Disusun Oleh:
NURIA ADELIANI
119078
C. Klasifikasi
Gagal ginjal dibedakan berdasarkan jumlah nefron yang masih berfungsi dalam
melakukan filtrasi glomelurus. Laju filtrasi glomerulus atau glomerulus filtration rate
(GFR) memiliki nilai-nilai normal yaitu 125 ml/min/1,73m 2 (Brunner & Suddarth, 2013)
nilai laju filtrasi glomerulus yang rendah menunjukkan stadium yang lebih tinggi
terjadinya kerusakan ginjal. Derajat gagal ginjal dibagi menjadi 5 derajat menurut Trisa
(2020), yaitu :
a. Derajat 1 merupakan suatu keadaan dimana terjadi kerusakan struktur ginjal tetapi
ginjal masih memiliki fungsi secara normal (GFR > 90 ml/min/1,73m 2). Gejala
dari penurunan ginjal, mencakup kelainan dalam pemeriksaan darah atau urin atau
dalam pemeriksaan pencitraan dan kreatinin normal tepat atau diatas 90 ml per
menit.
b. Derajat 2 merupakan suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal dengan diikuti
penurunan fungsi ginjal yang ringan (GFR 60-89 ml/min1,73m 2). Gejala dari
menurunnya laju filtrasi ginjal dapat berupa, penurunan GFR asimtomatik,
kemungkinan hipertensi, pemeriksaan darah biasanya dalam batas normal.
c. Derajat 3 merupakan suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal dengan diikuti
penurunan fungsi ginjal yang sedang (GFR 30-59 ml/min / 1,73m 2). Tanda yang
muncul dari penurunan laju filtrasi ginjal yaitu hipertensi, kemungkinan anemia
dan keletihan, anoreksia, kemungkinan malnutrisi, nyeri tulang kenaikan BUN
dan kreatinin serum.
d. Derajat 4 merupakan suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal diikuti dengan
penurunan fungsi ginjal yang berat (GFR 15-29 ml/min / 1,73m 2). Gejala yang
muncul dari derajat 4 yaitu hipertensi, anemia, malnutrisi/anoreksia, perubahan
metabolism tulang, edema, asidosis metabolic, hiperkalsemia, kemungkinan
uremia, azotemia dengan peningkatan BUN dan kadar kreatinin serum
e. Derajat 5 saat kondisi ginjal yang disebut penyakit ginjal kronis dimana fungsi
ginjal sudah tidak dapat melakukan filtrasi (GFR <15 ml/min/1,73m2).
D. Pathways
E. Patofisiologi
Chronic Kidney Disease (CKD)stage V merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
keseimbangan cairan dan elektrolit (Nuari, 2017). Penyebab CKD stage V dapat berupa
hilangnya sel ginjal, hipoksia, hipertensi karena produksi angiotensin II berlebih. Salah
satu penyebab CKD stage V yaitu polikistik ginjal. Polikistik ginjal adalah gangguan
bawaan yang ditandai oleh kumpulan kista yang multiple, bilateral, serta mirip buah
anggur dan membuat ginja membesar, menekan bahkan menggantikan jaringan ginjal
yang masih berfungi (Kowalak, 2012).
Proses yang menyebabkan terbentuknya kista multiple biasanya bersifat degenerative
sering kali terlihat pada penyakit ginjal stadium akhir.
Kista pada ginjal dpat tersebar di korteks maupun medulla. Polikstik ginjal merupakan
kelainan herediter autosomal dengan kerusakan kedua ginjal, adanya infiltrate kista-kista
berbagai ukuran ke dalam parenkim ginjal (Nuari, 2017). Kista terbentuk secara laten
pada saat pasien mengalami serangan gagal ginjal lengkap yang memerlukan dialisis,
ginjal telah sangat membesar dan mengalami kelainan bentuk akibat kista berdinding
tipis dengan beragam ukuran telat menggantikan parenkim ginjal (Loffler, 2017). Ketika
fungsi ginjal menurun maka kemampuan filtrasi ginjal menjadi kurang dari 15
ml/min/1,73m2. Dalam upaya menjaga GFR glomerulus berhiperfiltrasi, hal ini
mengakibatkan cedera endotel, ginjal mengalami penurunan permeabilitas glomerulus,
maka sekresi protein terganggu dan lolos selama proses filtrasi. Selain itu, terjadi retensi
urea dan sampah nitrogen dalam darah menyebabkan sindrom uremia. Banyaknya
sampah urea dan sampah nitrogen dalam darah menyebabkan perpospatemia dan muncul
gejala pruritis pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Ketika, rasa gatal muncul maka
aka nada keinginan unrtuk menggaruk dan dapat merusak lapisan kulitt memunculkan
ulserasi pada kulit (Kowalak, 2013).
