PENDAHULUAN
Salah satu bagian dari Maluku adalah Negeri Latuhalat. Negeri yang
terletak dipesisir, pada Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon ini, adalah salah satu
komunitas masyarakat yang hidup berkelompok dan memiliki perjalanan sejarah
1
Fred Plog dan Daniel G. Bates, Cultural Anthropology (USA: Alfred A. Knopf Inc., 1980), hlm. 9.
2
Edward Burnett Tylor, Primitive Culture (New York: J.P. Putnam’s Sons, 1971), hlm. 410
3
Dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet.
27, 1999) hlm. 188-189
1
yang panjang. Negeri Latuhalat, memiliki beranekaragam tradisi, tradisi-tradisi
tersebut memiliki peranan dan maknanya masing-masing, seperti halnya dengan
salah satu tradisi yang masih dipertahankan hingga kini yaitu., tradisi Meja Not di
mana tradisi ini memiliki makna tersendiri. Tradisi meja not ini, dapat diartikan
sebagai meja makan untuk para undangan atau meja perjamuan makan untuk para
undangan dalam suatu sistem perkawinan yang adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan perjanjian di hadapan
Tuhan Yang Maha Esa.
Budaya ini bukanlah hal baru, namun merupakan warisan turun-temurun dari para
leluhur, yang terus dipertahankan hingga saat ini. Salah satu dari kebudayaan yang
ada dan masih dipertahankan oleh masyarakat Latuhalat. Secara spesifik tradisi
meja not adalah tradisi bapanggel atau mengundang, semua saudara dan kerabat
untuk duduk makan dalam suatu jamuan makan pada acara perkawinan, sebagai
sarana persekutuan hidup orang bersaudara. Istilah Not berasal dari bahasa
Belanda Notch, yang berarti undangan atau dalam persekutuan orang Latuhalat
dikenal istilah panggel, sehingga meja not dapat diartikan sebagai meja makan
untuk para undangan atau meja perjamuan makan untuk para undangan. Meja ini
berupa sebuah meja yang panjang, yang kadang-kadang dapat ditempati oleh
kurang lebih tujuh puluh lima sampai seratus orang, dengan dekorasi bunga-bunga
dan botol-botol minuman yang disajikan juga kue-kue, serta bendera yang
masing-masing harus berjumlah ganjil. Hal ini hanya sebagai hiasan saja.
Masyarakat Latuhalat sering menyelenggarakan prosesi makan di meja not
dimana saat itu keluarga laki-laki dan perempuan berkumpul dalam kekerabatan
yang tidak biasa, sehingga prosesi meja not bisa dianggap sebagai sarana
komunikasi baik yang membawa kedua keluarga tersebut berkumpul bersama.
Jadi, makan di meja not merupakan kelanjutan dari perkawinan itu sendiri dan
memiliki nilai tertentu, karena mengandung nilai-nilai normatif, dan nilai ini ada
dalam kegiatan sosial mereka.
2
Makan di meja not ini adalah bagian dari tradisi adat yang diturunkan dari
orang tua-tua dengan maksud untuk menerangkan kepada generasi berikutnya
tentang tertib sosial dasar dalam masyarakat. Makan di meja not membutuhkan
biaya yang cukup besar dan di anggap sebagai suatu keharusan yang patut untuk
dilaksanakan.ini juga merupakan bentuk keakraban yang terbangun dalam setiap
diri setiap anak negeri Latuhalat sebagai wujud nyata dalam menghargai dan
menghormati serta menjalankan nilai-nilai luhur yang telah dibentuk oleh para
leluhur dalam mengesahkan sebuah perkawinan.4
Selain itu dalam tata cara pelaksanaanya proses makan di meja not ini
dibagi dalam beberapa tahapan, di mana setiap tahapan memiliki menu yang
berbeda. Makan di meja not harus menggunakan lima piring yang disusun
berlapis. Pada meja pertama biasanya Broit atau Pengantin dan keluarganya, serta
undangan yang mempunyai pengaruh dalam lingkungan atau negeri. Makan di
Meja Not harus menggunakan 5 piring yang disusun berlapis, sebagai gambaran
pada komunitas masyarakat negeri Latuhalat yang merupakan rumpun Uli Lima
atau disebut Pata Lima, dengan susunan sebagai berikut :
4
Lenny Latumeten, 2022 “Persepsi Masyarakat Terhadap Budaya Meja Not Dalam Perkawinan di
Negeri Latuhalat Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon”, Jurnal Pendidikan Sejarah dan Humaniora.
Vol. 2, No 1. Hlm 124
3
Dalam perkembangannya, jumlah piring pada prosesi Makan di Meja Not sudah
tidak lima piring lagi, namun tergantung pada kemampuan tuan rumah. Namun
yang seharusnya, jumlah piring pada Prosesi Makan di Meja Not adalah 5 piring.
