Anda di halaman 1dari 14

Pemakaian Terumbu Buatan sebagai Bangunan Pelindung Pantai

Haryo Dwito Armono Laboratorium Rekayasa Dasar Laut dan Bawah Air Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 60111. Email : armono@oe.its.ac.id ABSTRAK
Pada umumnya studi terumbu buatan lebih banyak dilakukan oleh para ahli biologi atau perikanan dibanding ahli teknik pantai. Studi-studi terdahulu lebih difokuskan pada aspek lingkungan , misal seperti distribusi jenis ikan yang ada di sekitar terumbu buatan, produktivitas terumbu buatan, atau studi perbandingan antara terumbu buatan dan terumbu karang. Hanya beberapa peneliti saja yang melakukan studi mengenai aspek fisik atau aspek hidraulik terumbu buatan. Sementara itu, para ahli teknik pantai yang berlatar belakang teknik sipil, lebih menekankan pada aspek stabilitas dan efektivitas redaman berbagai jenis bangunan bangunan pelindung pantai dengan ambang benam (submerged breakwater). Makalah ini ditulis untuk mempertemukan aspek biologi dan aspek fisik pada suatu terumbu buatan dengan penekanan pada kemampuan terumbu buatan dalam melindungi pantai dari serangan gelombang sehingga akan didapatkan suatu bangunan pantai ramah lingkungan. Untuk itu, tinjauan atas pemakaian terumbu buatan sebagai bangunan pelindung pantai pada aspek fisik akan diuraikan secara singkat. Penekanan pada aspek fisik ini berupa kemampuan terumbu buatan dalam mereduksi gelombang, melalui mekanisme pecahnya gelombang datang, penggeseran frekuensi gelombang serta dan pola arus perubahan garis pantai yang akan ditimbulkannya. Beberapa persamaan untuk memperkirakan koefisien transmisi gelombang juga akan didiskusikan dalam makalah ini. Kata kunci: Terumbu Buatan, Submerged breakwater, Teknik Pantai.

PENDAHULUAN Jaringan peneliti terumbu buatan di Eropa (European Artificial Reef Research Network EARNN) mendefinisikan terumbu buatan (artificial reefs) sebagai suatu bangunan yang sengaja dibenamkan untuk menirukan karakteristik terumbu karang (coral reefs) (Jensen, 1998). Sebelumnya, Harris (1995) mendefinisikan istilah terumbu buatan untuk berbagai benda buatan manusia yang dibenamkan ke dasar laut. Dari aspek biologi dan lingkungan, terumbu buatan juga didefinisikan sebagai suatu struktur buatan manusia yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan habitat, sumber makanan dan tempat pemijahan bagi hewan-hewan laut. (White et al, 1990). Sedangkan para peneliti teknik pantai yang lebih condong ke aspek fisik, juga mengunakan istilah terumbu buatan untuk bangunan pelindung garis pantai ambang benam (submerged breakwater) (Creter, 1994, Harris 2001) atau bangunan pembangkit gelombang untuk keperluan selancar (Craig, 1992). Terumbu buatan diletakkan di daerah-daerah tertentu dengan tujuan meningkatkan atau merestorasi lingkungan atau sumberdaya pesisir; yaitu daerah-daerah (i) yang memiliki produktivitas rendah, atau kondisi lingkungan dan habitat di daerah tersebut sudah sedemikian parah kerusakannya, seperti pantai yang tererosi (Creter, 1994); (ii) yang terumbu karangnya sudah rusak atau hilang (Crark dan Edward, 1994); atau (iii) untuk memperbaiki karakteristik gelombang sehingga bisa digunakan untuk berselancar (Craig, 1992 dan Black, 2000). Namun demikian, terumbu buatan lebih sering digunakan untuk peningkatkan produk-produk perikanan, yang sukses dilakukan oleh Jepang dan Amerika Serikat (Grove et al., 1989 dan 1994; McGurrin and Reeff, 1986; McGurrin et al, 1989; Stone 1985; and Stone et al., 1991, Barber, 2001). Sebagian besar studi atau penelitian terumbu buatan pada awalnya lebih banyak dilakukan oleh ahli biologi atau peneliti kelautan. Studi-studi tersebut difokuskan pada aspek biologi dan

lingkungan, seperti misalnya seperti distribusi jenis ikan yang ada di sekitar terumbu buatan, produktivitas terumbu buatan, atau studi perbandingan antara terumbu buatan dan terumbu karang. Hanya beberapa peneliti saja yang melakukan studi mengenai aspek fisik atau aspek hidraulik terumbu buatan. Sementara itu di sisi lain, studi aspek fisik bangunan-bangunan pelindung pantai dengan ambang benam (yang sering juga didefinisikan sebagai terumbu buatan), lebih banyak dilakukan oleh para ahli teknik pantai. Studi-studi ini lebih menekankan pada aspek stabilitas dan efektivitas redaman berbagai jenis bangunan bangunan pelindung pantai dengan ambang benam. Dari sudut pandang hidrodinamika gelombang, terumbu buatan (artificial reefs) yang sering diteliti oleh ahli biologi dan bangunan pantai dengan ambang dibawah muka air laut (submerged breakwater) memiliki karakteristik yang hampir sama. Dalam makalah ini, istilah terumbu buatan digunakan untuk kedua jenis bangunan tersebut diatas sebagai bangunan pelindung pantai. Aspek fisik seperti hidrodinamika, stabilitas, dan perubahan garis pantai setelah pemasangan terumbu buatan akan didiskusikan secara ringkas. KOEFISIEN TRANSMISI GELOMBANG TERUMBU BUATAN Untuk perletakan di daerah dangkal (freeboard kecil) bangunan-bangunan dengan ambang rendam akan memecahkan gelombang saat melewati bangunan tersebut. Reduksi gelombang juga disebabkan oleh adanya turbulensi dan interaksi non linier antara terumbu dan gelombang datang. Gambar 1 menunjukkan efek global dan lokal yang terjadi di sekitar terumbu buatan. Bentuk gelombang setelah melewati terumbu umumnya lebih pendek dan lebih kecil dibanding gelombang datang; atau dengan kata lain, terjadi pengurangan tinggi gelombang atau spektrum kerapatan energi. Hal ini bisa terlihat dari perubahan bentuk spektrum gelombang (Bleck and Oumeraci, 2001)

Gambar 1. Efek global dan lokal yang terjadi di sekitar terumbu buatan (Black dan Oumeraci, 2001) Kinerja bangunan pantai sebagai penahan gelombang umumnya dilihat dari koefisien transmisi gelombang (KT), yaitu perbandingan antara gelombang yang melewati bangunan tersebut terhadap gelombang datang. Semakin rendah nilai KT, semakin baik kinerja bangunan tersebut. Karena terumbu buatan memiliki ambang dibawah muka air, nilai KT pada terumbu buatan umumnya sedikit lebih besar dibanding bangunan-bangunan pantai dengan ambang di atas muka air laut. Namun demikian, pada umumnya, semakin besar amplitudo gelombang datang, koefisien transmisi yang terjadi akan berkurang (CERC, 1984). Hal ini berarti bahwa terumbu buatan sangat efektif menahan gelombang-gelombang besar, dan dapat digunakan untuk memicu pecahnya gelombang-gelombang besar.

Pengamatan selama pembuatan terumbu buatan di Yugawara (Jepang) menunjukkan bahwa ambang yang lebar lebih mampu mengurangi energi dibandingkan dengan dengan terumbu yang memiliki ambang sempit (Ohnaka and Yoshizawa, 1994). Sementara itu dalam skala laboratorium, koefisien transmisi gelombang akan dipengaruhi oleh gelombang yang pecah oleh keberadaan terumbu buatan (Ahrens, 1987, Seabrook, 1997, Armono, 2003), ataupun pada kondisi gelombang datang yang tidak pecah saat melewati terumbu buatan tersebut (Aono dan Cruz, 1996, Armono, 2003). Studi lebih lengkap mengenai pecahnya gelombang saat melewati terumbu buatan (berbentuk segitiga) telah dilakukan baik dengan model fisik (Smith dan Kraus, 1990) maupun model numerik (Armono, 2006). Pada studi oleh Smith dan Kraus (1990) untuk gelombang datang reguler, gelombang yang pecah di sekitar terumbu buatan pada umumnya berbentuk plunging dan collapsing dan dipengaruhi oleh arus balik (return flow. Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2a, gelombang sekunder yang terbentuk didepan gelombang utama akan menyebabkan gelombang utama pecah sebelum gelombang utama tersebut mencapai kondisi batas pecah (kedalaman pecah). Indeks gelombang pecah (b = Hb/Ho) akan meningkat seiring dengan menguatnya arus balik. Arus balik ini akan semakin besar apabila sudut kemiringan terumbu buatan 1 cukup besar dan kemiringan gelombang (Ho/Lo) yang rendah sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2b.

b =

Hb Ho

Hb

Ho

hb 3 1

a. Typical Incipient Wave Breaking a. Typical Incipient Wave Breaking


b
2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0

b
Regresion Calculated
2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0

Regresion Calculated

0.8 0.6 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10

0.8 0.6 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10

Ho/Lo 1 = 5o

o/Lo 1= 15o

b. Typical Breaker Heigh as function of Deepwater Steepness b. Typical Breaker Height as aafunctionof Deepwater Steepness

Gambar 2. Indeks gelombang pecah pada Terumbu Buatan (Smith and Kraus, 1990) Pengaruh lebar puncak terumbu buatan terhadap gelombang pecah telah juga diamati dalam skala laboratorium (Seabrook, 1996, Armono, 2004) maupun di lapangan (Yoshioka et al,1993 dan Ohnaka & Yoshizawa,1994). Semakin panjang jarak tempuh gelombang pecah melewati terumbu, semakin besar reduksi gelombang yang dihasilkan. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3, pengaruh lebar ambang (B) dan panjang gelombang (Lo) terhadap koefisien Transmisi KT.

1.5

F/Ho
2.1

1.6

1.0

KT

1.3 1.0

Ho/Lo
0.6 0.04~ 0.04~ ~0.04 ~0.04 ~0.03 ~0.03 ~0.02

0.5
0.4

F/Ho
0.2 0.0 -0.2 Tanaka (1976)

~0.02

1.0

B/Lo

2.0

3.0

Figure 3. Koefisien transmisi Terumbu Buatan (Yoshioka et al, 1993) Notasi F dalam gambar 3 di atas menunjukkan jarak ambang terhadap muka air (freeboard) sebagaimana ditunjukkan pula pada gambar 4 berikut:
Onshore Ht armour material - D50 B F h core material d Hi, T Offshore

Gambar 4. Tumpukan batu pecah dengan ambang lebar untuk meredam gelombang Untuk skala laboratorium, pengaruh lebar dan kedalaman ambang terhadap koefisien transmisi telah dilakukan oleh Seabrook (1997). Studi ini memberikan persamaan untuk memperkirakan koefisien transmisi pada kedalaman relatif (h/d) antara 0.56 dan 1 sebagai berikut:
0.65 F 1.09 Hi B.F F .Hi B KT = 1 e Hi + 0.047 + 0.067 L.D50 BD50

[1]

D50 adalah diameter median batu pelindung yang dirumuskan sebagai D50=(M50/a)1/3, M50 adalah berat median batu pelindung dan a merupakan rapat massa batu pelindung. Gambar 4 di atas menjelaskan notasi-notasi yang digunakan dalam persamaan [1] tersebut. Sebuah disain terbaru terumbu buatan yang diberi nama Aquareef yang berfungsi untuk substrat seaweed dan untuk meningkatkan kondisi lingkungan habitat sekitar terumbu telah diusulkan di Jepang (Hirose et al, 2002). Dengan bantuan grafik pada gambar 5, koefisien transmisi Aquareef tersebut dapat diperkirakan berdasarkan jumlah unit terumbu yang digunakan (n) atau lebar ambang (B) dengan koefisien transmisi.

H1/3, L1/3 Ht 2.6m number of rows n = 3 ~ 20 B d


2.0m

5.0m

1:2

1:30

rubble mound

1: 2

1.0 0.8
Ht/H1 /3

0.6 0.4 0.2 0.0 0.0

F/H/1/3 R H

1/3

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0

0.1

0.2

0.3
B/L
1/3

0.4

0.5

0.6

Figure 5. Koefisien Transmisi Aquareef Notasi H1/3 dan L1/3 pada grafik diatas menunjukkan tinggi dan panjang gelombang signifikan, dan F sebagaimana telah dijelaskan dimuka merupakaan freeboard. Pemakaian grafik di atas disarankan untuk penempatan Aquareef di pesisir dengan kemiringan kurang dari 1/30 dengan tinggi gelombang kurang dari 6,5m. Sementara itu, Armono (2003) meneliti koefisien transmisi terumbu buatan berbentuk kubah yang difungsikan sebagai bangunan peredam gelombang sebagaimana ditunjukkan pada gambar 6. Dalam penelitian tersebut dipelajari pengaruh kedalaman air, ketinggian relatif struktur, periode dan tinggi gelombang datang, kemiringan gelombang, lebar ambang, dan konfigurasi perletakan terumbu terhadap koefisien transmisi gelombang.
Onshore Ht Artificial reefs units g, , w B core material Hi, T Offshore

armour material d h

Gambar 6 Terumbu buatan bentuk kubah untuk meredam gelombang Armono (2003) memberikan persamaan [2] untuk memperkirakan koefisien transmisi gelombang pada bangunan peredam gelombang dengan terumbu buatan yang diusulkannya:

KT =

1 H 1 + 14.527 i2 gT
0.901

B gT 2

0.413

h B

1.013

h d

4.392

[2]

Mengingat keterbatasan fasilitas penelitian, persamaan [2] di atas hanya berlaku pada kondisi berikut: 8,4.10-4< Hi/gT2 <94,7.10-4; 9,81.10-3 < B/gT2 < 105,15.10-3; 0.350 < h/B < 0.583 dan 0.7 < h/d < 1.0. Frekuensi dan tinggi gelombang yang datang pada sebuah terumbu buatan sangat menentukan dalam perencanaan pemakaian terumbu buatan sebagai peredam gelombang. Perhatian khusus perlu diberikan pada tinggi gelombang tertentu apabila terumbu buatan tersebut difungsikan sebagai peredam gelombang. Untuk penempatan dengan ambang terumbu jauh dibawah air, hanya gelombang-gelombang besar yang efektif direduksi. Sebagaimana ditunjukkan oleh Yoshioka et al, (1993) pada gambar 7, untuk gelombang dengan ketinggian di atas 2m frekuensi serangan gelombang akan berkurang apabila dipasang terumbu dengan ambang yang cukup dalam / freeboard besar (Gambar 7a).
(a) Frequency of incoming waves

Frequency

Storm wave Design wave

4 Ho (m)

(b) Crown depth (deep)

(c) Crown depth (shallow)

Frequency

Frequency

With reef No reef

4
Ho (m)

4
Ho (m)

Figure 7. Tipikal Distribusi Frekuensi Serangan Gelombang (Yoshioka et al, 1993) Namun apabila terumbu buatan difungsikan untuk menstabilisasi garis pantai, penempatan ambang terumbu yang dangkal akan lebih menguntungkan, karena mampu meredam gelombang-gelombang kecil yang cukup banyak frekuensi kejadiannya. Untuk tinggi gelombang di atas 1m, frekuensi gelombang yang terjadi lebih rendah setelah dipasang terumbu dengan ambang dangkal / freeboard kecil.

STABILITAS UNIT TERUMBU BUATAN


Hal yang harus dipertimbangkan dalam sebuah perancangan terumbu buatan sebagai peredam gelombang adalah gerusan / scouring dan endapan / akresi sediment di sekitar terumbu tidak boleh mengurangi stabilitas terumbu tersebut dalam menjalankan fungsinya sebagai peredam

gelombang dan penyedia habitat makhluk-makhluk laut. Proses gerusan di daerah dengan pengaruh gelombang (arus bolak-balik) tidaklah sebesar gerusan yang terjadi pada daerah tanpa gelombang (arus searah). Untuk gerusan maksimum arus searah yang terjadi didepan terumbu bentuk kubah besarnya sekitar 67% diameternya (Shamloo et al, 2001). Selain itu stabilitas tiap unit terumbu buatan perlu dipertimbangkan Unit-unit tersebut tidak boleh bergeser atau terguling, dan harus tetap pada posisinya saat gelombang datang. Untuk itu gaya gesek antara unit terumbu dengan dasar laut harus lebih besar dari komponen horisontal gaya-gaya hidrodinamika gelombang. Stabilitas tiap unit terumbu buatan dapat diperkirakan dengan menggunakan Angka Stabilitas (Ns) yang biasa digunakan dalam merencana stabilitas batu pelindung pemecah gelombang (breakwater). Hudson et al, (1979) memberikan persamaan Angka Stabilitas tersebut sebagai berikut: Ns = 1 / 3 H a (R 1)Wa1 / 3

[3]

H adalah tinggi gelombang datang, W berat tiap unit batu pelindung, a adalah berat jenis batu pelindung, R adalah rasio berat jenis batu pelindung terhadap air: a/ w. Dalam praktek, koefisien stabilitas KD lebih sering digunakan daripada angka stabilitas Ns. Hubungan antara KD dan Ns dapat diperoleh dari studi di laboratorium dengan menggunakan persamaan berikut:

N s = ( K D cot )1 / 3

[4]

adalah sudut kemiringan dari tumpukan batu pelindung. Nilai-nilai KD untuk beberapa contoh batu pelindung peredam gelombang telah diberikan di Shore Protection Manual (CERC, 1994). Nilai KD yang tinggi menunjukkan tingginya stabilitas terhadap serangan gelombang. Nakayama et al (1993), melihat bahwa angka stabilitas tergantung pada perbandingan kedalaman penempatan batu pelindung (h) terhadap tinggi gelombang datang (H) atau h/H dan periode gelombang.
4.5 4 3.5 3 2.5 FS C BS BH

Ns

Ns fs (FD)
2 1.5 1 0.5

Ns c (FD)

FD
0 -3 -2 -1 0 1 2 3

FD

Gambar 8. Angka stabilitas batu pelindung pada peredam gelombang dengan ambang di bawah muka air (Vidal et al, 2000) Vidal et al (2000) memberikan grafik seperti ditunjukkan pada gambar 8 untuk memperkirakan stabilitas batu pelindung pada peredam gelombang ambang benam (submerged breakwater). Vidal membagi struktur peredam gelombang ambang benam dalam lima daerah pengamatan: Front Slope (FS), Crest (C), Back Slope (BS), Front Head (FH) dan Back Head (BH). Dengan

menghubungkan freeboard tanpa berdimensi (rasio freeboard terhadap diameter unit batu pelindung; FD = F/D) dengan kurva untuk tiap-tiap daerah pengamatan, dapat diketahui angka stabilitas Ns untuk batu pelindung yang diinginkan. Sehingga, untuk tingkat kerusakan tertentu, dapat diketahui angka stabilitas Ns yang dirumuskan sebagai rasio antara tinggi gelombang datang (Hi) terhadap rapat massa relatif (=s/w-1) dan diameter unit batu pelindung (D):

