Skripsi: Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan
Skripsi: Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan
SKRIPSI
-
Oleh :
JACKY O. SITUMORANG
NIM : 020200156
HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
SKRIPSI
-
Oleh :
JACKY O. SITUMORANG
NIM : 020200156
HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak
manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu
kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan
keefektifannya.
Dalam Pasal 340 KUHP, mengatur tentang barang siapa dengan sengaja
direncanakan dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementera selama-lamanya dua puluh tahun.
Yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah mengapa pidana mati
masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, bagaimanakah
perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia dan
bagaimanakah implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di
Indonesia.
Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam
upaya menganalisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati masih digunakan dalam
kebijakan penanggulangan kejahatan karena pidana mati adalah suatu pertahanan sosial
untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman
kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau
akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat
umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan beragama. Pengaturan pidana mati
dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia, yaitu kejahatan-kejahatan dalam KUH
Pidana (Pasal 104, Pasal 111, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 127, Pasal 140, Pasal 340, Pasal
365, dan Pasal 444) serta ketentuan yang diatur di luar KUH Pidana yaitu dalam
Rancangan KUHP, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-
undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Kejahatan Terorisme. Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di
Indonesia dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.
514/Pid.B/1997/PN-LP atas, dimana Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan
putusan pidana mati terhadap Tumini yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan
melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 55
ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 KUHP.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
ABSTRAKSI ................................................................................................... v
B. Permasalahan ................................................................................... 4
G. Sistematika Penulisan....................................................................... 21
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
B. Pidana Mati Diluar KUHP ............................................................... 43
A. Kasus ............................................................................................... 60
A. Kesimpulan ...................................................................................... 79
B. Saran................................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
mencurahkan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi
syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebagai seorang hamba Tuhan, penulis sadar benar bahwa skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki,
sedikitnya pengalaman dan literatur-literatur yang belum menunjang judul yang penulis
Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik
yang konstruktif guna lebih terciptanya suasana untuk mendekati kesempurnaan didalam
skripsi ini.
kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung telah membantu
penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya
kepada :
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
2. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana di Fakultas
3. Hj. Nurmalawati, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
4. Ibu Rafiqah Lubis, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
5. Seluruh staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang
1. Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang,
Teruslah berjuang dan berkarya, semoga persahabatan kita akan tetap dan abadi.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana di
Indonesia adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi
perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum
dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan ada
Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak
manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu
kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan
keefektifannya.
Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan banyak para pakar hukum
Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung
mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih
akhir ini, lebih berorientasi untuk mendidik dan memperbaiki si terhukum. Tetapi, bagi
orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi
Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan
orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati.
Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan
Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya berlaku juga bagi hukuman-
hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara,
kemudian setelah menjalani hukuman tersebut ternyata ditemukan bukti-bukti baru yang
menunjukkan kesalahan pada putusan hakim, maka putusan itu dapat diubah ? Yang
jelas, jika ketelitian dan keadilan dapat dijalankan, maka adanya kesalahan dalam
pelaksanaan hukuman mati setelah melalui proses pemeriksaan dan pembuktian yang
sangat ketat dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat memberikan keyakinan
kepada hakim.
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi
pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum,
maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.
teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum di Indonesia ternyata lebih
kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak korban dan keluarganya.
Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi
kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski tidak harus
Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan
dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum
pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini
pidana mati.
Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan
baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan
dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai
permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan adanya pengungkapan fakta dan
masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata
Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan
pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap
bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai
juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana
mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan
pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah
lama dicita-citakan.
Tertarik akan adanya fakta-fakta dari usaha yang diungkapkan diatas, maka
motivasi tersebut yang mendorong penulis untuk membuat skripsi (tulisan/ karya ilmiah)
B. Permasalahan
kejahatan ?
3
http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/, Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati
(Death Penalty) Dan Relevansinya Dengan Perdebatan Hukum Di Indonesia
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2. Bagaimanakah perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di
Indonesia ?
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
pidana di Indonesia.
pembunuhan.
1. Manfaat teoritis
pembunuhan.
di Indonesia.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum seperti
D. Keaslian Penulisan
Kasus Putusan No.514/Pid.B/1997/PN-LP) ini memang sudah ada yang meneliti atau
seminar dan lokakarya, namun dengan pokok permasalahan yang berbeda. Oleh karena
Apabila ditemukan ada skripsi yang berjudul dengan permasalahan yang sama,
E. Tinjauan Pustaka
Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan
4
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana
Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1983, hal. 13.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan
yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau
kebebasan.
Menurut Sudarto,
“Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang
dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa ‘cap’ oleh masyarakat, bahwa ia
pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut ‘stigma’. Jadi orang
tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana
seumur hidup. 5
Pemberian pidana dalam arti umum merupakan bidang dari pembentuk undang-
undang karena asas legalitas, yang berasal dari zaman Aungklarung, yang singkatnya
berbunyi : nullum crimen, nulla poena, sine preavia lege (penali). Jadi untuk
hanya tentang crimen atau delictum-nya, ialah tentang perbuatan mana yang dapat
dikenakan pidana.
Menurut R. Soesilo, yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak
enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah
nestapa yang dijatuhkan pada setiap pelaku kejahatan yang telah melanggar norma-norma
5
Sudarto (1), Masalah-Masalah Hukum Nomor 11/1973, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum
UNDIP Semarang, hal. 22-23.
6
R. Soesilo (1), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea), 1994, hal. 35.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Sanksi secara umum dibagi atas 2, yaitu :
1. Sanksi pidana
perundang-undangan lainnya yang terdapat diluar KUHP. Di sini harus jelas perbuatan-
perbuatan apa yang telah melanggar ketentuan hukum pidana, serta dapat dikenakan
sanksi pidana dan bentuk hukuman apa yang akan dapat dijatuhkan bagi sipelanggar.
Atau dengan kata lain harus ada mesti ada perbuatan yang diancam oleh hukum pidana,
Mengenai reaksi-reaksi atau sanksi pidana, di dalam Pasal 10 KUHP dapat berupa
Mengenai sanksi pidana ini, haruslah berpegang pada Pasal 1 ayat 1 KUHP (yang
pertama kali diperkenalkan olah Anselm Von Feuerbach yang disebut dengan “azas
nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali”), yang berbunyi :
7
Chainur Arrasjid (1), Sepintas Lintas Tentang Kriminil, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum USU), 1999, hal. 44
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana dan/atau dikenakan tindakan, kecuali
sebelumnya”.
Sanksi di luar pidana pada sifatnya sama dengan sanksi pidana. Persamaannya
terletak ada adanya sifat yang sama, yakni mempunyai latar belakang yang berada pada
tata nilai di dalam lingkungan masyarakat tertentu. Tata nilai itu selalu mengalami
perobahan; ada yang bersifat lokal, regional dan dapat juga yang bersifat universal atau
global.
Perubahan tata nilai tersebut sangat dikaitkan dengan perobahan sosial dari suatu
masyarakat disebabkan faktor-faktor tertentu dan dapat saja membuka kemungkinan tata
nilainya berobah dan hal ini mempunyai pengaruh terhadap hukum yang berlaku. Jadi
Sanksi di luar pidana, misalnya hukum adat yang masih dibenarkan dan
Syarat-syarat pemidanaan
Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh Von Feuerbach, bahwa pada
hakikatnya ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
itu tertib, 8 berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi
terpidana. Oleh karena itu, dtentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan baik
yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku.
Pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas
pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki
ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan
menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat
dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal ini Sudarto mengemukakan,
diterapkan bahwa pemidanaan yang berdasar adanya kesalahan, erat sekali hubungannya
dengan keadilan. Akan dirasakan tidak atau kurang adil, apabila seseorang yang tidak
bersalah sama sekali, dijatuhi pidana walau betapa ringannya pidana yang dijatuhkan.
menurut rasa keadilan masing-masing pihak. Oleh karena itu, harus ada ukuran-ukuran
yang seharusnya dapat diterima oleh semua pihak, yaitu ukuran-ukuran yang dapat
8
Sudarto (2), Hukum Pidana Jilid IA, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UNDIP, (Semarang),
1971, hal. 1.
9
Sudarto (1), Op.Cit, hal. 39.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
yang demikian itu, kiranya sesuai dengan hakikat dan ideologi negara Indonesia
Pancasila.
Tujuan pemidanaan
atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana
adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua
pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam
sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa
tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang
masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni
pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang
dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan
pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau
10
ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP 2005, Position Paper
Advokasi RUU Seri #3, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, 2005, hal. 10.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak,
pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di
pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
11
Ibid,
12
Muladi (1), Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni), 2002, hal 49-51.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
a) Pencegahan umum dan khusus;
b) Perlindungan masyarakat;
c) Memelihara solidaritas masyarakat
d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik
berat sifatnya kasuistis.
didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun
berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis
pedoman.
justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model
keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal
(just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu
Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan
dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan
yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan
Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima
penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan
hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Terdapat dua hal
13
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2003, hal. 61
14
Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publising Company, New York,
1987, hal. 352. Dalam Sholehuddin, Ibid, hal. 62
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu: Pertama, karena desert theories
menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan antara hukuman yang layak
dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini
mengabaikan perbedaan-perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku, seperti latar
belakang pribadi pelaku dan dampak penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan
dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang
Di samping just desert model juga terdapat model lain yaitu restorative justice
model yang seringkali dihadapkan pada retributive justice model. Van Ness menyatakan
karakteristik : 16
15
ELSAM, Op.Cit, hal. 12
16
Ibid,
17
Muladi (2), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro,,
Semarang), 1995, hal. 127-129.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban
pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai
tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun
penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong
untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap
perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis;
dan
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana
reparatif. 18
atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-dasar sruktur dari
sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham
abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara
pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam
memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun
18
Muladi (3), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro,,
Semarang), 1996, hal. 125.
19
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,
(Bandung: Binacipta), 1996, hal. 101.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu
sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling
yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi
dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki
luka-luka mereka.
menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari
ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka
daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban
untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih
Masalah kejahatan merupakan suatu problem sosial yang sering tejadi dalam
kehidupan sehari-hari tanpa melihat klasifikasi dan status sosial dari orang-orang
yang melakukannya. Oleh karena itu istilah kejahatan sudah menjadi istilah yang
tidak asing lagi bagi masyarakat karena kejahatan merupakan suatu prilaku yang
menyimpang, suatu tindakan yang sifatnya negatif. Namun apakah yang dimaksud
dengan kejahatan itu ternyata tidak ada pendapat yang seragam. Hal ini disebabkan
oleh karena perbuatan jahat bersumber dari alam nilai, tentu penafsiran yang
diberikan kepada perbuatan atau tingkah laku tersebut sangat relatif sekali.
Kerelatifannya terletak kepada penilaian yang diberikan oleh masyarakat dimana
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
perbuatan tersebut terwujud. 20 Para sarjana telah memberikan pengertian terhadap
kejahatan di antaranya adalah sebagai berikut:
a. W.A. Bonger
“Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tentangan
dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan)”. 21
“Kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan
c. Frank Tannembaum
“Kejahatan merupakan problema manusia, oleh karena itu dimana ada manusia pasti
“Kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian), yang dilarang oleh hukum
publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh negara.
masyarakat yaitu harapan masyarakat mengenai tingkah laku, yang patut dari seorang
warga negaranya”. 24
20
Gerson W. Bawengan., Pengantar Psikologi Kriminil, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita), 1991,
hal. 7
21
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Bandung: Penerbit PT. Pembangunan Ghalia
Indonesia), 1982, hal. 25
22
Paul Mudikdo Moeliono, dikutip oleh Soedjono D., Penanggulangan Kejahatan, (Bandung:
Alumni), 1983, hal. 18
23
Made Darma Weda., Kriminologi, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada), 1996, hal. 11.
24
Ibid, hal. 11-12
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Kata kejahatan menurut pengertian sehari-hari adalah tingkah laku atau perbuatan
yang jahat yang tiap-tiap orang dapat merasakannya bahwa itu jahat, seperti
Dalam ilmu hukum pidana kejahatan dikenal dengan banyak istilah. Kejahatan
dikenal juga dengan istilah delik, peristiwa pidana, tindak pidana, criminal act dan lain-
lainnya.
Kejahatan ditinjau dari segi yuridis merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah
difinitif. Maksudnya telah ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan undang-
Hal ini berarti dalam pengertian yuridis yang termasuk kejahatan itu hanya
terbatas pada perbuatan-perbuatan baik itu yang bertentangan dengan moral kemanusiaan
maupun yang merugikan masyarakat yang telah dirumuskan secara tegas dalam
perundang-undangan saja. Dengan kata lain secara yuridis seseorang baru dapat
dikatakan telah melakukan kejahatan apabila perbuatan yang dilakukannya secara nyata
telah sesuai dengan KUHP, dan memenuhi unsur-unsur pasal tertentu yang mengatur
25
R. Soesilo (2), Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab Kejahatan), (Bogor: Penerbit
Politeia), 1985, hal. 11
26
Chainur Arrasyid (2), Pengantar Psikologi Kriminal, (Jakarta: Penerbit Yani Tri Pratiwi), 1996,
hal. 61
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Pengertian kejahatan ditinjau dari segi sosiologis ini sifatnya lebih luas daripada
pengertian kejahatan secara yuridis. Sebab tidak hanya menekankan pada adanya
pelanggaran hukum pidana yang berlaku, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor di luar
hukum dimana termasuk juga sebagai kejahatan segala tingkah laku manusia walaupun
tidak atau belum ditentukan dalam undang-undang. Tetapi pada hakekatnya warga
masyarakat merasa perbuatan atau tingkah laku tersebut secara ekonomis maupun
psikologis menyerang rasa aman dan merugikan masyarakat serta melukai perasaan sosial
Pengertian kejahatan ditinjau dari segi sosiologis dapat pula diartikan pengertian
Kejahatan yang merupakan gejala sosial dipandang dari segi sosiologis sangat
tergantung pada situasi dan kondisi dalam suatu masyarakat tertentu dimana perbuatan itu
telah terjadi, atau dengan kata lain pergeseran-pergeseran sosial budaya menimbulkan
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
27
Ibid, hal. 60
28
Ibid, hal. 61
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif
(yuridis normative), yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan
hukum primer.
