Perkembangan fisik yang sehat pada remaja sering kali diasumsikan sebagai remaja yang sehat secara
jasmani dan rohani. Padahal, sehat tidak seolah-oleh berbicara mengenai fisik saja, tetapi sehat juga
tentang kesehatan mental.
Sayangnya, kesehatan mental dianggap hal yang cukup tabu jika dibicarakan dalam lingkungan keluarga
maupun lingkungan sosial. World Health Organization (WHO) menyebutkan, anak muda atau generasi
milenial lebih rentan terkena gangguan mental.
Pada tahap remaja merupakan waktu pencarian jati diri, perubahan, dan penyesuaian terjadi dalam
kehidupan baik secara psikologis dan emosional.
Dikutip dari Kompasiana penyesuaian diri merupakan hal yang selalu dilakukan oleh individu khususnya
pada remaja. Scneisders (dalam Ali dan Asori,2006) pengertian penyesuaian diri yaitu suatu proses yang
mencakup respons mental dan tingkah laku di mana individu berusaha menanggulangi kebutuhan dalam
diri, tekanan, frustasi, dan konflik.
Selain itu, perubahan hidup di Era 4.0 saat ini teknologi semakin maju suka tak suka setiap individu harus
menyesuaikan diri terhadap teknologi.
Melukis Identitas Jati Diri
Pada masa remaja kita dituntut oleh usia dan lingkungan untuk menemukan jati diri dan dituntut
mampu melewati masa-masa perubahan dan penyesuaian diri dengan baik. Seakan-akan jika menerima
bantuan orang lain untuk menemukan jati diri dianggap tidak dapat berdiri tegak bagi diri sendiri.
Buruknya, perilaku orang dewasa sebagai salah satu akibat dari kegagalan menjalani masa remaja mulai
dari pengharapan suatu hal orang dewasa kepada remaja, perilaku memaksakan kehendak kepada
remaja, mengatakan sesuatu hal dengan perkataan yang buruk, membedakan dengan orang lain, dan
lain sebagainya.
Kegagalan remaja saat penyesuaian diri yang menyebabkan gangguan kesehatan mental remaja dapat
dipicu karena keluarga (misal, perceraian orang tua, hubungan yang tidak baik dengan orang tua, sikap
buruk orang tua kepada remaja atau anggota keluarga, dan kekerasan dalam rumah tangga), hubungan
dengan teman sebaya (lawan jenis dan pertemanan), mendapat rundung oleh teman, pelajaran di
sekolah, prestasi yang dipatokan oleh orang tua, dan faktor lain.
“Aku broken home mama sama ayah aku cerai dari aku Sekolah Dasar (SD) aku tinggal sama mama.
Terus aku punya adik dua dari papa tiri aku. Orang banyak yang bully aku katanya aku cewe kurang
bener, karna suka pulang malam lah gitulah pokoknya."
Awalnya sedih dibilang kaya gitu lama-lama yaudah aku dicap kaya gitu mendingan dibuktiin sekalian
kalo aku emang kaya gitu. Kadangkan kita terbentuk karna omongan orang bukan karna diri kita.
Mau dijelasin kaya gimana pun orang bakal percaya apa yang pengen mereka percaya, walaupun itu
semuanya enggak benar. Lama-lama yaudah biasa aja” demikian Sarah bertutur melalui sambungan
telepon dengan nada datar.
“Aku gatau sih, aku stress atau depresi karena apa soalnya, aku juga enggak pernah periksa. Cuman pas
saat itu aku mulai ngerasa badan suka sakit badan padahal, enggak ngapa-ngapain, sedih terus
bawaanya, terus ga nafsu makan mual kalo lagi stress banget. Pas aku liat tanda-tandanya di Google itu
tanda stress.” tutur Sarah ketika ia ditanya mengenai kondisi mental ketika SMA.
“Aku ga pernah mau dan bilang ke dokter dan orang tua, ngapain juga ntar disangka ga waras ke dokter,
terus palingan sama mama disuruh doa, toh juga kan nanti sembuh sendiri”.
Menelisik kisah tersebut dikutip dari Kompasiana bentuk penyesuaian diri yang dilakukan oleh Sarah
yaitu penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas, yaitu jenis pengaruh sosial ketika seseorang
mengubah sikap dan perilaku agar sesuai dengan norma sosial di masyarakat. Jika perilaku tidak sesuai
dengan norma dirinya terancam akan tertolak di lingkungan.
Masalah-masalah pada remaja terkadang tidak dipahami oleh dirinya sendiri dan mereka enggan
memberitahu orang tuanya maupun meminta bantu professional.
Anggapan sosial mengenai orang yang stress ataupun depresi memiliki makna yang buruk di masyarakat.
Masyarakat beranggapan orang yang memiliki penyakit mental adalah orang yang kurang iman, kurang
bersyukur, tidak bisa mengimbangi antara iman dan masalah sosial, dan anggapan lain.
Anggapan tersebut terdoktrin secara turun temurun pada masyarakat, sehingga remaja takut
digambarkan sebagai sosok yang sakit mental jika mereka menyuarakan perasaan yang mereka alami.
Menyikapi penyesuaian diri pada remaja terhadap diri dan lingkungan membuatnya kesulitan melewati
masa remaja dengan baik. Bantuan orang dewasa dalam pencapaian penyesuaian dan perubahan
remaja sangat dibutuhkan untuk pencapaian keberhasilan dalam penyesuaian membangun jati diri
remaja.
Orang tua menjadi subjek pendamping yang memberi dukungan dan pengawasan pada perilaku-perilaku
remaja di masa penyesuaian dalam membangun jati diri.
Terjebak di Dunia Maya dan Nyata
Dewasa ini membuat banyak orang semakin individualis, dilain sisi hal tersebut memberikan keuntungan
bagi mereka untuk melakukan banyak hal dan dilain sisi mobilitas yang tinggi menimbulkan kesepian
dalam diri. Secara tidak sadar, rasa kesepian diungkapkan di media sosial di mana mereka berinteraksi
dan mendapatkan perhatian.
Seperti mata uang koin jika dibalik memiliki dua sisi yang berbeda. Sama halnya dengan zaman modern
saat ini. Di satu sisi yang menampilkan nilai uang ibaratkan dunia maya yang melihat kesuksesan,
kebahagian, dan popularitas dari segi angka yang didapatkan ketika memposting konten maupun foto di
media sosial. Di lain sisi gambar ibaratkan dunia nyata yang menggambarkan identitas diri kita.
Buruknya, dampak negatif dari media sosial dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri. Banyak remaja
saat ini merasa bahwa “rumah” ada di dunia maya. Mereka merasa tertinggal dan malu jika tidak
mengetahui gossip terkini, menonton video atau status teman ,influencer,selebgram, dan Youtuber di
media sosial.
Hal tersebut menimbulkan fenomena FoMO (Fear of Missing Out) di kalangan remaja hal tersebut
menimbulkan rasa iri hati yang besar. Akhirnya, memengaruhi kepercayaan diri dan membandingkan
kehidupan dengan orang lain.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal EClinicalMedicine menyatakan, anak perempuan yang berusia
14 tahun dan gemar menggunakan media sosial setiap hari lebih banyak gejala depresi dibandingkan
anak laki-laki berusia 14 tahun, dengan cara yang sama. Sedangkan, pada anak laki-laki kecemasan
disebabkan dari penggunaan media sosial.
Anak perempuan cendrung lebih menggunakan media sosial seperti Snapchat atau Instragram yang
lebih menampilkan penampilan fisik, mengambil foto dan mengomentari foto.
Kemudian juga cenderung terbawa perasaan ketika menggunakan media sosial ketika melihat kehidupan
orang lain lebih baik mereka cenderung merasa hidup mereka tidak baik (misal, tidak pandai berdandan,
tidak putih dan langsing mereka merasa jelek) yang membuat depresi, padahal, mereka dapat
melakukan yang dilihat di “rumah” yang mereka tinggali yaitu dunia nyata.
Anak laki-laki, merasa cemas terkait masa depan dan tuntutan kesuksesan yang harus mereka capai.
Perasaan depresi dan cemas dapat memicu masalah kesehatan mental seperti depresi berlebihan,
penggunaan narkoba dan alcohol, bahkan bunuh diri.
Personal Branding yang ditunjukkan oleh influencer, youtubers, dan selebgram Indonesia di media sosial
dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan.
Terkadang, sikap dan perilaku mereka untuk menjadi terkenal dapat merusak moral, perilaku, dan jati
diri remaja. Contohnya selebgram yang terkenal karena sering menggunakan diksi yang kasar, gaya
berpacaran yang kebarat-baratan, bersiteru dengan teman, berbohong, sering memamerkan harta, dan
hal lain.
Sayangnya, remaja saat ini lebih menyukai hal-hal tersebut seakan-akan mereka adalah panutan yang
baik bagi mereka dibandingkan informasi penting yang terjadi saat ini.
Buruknya, pada sebuah video yang menampilkan seorang anak Sekolah Dasar (SD) lebih hafal lagu yang
tren di media sosial dibandingkan lagu nasional. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja tidak memiliki
identitas diri bangsa, kesenjangan norma, dan moral yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Dengan timbulnya fenomena tersebut, penulis menyarankan di era teknologi saat ini hendaknya kita
sebagai orang dewasa yang sudah melalui lika-liku penyesuaian diri saat remaja mampu memberikan
ruang dan waktu bagi remaja sebagai subjek pengawas agar remaja tidak terjerat FoMo (Fear of Missing
Out) yang berkepanjangan.
Hal yang dapat dilakukan adalah penerapan JoMo ( Joy of Missing Out) adalah perasaan puas dan santai
ketika tidak menggunakan media sosial, di mana seseorang menyeimbangkan antara dunia maya dan
dunia nyata.
JoMo dapat diterapkan sebagai antisipasi dan cara untuk mengendalikan perilaku kecanduan media
sosial pada remaja. Langkah pertama yang dapat dilaksanakan yaitu, membuat daftar kegiatan aktivitas
sehari-hari.
Buatlah daftar prioritas kegiatan, hal apa saja yang harus diselesaikan, supaya kita tidak bingung dan
tidak membuang waktu harus melakukan mana yang terlebih dahulu.
Langkah kedua yang dapat diterapkan yaitu, diet digital. Apakah membaca semua chat di grup Line
ataupun WhatsApp, status di Instragram ataupun WhatsApp, atau membaca semua judul berita dan
cuitan di Twitter membuat kita lebih bahagia atau lebih pandai?
Untuk sebagian orang jawabnya tidak, karena melakukan hal tersebut hanya membuang waktu untuk
melihat kehidupan di dunia maya terkadang menumbulkan iri hati dan ketidakpuasan diri.
Carilah kualitas informasi yang kita konsumsi. Lebih bijak sedikit informasi yang didapat namun bernilai
positif ketimbang menyerap informasi berlimpah namun bernilai negatif.
Diet digital berarti mengurangi dan membatasi jumlah pemakaian media sosial yang kita konsumsi
sehari-hari. Langkah berikut adalah beberapa tips diet digital untuk menyerap informasi yang kita terima
dari gawai kita sehari-hari.
Pertama, unfollow orang-orang dan akun yang kurang bermanfaat dan bersifat toxic dari lingkaran
pertemanan kita. Kedua, matikan notifikasi aplikasi di gawai seperti pemberitahuan like, comments, dan
chat WhatsApp.
Hal tersebut dapat mengurangi kecenderungan kita membuka gawai. Ketiga, gunakan aplikasi time
logger untuk mengetahui berapa lama menghabiskan waktu di gawai dan digunakan untuk apa saja.
Aplikasi tersebut dapat memblokir beberapa aplikasi yang terlalu sering kita gunakan agar tidak dapa
diakses kembali.
Akhirnya, demikianlah sedikit pokok gagasan penulis berkaitan dengan kesehatan mental remaja dalam
kehidupan bermedia sosial. Ingatlah kutipan Betrand Russel “Hidup yang baik adalah hidup yang
diinspirasi oleh cinta dan dipandu oleh ilmu pengetahuan”.
Jadi, hiduplah untuk sekitarmu bukan untuk gawai, hidup untuk menyebarkan kebaikan bukan
ketenaran. Perubahan akan terus terjadi namun kita tidak dipaksa “harus” terbawa arus kehidupan di
media sosial. Media sosial ibaratkan sebagai kendaraan untuk menyampaikan informasi, namun jika
kendaraan terlalu sering digunakan tanpa diberi jeda dan dirawat mesinnya akan berkurang fungsinya.
Tiap kali terjadi peristiwa akan selalu ada fenomena yang timbul. Setiap orang dapat menentukan
kehidupan mereka ingin terbawa arus seperti apa. Apakah FoMo atau JoMo? Bijaklah berinternet. Salam
dan terima kasih!
HALAMAN :
1. 1
su
mber : www.images.app.goo.gl
Lalu, dijelaskan pula semakin tinggi Fear of Missing Out (FoMO), maka semakin tinggi kecanduan media
sosial, begitu pula sebaliknya. Menurut Dossey (dalam Putri 2019), FoMO merupakan kekuatan
pendorong dibalik penggunaan internet dan khususnya media sosial. Tingkat FoMO terkuat dialami oleh
remaja. Dari hasil penelitian Dossey didapatkan bahwa subjek yang mengalami FOMO dan kecanduan
media sosial dalam penelitian tersebut ternyata berada di rentang usia remaja.
Beberapa dampak negatif dari penggunaan internet adalah kedisiplinan belajar menurun, munculnya
stres dan kecemasan, serta hilangnya konsep diri pada remaja. Remaja yang perkembangannya berada
pada tahap krisis identitas cenderung mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, selalu ingin mencoba hal-
hal baru, dan mudah terpengaruh oleh teman-teman sebayanya. Remaja yang memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi pada umumnya memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dan bebas untuk menyatakan pikiran,
perasaan dan kreativitasnya. Hal inilah yang membuat remaja mengalami dampak negatif dari
penggunaan internet, yaitu menjadi sangat tergantung pada pengaksesan internet untuk mencapai
kepuasan dengan menghabiskan waktu berlarut-larut dan mengakibatkan kecanduan (Fauziawati, 2015).
Dalam hal yang terjadi ini tentunya perlu adanya beberapa stategi untuk mencegah terjadinya Fear of
Missing Out pada remaja, yaitu bias dilakukan dengan :
1. Peranan guru Bimbingan dan Konseling di sekolah pada remaja sangat dibutuhkan. Selama masa
pandemi ini, guru BK dapat mengadakan program dari rumah untuk siswa, misalnya program
bimbingan konseling online melalui sosial media sebagai media interaksi, atau bisa juga berupa
sharing session maupun sosialisasi secara online.
2. Remaja disarankan melakukan perubahan gaya hidup selama masa pandemi ini dengan banyak
melakukan aktivitas fisik di rumah, seperti membantu pekerjaan rumah, berolahraga kecil di rumah,
atau melakukan kegiatan bersama keluarga.
3. Peranan orang tua juga sangat penting dimana orangtua dapat memberikan pengawasan dan
edukasi untuk remaja dalam pengontrolan diri ketika mengakses internet selama masa pandemi ini.
Dari beberapa strategi tersebut salah satunya adalah konseling online yang merupakan salah satu
faktor yang mendukung dalam penanganan suatu masalah. Nantinya guru BK membantu siswa untuk
meningkatkan pemahaman serta mendorong untuk membuat penyelesaian terhadap masalahnya.
Dengan dilakukannya konseling diharapkan terjadi perubahan perilaku dan gaya hidup siswa menjadi
lebih baik. Di samping pelaksaanan konseling individual yang dilakukan secara tatap muka, guru BK juga
dapat memanfaatkan situasi ini dengan membuat suatu inovasi dengan memanfaatkan kemajuan
internet. Salah satunya dengan membuat sebuah konseling berbasis online yang tentunya sangat cocok
dengan kondisi pandemi Covid-19 ini. Orangtua juga perlu mengikuti konseling online dengan guru BK
untuk memahami apa yang dirasakan dan yang seharusnya dilakukan remaja selama melakukan
pembelajaran di rumah.
sumber
: www.images.app.goo.gl
Kawan Berbagi, dapat kita simpulkan bahwa bentuk-bentuk kecanduan internet yang dialami adalah
beragam seperti sering merasa kesal dan cemas jika handpone yang digunakan tidak dapat tersambung
ke internet, melakukan segala cara agar dapat mengakses internet dengan lancar, terlalu asyik
mengakses internet hingga melupakan kewajiban-kewajibannya sebagai pelajar, sering menanti waktu
untuk mengakses internet ketika sedang tidak melakukannya, serta durasi bermain internet semakin
hari semakin bertambah. Konseling online menjadi media alternatif untuk pemberian layanan konseling
dengan memanfaatkan layanan internet. Sehingga nantinya bimbingan dan konseling dapat membantu
mengentaskan masalah anak pada usia remaja secara optimal tanpa terhalang tempat dan waktu.
Selain itu dengan adanya konseling online, memungkinkan bagi remaja untuk dapat memanfaatkan
internet secara positif.
Jika Kawan Berbagi ingin melakukan konseling online dengan Konselor Psikologi Berbagi terkait masalah
pendidikan maupun perkembangan anak & remaja, bisa mendaftar melalui bit.ly/BUDARA 2020.
Salam Berbagi
Arikel ini dibuat dalam rangka mengikuti Program Magang 2020 (PPL Komunitas) dari Fakultas
Psikologi & Kesehatan UIN Walisongo Semarang
DA
FOMO atau Fear of Missing Out merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan sosial yang kerap
terjadi pada remaja.
Rasa cemas tersebut muncul ketika seseorang merasa melewatkan informasi atau tren terbaru yang
seharusnya diketahui lebih dulu olehnya. Bukan tanpa alasan, sindrom FOMO ternyata bisa terjadi
akibat penggunaan media sosial yang berlebihan.
Baca juga: Pernah Dengar Istilah FOMO Syndrome? Kenali Lebih Lanjut, Yuk!
Bagi kamu yang merasa mengalami gejala-gejala seperti; tidak bisa lepas dari gadget dan koneksi
internet, terlalu peduli terhadap situasi di media sosial, serta semakin terobsesi dengan kehidupan
orang lain, maka kamu perlu melakukan hal-hal berikut ini agar terbebas dari FOMO.
FOMO atau fear of missing out menjadi konsep yang semakin familiar, terlebih karena adanya media
sosial yang membantu menyebarkan informasi dan tren dalam hitungan detik. Orang yang
mengalami fear of missing out akan merasa panik dan cemas ketika ketinggalan sesuatu yang sedang
tren. Sebaliknya, joy of missing out atau JOMO adalah perasaan ketika seseorang justru merasa
senang tak harus mengikuti apa yang sedang tren.
Orang yang berhasil menikmati JOMO atau joy of missing out sebenarnya memiliki kecerdasan
emosional yang tidak biasa. Di tengah dunia yang serba sibuk dan informasi lalu lalang dengan cepat,
mereka tak merasa ada keharusan untuk mengikuti apa yang tengah terjadi. Justru, orang penikmat
JOMO bisa menemukan kebahagiaan versi dirinya sendiri.
Apa itu JOMO?
JOMO atau joy of missing out adalah perasaan merasa puas dan bisa menikmati situasi yang dialami
saat ini. Bahkan, tak ada keinginan untuk membandingkan apa yang dirasakan dengan kehidupan
orang lain. Lebih utamanya lagi, orang yang menikmati JOMO tidak merasa ada keharusan untuk
menunjukkan kepada orang lain apa yang tengah dilakukannya.Ini adalah keistimewaan dari joy of
missing out, bahkan mereka tak harus mengunggah sesuatu demi rekognisi atau apresiasi dari sekitar.
Tak ada keinginan untuk pamer demi mendapat pengakuan atau diberi tempat dalam suatu lingkaran
pertemanan tertentu.Artinya, orang yang berhasil menikmati joy of missing out tak punya keharusan
melakukan apapun. Mereka bisa melakukan perjalanan keliling dunia bahkan tanpa mengunggah satu
foto pun karena benar-benar menikmati petualangannya. Ini tidak mudah, lagi-lagi karena ada
tekanan dari media sosial yang ikut berperan.
Bagaimana belajar menikmati JOMO?
Bagi orang yang FOMO, belajar menikmati JOMO yang merupakan kebalikannya tentu bukan perkara
sepele. Orang yang mengalami fear of missing out akan terus menerus merasa ada keharusan melihat
apa tren yang sedang terjadi. Tentunya tak hanya sampai di situ. Hal ini juga diikuti keharusan untuk
mengunggah sesuatu dengan topik serupa agar dianggap mengikuti tren.Namun, menikmati joy of
missing out bukannya tak bisa dipelajari. Beberapa cara untuk melatihnya bisa dengan:
1. Menghargai waktu
Sebisa mungkin, buat jadwal dan prioritas apa yang penting dilakukan dan apa yang tidak. Jika
ada project yang paling penting, tuliskan sebagai prioritas utama. Dengan demikian, seseorang akan
lebih menghargai waktu.Tanpa disadari, orang yang FOMO harus mengalokasikan waktunya untuk
mengikuti apa yang sedang tren, apa yang harus dilakukan agar dianggap mengikuti tren itu, dan
semuanya memakan waktu yang tak sedikit. Di sinilah keunggulan orang yang JOMO, tak harus
membuang waktu hanya demi persepsi orang lain.
2. Izinkan diri sendiri menikmati momen
Dengarkan apa yang sedang dirasakan diri sendiri. Jika merasa hari tidak berjalan dengan baik,
bersantailah di sore hari sembari memanjakan diri. Pun ketika sedang ada berita baik, berikan waktu
untuk menikmatinya. Tak perlu melibatkan orang lain dalam tirai media sosial yang belum tentu
orisinil karena hanya akan membuat diri sendiri tak bisa menikmati momen.
3. Tidak mengakses media sosial
Coba kurangi akses ke media sosial dengan tidak mengikuti orang yang memancing rasa FOMO atau
memunculkan emosi negatif tertentu. Pada tahap awal, bisa dengan berlatih mengurangi durasi
melihat media sosial orang lain yang hanya menampilkan potret-potret kesempurnaan semu saja.
4. Belajar berkata tidak
Tidak semua hal harus diikuti, seperti ajakan untuk hadir di acara tertentu atau bahkan menanggapi
sebuah telepon. Terkadang, belajar berkata “tidak” adalah bentuk penghargaan terbesar kepada diri
sendiri. Tentu ini tidak mudah terutama jika yang mengajak adalah orang yang dekat. Tapi, mulailah
dengan berani berkata tidak.
5. Nikmati pengalaman sesungguhnya
Tinggalkan interaksi dan pengalaman semu di media sosial dan nikmatilah pengalaman sesungguhnya.
Ketika waktu tak lagi habis untuk scrolling media sosial melihat unggahan orang lain, lakukan hal yang
disukai seperti membaca buku, yoga, atau camping. Tak ada keharusan mengunggah apa yang sedang
dilakukan ke media sosial, saatnya mendistraksi kehidupan digital dengan pengalaman seru yang
sesungguhnya.
6. Jangan terburu-buru
Di tengah dunia yang begitu sibuk dan bergerak dengan cepat, coba ambil jeda dengan tidak terburu-
buru. Nikmati saat sepi, berpikir sebelum berbicara, baca buku hingga tamat, bahkan nikmati
kemacetan sebagai momen untuk refleksi. Slowing down bisa meningkatkan kreativitas seseorang
sehingga menjadi lebih produktif.
Jika biasanya Anda mendengar istilah FOMO atau fear of missing out, kini ada istilah lain dengan makna
berlawanan yang dikenal dengan nama JOMO. Katanya, menerapkan JOMO pada kehidupan sehari-hari
bisa membuat hidup Anda menjadi lebih bahagia. Lantas, apa itu JOMO?
Apa itu JOMO (joy of missing out)?
Di era media sosial seperti sekarang, banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi yang paling up-to-
date agar bisa mengukuhkan keeksistensiannya di dunia digital.
Setiap hari, mereka akan berkutat di akun sosialnya dan selalu mengikuti hal-hal baru yang sedang
digandrungi banyak orang. Mereka seakan dikejar-kejar oleh tren dan tak mau dicap kurang gaul.
Perasaan takut tertinggal inilah yang kerap disebut FOMO.
Tak hanya itu, orang-orang yang mengalami FOMO seringnya ingin selalu bergabung pada kegiatan-
kegiatan sosial, mereka kerap kesulitan saat menolak undangan untuk berpesta. Mereka merasa
memiliki kebutuhan untuk selalu terhubung dengan orang lain.
Terkadang, mereka juga kerap membandingkan diri dengan orang lain. Karena melihat unggahan dari
teman-temannya di media sosial, mereka jadi merasa bahwa hidupnya tak menyenangkan. Jika terus
dibiarkan, hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental.
Oleh sebab itu, muncullah istilah bernama JOMO yang mulai digaungkan sebagai hal yang sangat
berlawanan dari FOMO. JOMO atau joy of missing out adalah istilah yang merujuk pada tindakan untuk
tidak terlibat dalam kegiatan tertentu, terutama yang berkaitan dengan media sosial atau sumber
hiburan lainnya.
JOMO didefinisikan sebagai perasaan kepuasan diri di mana seseorang sudah merasa cukup dengan
hidupnya sehingga mereka merasa bebas dan lebih fokus pada hal-hal yang mereka senangi. Mereka
yang menerapkan JOMO cenderung lebih tenang menjalani hidup tanpa takut melewatkan kesenangan
bersama teman-teman.
Adanya istilah JOMO diharapkan dapat melatih seseorang untuk mengendalikan obsesi yang berlebih,
salah satunya dengan membatasi penggunaan media sosial.
Efek media sosial sudah banyak diketahui dapat memberikan pengaruh yang besar pada kesehatan
mental, terutama di kalangan remaja. Tak jarang mereka dilanda perasaan kesepian dan stres setelah
melihat akun media sosial orang lain.
Selain itu dengan beristirahat sejenak dari media sosial, Anda mungkin akan menemukan aktivitas lain
yang tak kalah menyenangkan. Menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana inilah yang juga
menjadi tujuan JOMO.
Bagaimana menerapkan JOMO pada keseharian?
Salah satu hal yang ingin ditekankan dalam praktik JOMO adalah menyisakan lebih banyak waktu,
tenaga, dan emosi untuk benar-benar dipilah mana yang harusnya jadi prioritas utama. Berikut hal yang
bisa Anda lakukan untuk memulainya.
Susun rencana untuk melakukan sesuatu yang bisa menghubungkan Anda dengan orang-
orang terdekat. Bisa dengan janji bertemu di kedai kopi, jalan-jalan sore di taman dengan
keluarga, atau melanjutkan lukisan yang belum terselesaikan. Kegiatan ini akan membantu
mengalihkan perhatian Anda dari pikiran tentang kehidupan orang lain.
Matikan notifikasi agar tak muncul di beranda ponsel Anda, kecuali jika notifikasi tersebut
merupakan surel yang berhubungan dengan pekerjaan atau hal-hal penting lainnya.
Keluarlah dari akun media sosial, berhenti mengikuti akun dari orang-orang yang dapat
memicu perasaan negatif. Tetapkan batas harian seberapa lama Anda menghabiskan waktu di
media sosial, bila perlu Anda juga bisa menghapus aplikasinya untuk sementara waktu.
Anda tak selalu harus mengiyakan ajakan untuk pergi melakukan kegiatan atau datang ke
acara sosial jika memang tak masuk prioritas. Sisakan waktu untuk berdiam diri di rumah dan
lakukan kegiatan yang Anda senangi.
Anda tak perlu merasa terdesak untuk segera melakukan semua langkah di atas. Jika meninggalkan
media sosial untuk beberapa lama terlalu memberatkan, Anda juga bisa memulai dengan menyisakan
satu hari untuk libur dari penggunaan berbagai aplikasinya.
Ingatlah bahwa menerapkan JOMO (joy of missing out) bukan berarti Anda harus benar-benar
menghilang dan tidak bersosialisasi dengan orang lain.
JOMO justru membantu Anda untuk mulai membangun koneksi yang lebih dalam dengan orang-orang di
sekitar seperti keluarga atau sahabat. Niscaya, jika dilakukan dengan tepat, Anda akan merasa lebih
bahagia dalam menjalani hidup.
Hello Health Group dan Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, maupun pengobatan.
Silakan cek laman kebijakan editorial kami untuk informasi lebih detail.
Verywell Mind. Diakses pada 2019. What Does FOMO Mean and How Do I Deal With It?
Develop Good Habits. Diakses pada 2019. What is FOMO? How to Deal with the Fear of Missing Out
9 Ciri-Ciri FOMO pada Anak Remaja
Apakah anak mama memiliki perilaku FOMO?
16 Februari 2021
Freepik/Miksturaproduction