Ns =

Hi D

[5]

Dengan melihat grafik pada gambar 8, diameter batu pelindung yang ditumpuk seperti gambar 4 dengan kemiringan sudut sebesar 1: 1,5 dapat diperkirakan dengan persamaan berikut: Dc = D fs Ns fs .FD Ns c .FD [5]

Dc adalah diameter unit batu pelindung yang diletakkan pada lokasi crest (ambang), Dfs adalah diameter unit batu pelindung pada front slope (sisi muka). Nsc dan Nsfs masing-masing adalah angka stabilitas kritis untuk unit batu pelindung pada lokasi crest dan front slope. Sedangkan FD adalah freeboard non dimensi sebagaimana telah dijelaskan di atas. Grafik Vidal dapat digunakan untuk memperkirakan stabilitas terumbu buatan dengan menganalogikannya sebagai unit-unit batu pelindung bangunan peredam gelombang. D50 dari unit terumbu buatan yang terletak di sisi muka (front slope) dapat digunakan untuk menghitung perkiraan awal nilai FD. Perlu dicatat bahwa kurva pada gambar 8 diatas hanya berlaku pada kondisi dimana nilai FD diantara 2.01 sampai 2.4 dan hanya bisa diaplikasikan pada kondisi yang sama dengan saat grafik tersebut di turunkan dari percobaan laboratorium. Kondisi tersebut adalah: Batu pelindung utama: D50 = 2.49cm, D85/D15= 1.114, rapat massa s = 2650 kg/m3 dan porositas =0.45; Batu Lapisan kedua dan lapisan inti: D50 = 1.90cm, D85/D15=1.366 dan porositas = 0.44; kemiringan struktur () 1:1,5 dengan lebar ambang 0.15m. Untuk terumbu buatan berbentuk kubah, kurva stabilitas pada berbagai kedalaman perletakan dan tinggi gelombang dan periode tertentu ditunjukkan pada gambar 9. Kondisi untuk perbagai periode dan tinggi gelombang dapat dilihat selengkapnya di Roehl (1997). Kurva-kurva tersebut diperoleh melalui studi model fisik di laboratorium dengan mengaplikasikan gaya gelombang maximum (wave force Fw yang terdiri dari drag force Fd, dan inertial force Fi) pada sebuah Reef Ball. Gaya yang menahan (resisting force Fr) gaya gelombang tadi adalah adalah perkalian dari berat terumbu (Wdry), gaya apung (buoyancy Fb) dan gaya angkat (lift force Fl). Jika gaya gelombang lebih kecil (Fw) dari gaya penahan (Fr), terumbu tersebut akan stabil. Secara matematis gaya-gaya tersebut dapat di rumuskan sebagai: Fw =

( Fd
Fw

+ Fi 2 FS dan Fr = (Wdry Fb Fl )

[6]

dimana FS adalah angka keamanan (Safety Factor). Untuk mendapatkan berat minimum Reef Ball, persamaan [6] diatas dapat ditulis kembali sebagai: W dry >

+ Fb + Fl

[7]

Sebagimana studi model fisik yang lain, kurva yang diberiken oleh Roehl (1997) hanya berlaku pada kondisi yang sama pada saat percobaan dilakukan, yaitu stabilitas untuk terumbu buatan tunggal. Kurva tersebut tidak berlaku untuk beberapa terumbu yang diletakkan bersama-sama sehingga memungkinkan adanya interlocking (ikatan antar terumbu) yang mampu meningkatkan stabilitas terhadap gelombang seperti Aquareef.

30000 Wave Height (ft)

Required Module Weight (lbs)

18000

30 20 10 5 2.5

12000

6000

0 0 25 50 75 100

Water Depth (ft)

Gambar 9. Kurva stabilitas Reef Ball pada periode gelombang 12 detik (Roehl, 1997) Kurva stabilitas Aquareef sendiri telah diberikan oleh Hirose et al (2002), seperti ditunjukkan pada gambar 10. Gaya yang mampu ditahan oleh Aquareef (Fr) adalah hasil perkalian berat Aquareef dibawah air (Wwet) dan koefisien gesek (). Hirose tidak mempertimbangkan gayagaya vertikal (gaya apung Fb dan gaya angkat Fl) seperti Roehl mengingat dalam eksperimen yang dilakukannya, gaya-gaya tersebut relatif kecil dibandingkan dengan gaya-gaya horisontal. Untuk memperkirakan jumlah baris Aquareef yang dibutuhkan (gambar 10b), harga koefisien gaya (Kn) harus dicari terlebih dahulu dengan persamaan:

Kn =

Fr w H1/ 3 A

[8]

dimana Fr adalah Gaya penahan Aquareef (Fr = .Wwet) , w adalah berat jenis air, H1/3 adalah tinggi gelombang signifikan, dan A adalah proyeksi luasan terumbu buatan.
2.0
20

required number of rows n

1.8 1.6 1.4 Kn 1.2


F/h = 0.22 0<F/h < 0.20

18 16 14 12 10 8 6 4 1

R <0 F 0 H1/3 6.5m H1/3 < 6.5m


recommended < 1/30 is Bottom slope bottom slope less than 1/30 recommended

Kn = 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.2


F>0 H1/3 < 6.5m Bottom slope < 1/30 is recommended

F/h = 0.24 0.26>F/h

0.3

0.4

0.5 H1/3 / h

0.6

0.7

4 5 H1/3 (m)

a. Chart of Kn value

b. Chart of required number of rows n

Gambar 10. Kurva stabilitas Aquareef (Hirose et al, 2002) Kurva pada gambar 10 di atas hanya berlaku pada kondisi dimana Aquareef selalu terletak dibawah muka air (Freeboard > 0), tinggi gelombang signifikan dibawah 6,5m dan kemiringan pantai kurang dari 1/30.

PERUBAHAN GARIS PANTAI


Hasil pengamatan di lapangan (Newman, 1989) dan model fisik di laboratorium (Bruno, 1993) menunjukkan bahwa terumbu buatan sangat efektif dalam mengurangi laju transpor sediment tegak lurus pantai (offshore sediment transport). Lebih jauh lagi Newman (1989) melihat bahwa terumbu buatan tersebut mengubah sejumlah energi gelombang menjadi energi yang menghasilkan arus yang cukup kuat di sepanjang ambang terumbu buatan. Karenanya, lebih banyak energi gelombang yang diubah menjadi energi arus di sepanjang pantai yang dilindungi oleh terumbu buatan dibandingkan dengan pantai tanpa perlindungan terumbu. Newman (1989) mencatat bahwa terumbu buatan yang diamatinya tidak mengurangi laju arus sejajar pantai (longshore current), sehingga arus tersebut dapat melintas (tanpa mengendapkan sedimen) di daerah antara terumbu dan garis pantai. Namun sebaliknya, Mead dan Black (1999) yang mengamati 123 foto udara garis pantai New Zealand dan sisi Timur Australia, melihat adanya perubahan garis pantai karena keberadaan terumbu. Hal yang sama diamati pula oleh Harris (2001) ketika menggunakan Reefball sebagai struktur pelindung pantai. Di belakang terumbu (lokasi antara terumbu dan garis pantai) selain arus sejajar pantai yang umum terjadi, sirkulasi arus karena keberadaan terumbu mampu mengurangi laju sediment sejajar pantai (littoral drift) dan membantu terjadinya pengendapan sediment yang bisa menyebabkan terjadinya spit, salien atau tombolo. Dari pengamatan Mead dan Black (1999), tombolo di belakang terumbu akan terbentuk apabila nilai perbandingan panjang terumbu dengan jaraknya ke garis pantai (Lr/Y) diatas 0.6 sementara CERC (1984) memperkirakan tombolo akan terbentuk apabila Lr/Y < 2. Salient akan terbentuk apabila nilai perbandingan tersebut di atas 2, dan tidak terjadi pengendapan sedimen apabila jarak terumbu cukup jauh dari garis pantai atau nilai perbandingan Lr/Y tersebut sekitar 0,1. CERC 1984 memperkirakan tidak akan terbentuk sedimen di belakang terumbu apabila Lr/Y <1. Jarak antara ujung salien dan terumbu (Yoff) dapat diperkirakan dari panjang terumbu (Lr) dan jarak garis pantai asli ke terumbu (Y) dengan menggunakan persamaan berikut:

Yoff

Lr = 0.42 Lr Y

1.36

[9]

Persamaan [9] diatas dapat digambarkan sebagai kurva yang ditunjukkan pada gambar 11 berikut.
Lr B
offshore reefs

Yoff Y

Yoff /Lr

Shoreline

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

Lr/Y

Gambar 11. Perubahan garis pantai akibat terumbu (Mead dan Black, 1999)

POLA SIRKULASI ARUS


Yoshioka (1993) mengelompokkan pola arus yang terjadi di sekitar terumbu buatan dalam empat kategori sebagaimana ditunjukkan pada gambar 12. Pola yang umum terjadi adalah pasangan sirkulasi arus di belakang terumbu (Pola I). Apabila panjang terumbu Lr meningkat, dan efek lebar bukaan (Wr) tidak mencapai bagian tengah terumbu akan terbentuk Pola II. Jika terumbu tidak begitu panjang, sirkulasi arus tunggal akan terbentuk diantara terumbu yang berdekatan (Pola III). Selanjutnya Pola IV akan terbentuk apabila tidak ada sirkulasi arus, hal ini bisa terjadi apabila jarak antar terumbu (Wr) sangat kecil dibandingkan dengan panjang terumbu (Lr).
(a) Pattern I
Incident waves Lr

