Anda di halaman 1dari 14

A.

Defenisi

Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit
kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan aliran udara
yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi
ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien.1 PPOK
biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya
dalam udara. PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya
hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit
tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya.3
Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meskipun keduanya
memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema
tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan
emfisema merupakan diagnosis patologi.

Bronkitis kronis adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk kronis yang
menimbulkan dahak selama minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun
berturut-turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis
paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal pada bronkiolus terminal, disertai dengan
kerusakan dinding alveolus.1,4 Tidak jarang penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan
tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas
yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

B. Klasifikasi PPOK

PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut GlobalInitiative for Chronic Obstructuve Lung
Disease (GOLD) dalamRahmadi tahun 2015, yaitu:

1. Derajat 0 (beresiko)
Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea,
terdapat paparan faktorresiko, sprirometri : normal.
2. Derajat I (PPOK ringan
Gejala Klinis : batuk kronik dan produksi sputum ada tetapitidak sering. Pada derajat ini pasien
sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.3.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala Klinis : sesak mulai dirasakan saat aktivitas dankadang ditemukan gejala batuk dan
produksi sputum. Padaderajat ini biasanya pasien mulai memeriksakankesehatannya.4.
4. Derajat III (PPOK Berat)
5. Gejala Klinis : sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasalelah dan serangan eksasernasi
semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien5.
6. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala Klinis : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagalnapas atau gagal jantung kanan dan
ketergantungan oksigen.Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jikaeksaserbasi
dapat mengancam jiwa biasanya disertai gagalnapas kronik.
C. Etiologi

. Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru ObstruksiKronik (PPOK) menurut Mansjoer (2008)
dan Ovedoff (2006)dalam Rahmadi (2015) adalah :

1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dangas-gas kimiawi.


2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-paru bahkan
pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis,dan asma orang dengan kondisi ini
berisiko mendapat PPOK
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangansuatu enzim yang normalnya melindungi
paru-paru darikerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim inidapat terkena empisema
pada usia yang relatif muda, walau pun tidak merokok.

D. Manisfestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Reeves (2001) dalam
Rahmadi (2015)adalah :

Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem
pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahakkhususnya yang
makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendeksedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut.
Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang
disertai dengan produksi dahak yangsemakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasandan kehilangan berat badan yang cukup
drastis, sehingga padaakhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimalmelaksanakan tugas-
tugas rumah tangga atau yang menyangkuttanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa
lelahdan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatansehari-hari.

Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis,
sebagai akibat darihilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makinmelimpah, penurunan daya
kekuatan tubuh, kehilangan seleramakan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan
sekunderkarena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal. Pasien PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

E. Faktor Risiko

PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase eksaserbasi akut yang
timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi perburukan yang mendadak dari
perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh suatu faktor pencetus dan ditandai dengan suatu
manifestasi klinis yang memberat.4,5 Secara umum resiko 4 terjadinya PPOK terkait dengan
jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya serta berbagai faktor
dalam individu itu sendiri.
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok merupakan salah satu
penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya
PPOK. 3 Asap rokok yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak lama
telah disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis kronis dan
emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan penurunan
volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi paksa (FEV1)
dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok, yang ditunjukkan secara
spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari
dikalikan dengan jumlah total tahun merokok). Walaupun hubungan sebab akibat antara
merokok dan perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi dari merokok
ini masih sangat bervariasi. Merokok merupakan prediktor signifikan yang paling besar pada
FEV1, hanya 15% dari variasi FEV1 yang dapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun.
Temuan ini mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik sebagai
kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan obstruksi jalan nafas.

2. Paparan Pekerjaan

Paparan Pekerjaan Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara


dapat diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan yang khas
termasuk penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui
sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.

3. Polusi Udara

Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada orang-orang yang


tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan mereka yang 5 tinggal di daerah
pedesaan, yang berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada
wanita bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi udara di dalam ruangan
yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah dikatakan sebagai kontributor yang
potensial.

4. Inpeksi Berulang Saluran Respirasi

Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam
perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama infeksi saluran nafas
bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai
faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.

5. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK

Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap berbagai stimulus


eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah satu ciriciri dari asma. Bagaimanapun
juga, banyak pasien PPOK juga memiliki ciriciri jalan nafas yang hiperesponsif. Pertimbangan
akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan PPOK dalam kepekaan jalan nafas,
obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal mengarahkan kepada perumusan hipotesis Dutch
yang menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis, dan emfisema merupakan variasi dari dasar
penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik untuk menghasilkan
gambaran patologis yang nyata.

6. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)

Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPOK. Walaupun
hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT, pasien-pasien ini
menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan untuk
berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat penting untuk
perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri, leukosit PMN, dan
monosit.

F. Patofisiologi

Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan fisiologi utama
pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian proksimal,
perifer, parenkim dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau
inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal, radikal
bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi
perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal
bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai
macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang
terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga
terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus
sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa
berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa,
kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus
berlebih. Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi
mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif.

Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding alveolus.
Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian mengakibatkan bersatunya
alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal largeairspace. Selain itu terjadinya
modifikasi fungsi anti-protease pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk menghambat
neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring terus
berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan
jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang
menimbulkan stenosis dan obstruksi ireversibel dari saluran nafas. 4,6 Walaupun tidak menonjol
seperti pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus
yang menyebabkan gangguan sirkulasi udara.

`Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Pada emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya regang elastis paru. Terdapat dua jenis emfisema
yang relevan terhadap PPOK, yaitu emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar. Pada jenis
pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus dan dihubungkan dengan proses penuaan serta
pengurangan luas permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus
dan daerah perifer asinar, yang erat hubungannya dengan asap rokok.

G. Pemeriksaan fisik

pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan tanda
inflasi paru.

• Inspeksi

1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu) Sikap seseorang yang bernafas


dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh
yang berusaha mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam paru akibat gagal nafas kronis.
2. Penggunaan alat bantu napas Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi dinding dada,
hipertropi otot bantu nafas, serta pelebaran sela iga
3. Barrel chest Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter antero-posterior dan
transversal pada rongga dada akibat usaha memperbesar volume paru. Bila telah terjadi gagal
jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.
4. Pink puffer Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit kemerahan pasien
kurus, dan pernafasan pursed-lips breating.
5. Blue bloater Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu pasien tampak
sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru.

• Palpasi

Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar. Terutama dijumpai
pada pasien dengan emfisema dominan.

• Perkusi

Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema.

• Auskultasi

Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.

H. Pemeriksaan Penunjang

• Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)


Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit,
dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif
adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur
volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital
capacity (FVC).

Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada
saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai
fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta
nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan
bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat obstruksinya.
Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:

Stage I :

Ringan Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC <


70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.

Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80%
dari nilai prediksi.

Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50%
dari nilai prediksi.

Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30%
ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.

 Foto Torak PA dan Lateral

Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru
lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma
rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung
yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis
kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat
corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.

 Analisa Gas Darah (AGD)

Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan dan
wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi
dan secara klinis tampak tandatanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti
sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure. Analisa
gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan
dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah
menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga
menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis
kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan pada
emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi,
keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh
karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia
atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya
ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.

 Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola kuman
dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

 Pemeriksaan Darah rutin

Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus seperti


leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik.

 Pemeriksaan penunjang lainnya

Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui komplikasi pada


jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang
dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-
scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin

I. Komplikasi PPOK
 infeksi pernapasan. Pengidap PPOK rentan terserang flu dan pneumonia.
 Masalah jantung. PPOK bisa meningkatkan risiko penyakit jantung, salah satunya
serangan jantung tetapi hingga kini alasannya belum pasti.
 Tekanan darah tinggi. PPOK dapat menyebabkan tekanan darah tinggi pada bagian arteri
yang bertugas untuk membawa darah ke paru-paru.
 Depresi. Kesulitan bernapas membuat pengidap tidak dapat melakukan banyak hal.
Kondisi ini bisa membuat pengidap lama-kelamaan mengalami depresi.

J. Pencegahan PPOK
Meski tak bisa disembuhkan, PPOK dapat dicegah dengan menerapkan gaya hidup sehat. Berikut
cara mencegah PPOK.

1. Tidak merokok atau berhenti merokok


Berhenti merokok secara efektif dapat mempertahankan fungsi paru.
2. Menghindari paparan polusi udara
Hindari paparan polusi udara karena dapat menurunkan fungsi paru.

