Anda di halaman 1dari 14

Syumuliyatul Ibadah (Cakupan Ibadah)

Allah Ta’ala telah menciptakan manusia agar mereka beribadah kepada-Nya, yaitu agar
mentaati-Nya dengan ketaatan yang disertai perendahan diri sepenuhnya dan
kecintaan. Berikutnya muncul pertanyaan: “Dalam hal apakah ketaatan ini harus
dicurahkan?”, “Dalam ranah apakah ibadah itu harus dilakukan?”

Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Al-Ibadah Fil Islam menyatakan bahwa
jawaban dari pertanyaan tersebut akan menyingkap suatu hakikat yang penting, yaitu
cakupan makna ibadah dalam Islam, serta keluasan cakrawalanya.

Pertama, ibadah dalam Islam mencakup persoalan agama seutuhnya (tasymulud dina
kulluh).

Syaikh Qaradhawi mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah sebagai berikut:

“Ibadah itu satu kata yang jami’ (meliputi) mencakup segala perkataan dan perbuatan
yang dicintai Allah. Karena itu, shalat, zakat, puasa, haji, berkata benar, menyampaikan
amanat, menghormati ayah dan ibu, memelihara hubungan kerabat, memelihara
perjanjian, amar ma’ruf nahi munkar, jihad menghadapi orang-orang kafir dan munafik,
berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, menyayangi
binatang, berdo’a, berzikir, membaca qur’an, dan lain sebagainya itu, adalah termasuk
ibadah.”

Begitu juga mencakup mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, kembali
kepada-Nya, ikhlas memurnikan agama-Nya, sabar terhadap hukumnya, mensyukuri
kenikmatan dari-Nya, ridha terhadap segala ketetapan-Nya, mengharap kasih sayang-
Nya, takut akan azab-Nya, dan lain sebagainya; semuanya itu termasuk ibadah kepada
Allah.[1]

Bahkan ibadah juga mencakup perkara yang ada kaitannya dengan kepentingan dan
kelestarian kehidupan manusia yang bersifat material. Begitulah Ibnu Taimiyah
menuturkan dalam bagian lain di risalah Al-Ubudiyyah. Yaitu melakukan usaha-usaha
serta memelihara sunnatullah yang diberlakukan di alam semesta ini. Ibnu Taimiyah
berkata: “Maka segala usaha yang diperintahkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya,
adalah ibadah.” [2]

Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ibadah di dalam Islam itu memiliki
cakrawala yang demikian luas. Yakni mencakup: perkara-perkara yang wajib dikerjakan
(al-wujub), perkara-perkara yang dianjurkan (an-nadbu), dan bahkan perkara-perkara
yang diperbolehkan (al-ibahah).

*****

Kedua, ibadah dalam Islam mencakup perikehidupan seutuhnya (tasymulul hayati


kulliha).

Syaikh Yusuf Qaradhawi berkata: “Ibadah kepada Allah itu meliputi seluruh aspek
prikehidupan manusia dan mengatur segala persoalannya secara tuntas. Dari tata cara
makan, minum, buang air, sampai kepada membangun negara, mengatur
pemerintahan, mengelola harta benda, mengatur hubungan sosial dan sanksi-
sanksinya. Demikian pula tentang dasar-dasar hubungan internasional, baik dalam
situasi damai maupun perang.” [3]

Nash-nash ajaran Islam pun mengisyaratkan dengan jelas tentang hal ini, bahwa
ibadah dalam Islam itu mencakup: (1) Perbuatan-perbuatan pemenuhan naluri manusia
(al-a’malul ghariziyyah), (2) Amal-amal kemasyarakatan (al-a’malul ijtima’iyyah), (3)
Mencari penghidupan (al-ma’ayish), (4) Memakmurkan bumi (imaratul ardhi), dan (5)
Menegakkan agama (iqamatuddin).

