Anda di halaman 1dari 14

Materi fomo dan jomo

Perkembangan fisik yang sehat pada remaja sering kali diasumsikan sebagai remaja yang sehat secara
jasmani dan rohani. Padahal, sehat tidak seolah-oleh berbicara mengenai fisik saja, tetapi sehat juga
tentang kesehatan mental. 
Sayangnya, kesehatan mental dianggap hal yang cukup tabu jika dibicarakan dalam lingkungan keluarga
maupun lingkungan sosial. World Health Organization (WHO) menyebutkan, anak muda atau generasi
milenial lebih rentan terkena gangguan mental. 
Pada tahap remaja merupakan waktu pencarian jati diri, perubahan, dan penyesuaian terjadi dalam
kehidupan baik secara psikologis dan emosional.
Dikutip dari Kompasiana penyesuaian diri merupakan hal yang selalu dilakukan oleh individu khususnya
pada remaja. Scneisders (dalam Ali dan Asori,2006) pengertian penyesuaian diri yaitu suatu proses yang
mencakup respons mental dan tingkah laku di mana individu berusaha menanggulangi kebutuhan dalam
diri, tekanan, frustasi, dan konflik. 
Selain itu, perubahan hidup di Era 4.0 saat ini teknologi semakin maju suka tak suka setiap individu harus
menyesuaikan diri terhadap teknologi.
Melukis Identitas Jati Diri
Pada masa remaja kita dituntut oleh usia dan lingkungan untuk menemukan jati diri dan dituntut
mampu melewati masa-masa perubahan dan penyesuaian diri dengan baik. Seakan-akan jika menerima
bantuan orang lain untuk menemukan jati diri dianggap tidak dapat berdiri tegak bagi diri sendiri. 
Buruknya, perilaku orang dewasa sebagai salah satu akibat dari kegagalan menjalani masa remaja mulai
dari pengharapan suatu hal orang dewasa kepada remaja, perilaku memaksakan kehendak kepada
remaja, mengatakan sesuatu hal dengan perkataan yang buruk, membedakan dengan orang lain, dan
lain sebagainya. 
Kegagalan remaja saat penyesuaian diri yang menyebabkan gangguan kesehatan mental remaja dapat
dipicu karena keluarga (misal, perceraian orang tua, hubungan yang tidak baik dengan orang tua, sikap
buruk orang tua kepada remaja atau anggota keluarga, dan kekerasan dalam rumah tangga), hubungan
dengan teman sebaya (lawan jenis dan pertemanan), mendapat rundung oleh teman, pelajaran di
sekolah, prestasi yang dipatokan oleh orang tua, dan faktor lain.
“Aku broken home mama sama ayah aku cerai dari aku Sekolah Dasar (SD) aku tinggal sama mama.
Terus aku punya adik dua dari papa tiri aku. Orang banyak yang bully aku katanya aku cewe kurang
bener, karna suka pulang malam lah gitulah pokoknya."
Awalnya sedih dibilang kaya gitu lama-lama yaudah aku dicap kaya gitu mendingan dibuktiin sekalian
kalo aku emang kaya gitu. Kadangkan kita terbentuk karna omongan orang bukan karna diri kita. 
Mau dijelasin kaya gimana pun orang bakal percaya apa yang pengen mereka percaya, walaupun itu
semuanya enggak benar. Lama-lama yaudah biasa aja” demikian Sarah bertutur melalui sambungan
telepon dengan nada datar.
“Aku gatau sih, aku stress atau depresi karena apa soalnya, aku juga enggak pernah periksa. Cuman pas
saat itu aku mulai ngerasa badan suka sakit badan padahal, enggak ngapa-ngapain, sedih terus
bawaanya, terus ga nafsu makan mual kalo lagi stress banget. Pas aku liat tanda-tandanya di Google itu
tanda stress.” tutur Sarah ketika ia ditanya mengenai kondisi mental ketika SMA. 
“Aku ga pernah mau dan bilang ke dokter dan orang tua, ngapain juga ntar disangka ga waras ke dokter,
terus palingan sama mama disuruh doa, toh juga kan nanti sembuh sendiri”.
Menelisik kisah tersebut dikutip dari Kompasiana bentuk penyesuaian diri yang dilakukan oleh Sarah
yaitu penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas, yaitu jenis pengaruh sosial ketika seseorang
mengubah sikap dan perilaku agar sesuai dengan norma sosial di masyarakat. Jika perilaku tidak sesuai
dengan norma dirinya terancam akan tertolak di lingkungan. 
Masalah-masalah pada remaja terkadang tidak dipahami oleh dirinya sendiri dan mereka enggan
memberitahu orang tuanya maupun meminta bantu professional. 
Anggapan sosial mengenai orang yang stress ataupun depresi memiliki makna yang buruk di masyarakat.
Masyarakat beranggapan orang yang memiliki penyakit mental adalah orang yang kurang iman, kurang
bersyukur, tidak bisa mengimbangi antara iman dan masalah sosial, dan anggapan lain. 
Anggapan tersebut terdoktrin secara turun temurun pada masyarakat, sehingga remaja takut
digambarkan sebagai sosok yang sakit mental jika mereka menyuarakan perasaan yang mereka alami.
Menyikapi penyesuaian diri pada remaja terhadap diri dan lingkungan membuatnya kesulitan melewati
masa remaja dengan baik. Bantuan orang dewasa dalam pencapaian penyesuaian dan perubahan
remaja sangat dibutuhkan untuk pencapaian keberhasilan dalam penyesuaian membangun jati diri
remaja. 
Orang tua menjadi subjek pendamping yang memberi dukungan dan pengawasan pada perilaku-perilaku
remaja di masa penyesuaian dalam membangun jati diri.
Terjebak di Dunia Maya dan Nyata
Dewasa ini membuat banyak orang semakin individualis, dilain sisi hal tersebut memberikan keuntungan
bagi mereka untuk melakukan banyak hal dan dilain sisi mobilitas yang tinggi menimbulkan kesepian
dalam diri. Secara tidak sadar, rasa kesepian diungkapkan di media sosial di mana mereka berinteraksi
dan mendapatkan perhatian. 
Seperti mata uang koin jika dibalik memiliki dua sisi yang berbeda. Sama halnya dengan zaman modern
saat ini. Di satu sisi yang menampilkan nilai uang ibaratkan dunia maya yang melihat kesuksesan,
kebahagian, dan popularitas dari segi angka yang didapatkan ketika memposting konten maupun foto di
media sosial. Di lain sisi gambar ibaratkan dunia nyata yang menggambarkan identitas diri kita.
Buruknya, dampak negatif dari media sosial dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri. Banyak remaja
