Anda di halaman 1dari 87

IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

SKRIPSI
-

Oleh :

JACKY O. SITUMORANG
NIM : 020200156
HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

SKRIPSI
-

Oleh :

JACKY O. SITUMORANG
NIM : 020200156
HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair, SH, M.Hum)


NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Hj. Nurmalawati, SH. M.Hum) (Rafiqah Lubis, SH, M.Hum)


NIP. 130 809 560 NIP. 132 300 076

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
ABSTRAKSI

Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak
manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu
kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan
keefektifannya.
Dalam Pasal 340 KUHP, mengatur tentang barang siapa dengan sengaja
direncanakan dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementera selama-lamanya dua puluh tahun.
Yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah mengapa pidana mati
masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, bagaimanakah
perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia dan
bagaimanakah implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di
Indonesia.
Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam
upaya menganalisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati masih digunakan dalam
kebijakan penanggulangan kejahatan karena pidana mati adalah suatu pertahanan sosial
untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman
kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau
akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat
umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan beragama. Pengaturan pidana mati
dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia, yaitu kejahatan-kejahatan dalam KUH
Pidana (Pasal 104, Pasal 111, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 127, Pasal 140, Pasal 340, Pasal
365, dan Pasal 444) serta ketentuan yang diatur di luar KUH Pidana yaitu dalam
Rancangan KUHP, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-
undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Kejahatan Terorisme. Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di
Indonesia dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.
514/Pid.B/1997/PN-LP atas, dimana Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan
putusan pidana mati terhadap Tumini yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan
melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 55
ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 KUHP.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... iv

ABSTRAKSI ................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Permasalahan ................................................................................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 5

D. Keaslian Penulisan ........................................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 6

F. Metode Penelitian ............................................................................ 20

G. Sistematika Penulisan....................................................................... 21

BAB II PIDANA MATI DALAM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN


KEJAHATAN ................................................................................ 24

A. Sejarah Pidana Mati di Indonesia ..................................................... 24

B. Pandangan yuridis dan Kriminologi Terhadap Pidana Mati .............. 28

C. Pro dan Kontra Penerapan Pidana Mati ............................................ 31

BAB III PIDANA MATI DALAM BERBAGAI KETENTUAN


PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ............................ 36

A. Pidana Mati Dalam KUHP ............................................................... 36

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
B. Pidana Mati Diluar KUHP ............................................................... 43

BAB IV IMPLEMENTASI PIDANA MATI DALAM TINDAK


PIDANA PEMBUNUHAN ............................................................ 60

A. Kasus ............................................................................................... 60

B. Analisis Kasus ................................................................................. 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 79

A. Kesimpulan ...................................................................................... 79

B. Saran................................................................................................ 80

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

mencurahkan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi

syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah :

“IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP


TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

Sebagai seorang hamba Tuhan, penulis sadar benar bahwa skripsi ini masih jauh

dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki,

sedikitnya pengalaman dan literatur-literatur yang belum menunjang judul yang penulis

majukan dalam skripsi ini.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik

yang konstruktif guna lebih terciptanya suasana untuk mendekati kesempurnaan didalam

skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung telah membantu

penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya

kepada :

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Hj. Nurmalawati, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan

saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Rafiqah Lubis, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang

telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan melalui

ilmu pengetahuan yang diajarkan.

Dalam menempuh perjalanan hidup yang penuh perjuangan, penulis ingin

mengaturkan terima kasih yang tak terhingga pada :

1. Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang,

pengorbanan yang tak terhingga baik dimasa perkuliahan sampai selesai.

2. Saudara-saudaraku yang tercinta, serta seluruh keluarga besarku yang telah

memberikan segala perhatian dan dorongan semangat serta ketulusan kasih

sayang yang begitu dalam kepada penulis.

3. Rekan-rekan seangkatan Stb’02 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Medan.

Teruslah berjuang dan berkarya, semoga persahabatan kita akan tetap dan abadi.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana di

Indonesia adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi

perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum

dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan ada

gerakan abolisionis yang menentang hukuman mati. 1

Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak

manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu

kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan

keefektifannya.

Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan banyak para pakar hukum

dan HAM, termasuk di Indonesia, menolak hukuman mati.

1. dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum rimba.


2. tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah seseorang
untuk melakukan pembunuhan.
3. eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di kemudian hari
ternyata tidak memiliki dasar yang kuat.
4. berlawanan dengan kebebasan orang (pribadi), karena hidup manusia adalah milik
pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain. 2

Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung

unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan, hukuman-hukuman lain pun


1
http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=8003&Itemi= 59,
Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia, Selasa, 29 Agustus 2006.
2
Ibid.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga

mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih

hukuman mati ketimbang menderita seumur hidup di dalam penjara.

Tujuan hukuman, sebagaimana kecenderungan pemikiran hukum positif akhir-

akhir ini, lebih berorientasi untuk mendidik dan memperbaiki si terhukum. Tetapi, bagi

orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi

mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya. Apalagi, orang yang terbunuh juga

memiliki hak hidup sebagaimana orang yang membunuhnya.

Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan

orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati.

Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan

nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).

Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya berlaku juga bagi hukuman-

hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara,

kemudian setelah menjalani hukuman tersebut ternyata ditemukan bukti-bukti baru yang

menunjukkan kesalahan pada putusan hakim, maka putusan itu dapat diubah ? Yang

jelas, jika ketelitian dan keadilan dapat dijalankan, maka adanya kesalahan dalam

menetapkan putusan hukuman mati kemungkinannya akan sangat kecil. Tentunya,

pelaksanaan hukuman mati setelah melalui proses pemeriksaan dan pembuktian yang

sangat ketat dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat memberikan keyakinan

kepada hakim.

Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi

pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum,

maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.

Di sinilah, sistem hukum Indonesia hendaknya tidak meninggalkan sama sekali

teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum di Indonesia ternyata lebih

banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang berorientasi kepada

kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak korban dan keluarganya.

Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi

kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski tidak harus

mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.

Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan

dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum

pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini

nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan

pidana mati.

Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan

baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan

dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai

permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan adanya pengungkapan fakta dan

data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada

masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata

merupakan harapan hampa belaka. 3

Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan

pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap

kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu

bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai

obat yang paling mujarab untuk kejahatan.

Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya,

juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana

mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan

pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah

lama dicita-citakan.

Tertarik akan adanya fakta-fakta dari usaha yang diungkapkan diatas, maka

motivasi tersebut yang mendorong penulis untuk membuat skripsi (tulisan/ karya ilmiah)

dengan menampilkan judul sebagai berikut : “Implementasi Pidana Mati Terhadap

Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan No.514/Pid.B/1997/PN-LP)”

B. Permasalahan

1. Mengapa pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan

kejahatan ?

3
http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/, Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati
(Death Penalty) Dan Relevansinya Dengan Perdebatan Hukum Di Indonesia
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2. Bagaimanakah perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di

Indonesia ?

3. Bagaimanakah implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang mengapa pidana mati masih digunakan dalam

kebijakan penanggulangan kejahatan.

2. Untuk menguraikan tentang perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan

pidana di Indonesia.

3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pidana mati terhadap tindak pidana

pembunuhan.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam

rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum Pidana

dan khususnya mengenai implementasi hukuman mati dalam tindak pidana

pembunuhan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada

pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai

upaya mengantisipasi diberikannya pidana mati dalam tindak pidana pembunuhan

di Indonesia.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum seperti

Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim dan pihak-pihak lainnya dalam mengantisipasi

diberikannya pidana mati dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian baik di perpustakan skripsi yang

berjudul Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Study

Kasus Putusan No.514/Pid.B/1997/PN-LP) ini memang sudah ada yang meneliti atau

membahas dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-bahan diskusi,

seminar dan lokakarya, namun dengan pokok permasalahan yang berbeda. Oleh karena

itu maka dapat dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.

Apabila ditemukan ada skripsi yang berjudul dengan permasalahan yang sama,

maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

Pengertian pemidanaan dan jenis-jenis pidana

Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan

hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman. 4

4
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana
Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1983, hal. 13.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan

seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda hukum

yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau

kebebasan.

Menurut Sudarto,

“Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang
dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa ‘cap’ oleh masyarakat, bahwa ia
pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut ‘stigma’. Jadi orang
tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana
seumur hidup. 5

Pemberian pidana dalam arti umum merupakan bidang dari pembentuk undang-

undang karena asas legalitas, yang berasal dari zaman Aungklarung, yang singkatnya

berbunyi : nullum crimen, nulla poena, sine preavia lege (penali). Jadi untuk

mengenakan poena atau pidana diperlukan undang-undang (pidana) terlebih dahulu.

Pembentuk undang-undanglah yang menetapkan peraturan tentang pidananya, tidak

hanya tentang crimen atau delictum-nya, ialah tentang perbuatan mana yang dapat

dikenakan pidana.

Menurut R. Soesilo, yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak

enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah

melanggar undang-undang hukum pidana. 6

Menurut Chainur Arrasjid, hukuman (sanksi) artinya berupa penderitaan atau

nestapa yang dijatuhkan pada setiap pelaku kejahatan yang telah melanggar norma-norma

atau kaedah-kaedah yang berlaku dilingkungan suatu masyarakat. 7

5
Sudarto (1), Masalah-Masalah Hukum Nomor 11/1973, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum
UNDIP Semarang, hal. 22-23.
6
R. Soesilo (1), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea), 1994, hal. 35.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Sanksi secara umum dibagi atas 2, yaitu :

1. Sanksi pidana

2. Sanksi di luar pidana

Ad.1. Sanksi Pidana

Sanksi Pidana, khususnya Indonesia, pembicaraannya harus meliputi KUHP dan

perundang-undangan lainnya yang terdapat diluar KUHP. Di sini harus jelas perbuatan-

perbuatan apa yang telah melanggar ketentuan hukum pidana, serta dapat dikenakan

sanksi pidana dan bentuk hukuman apa yang akan dapat dijatuhkan bagi sipelanggar.

Atau dengan kata lain harus ada mesti ada perbuatan yang diancam oleh hukum pidana,

serta reaksi apa yang dapat dikenakan kepadanya.

Mengenai reaksi-reaksi atau sanksi pidana, di dalam Pasal 10 KUHP dapat berupa

a. Pidana pokok, terdiri dari :


1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
b. Pidana tambahan, terdiri dari :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.

Mengenai sanksi pidana ini, haruslah berpegang pada Pasal 1 ayat 1 KUHP (yang

pertama kali diperkenalkan olah Anselm Von Feuerbach yang disebut dengan “azas

nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali”), yang berbunyi :

7
Chainur Arrasjid (1), Sepintas Lintas Tentang Kriminil, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum USU), 1999, hal. 44
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana dan/atau dikenakan tindakan, kecuali

berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada

sebelumnya”.

Ad.2. Sanksi di luar pidana

Sanksi di luar pidana pada sifatnya sama dengan sanksi pidana. Persamaannya

terletak ada adanya sifat yang sama, yakni mempunyai latar belakang yang berada pada

tata nilai di dalam lingkungan masyarakat tertentu. Tata nilai itu selalu mengalami

perobahan; ada yang bersifat lokal, regional dan dapat juga yang bersifat universal atau

global.

Perubahan tata nilai tersebut sangat dikaitkan dengan perobahan sosial dari suatu

masyarakat disebabkan faktor-faktor tertentu dan dapat saja membuka kemungkinan tata

nilainya berobah dan hal ini mempunyai pengaruh terhadap hukum yang berlaku. Jadi

disini terlihat adanya keterkaitan antara hukum dan perobahan sosial.

Sanksi di luar pidana, misalnya hukum adat yang masih dibenarkan dan

diperlakukan, serta kebiasaan-kebiasaan disebabkan perobahan tata nilai lainnya yang

sering diperlakukan oleh kalangan masyarakat.