Menurunnya GFR menyebabkan ginjal kehilangan kemampuan untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal. Hal ini karena, penurunan
tekanan darah intravena ginjal sehingga merangsang sel juxtaglomerular utnuk
meningkatkan sekresi hormone renin. Hormone renin ini akan mengubah protein
angiotensin I, selanjutnya angiostenin I diaktifasi oleh angiotensin converting enzyme
(ACE) menjadi angiostenin II sehingga sekresi natrium dan air sehingga tekanan
pembuluh kapiler meningkat. Hal tersebut memicu terjadinya hipertensi pada klien
dengan gagal ginjal kronis. Tingginya tekanan pembuluh darah kapiler menyebabkan
perpindahan molekul ke interstitial sehingga cairan ekstraseluler menjadi meningkat dan
menjadikan edema (Black, 2021).
Selah satu fungsi ginjal yang lain yaitu memproduksi hormone eritroprotein untuk
membentuk sel-sel darah merah di sumsum tulang. Ketika ginjal mengalami kerusakan
maka produksi eritropoietin tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah dan
oksihemoglobin terganggu. Berkurangnya oksigen dalam darah akan menyebabkan
sianosis dan akral dingin pada pasien CKD stage V. hal ini karena pasokan oksigen tidak
mencapai anggota tubuh yang terjatuh dari jantung atau bagian perifer. Ketika tubuh
kekurangan oksigen yang diikat bersama dengan hemoglobin akan melakukan
kompensasi untuk menghasilkan energy melalui metabolism anaerob. Metabolism
anaerob menghasilkan energy yang tidak mencukupi untuk aktivitas yaitu 2 ATP,
sehingga penderita gagal ginjal kronis seingkali merasa mudah lelah (Nuari, 2017).
metabolism anaerob pada penderita ginjal memiliki hasil akhir berupa asam laktat.
Metabolism anaerob yang terlalu sering menyebabkan peningkatan asam laktat dalam
tubuh sehingga kadar PH darah dalam tubuh menjadi asam. Hal ini disebut dengan
asidosis metabolic, ketika tubuh dengan PH terlalu asam akan melakukan kompensasi
berupa hiperventilasi untuk menjaga keseimbangan asam basa dalam tubuh (Nuari,
2017).
F. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala penyakit gagal ginjal kronis pada awalnya tidak menunjukkan penurunan
fungsi secara spesifik, namun gejala yang muncul mulai terjadi pada saat fungsi nefron mulai
menurun secara berkelanjutan. Tanda dan gejala yang muncul secara umum menurut Trisna
(2020) meliputi :
a. Hematuria, darah ditemukan dalam urin, adanya gumpalan darah atau urin berwarna
gelap seperti the
b. Urin seperti berbusa (albuminuria).
c. Nyeri yang dirasakan saat buang air kecil
d. Merasa sulit untuk berkemih (tidak lancar)
e. Terjadi penambahan atau pengurangan produksi urin secara signifikan
f. Nokturia (sering buang air pada malam hari)
g. Terasa nyeri di bagian pinggang/perut
h. Edema
i. Peningkatan tekanan darah
Gejala yang terjadi pada pasien sesuai tingkat kerusakan ginjal yang mulai
mengganggu system organ tubuh yang lain, menurut Nuari (2017) dapat berupa :
- Gangguan kardiovaskuler
Adanya hipertensi tidak terkontrol, uremik perkarditis, kardiomiopati, gagal
jantung akibat kelebihan cairan dan gangguan irama jantung akibat
meningkatnya beban jantung memompa darah.