saat ini merasa bahwa “rumah” ada di dunia maya. Mereka merasa tertinggal dan malu jika tidak
mengetahui gossip terkini, menonton video atau status teman ,influencer,selebgram, dan Youtuber di
media sosial. 
Hal tersebut menimbulkan fenomena FoMO (Fear of Missing Out) di kalangan remaja hal tersebut
menimbulkan rasa iri hati yang besar. Akhirnya, memengaruhi kepercayaan diri dan membandingkan
kehidupan dengan orang lain. 
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal EClinicalMedicine menyatakan, anak perempuan yang berusia
14 tahun dan gemar menggunakan media sosial setiap hari lebih banyak gejala depresi dibandingkan
anak laki-laki berusia 14 tahun, dengan cara yang sama. Sedangkan, pada anak laki-laki kecemasan
disebabkan dari penggunaan media sosial. 
Anak perempuan cendrung lebih menggunakan media sosial seperti Snapchat atau Instragram yang
lebih menampilkan penampilan fisik, mengambil foto dan mengomentari foto.
Kemudian juga cenderung terbawa perasaan ketika menggunakan media sosial ketika melihat kehidupan
orang lain lebih baik mereka cenderung merasa hidup mereka tidak baik (misal, tidak pandai berdandan,
tidak putih dan langsing mereka merasa jelek) yang membuat depresi, padahal, mereka dapat
melakukan yang dilihat di “rumah” yang mereka tinggali yaitu dunia nyata. 
Anak laki-laki, merasa cemas terkait masa depan dan tuntutan kesuksesan yang harus mereka capai.
Perasaan depresi dan cemas dapat memicu masalah kesehatan mental seperti depresi berlebihan,
penggunaan narkoba dan alcohol, bahkan bunuh diri.
Personal Branding yang ditunjukkan oleh influencer, youtubers, dan selebgram Indonesia di media sosial
dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan. 
Terkadang, sikap dan perilaku mereka untuk menjadi terkenal dapat merusak moral, perilaku, dan jati
diri remaja. Contohnya selebgram yang terkenal karena sering menggunakan diksi yang kasar, gaya
berpacaran yang kebarat-baratan, bersiteru dengan teman, berbohong, sering memamerkan harta, dan
hal lain. 
Sayangnya, remaja saat ini lebih menyukai hal-hal tersebut seakan-akan mereka adalah panutan yang
baik bagi mereka dibandingkan informasi penting yang terjadi saat ini. 
Buruknya, pada sebuah video yang menampilkan seorang anak Sekolah Dasar (SD) lebih hafal lagu yang
tren di media sosial dibandingkan lagu nasional. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja tidak memiliki
identitas diri bangsa, kesenjangan norma, dan moral yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Dengan timbulnya fenomena tersebut, penulis menyarankan di era teknologi saat ini hendaknya kita
sebagai orang dewasa yang sudah melalui lika-liku penyesuaian diri saat remaja mampu memberikan
ruang dan waktu bagi remaja sebagai subjek pengawas agar remaja tidak terjerat FoMo (Fear of Missing
Out) yang berkepanjangan. 
Hal yang dapat dilakukan adalah penerapan JoMo ( Joy of Missing Out) adalah perasaan puas dan santai
ketika tidak menggunakan media sosial, di mana seseorang menyeimbangkan antara dunia maya dan
dunia nyata. 
JoMo dapat diterapkan sebagai antisipasi dan cara untuk mengendalikan perilaku kecanduan media
sosial pada remaja. Langkah pertama yang dapat dilaksanakan yaitu, membuat daftar kegiatan aktivitas
sehari-hari. 
Buatlah daftar prioritas kegiatan, hal apa saja yang harus diselesaikan, supaya kita tidak bingung dan
tidak membuang waktu harus melakukan mana yang terlebih dahulu.
Langkah kedua yang dapat diterapkan yaitu, diet digital. Apakah membaca semua chat di grup Line
ataupun WhatsApp, status di Instragram ataupun WhatsApp, atau membaca semua judul berita dan
cuitan di Twitter membuat kita lebih bahagia atau lebih pandai? 
Untuk sebagian orang jawabnya tidak, karena melakukan hal tersebut hanya membuang waktu untuk
melihat kehidupan di dunia maya terkadang menumbulkan iri hati dan ketidakpuasan diri. 
Carilah kualitas informasi yang kita konsumsi. Lebih bijak sedikit informasi yang didapat namun bernilai
positif ketimbang menyerap informasi berlimpah namun bernilai negatif. 
Diet digital berarti mengurangi dan membatasi jumlah pemakaian media sosial yang kita konsumsi
sehari-hari. Langkah berikut adalah beberapa tips diet digital untuk menyerap informasi yang kita terima
dari gawai kita sehari-hari. 
Pertama, unfollow orang-orang dan akun yang kurang bermanfaat dan bersifat toxic dari lingkaran
pertemanan kita. Kedua, matikan notifikasi aplikasi di gawai seperti pemberitahuan like, comments, dan
chat WhatsApp. 
Hal tersebut dapat mengurangi kecenderungan kita membuka gawai. Ketiga, gunakan aplikasi time
logger untuk mengetahui berapa lama menghabiskan waktu di gawai dan digunakan untuk apa saja.
Aplikasi tersebut dapat memblokir beberapa aplikasi yang terlalu sering kita gunakan agar tidak dapa
diakses kembali.
Akhirnya, demikianlah sedikit pokok gagasan penulis berkaitan dengan kesehatan mental remaja dalam
kehidupan bermedia sosial. Ingatlah kutipan Betrand Russel “Hidup yang baik adalah hidup yang
diinspirasi oleh cinta dan dipandu oleh ilmu pengetahuan”. 
Jadi, hiduplah untuk sekitarmu bukan untuk gawai, hidup untuk menyebarkan kebaikan bukan
ketenaran. Perubahan akan terus terjadi namun kita tidak dipaksa “harus” terbawa arus kehidupan di
media sosial. Media sosial ibaratkan sebagai kendaraan untuk menyampaikan informasi, namun jika
kendaraan terlalu sering digunakan tanpa diberi jeda dan dirawat mesinnya akan berkurang fungsinya. 
Tiap kali terjadi peristiwa akan selalu ada fenomena yang timbul. Setiap orang dapat menentukan
kehidupan mereka ingin terbawa arus seperti apa. Apakah FoMo atau JoMo? Bijaklah berinternet. Salam
dan terima kasih!

HALAMAN :
1. 1

Fear of Missing Out pada Remaja


September 4, 2020psikoberbagi
Halo, Kawan Berbagi!
Selama masa pandemi Virus Covid-19, aktivitas sehari-hari yang kita lakukan lebih dominan mengerjakan
rutinitas seperti bekerja dan melakukan pembelajaran kegiatan sekolah dari rumah. Akhirnya dari hal
tersebut membuat kita mengakses internet dengan mengakses berbagai media sosial yang menghibur
sebagai sarana mencari kegiatan menghibur untuk menghilangkan rasa bosan.
sumber : www.images.a
pp.goo.gl
Tidak dapat dipungkiri keberadaan internet juga sangat memudahkan kehidupan masyarakat di masa
sekarang. Internet sudah menjadi lifestyle bagi penggunanya baik dari kalangan anak-anak, remaja,
hingga dewasa. Banyak kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan oleh internet dan terdapat
dampak positif dari internet. Namun, disamping banyak sekali dampak positif yang diberikan ternyata
terdapat pula dampak negatif internet bagi kehidupan, seperti adanya cyberbullying, internet gambling,
dan cybersex atau cyberporn (Soetjipto, 2015). Luasnya jangkauan internet sering menyebabkan
bertambahnya intensitas penggunaan internet pada individu karena adanya rasa keingintahuan akan hal
baru. Selain itu, adanya kecemasan jika terlambat mengetahui informasi terbaru menyebabkan individu
betah berlama-lama menggunakan internet.
Dalam perkembangan klasifikasi gangguan penggunaan internet timbul gejala baru yang disebut FoMO.
FoMO adalah sebuah akronim dari Fear of Missing Out . FoMO adalah jenis kecemasan yang biasanya
terjadi pada generasi milenial. Secara sederhana FoMO adalah sebuah ketakutan seseorang jika ia
tertinggal suatu informasi yang sedang terjadi khususnya berkaitan dengan aktivitas yang sedang
dilakukan oleh individu atau kelompok terdekat mereka. FoMO ditandai dengan adanya keinginan untuk
terus berhubungan dengan apa yang individu dan kelompok lain lakukan di internet. Pada dasarnya
FoMO merupakan sebuah kecemasan sosial yang cenderung meningkat semenjak berkembangnya
internet. Menurut Przyblylski, Murayama, DeHaan & Gladwell (2013), aspek-aspek dari Fear of Missing
Out  (FoMO) yaitu tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan relatedness (kedekatan dengan
individu lain) dan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan self (keutuhan individu). Individu yang
terdeteksi mengalami Fear of Missing Out  (FoMO) akan senantiasa merasakan sensasi kesenangan dan
memunculkan rasa candu dalam mengakses internet.
ADVERTISEMENT
REPORT THIS AD
Namun sebaliknya, jika individu tersebut tidak dapat kebebasan mengakses internet maka akan
menimbulkan perasaan yang tidak nyaman, cemas dan gelisah pada dirinya. Ia akan menganggap dirinya
ketinggalan informasi dan merasa tidak up to date. Hal tersebut disebabkan keinginan kuat individu
untuk tetap terhubung dalam lingkungan sosialnya. Ketakutan tertinggal informasi adalah ciri-ciri
dari Fear of Missing Out  (FoMO). Dari rasa takut tersebut akan timbul kecanduan yang menyebabkan
meningkatnya intensitas individu dalam mengakses internet. Ketika individu mengalami Fear of Missing
Out  (FoMO) ia akan melakukan berbagai cara agar dapat mengakses internet dimanapun dan kapanpun.
Ia akan cenderung lebih sering menggunakan internet untuk mencari berbagai informasi melalui
berbagai aplikasi seperti media sosial, searching maupun instant messaging yang dilakukannya mulai
dari bangun tidur, makan, hingga sebelum tidur.
Swar (2017) melakukan sebuah penelitian tentang Fear of Missing Out  (FoMO) yang menghasilkan
kesimpulan bahwa remaja yang mengalami FoMO disebabkan oleh kurang terpenuhinya kebutuhan
dasar psikologis pada dirinya. Setelah remaja tersebut mengalami FoMO, maka selanjutnya individu
tersebut akan memasuki tahap peningkatan penggunaan handphone. Hal tersebut jelas akan
menyebabkan kecanduan pada diri remaja tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
ternyata kecanduan internet dan FoMO memiliki hubungan yang saling berkaitan.
Kecanduan internet yang terjadi pada remaja ini harus segara dicari upaya pencegahan, jika tidak maka
akan membawa dampak buruk untuk perkembangan remaja kedepannya. Remaja merupakan salah satu
pengguna internet yang justru belum mampu memilah aktivitas internet yang bermanfaat, mereka
cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan sosial tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu efek
positif atau negatif yang akan diterima saat melakukan aktivitas internet (Qomariyah, 2013).
Remaja yang kecanduan internet akan kesulitan mengembangkan kemampuan atau kecakapannya
dalam berhubungan dengan orang lain, sehingga membuat hubungan sosial dan interaksi mereka
dengan keluarga, teman dan orang disekitarnya menjadi kurang baik, serta mengalami prestasi
akademik yang menurun (Jannah, Mudjiran, & Nirwana, 2015). Remaja yang kecanduan internet dapat
mengalami gangguan panik, stres (Wardi, & Ifdil, 2016; Barseli, Ifdil, & Nikmarijal., 2017; Zola, Fadli, &
Ifdil., 2018) dan kecemasan (Annisa & Ifdil, 2016).