Syarat-syarat pemidanaan

Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh Von Feuerbach, bahwa pada

hakikatnya ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
itu tertib, 8 berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi

terpidana. Oleh karena itu, dtentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan baik

yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku.

Pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas

kesalahan. Asas legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang

pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki

ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan

menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat

dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal ini Sudarto mengemukakan,

“Syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya


perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah
konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip
kepastian. Undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Didalamnya harus dapat
diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan”. 9

Selanjutnya mengenai masalah yang menyangkut asas kesalahan adalah dapat

diterapkan bahwa pemidanaan yang berdasar adanya kesalahan, erat sekali hubungannya

dengan keadilan. Akan dirasakan tidak atau kurang adil, apabila seseorang yang tidak

bersalah sama sekali, dijatuhi pidana walau betapa ringannya pidana yang dijatuhkan.

Keadilan memang terletak di dalam rasa, sehingga akan dirasakan berbeda-beda

menurut rasa keadilan masing-masing pihak. Oleh karena itu, harus ada ukuran-ukuran

yang seharusnya dapat diterima oleh semua pihak, yaitu ukuran-ukuran yang dapat

menyeimbangkan antara tuntutan-tuntutan keadilan menurut kepentingan perseorangan

atau terdakwa maupun kepentingan masyarakat. Keadilan berdasarkan keseimbangan

8
Sudarto (2), Hukum Pidana Jilid IA, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UNDIP, (Semarang),
1971, hal. 1.
9
Sudarto (1), Op.Cit, hal. 39.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
yang demikian itu, kiranya sesuai dengan hakikat dan ideologi negara Indonesia

Pancasila.

Tujuan pemidanaan

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis,

terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan

atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana

adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua

pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam

sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa

tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori

tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang

pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.

Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang

masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni

pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view). 10

Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif

terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga

pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang

dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan

bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian melihat

pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau

10
ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP 2005, Position Paper
Advokasi RUU Seri #3, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, 2005, hal. 10.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak,

pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di

pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari

kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke

depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence). 11

Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3

(tiga) kelompok yakni : 12

a. Teori absolut (retributif)


Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak
pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi
dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan
untuk memuaskan tuntutan keadilan.
b. Teori teleologis
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan
kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
c. Teori retributif teleologis.
Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural,
karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif
sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung
karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam
menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada
ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan
perilaku terpidana di kemudian hari.
Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan
artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi
sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus
rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh
suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat
tujuan pemidanaan adalah :

11
Ibid,
12
Muladi (1), Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni), 2002, hal 49-51.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
a) Pencegahan umum dan khusus;
b) Perlindungan masyarakat;
c) Memelihara solidaritas masyarakat
d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik
berat sifatnya kasuistis.

Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam

perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena

didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun

1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak

berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis

pedoman.

Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai

justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model

keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal

(just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu

pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). 13

Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan

dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan

yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan

tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. 14

Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima

penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan

hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Terdapat dua hal

13
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2003, hal. 61
14
Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publising Company, New York,
1987, hal. 352. Dalam Sholehuddin, Ibid, hal. 62
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu: Pertama, karena desert theories

menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan antara hukuman yang layak

dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini

mengabaikan perbedaan-perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku, seperti latar

belakang pribadi pelaku dan dampak penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan

dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang

sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedomanpedoman

pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikologi dari

penghukuman dan pihak yang menghukum. 15

Di samping just desert model juga terdapat model lain yaitu restorative justice

model yang seringkali dihadapkan pada retributive justice model. Van Ness menyatakan

bahwa landasan restorative juctice theory dapat diringkaskan dalam beberapa

karakteristik : 16

a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims,


communities and the offenders themself; only secondary is it lawbreaking.
b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties
while repairing the injuries caused by crimes.
c. The criminal justice process should facilitate active participation by victims,
offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the
exclusion of others.

Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model

mempunyai beberapa karakteristik yaitu : 17

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan


diakui sebagai konflik;

15
ELSAM, Op.Cit, hal. 12
16
Ibid,
17
Muladi (2), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro,,
Semarang), 1995, hal. 127-129.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban
pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai
tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun
penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong
untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap
perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis;
dan
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan

penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana

reparatif. 18

Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah

atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-dasar sruktur dari

sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham

abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif

daripada lembaga seperti penjara. 19

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang

langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara

pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam

memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun

18
Muladi (3), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro,,
Semarang), 1996, hal. 125.
19
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,
(Bandung: Binacipta), 1996, hal. 101.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu

sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling

mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam

memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha

yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi

dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki

luka-luka mereka.

Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling

terkenal pengaruh korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka -- dan

memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga

menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari

ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka

daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban

tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan

untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih

penting adalah sense of control.

Kebijakan penanggulangan kejahatan

Masalah kejahatan merupakan suatu problem sosial yang sering tejadi dalam
kehidupan sehari-hari tanpa melihat klasifikasi dan status sosial dari orang-orang
yang melakukannya. Oleh karena itu istilah kejahatan sudah menjadi istilah yang
tidak asing lagi bagi masyarakat karena kejahatan merupakan suatu prilaku yang
menyimpang, suatu tindakan yang sifatnya negatif. Namun apakah yang dimaksud
dengan kejahatan itu ternyata tidak ada pendapat yang seragam. Hal ini disebabkan
oleh karena perbuatan jahat bersumber dari alam nilai, tentu penafsiran yang
diberikan kepada perbuatan atau tingkah laku tersebut sangat relatif sekali.
Kerelatifannya terletak kepada penilaian yang diberikan oleh masyarakat dimana
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
perbuatan tersebut terwujud. 20 Para sarjana telah memberikan pengertian terhadap
kejahatan di antaranya adalah sebagai berikut:
a. W.A. Bonger

“Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tentangan

dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan)”. 21

b. Paul Mudikdo Moeliono

“Kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan

sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan, dan tidak boleh dibiarkan”. 22

c. Frank Tannembaum

“Kejahatan merupakan problema manusia, oleh karena itu dimana ada manusia pasti

ada kejahatan. “crime is eternal-as eternal as society”. 23

d. JE. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodipuco

“Kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian), yang dilarang oleh hukum

publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh negara.

Perbuatan tersebut diberi hukuman pidana karena melanggar norma-norma sosial

masyarakat yaitu harapan masyarakat mengenai tingkah laku, yang patut dari seorang

warga negaranya”. 24

20
Gerson W. Bawengan., Pengantar Psikologi Kriminil, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita), 1991,
hal. 7
21
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Bandung: Penerbit PT. Pembangunan Ghalia
Indonesia), 1982, hal. 25
22
Paul Mudikdo Moeliono, dikutip oleh Soedjono D., Penanggulangan Kejahatan, (Bandung:
Alumni), 1983, hal. 18
23
Made Darma Weda., Kriminologi, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada), 1996, hal. 11.
24
Ibid, hal. 11-12
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Kata kejahatan menurut pengertian sehari-hari adalah tingkah laku atau perbuatan

yang jahat yang tiap-tiap orang dapat merasakannya bahwa itu jahat, seperti

pembunuhan, penganiayaan, penipuan dan lain sebagainya dilakukan oleh manusia. 25

Dalam ilmu hukum pidana kejahatan dikenal dengan banyak istilah. Kejahatan

dikenal juga dengan istilah delik, peristiwa pidana, tindak pidana, criminal act dan lain-

lainnya.

Terlepas dari berbagai pengertian tentang kejahatan tersebut, pada prinsipnya

pengertian kejahatan itu dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:

1. Pengertian kejahatan ditinjau dari segi yuridis

2. Pengertian kejahatan ditinjau dari segi sosiologis

3. Pengertian kejahatan ditinjau dari segi psikologis

Kejahatan ditinjau dari segi yuridis merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah

difinitif. Maksudnya telah ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan undang-

undang bahwa perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap suatu perbuatan jahat.26

Hal ini berarti dalam pengertian yuridis yang termasuk kejahatan itu hanya

terbatas pada perbuatan-perbuatan baik itu yang bertentangan dengan moral kemanusiaan

maupun yang merugikan masyarakat yang telah dirumuskan secara tegas dalam

perundang-undangan saja. Dengan kata lain secara yuridis seseorang baru dapat

dikatakan telah melakukan kejahatan apabila perbuatan yang dilakukannya secara nyata

telah sesuai dengan KUHP, dan memenuhi unsur-unsur pasal tertentu yang mengatur

sanksi terhadap perbuatan pelaku tersebut.

25
R. Soesilo (2), Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab Kejahatan), (Bogor: Penerbit
Politeia), 1985, hal. 11
26
Chainur Arrasyid (2), Pengantar Psikologi Kriminal, (Jakarta: Penerbit Yani Tri Pratiwi), 1996,
hal. 61
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Pengertian kejahatan ditinjau dari segi sosiologis ini sifatnya lebih luas daripada

pengertian kejahatan secara yuridis. Sebab tidak hanya menekankan pada adanya

pelanggaran hukum pidana yang berlaku, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor di luar

hukum dimana termasuk juga sebagai kejahatan segala tingkah laku manusia walaupun

tidak atau belum ditentukan dalam undang-undang. Tetapi pada hakekatnya warga

masyarakat merasa perbuatan atau tingkah laku tersebut secara ekonomis maupun

psikologis menyerang rasa aman dan merugikan masyarakat serta melukai perasaan sosial

dalam kehidupan bermasyarakat.

Pengertian kejahatan ditinjau dari segi sosiologis dapat pula diartikan pengertian

kejahatan secara praktis. 27

Kejahatan yang merupakan gejala sosial dipandang dari segi sosiologis sangat

tergantung pada situasi dan kondisi dalam suatu masyarakat tertentu dimana perbuatan itu

telah terjadi, atau dengan kata lain pergeseran-pergeseran sosial budaya menimbulkan

pergeseran-pergeseran terhadap nilai-nilai perbuatan yang ada hubungannya dengan

perbuatan-perbuatan yang merugikan gejala sosial tersebut.28

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

27
Ibid, hal. 60
28
Ibid, hal. 61
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif

(yuridis normative), yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana

penerapannya dalam praktik di Indonesia.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari :

1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang

dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun peraturan yang

diterbitkan oleh negara lain dan badan-badan internasional.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan

hukum primer.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan

penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library

research) untuk memperoleh berbagai literatur dan perundang-undangan yang

berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. Penelitian juga dilakukan dengan

mempelajari Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

4. Analisis Data

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis

kualitatif. Dengan demikian akan merupakan analisis data tanpa mempergunakan

rumus atau statistik.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Pada bab ini, akan diuraikan tentang latar belakang; permasalahan; tujuan dan

manfaat penelitian; keaslian penulisan; tinjauan pustaka yang terdiri dari

pengertian pemidanaan dan jenis-jenis pidana, syarat-syarat pemidanaan,

tujuan pemidanaan dan kebijakan penanggulangan kejahatan; metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Pidana Mati Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Pada bab ini akan diuraikan tentang sejarah pidana mati di Indonesia,

pandangan yuridis dan kriminologi terhadap pidana mati serta pro dan kontra

penerapan pidana mati.

Bab III Pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana Di Indonesia

Pada bab ini akan diuraikan tentang pengaturan pidana mati baik yang diatur

dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP (ketentuan dalam RUU

KUHP dan peraturan perundang-undangan).

Bab IV Implementasi pidana mati dalam Tindak pidana pembunuhan


Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Dalam bab ini akan diberikan gambaran satu kasus yang berisikan Putusan

yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 514/Pid.B/1997/PN-

LP dan akan diberikan analisa terhadap putusan tersebut.

Bab V Kesimpulan Dan Saran

Bab ini merupakan penutup dari rangkaian uraian yang berada di dalam

penelitian ini yang berupa kesimpulan dan penulis mencoba memberikan

beberapa saran yang berkaitan dengan permasalahan kepada pihak-pihak yang

terkait.