- Gangguan pulmoner
Adanya keluhan sesak nafas sebagai akibat dari kurangnya kadar oksigen
dalam darah karena menurunnya produksi hemoglobin oleh enzim eritropoerti
sehingga oksigen dalam darah menurun. Edema paru akibat penumpukan
cairan berlebih pada paru-paru
- Gangguan gastrointestinal
Ureum yang tertimbun disaluran pencernaan mengakibatkan terjadinya
inflamasi dan ulserasi dimukosa saluran pencernaan sehingga dapat terjadi
gastritis, ulseratif duodenal. Selain itu, reaksi sekunder dari ureum naik yaitu
anoreksia, nausea, penurunan nafsu makan dan vomitus.
- Gangguan musculoskeletal
Penimbunan ureum diotot dan saraf mengakibatkan muncul keluhan nyeri
tungkai bawah, gangguan saraf berupa kelemahan, demineralisasi tulang
karena penurunan fungsi ginjal dalam mengaktifkan vitamin D yang berperan
dalam pembentukan tulang
- Gangguan integument
Kulit Nampak pucat, mudah lecet, raput, kering dan berisik, timbul bintik
bintik hitam dan gatal akibat ureum atau kalsium yang tertimbun di kulit.
Kulit berwarna putih seperti berlilin terjadi akibat pigmen kulit dipenuhi urea
dan anemia. Penimbunan urea dikulit mengakibatkan terjadinya pruritis.
- Gangguan endokrin
Bisa mengakibatkan terjadinya gangguan infertilitas, penurunan libido,
gangguan amenorrhea dan siklus haid pada wanita. Peningkatan pengeluaran
aldosterone dan mengakibatkan rusaknya metabolism karbohidrat.
- System hematologi
Anemia karena berkurangnya produksi eritropoietin sehingga rangsangan
sritropoetin pada sumsum tulang berkurang, hemodialysis meningkat karena
masa hidup sritrosit berkurang dalam kondisi uremia toksik pada penderita
gagal ginjal.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat melengkapi dalam menentukan diagnosis penunjang
pada penderita gagal ginjal yaitu :
a. Permeriksaan urin lengkap (volume urin normal 0,5-1 cc/kgBB/jam, warna
kuning keruh)
b. Pemeriksaan darah (BUN/kratinin tidak lebih dari 0,1. Kadar hhemoglobin
natrium serum meningkat, kalium meningkat, magnesium meningkat,
protein/albumin meningkat dan PH darah normal Antara 7,35-7,45)
c. Osmolalitas serum, lebih dari 285 mOsm/kg
d. Ultrasono ginjal, untuk menentukan ukuran ginjal, melihat apakah ada massa
dalam ginjal, dan melihat obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
e. Endoskopi ginjal, untuk mrlihat kondisi pelvis ginjal mengenai letak sumbatan,
letak obstruksi.
EKG, untuk menilai kondisi abnormal jantung sebagai akibat dari komplikasi,
maupun kerja jantung yang dipengaruhi oleh ketidakseimbangan metabolism yang
terjadi di ginjal (Nuari, 2017).
H. Komplikasi
CKD stage V merupakan penyakit ginjal yang bersifat progresif sehingga lambat laun akan
muncul beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD stage V menurut Ariani, (2016) yaitu :
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolic, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
b. Prikarditis, efusi pericardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin
angiotensin aldosterone.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan kehilangan
darah selama hemodalisa.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolic akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolism vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar aluminium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual dan muntah
Fungsi ginjal yang terganggu mengakibatkan terjadinya komplikasi yang berbeda
berdasarkan kerusakan nefron (Tessy, 2010, dalam Trisa, 2020)
Tabel 2.1
Stadium gagal ginjal
GFR
Derajat penjelasan Komplikasi
(ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan >90 -
GFR normal
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Peningkatan tekanan
penurunan ringan GFR darah mulai terjadi
3 Kerusakan ginjak dengan 30-59 Hiperfosfatemia,
penurunan sedang GFR hipokalsemia,
anemia,
hiperparatiroid,
hipertensi,
hiperhomosisteinemia
4 Kerusakan ginjal dengan 15-29 Malnutrisi, asidosis
penurunan berat GFR metabolic, cenderung
hyperkalemia
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung dan
uremia.
