Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN


ELIMINASI URINE

Oleh :
VERONIKA MARLINCE KALLI
2022611017

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI MALANG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
ELIMINASI URINE
A. Definisi
Eliminasi adalah proses pembuangan metabolisme baik berupa urine atau bowel
(feses). Eliminasi pada manusia di golongkan menjadi 2 yaitu defekasi atau buang air
besar adalah suatu tindakan atau proses mhakluk hidup untuk membuang kotoran atau
tinja yang padat atau setengah padat yang berasal dari pencernaan (Dianawuri.2009) dan
miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi atau di
sebut buang air kecil. Elimnasi urine adalah salah satu proses metabolik tubuh.
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine.
B.  Anatomi Fisiologis

1. Ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang buncis, berwarna
coklat agak kemerahan, yang terdapat di kedua sisi kolumna vertebra posterior
terhadap peritoneum dan terletak pada otot punggung bagian dalam. Ginjal terbentang
dari vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Dalam kondisi normal,
ginjal kiri lebih tinggi 1,5 – 2 cm dari ginjal kanan karena posisi anatomi hati. Setiap
ginjal secara khas berukuran 12 cm x 7 cm dan memiliki berat 120-150 gram. Sebuah
kelenjar adrenal terletak di kutub superior setiap ginjal, tetapi tidak berhubungan
langsung dengan proses eliminasi urine. Setiap ginjal dilapisi oleh sebuah kapsul yang
kokoh dan dikelilingi oleh lapisan lemak.
2. Ureter.
Ureter merupakan struktur tubular yang memiliki panjang 25-30 cm dan
berdiameter 1,25 cm pada orang dewasa. Ureter membentang pada posisi
retroperitonium untuk memasuki kandung kemih di dalam rongga panggul (pelvis)
pada sambungan ureter ureterovesikalis. Urine yang keluar dari ureter ke kandung
kemih umumnya steril.
3. Kandung kemih
Adalah ruangan berdinding otot polos yang terdiri dari dua bagian besar: badan
(corpus), merupakan bagian utama kandung kemih dimana urine berkumpul, dan leher
(kollum), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan secara
inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan
uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior
karena hubungannya dengan uretra.
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke
segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung kemih
menjadi 40 sampai 60 mmHg. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah
langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot
detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah
dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke
seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi
kontraksi seluruh kandung kemih dengan segera. Pada dinding posterior kandung
kemih, tepat diatas bagian leher dari kandung kemih, terdapat daerah segitiga kecil
yang disebut trigonum
4. Urethra
Urine keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui 
meatus urethra. Dalam kondisi normal, aliran urine yang mengalami turbulansi
membuat urine bebas dari bakteri. Membrane mukosa melapisi urethra, dan kelenjar
uretra mensekresi lendir kedalam saluran urethra. Lendir dianggap bersifat
bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk mencegah masuknya bakteri.
Lapisan otot polos yang tebal mengelilingi urethra.
C. Fisiologi produksi urin
Ginjal merupakan tempat yang digunakan untuk mengeluarkan zat sisa
metabolisme dalam bentuk urine. Proses pembentukan urine melalui tiga tahapan yaitu
melalui mekanisme filtrasi, reabsorpsi dan sekresi.
a. Filtrasi (penyaringan)

Proses pertama dalam pembentukan urine adalah proses filtrasi yaitu proses
perpindahan cairan dari glomerulus menuju ke kapsula bowman dengan menembus
membrane filtrasi. Membran filtrasi terdiri dari tiga bagian utama yaitu: sel
endothelium glomerulus, membrane basiler, epitel kapsula bowman. Di dalam
glomerulus terjadi proses filtrasi sel-sel darah, trombosit dan protein agar tidak ikut
dikeluarkan oleh ginjal. Hasil penyaringan di glomerulus akan menghasilkan urine
primer yang memiliki kandungan elektrolit, kritaloid, ion Cl, ion HCO3, garam-
garam, glukosa, natrium, kalium, dan asam amino. Setelah terbentuk urine primer
maka didalam urine tersebut tidak lagi mengandung sel-sel darah, plasma darah dan
sebagian besar protein karena sudah mengalami proses filtrasi di glomerulus.

b. Reabsorpsi (Penyerapan kembali)