Biasanya pada acara-acara pernikahan, pihak atau keluarga yang mempunyai
acara meminta orang yang tahu pengaturan Meja Not. Meja Not juga biasanya
disebut meja Salawir atau meja pelayanan. Salawir adalah orang-orang yang
bertugas melayani undangan pada acara Makan di Meja Not.
5
Hope S, Antone. Pendidikan Kristiani Kontekstual. Jakarta: 2012, 99-101
6
Antone. Pendidikan Kristiani Kontekstual.., 110-116
4
Bertolak dari penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
masalah dengan judul “Suatu Kajian PAK Terhadap Implementasi Nilai-Nilai
Budaya Meja Not di Desa Latuhalat”
Dari latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang akan diteliti adalah:
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan
Perkawinan adalah hubungan permanen antara dua orang yang
diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas
peraturan perkawinan yang berlaku. Bentuk perkawinan tergantung
budaya setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga.
Setiap orang yang lahir di dunia ini, tidak peduli apakah dia laki-
laki atau perempuan, harus menikah. Bagi orang Kristen, pernikahan itu
sendiri ditentukan oleh Alkitab (1 Korintus :1-16). Pernikahan bukan
hanya tentang menemukan keturunan, tetapi juga tentang nilai cinta.
Artinya, baik keluarga perempuan maupun keluarga laki-laki memiliki
hubungan yang indah, terlepas dari status sosial mereka.
B. Budaya
Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.Budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas.Banyak aspek budaya turut menentukan
7
Keontjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Gramedia, Jakarta 1994, him 179
8
F. L. Coley, Mimbar dan Tahta, Sinar Harapan, Jakarta 1993, hlm 69
6
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi
banyak kegiatan sosial manusia. Dengan demikian, budayalah yang
menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan
aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang
lain. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam bukunya Soerjono Soekanto
(2012:149) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Herskovits dalam bukunya Selo Soemardjan (1964:115)
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain. Menurut Andreas Eppink dalam bukunya
Gazalba (1991:28), kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual
dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward
Burnett Tylor (1924:1), kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964:113), kebudayaanadalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi
tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu
yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide
atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
C. Teori-Teori Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada
dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti
kebudayaan Eropa, Tionghoa, India, Arab dan lain sebagainya.Kata
Kebudayaan, berasal dari kata Sanskerta buddhayah, bentuk jamak dari
7
buddhi yang berarti “budi” atau “kekal”. Menurut Koentjaraningrat
(1965:77) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa
sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
“budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai
“daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan
adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Culture dari kata Latin colere
“mengolah”, “mengerjakan”, dan berhubungan dengan tanah atau bertani
sama dengan “kebudayaan”, berkembang menjadi” “segala daya upaya
serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.
Koentjaraningrat (1965:78).
9
Koentjaraningrat, Op Cit, hlm 173.
8
E. Nilai dan Makna Meja Not
Makna Meja Not dapat dikatakan sebagai alat atau sarana untuk
memupuk rasa kebersamaan saudara-bersaudara, sekaligus sebagai tali
pengikat rasa kekeluargaan secara umum masyarakat Latuhalat dalam hal
ini sebagai sarana bakudapa. Jamuan Makan di Meja Not, tidak
bertentangan dengan ajaran Kristen, malah sebaliknya, memiliki nilai-nilai
yang mencerminkan Kekristenan, karena pengaturan makan di Meja Not,
serupa dengan pengaturan Meja Perjamuan Kudus dalam ajaran Kristen.
Budaya Meja Not yang di lakukan oleh masyarakat Negeri Latuhalat
kecamatan Nusaniwe Kota Ambon tidak hanya merupakan sebuah tradisi
atau permainan saja bagi masyarakat, akan tetapi di dalam budaya Meja
Not mengandung banyak atau kaya akan nilai-nilai luhur di dalamnya. Dan
dapat di ungkapkan beberapa nilainilai luhur yang melekat dalam budaya
Tersebut di antaranya :
a. Nilai Kekeluargaan.
Nilai kekeluargaan tentu tidak terbatas bersalaman, kunjungan
keluarga dan pertemuan warga, atau teman sekerja dan lain-lain.
Tapi mempunyai Makna yang jauh lebih lagi, yaitu bagaimana
upaya kita untuk memelihara diri dan keluarga kita agar tetap solid,
dan tetap rukun.
b. Nilai Penghormatan
Merupakan nilai yang berasal dari gerakan hati yang muncul
sebagai ruas keinginan diri untuk memberi suatu hal yang berarti
pada jiwa yang lain. Dalam pelaksanaan Meja Not dari pihak
keluarga yang membuat budaya ini merupakan suatu
penghormatan bagi tamu yang di undang.