Sumber : (Tessy, 2010, dalam Trisa 2020).
I. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
A. Medis
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Hemodialisa
Hemodialisa merupakan dialysis yang dilakukan melalui tindakan infasiv di vena
menggunakan mesin sebagai pengganti ginjal. Proses hemodialisa ini melalui akses
pembuluh darah AV shutyaitu menggabungkan vena dan arteri. Selain itu juga dapat
melalui akses double lumen yaitu akses dialysis langsung melalui pembuluh darah
yang mengarah ke jantung. Tindakan terapi dialysis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialysis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(GFR).
2) Peritoneal dialysis
Pada continues ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), penderita gagal ginjal dapat
melakukan dialysis secara mandiri. Proses dialysis ini dilakukan melalui membrane
semi permeable yang ada di peritoneum abdomen, sehingga dapat dilakukan secara
mandiri dengan prinsip bersih dan steril. Selain itu penderita aggal ginjal juga dapat
melakukan aktivitas dengan mudah tanpa menunggu proses dialysis yang lama.
3) Transplantasi ginjal
Tranplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara memanfaatkan sebuah
ginjal sehat (yang diperoleh melalui proses pendoniran) melalui prosedur
pembedahan. Pada fase akut pasca transplantasi, dipertahankan euvolemik atau
sedikit hipovolemik dengan insensiblewater loss (IWL) diperhitungkan sebesar 30-60
ml/jam. Pada pasien normovolemik dan graft berfungsi baik asupan cairan harus
seimbang dengan produksi urin ditambah dengan IWL 500 – 750 ml. (Smeltzer dan
Bare, 2013).
B. Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan CKD
stage V yaitu :
1. Pembatasan protein
Tujuan pembatasan protein adalah mengurangi asupan kalium dan fosfat,
mengurangi produksi ion hydrogen yang berasal dari protein dan
mengurangi kadar blood urea nitrogen (BUN). Pembatasan asupan protein
dapat menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya
gagal ginjal. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-
8 g/hari, apabila penderita mendapatkan pengobatan dialysis secara
teratur.
2. Pembatasan cairan
Pada pasien CKD stage V asupan cairan harus diawasi secara seksama.
Menurut smeltzer dan bare (2013) menyebutkan bahwa apabila asupan
cairan yang diminum bebas atau berlebih dapat menyebabkan terjadinya
edema, sedangkan asupan yang terlalu rendah akan meyebabkan dehidrasi
dan gangguan fungsi ginjal. Pengaturan cairan dapat dilakukan salah
satunya dengan konseling. Rekomendasi asupan cairan pada pasien CKD
stageV menurut Tarwoto dkk. (20120 adalah :
a. CKD pre dialysis : cairan tidak dibatasi dengan produksi urin yang
normal.
b. CKD hemodialysis 5500 ml/hari + produksi urin.
c. CKD dialysis peritoneal: 1500 – 2000 ml/hari dan lakukan
pemantauan harian
d. Transplantasi ginjal : pada fase akut pasca transplantasi,
dipertahankan euvolemik atau sedikit hipovolemik dengan
insensible water loss (IWL) diperhitungkan sebesar 30-60 ml/jam.
Pada pasien normovolemik dan graft berfungsi baik asupan cairan
minimal 2000 ml/hari. Pada pasien oluguria asupan cairan harus
seimbang dengan produksi urin ditambah dengan IWL 500-750ml.
DAFTAR PUSTAKA
Aisara, Sitifa, dkk. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang menjalami
Hemodialisa di RSUP Dr. M Djamil Padang. 7(1) Jurnal Kesehatan Andalas
Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson. (2021). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 9
Gangguan Sistem Pencernaan. Elsevier
Loeffler, Agnes G. (2017). Patofisiologi Untuk Profesi Kesehatan : Epidemiologi, Diagnosis, &
Pengobatan Ed. 6. Jakarta : EGC
Trisa, Sulistyaningsih. (2020). Stop Gagal Gijal dan Gangguan Ginjal Lainnya. Yogyakarta:
Deepublish
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan
: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan :
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan :
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia