Anda di halaman 1dari 41

Nama : MAXIMILIANUS LOE

NIM : 2102010418
Kelas : i (-semester 3)
HUKUM PERIKATAN
BAB II SISTEM TERBUKA , SAAT
TERJADI DAN SUBYEK DALAM
PERJANJIAN
01

Sistem terbuka dari hukum


perjanjian
Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka(open system), artinya
bahwa para pihak bebas mengadakan kontrak dengan siapa pun,
menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, maupun bentuk
kontraknya baik secara tertulis maupun lisan. penerapan sistem
terbuka tentunya harus diberi batasan apabila tidak hal ini akan
berdampak pada substansi daripada perjanjian itu sendiri, setiap orang
akan bebas mengadakan perjanjian meskipun itu bertentangan dengan
undang-undang maupun nilai-nilai dalam masyarakat.Sistem hukum
perikatan adalah terbuka.Sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal
1320 KUH Perdata. Akibat hukumnya adalah, jika ketentuan bagian
umum bertentangan dengan ketentuan khusus, maka yang dipakai
adalah ketentuan yang khusus, misalnya: perjanjian kost-kostan,
perjanjian kredit, dll.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan sistem
terbuka (open system) sudah sesuai dengan diatur dalam buku III KUH
Perdata khususnya Pasal 1338 KUH Perdata yang memberi kebebasan
kepada masing-masing pihak dimana sistem terbuka adalah setiap
orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian.Akibat hukum terhadap penerapan sistem terbuka dapat
dilihat pada Pasal 1320 KUH Perdata, sepanjang perjanjian yang dibuat
tidak bertentangan dengan undang-undang, norma kesusilaan, dan
ketertiban umum.
02

Asas Konsensualisme
Hukum perjanjian berlaku asas yang dinamakan asas konsensualisme.
Perkataan ini berasal dari perkataan latin ”consensus” yang berarti
sepakat. Asas konsensualisme ini bukanlah berarti suatu perjanjian
disyaratkan adanya kesepakatan, tetapi hal ini merupakan suatu hal
yang semestinya, karena suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.
Asas konsensualisme merupakan dasarnya perjanjian dan perikatan
yang dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan
lain, perjanjian sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal
pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas tertentu, kecuali
untuk perjanjian yang memang oleh undang- undang dipersyaratkan
suatu formalitas tertentu.
03

Saat dan tempat terjadinya


perjanjian.
Menurut asas konsensualisme, suatu perjajian lahir pada detik
tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak
mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian.
Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua
pihak tersebut. Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang
teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah
pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahir suatu
perjanjian. dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, di mana
kedua belah pihak berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan
diadakan secara lisan,
ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat
yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat
dipertahankan lagi. Berdasarkan teori penerimaan (Ontvangstheorie)
saat lahirnya perjanjian adalah pada saat diterimanya surat jawaban
dari penerima penawaran, tidak peduli apakah surat tsb dibuka atau
dibiarkan, yang penting sdh sampai. Teori ini telah menjadi communis
opinio docturum.
04

Subyek dalam Perjanjian


Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan
kewajiban untuk bertindak dalam hukum. Dalam setiap perjanjian
terdapat 2 (dua) macam subjek yaitu pertama seorang manusia atau
suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu
dan kedua seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat
hak yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu. Subjek hukum
yang berupa seorang manusia harus memenuhi syarat umum untuk
dapat untuk melakukan perbuatan hukum secara syah yaitu harus
sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum
dilarang atau diperbatasi dalam melakukan hukum yang syah, seperti
peraturan pailit, peraturan tenatang orang perempuan berkawin dan
sebagainya. Subjek Hukum Kontrak adalah Para Pihak yang
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian/kontrak.
Bab 3
Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
01

Kesepakatan Para Pihak


Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya disederhanakan
menjadi kesepakatan para pihak. Jika diartikan, kesepakatan berarti
adanya penyesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai
hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian.
Dalam hal ini, setiap pihak harus memiliki kemauan yang bebas
(sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan tersebut dapat
dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Adapun makna dari
bebas adalah lepas dari kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Apabila
adanya unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan hal ini berarti
melanggar syarat sah perjanjian. Ketentuan tersebut sebagaimana
diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menerangkan bahwa tiada
suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena
kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
02

Kecakapan Para pihak


Dalam konteks kecakapan untuk membuat suatu perikatan, yang
menjadi subjek adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian
tersebut. Pasal 1329 KUH Perdata menerangkan bahwa tiap orang
berwenang untuk membuat perikatan, kecuali ia dinyatakan tidak cakap
untuk hal itu. Terkait siapa yang dinyatakan tidak cakap, Pasal 1330
KUH Perdata menerangkan bahwa yang tidak cakap untuk membuat
persetujuan adalah anak yang belum dewasa; orang yang ditaruh di
bawah pengampuan; dan perempuan yang telah kawin dalam hal yang
ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh
undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
03

Mengenai Suatu Hal Tertentu


Terkait suatu pokok persoalan atau hal tertentu bermakna apa yang
menjadi perjanjian atau diperjanjikan oleh kedua belah pihak. Pada
intinya, barang yang dimaksud dalam perjanjian ditentukan jenisnya,
yakni barang yang dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai ketentuan
Pasal 1332 KUH Perdata yang menerangkan bahwa hanya barang yang
dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan.
Kemudian, Pasal 1333 KUH Perdata menerangkan bahwa suatu
persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang
sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu
pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
04

Sebab yang Halal


Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka
perjanjian tersebut adalah “BATAL DEMI HUKUM”. Batal demi hukum
artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu
perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Bahwa dari uraian
tersebut diatas maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara
perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat
dibatalkan yaitu dilihat adanya unsur sebagaimana dalam ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dua unsur yang menyangkut unsur
subjektif dan dua unsur yang menyangkut unsur objektif dan
pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke
Pengadilan
3. apakah perjanjian yang telah disepakati secara sah pasti bisa
dilaksanakan sesuai dengan yang diperjanjikan?
Pertanyaan di atas berkaitan dengan Pasal 1338 ayat (1) B.W., yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Kata-kata “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang


membuatnya” mau mengatakan, bahwa perjanjian seperti itu mengikat
para pihak dan karenanya para pihak harus memenuhi janji-janjinya. Arti
seperti itu diungkapkan dengan mengatakan: perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang menutupnya.
Seperti undang-undang mengatur hak dan kewajiban anggota
masyarakat pada umumnya, demikian juga perjanjian menetapkan hak
dan kewajiban di antara para pihak dalam perjanjian. Kata-kata “yang
membuatnya” tertuju kepada para pihak dalam perjanjian. Kalau
disebut mengikat “sebagai undang-undang”, maksudnya adalah:
sebagaimana undang-undang mengikat anggauta masyarakat,
demikian juga perjanjian mengikat, hanya bedanya, undang-undang
mengatur anggota masyarakat pada umumnya, sedang perjanjian
hanya mengatur hak dan kewajiban antara para pihak dalam perjanjian
(baca Pasal 1340 B.W.)
Syarat yang pertama adalah: “sepakat mereka yang mengikatkan diri”.
Kalau syarat ini kita hubungkan dengan Pasal 1338 ayat (1) B.W., maka
bisa kita katakan, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat
para pihak yang telah menyepakatinya. Hal itu berarti, para pihak dalam
perjanjian, yang telah menyepakati janji-janji di dalam perjanjian, terikat
untuk memenuhinya. Dari ketentuan ini bisa disimpulkan asas, bahwa:
janji itu mengikat.
Segi ini dari perjanjian -- menurut B.W. -- akan nampak lebih jelas, kalau
kita pakai hukum adat sebagai latar belakangnya. Dalam hukum adat
berlaku asas, bahwa perjanjian baru lahir, kalau ada penyerahan timbal
balik pada saat yang sama antara prestasi dari yang satu ke yang lain
(gelijktijdige overgang) atau ada perbuatan kontan (contante
handeling).
Atas dasar itu dikatakan, bahwa menurut B.W. perjanjian bersifat
konsensual dan obligatoir. Ciri “bersifat konsensual” mau mengatakan,
bahwa untuk lahirnya perjanjian -- menurut B.W. -- pada asasnya tidak
perlu ada formalitas tertentu, sepakat saja sudah cukup. “Bersifat
obligatoir” mau mengatakan, bahwa dengan ditutupnya perjanjian, yang
lahir baru hak dan kewajiban (perikatan) antara para pihak; objek
perjanjian baru beralih nanti melalui tindakan penyerahan.
Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) B.W. adalah, bahwa:
perjanjian yang tidak sah, tidak mempunyai daya mengikat.
“Sah” di sini diartikan memenuhi semua syarat untuk sahnya suatu
perjanjian. Ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1335 jo. Pasal 1337 B.W.
Demikian juga dengan perjanjian yang dibatalkan; perjanjian seperti itu
-- bisa sejak semula, bisa untuk selanjutnya -- tidak mengikat atau tidak
mengikat lagi. Jadi keabsahan suatu perjanjian berkaitan dengan daya
mengikatnya.
Pasal 1338 ayat (2) B.W. mengatakan: “Suatu perjanjian tidak bisa
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu”.

Anda mungkin juga menyukai