su
mber : www.images.app.goo.gl
Lalu, dijelaskan pula semakin tinggi Fear of Missing Out  (FoMO), maka semakin tinggi kecanduan media
sosial, begitu pula sebaliknya. Menurut Dossey (dalam Putri 2019), FoMO merupakan kekuatan
pendorong dibalik penggunaan internet dan khususnya media sosial. Tingkat FoMO terkuat dialami oleh
remaja. Dari hasil penelitian Dossey didapatkan bahwa subjek yang mengalami FOMO dan kecanduan
media sosial dalam penelitian tersebut ternyata berada di rentang usia remaja.
Beberapa dampak negatif dari penggunaan internet adalah kedisiplinan belajar menurun, munculnya
stres dan kecemasan, serta hilangnya konsep diri pada remaja. Remaja yang perkembangannya berada
pada tahap krisis identitas cenderung mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, selalu ingin mencoba hal-
hal baru, dan mudah terpengaruh oleh teman-teman sebayanya. Remaja yang memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi pada umumnya memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dan bebas untuk menyatakan pikiran,
perasaan dan kreativitasnya. Hal inilah yang membuat remaja mengalami dampak negatif dari
penggunaan internet, yaitu menjadi sangat tergantung pada pengaksesan internet untuk mencapai
kepuasan dengan menghabiskan waktu berlarut-larut dan mengakibatkan kecanduan (Fauziawati, 2015).
Dalam hal yang terjadi ini tentunya perlu adanya beberapa stategi untuk mencegah terjadinya Fear of
Missing Out  pada remaja, yaitu bias dilakukan dengan :
1. Peranan guru Bimbingan dan Konseling di sekolah pada remaja sangat dibutuhkan. Selama masa
pandemi ini, guru BK dapat mengadakan program dari rumah untuk siswa, misalnya program
bimbingan konseling online melalui sosial media sebagai media interaksi, atau bisa juga berupa
sharing session maupun sosialisasi secara online.
2. Remaja disarankan melakukan perubahan gaya hidup selama masa pandemi ini dengan banyak
melakukan aktivitas fisik di rumah, seperti membantu pekerjaan rumah, berolahraga kecil di rumah,
atau melakukan kegiatan bersama keluarga.
3. Peranan orang tua juga sangat penting dimana orangtua dapat memberikan pengawasan dan
edukasi untuk remaja dalam pengontrolan diri ketika mengakses internet selama masa pandemi ini.
Dari beberapa strategi tersebut salah satunya adalah  konseling online yang  merupakan salah satu
faktor yang mendukung dalam penanganan suatu masalah. Nantinya guru BK membantu siswa untuk
meningkatkan pemahaman serta mendorong untuk membuat penyelesaian terhadap masalahnya.
Dengan dilakukannya konseling diharapkan terjadi perubahan perilaku dan gaya hidup siswa menjadi
lebih baik. Di samping pelaksaanan konseling individual yang dilakukan secara tatap muka, guru BK juga
dapat memanfaatkan situasi ini dengan membuat suatu inovasi dengan memanfaatkan kemajuan
internet. Salah satunya dengan membuat sebuah konseling berbasis online yang tentunya sangat cocok
dengan kondisi pandemi Covid-19 ini. Orangtua juga perlu mengikuti konseling online dengan guru BK
untuk memahami apa yang dirasakan dan yang seharusnya dilakukan remaja selama melakukan
pembelajaran di rumah.

sumber
: www.images.app.goo.gl
Kawan Berbagi, dapat kita simpulkan bahwa bentuk-bentuk kecanduan internet yang dialami adalah
beragam seperti sering merasa kesal dan cemas jika handpone yang digunakan tidak dapat tersambung
ke internet, melakukan segala cara agar dapat mengakses internet dengan lancar, terlalu asyik
mengakses internet hingga melupakan kewajiban-kewajibannya sebagai pelajar, sering menanti waktu
untuk mengakses internet ketika sedang tidak melakukannya, serta durasi bermain internet semakin
hari semakin bertambah. Konseling online menjadi media alternatif untuk pemberian layanan konseling
dengan memanfaatkan layanan internet. Sehingga nantinya  bimbingan dan konseling dapat membantu
mengentaskan masalah anak pada usia remaja  secara optimal tanpa terhalang tempat dan waktu.
Selain itu dengan adanya konseling online, memungkinkan bagi remaja untuk dapat memanfaatkan
internet secara positif.
Jika Kawan Berbagi ingin melakukan konseling online dengan Konselor Psikologi Berbagi terkait masalah
pendidikan maupun perkembangan anak & remaja, bisa mendaftar melalui bit.ly/BUDARA 2020.

Salam Berbagi 
Arikel ini dibuat dalam rangka mengikuti Program Magang 2020 (PPL Komunitas) dari Fakultas
Psikologi & Kesehatan UIN Walisongo Semarang
DA
FOMO atau Fear of Missing Out merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan sosial yang kerap
terjadi pada remaja.
Rasa cemas tersebut muncul ketika seseorang merasa melewatkan informasi atau tren terbaru yang
seharusnya diketahui lebih dulu olehnya. Bukan tanpa alasan, sindrom FOMO ternyata bisa terjadi
akibat penggunaan media sosial yang berlebihan.
Baca juga: Pernah Dengar Istilah FOMO Syndrome? Kenali Lebih Lanjut, Yuk!
Bagi kamu yang merasa mengalami gejala-gejala seperti; tidak bisa lepas dari gadget dan koneksi
internet, terlalu peduli terhadap situasi di media sosial, serta semakin terobsesi dengan kehidupan
orang lain, maka kamu perlu melakukan hal-hal berikut ini agar terbebas dari FOMO.

FOMO atau fear of missing out menjadi konsep yang semakin familiar, terlebih karena adanya media
sosial yang membantu menyebarkan informasi dan tren dalam hitungan detik. Orang yang
mengalami fear of missing out akan merasa panik dan cemas ketika ketinggalan sesuatu yang sedang
tren. Sebaliknya, joy of missing out atau JOMO adalah perasaan ketika seseorang justru merasa
senang tak harus mengikuti apa yang sedang tren.
Orang yang berhasil menikmati JOMO atau joy of missing out sebenarnya memiliki kecerdasan
emosional yang tidak biasa. Di tengah dunia yang serba sibuk dan informasi lalu lalang dengan cepat,
mereka tak merasa ada keharusan untuk mengikuti apa yang tengah terjadi. Justru, orang penikmat
JOMO bisa menemukan kebahagiaan versi dirinya sendiri.
Apa itu JOMO?
JOMO atau joy of missing out adalah perasaan merasa puas dan bisa menikmati situasi yang dialami
saat ini. Bahkan, tak ada keinginan untuk membandingkan apa yang dirasakan dengan kehidupan
orang lain. Lebih utamanya lagi, orang yang menikmati JOMO tidak merasa ada keharusan untuk
menunjukkan kepada orang lain apa yang tengah dilakukannya.Ini adalah keistimewaan dari joy of
missing out, bahkan mereka tak harus mengunggah sesuatu demi rekognisi atau apresiasi dari sekitar.
Tak ada keinginan untuk pamer demi mendapat pengakuan atau diberi tempat dalam suatu lingkaran
pertemanan tertentu.Artinya, orang yang berhasil menikmati joy of missing out tak punya keharusan
melakukan apapun. Mereka bisa melakukan perjalanan keliling dunia bahkan tanpa mengunggah satu
foto pun karena benar-benar menikmati petualangannya. Ini tidak mudah, lagi-lagi karena ada
tekanan dari media sosial yang ikut berperan.
Bagaimana belajar menikmati JOMO?
Bagi orang yang FOMO, belajar menikmati JOMO yang merupakan kebalikannya tentu bukan perkara
sepele. Orang yang mengalami fear of missing out akan terus menerus merasa ada keharusan melihat
apa tren yang sedang terjadi. Tentunya tak hanya sampai di situ. Hal ini juga diikuti keharusan untuk
mengunggah sesuatu dengan topik serupa agar dianggap mengikuti tren.Namun, menikmati joy of
missing out bukannya tak bisa dipelajari. Beberapa cara untuk melatihnya bisa dengan:
1. Menghargai waktu
Sebisa mungkin, buat jadwal dan prioritas apa yang penting dilakukan dan apa yang tidak. Jika
ada project yang paling penting, tuliskan sebagai prioritas utama. Dengan demikian, seseorang akan
lebih menghargai waktu.Tanpa disadari, orang yang FOMO harus mengalokasikan waktunya untuk
mengikuti apa yang sedang tren, apa yang harus dilakukan agar dianggap mengikuti tren itu, dan
semuanya memakan waktu yang tak sedikit. Di sinilah keunggulan orang yang JOMO, tak harus
membuang waktu hanya demi persepsi orang lain.
2. Izinkan diri sendiri menikmati momen
Dengarkan apa yang sedang dirasakan diri sendiri. Jika merasa hari tidak berjalan dengan baik,
bersantailah di sore hari sembari memanjakan diri. Pun ketika sedang ada berita baik, berikan waktu
untuk menikmatinya. Tak perlu melibatkan orang lain dalam tirai media sosial yang belum tentu
orisinil karena hanya akan membuat diri sendiri tak bisa menikmati momen.
3. Tidak mengakses media sosial
Coba kurangi akses ke media sosial dengan tidak mengikuti orang yang memancing rasa FOMO atau
memunculkan emosi negatif tertentu. Pada tahap awal, bisa dengan berlatih mengurangi durasi
melihat media sosial orang lain yang hanya menampilkan potret-potret kesempurnaan semu saja.
4. Belajar berkata tidak
Tidak semua hal harus diikuti, seperti ajakan untuk hadir di acara tertentu atau bahkan menanggapi
sebuah telepon. Terkadang, belajar berkata “tidak” adalah bentuk penghargaan terbesar kepada diri
sendiri. Tentu ini tidak mudah terutama jika yang mengajak adalah orang yang dekat. Tapi, mulailah
dengan berani berkata tidak.
5. Nikmati pengalaman sesungguhnya
Tinggalkan interaksi dan pengalaman semu di media sosial dan nikmatilah pengalaman sesungguhnya.
Ketika waktu tak lagi habis untuk scrolling media sosial melihat unggahan orang lain, lakukan hal yang
disukai seperti membaca buku, yoga, atau camping. Tak ada keharusan mengunggah apa yang sedang
dilakukan ke media sosial, saatnya mendistraksi kehidupan digital dengan pengalaman seru yang
sesungguhnya.
6. Jangan terburu-buru
Di tengah dunia yang begitu sibuk dan bergerak dengan cepat, coba ambil jeda dengan tidak terburu-
buru. Nikmati saat sepi, berpikir sebelum berbicara, baca buku hingga tamat, bahkan nikmati
kemacetan sebagai momen untuk refleksi. Slowing down bisa meningkatkan kreativitas seseorang
sehingga menjadi lebih produktif.

Jika biasanya Anda mendengar istilah FOMO atau fear of missing out, kini ada istilah lain dengan makna
berlawanan yang dikenal dengan nama JOMO. Katanya, menerapkan JOMO pada kehidupan sehari-hari
bisa membuat hidup Anda menjadi lebih bahagia. Lantas, apa itu JOMO?
Apa itu JOMO (joy of missing out)?