BAB II

PIDANA MATI DALAM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN


Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Sejarah Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati adalah pidana yang terberat, karena pelaksanaannya berupa

penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada

ditangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat

pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.

Selain itu, kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialaj apabila telah dijalankan,

maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas jenis pidananya

maupun perbaikan atas diri terpidananya, apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana

itu terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya/petindaknya,

maupun kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan

dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana.

Menyadari akan keberadaan pidana mati sebagai pidana yang mempunyai sifat
yang demikian, maka di Negeri Belanda sendiri (tempat asalnya KUHP) sejak tahun 1870
tidak lagi mengenal pidana mati, karena pidana mati telah dihapuskan dari WvS nya,
kecuali masih dipertahankan dalam hukum pidana militernya. Di Hindia Belanda (negara
jajahannya) pada saat diberlakukannya WvS voor Nederlandsch Indie (KUHP sekarang)
tanggal 1 Januari 1918 pidana mati dicantumkan didalamnya, dan setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya, melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pidana
mati tetap dipertahankan sampai kini, bahkan dalam Rancangan KUHP yang terbaru
(1992, yang dalam 1999/2000 telah direvisi) juga masih dikenal pidana mati, walaupun
tidak disebutkan sebagai salah satu jensi
24 pidana dalam kelompok pidana pokok,
melainkan dikategorikan sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat
alternatif.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Adapun dasar Pemerintah Hindia Belanda tetap mempertahankan pidana mati di

Hindia Belanda, ialah :

a. Kemungkinan perbuatan-perbuatan yang mengancam kepentingan hukum disini


jauh lebih besar daripada di Negeri Belanda mengingat negeri ini wilayahnya
sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari pelbagai suku dan golongan dengan
adat dan tradisi yang berbeda, yang keadaan ini sangat potensial menimbulkan
perselisihan, bentrokan yang tajam dan kekacauan yang besar dikalangan
masyarakat.
b. Sedangkan alat perlengkapan keamanan yang dimiliki oleh Pemerintah Hindia
Belanda adalah sangat kurang atau tidak sesempurna dan selengkap seperti di
Negeri Belanda. 29

Sebetulnya Pembentuk UU pada saat itu telah menyadari akan sifat pidana mati

sebagaimana yang telah diutarakan tersebut di atas. Oleh karena itulah, maka walaupun

pidana mati dicantumkan dalam UU, namun harus dipandang sebagai tindakan darurat

atau noodrecht, tiada lain maksudnya adalah agar pidana mati hanya dijatuhkan pada

keadaan-keadan tertentu yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena

itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah pada

kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya juga sangat

terbatas, seperti :

a. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2,


124 ayat 3 jo 129);
b. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan
dengan faktor-faktor pemberat, misalnya: Pasal 140 (3), 340 ;
c. Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat
memberatkan (Pasal 365 ayat 4, 368 ayat 2);
d. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444). 30

29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Stelsel Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 2002, hal.30.
30
Ibid, hal.31.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Di samping itu, sesungguhnya Pembentuk KUHP sendiri telah memberikan suatu

isyarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah dijatuhkan, menggunakan upaya pidana

mati harus sangat hati-hati, tidak boleh gegabah. Isyarat itu adalah bahwa, bagi setiap

kejahatan yang diancam dengan pidana mati, selalu diancamkan juga pidana

alternatifnya, ialah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu

setinggi-tingginya 20 tahun. Misalnya: Pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4) dan

lain-lain.

Dengan disediakannya pidana alternatifnya, maka bagi hakim tidak selalu harus

menjatuhkan pidana mati bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati

tersebut. Berdasarkan kebebasan hakim maka ia bebas dalam memilih apakah akan

menjatuhkan pidana penjara seumur hidup ataupun penjara sementara waktu, begitu juga

mengenai berat ringannya apabila hakim memilih pidana penjara sementara, bergantung

dari banyak faktor yang dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi secara

konkrit.

Pembentuk UU dalam menetapkan adanya pidana alternatif bagi setiap pidana

mati yang diancamkan dalam rumusan kejahatan, dengan pertimbangan bahwa bagi

setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati tersebut, dapat saja terjadi dalam

keadaan-keadaan tertentu dan atau didorong oleh faktor-faktor tertentu yang bersifat

meringankan. Sehingga jika menurut rasa keadilan hakim tidak patut untuk dipidana

mati, maka ia dapat menjatuhkan pidana lain sebagai alternatifnya.

Pelaksanaan hukuman mati, dalam KUHP diatur dalam Pasal 11, yang berbunyi :

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali

yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan

tempat terpidana berdiri.”

Menurut R. Soesilo, pelaksanaan hukuman mati tersebut tidak lagi sesuai dengan

perkembangan dan jiwa negara Indonesia lagi. Lebih lanjut beliau mengemukakan :

Karena ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam Pasal
11 ini tidak sesuai dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka
dengan Penpres No.2/1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak
sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang menjatuhkan
putusan dalam tingkat pertama, dengan ketentuan-ketentuan antara lain sebagai
berikut :
1. Waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Polisi Komisariat
Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat dari
Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana mati itu.
2. Kepala Polisi Komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama
dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab, juga pembela/ pengacara
terhukum atas permintaannya sendiri atau permintaan terhukum, menghadiri
pelaksanaan pidana mati itu
3. Terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh Jaksa
Tinggi/Jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya saat pelaksanan, dan pada
terhukum diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu keterangan atau
pesanan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum adalah seorang wanita sedang
hamil maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan empat puluh hari setelah
anaknya dilahirkan.
4. Untuk pelaksanaan pidana mati itu Kepala Polisi Komisariat tersebut membentuk
sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobile, terdiri dari seorang
Bintara, dua belas orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang Perwira, untuk
tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya, dan
sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada dibawah perinta Jaksa
Tinggi/Jaksa.
5. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sederhana
mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
6. Dicatat disini, bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Militer juga dilakukan menurut Penpres No.2/1964 sebagaimana diutarakan
diatas, dengan ketentuan bahwa kata-kata Kepala Polisi Komisariat Daerah, jaksa
Tinggi/Jaksa, Brigade Mobile dan Polisi berturut-turut harus dibaca:
“Panglima/Komandan daerah Militer”, “Jaksa Tentara/Oditur Militer, dan
Militer”. 31

31
R. Soesilo (1), Loc.Cit., hal.37.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Pandangan Yuridis dan Kriminologi Terhadap Pidana Mati

Pandangan Yuridis

Yang penulis maksud pandangan yuridis terhadap pidana mati di sini adalah suatu
pandangan yang melihat pidana khususnya pidana mati berdasarkan teori absolut dari
aspek pembalasannya dan teori relatif dari aspek menakutkannya yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat.
Aspek Pembalasan

Menurut J.E. Sahetapy, bahwa dasarnya manusia memiliki perasaan pembalasan atau

kecenderungan untuk membalas. 32 Ditambahkan pula dalam hal ini oleh Sutjipto

Rahardjo, bahwa kecenderungan untuk membalas pada prinsipnya adalah suatu gejala

sosial yang normal. Hal tersebut dapat dijumpai dalam ungkapan-ungkapan

perbendaharaan budaya seperti “hutang nyawa dibayar dengan nyawa”. 33

Nigel Walker memberi tiga pengertian mengenai pembalasan (retribution) :

1) retaliatory retribution, berarti dengan sengaja membebankan suatu pendertaan


yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban
penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya ;
2) distributive retribution, berarti pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang
dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan
3) quantitative retribution, berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang
mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak
melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang
telah dilakukan. 34

32
J.E., Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Penerbit
Alumni), 1979, hal. 72.
33
Sutjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Alumni),
1977, hal. 28.
34
J.E., Sahetapy, Op.Cit., hal. 153.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Kent pada pokoknya berpendapat bahwa barangsiapa yang melakukan kejahatan

harus dipidana. Dipidananya itu berdasarkan asas pembalasan karena diisyaratkan

oleh perintah yang tidak bersyarat dari akal yang praktis. 35

Dengan demikian, maka tuntutan pembalasna menjadi suatu syarat yang etis. Hanya

keadilan, dan bukan tujuan-tujuan lain yang dapat membenarkan dijatuhkan pidana.

Dalam hubungan ini tidaklah penting tujuan apa yang hendak dicapai melalui

pembalasan itu. Ukurannya hanya pembalasan, misalnya seorang pembunug dijatuhi

pidana mati adalah satu-satunya pembalasan yang adil.

Aspek Menakutkan

Asal mulanya pidana sebetulnya bukan untuk pembalasan, tetapi semata-sama untuk menakuti si penjahat. Dengan adanya
pidana tersebut, diharapkan agar para penjahat menjadi jera. Atau menakut-nakuti mereka yang secara potensial dapat berbuat
jahat.

Menurut Oppenhimer orang yang mula pertama yang dianggap mempersoalkan aspek

menakutkan ini dari segi proses psikologis, adalah Samuel von Pufendorf. 36 Ancaman

pidana menurut Samuel dimaksudkan untuk menakutkan dan karenanya menahan

orang untuk berbuat dosa, dengan demikian mereka akan patuh pada hukum. Lalu

Von Feuerbach lah yang menyusun permasalahan tersebut menjadi suatu teori yang

terkenal dalam adegan nullum delictum nulla poena sinepraevia lege poenali. Artinya

tiada tindak pidana dan tiada hukuman tanpa adanya suatu undang-undang (peraturan)

pidana terlebih dahulu. 37

Jadi menurut beliau, dengan adanya suatu undang-undang (peraturan) pidana yang

mengatur tentang tindak pidana dan ancaman pidananya terlebih dulu. Di samping

demi kepastian hukum, supaya penguasa di dalam menjalankan tugasnya jangan

35
Ibid., hal. 154.
36
Ibid., hal. 165.
37
Ibid.,
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
sampai berbuat sewenang-wenang juga sebagai sarana guna menakut-nakuti orang

yang akan berbuat jahat.

Pandangan Kriminologi

Pada umumya para sarjana Kriminologi meragukan pandangan yuridis terhadap

pidana mati karena pada sarjana Kriminologi tidak berbicara dengan bahasa transedental,

mereka berbicara secara konkrit, oleh karena itu, pidana mati tidak dilihat sebagai suatu

conseptual abstraction, melainkan pidana mati dipandang sebagai suatu kenyataan. 38

J.E. Sahetapy, mengatakan bahwa menyaksikan pelaksanaan pidana mati adalah

merupakan suatu pengalaman yang paling mengharukan dan mencekam yang tak akan

pernah dapat dilupakan sepanjang masa. 39

Selanjutnya ditandaskan oleh beliau bahwa masalah pidana mati seharusnya

bukan menjadi suatu persoalan moral teologis atau humanitas saja. Dan juga bukan suatu

alat kontrol sosial dalam prevensi kejahatan ataupun sebagai sarana menakutkan dilihat

dari segi hukuman pidana. Hendaknya masalah-masalah moral, teologis, humanitas,

pembalasan dan menakutkan dikesampingkan. Kita harus melihat kenyataan apakah

pidana mati dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka memberantas atau mencegah

kejahatan.

Pro dan Kontra Penerapan Pidana Mati

38
Ibid.,
39
Ibid., hal. 180.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu

mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat

dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati.

Di Indonesia yang berlaku KUHP warisan pemerintah Belanda sejak 1 Januari

1918, dalam Pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal

di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak

diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat yang

terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.