Reabsorpsi merupakan proses yang kedua setelah terjadi filtrasi di


glomerulus. Reabsorpsi merupakan proses perpindahan cairan dari tubulus renalis
menuju ke pembuluh darah yang mengelilinginya yaitu kapiler peitubuler. Sel-el
tubulus renalis secara selektif mereabsorpsi zat-zat yang terdapat pada urine
primer dimana terjadi reabsorpsi tergantung dengan kebutuhan. Zat-zat makanan
yang terdapat di urine primer akan direabsorpsi secara keseluruhan, sedangkan
reabsorpsi garam-garam anorganik direabsorpsi tergantung jumlah garam-garam
anorganik di dalam plasma darah. Proses reabsorpsi terjadi dibagian tubulus
kontortus proksimal yang nantinya akan dihasilkan urine sekunder setelah proses
reabsorpsi selesai. Proses reabsorpsi air di tubulus kontortus proksimal dan
tubulus kontortus distal. Proses reabsorpsi akan terjadi penyaringan asam amino,
glukosa, asam asetoasetat, vitamin, garam-garam anorganik dan air. Setelah
pembentukan urine sekunder maka di dalam urine sekunder sudah tidak memiliki
kandungan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh lagi sehingga nantinya urine yang
dibuang benar-benar memiliki kandungan zat yang tidak dibutuhkan tubuh manusia
(Yoga,2015).

c. Sekresi

Urine sekunder yang dihasilkan tubulus proksimal dan lengkung Henle


akan mengalir menuju tubulus kontortus distal. Urine sekunder akan melalui
pembuluh kapiler darah untuk melepaskan zat-zat yang sudah tidak lagi berguna
bagi tubuh. Selanjutnya, terbentuklah urine yang sesungguhnya. Urine ini akan
mengalir dan berkumpul di tubulus kolektivus (saluran pengumpul) untuk
kemudian bermuara ke rongga ginjal

D. ETIOLOGI

a. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra


b. Adanya infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya retensi urine. Infeksi tidak hanya
di daerah sekitar kandung kemih tapi juga bisa di sekitar sumsum tulang belakang.
Infeksi pada area sumsum tulang belakang dapat menyebabkan pembengkakan yang
mungkin menekan bagian saraf yang mengatur keluarnya urin, sehingga terjadi
retensi. Selain itu, infeksi yang menyebabkan peradangan dan pembengkakan pada
saluran kemih juga dapat menyebabkan uretra tertekan, yang memungkinkan terjadiny
a retensi urine.
c. Kehamilan
d. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
e. Trauma sumsum tulang belakang
Trauma ini yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan
dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin
f. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
g. Umur
h. Penggunaan obat-obatan
Beberapa jenis obat, termasuk obat pelemas otot, antidepresan, pelega pernapasan dan
obat yang digunakan untuk mengatasi gangguan kandung kemih, mungkin memicu
terjadinya retensi urine.
i. Prolaps uteri

Pada wanita, kondisi rahim turun dari lokasi yang semestinya akibat berbagai hal,
seperti proses persalinan yang sulit maupun penambahan usia, dapat menekan saluran
kemih dan mengakibatkan retensi urine.

E. Patofisiologi
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan
urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara
normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem
saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem
simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan
otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot
detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis
yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama
fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal
spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi
otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot
uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine
dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan
bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari
trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri,
epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma
pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien
dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan
gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang
belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi.
Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan
efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah
satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal
merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah
tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla
yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-
refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan
defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat
diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan
Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi
autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
PATHWAY
T Tumor/neoplasma Pembesaran pada

Infeksi pada di sekitar uretr dan uterus pada saat


Trauma sumsum
uretra uretra kehamilan
tulang belakang

PP Peradangan
\ kerusakan pada KkKompresi pada uret Kompresi pada

medulla spinalis er/uretra  saluran kemih


Tt    Terbentuknya
jaringan parut
Syok spinal

H otot-otot paralisis komplet,


fleksid dan hilangnya reflek
Obstruksi sebagian Urine yang keluar 
atau total aliran sedikit karena ada 
Obstruksi Akut
penyempitan
GANGGUAN POLA ureter/uretra
S
Kolik renalis/nyeri pinggang ELIMINASI
URINE:INKONTINENSIA GANGGUAN POLA
ELIMINASI URINE:RETENSI