Di era media sosial seperti sekarang, banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi yang paling up-to-
date agar bisa mengukuhkan keeksistensiannya di dunia digital.
Setiap hari, mereka akan berkutat di akun sosialnya dan selalu mengikuti hal-hal baru yang sedang
digandrungi banyak orang. Mereka seakan dikejar-kejar oleh tren dan tak mau dicap kurang gaul.
Perasaan takut tertinggal inilah yang kerap disebut FOMO.
Tak hanya itu, orang-orang yang mengalami FOMO seringnya ingin selalu bergabung pada kegiatan-
kegiatan sosial, mereka kerap kesulitan saat menolak undangan untuk berpesta. Mereka merasa
memiliki kebutuhan untuk selalu terhubung dengan orang lain.
Terkadang, mereka juga kerap membandingkan diri dengan orang lain. Karena melihat unggahan dari
teman-temannya di media sosial, mereka jadi merasa bahwa hidupnya tak menyenangkan. Jika terus
dibiarkan, hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental.
Oleh sebab itu, muncullah istilah bernama JOMO yang mulai digaungkan sebagai hal yang sangat
berlawanan dari FOMO. JOMO atau joy of missing out adalah istilah yang merujuk pada tindakan untuk
tidak terlibat dalam kegiatan tertentu, terutama yang berkaitan dengan media sosial atau sumber
hiburan lainnya.

JOMO didefinisikan sebagai perasaan kepuasan diri di mana seseorang sudah merasa cukup dengan
hidupnya sehingga mereka merasa bebas dan lebih fokus pada hal-hal yang mereka senangi. Mereka
yang menerapkan JOMO cenderung lebih tenang menjalani hidup tanpa takut melewatkan kesenangan
bersama teman-teman.
Adanya istilah JOMO diharapkan dapat melatih seseorang untuk mengendalikan obsesi yang berlebih,
salah satunya dengan membatasi penggunaan media sosial.
Efek media sosial sudah banyak diketahui dapat memberikan pengaruh yang besar pada kesehatan
mental, terutama di kalangan remaja. Tak jarang mereka dilanda perasaan kesepian dan stres setelah
melihat akun media sosial orang lain.
Selain itu dengan beristirahat sejenak dari media sosial, Anda mungkin akan menemukan aktivitas lain
yang tak kalah menyenangkan. Menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana inilah yang juga
menjadi tujuan JOMO.
Bagaimana menerapkan JOMO pada keseharian?

Salah satu hal yang ingin ditekankan dalam praktik JOMO adalah menyisakan lebih banyak waktu,
tenaga, dan emosi untuk benar-benar dipilah mana yang harusnya jadi prioritas utama. Berikut hal yang
bisa Anda lakukan untuk memulainya.
 Susun rencana untuk melakukan sesuatu yang bisa menghubungkan Anda dengan orang-
orang terdekat. Bisa dengan janji bertemu di kedai kopi, jalan-jalan sore di taman dengan
keluarga, atau melanjutkan lukisan yang belum terselesaikan. Kegiatan ini akan membantu
mengalihkan perhatian Anda dari pikiran tentang kehidupan orang lain.
 Matikan notifikasi agar tak muncul di beranda ponsel Anda, kecuali jika notifikasi tersebut
merupakan surel yang berhubungan dengan pekerjaan atau hal-hal penting lainnya.
 Keluarlah dari akun media sosial, berhenti mengikuti akun dari orang-orang yang dapat
memicu perasaan negatif. Tetapkan batas harian seberapa lama Anda menghabiskan waktu di
media sosial, bila perlu Anda juga bisa menghapus aplikasinya untuk sementara waktu.
 Anda tak selalu harus mengiyakan ajakan untuk pergi melakukan kegiatan atau datang ke
acara sosial jika memang tak masuk prioritas. Sisakan waktu untuk berdiam diri di rumah dan
lakukan kegiatan yang Anda senangi.
Anda tak perlu merasa terdesak untuk segera melakukan semua langkah di atas. Jika meninggalkan
media sosial untuk beberapa lama terlalu memberatkan, Anda juga bisa memulai dengan menyisakan
satu hari untuk libur dari penggunaan berbagai aplikasinya.
Ingatlah bahwa menerapkan JOMO (joy of missing out) bukan berarti Anda harus benar-benar
menghilang dan tidak bersosialisasi dengan orang lain.
JOMO justru membantu Anda untuk mulai membangun koneksi yang lebih dalam dengan orang-orang di
sekitar seperti keluarga atau sahabat. Niscaya, jika dilakukan dengan tepat, Anda akan merasa lebih
bahagia dalam menjalani hidup.
Hello Health Group dan Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, maupun pengobatan.
Silakan cek laman kebijakan editorial kami untuk informasi lebih detail.

Bahaya FoMO buat Anak Muda Sulit Berkarya?