3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan
4. Analisis Data
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini, akan diuraikan tentang latar belakang; permasalahan; tujuan dan
Pada bab ini akan diuraikan tentang sejarah pidana mati di Indonesia,
pandangan yuridis dan kriminologi terhadap pidana mati serta pro dan kontra
Pada bab ini akan diuraikan tentang pengaturan pidana mati baik yang diatur
dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP (ketentuan dalam RUU
Bab ini merupakan penutup dari rangkaian uraian yang berada di dalam
terkait.
BAB II
penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada
ditangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat
pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.
Selain itu, kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialaj apabila telah dijalankan,
maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas jenis pidananya
maupun perbaikan atas diri terpidananya, apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana
maupun kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan
Menyadari akan keberadaan pidana mati sebagai pidana yang mempunyai sifat
yang demikian, maka di Negeri Belanda sendiri (tempat asalnya KUHP) sejak tahun 1870
tidak lagi mengenal pidana mati, karena pidana mati telah dihapuskan dari WvS nya,
kecuali masih dipertahankan dalam hukum pidana militernya. Di Hindia Belanda (negara
jajahannya) pada saat diberlakukannya WvS voor Nederlandsch Indie (KUHP sekarang)
tanggal 1 Januari 1918 pidana mati dicantumkan didalamnya, dan setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya, melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pidana
mati tetap dipertahankan sampai kini, bahkan dalam Rancangan KUHP yang terbaru
(1992, yang dalam 1999/2000 telah direvisi) juga masih dikenal pidana mati, walaupun
tidak disebutkan sebagai salah satu jensi
24 pidana dalam kelompok pidana pokok,
melainkan dikategorikan sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat
alternatif.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Adapun dasar Pemerintah Hindia Belanda tetap mempertahankan pidana mati di
Sebetulnya Pembentuk UU pada saat itu telah menyadari akan sifat pidana mati
sebagaimana yang telah diutarakan tersebut di atas. Oleh karena itulah, maka walaupun
pidana mati dicantumkan dalam UU, namun harus dipandang sebagai tindakan darurat
atau noodrecht, tiada lain maksudnya adalah agar pidana mati hanya dijatuhkan pada
keadaan-keadan tertentu yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena
itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah pada
kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya juga sangat
terbatas, seperti :
29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Stelsel Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 2002, hal.30.
30
Ibid, hal.31.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Di samping itu, sesungguhnya Pembentuk KUHP sendiri telah memberikan suatu
isyarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah dijatuhkan, menggunakan upaya pidana
mati harus sangat hati-hati, tidak boleh gegabah. Isyarat itu adalah bahwa, bagi setiap
kejahatan yang diancam dengan pidana mati, selalu diancamkan juga pidana
alternatifnya, ialah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu
setinggi-tingginya 20 tahun. Misalnya: Pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4) dan
lain-lain.
Dengan disediakannya pidana alternatifnya, maka bagi hakim tidak selalu harus
menjatuhkan pidana mati bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati
tersebut. Berdasarkan kebebasan hakim maka ia bebas dalam memilih apakah akan
menjatuhkan pidana penjara seumur hidup ataupun penjara sementara waktu, begitu juga
mengenai berat ringannya apabila hakim memilih pidana penjara sementara, bergantung
dari banyak faktor yang dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi secara
konkrit.
mati yang diancamkan dalam rumusan kejahatan, dengan pertimbangan bahwa bagi
setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati tersebut, dapat saja terjadi dalam
keadaan-keadaan tertentu dan atau didorong oleh faktor-faktor tertentu yang bersifat
meringankan. Sehingga jika menurut rasa keadilan hakim tidak patut untuk dipidana
Pelaksanaan hukuman mati, dalam KUHP diatur dalam Pasal 11, yang berbunyi :
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali
yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan
Menurut R. Soesilo, pelaksanaan hukuman mati tersebut tidak lagi sesuai dengan
perkembangan dan jiwa negara Indonesia lagi. Lebih lanjut beliau mengemukakan :
Karena ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam Pasal
11 ini tidak sesuai dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka
dengan Penpres No.2/1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak
sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang menjatuhkan
putusan dalam tingkat pertama, dengan ketentuan-ketentuan antara lain sebagai
berikut :
1. Waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Polisi Komisariat
Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat dari
Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana mati itu.
2. Kepala Polisi Komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama
dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab, juga pembela/ pengacara
terhukum atas permintaannya sendiri atau permintaan terhukum, menghadiri
pelaksanaan pidana mati itu
3. Terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh Jaksa
Tinggi/Jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya saat pelaksanan, dan pada
terhukum diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu keterangan atau
pesanan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum adalah seorang wanita sedang
hamil maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan empat puluh hari setelah
anaknya dilahirkan.
4. Untuk pelaksanaan pidana mati itu Kepala Polisi Komisariat tersebut membentuk
sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobile, terdiri dari seorang
Bintara, dua belas orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang Perwira, untuk
tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya, dan
sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada dibawah perinta Jaksa
Tinggi/Jaksa.
5. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sederhana
mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
6. Dicatat disini, bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Militer juga dilakukan menurut Penpres No.2/1964 sebagaimana diutarakan
diatas, dengan ketentuan bahwa kata-kata Kepala Polisi Komisariat Daerah, jaksa
Tinggi/Jaksa, Brigade Mobile dan Polisi berturut-turut harus dibaca:
“Panglima/Komandan daerah Militer”, “Jaksa Tentara/Oditur Militer, dan
Militer”. 31
31
R. Soesilo (1), Loc.Cit., hal.37.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Pandangan Yuridis dan Kriminologi Terhadap Pidana Mati
Pandangan Yuridis
Yang penulis maksud pandangan yuridis terhadap pidana mati di sini adalah suatu
pandangan yang melihat pidana khususnya pidana mati berdasarkan teori absolut dari
aspek pembalasannya dan teori relatif dari aspek menakutkannya yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat.
Aspek Pembalasan
Menurut J.E. Sahetapy, bahwa dasarnya manusia memiliki perasaan pembalasan atau
kecenderungan untuk membalas. 32 Ditambahkan pula dalam hal ini oleh Sutjipto
Rahardjo, bahwa kecenderungan untuk membalas pada prinsipnya adalah suatu gejala
32
J.E., Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Penerbit
Alumni), 1979, hal. 72.
33
Sutjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Alumni),
1977, hal. 28.
34
J.E., Sahetapy, Op.Cit., hal. 153.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Kent pada pokoknya berpendapat bahwa barangsiapa yang melakukan kejahatan
Dengan demikian, maka tuntutan pembalasna menjadi suatu syarat yang etis. Hanya
keadilan, dan bukan tujuan-tujuan lain yang dapat membenarkan dijatuhkan pidana.
Dalam hubungan ini tidaklah penting tujuan apa yang hendak dicapai melalui
Aspek Menakutkan
Asal mulanya pidana sebetulnya bukan untuk pembalasan, tetapi semata-sama untuk menakuti si penjahat. Dengan adanya
pidana tersebut, diharapkan agar para penjahat menjadi jera. Atau menakut-nakuti mereka yang secara potensial dapat berbuat
jahat.