NYERI AKUT/NYERI
KRIONIS
F. Manifestasi klinis
a. retensi Urin, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak
sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri:
1. Ketidak nyamanan daerah pubis.
2. Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3. Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4. Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
5. Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin terbagi menjadi beberapa yaitu:
1. Inkontinensia stres yaitu Inkontinensia stres mengacu pada UI yang terjadi
dengan peningkatan tekanan perut yang disebabkan oleh aktivitas seperti
olahraga, tertawa, atau bersin.
2. Wanita yang telah melahirkan secara normal mungkin mengalami kerusakan
struktural yang mempengaruhi kemampuan untuk "menahan" urin. 
3. Inkontinensia overflow yang disebabkan oleh BPH yaitu BPH memiliki gejala
buang air kecil yang sedikit namun sering. Untuk orang tua, keadaan ini sangat
merepotkan, dan terkadang tanpa disadari, terjadi inkontinensia urin karena urin
keluar tanpa terasa ataupun tidak sempat ke kamar mandi.
4. Inkontinensia fungsional , Inkontinensia fungsional biasanya bukan masalah yang
terkait dengan kandung kemih, melainkan sesuatu yang terjadi ketika kondisi,
seperti radang sendi, mempengaruhi mobilitas dan menyulitkan untuk masuk ke
ke kamar mandi tepat waktu.
G. Gangguan umum urinary
a. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam hari (nocturnal
enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.
b. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
c. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500
ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.
d. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine
e. Anuria adalah kondisi saat ginjal berhenti memproduksi urine. Kondisi ini biasanya
terjadi akibat adanya gangguan pada ginjal.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini tidak invasif dan tidak menimbulkan efek radiasis .USG dapar
membedakan masahipercchoik dan kitus(hipocchoik) yang bertujun
untuk :mendetekssi keberadaan dan keadaan ginjal dan sebagai penuntut saat
melakukan fungsi ginjal dan pemeriksaan penyaring adanya dugaan trauma ringan
pada ginjal
2. Pemeriksaan foto rontgen
Pemeriksaan foto Rontgen saluran kemih dengan zat kontras (BNO-IVP), atau CT
scan saluran kemih (urografi) dapat dilakukan untuk melihat gambaran kandung
kemih.
3. Pemeriksaan laboratorium urin
Pemeriksaan yang di lakuakn pada sampel urin pasien untuk tujuan diagnosis infeksi
saluran kemih ,batu ginjal ,skrinning dan evaluasi berbagai jens penyakit
ginjal,pemeriksaan urin rutin terdiri dari : jumlah urin makropis :warna dan jernihnya
urine ,berat jenis ,protein ,glukosandan pemeriksaan sedimen .
I. Fisiologi Keseimbangan cairan
Air di dalam tubuh manusia didistribusikan ke dua kompartemen yaitu
ruang ekstraselular dan intraselular. dua pertigadari total cairan tubuh berada
dalam ruang intraselular,lebih banyak dibandingkan yang beradadalam ruang
ekstraselular (sepertiga dari total cairantubuh).Cairan ekstra selularterdiridari
plasma dan cairan interstitial, dimana cairan interstitiallebih banyak jumlahnya(4/5
dari cairan ekstraselular) dibandingkanplasma (1/5 dari cairan
intraselular).Sebenarnya cairan ekstraselular juga terdapat ditempat lain tetapi
jumlahnya sangat sedikit,yaitu cairan serebrospinal, cairan intraokular,cairan sendi,
cairan perikardial, cairan intrapleura,cairan intraperitoneal, dan cairan pencernaan.
Keseimbangan cairan merupakan bagian dari kontrol tubuh untuk
mempertahankan homeostasis. Homeostasis cairan dapat dipertahankan oleh tubuh
dengan cara mengatur cairan ekstraselular,yang selanjutnya akan`mempengaruhi
cairan intraselular.Agar tubuh dapat mencapai keseimbangan cairan yang
dibutuhkanmaka tubuh harus mengatur agar input cairan sama dengan output cairan
(balance concept). Tubuh jugadapatmengalamiperubahan keseimbanga cairan, yaitu
keseimbangan positif (input lebih banyak daripada ouput) atau keseimbangan negatif
(output lebih banyak dari pada input).
Terdapat dua faktoryang diatur tubuh untuk mempertahankan keseimbangan
cairan, yaitu volume dan osmolaritas cairan ekstraselular. Volume cairan
ekstraselular penting dipertahankan keseimbangannya karena dapat mempengaruhi
tekanan darah sedangkan osmolaritas cairan ekstraselular penting dipertahankan
untuk mencegah sel mengerut ataupun membengkak. Tubuh dapat mempertahankan
volume cairan ekstraselular dengan cara mengatur garam (natrium),dan dapat
mempertahankan osmolaritas cairan ekstraselular dengan cara mengatur air di
dalam tubuh menyebabkan natrium yang difiltrasi juga menurun,sehinggat erjadi
penurunan jumlah natrium yang dieksresi oleh ginjal.Tekanan darah yang menurun
juga menyebabkan peningkatan sekresi aldosterone yang kemudian akan bekerja
diginjal dengan cara meningkatkan reabsorpsi natrium. Karena kerja dari
aldosteron diginjal maka natrium yang diekskresi akan menurun, menambah efek
dari GFR yang menurun.