Beberapa sarjana hukum yang mendukung dilaksanakannya pidana mati adalah

: 40

1. De Bussy membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di


Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan yang
sangat terhadap ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar.
2. Jonkers membela pidana mati dengan alasan bahwa walaupun ada keberatan
terhadap pidana mati yang seringkali dajukan adalah bahwa pidana mati itu tak
dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan dan diakui bahwa ada
kekhilafan atau kekeliruan dalam putusan hakim, lalu tak dapat diadakan
pemulihan hak yang sesungguhnya. Terhadap orang mati ketidakadilan yang
dialaminya tidak dapat diperbaiki lagi.
3. Hazewinkel-Suringa mengemukakan bahwa pidana mati adalah suatu alat
pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita dapat
menggunakannya.
4. Bichon van Tselmonde menyatakan : saya masih selalu berkeyakinan, bahwa
ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan
masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hakum maupun dari
sudut tidak dapat ditiadakannya, kedua-duanya jure divino humano. Pedang
pidana seperti juga pedang harus ada pada negara. Hak dan kewajiban ini tak
dapat diserahkan begitu saja. Tapi haruslah dipertahankannya dan juga
digunakannya.
5. Lombrosso dan Garofalo juga termasuk yang mendukung pidana mati. Mereka
berpendapat bahwa pidana mati adalah alat mutlak yang harus ada pada
masyarakat untuk melenyapkan individu yang tak mung kini dapat diperbaiki lagi.

40
Syahruddin Husein, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, (Fakultas Hukum Bagian
Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, Medan), 2003, hal. 5-6.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
6. Para sarjana hukum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati.
Bismar Siregar yang menghendaki tetap dipertahankannya pidana mati dengan
maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan masih tersedia. Sebab
beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan,
pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau bukan pidana mati.
Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri,
masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata
tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak
mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.
Hartawi AM memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu
social defence. Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan
masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar
yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan
mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat
umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan bergama.

Bila pidana mati mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap

mempertahankannya, maka ia juga mendapat penentang yang semakin hari semakin

banyak jumlahnya. Yang dianggap sebagai pelopor dari gerakan anti pidana mati ini

adalah : 41

1. Beccaria dengan karangannya yang terkenal Dei Delitti E Delle Pene (1764).
Yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan
dengan cara yang amat buruk terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunuh
anaknya sendiri. Hakim menjatuhkan pidana mati. tapi Voltaire kemudian dapat
membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah sehingga namanya direhabilitasi.
Walaupun demikian ia telah mati tanpa salah, akibat pidana mati yang
diperkenankan pada waktu itu. Beccaria menunjukkan adanya pertentangan antara
pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin Contra Social. Karena
hidup adalah sesuatu yang tak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh
adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengijinkan untuk
pidana mati adalah immoral dan makanya tidak sah.
2. Van Bemmelen menyatakan bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah,
pemerintah mengakui ketidakmampuan dan kelemahnnya. Menurut Roling,
pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu bila negara tidak
menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang
melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang
pulalah hormat orang pada nyawa manusia. Disamping itu adalagi suatu bahaya,
yaitu bahwa perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu
penyusulan pula terhadapnya.

41
Ibid., hal. 6-8
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
3. Ernest Bowen Rowlands berpendapat bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki
kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak pernah
kehidupan dikembalikan pada yang dipidana mati.
4. Von Hentig menyatakan bahwa pengaruh yang kriminogen pidana mati itu
terutama sekali disebabkan karena telah memberikan suatu contoh yang jelek
dengan pidana mati tersebut. Sebenarnya negara yang berkewajiban
mempertahankan nyawa manusia dalam keadaan apapun. la menambahkan bahwa
dengan menahan seseorang dalam penjara, kita mengadakan suatu eksperimen
yang sangat berharga. Hal ini tak mungkin ditemukan pada pidana mati.
5. Is Cassutto menyatakan bahwa pada pidana mati ditemui kesukarankesukaran
yang serius, pertama-tama terbentur pada kemungkinan terjadinya kekhilafan
yang tak mungkin dapat diperbaiki.
6. Damstee menyatakan bahwa "saya tak merasa perlu pidana mati, saya tak percaya
kegunaannya, malah saya percaya keburukannya. Dan kalau pemerintah melalui
pembunuhan. maka ia merendahkan kewibawaannya terhadap rakyat pada siapa
dianjurkan janganlah engkau membunuh. Dengan membunuh ia membangunkan
naluri yang jahat. Suatu masyarakat yang mengagung-agungkan pidana mati
dikecam bahwa disini masih ada orang-orang biadab dan anggota-anggota
masyarakat itu tak akan meninggalkan sifat-sifat biadabnya."
7. leo Polak beranggapan bahwa pidana mati setelah dilaksanakan tidak membawa
nestapa yang harus diderita oleh penjahat karena ia sudah tidak ada lagi. Jadi
pidana mati sama bukan pidana, bahkan bukan juga suatu pidana yang ringan. leo
Polak berpendapat pidana mati itu tidak adil, pelaksanaan pidana mati itu
dianggap sebagai suatu dosa kekeliruan besar dalam penetapan pembalasan yang
adil.
8. Diantara sarjana hukum Indonesia yang menentang adanya pidana mati:
Roeslan, menurut beliau bagi kita penjara seumur hidup dan lain-lainnya pidana
yang merupakan perampasan dan pembatasan atas kemerdekaan dan harta
kekayaan seseorang sajalah yang dipandang sebagai pidana. Selanjutnya beliau
menyatakan bahwa karena orang semakin tahu betapa buruknya pidana mati itu,
sehingga bertrurut-turut banyak negara beradab yang menghapuskannya. Ing Dei
Tjo lam menyatakan bahwa tujuan pidana adalah memperbaiki individu yang
melakukan tindak pidana disamping melindungi masyarakat. Jadi nyata bahwa
dengan adanya pidana mati bertentangan dengan salah satu tujuan pidana yang
disebutkan tadi.
J.E Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana mati, walaupun terbatas
hanya mengenai pembunuhan berencana. Dalam desertasinya yang berjudul Suatu
Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,
beliau memberikan hipotesa :
1. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek
merupakan suatu ketentuan abolisi de facto
2. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya
selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga
grasi, kebebasan hakim dan "shame culture"
3. Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Masih dipertahankannya pidana mati di Indonesia didasarkan kepada alasan

pertama, bahwa pidana mati sebenarnya tujuan utamanya adalah untuk mengayomi

masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang mengganggu kepentingannya. Di samping itu,

secara teoritis mengapa pidana mati tetap dipertahankan adalah untuk memberikan

saluran kepada masyarakat yang ingin “membalas dendam” melalui saluran perundang-

undangan. Sebab jika tidak diatur dalam perundang-undangan, masyarakat akan berbuat

main hakim sendiri (eigen richting). 42

Mengenai pidana mati jika dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) memang

menjadi masalah yang besar bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi para penegak

hukum. Di satu pihak mereka harus menegakkan keadilan dan dipihak lain dianggap

merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga menghambat penegakkan HAM di

Indonesia.

Dianggap menghambat penegakkan HAM dan merupakan pelanggaran HAM

harus dilihat dahulu sejauh mana konteks kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan,

apakah dapat ditolerir atau tidak.

Sehingga menurut pendapat penulis bahwa pelaksanaan pidana mati tidak

merupakan pelanggaran HAM dan tidak dapat dianggap sebagai penghambat dalam

penegakkan HAM karena :

1. Secara yuridis formal pidana mati dibenarkan.

42
Edi Setiadi, Menyoal Hukuman Mati di Indonesia, Rubrik Opini harian Pikiran Rakyat, 7
Nopember 2007.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2. Pidana mati tetap diperlukan dengan melihat adanya kejahatan-kejahatan manusia

yang tidak dapat ditolerir lagi. Sebab bagaimanapun juga penegakkan suatu

keadilan (secara hukum) akan mengurangi hak asasi manusia

BAB III

PIDANA MATI DALAM BERBAGAI KETENTUAN PIDANA


DI INDONESIA

A. Ketentuan Pidana Mati Dalam KUHP

1. Kejahatan terhadap negara (Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3), 140 ayat (3) KUHP.

Wirjono Prodjodikoro di dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia


menyebutkan adanya dua macam pengkhianatan terhadap negara, yaitu:
1) Pengkhianatan intern (hoogverraad), yang ditujukan untuk mengubah struktur
kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana
terhadap kepada negara, jadi mengenai keamanan intern (invendige veiligheid)
dari negara.
2) Pengkhianatan ekstren (invendige veiligheid), yang ditujukan untuk
membahayakan keamanan negara terhadap serangan dari luar negeri, jadi
mengenai keamanan ekstren (uitwondige veiligheid) dari negara misalnya hal
memberi pertolongan kepada negara asing, yang bermusuhan dengan negara
awak. 43

Kejahatan-kejahatan terhadap negara dan pemerintah, oleh Dali Mutiara di dalam


bukunya Tafsir KUHP diantaranya yang terpenting ialah :
1) Kejahatan terhadap presiden atau wakil presiden
2) Kejahatan terhadap pemerintah atau badan-badan pemerintahan
3) Kejahatan terhadap negara sahabat, kepala negaranya atau wakil kepala negara
sahabat
4) Memberontak
5) Menjadi mata-mata atau kaki tangan negara asing
6) Melawan pegawai pemerintah

43
Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-tindakan Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan kedua,
(Jakarta: PT. Eresco), 1974, hal. 202-203.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
7) Mengacau waktu pemilihan umum
8) Menyembunyikan penjahat atau menghilangkan bukti kejahatan
9) Memberikan laporan palsu kepada pegawai pemerintah yang berwajib
10) Menyiarkan kabar bohong
11) Menjadi saksi dan sumpah palsu
12) Perkara perkumpulan rahasia. 44

Pasal 104 sebagai Pasal pertama bab I buku II KUHP berbunyi :

“Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau


meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling
lama dua puluh tahun.” 36

Dari uraian Pasal 104 KUHP tersebut, ada 3 (tiga) macam tindak pidana, ialah:

1) Makar yang dilakukan dengan tujuan (oogmerk) untuk membunuh kepala negara

2) Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kemerdekaan kepala

negara

3) Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan kepala negara, tidak

dapat menjalankan pemerintahan.

Selanjutnya bunyi Pasal 111 KUHP adalah sebagai berikut :

1) Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud


menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap
negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu
mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatann permufakatan atua perang
terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2) Jika perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang, diancam dengan pidana
mati atua pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama
dua puluh tahun.

Jadi tindak pidana dari Pasal 111 KUHP berupa mengadakan perhubungan negara

asing, dengan niat :

44
Dali Mutiara, Tafsir KUHP, cetakan kelima, (Jakarta: Bintang Indonesia), hal. 36.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
1) akan membujuk supaya negara asing itu melakukan perbuatan permusuhan atau

berperang dengan negara kita, atau

2) akan memperkuat kehendak negara asing untuk berbuat demikian, atau

3) akan menyanggupkan bantuan dalam hal ini kepada negara asing, atau

4) akan memberi bantuan dalam hal mempersiapkan hal-hal tersebut diatas.

Mengenai kejahatan-kejahatan yang biasa dilakukan oleh mata-mata musuh, di

antaranya ialah diatur dalam Pasal 124 KUHP, yang berbunyi :

1) Barang siapa dalam masa perang dengan sengaja memberi bantuan kepada musuh
atau merugikan negara terhadap musuh, diancam dengan pidana penjara lima
belas tahun.
2) Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu atau
paling lama dua puluh tahun jika si pembuat:
1. memberitahukan atau memberikan kepada musuh peta, rencana, gambar, atau
penulisan mengenai bangunan-bangunan tentara;
2. menjadi mata-mata musuh, atau memberikan pondokan kepadanya.
3) Pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun dijatuhkan jika si pembuat:
1. memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau
merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat
perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan
Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalang-
halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya tentara
lainya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau
menyerang;
2. menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau
desersi dikalangan Angkatan Perang.

Dalam ayat (3) diberikan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup atau

selama dua puluh tahun, apabila si pelaku :

a. mengkhianatan kepada musuh, menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau

merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat

perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang,

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
b. menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya

tentara lainya

c. mengadakan atau melakukan pemberontakan di antara para prajurit.