KESEHATAN MENTAL
PSIKOLOGI
Ditinjau oleh: dr. Gabriella Florencia
28 Oktober 2019
Halodoc, Jakarta -   Perkembangan teknologi informasi memang memberikan manfaat bagi manusia.
Segala informasi kini bisa dengan mudah diaskes dan penyebarannya terhitung cukup cepat. Namun,
kondisi ini tidak selamanya memberikan manfaat positif. Akibat penyebaran informasi yang cepat ini
maka muncul fenomena yang disebut fear of missing out atau dikenal dengan FoMO. Bahaya FOMO ini
diduga membuat anak muda menjadi kurang kreatif dan sulit berkarya. Yuk, simak penjelasannya
berikut ini!
Baca juga: Pengaruh Sosial Media pada Remaja
Mengenal Lebih Jauh Tentang FOMO
Fear of missing out adalah kecemasan yang umum dirasakan generasi muda. Kondisi ini semakin marak
saat media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan media sosial sosial lainnya, berubah menjadi
bagian penting di dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap hari, mulai dari seseorang bangun tidur sampai tidur lagi, berbagai orang maupun kelompok
berbondong-bondong menyajikan atau berusaha menjadi yang pertama untuk mengabarkan suatu hal.
Sementara mereka yang memiliki kondisi FoMO menjadi cemas, tidak nyaman, dan risau kalau kalau
mereka ketinggalan sedikit saja informasi yang ramai di media sosial.
Menurut Department of Psychology, School of Social Sciences, Nottingham Trent University, Inggris,
menyebutkan bahaya dari FoMO adalah membuat seseorang bisa berlaku di luar batas kewajaran di
media sosial. Tidak hanya takut ketinggalan berita di media sosial, orang muda yang mengalami FoMo
juga sengaja memasang gambar, tulisan, atau bahkan mempromosikan diri yang belum tentu benar
hanya demi terlihat update. Ironisnya, banyak kalangan yang menganggap ini hanya sebagai cari sensasi
dan kebahagiaan mereka di media sosial dirasa palsu.
Jika kamu ingin tahu lebih banyak mengenai FoMO atau menanyakan kondisi kesehatan mental yang
dialami, kini kamu bisa chat dengan psikolog melalui aplikasi Halodoc. Dokter dan psikolog di
aplikasi Halodoc memberikan saran yang tepat mengenai kondisi kesehatan yang dialami. 
Baca juga: Kecanduan Media Sosial? Hati-Hati Oversharing
Mengenal Dampak Negatif dari FoMo
Sudah jelas kondisi ini memberikan dampak buruk bagi generasi muda, misalnya:
 Membuat Prestasi Menurun. FoMO bisa membuat anak mudah jadi kurang produktif akibat waktu
mereka habis hanya untuk bermain di media sosial. Saat belajar pun mereka jadi kurang konsentrasi
karena mereka terlalu sering membuka media sosial. Akibatnya, kondisi ini bisa menurunkan prestasi
belajar anak-anak usia muda. 
 Menyebabkan Gangguan Tidur. Tubuh manusia pada dasarnya memerlukan jeda untuk mengembalikan
beberapa fungsi tubuh supaya bisa kembali bugar dan segar. Oleh karena itu, mereka perlu tidur. Di
masa kini, saat platform media sosial berkembang, manusia malah menggunakan waktu mereka
beristirahat di malam hari untuk berkegiatan di media sosial. Kebiasaan memainkan gadget sebelum
tidur tersebut, menurut para ahli bisa menyebabkan tidur menjadi gelisah. Hal ini karena adanya cahaya
biru yang dihasilkan oleh gadget. Rangsangan fisiologis pengguna terhadap lampu biru dan terang ini
diduga dapat menunda ritme sirkadian. Hasilnya, setiap pengguna tidak memiliki masa tidur efektif.
 Kecanduan. Ini merupakan hal paling buruk yang terjadi pada mereka yang mengalami FoMO.
Penggunaan media sosial yang berlebihan membuat mereka sulit lepas dari godaan untuk terus aktif
menggunakannya. Kecanduan sosial media merupakan masalah kesehatan mental dan perlu
mendapatkan perawatan profesional. 
Baca juga: 6 Cara Mengatasi Kecanduan Media Sosial
Selain itu, para peneliti menemukan penggunaan berlebihan terhadap media sosial ini memengaruhi
tingkat kepercayaan diri seseorang saat berada di tengah lingkungan kehidupan nyata. Untuk itu,
sebaiknya pergunakan media sosial dengan bijak agar manfaatnya juga bisa dirasakan.
Referensi:

Verywell Mind. Diakses pada 2019. What Does FOMO Mean and How Do I Deal With It?

Develop Good Habits. Diakses pada 2019. What is FOMO? How to Deal with the Fear of Missing Out
9 Ciri-Ciri FOMO pada Anak Remaja
Apakah anak mama memiliki perilaku FOMO?
16 Februari 2021
Freepik/Miksturaproduction

Jemima Karyssa Rompies


Share:
Mungkin Mama akhir-akhir ini cukup sering mendengar FOMO, dan apa artinya? FOMO atau Fear of
Missing Out adalah rasa takut akan ketinggalan.
Fenomena ini menjadi sangat umum dalam masyarakat saat ini karena semakin banyak orang yang
menjadi cemas tentang apa yang terjadi di belakang mereka, dan sadar ingin memiliki atau menghadiri
semua rencana yang dilakukan oleh orang lain .
Gejala FOMO adalah masalah yang terjadi setiap hari untuk setiap orang dari kalangan usia, baik remaja
hingga orang ddewasa. Bagian terburuknya adalah ketika anak melihat teman-teman terdekatnya
melakukan kegiatan tanpa kehadiran anak.
Dari media sosial, ia melihat teman-temannya tertawa serta membuat kenangan. Jauh di lubuk hati anak
mungkin ia mengakui bahwa itu menyakitkan baginya.
Jika Mama tidak yakin apakah remaja menderita FOMO, berikut ini Popmama.com akan membahas 9
ciri-ciri FOMO pada anak remaja yang meyakinkan Mama apakah si Anak mengalami ini atau tidak.
1. Anak menggunakan media sosial setiap jam dan tidak dapat mengalihkan pandangan dari ponselnya
Freepik/Odua
Di abad ke-21 ini kemajuan teknologi dan gaya hidup yang meningkat, membuat anak yang berusia di
atas 7 tahun sekarang memiliki smartphone.
Gejala FOMO dapat dilihat ketika remaja menggunakan smartphone dan media sosialnya selama waktu
yang lama, hingga ia benar-benar tidak dapat meletakkan telepon dan selalu gelisah menunggu teks
atau undangan.
Mama mungkin juga pernah mengalaminya, begitu Mama melihat seseorang melakukan sesuatu tanpa
Mama. FOMO membuat anak harus memeriksa setiap jam untuk melihat apakah teman-temannya
menikmati atau tidak.
Yang terburuk adalah ketika anak memeriksa semua bentuk media sosial untuk memastikan ia tidak
melewatkan informasi penting.
2. Ingin mengambil bagian pada tren atau kegiatan yang sedang dilakukan banyak orang
Freepik/Vgstockstudio
Rutinitas yang padat terdengar seperti bagian dalam hidup anak, meski terkadang tubuhnya tidak setuju.
Gejala utama FOMO adalah kebutuhan terus-menerus untuk mengambil bagian dalam tren atau
kegiatan sebanyak mungkin hal karena anak takut ketinggalan.
Anak merasa perlu pergi ke acara ini atau ke konser itu, atau bahkan untuk membeli smartphone
terbaru karena anak takut merasa akan ketinggalan jaman. FOMO juga dapat meminta remaja mengikuti
perkembangan tren di media sosial dan mengunduh aplikasi dengan tujuan mengubah sesuatu dalam
hidup.
Mencoba melakukan segalanya dan berada di mana saja akan membuat anak memiliki sedikit waktu
untuk melakukan beberapa hal yang benar-benar penting. Mama dapat bertanya pada anak, “Apa yang
bisa terjadi jika kamu melewatkan aktivitas ini?”.
Kemungkinan seringkali, jawaban anak berputar-putar karena pikirannya yang tidak jelas, bahkan
mungkin mencoba membenarkan tindakan yang tidak bermanfaat.
Waktu dan tenaga sangat berharga, jadi ingatkan anak sebaik mungkin untuk tidak menghabiskannya
dalam "tren" berikutnya, apalagi jika itu bukan sesuatu yang benar-benar digunakan dalam jangka
panjang.
3. Memiliki masalah pada hubungan sosialnya
Freepik/Glaushkina1
Ini adalah gejala FOMO yang paling umum. Yaitu anak mendapatkan masalah dengan teman-teman
terdekatnya karena mereka melakukan sesuatu tanpa anak, bahkan walaupun tidak semua teman-
temannya ada di sana.
Anak kemudian merasa kesal dan marah karena teman-temannya melakukan sesuatu, dan ketika anak
mengatakan kesalahannya karena anak tidak hadir, kesalahan sebenarnya terletak pada anak bukan
kesalahan teman-temannya.