Menurut Oppenhimer orang yang mula pertama yang dianggap mempersoalkan aspek
menakutkan ini dari segi proses psikologis, adalah Samuel von Pufendorf. 36 Ancaman
orang untuk berbuat dosa, dengan demikian mereka akan patuh pada hukum. Lalu
Von Feuerbach lah yang menyusun permasalahan tersebut menjadi suatu teori yang
terkenal dalam adegan nullum delictum nulla poena sinepraevia lege poenali. Artinya
tiada tindak pidana dan tiada hukuman tanpa adanya suatu undang-undang (peraturan)
Jadi menurut beliau, dengan adanya suatu undang-undang (peraturan) pidana yang
mengatur tentang tindak pidana dan ancaman pidananya terlebih dulu. Di samping
35
Ibid., hal. 154.
36
Ibid., hal. 165.
37
Ibid.,
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
sampai berbuat sewenang-wenang juga sebagai sarana guna menakut-nakuti orang
Pandangan Kriminologi
pidana mati karena pada sarjana Kriminologi tidak berbicara dengan bahasa transedental,
mereka berbicara secara konkrit, oleh karena itu, pidana mati tidak dilihat sebagai suatu
merupakan suatu pengalaman yang paling mengharukan dan mencekam yang tak akan
bukan menjadi suatu persoalan moral teologis atau humanitas saja. Dan juga bukan suatu
alat kontrol sosial dalam prevensi kejahatan ataupun sebagai sarana menakutkan dilihat
kejahatan.
38
Ibid.,
39
Ibid., hal. 180.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu
1918, dalam Pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal
di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak
diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat yang
: 40
40
Syahruddin Husein, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, (Fakultas Hukum Bagian
Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, Medan), 2003, hal. 5-6.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
6. Para sarjana hukum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati.
Bismar Siregar yang menghendaki tetap dipertahankannya pidana mati dengan
maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan masih tersedia. Sebab
beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan,
pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau bukan pidana mati.
Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri,
masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata
tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak
mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.
Hartawi AM memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu
social defence. Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan
masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar
yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan
mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat
umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan bergama.
Bila pidana mati mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap
banyak jumlahnya. Yang dianggap sebagai pelopor dari gerakan anti pidana mati ini
adalah : 41
1. Beccaria dengan karangannya yang terkenal Dei Delitti E Delle Pene (1764).
Yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan
dengan cara yang amat buruk terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunuh
anaknya sendiri. Hakim menjatuhkan pidana mati. tapi Voltaire kemudian dapat
membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah sehingga namanya direhabilitasi.
Walaupun demikian ia telah mati tanpa salah, akibat pidana mati yang
diperkenankan pada waktu itu. Beccaria menunjukkan adanya pertentangan antara
pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin Contra Social. Karena
hidup adalah sesuatu yang tak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh
adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengijinkan untuk
pidana mati adalah immoral dan makanya tidak sah.
2. Van Bemmelen menyatakan bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah,
pemerintah mengakui ketidakmampuan dan kelemahnnya. Menurut Roling,
pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu bila negara tidak
menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang
melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang
pulalah hormat orang pada nyawa manusia. Disamping itu adalagi suatu bahaya,
yaitu bahwa perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu
penyusulan pula terhadapnya.
41
Ibid., hal. 6-8
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
3. Ernest Bowen Rowlands berpendapat bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki
kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak pernah
kehidupan dikembalikan pada yang dipidana mati.
4. Von Hentig menyatakan bahwa pengaruh yang kriminogen pidana mati itu
terutama sekali disebabkan karena telah memberikan suatu contoh yang jelek
dengan pidana mati tersebut. Sebenarnya negara yang berkewajiban
mempertahankan nyawa manusia dalam keadaan apapun. la menambahkan bahwa
dengan menahan seseorang dalam penjara, kita mengadakan suatu eksperimen
yang sangat berharga. Hal ini tak mungkin ditemukan pada pidana mati.
5. Is Cassutto menyatakan bahwa pada pidana mati ditemui kesukarankesukaran
yang serius, pertama-tama terbentur pada kemungkinan terjadinya kekhilafan
yang tak mungkin dapat diperbaiki.
6. Damstee menyatakan bahwa "saya tak merasa perlu pidana mati, saya tak percaya
kegunaannya, malah saya percaya keburukannya. Dan kalau pemerintah melalui
pembunuhan. maka ia merendahkan kewibawaannya terhadap rakyat pada siapa
dianjurkan janganlah engkau membunuh. Dengan membunuh ia membangunkan
naluri yang jahat. Suatu masyarakat yang mengagung-agungkan pidana mati
dikecam bahwa disini masih ada orang-orang biadab dan anggota-anggota
masyarakat itu tak akan meninggalkan sifat-sifat biadabnya."
7. leo Polak beranggapan bahwa pidana mati setelah dilaksanakan tidak membawa
nestapa yang harus diderita oleh penjahat karena ia sudah tidak ada lagi. Jadi
pidana mati sama bukan pidana, bahkan bukan juga suatu pidana yang ringan. leo
Polak berpendapat pidana mati itu tidak adil, pelaksanaan pidana mati itu
dianggap sebagai suatu dosa kekeliruan besar dalam penetapan pembalasan yang
adil.
8. Diantara sarjana hukum Indonesia yang menentang adanya pidana mati:
Roeslan, menurut beliau bagi kita penjara seumur hidup dan lain-lainnya pidana
yang merupakan perampasan dan pembatasan atas kemerdekaan dan harta
kekayaan seseorang sajalah yang dipandang sebagai pidana. Selanjutnya beliau
menyatakan bahwa karena orang semakin tahu betapa buruknya pidana mati itu,
sehingga bertrurut-turut banyak negara beradab yang menghapuskannya. Ing Dei
Tjo lam menyatakan bahwa tujuan pidana adalah memperbaiki individu yang
melakukan tindak pidana disamping melindungi masyarakat. Jadi nyata bahwa
dengan adanya pidana mati bertentangan dengan salah satu tujuan pidana yang
disebutkan tadi.
J.E Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana mati, walaupun terbatas
hanya mengenai pembunuhan berencana. Dalam desertasinya yang berjudul Suatu
Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,
beliau memberikan hipotesa :
1. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek
merupakan suatu ketentuan abolisi de facto
2. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya
selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga
grasi, kebebasan hakim dan "shame culture"
3. Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Masih dipertahankannya pidana mati di Indonesia didasarkan kepada alasan
pertama, bahwa pidana mati sebenarnya tujuan utamanya adalah untuk mengayomi
secara teoritis mengapa pidana mati tetap dipertahankan adalah untuk memberikan
saluran kepada masyarakat yang ingin “membalas dendam” melalui saluran perundang-
undangan. Sebab jika tidak diatur dalam perundang-undangan, masyarakat akan berbuat
Mengenai pidana mati jika dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) memang
menjadi masalah yang besar bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi para penegak
hukum. Di satu pihak mereka harus menegakkan keadilan dan dipihak lain dianggap
Indonesia.