9
Nilai Gotong royong merupakan sikap dan tingkah laku yang di
contohkan para leluhur bangsa ini untuk di turunkan kepada anak-
anak bangsa sebagai generasi selanjutnya di mana di dalamnya
mengandung banyak nilai-nilai positif, dan ini juga merupakan ciri
khas khusus dari bangsa Indonesia. Gotong royong merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat
suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan
lancar, mudah dan ringan.
d. Nilai Musyawarah.
Musyawarah berasal dari kata syawara yaitu berunding, berembuk,
atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Musyawarah senantiasa
di terapkan dalam kehidupan masyarakat Negeri Latuhalat
Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon. Hal ini tampak pada persiapan
serta dalam proses budaya makan di Meja Not , semua yang
dilaksanakan harus berdasarkan keputusan bersama. e. Nilai
Religius. Merupakan nilai kerohanian yang tertinggi, sifatnya
mutlak dan abadi serta bersumber dari kepercayaan dan keyakinan
manusia. Dalam pelaksanaan Meja Not pada hakikatnya
merupakan rasa bakti dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas karunianya boleh mempersatukan dua mempelai sebagai
pasangan sehidup semati. Di samping itu juga mereka bermohon
agar di masa yang akan datang selalu diberi rezeki yang melimpah
dan keselamatan kepada mereka.
f. Nilai Solidaritas.
Solidaritas adalah kebersamaan, rasa kesatuan, rasa simpati antar
sesama manusia. Dalam pelaksanaan budaya Meja Not
mengandung makna kegiatan solidaritas yang cukup menonjol
diantaranya di tempat pelaksanaan budaya meja not setiap anggota
masyarakat berhak ikut tanpa adanya perbedaan status sosal di
10
antara sesama mereka. Setiap undangan yang datang berkunjung ke
lokasi pelaksanaan budaya ini, selalu menjaga ketertiban. Hal ini
mendorong timbulnya semangat persatuan dan kesatuan yang
kokoh antar seluruh peserta atau para tamu undangan yang hadir.
Saat ini kebiasaan makan di meja not sedang terkikis, mungkin karena
kurangnya kesadaran masyarakat Maluku khususnya masyarakat Latuhalat
untuk tidak makan di meja not, atau karena faktor ekonomi yang membuat
hidup mereka terasa begitu berat, karena membutuhkan anggaran yang besar.
Sebaiknya kebiasaan makan di meja not dilestarikan, karena memiliki nilai
tradisi yang sangat tinggi dalam masyarakat dan persaudaraan. Persyaratan
minimum masyarakat tentang budaya ini harus diperbarui. Artinya, sampai
saat ini keberatan masyarakat terhadap makan di meja not yang ada di menu
makanan terlalu besar, sehingga mereka merasa kesulitan. Sedangkan menu
makanan sehari-hari bisa diganti yang disesuaikan dengan menu makanan
sesuai kebutuhan sederhana.
BAB III
11
METODE PENELITIAN
12
3.4 Teknik Pengumpulan data
Data-data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan beberapa
tahap.
a. Wawancara: Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi (data) dari responder, dengan cara bertanya
langsung. Membuat penulis melakukan dialog secara langsung dan
terbuka dengan narasumber untuk mendapatkan informasi dari
fokus penelitian ini.
b. Observasi: teknik pengunpulan data ini dilakukan dengan cara
melakukan peninjauan dan pengamatan di tempat penelitian.
c. Dokumen tertulis: mengumpulkan setiap data yang akan digunakan
untuk melakukan penulisan ini.
10
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdkarya) 2007
13
- Perkawinan : adalah hubungan permanen antara dua orang yang diakui
sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas
peraturan perkawinan yang berlaku. Bentuk perkawinan tergantung
budaya setempat bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda
juga.
- Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi.
- Meja Not : adalah salah satu budaya yang ada dalam masyarakat
Latuhalat dimana budaya ini merupakan suatu jenis perkawinan adat
yang diadakan oleh kedua mempelai pria dan wanita yang di dalamnya
ada kerabat-kerabat yang diundang hadir untuk makan bersama dalam
suatu jamuan makan yang dinamakan Meja Not
14
DAFTAR PUSTAKA
Ekadharma Putra, 2002, Etika Sederhana, Untuk Semua, Jakarta: BPK Gunung
Mulia
Malcoln Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Yuana Lincon dan Egon Guba, 1994, Pengantar Metodologi Penelitian Sosial,
Jakarta: BPK Gunung Mulia
15