4. Anak mulai mencoba mengubah rencananya
Freepik
Misalnya, anak telah memberi tahu teman-temannya bahwa ia tidak bisa pergi karena sedang
mengerjakan tugas atau tidak ada uang tambahan untuk membayar keluar malam. Tapi kemudian
teman-temannya membicarakan tentang apa yang akan mereka kenakan.
Jadi apa yang anak lakukan ketika ia memiliki FOMO? Anak berusaha sekuat tenaga untuk mengubah
rencananya sehingga ia dapat menghadiri acara tersebut. Bahkan anak mungkin rela datang ke pesta
saat tubuhnya sedang sakit. Ia akan terus berusaha agar tidak merasa kehilangan momen bersama
teman-temannya.
5. Tidak mau kesepian hingga ingin mengetahui semua kegiatan temannya
Freepik
Mama bisa mengetes anak dengan menanyakan kegiatan temannya, seperti “Oh, Mama ingin tahu apa
yang dilakukan (nama teman anak) hari ini?” dan coba dengarkan, jika anak tahu semua kegiatan
temannya hingga setiap detailnya, maka anak memiliki gejala FOMO.
Hal ini bisa terjadi karena anak ingin mengetahui kegiatan temannya di media sosial, dan ia tidak mau
sendirian. Perilaku ini memang dapat dimaklumi, namun jika anak terus menerus merasa kesepian
Mama perlu waspada karena bisa berdampak pada kesehatan mentalnya.
6. Sedih ketika tidak diundang
Freepik/Vitalii-petrushenko
Merasa sedih ketika tidak diundang, adalah reaksi manusia yang umum terhadap berbagai hal, tetapi
100 persen merupakan gejala FOMO, meskipun itu hanya kasus FOMO ringan. Jika anak ingin
menghadiri setiap pesta atau diundang ke mana-mana maka memiliki gejala FOMO.
7. Sering membandingkan dirinya dengan kehidupan orang lain
Freepik/Sewcream
Ketika setiap orang tampaknya memiliki kehidupan yang lebih menakjubkan dari anak, ia akan mulai
membandingkan dirinya dengan orang lain, yang juga dipenuhi rasa kecemburuan.
Jika perasaan ini dikombinasikan dengan perilaku FOMO, maka dapat memberikan anak dorongan besar
untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, jika tidak maka membuat anak merasa kalah dalam
persaingan yang bahkan “tidak nyata” dalam hidupnya.
Lagi pula, anak tidak pernah melihat apa yang terjadi di balik layar dan perjuangan apa yang dilalui
teman-temannya dapat mendapatkan apa yang mereka tampilkan di sosial media.
Tidak sedikit orang yang membagikan kehidupan mereka di media sosial. Jika anak memiliki FOMO, ia
akan terus mencoba mengejar dan mengalahkan orang lain, yang mungkin hal ini akan membuat anak
tidak fokus mencapai cita-cita sesungguhnya di kehidupan nyata.

8. Sangat tertarik pada pengalaman baru


Freepik/Asmedvednikov
Dilansir dari Patrickmcginnis.com, beberapa penelitian mengatakan anak yang memiliki FOMO, lebih
fokus pada pengalaman, dari yang besar seperti berlibur ke luar kota atau ke luar negeri, atau seperti
pergi ke restoran baru yang megah di kota.
Untuk mendapatkan pengalaman ini, banyak Milenial yang bermain api dan menggunakan kartu kredit
untuk makanan yang terlalu mahal atau tempat wisata yang terlalu mahal.
Seolah-olah ingin menampilkan citra diri, anak justru berisiko menambah hutangnya. Ini, juga
dikombinasikan dengan fakta bahwa remaja masih menghasilkan lebih sedikit uang daripada
orangtuanya.
Sehingga pengalaman ini lebih menjadi perjuangan yang berat, yang mungkin tidak akan pernah anak
menangkan. Itu tidak berarti anak tidak bisa memanjakan dirinya dengan sesuatu yang benar-benar
istimewa.
Namun kuncinya adalah memastikan apa pun yang anak pilih perlu dipertanggung jawabkan dengan
alasan yang benar.

9. Anak memotret semua momennya bersama teman-temannya


Freepik/Miksturaproduction
Gejala FOMO terakhir yang tak kalah penting dan mudah diperhatikan adalah, anak memotret segala
sesuatu sehingga semua orang dapat melihat apa yang ia lakukan. Tetapi orang terdekat anak yang
melakukan hal ini, sebenarnya yang menyebabkan FOMO pada anak pertama kali.
Nah itulah Ma, ciri-ciri FOMO yang mungkin terlihat pada anak remaja. Jika anak memiliki dua atau lebih
gejala, maka anak mempunyai perilaku FOMO.
Jangan khawait, meskipun penyebaran FOMO ini akan ada selama masih terdapat media sosial, ada obat
untuk perasaan ini, yaitu diperlukan banyak disiplin dan fokus pada apa yang benar-benar penting untuk
anak.

Anda mungkin juga menyukai