harus dilihat dahulu sejauh mana konteks kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan,
merupakan pelanggaran HAM dan tidak dapat dianggap sebagai penghambat dalam
42
Edi Setiadi, Menyoal Hukuman Mati di Indonesia, Rubrik Opini harian Pikiran Rakyat, 7
Nopember 2007.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2. Pidana mati tetap diperlukan dengan melihat adanya kejahatan-kejahatan manusia
yang tidak dapat ditolerir lagi. Sebab bagaimanapun juga penegakkan suatu
BAB III
1. Kejahatan terhadap negara (Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3), 140 ayat (3) KUHP.
43
Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-tindakan Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan kedua,
(Jakarta: PT. Eresco), 1974, hal. 202-203.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
7) Mengacau waktu pemilihan umum
8) Menyembunyikan penjahat atau menghilangkan bukti kejahatan
9) Memberikan laporan palsu kepada pegawai pemerintah yang berwajib
10) Menyiarkan kabar bohong
11) Menjadi saksi dan sumpah palsu
12) Perkara perkumpulan rahasia. 44
Dari uraian Pasal 104 KUHP tersebut, ada 3 (tiga) macam tindak pidana, ialah:
1) Makar yang dilakukan dengan tujuan (oogmerk) untuk membunuh kepala negara
negara
3) Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan kepala negara, tidak
Jadi tindak pidana dari Pasal 111 KUHP berupa mengadakan perhubungan negara
44
Dali Mutiara, Tafsir KUHP, cetakan kelima, (Jakarta: Bintang Indonesia), hal. 36.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
1) akan membujuk supaya negara asing itu melakukan perbuatan permusuhan atau
3) akan menyanggupkan bantuan dalam hal ini kepada negara asing, atau
1) Barang siapa dalam masa perang dengan sengaja memberi bantuan kepada musuh
atau merugikan negara terhadap musuh, diancam dengan pidana penjara lima
belas tahun.
2) Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu atau
paling lama dua puluh tahun jika si pembuat:
1. memberitahukan atau memberikan kepada musuh peta, rencana, gambar, atau
penulisan mengenai bangunan-bangunan tentara;
2. menjadi mata-mata musuh, atau memberikan pondokan kepadanya.
3) Pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun dijatuhkan jika si pembuat:
1. memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau
merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat
perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan
Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalang-
halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya tentara
lainya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau
menyerang;
2. menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau
desersi dikalangan Angkatan Perang.
Dalam ayat (3) diberikan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup atau
merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
b. menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya
tentara lainya
1. Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau kepala
negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2. Jika mekar terhadap nyawa mengakibatkan kematian atau dilakukan dengan
rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua
puluh tahun.
3. Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu
mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
Adapun bunyi Pasal 340 KUHP mengancam dengan pidana yang sebelumnya
peristiwa itu terjadi atau sesudah ada niat itu, terdakwa dengan tenang telah
dengan direncanakan terlebih dahulu, misalnya, dengan berunding dengan orang lain
atau setelah memikirkan siasat-siasat yang akan dipakai untuk melaksanakan niat
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
jahatnya itu dengan sedalam-dalamnya terlebih dahulu, sebelum tindakan yang kecam
itu dimulainya.
3. Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dalam keadaan yang memberatkan sebagai
yang disebut dalam Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2) KUHP
Pasal 365 KUHP, ialah tentang pidana bagi pencurian berat, yang bunyi rumusannya
1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri
sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat
atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu atau pakaian jabatan
palsu.
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tuhun.
4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka
berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Dalam maksud kekerasan atau ancaman kekerasan di sini mempunyai dua arti, yaitu :
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
atau mengikatnya atau menodong mereka agar mereka diam saja dan tidak
Yang dimaksud dengan luka berat, yaitu seperti yang dirumuskan dalam Pasal 90
KUHP, yaitu :
1. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian;
3. kehilangan salah satu pancaindera;
4. mendapat cacat berat;
5. menderita sakit lumpuh;
6. terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
7. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Selanjutnya mengenai tindak pidana pemerasan seperti yang diatur dalam Pasal 368
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan.
2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Syarat utama kejahatan yang diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, ialah bahwa
keuntungan secara tidak sah untuk dirinya atau untuk orang lain, padahal dia tidak
berhak apa-apa untuk berbuat demikian. Kalau maksud si terdakwa untuk menarik
sesuatu keuntungan secara tidak sah ini tidak terbukti, maka perbuatan itu tidak dapat
disebut sebagai perampasan seperti yang dimaksud oleh Pasal 368 ayat (1) KUHP.
Pasal 368 ayat (1) KUHP menentukan, bahwa pemerasan itu dapat dipidana yang
lebih berat lagi, apabila si terdakwa dalam melakukan pemerasan itu juga disertai
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
dengan satu syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang dapat menambah berat
pidananya, seperti yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, atau masuknya terdakwa
memakai kunci palsu, surat perintah palsu, atau pakaian seragam palsu, atau apabila
pemerasan itu telah mengakibatkan orang lain mendapat luka berat atau mati.
4. Pembajakan di laut, di pantai, di pesisir dan di sungai yang dilakukan dalam keadaan
Pasal 438 KUHP, memuat suatu tindak pidana yang diklasifikasikan sebagai
pembajakan laut (zeeroof) dan dirumuskan sebagai dua macam perbuatan, yaitu :
a. masuk bekerja atau bekerja sebagai nakhoda pada suatu kapal dengan diketahui,
bahwa kapal itu ditujukan atau dipergunakan untuk di tenah laut melakukan
barang yang ada di kapal-kapal itu, tanpa untuk itu diberi kuasa oleh suatu negara
yang sedang berperang atau dengan tidak turut masuk angkatan laut dari suatu
b. masuk bekerja menjadi anak kapal pada suatu kapal dengan diketahui tujuan atau
penggunaan kapal itu seperti tersebut di atas, termasuk awak kapal itu.
Pidana tersebut menurut Pasal 444 KUHP dinaikkan menjadi pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh tahun, apabila perbuatan-
perbuatan kekerasan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diserang atau yang
Untuk lebih jelasnya perumusan bunyi Pasal 444 KUHP adalah sebagai berikut :
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 - 441 mengakibatkan
seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka nakoda.
komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan
kekerasan, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Dalam rancangan KUHP, masalah pidana mati tidak lagi dicantumkan sebagai pidana
Melainkan dikeluarkan dari pidana pokok dan hanya dicantumkan dalam pasal-pasal
tertentu. Keputusan ini diambil untuk mengakomodasi pro dan kontra terhadap pidana
mati. Itu sejalan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) ICCPR yang menyatakan, “Bagi
negara yang belum menghapus ketentuan hukuman mati, putusan tersebut berlaku
hanya pada kejahatan yang termasuk kategori serius sesuai dengan hukum yang
berlaku saat itu dan tidak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on
Dalam konsep Rancangan KUHP terdapat beberapa macam tindak pidana yang
2. Pasal 167 tentang makar untuk membunuh presiden dan wakil presiden
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
3. Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh.
Pidana mati yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diberikan
Di dalam UU Psikotropika, pidana mati diatur dalam Pasal 59, yang berbunyi :
1) Barangsiapa :
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
; atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ke-tentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
d. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika
golongan I.dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun,
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak
Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda
sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
banyak (Pasal 6), bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 12 ayat 3).
Pidana mati yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diberikan
Di dalam UU Narkotika, pidana mati diatur dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 82
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap siapa saja yang
pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau pidana denda
Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap usaha-usaha
pidana alternatifnya pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap usaha-usaha
pidana alternatifnya pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap tindak pidana
alternatifnya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).
Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap siapa saja
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau
seumur hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak
Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap usaha-usaha
Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap usaha-usaha untuk
menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
4. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001)
Tahun 971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu
rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana
korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada
Pasal 2, berbunyi :
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang
dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu
apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan
Pasal 15
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan
pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidananya.
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
yang bersifat tradisional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer
keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah
ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
26/2000) telah dikeluarkan pada bulan November 2000, untuk menghukum orang
paksa atau pemindahan penduduk; hukuman penjara atau perampasan kebebasan fisik
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
dan apartheid. Amnesty International khawatir bahwa beberapa prosedur di bawah
memihak dalam proses pengadilan. Sampai saat ini, tidak ada pidana mati yang
Dalam UU tentang Pengadilan HAM, yang mengatur tentang pidana mati adalah
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain.
dimaksud dengan “anggota kelompok” adalah seorang atau lebih anggota kelompok.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil,berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
h. pengamayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara Paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
Yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil
organisasi.
Huruf d, yang dimaksud dengan “pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
“ adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa
Huruf f, yang dimaksud dengan “penyiksaan” dalam ketentuan ini adalah dengan
sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat,
baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di
bawah pengawasan.
dukungan atau persetujuan dan negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh
memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud
untuk melepaskan dan perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
manusiawi dengan sifat yang sarna dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam Pasal 8
yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan
dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok
ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal
39, dan Pasal 40.
Yang dimaksud dengan “permufakatan jahat” adalah apabila 2 (dua) orang atau lebih
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Undang-undang tentang Pemberantasan Kejahatan Terorisme (Undang-undang No.
pemboman di Bali pada bulan Oktober 2002, di mana 202 orang tewas.
Pasal-Pasal yang mengatur tentang pidana mati dalam UU No. 15 Tahun 2003 adalah
sebagai berikut :
Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun.
tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke
dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau
barang
Pasal 8
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
1) menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan
bangunan tersebut;
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2) menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan
tersebut;
3) dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau
memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau
menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat
yang keliru;
4) karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan
hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau
alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;
5) dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
6) dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat
tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
7) karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat
dipakai, atau rusak;
8) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan,
kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat
udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan
muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya,
ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;
9) dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;
10) dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman
dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau
menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
11) melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan
dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang,
mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan
penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;
12) dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap
seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat
membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;
13) dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau
menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak
dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
14) dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan
ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat
atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak
dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat
membahayakan keamanan dalam penerbangan;
15) melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari
permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;
16) memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu
membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;
17) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan
keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;
18) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu
ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.
Pasal 9
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam
miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau
mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu
bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk
melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
Yang dimaksud dengan "bahan yang berbahaya lainnya" adalah termasuk gas beracun
Pasal 10
Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga
menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas,
menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan,
terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi
kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup,
fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Pasal 14
Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan
tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Yang dimaksud dengan merencanakan termasuk mempersiapkan baik secara fisik,
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama
sebagai pelaku tindak pidananya.
Yang dimaksud dengan "bantuan" adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
BAB IV
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
IMPLEMENTASI PIDANA MATI DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
akan menganalisa salah satu putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Lubuk
Pakam No. 514/Pid.B/1997/PN-LP atas nama terdakwa Tumini, Lahir di Percut Sei Tuan,
umur 39 Tahun, Jenis Kelamin perempuan, Bangsa Indonesia, tempat tinggal di Dusun I
Aman Damai Desa Sei Semayang No. 260, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang, Agama
Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga. Analisa kasus tersebut akan dijelaskan secara rinci
dibawah ini :
A. Kasus
Kasus Posisi :
Bahwa ia terdakwa Tumini secara bersama-sama dengan saksi Ahmad Suraji alias Nasib
sendiri-sendiri pada suatu waktu dalam bulan Mei 1995 atau setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam tahun 1995; pada hari Rabu tanggal 23 April 1977 atau setidak-tidaknya
dalam bulan April 1997 setidak-tidaknya dalam tahun 1997; atau setidak-tidaknya pada
waktu-waktu lain dalam tahun 1986 sampai dengan tahun 1997, diperkebunan tebu Sei
Semayang Desa Sei Semayang, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang atau setidak-tidaknya
ditempat-tempat lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan negeri Lubuk
Pakam, telah melakukan atau turut melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008. 60
USU Repository © 2009
kejahatan yang diancam dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu
Dakwaan :
1. Primer : diancam pidana dalam Pasal 340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP, ATAU
(Alternatif) diancam pidana dalam Pasal 340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 64 (1) KUHP,
2. Subsidair : diancam pidana dalam Pasal 340 jo. 56 ke-1, ke-2 jo. 65 KUHP, ATAU
(Alternatif) diancam pidana dalam Pasal 340 jo. 56 ke-1, ke-2 jo. 64 (1) KUHP
3. Lebih Subsidair : diancam pidana dalam Pasal 338 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP,
ATAU (Alternatif) diancam pidana dalam Pasal 338 jo. 55 (1) ke-1 jo. 64 (1) KUHP;
4. Lebih Subsidair Lagi : diancam pidana dalam Pasal 338 jo. 56 (1) ke-1, ke-2 jo. 65
KUHP, ATAU (Alternatif) diancam pidana dalam Pasal 338 jo. 56 ke-1, ke-2 jo. 64
(1) KUHP
yang diajukan pda tanggal 24 Maret 1998, yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut
memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa Tumini, terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
terlebih dahulu secara berlanjut” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
1) 2 (dua) potong kemeja masing-masing warna abu-abu dan kaos warna biru liris
putih
3) Dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak, yaitu Ahli waris dari korban Sri
4) 1 (satu) buah jam tangan merk Mode Annaset Lap Resset, dikembalikan kepada
10) 1 (satu) buah guci/keramik berisi pakaian dalam wanita, tanah dan kerangka
dibuat oleh Dr. Guntur Bumi Nasution, DSF, Kedokteran Kehakiman RSU H.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
12) Surat yang diterima tanggal 10 Maret 1998, yang berisi daftar nama-nama 42
(empat puluh dua) wanita yang berobat dan yang dibuat sendiri oleh terdakwa
5. Menetapkan agar terdakwa jika ternyata dipersalahkan dan dijatuhi pidana supaya ia
dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.7.500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah).
Hukumnya yang pada pokoknya berpendapat dan berkesimpulan bahwa terdakwa Tumini
tidak cukup bukti untuk dipersalahkan dalam perkara ini, sehingga dengan demikian
1) Bahwa pada suatu waktu dalam bulan Mei 1995 atau setidak-tidaknya dalam
tahun 1995 sekira pukul 18.30 WIB, korban Supiah datang kerumah terdakwa
Tumini di Desa Sei Semayang Kec. Sunggal – Kab. Deli Serdang, memenuhi
terdakwa Tumini dan saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk yang berpraktek
sebagai dukun ;
2) Bahwa Supiah meminta kepada saksi saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
3) Bahwa setelah persyaratan yang diminta oleh saksi Ahmad Suraji als. Nasib als.
Datuk yaitu membawa kembang telon, kemenyan putih, kemenyan Arab dan
sepasang jeruk purut serta bersedia diikat, dikubur setengah badan dilakukan pada
malam hari di tempat yang sunyi, maka saksi saksi Ahmad Suraji als. Nasib als.
Datuk mengatakan kepada korban Supiah supaya datang beberapa hari lagi ;
4) Bahwa beberapa hari kemudian, pada suatu waktu dalam bulan Mei 1995 atau
Tumini di Desa Sei Semayang, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang, kemudian
1(satu) cangkul untuk dipergunakan menggali dan menutup lobang tanah, seutas
tali untuk mengikat tangan dan kaki korban Supiah, 1(satu) karung plastik untuk
tempat pakaian dan perhiasan korban Supiah, 1(satu) buah senter untuk
dinyalakan pada saat saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk menggali lobang
tanah ;
6) Bahwa setelah diperkebunan tebu Sei Semayang di Desa Sei Semayang, Kec.
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk
menggali lobang tanah dengan cangkul dan menyuruh korban Supiah memegang
dan menyalakan senter kearah lobang tanah yang digali saksi Ahmad Suraji als.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
7) Sedangkan terdakwa Tumini berada dengan jarak lebih kurang 5 meter dari
lobang tanah yang digali oleh saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk untuk
menjaga agar korban Supiah tidak melarikan diri dan untuk melihat apakah ada
8) Bahwa setelah saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk selesai menggali lobang
tersebut, saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk menyuruh korban Supiah
masuk kedalam lobang tanah, kemudian korban masuk kedalam lobang tanah
tersebut dengan keadaan posisi berdiri yang kemudian saksi Ahmad Suraji als.
Nasib als. Datuk mengikat kedua tangan dan kedua kaki korban Supiah dengan
tali ;
9) Bahwa saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk menimbun lobang tanah tersebut
dengan tanah sehingga korban Supiah tertimbun dari kaki sampai sebatas dada
dalam posisi berdiri dengan kedua kaki dan kedua tangan dalam keadaan terikat ;
10) Setelah korban Supiah ditimbun dengan tanah, maka saksi Ahmad Suraji als.
Nasib als. Datuk dengan posisi jongkok berada dekat kepala korban Supiah diatas
pahanya dan setelah itu dengan tangan kirinya saksi Ahmad Suraji als. Nasib als.
Datuk menutup mulut dan hidup korban Supiah sedangkan tangan kanannya
Supiah sempat menjerit dan tak lama kemudian meninggal dunia sedangkan
terdakwa Tumini masih berada + 5 meter dari tempat tersebut untuk melihat dan
11) Saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk mengatakan kepada terdakwa Tumini
Supiah dan menghisap air liur korban Supiah, hal ini dimaksudkannya antara lain
untuk meningkatkan ilmu perdukunan saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk ;
13) Selanjutnya saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk mengorek kembali lobang
tanah yang telah ditimbun tersebut lalu mengangkat mayat Supiah dari lobang
14) Saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk membuka tali yang mengikat kedua kaki
dan kedua tangan mayat Supiah lalu membuka seluruh pakaian korban Supiah
Suraji als. Nasib als. Datuk kedalam karung plastik yang telah disediakan oleh
terdakwa Tumini dan kemudian menimbun mayat Supiah kedalam lobang tanah
tersebut ;
15) Saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk pulang kerumah dengan berjalan kaki
dan sesampainya dirumah, saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk bertemu
Bahwa saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk dan terdakwa Tumini telah
melakukan dengan cara yang sama terhadap korban Sri Kumala Dewi als. Dewi yang
dilakukan pada hari Rabu tanggal 23 April 1997 pukul 19.30 WIB atau setidak-
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
b. Dalam Pokok Perkara
Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut dengan dakwaan yang
melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 (1) ke-1 jo Pasal 65 KUHP, yang unsur-unsurnya
1. Dengan sengaja
55 (1) Ke-1 KUHP, yang berbunyi dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa
pidana :
tersebut sehingga Majelis berkesimpulan terdakwa telah terbukti secara sah dan
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
1. Perbuatan terdakwa diluar batas perikemanusiaan, karena begitu tega ikut serta
2. Bahwa perbuatan terdakwa menimbulkan dampak negatif yang luas dan sangat
Amar Putusan :
1. Menyatakan terdakwa nama Tumini terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
sendiri”.
1) 2 (dua) potong kemeja masing-masing warna abu-abu dan kaos warna biru liris
putih
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak, yaitu Ahli waris dari korban Sri
3) 1 (satu) buah jam tangan merk Mode Annaset Lap Resset, dikembalikan kepada
9) 1 (satu) buah guci/keramik berisi pakaian dalam wanita, tanah dan kerangka
dibuat oleh Dr. Guntur Bumi Nasution, DSF, Kedokteran Kehakiman RSU H.
11) Surat yang diterima tanggal 10 Maret 1998, yang berisi daftar nama-nama 42
(empat puluh dua) wanita yang berobat dan yang dibuat sendiri oleh terdakwa
5. Menetapkan biaya perkara sebesar RP.7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)
B. Analisis Kasus
pidana. Disamping itu harus ada seorang pembuat yang bertanggung jawab atas
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
perbuatannya, yaitu unsur kesalahan dalam arti kata bertanggungjawab (strafbaarheid
adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Menurut Vos pengertian kesalahan
menyatakan terdakwa Tumini bersalah melanggar Pasal 340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP.
Untuk mengetahui apakah Tumini secara sah dan menyakinkan telah melanggar Pasal
340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP maka harus terlebih dahulu diketahui apakah semua
unsur dalam Pasal 340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP telah terpenuhi atau tidak.
1. Dengan sengaja
Bahwa pengertian sengaja menurut Pasal 340 KUHP adalah perbuatan tersebut
45
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta), 1993, hal. 155
46
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
di Indonesia, (Bandung: CV Utomo), 2004, hal. 34.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
ini dapat dilihat dari motif dilakukan pembunuhan tersebut dan apa yang menjadi
sorang dukun, dan untuk melengkapi ilmu perdukunannya, harus menghisap air liur
dengan dalih suaminya dapat memberikan pemanis, pelaris, menggandakan uang. Hal
mendatangi saksi-saksi untuk datang berobat kepada suaminya (Ahmad Suraji als.
Bahwa karena penjelasan terdakwa itu, saksi-saksi tersebut terpengaruh dan datang
berobat pada suami terdakwa dengan membawa persyaratan yang telah ditentukan.
Oleh karena saksi-saksi tersebut datang untuk berobat pada suami terdakwa, maka
Bahwa dari uraian-uraian tersebut diatas, unsur dengan sengaja telah terbukti.
dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang
air liur wanita-wanita, untuk mencapai tujuan itu terdakwa mencari dan
mempengaruhi wanita-wanita tersebut, dalam hal ini jelas terlihat adanya suatu
Tempoh ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu
lama, yang penting didalam tempoj itu sipembuat dengan tenang masih dapat
Bahwa rencana yang matang itu telah terlihat dari perbuatan terdakwa dimana
terdakwa telah mengetahui bahwa korban Supiah dan Sri Kumla Dewi akan dibawa
dari rumah terdakwa ke kebun tebu Sei Semayang dengan dalih untuk disyarati, dan
3) jerigen berisi air digunakan untuk tempat air minum terdakwa dan suaminya;
4) tikar pandan untuk tempat duduk-duduk korban dan terdakwa pada saat Ahmad
5) goni plastik warna putih untuk tempat pakaian dan barnag-barang korban;
Bahwa dari uraian tersebut diatas, jelaslah jarak waktu sejak mencari wanita-
demikian juga yang dialami Supiah, terdakwa telah mempunyai tenggang waktu
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
yang cukup dan mempunyai pikiran yang tenang untuk mengurungkan
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka unsur telah direncanakan terlebih dahulu
telah dipenuhi.