3. Berolahraga
Lakukan olahraga rutin yang melatih otot pernapasan. Olahraga dapat menjaga dan
meningkatkan fungsi paru.

4. Konsumsi makanan mengandung antioksidan


Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan untuk mencegah perkembangan oksidatif
atau kerusakan sel pada paru.
WOC PPOK
Pertanyaan

1. Assalamualaikum wr wb Perkenalkan nama saya Hafizah Rahmadani dengan NIM 2111311021 Izin
bertanya pada kasus ppok. Dari hasil pemeriksaan Rontgen termasuk jenis ppok yang mana pada
kasus tn. B. Jelaskan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan Terimakasih
 termasuk ppok jenis bronkitis kronis, karena ditandai dengan batuk berdahak dan bronkusnya
menyempit karena ada peradangan pada bronkus
2. Perkenalkan nama saya alifia putri (2111312042) izin bertanya,pada pertanyaan kedua jelaskan
perbedaan tb mdr dengan tb biasa,tadi amanda sampaikan bahwa lama pengobatan tb mdr
membutuhkan waktu 9-20 bulan,Apa yang faktor pemicu dan faktor lainnya yang menyebabkan TB
MDR memiliki waktu penyembuhan yang lebih lama dibandingkan dengan TB biasa?
 Seperti yang kita ketahui bahwa gejala TB MDR sama dengan gejala TB biasa, namun sebenarnya
kuman penyebabnya sudah kebal terhadap obat yang diberikan sehingga pengobatan akan lebih
lama dan juga mahal biasanya karena jenis obat yang digunakan pun berbeda
3. Refi Mariska = Di edukasi pasien TB tadi. Ada edukasi keluarga agar memiliki ventilasi yg baik dan
mendapat cahaya matahari. Mengapa hal itu harus dilakukan dan bagaimana cara lain jika rumah
pasien tidak ada atau minim ventilasi?
 Karena kuman tuberculosis biasanya bertahan hidup di tempat yang sejuk, lembab dan gelap
tanpa sinar matahari bisa sampai bertahun-tahun lamanya. Nah, makanya dianjurkan untuk
memiliki ventilasi yang baik agar kondisi udara di tidak lembab. Jika tidak ada ventilasi atau
minim maka anjurkan pasien dan keluarga untuk memelihara rumahnya agar tidak lembab dan
anjurkan untuk berjemur secara rutin
4. Umair achmad munaji = apakah benar perokok pasif lebih rentan terkena resiko kanker
dibandingkan perokok aktif, jika iya coba jelaskan!
 Pada asap tembakau yang berasal dart rokok konvensional, terkandung sekitar 7.000 bahan
kimia, yang diantaranya sangat berbahaya bagi kesehatan. Salah satu zat yang berbahaya ini
adalah karsinogen yang dapat menyebabkan kanker paru-paru. Selain pada rokok tembakau, zat
ini juga terkandung di dalam knalpot diesel, asbes, dan arsenik. Ketika perokok pasil menghirup
racun karsinogen inilah yang dapat menyebabkan kanker paru.
5. Desi wulan sari = bagaimana klasifikasi dari ca paru dan mana yang paling sering terjadi?
 Kanker paru menempati urutan ke-3 kanker terbanyak di Indonesia. Sedangkan pada pria,
kanker paru menempati urutan no. I kanker terbanyak yang diderita. Terdapat dua tipe kanker
paru, yaitu kanker paru sel kecil (SCLC) dan kanker paru non sel kecil (NSCLC). Sekitar 10-15%
kasus kanker paru merupakan tipe SCLC yang merupakan jenis kanker paru agresif yang
berkembang secara cepat dan menyebar ke bagian tubuh lain. SCLC diketahul sangat berkaitan
dengan efek samping merokok. Sedangkan sebagian besar kasus kanker paru merupakan NSCLC.
NSCLC tidak seagresif SCLC, cenderung berkembang dan menyebar secara lambat. NSCLC sendin
mempunyal 3 sub tipe, yaltu karsinoma sel shuamosa, karsinoma sel besar, dan