(c) Pattern III

Incident waves

Wr Y Shoreline Shoreline

(b) Pattern II

Incident waves

(d) Pattern IV

Incident waves

Artificial reef

Shoreline

Shoreline

Gambar 12. Pola Arus permukaan disekitar terumbu buatan (Yoshioka et al, 1993) Yoshioka (1993) menyarankan penempatan terumbu buatan yang bisa menghasilkan pola I apabila terumbu tersebut akan difungsikan sebagai bangunan pengatur akumulasi sedimen dan littoral drift. Pola ini dapat terjadi apabila jarak antar terumbu Wr > 0,25 Lr dan 1 <Lr/Y < 4. Pola sirkulasi arus II juga cukup mampu mengatur akumulasi sedimen, meskipun sirkulasi arus akan terbentuk di ujung terumbu buatan. Susunan perletakan beberapa bangunan pantai yang tegak lurus garis pantai sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 13a, terbukti juga mengubah pola arus disekitar bangunan terebut. Studi model numerik dan model fisik untuk bangunan pemecah gelombang dengan ambang benam menunjukkan bahwa efek redaman dapat ditingkatkan apabila efek refraksi gelombang dikonsentrasikan untuk menaikkan tinggi gelombang sebelum pecah (Goda dan Takagi, 1998). Knox (2001) mengusulkan suatu persamaan untuk memperkirakan koefisien transmisi gelombang untuk penempatan terumbu buatan yang tegak lurus garis pantai. Sementara intu penempatan beberapa terumbu buatan sejajar garis pantai sebagimana ditunjukkan pada gambar 13b juga terbukti efektif mengurangi refleksi dan transmisi gelombang, Mase et al (2000) melihat adanya peningkatan koefisien refleksi akan meningkat seiring dengan peningkatan kedalaman perletakan terumbu buatan

Incoming wave

Incoming wave

a. Longitudinal submerged breakwater

b. Lateral submerged breakwater

Gambar 13 Berbagai susunan perletakan Terumbu buatan

KESIMPULAN
Penjelasan mengenai pemakaian terumbu buatan sebagai bangunan pelindung pantai telah diberikan secara singkat. Penekanan bahasan lebih pada pada aspek fisik yang mampu meningkatkan kondisi ekologi dan lingkungan di sekitar penempatan terumbu buatan tersebut. Kinerja terumbu sebagai peredam gelombang dapat dinilai dari koefisien transmisi yang mampu diberikan tiap-tipa jenis terumbu. Dari pengamatan lapangan dan studi laboratorium (Seabrook, 1997, Hirose, 2002, Armono, 2003), beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan dalam merencana terumbu buatan sebagai pelindung pantai adalah sebagai berikut: Transmisi gelombang sebanding dengan periode gelombang. Koefisien transmisi akan meningkat seiring dengan peningkatan kedalaman penempatan terumbub buatan. Untuk kedalaman tertentu, koefisien transmisi juga akan meningkat apabila periode gelombang yang datang meningkat. Koefiein transmisi berbanding terbalik dengan tinggi gelombang dan lebar ambang terumbu buatan.Transmisi gelombang akan berkurang seiring dengan peningkatan tinggi gelombang pada periode gelombang tertentu dan kedalaman penempatan terumbu tertentu. Koefien transmisi ini juga akan berkurang apabila lebar ambang terumbu buatan bertambah. Penempatan terumbu pada jarak tertentu dari garis pantai dapat mengubah pola arus dan menimbulkan peribahan garis pantai. Tombolo akan terbentuk apabila nilai perbandingan antara panjang terumbu buatan dengan jarak ke garis pantai (Lr/Y) diantara 0.6 dan 2. Studi-studi lanjut untuk aspek fisik pemakaian terumbu buatan masih diperlukan misalnya model numerik pola arus dibelakang terumbu buatan, pencarian bentuk baru yang lebih optimal, penentuan koefisien transmisi, stabilitas. Konfigurasi perletakan dan material penyusun terumbu buatan tersebut yang dilanjutkan dengan pengamatan lapangan.