Mengenai kejahatan pembunuhan berencana terhadap kepala negara dari negara

sahabat diatur dalam Pasal 140 KUHP, yang berbunyi :

1. Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau kepala
negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2. Jika mekar terhadap nyawa mengakibatkan kematian atau dilakukan dengan
rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua
puluh tahun.
3. Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu
mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

2. Pembunuhan dengan berencana (Pasal 340 KUHP)

Pasal 340 KUHP berbunyi :

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.

Adapun bunyi Pasal 340 KUHP mengancam dengan pidana yang sebelumnya

peristiwa itu terjadi atau sesudah ada niat itu, terdakwa dengan tenang telah

memikirkan cara-cara untuk membunuh. Pembunuhan ini dinamanakan pembunuhan

dengan berencana (moord).

Jadi, pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dilakukan oleh si terdakwa

dengan direncanakan terlebih dahulu, misalnya, dengan berunding dengan orang lain

atau setelah memikirkan siasat-siasat yang akan dipakai untuk melaksanakan niat

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
jahatnya itu dengan sedalam-dalamnya terlebih dahulu, sebelum tindakan yang kecam

itu dimulainya.

3. Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dalam keadaan yang memberatkan sebagai

yang disebut dalam Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2) KUHP

Pasal 365 KUHP, ialah tentang pidana bagi pencurian berat, yang bunyi rumusannya

adalah sebagai berikut :

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri
sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat
atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu atau pakaian jabatan
palsu.
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tuhun.
4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka
berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.

Dalam maksud kekerasan atau ancaman kekerasan di sini mempunyai dua arti, yaitu :

1) maksud untuk mempersiapkan pencurian, artinya perbuatan kekerasan atau

ancaman kekerasan mendahului pengambilan barang, misalnya memukul, atau

menembak atau mengikat penjaga rumah.

2) maksud untuk mempermudah pencurian, artinya pengambilan barang dipermudah

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, misalnya memukul si penghuni rumah

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
atau mengikatnya atau menodong mereka agar mereka diam saja dan tidak

bergerak, sedang pencuri lain mengambil barang-barang dalam rumah.

Yang dimaksud dengan luka berat, yaitu seperti yang dirumuskan dalam Pasal 90

KUHP, yaitu :

1. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian;
3. kehilangan salah satu pancaindera;
4. mendapat cacat berat;
5. menderita sakit lumpuh;
6. terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
7. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Selanjutnya mengenai tindak pidana pemerasan seperti yang diatur dalam Pasal 368

KUHP, adalah berbunyi :

1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan.
2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Syarat utama kejahatan yang diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, ialah bahwa

perbuatan-perbuatan itu dilakukan si terdakwa dengan maksud untuk menarik sesuatu

keuntungan secara tidak sah untuk dirinya atau untuk orang lain, padahal dia tidak

berhak apa-apa untuk berbuat demikian. Kalau maksud si terdakwa untuk menarik

sesuatu keuntungan secara tidak sah ini tidak terbukti, maka perbuatan itu tidak dapat

disebut sebagai perampasan seperti yang dimaksud oleh Pasal 368 ayat (1) KUHP.

Pasal 368 ayat (1) KUHP menentukan, bahwa pemerasan itu dapat dipidana yang

lebih berat lagi, apabila si terdakwa dalam melakukan pemerasan itu juga disertai
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
dengan satu syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang dapat menambah berat

pidananya, seperti yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, atau masuknya terdakwa

ke tempat pemerasan itu dilakukan dengan jalan membongkar, atau memanjat

memakai kunci palsu, surat perintah palsu, atau pakaian seragam palsu, atau apabila

pemerasan itu telah mengakibatkan orang lain mendapat luka berat atau mati.

4. Pembajakan di laut, di pantai, di pesisir dan di sungai yang dilakukan dalam keadaan

seperti tersebut dalam Pasal 444 KUHP.

Pasal 438 KUHP, memuat suatu tindak pidana yang diklasifikasikan sebagai

pembajakan laut (zeeroof) dan dirumuskan sebagai dua macam perbuatan, yaitu :

a. masuk bekerja atau bekerja sebagai nakhoda pada suatu kapal dengan diketahui,

bahwa kapal itu ditujukan atau dipergunakan untuk di tenah laut melakukan

perbuatan kekerasan terhadap kapal-kapal lain atau terhadap orang-orang atau

barang yang ada di kapal-kapal itu, tanpa untuk itu diberi kuasa oleh suatu negara

yang sedang berperang atau dengan tidak turut masuk angkatan laut dari suatu

negara yang telah diakui,

b. masuk bekerja menjadi anak kapal pada suatu kapal dengan diketahui tujuan atau

penggunaan kapal itu seperti tersebut di atas, termasuk awak kapal itu.

Pidana tersebut menurut Pasal 444 KUHP dinaikkan menjadi pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh tahun, apabila perbuatan-

perbuatan kekerasan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diserang atau yang

ada pada kapal yang diserang.

Untuk lebih jelasnya perumusan bunyi Pasal 444 KUHP adalah sebagai berikut :

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 - 441 mengakibatkan
seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka nakoda.
komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan
kekerasan, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

B. Pidana Mati di Luar KUHP

1. Dalam RUU KUHP Tahun 2005

Dalam rancangan KUHP, masalah pidana mati tidak lagi dicantumkan sebagai pidana

pokok sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 KUHP yang berlaku sekarang.

Melainkan dikeluarkan dari pidana pokok dan hanya dicantumkan dalam pasal-pasal

tertentu. Keputusan ini diambil untuk mengakomodasi pro dan kontra terhadap pidana

mati. Itu sejalan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) ICCPR yang menyatakan, “Bagi

negara yang belum menghapus ketentuan hukuman mati, putusan tersebut berlaku

hanya pada kejahatan yang termasuk kategori serius sesuai dengan hukum yang

berlaku saat itu dan tidak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on

Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.

Dalam konsep Rancangan KUHP terdapat beberapa macam tindak pidana yang

diancam dengan pidana mati, antara lain:

1. Pasal 164 tentang menentang ideologi negara Pancasila :

Barang siapa secara melawan hukum dimuka umum melakukan perbuatan


menentang ideologi negera Pancasila atau Undang-Undang Dasar 1945 dengan
maksud mengubah bentuk negara atau susunan pemerintahan sehingga berakibat
terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling
rendah lima tahun.

2. Pasal 167 tentang makar untuk membunuh presiden dan wakil presiden

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
3. Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh.

4. Pasal 269 tentang terorisme, yang berbunyi :

1) Dipidana karena melakukan terorisme, dengan pidana penjara paling lama


lima belas tahun dan paling rendah tiga tahun, barangsiapa menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap target-target sipil dengan maksud
menimbulkan suatu suasana teror atau ketakutan yang besar dan mengadakan
intimidasi Pada masyarakat, dengan tujuan akhir melakukan perubahan dalam
sistem politik yang berlaku.
2) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme
tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain.
3) Dipidana pidana mati atau pidana penjara paling lama duapuluh tahun dan
paling rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan
bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Sedangkan
tindak pidana pembunuhan berencana ditiadakan. Menurut penjelasan konsep
Rancangan KUHP 1991/1992 hal ini memberi kebebasan kepada hakim dalam
rangka mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana yang acapkali sulit
dibuktikan. Dengan demikian hakim akan lebih mengutamakan untuk
mempertimbangkan motif, cara, sarana atau upaya membunuh dan akibat serta
dampaknya suatu pembunuhan bagi masyarakat.

2. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Pidana mati yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diberikan

sebagai hukuman pilihan bagi pelanggaran tertentu sehubungan dengan produksi,

persinggahan, impor dan kepemilikan obat terlarang psikotropik.

Di dalam UU Psikotropika, pidana mati diatur dalam Pasal 59, yang berbunyi :

1) Barangsiapa :
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
; atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ke-tentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
d. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika
golongan I.dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun,
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak
Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda
sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

Dalam ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika di atas ditentukan bahwa

pidana mati diterapkan kepada pelaku yang terorganisasi dengan menggunakan

psikotropika golongan I diluar kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 4 ayat 2),

memproduksi psikotropika golongan I untuk maksud memperjualbelikan kepada orang

banyak (Pasal 6), bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 12 ayat 3).

3. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

Pidana mati yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diberikan

sebagai hukuman pilihan bagi pelanggaran tertentu sehubungan dengan produksi,

persinggahan, impor dan kepemilikan obat terlarang narkotika.

Di dalam UU Narkotika, pidana mati diatur dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 82

Pasal 80 ayat (1) huruf a, yang berbunyi :

1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :


a. memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit,
atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap siapa saja yang

memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit,

atau menyediakan narkotika Golongan I sedangkan hukuman alternatifnya adalah

pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau pidana denda

paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 80 ayat (2) huruf a

2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :


a. ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);

Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap usaha-usaha

untuk memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau

menyediakan narkotika Golongan I yang didahului dengan pemufakatan jahat

pidana alternatifnya pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00

(dua milyar rupiah).

Pasal 80 ayat (3) huruf a

3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :


a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap usaha-usaha

untuk memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau


Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
menyediakan narkotika Golongan I yang dilakukan secara terorganisir sedangkan

pidana alternatifnya pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00

(lima milyar rupiah).

Pasal 81 ayat (3) huruf a, yang berbunyi :

3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :


a. ayat (1) huruf a, dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);

Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a yaitu membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, sedangkan pidana

alternatifnya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus

juta rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).

Pasal 82 ayat (1) huruf a, yang berbunyi :

1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :


a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual,
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap siapa saja

mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual,

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau

menukar narkotika Golongan I sedangkan hukuman alternatifnya adalah pidana

seumur hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 82 ayat (2) huruf a, yang berbunyi :

2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);

Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap usaha-usaha

untuk mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual,

membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau

menukar narkotika Golongan I yang didahului dengan pemufakatan jahat.

Pasal 82 ayat (3) huruf a, yang berbunyi :

3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :


a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);

Dalam Pasal ini diatur tentang penerapan pidana mati terhadap usaha-usaha untuk

mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,

menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika

Golongan I yang dilakukan secara terorganisir.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
4. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.

20 Tahun 2001)

Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3

Tahun 971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu

memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam

rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana

korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada

khususnya serta masyarakat pada umumnya.

Di dalam UU tentang Pemberantasan Korupsi, pidana mati diatur dalam Pasal 2,

Pasal 15 dan 16.

Pasal 2, berbunyi :
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang

dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu

apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi

penanggulangan keadaan bahaya, bencana alan nasional, penanggulangan akibat

kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan

penanggulangan tindak pidana korupsi.

Pasal 15

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan

pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman

pidananya.

Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi

yang bersifat tradisional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer

keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah

secara optimal dan efektif.

Yang dimaksud dengan “bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan” dalam

ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM (Undang-undang No.

26/2000) telah dikeluarkan pada bulan November 2000, untuk menghukum orang

yang dituduh melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Di bawah

peraturan ini, kejahatan yang mengakibatkan dijatuhkannya pidana mati sebagai

hukuman maksimum adalah: genosida; pembunuhan; pembinasaan; pengusiran secara

paksa atau pemindahan penduduk; hukuman penjara atau perampasan kebebasan fisik
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
dan apartheid. Amnesty International khawatir bahwa beberapa prosedur di bawah

undang-undang tersebut tidak memberikan jaminan adanya kebebasan dan tidak

memihak dalam proses pengadilan. Sampai saat ini, tidak ada pidana mati yang

dilaksanakan di bawah peraturan ini.

Dalam UU tentang Pengadilan HAM, yang mengatur tentang pidana mati adalah

Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41 dan Pasal 42.

Pasal 36, yang berbunyi :


Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh)
tahun.

Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain.

Dalam penjelasan Pasal 8 Huruf a UU tentang pengadilan HAM, dijelaskan yang

dimaksud dengan “anggota kelompok” adalah seorang atau lebih anggota kelompok.

Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil,berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
h. pengamayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara Paksa; atau
j. kejahatan apartheid.

Dalam Penjelasan Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM dijelaskan :

Yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk

sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil

sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan

organisasi.

Huruf a, yang dimaksud dengan “pembunuhan” adalah sebagaimana tercantum dalam

Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Huruf b, yang dimaksud dengan “pemusnahan” meliputi perbuatan yang

menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa

perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat

menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.

Huruf c, yang dimaksud dengan “perbudakan” dalam ketentuan ini termasuk

perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anakanak.

Huruf d, yang dimaksud dengan “pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

“ adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa

didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.

Huruf f, yang dimaksud dengan “penyiksaan” dalam ketentuan ini adalah dengan

sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat,

baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di

bawah pengawasan.

Huruf i, yang dimaksud dengan “penghilangan orang secara paksa” yakni

penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa,

dukungan atau persetujuan dan negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh

penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk

memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud

untuk melepaskan dan perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.

Huruf j, yang dimaksud dengan “kejahatan apartheid” adalab perbuatan tidak

manusiawi dengan sifat yang sarna dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam Pasal 8

yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan

dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok

ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.

Pasal 37, yang berbunyi :


Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 25 (duapuluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh)
tahun.

Pasal 41, yang berbunyi :


Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal
39, dan Pasal 40.

Yang dimaksud dengan “permufakatan jahat” adalah apabila 2 (dua) orang atau lebih

sepakat melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pasal 42, yang berbunyi :


1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan
militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di
dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di
bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dan
tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan
saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah
atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada
pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara
pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif,
karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara
patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahul atau secara sadar mengabaikan informasi yang
secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam
ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38,
Pasal 39, dan Pasal 40,

6. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Undang-undang tentang Pemberantasan Kejahatan Terorisme (Undang-undang No.

15/2003) diadopsi pada bulan April 2003, menggantikan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1/2002 yang diterapkan setelah terjadinya

pemboman di Bali pada bulan Oktober 2002, di mana 202 orang tewas.

Pasal-Pasal yang mengatur tentang pidana mati dalam UU No. 15 Tahun 2003 adalah

sebagai berikut :

Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun.

Yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup" adalah

tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.

Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau

membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke

dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau

barang

Pasal 8
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
1) menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan
bangunan tersebut;

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2) menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan
tersebut;
3) dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau
memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau
menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat
yang keliru;
4) karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan
hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau
alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;
5) dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
6) dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat
tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
7) karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat
dipakai, atau rusak;
8) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan,
kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat
udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan
muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya,
ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;
9) dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;
10) dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman
dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau
menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
11) melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan
dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang,
mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan
penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;
12) dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap
seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat
membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;
13) dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau
menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak
dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
14) dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan
ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat
atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak
dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat
membahayakan keamanan dalam penerbangan;
15) melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari
permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;
16) memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu
membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;
17) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan
keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;
18) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu
ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.

Pasal 9
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam
miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau
mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu
bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk
melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.

Yang dimaksud dengan "bahan yang berbahaya lainnya" adalah termasuk gas beracun

dan bahan kimia yang berbahaya

Pasal 10
Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga
menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas,
menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan,
terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi
kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup,
fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Pasal 14
Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan
tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup.

Ketentuan ini ditujukan terhadap aktor intelektual.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Yang dimaksud dengan merencanakan termasuk mempersiapkan baik secara fisik,

finansial, maupun sumber daya manusia.

Yang dimaksud dengan "menggerakkan" adalah melakukan hasutan dan provokasi,

pemberian hadiah atau uang atau janji-janji.

Pasal 15
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama
sebagai pelaku tindak pidananya.

Yang dimaksud dengan "bantuan" adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum

maupun pada saat tindak pidana dilakukan.

Yang dimaksud dengan "kemudahan" adalah tindakan memberikan bantuan setelah

tindak pidana dilakukan

Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

BAB IV

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
IMPLEMENTASI PIDANA MATI DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

Mengenai implementasi pidana mati dalam tindak pidana pembunuhan, penulis

akan menganalisa salah satu putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Lubuk

Pakam No. 514/Pid.B/1997/PN-LP atas nama terdakwa Tumini, Lahir di Percut Sei Tuan,

umur 39 Tahun, Jenis Kelamin perempuan, Bangsa Indonesia, tempat tinggal di Dusun I

Aman Damai Desa Sei Semayang No. 260, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang, Agama

Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga. Analisa kasus tersebut akan dijelaskan secara rinci

dibawah ini :

A. Kasus

Kasus Posisi :

Bahwa ia terdakwa Tumini secara bersama-sama dengan saksi Ahmad Suraji alias Nasib

alias Datuk (penuntutannya dilakukan secara terpisah) atau masing-masing bertindak

sendiri-sendiri pada suatu waktu dalam bulan Mei 1995 atau setidak-tidaknya pada waktu

lain dalam tahun 1995; pada hari Rabu tanggal 23 April 1977 atau setidak-tidaknya

dalam bulan April 1997 setidak-tidaknya dalam tahun 1997; atau setidak-tidaknya pada

waktu-waktu lain dalam tahun 1986 sampai dengan tahun 1997, diperkebunan tebu Sei

Semayang Desa Sei Semayang, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang atau setidak-tidaknya

ditempat-tempat lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan negeri Lubuk

Pakam, telah melakukan atau turut melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing

harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008. 60
USU Repository © 2009
kejahatan yang diancam dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu

menghilangkan nyawa orang lain.

Dakwaan :

Bahwa terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum dipersidangan dengan dakwaan

berbentuk alternatif, yaitu :

1. Primer : diancam pidana dalam Pasal 340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP, ATAU

(Alternatif) diancam pidana dalam Pasal 340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 64 (1) KUHP,

2. Subsidair : diancam pidana dalam Pasal 340 jo. 56 ke-1, ke-2 jo. 65 KUHP, ATAU

(Alternatif) diancam pidana dalam Pasal 340 jo. 56 ke-1, ke-2 jo. 64 (1) KUHP

3. Lebih Subsidair : diancam pidana dalam Pasal 338 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP,

ATAU (Alternatif) diancam pidana dalam Pasal 338 jo. 55 (1) ke-1 jo. 64 (1) KUHP;

4. Lebih Subsidair Lagi : diancam pidana dalam Pasal 338 jo. 56 (1) ke-1, ke-2 jo. 65

KUHP, ATAU (Alternatif) diancam pidana dalam Pasal 338 jo. 56 ke-1, ke-2 jo. 64

(1) KUHP

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum :

Bahwa Tuntutan Jaksa Penuntut Umum No. Register Perkara: PDM-09/LPKAM/0897,

yang diajukan pda tanggal 24 Maret 1998, yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut

memutuskan :

1. Menyatakan terdakwa Tumini, terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum

bersalah melakukan tindak pidana “Turut melakukan pembunuhan yang direncanakan

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
terlebih dahulu secara berlanjut” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal

340 jo. 55 (1) 1e jo Pasal 64 (1) KUH Pidana (dakwaan primair)

2. Menghukum terdakwa Tumini tersebut dengan pidana Mati

3. Supaya terdakwa tetap ditahan

4. Menyatakan barang bukti berupa :

1) 2 (dua) potong kemeja masing-masing warna abu-abu dan kaos warna biru liris

putih

2) 1 (satu) buah dompet warna hitam.

3) Dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak, yaitu Ahli waris dari korban Sri

Kumala Dewi, dan

4) 1 (satu) buah jam tangan merk Mode Annaset Lap Resset, dikembalikan kepada

pemiliknya yang berhak yaitu saksi Iin Gunandar, sedangkan

5) 1 (satu) buah jerigen warna hitam

6) 1 (satu) buah goni plastik warna putih

7) 2 (dua) buah kepala senter warna putih

8) 2( dua) lembar tikar pandan

9) 3 (tiga) buah cangkul bergagang kayu, satu diantaranya merk Chilton

10) 1 (satu) buah guci/keramik berisi pakaian dalam wanita, tanah dan kerangka

otok/bayi dirampas untuk dimusnahakan.

11) Visum et Repertum tanggal 28 April 1997, No. 21/IV/IKK/VER/1997, yang

dibuat oleh Dr. Guntur Bumi Nasution, DSF, Kedokteran Kehakiman RSU H.

Adam Malik/RS Dr. Pringadi Medan

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
12) Surat yang diterima tanggal 10 Maret 1998, yang berisi daftar nama-nama 42

(empat puluh dua) wanita yang berobat dan yang dibuat sendiri oleh terdakwa

dihadapan penyidik, tetap terlampir dalam berkas perkara ini.

5. Menetapkan agar terdakwa jika ternyata dipersalahkan dan dijatuhi pidana supaya ia

dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.7.500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah).

Pledoi (Pembelaan) Terdakwa :

Bahwa atas dakwaan tersebut, terdakwa melalui Nota Pembelaannya Penasehat

Hukumnya yang pada pokoknya berpendapat dan berkesimpulan bahwa terdakwa Tumini

tidak cukup bukti untuk dipersalahkan dalam perkara ini, sehingga dengan demikian

terdakwa harus diputus bebas (vrijspraak) ;

Replik Jaksa Penuntut Umum :

Pada pokoknya tetap berpendapat tetap pada tuntutannya.

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim :

Majelis hakim memberikan pertimbangannya, yaitu :

a. Tentang Fakta-Fakta Hukum

1) Bahwa pada suatu waktu dalam bulan Mei 1995 atau setidak-tidaknya dalam

tahun 1995 sekira pukul 18.30 WIB, korban Supiah datang kerumah terdakwa

Tumini di Desa Sei Semayang Kec. Sunggal – Kab. Deli Serdang, memenuhi

terdakwa Tumini dan saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk yang berpraktek

sebagai dukun ;

2) Bahwa Supiah meminta kepada saksi saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk

supaya membuat pemanos dan penarik untuk korban Supiah

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
3) Bahwa setelah persyaratan yang diminta oleh saksi Ahmad Suraji als. Nasib als.

Datuk yaitu membawa kembang telon, kemenyan putih, kemenyan Arab dan

sepasang jeruk purut serta bersedia diikat, dikubur setengah badan dilakukan pada

malam hari di tempat yang sunyi, maka saksi saksi Ahmad Suraji als. Nasib als.

Datuk mengatakan kepada korban Supiah supaya datang beberapa hari lagi ;

4) Bahwa beberapa hari kemudian, pada suatu waktu dalam bulan Mei 1995 atau

setidak-tidaknya dalam tahun 1995 korban Supiah datang kerumah terdakwa

Tumini di Desa Sei Semayang, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang, kemudian

menemuhi saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk ;

5) Bahwa setelah menyerahkan persyaratan, sekitar pukul 18.30 WIB setidak-

tidaknya pada malam itu terdkawa Tumini mempersiapkan alat-alat berupa :

1(satu) cangkul untuk dipergunakan menggali dan menutup lobang tanah, seutas

tali untuk mengikat tangan dan kaki korban Supiah, 1(satu) karung plastik untuk

tempat pakaian dan perhiasan korban Supiah, 1(satu) buah senter untuk

dinyalakan pada saat saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk menggali lobang

tanah ;

6) Bahwa setelah diperkebunan tebu Sei Semayang di Desa Sei Semayang, Kec.

Sunggal, Kab. Deli Serdang, setidak-tidaknya disuatu tempat di daerah hukum

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk

menggali lobang tanah dengan cangkul dan menyuruh korban Supiah memegang

dan menyalakan senter kearah lobang tanah yang digali saksi Ahmad Suraji als.