Jelaskan apa yang terjadi pada keseimbangan asam basa dilihat dr masalahnya, ada dimana pada
tampilan Analisis gas darah (AGD)

a. Indikasi AGD
Pemeriksaan AGD akan memberikan hasil pengukuran yang tepat dari kadar oksigen dan karbon
dioksida dalam tubuh. Hal ini dapat membantu dokter menentukan seberapa baik paru-paru dan
ginjal bekerja. Biasanya dokter memerlukan tes analisa gas darah apabila menemukan gejala-gejala
yang menunjukkan bahwa seorang pasien mengalamai ketidakseimbangan oksigen, karbon dioksida,
atau pH darah. Gejala yang dimaksud meliputi:
 Sesak napas
 Sulit bernafas
 Kebingungan
 Mual
Perlu diingat bahwa ini merupakan gejala dari suatu penyakit yang menyebabkannya seperti pada
asma dan penyakit paru obstruktif kronik, “PPOK”. Di sisi lain, apabila dokter sudah mencurigai
adanya penyakit, maka pemeriksaan analisa gas darah juga akan diperlukan, seperti pada
kondisikondisi di bawah ini:
 Penyakit paru-paru, misalnya asma, PPOK, pneumonia, dan lain-lain.
 Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal.
 Penyakit metabolik, misalnya diabetes melitus atau kencing manis
 Cedera kepala atau leher yang mempengaruhi pernapasan
Dengan melakukan pemeriksaan ini, selain untuk menentukan penyakit, dokter juga bisa memantau
hasil perawatan yang sebelumnya diterapkan kepada pasien. Untukk tujuan ini, pemeriksaan AGD
sering dipesan bersama dengan tes lain, seperti tes glukosa darah untuk memeriksa kadar gula
darah dan tes darah kreatinin untuk mengevaluasi fungsi ginjal.
b. Prosedur pemeriksaan AGD
Pada pemeriksaan ini diperlukan sedikit sampel darah yang diambil dari pembuluh darah arteri yang
ada di pergelangan tangan, lengan, atau pangkal paha. Oleh sebab itu prosedur ini disebut juga
dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Dokter atau petugas lab pertama-tama akan
mensterilkan tempat suntikan dengan cairan antiseptik. Setelah mereka menemukan arteri, mereka
akan memasukkan jarum ke dalam arteri dan mengambil darah. Mungkin Anda akan sedikit
merasakan sakit saat jarum suntik masuk ke dalam kulit, tapi tentu ini tidak begitu menyakitkan.
Setelah dirasa cukup, kemudian jarum dicabut, dan luka tusukan ditutup dengan perban. Sampel
darah kemudian akan dianalisa oleh mesin portabel atau mesin yang ada di laboratorium. Sampel
darah harus dianalisis dalam waktu 10 menit dari waktu pengambilan untuk memastikan hasil tes
yang akurat.
c. Langkah-langkah untuk menilai gas darah
1. Pertama-tama perhatikan pH, jika menurun klien mengalami asidemia, dengan dua sebab
asidosis metabolik atau asidosis respiratorik; jika meningkat klien mengalami alkalemia
dengan dua sebab alkalosis metabolik atau alkalosis respiratorik; ingatlah bahwa kompensasi
ginjal dan pernafasan jarang memulihkan pH kembali normal, sehingga jika ditemukan pH
yang normal meskipun ada perubahan dalam PaCO2 dan HCO3 mungkin ada gangguan
campuran.
2. Perhatikan variable pernafasan, PaCO2 dan metabolic, HCO3 yang berhubungan dengan pH
untuk mencoba mengetahui apakah gangguan primer bersifat respiratorik, metabolik atau
campuran. Gangguan ini bias diketahui dari PaCO2 normal, meningkat atau menurun dan
HCO3 normal, meningkat atau menurun. Pada gangguan asam basa sederhana, PaCO2 dan
HCO3 selalu berubah dalam arah yang sama dan penyimpangan dari HCO3 dan PaCO2 dalam
arah yang berlawanan menunjukkan adanya gangguan asam basa campuran.
3. Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah terjadi hal ini dilakukan
dengan melihat nilai selain gangguan primer, jika nilai bergerak yang sama dengan nilai primer
maka kompensasi sedang berjalan.
4. Buat penafsiran tahap akhir sama ada ia gangguan asam basa sederhana, gangguan asam basa
campuran
Rentang nilai normal
 pH : 7, 35-7, 45
 TCO2 : 23-27 mmol/L
 PCO2 : 35-45 mmHg
 BE : 0 ± 2 mEq/L
 PO2 : 80-100 mmHg
 saturasi O2 : 95 % atau lebih
 HCO3 : 22-26 mEq/L
d. Interpretasi hasil Analisa gas darah
 Interpretasi hasil pemeriksaan pH
Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion hidrogen
dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam seperti asam laktat dan asam keto
Nilai normal pH serum:
o Nilai normal : 7.35 - 7.45
o Nilai kritis : < 7.25 - 7.55
Implikasi klinik
1) Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia peningkatan pembentukan
asam
2) Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia kehilangan asam
3) Bila melakukan evaluasi nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3 diketahui juga untuk
memperkirakan komponen pernafasan atau metabolik yang mempengaruhi status
asam basa
 Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Karbon Dioksida, (PaCO2).
PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 kyang terlarut dalam plasma.
Dapat digunakan untuk menetukan efektifitas ventilasi dan keadaan asam basa dalam
darah.
o Nilai Normal : 35 - 45 mmHg
o SI : 4.7 - 6.0 kPa
Implikasi klinik
1) Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/ nervousness dan emboli
paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapatkan perhatiaan khusus.
2) Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau penurunan fungsi
pusat pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mmHg perlu mendapat perhatian khusus.
3) Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan penurunan
nilai menunjukkan hiperventilasi.
4) Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2 sebesar 1.3
mmHg
 Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Oksigen, (PaO2).
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah oksigen yang terlarut
dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan oksigen
bagi darah.
o Nilai Normal (suhu kamar, tergantung umur): 75 - 100 mmHg
o SI : 10 - 13.3 kPa
Implikasi klinik
1) Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik, PPOK,
penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fisik atau
neoromuskular dan gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu
mendapatkan perhatian khusus.
2) Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat
bantu, contohnya nasal prongs, alat ventilasi mekanik hiperventilasi dan polisitemia,
peningkatan sel darah merah dan daya angkut oksigen
 Interpretasi Hasil Saturasi Oksigen, (SaO2).
Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai persentasi total oksigen yang
terikat pada hemoglobin.
o Nilai Normal : 95 - 99 % O2
Implikasi Klinik:
1) Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar oksigenasi hemoglobin dan
kecakupan oksigen pada jaringan
2) tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan jumlah oksigen yang
terikat pada hemoglobin sebagai ion bikarbonat
 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Karbon Dioksida, (CO2).
Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat, 5% sebagai
larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat. Kandungan CO2 plasma terutama adalah
bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini
terutama bersifat asam dan diatur oleh paruparu. Oleh karena itu nilai CO2 plasma
menunjukkan konsentrasi bikarbonat.
o Nilai Normal Karbon Dioksida (CO2) : 22 - 32 mEq/L
o SI : 22 - 32 mmol/L
Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan
diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama yang bersifat asam dan diatur oleh paru-
paru. oleh karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan konsentrasi bikarbonat. Implikasi Klinik:
1) Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfisema, dan
aldosteronisme
2) Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis dan
hiperventilasi
3) Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoin
SUMBER

GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for Healthcare
Professionals. 2017 ed.

Sydney: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Inc.; 2017.

Putra TR, Suega K, Artana B. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Denpasar: SMF
Penyakit Dalam FK Unud; 2013

Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis penerapan pendekatan praktis kesehatan paru di Indonesia.
Jakarta: Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015

Ariosta, Indranila, Indrayani. Prediksi Nilai Analisa Gas Darah Arteri. 24 September 2017

Dr Gde M, Dr Tjokorda GAS. Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. Indeks 2017

Edijanto SP, Dr Soetamo. Analisa Asam Basa. B-229

Farhan AR, Calcarina FRW, Bhisrowo YP. Aplikasi Klinis Analisis Gas Darah Pendekatan Stewart Pada
Periode Perioperatif. Vol 3, No 1 2015

Sukinem N, Skep G. Interpretasi Analisa Gas Darah. Ministry Of Health Department Kariadi Hospital Of
Semarang Central Jawa, Indonesia 2013

Anda mungkin juga menyukai