REFERENSI
Ahrens, J., (1987). Characteristics of Reef Breakwaters, Technical Report, CERC 87-17, U.S. Army Coastal Engineering Research Center, Vicksburg, Mississippi, USA. Aono, T. and Cruz, E.C., (1996). Fundamental Characteristics of Wave Transformation Around Artificial Reefs, Proceeding of 25th International Conference

of Coastal Engineering, American Society of Civil Engineers, New York, USA, pp. 2298-2311. Armono, H.D., (2003). Hemispherical Shape Artificial Reefs, Ph.D Dissertation Queens University, Kingston, Ontario, Canada Barber, R.T. (2001). Reef Balls: An Anvanced Technique to Mimic Natural Reef System using Designed Artificial Reefs. www.artificialreefs.org/scientificreports/ ReffBallProjectPlanning.htm. Bleck, M., and Oumeraci, H., (2001). Hydraulic Performance of Artificial Reefs: Global and Local Description, Abstract of 28th International Conference on Coastal Engineering, Cardiff, Wales, UK, paper no 287. Bruno, M.S. (1993). "Laboratory Testing of an Artificial Reef Erosion Control Device", Coastal Zone '93, pp. 2147 -2158. Coastal Enginering Research Centre (CERC), (1984), Shore Protection Manual, Vol 1 and II, U.S. Army Coastal Engineering Research Center, Vicksburg, Mississippi, USA. Eadie, R.W. and Herbich, J.B., (1987). Scour about Single Cylindrical Pile due to Combined Random Waves and a Current, Proceeding of 20th International Conference on Coastal Engineering, American Society of Civil Engineers, New York, USA, pp. 1858-1870. Goda, Y. and Takagi, H., (1998). "Lateral Versus Longitudinal Artificial Reef System", Proceeding of 26th International Conference of Coastal Engineering, American Society of Civil Engineers, New York, USA, pp. 2152-2165. Harris, L.E. (2001) Submerged Reef Structure for Habitat Enhancement and Shoreline Erosion Abatement, Cosatal Engineering Technical Note, CETN-III-xx, USACE. Knox, P.E., (2001). Examination of the Performance of a Longitudinal Submerged Breakwater System, M.Sc. Thesis Queens University, Kingston, Ontario, Canada. Mase, H., Oki, K., Kitano, T. and Mishima, T., (2000). Experiments on Bragg Scattering of Waves due to Submerged Breakwaters, Coastal Structures 99, Vol. 2, I.J. Losada (ed), Balkema, Rotterdam, The Netherland, pp. 659-665. Mead, S. and Black, K. (1999). A Multi-Purpose, Artificial Reef at Mount Maunganui Beach, New Zealand, Coastal Management Journal, Vol. 27(4), pp. 355365. Nakayama, A., Horikosi, N. and Kobayashi, H., (1993). The Planning and Design of Multipurpose Artificial Barrier Reefs, Coastlines of Japan, Vol. II, Y. Nagao (ed), American Society of Civil Engineers, New York, USA, pp 183-197. Newman, K.L., (1989). "Effect of Artificial Reefs on Nearshore Currents", Proceedings of International Association for Hydraulic Research (IAHR) XXIII Congress, National Research Council, Ottawa, Ontario, Canada, pp. B147-B164 Ohnaka, S. and Yoshinawa, T., (1994). Field Observation on Wave Dissipation and Reflection by an Artificial Reef with Varying Crown Width, Proceeding of HydroPort 94 International Conference on Hydro-Technical Engineering for Port and Harbor Construction, PHRI, Yokosuka, Japan, pp. 365-376. Pylarcyk Roehl, E.J., (1997). The Stability of Manufactured Artificial Reefs, MSc. Thesis, Florida Institute of Technology, Melbourne, Florida, USA. Seabrook, S.R., (1997). Investigation of the Performance of Submerged Breakwaters, M.Sc Thesis - Queens University, Kingston, Ontario, Canada. Shamloo. H, Rajaratnam, M. and Katopodis, C., (2001). Hydraulics of Simple Habitat Structures, Journal of Hydraulic Research, Vol. 39 (4), pp. 351 366.

Smith, E.R. and Kraus, N.C., (1990). Laboratory Study on Macro Features of Wave Breaking over Bars and Artificial Reefs, CERC Technical Report 90-12, U.S. Army Coastal Engineering Research Center, Vicksburg, Mississippi, USA. Takeuchi, T., (1991). "Design of Artificial Reefs in Consideration of Environmental Characteristics", Proceeding of Japan-US Symposium on Artificial Habitats for Fisheries, Southern California Edison Co., Rosemead, California, USA, pp. 195-203. Vidal, C., Medina, R. and Martin, F., (2000). A Methodology to Assess the Armour Unit Stability of Low Crested and Submerged Rubble-mound Breakwaters, Coastal Structures 99, Vol. 2, I.J. Losada (ed), Balkema, Rotterdam, The Netherland, pp 721725. Yoshioka, K., Kawakami, T., Tanaka, S., Koarai, M. and Uda, T., (1993). "Design Manual for Artificial Reefs", Proceeding Coastlines of Japan - Volume II, Yoshimi Nagao (ed.), pp. 93-107.

Anda mungkin juga menyukai