: Sinar Harapan

Ekadharma Putra, 2002, Etika Sederhana, Untuk Semua, Jakarta: BPK Gunung
Mulia

Hidayat Komarudin, 2004, Menggapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan,


Jakarta: BPK Gunung Mulia

Koentjaraningrat, 1994, Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama

Koentjaraningrat, 2004, Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama

Malcoln Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK
Gunung Mulia

P. Tanamal, 1985, Pengabdian Dan Perjuangan, Ambon: PNRI Ambon

R. M. Drie. S. Brotusudarmo, 2007, Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi,


Yogyakarta: Andi Ofsset

Verkuy. J, Etika Dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia

W. Laerence Neumen, 2000, Sosial Research Methods Quality and Quantitiv,


Boston, London:Bronto, Etc, Allyn, and Bacon

Yuana Lincon dan Egon Guba, 1994, Pengantar Metodologi Penelitian Sosial,
Jakarta: BPK Gunung Mulia

15

Anda mungkin juga menyukai