J. Pengkajian
1. Usia. Kebutuhan eliminasi, baik eliminasi urine, salah satunya dipengaruhi oleh usia
yang mengacu pada pertumbuahan dan perkembangan individu. Misalnya,
kemampuan untuk mengontrol mikturisi berbeda sesuai dengan tahap perkembangan
individu. Pada manusia lanjut usia,sering mengalami nokturia, frekuensi berkemih
meningkat,dan lain-lain.
2. Aktivitas fisik Immobilisasi dapat menyebabkan retensi urine, dan penurunan tonus
otot.
3. Riwayat kesehatan dan diet
Kajian riwayat penyakit atau pembedahan yang pernah dialami pasien yang dapat
mempengaruhi eliminasi, seperti nefrolitiasis, colostomi, dan lain-lain.Dikaji juga
riwayat diet yang dijalani klien, seperti jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah,
frekuensi, dan lamanya diet yang dijalani.
4. Kajian riwayat penyakit atau pembedahan yang pernah dialami pasien yang dapat
mempengaruhi eliminasi, seperti nefrolitiasis, colostomi, dan lain-lain.Dikaji juga
riwayat diet yang dijalani klien, seperti jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah,
frekuensi, dan lamanya diet yang dijalani.
5. Penggunaan obat-obatan Pengkajian meliputi jenis obat, dosis, dan sudah berapa lama
mengonsumsi obat tersebut.Penggunaan obat-obatan ini perlu dikaji karena beberapa
jenis obat dapat mempengaruhi eliminsi urine seperti beberapa jenis obat, termasuk
obat pelemas otot, antidepresan, pelega pernapasan.
6. Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat menentukan pola
defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu gambaran feses normal dan
beberapa perubahan yang terjadi dan mengumpulkan informasi tentang beberapa
masalah yang pernah terjadi berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pola eliminasi.
Pengkajiannya meliputi :
1. Pola eliminasi
2. Gambaran urine dan perubahan yang terjadi
3. Masalah eliminasi
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu, diet, cairan,
aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
K. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang di gunakan adalah B1-B6:
1. B1 (Breathing)
Kaji adanya gangguan pernapasan ,gangguan pada pola napas,sianosis karena suplai
oksigen menurun .Kaji ekspansi dada ,adakah kelainan pada perkusi.
2. B2 (Blood)
Terjadinya peningkatan tekana darah ,biasanya pasien bingung dan gelisah
3. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4. B4 (Bladder)
Inspeksi :Periksa warna ,bau,banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adany
a aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta di sertai keluhan
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder ,perbesaran daerah supra public lesi
pada neatus uretra,banyak kencing dan nyeri pada saat berkemih mendadah disurea
akibat dari infeksi ,apakah terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi:Rasa nyeri di dapat pada supra pubik atau pelvis ,seperti rasa terbakar di
uretraluar sewaktu kencing atau dapat juga di luar waktu kencing.
5. B5 (Bowel)
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan adanya nyeri tekan abdomen ,adanya
ketidaknormalan perkusi ,adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal
6. B6 (Bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membanding ekstremitas yang lain .Adanya nyeri
persendian atau tidak.
L. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Eliminasi Urine :Inkontinensia
2. Gangguan Eliminasi Urine :Retensi
3. Nyeri Akut/kronis
M. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine :Inkontinensia
1. Monitor keadaan bladder setiap 2 jam dan kolaborasi dalam bladder training
2. Hindari factor pencetus intontinensia seperti cemas
3. Kolaborasi dengan dokter dalam pengobatan dan kateterisasi
4. Berikan penjelasan tentang pengobatan ,kateter ,penyebab dan tindakan kain
b. Gangguan eliminasi urine : Retensi
1. Ukur input dan output cairan
2. Kurangi minum setelah jam 6 malam
3. Kolaborasi pemasangan kateter
4. Kaji dan monitor analisis urine elektrolit dan berat badan
c. Nyeri Akut/Kronis:
1. Kaji tingkat nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, dan lamanya nyeri
2. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
3. Ajarkan klien tehnik relaksasi dan tehnik distraksi
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti analgetik sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Penerbit Kedokteran
EGC: Jakarta.
Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.
Terdapat pada :http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-
kebutuhan-eliminasi-fecal/
Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada: www.kiva.org
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC: Jakarta.
Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan
Andi Visi Kartika. Retensi Urin Pospartum. Http://www.jevuska.com/2007/04/19/retensi-
urine-post-partum
Siregar, c. Trisa , 2004, Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi BAB, Program Studi Ilmu
Keprawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT: MOSBY

Anda mungkin juga menyukai