Nasib als. Datuk ;

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
7) Sedangkan terdakwa Tumini berada dengan jarak lebih kurang 5 meter dari

lobang tanah yang digali oleh saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk untuk

menjaga agar korban Supiah tidak melarikan diri dan untuk melihat apakah ada

orang yang lewat atau datang ketempat tersebut ;

8) Bahwa setelah saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk selesai menggali lobang

tersebut, saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk menyuruh korban Supiah

masuk kedalam lobang tanah, kemudian korban masuk kedalam lobang tanah

tersebut dengan keadaan posisi berdiri yang kemudian saksi Ahmad Suraji als.

Nasib als. Datuk mengikat kedua tangan dan kedua kaki korban Supiah dengan

tali ;

9) Bahwa saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk menimbun lobang tanah tersebut

dengan tanah sehingga korban Supiah tertimbun dari kaki sampai sebatas dada

dalam posisi berdiri dengan kedua kaki dan kedua tangan dalam keadaan terikat ;

10) Setelah korban Supiah ditimbun dengan tanah, maka saksi Ahmad Suraji als.

Nasib als. Datuk dengan posisi jongkok berada dekat kepala korban Supiah diatas

pahanya dan setelah itu dengan tangan kirinya saksi Ahmad Suraji als. Nasib als.

Datuk menutup mulut dan hidup korban Supiah sedangkan tangan kanannya

mencekik batang tenggorokan korban Supiah dengan kuat sehingga korban

Supiah sempat menjerit dan tak lama kemudian meninggal dunia sedangkan

terdakwa Tumini masih berada + 5 meter dari tempat tersebut untuk melihat dan

mengawasi keadaan sekitarnya ;

11) Saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk mengatakan kepada terdakwa Tumini

lebih dahulu pulang ke rumah dan terdakwa Tumini pulang kerumahnya ;


Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
12) Kemudian saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk membuka mulut korban

Supiah dan menghisap air liur korban Supiah, hal ini dimaksudkannya antara lain

untuk meningkatkan ilmu perdukunan saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk ;

13) Selanjutnya saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk mengorek kembali lobang

tanah yang telah ditimbun tersebut lalu mengangkat mayat Supiah dari lobang

tanah dan meletakkannya dipinggir tanah tersebut, yang kemudian memperbesar

lobang tanah tersebut agar muat mayat Supiah ;

14) Saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk membuka tali yang mengikat kedua kaki

dan kedua tangan mayat Supiah lalu membuka seluruh pakaian korban Supiah

sehingga telanjang dan kemudian pakaian tersebut dimasukkan saksi Ahmad

Suraji als. Nasib als. Datuk kedalam karung plastik yang telah disediakan oleh

terdakwa Tumini dan kemudian menimbun mayat Supiah kedalam lobang tanah

tersebut ;

15) Saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk pulang kerumah dengan berjalan kaki

dan sesampainya dirumah, saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk bertemu

dengan terdakwa Tumini yang setidak-tidaknya telah melakukan atau turut

melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu

menghilangkan nyawa 1(satu) manusia jenis kelamin perempuan.

Bahwa saksi Ahmad Suraji als. Nasib als. Datuk dan terdakwa Tumini telah

melakukan dengan cara yang sama terhadap korban Sri Kumala Dewi als. Dewi yang

dilakukan pada hari Rabu tanggal 23 April 1997 pukul 19.30 WIB atau setidak-

tidaknya dalam bulan April 1997 di lokasi yang sama.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
b. Dalam Pokok Perkara

Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut dengan dakwaan yang

berbentuk alternatif, sehingga akan dipertimbangkan dakwaan primair, yaitu

melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 (1) ke-1 jo Pasal 65 KUHP, yang unsur-unsurnya

adalah sebagai berikut :

Pasal 340 KUHP :

1. Dengan sengaja

2. Direncanakan lebih dahulu

3. Menghilangkan jiwa orang lain.

Menimbang, bahwa Majelis akan mempertimbangkan peranan terdakwa dalam Pasal

55 (1) Ke-1 KUHP, yang berbunyi dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa

pidana :

1. Orang yang melakukan

2. Orang yang menyuruh melakukan

3. Turut melakukan perbuatan itu

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata

perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan pertama

tersebut sehingga Majelis berkesimpulan terdakwa telah terbukti secara sah dan

menyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar

Pasal 340 jo Pasal 55 (1) ke-1 jo Pasal 65 KUHP.

Hal-hal yang memberatkan :

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
1. Perbuatan terdakwa diluar batas perikemanusiaan, karena begitu tega ikut serta

menghilangkan nyawa (membunuh) wanita-wanita yang diketahuinya adalah teman

atau tetangganya sendiri;

2. Bahwa perbuatan terdakwa menimbulkan dampak negatif yang luas dan sangat

menjadi perhatian masyarakat nasional dan internasional;

3. Bahwa terdakwa mungkir dipersidangan serta memberi keterangan yang berbelit-belit

sehingga menyulitkan jalannya persidangan;

4. Bahwa terdakwa tidak ada menunjukkan rasa penyesalan.

Hal-hal yang meringankan :

Sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dipersidangan, Majelis tidak

melihatnya ada selama proses persidangan.

Amar Putusan :

1. Menyatakan terdakwa nama Tumini terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan perbuatan pidana : “Turut serta melakukan pembunuhan berencana yang

dilakukan beberapa kali yang masing-masing dipandang sebagai perbuatan tersendiri-

sendiri”.

2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana Mati.

3. Menetapkan terdakwa tetap ditahan di Rumah Tanahan Negara.

4. Menetapkan agar barang bukti berupa :

1) 2 (dua) potong kemeja masing-masing warna abu-abu dan kaos warna biru liris

putih

2) 1 (satu) buah dompet warna hitam.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak, yaitu Ahli waris dari korban Sri

Kumala Dewi, dan

3) 1 (satu) buah jam tangan merk Mode Annaset Lap Resset, dikembalikan kepada

pemiliknya yang berhak yaitu saksi Iin Gunandar, sedangkan

4) 1 (satu) buah jerigen warna hitam

5) 1 (satu) buah goni plastik warna putih

6) 2 (dua) buah kepala senter warna putih

7) 2( dua) lembar tikar pandan

8) 3 (tiga) buah cangkul bergagang kayu, satu diantaranya merk Chilton

9) 1 (satu) buah guci/keramik berisi pakaian dalam wanita, tanah dan kerangka

otok/bayi dirampas untuk dimusnahakan.

10) Visum et Repertum tanggal 28 April 1997, No. 21/IV/IKK/VER/1997, yang

dibuat oleh Dr. Guntur Bumi Nasution, DSF, Kedokteran Kehakiman RSU H.

Adam Malik/RS Dr. Pringadi Medan

11) Surat yang diterima tanggal 10 Maret 1998, yang berisi daftar nama-nama 42

(empat puluh dua) wanita yang berobat dan yang dibuat sendiri oleh terdakwa

dihadapan penyidik, tetap terlampir dalam berkas perkara ini.

5. Menetapkan biaya perkara sebesar RP.7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)

dibebankan kepada terdakwa

B. Analisis Kasus

Suatu perbuatan hukum (wederrechtelijk) belumlah cukup untuk menjatuhkan

pidana. Disamping itu harus ada seorang pembuat yang bertanggung jawab atas
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
perbuatannya, yaitu unsur kesalahan dalam arti kata bertanggungjawab (strafbaarheid

van de dader). Menurut Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi

pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. 45

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana maka prinsip utama yang berlaku

adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Menurut Vos pengertian kesalahan

(schuld) mempunyai 3 (tiga) tanda khusus, yaitu :

1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan


(toerekeningsvatbaarheid van de dader)
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat
berupa kesengajaan atau kealpaan
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si
pembuat atas perbuatannya itu. 46

Majelis Hakim PN Lubuk Pakam dalam perkara No. 514/Pid.B/1997/PN.LP, yang

menyatakan terdakwa Tumini bersalah melanggar Pasal 340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP.

Untuk mengetahui apakah Tumini secara sah dan menyakinkan telah melanggar Pasal

340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP maka harus terlebih dahulu diketahui apakah semua

unsur dalam Pasal 340 jo. 55 (1) ke-1 jo. 65 KUHP telah terpenuhi atau tidak.

Unsur-unsur dari Pasal 340 KUHP adalah sebagai berikut:

1. Dengan sengaja

Bahwa pengertian sengaja menurut Pasal 340 KUHP adalah perbuatan tersebut

dimaksudkan atau dikehendaki termasuk dalam niatnya. Untuk membuktikan unsur

45
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta), 1993, hal. 155
46
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
di Indonesia, (Bandung: CV Utomo), 2004, hal. 34.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
ini dapat dilihat dari motif dilakukan pembunuhan tersebut dan apa yang menjadi

penyebab kematian korban.

Bahwa berdasarkan keterangan terdakwa didalam BAP, adalah merupakan petunjuk

atas kesalahan terdakwa, dimana terdakwa menerangkan ia mengetahui suaminya

sorang dukun, dan untuk melengkapi ilmu perdukunannya, harus menghisap air liur

dari wanita yang mati ditangannya.

Bahwa untuk mendapatkan/mencapai maksud dari pada suaminya, terdakwa berperan

mencari dan mempengaruhi wanita-wanita untuk datang berobat pada suaminya

dengan dalih suaminya dapat memberikan pemanis, pelaris, menggandakan uang. Hal

ini didukung dengan keterangan saksi-saksi yang menerangkan bahwa terdakwa

mendatangi saksi-saksi untuk datang berobat kepada suaminya (Ahmad Suraji als.

Nasib als. Datuk).

Bahwa karena penjelasan terdakwa itu, saksi-saksi tersebut terpengaruh dan datang

berobat pada suami terdakwa dengan membawa persyaratan yang telah ditentukan.

Oleh karena saksi-saksi tersebut datang untuk berobat pada suami terdakwa, maka

tercapailah tujuan/niat terdakwa dengan suaminya untuk membunuh dan kemudian

mendapatkan air liur dari wanita-wanita tersebut.

Bahwa dari uraian-uraian tersebut diatas, unsur dengan sengaja telah terbukti.

2. Direncanakan lebih dahulu

Direncanakan terlebih dahulu maksudnya antara timbulnya maksud untuk membunuh

dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang

memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.


Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Bahwa terdakwa telah mengetahui maksud dari suaminya adalah untuk memperoleh

air liur wanita-wanita, untuk mencapai tujuan itu terdakwa mencari dan

mempengaruhi wanita-wanita tersebut, dalam hal ini jelas terlihat adanya suatu

rencana antara terdakwa dengan suaminya.

Tempoh ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu

lama, yang penting didalam tempoj itu sipembuat dengan tenang masih dapat

berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya

akan membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan. Pembunuhan dengan

mempergunakan racun hampir semua merupakan pembunuhan direncanakan.

Bahwa rencana yang matang itu telah terlihat dari perbuatan terdakwa dimana

terdakwa telah mengetahui bahwa korban Supiah dan Sri Kumla Dewi akan dibawa

dari rumah terdakwa ke kebun tebu Sei Semayang dengan dalih untuk disyarati, dan

mempersiapkan dan membawa alat-alat berupa :

1) cangkul, untuk menggali tanah membuat lobang;

2) senter, digunakan sebagai alat penerang;

3) jerigen berisi air digunakan untuk tempat air minum terdakwa dan suaminya;

4) tikar pandan untuk tempat duduk-duduk korban dan terdakwa pada saat Ahmad

Suraji als. Nasib als. Datuk menggali lobang;

5) goni plastik warna putih untuk tempat pakaian dan barnag-barang korban;

Bahwa dari uraian tersebut diatas, jelaslah jarak waktu sejak mencari wanita-

wanita, mempersiapkan alat-alat, sampai terbunuhnya Sri Kumala Dewi,

demikian juga yang dialami Supiah, terdakwa telah mempunyai tenggang waktu

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
yang cukup dan mempunyai pikiran yang tenang untuk mengurungkan

maksudnya atau tidak.

Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka unsur telah direncanakan terlebih dahulu

telah dipenuhi.

3. Menghilangkan jiwa orang lain

Disini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan

kematian itu dsengaja, artinya dimaksud

Bahwa sesuai dengan fakta yang ada yaitu pada tanggal 27 April 1997 telah

ditemukan sesosok mayat wanita dalam keadaan telanjang di Perkebunan Tebu Sei

Semayang, yang ternyata mayat wanita tersebut dikenal/diakui oleh keluarganya

sebagai mayat Sri Kumala Dewi.

Bahwa berdasarkan Visum Et Repertum yang dilakukan oleh dokter ahli forensik

RSU H. Adam Malik Medan, penyebab kematian dari pada mayat tersebut adalah

karena gagal pernafasan akibat tekanan pada leher.

Bahwa berdasarkan keterangan terdakwa juga di Penyidik dan hasil rekonstruksi,

dihubungkan dengan adanya alat-alat bukti berupa pakaian, dompet yang ditemukan

didalam lemari pakaian dirumah terdakwa serta jam tangan wanita juga dijumpai

ditanam pada kotoran kambing dibawah kandang kambing milik terdakwa yang mana

hal ini diakui oleh keluarga Sri Kumala Dewi ketika Sri Kumala Dewi pergi dari

rumahnya, maka telah terbukti adanya orang/manusia yang meninggal yaitu Sri

Kumala Dewi dan Supiah akibat perbuatan terdakwa dan suaminya

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Berdasarkan uraian di atas, maka unsur menghilangkan jiwa orang lain telah

terpenuhi.

Selanjutnya mengenai peranan terdakwa dalam Pasal 55 (1) Ke-1 KUHP, maka

akan dijelaskan unsur-unsurnya, yaitu :

1. Orang yang melakukan

Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala analisr atau

elemen dari peristiwa pidana.

2. Orang yang menyuruh melakukan

Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh dan yang disuruh. Jadi bukan orang

itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain,

meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri

yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh itu

harus hanya merupakan suatu alat saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena

tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.

3. Turut melakukan perbuatan itu

Turut melakukan dalam arti kata bersma-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada

dua orang, ialah orang yang melakukan dan orang yang turut melakukan peristiwa

pidana itu. Disini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan

pelaksanaan. Jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak

boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang

sifatnya hanya menolong sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak

masuk turut melakukan akan tetapi dihukum sebagai membantu melakukan tersebut

dalam Pasal 56.


Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Bahwa peranan terdakwa dalam peristiwa pidana ini adalah dinilai (sejak) dari

terdakwa mencari wanita yang mau berobat kepada suaminya sampai dengan

terdakwa mempersiapkan alat-alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan dan

menyimpan barang bukti milik korban adalah suatu kerja sma (rangkaian) perbuatan

yang lengkap dan erat antara terdakwa dan suaminya.

Bahwa sekalipun terdakwa tidaklah ikut menyelesaikan perbuatan peristiwa pidana

membunuh, tetapi terdakwa dalam hal ini telah dapat dikatakan sebagai turut serta

melakukan peristiwa pidana, karena perbuatan atau pembunuhan itu tidak mungkin

dapat dilakukan sendiri oleh suami terdakwa, misalnya amat sulit membawa seorang

wanita pada malam hari keperkebunan tebu, apalagi yang pada waktu itu tebu

berumur 5 – 6 bulan.

Bahwa dari rangkaian perbuatan terdakwa tersebut diatas, Majelis berpendapat dan

berkesimpulan bahwa Pasal 55 (1) Ke-1 KUHP telah dapat dibuktikan.

Bahwa selanjutnya akan mempertimbangkan dalam hubungannya dengan Pasal 65

KUHP.

Bahwa Pasal 65 KUHP mempunyai pengertian sebagai berikut : “dalam hal gabungan

beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang masing-masing

berdiri sendiri dan merupakan beberapa kejahatan yang atasnya ditentukan hukuman

pokok yang semacam”.

Bahwa sesuai dengan uraian sebagai tersebut diatas bahwa perbuatan yang dilakukan

terdakwa telah terbukti, dimana terdakwa ikut serta dalam pembunuhan terhadap

korban Supiah dan Sri Kumala Dewi.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Bahwa pembunuhan yang dilakukan terhadap korban Supiah sekitar tahun 1995 dan

pembunuhan terhadap korban Sri Kumala Dewi dilakukan pada tanggal 23 April

1997, sehingga perbuatan-perbuatan tersebut sudah dapat dikwalifisir sebagai

gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri dan diancam

dengan hukuman utama sejenis dan oleh karenanya terdakwa telah memenuhi

ketentuan Pasal 65 KUHP.

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, seluruh unsur-unsur dalam dakwaan

Primair telah terbukti dilakukan terdakwa, maka keputusan Majelis Hakim yang

diberikan kepada terdakwa Tumini telah sesuai dengan analisa perundang-undangan

yang berlaku, yang dalam hal ketentuan KUH Pidana dalam Pasal 340 jo. 55 (1) Ke-1

jo. 65 dari KUHP adalah tepat.

Jika ditinjau dari sudut pandangan Hak Asasi Manusia (HAM), putusan yang

dikeluarkan oleh Majelis Hakim dianggap tidak manusiawi. Menurut penulis dari satu sisi

melihat hukuman mati yang diberikan kepada terdakwa Tumini adalah putusan yang

kejam, tidak manusiawi, dan sadis, namun di sisi lain sebagai bagian dari tujuan

pemidanaan, putusan tersebut dianggap tepat dengan tujuan untuk memberi efek takut

bagi masyarakat lain untuk melakukan tindakan yang sama dan untuk memenuhi rasa

keadilan bagi masyarakat yang dirugikan terutama keluarga korban.

Penulis kurang sependapat dengan Putusan Majelis Hakim dikaitkan dengan Hak

Asasi Manusia dengan alasan :

1. Putusan tersebut dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum

rimba.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
2. Putusan tersebut tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah

seseorang untuk melakukan pembunuhan.

3. Eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di kemudian hari

ternyata tidak memiliki dasar yang kuat.

4. Putusan tersebut berlawanan dengan kebebasan orang (pribadi), karena hidup

manusia adalah milik pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain.

Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung

unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan, hukuman-hukuman lain pun

harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga

mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih

hukuman mati ketimbang menderita seumur hidup di dalam penjara.

Jika ditinjau dari tujuan pemidanaan, sebagaimana kecenderungan pemikiran

hukum positif akhir-akhir ini, bahwa pemidanaan lebih berorientasi untuk mendidik dan

memperbaiki si terhukum. Tetapi, bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain

tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya.

Apalagi, orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang

membunuhnya.

Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan

orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati.

Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan

nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).

Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi

pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum,

maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.

Di sinilah, hendaknya Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut hendaknya

tidak meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam,

putusan tersebut ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan

ketimbang berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak

korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia

seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban,

meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena

pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum

dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi

yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan

dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia

bermasyarakat dan beragama.

2. Pengaturan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia


Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
a. Kejahatan-kejahatan dalam KUH Pidana, yaitu :

a) Pasal 104 tentang usaha dengan sengaja menghilangkan nyawa Presiden atau

Wakil Presiden atau menghilangkan kebebasan mereka atau membuat mereka

tidak cocok untuk memerintah ;

b) Pasal 111 tentang kolusi dengan kekuatan asing yang mengakibatkan perang ;

c) Pasal 123 tentang masuk pelayanan militer di sebuah negara yang perang

dengan Indonesia;

d) Pasal 124 tentang membantu musuh;

e) Pasal 127 tentang penipuan dalam menyampaikan bahan-bahan militer pada

saat perang);

f) Pasal 140 tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara dari negara

sahabat);

g) Pasal 340 tentang pembunuhan dengan sengaja dan terencana;


79
h) Pasal 365 tentang pencurian yang mengakibatkan kematian;

i) Pasal 444 tentang pembajakan yang mengakibatkan kematian seseorang.

b. Ketentuan yang diatur di luar KUH Pidana, yaitu :

a) Dalam Rancangan KUHP

b) Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika ;

c) Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

d) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ;

e) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Kejahatan

Terorisme.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
3. Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan di Indonesia dapat

dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 514/Pid.B/1997/PN-LP

atas, dimana Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan putusan pidana mati

terhadap Tumini yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan

pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 55 ayat (1)

ke-1 dan Pasal 65 KUHP.

B. Saran

1. Tindak pidana pembunuhan terjadi dikarenakan adanya dorongan dalam diri pelaku

yang disebabkan karena kurangnya pendidikan pelaku baik dari pendidikan formal

ataupun pendidkan agama. Untuk itu diharapkan kepada pemerintah untuk

mmberikan pendidikan kepada masyarakat melalui instansi resmi ataupun tidak resmi

sehingga menambah pengetahuan masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan yang

melanggar ketentuan perundang-undangan yang berakibat diberikannya pidana mati.

2. Dalam memerangi kejahatan, diperlukan peran serta masyarakat dalam memberikan

setiap peristiwa pidana yang berada disekitarnya. Hal ini membentu aparatur negara

dalam menindak secara cepat setiap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan

hukum yang berlaku di Indonesia.

3. Dalam memberikan pidana mati, hendaknya kepada Hakim yang memeriksa dan

memutus suatu perkara mempertimbangkan secara baik-baik unsur-unsur yang

dituduhkan kepada terdakwa sehingga dalam membuat putusan secara adil baik

kepada korban ataupun kepada pelaku kejahatan.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arrasjid, Chainur, Sepintas Lintas Tentang Kriminil, Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999.

--------------, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta: Penerbit Yani Tri Pratiwi, 1996.

Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan


Abolisionisme, Bandung: Binacipta, 1996.

Bonger, W.A., Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Penerbit PT. Pembangunan


Ghalia Indonesia, 1982.

Darma, Made Weda., Kriminologi, Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
ELSAM, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP 2005, Position
Paper Advokasi RUU Seri #3, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
ELSAM, 2005.

Gerson W. Bawengan., Pengantar Psikologi Kriminil, Bandung: Penerbit PT. Pradnya


Paramita. 1991.

Husein, Syahruddin, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum
Bagian Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, 2003.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.

Mudikdo, Paul Moeliono, Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Penerbit, A. Umni,


1983.

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,


Semarang, 1995.

---------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,


Semarang, 1996.

---------------, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Penerbit Alumni, 2002.

Mutiara, Dali, Tafsir KUHP, cetakan kelima, Penerbit dan toko buku Bintang Indonesia,
Jakarta.

Nawawi, Barda Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 2002.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas


Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana


Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.

Prodjodikoro, Wiryono, Tindakan-tindakan Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan


kedua, PT. Eresco, Jakarta – Bandung, 1974.

Rahardjo, Sutjipto, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Penerbit Alumni Bandung,
1977.

Sahetapy, J.E., Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung:


Penerbit Alumni, 1979.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.

Soesilo. R, Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab Kejahatan), Penerbit Politeia


Bogor, 1985.

---------------, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar


Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea – Bogor, 1994.

Sudarto, Masalah-Masalah Hukum Nomor 11/1973, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum


UNDIP Semarang.

---------------, Hukum Pidana Jilid IA, dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UNDIP,
Semarang, 1971.

Yahya, M. Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua,
Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

B. Internet dan Surat Kabar

http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=8003&Itemi=
59, Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia Selasa, 29 Agustus 2006.

http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/, Beberapa Pandangan Tentang Hukuman


Mati (Death Penalty) Dan Relevansinya Dengan Perdebatan Hukum Di
Indonesia.

Setiadi, Edi, Menyoal Hukuman Mati di Indonesia, Rubrik Opini harian Pikiran Rakyat, 7
Nopember 2007.

Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan(Study Putusan No.
514/Pid.B/1997/PN-LP), 2008.
USU Repository © 2009

Anda mungkin juga menyukai