Bahwa sesuai dengan fakta yang ada yaitu pada tanggal 27 April 1997 telah
ditemukan sesosok mayat wanita dalam keadaan telanjang di Perkebunan Tebu Sei
Bahwa berdasarkan Visum Et Repertum yang dilakukan oleh dokter ahli forensik
RSU H. Adam Malik Medan, penyebab kematian dari pada mayat tersebut adalah
dihubungkan dengan adanya alat-alat bukti berupa pakaian, dompet yang ditemukan
didalam lemari pakaian dirumah terdakwa serta jam tangan wanita juga dijumpai
ditanam pada kotoran kambing dibawah kandang kambing milik terdakwa yang mana
hal ini diakui oleh keluarga Sri Kumala Dewi ketika Sri Kumala Dewi pergi dari
rumahnya, maka telah terbukti adanya orang/manusia yang meninggal yaitu Sri
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Berdasarkan uraian di atas, maka unsur menghilangkan jiwa orang lain telah
terpenuhi.
Selanjutnya mengenai peranan terdakwa dalam Pasal 55 (1) Ke-1 KUHP, maka
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala analisr atau
Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh dan yang disuruh. Jadi bukan orang
itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain,
meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri
yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh itu
harus hanya merupakan suatu alat saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena
Turut melakukan dalam arti kata bersma-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada
dua orang, ialah orang yang melakukan dan orang yang turut melakukan peristiwa
pidana itu. Disini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan
pelaksanaan. Jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak
boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang
sifatnya hanya menolong sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak
masuk turut melakukan akan tetapi dihukum sebagai membantu melakukan tersebut
terdakwa mencari wanita yang mau berobat kepada suaminya sampai dengan
menyimpan barang bukti milik korban adalah suatu kerja sma (rangkaian) perbuatan
membunuh, tetapi terdakwa dalam hal ini telah dapat dikatakan sebagai turut serta
melakukan peristiwa pidana, karena perbuatan atau pembunuhan itu tidak mungkin
dapat dilakukan sendiri oleh suami terdakwa, misalnya amat sulit membawa seorang
wanita pada malam hari keperkebunan tebu, apalagi yang pada waktu itu tebu
berumur 5 – 6 bulan.
Bahwa dari rangkaian perbuatan terdakwa tersebut diatas, Majelis berpendapat dan
KUHP.
Bahwa Pasal 65 KUHP mempunyai pengertian sebagai berikut : “dalam hal gabungan
berdiri sendiri dan merupakan beberapa kejahatan yang atasnya ditentukan hukuman
Bahwa sesuai dengan uraian sebagai tersebut diatas bahwa perbuatan yang dilakukan
terdakwa telah terbukti, dimana terdakwa ikut serta dalam pembunuhan terhadap
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Bahwa pembunuhan yang dilakukan terhadap korban Supiah sekitar tahun 1995 dan
pembunuhan terhadap korban Sri Kumala Dewi dilakukan pada tanggal 23 April
gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri dan diancam
dengan hukuman utama sejenis dan oleh karenanya terdakwa telah memenuhi
Primair telah terbukti dilakukan terdakwa, maka keputusan Majelis Hakim yang
yang berlaku, yang dalam hal ketentuan KUH Pidana dalam Pasal 340 jo. 55 (1) Ke-1
Jika ditinjau dari sudut pandangan Hak Asasi Manusia (HAM), putusan yang
dikeluarkan oleh Majelis Hakim dianggap tidak manusiawi. Menurut penulis dari satu sisi
melihat hukuman mati yang diberikan kepada terdakwa Tumini adalah putusan yang
kejam, tidak manusiawi, dan sadis, namun di sisi lain sebagai bagian dari tujuan
pemidanaan, putusan tersebut dianggap tepat dengan tujuan untuk memberi efek takut
bagi masyarakat lain untuk melakukan tindakan yang sama dan untuk memenuhi rasa
Penulis kurang sependapat dengan Putusan Majelis Hakim dikaitkan dengan Hak
1. Putusan tersebut dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum
rimba.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2. Putusan tersebut tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah
3. Eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di kemudian hari
manusia adalah milik pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain.
Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung
harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga
mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih
hukum positif akhir-akhir ini, bahwa pemidanaan lebih berorientasi untuk mendidik dan
memperbaiki si terhukum. Tetapi, bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain
Apalagi, orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang
membunuhnya.
Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan
orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati.
Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi
pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum,
maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.
tidak meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam,
putusan tersebut ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan
ketimbang berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak
korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia
seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban,
meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.
BAB V
A. Kesimpulan
pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum
dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi
yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan
dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia
a) Pasal 104 tentang usaha dengan sengaja menghilangkan nyawa Presiden atau
b) Pasal 111 tentang kolusi dengan kekuatan asing yang mengakibatkan perang ;
c) Pasal 123 tentang masuk pelayanan militer di sebuah negara yang perang
dengan Indonesia;
saat perang);
f) Pasal 140 tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara dari negara
sahabat);
Terorisme.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
3. Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di Indonesia dapat
atas, dimana Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan putusan pidana mati
terhadap Tumini yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan
pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 55 ayat (1)
B. Saran
1. Tindak pidana pembunuhan terjadi dikarenakan adanya dorongan dalam diri pelaku
yang disebabkan karena kurangnya pendidikan pelaku baik dari pendidikan formal
mmberikan pendidikan kepada masyarakat melalui instansi resmi ataupun tidak resmi
setiap peristiwa pidana yang berada disekitarnya. Hal ini membentu aparatur negara
3. Dalam memberikan pidana mati, hendaknya kepada Hakim yang memeriksa dan
dituduhkan kepada terdakwa sehingga dalam membuat putusan secara adil baik
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arrasjid, Chainur, Sepintas Lintas Tentang Kriminil, Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999.
--------------, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta: Penerbit Yani Tri Pratiwi, 1996.
Darma, Made Weda., Kriminologi, Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP 2005, Position
Paper Advokasi RUU Seri #3, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
ELSAM, 2005.
Husein, Syahruddin, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum
Bagian Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, 2003.
Mutiara, Dali, Tafsir KUHP, cetakan kelima, Penerbit dan toko buku Bintang Indonesia,
Jakarta.
Rahardjo, Sutjipto, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Penerbit Alumni Bandung,
1977.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
---------------, Hukum Pidana Jilid IA, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UNDIP,
Semarang, 1971.
http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=8003&Itemi=
59, Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia Selasa, 29 Agustus 2006.
Setiadi, Edi, Menyoal Hukuman Mati di Indonesia, Rubrik Opini harian Pikiran Rakyat, 7
Nopember 2007.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009