*****
Mengenai al-a’malul ghariziyyah sebagai bagian dari ibadah misalnya diisyaratkan oleh
hadits ini,

َ
‫ َيا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ ٍِّ ‫ َقالُوا لِل َّن ِب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ ٍِّ ‫ب ال َّن ِب‬
ِ ‫ص َحا‬ ْ ‫اسا ِم ْن أ‬ ً ‫َع ْن أَ ِبى َذ ٍّر أَ َّن َن‬
‫ول‬
ِ ‫ض‬ ُ ‫ون ِب ُف‬ َ ‫ص َّد ُق‬َ ‫وم َو َي َت‬ ُ ‫ص‬ ُ ‫ما َن‬ َ ‫ك‬ َ ‫ون‬َ ‫وم‬ ُ ‫ص‬ ُ ‫ص ٍِّلى َو َي‬ َ ‫ما ُن‬ َ ‫ك‬ َ ‫ون‬ َ ‫ص ُّل‬َ ‫ل ال ُّدثُو ِر ِبالأُ ُجو ِر ُي‬ ُ ‫ه‬ ْ َ‫ب أ‬ َ ‫ه‬َ ‫ل ال َّلهِ َذ‬ َ ‫سو‬ ُ ‫َر‬
َ َ ‫ َقا‬.‫أَموال ِِهم‬
‫ل‬ٍّ ِ ‫ص َد َق ٌة َو ُك‬
َ ‫يرة‬ َ ‫ل َتكْ ِب‬
ٍّ ِ ‫ص َد َق ًة َو ُك‬ َ ‫يحة‬ َ ‫س ِب‬ ْ ‫ل َت‬ ٍّ ِ ‫ون ِإ َّن ِب ُك‬
َ ‫ص َّد ُق‬َّ ‫ما َت‬ َ ‫م‬ ْ ‫ل ال َّل ُه َل ُك‬ َ ‫س َق ْد َج َع‬ َ ‫ل « أ َول َْي‬ ْ َ ْ
‫م‬ َ َ
ْ ‫ض ِع أ َح ِد ُك‬ْ ‫ص َد َق ٌة َوفِى ُب‬ َ ‫م ْنكَر‬ ُ ‫ى َع ْن‬ ٌ ‫ص َد َق ٌة َو َن ْه‬ َ ‫وف‬ ِ ‫م ْع ُر‬ َ ‫م ٌر ِبا ْل‬
ْ ‫ص َد َق ٌة َوأ‬ َ ‫ل َت ْهلِيلَة‬ ٍّ ِ ‫ص َد َق ٌة َو ُك‬
َ ‫يدة‬ َ ‫َت ْح ِم‬
‫ض َع َها فِى َح َرام‬ َ َ َ َ َ
َ ‫ل ال َّلهِ أ َيأْتِى أ َح ُد َنا‬
َ ‫م ل َْو َو‬ ْ ‫ل « أ َرأ ْي ُت‬ َ ‫ِيها أ ْج ٌر َقا‬ َ ‫ون ل َُه ف‬ ُ ‫ش ْه َو َت ُه َو َي ُك‬ َ ‫سو‬ ُ ‫ َقالُوا َيا َر‬.» ‫ص َد َق ٌة‬ َ
َ
‫ان ل َُه أ ْج ٌر‬ َ
َ َ‫ض َع َها فِى ا ْل َحلاَ ِل ك‬ َ ‫ِك ِإ َذا َو‬ َ ‫ِيها ِو ْز ٌر َفكَ َذل‬ َ ‫ان َعل َْيهِ ف‬ َ َ‫أك‬

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka
mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami
berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka’. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk
bershadaqah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah
shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah
shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang
di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah“. Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia
mendapat pahala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah
engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian
pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR.
Muslim no. 2376).

Hadits di atas menyebutkan bahwa Allah Ta’ala akan memberi pahala kepada manusia
karena perbuatan mereka memenuhi gharizah / syahwatnya, selama dilakukannya
dengan niat memenuhi hak terhadap istrinya serta memelihara kehormatan dirinya.

*****

Mengenai al-a’malul ijtima’iyyah sebagai bagian dari ibadah diantaranya tergambar


dari hadits-hadits berikut ini, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َت ا ْل َب ْي ِن‬
َ ‫اد ذا‬
َ ‫س‬َ ‫ت ا ْل َب ْي ِن َف ِإ َّن َف‬
َ ‫صلاَ ُح َذا‬ َ ‫أَلاَ ُأ ْخ ِبر ُك‬
ْ ‫ص َد َقةِ ؟ ِإ‬ َّ ‫صلاَ ِة َو ال‬ َّ ‫الص َيامِ َو ال‬
ٍّ ِ ِ‫ل ِم ْن َد َر َجة‬
َ ‫ض‬
َ ‫م ِبأ ْف‬
ْ ُ
‫ي ا ْل َحا ِل َق ُة‬
َ ِ‫ه‬

“Maukah kamu aku beritahukan hal yang lebih utama dari derajat puasa, shalat dan
sedekah (sunat)? Yaitu mendamaikan orang yang bermusuhan, karena merusak
hubungan adalah yang memangkas (agama).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani no. 2595)

‫ِيها‬
َ ‫سف‬َ ‫م‬
َ ‫َس ا ْغ َت‬
َ ‫ َف ِإ َذا َجل‬, ‫ِس‬
َ ‫مةِ َحتَّى َي ْجل‬
َ ‫الر ْح‬
َّ ‫وض فِي‬
ُ ‫ل َي ُخ‬
ْ ‫َم َي َز‬
ْ ‫يضا ل‬
ً ‫م ِر‬
َ ‫اد‬
َ ‫م ْن َع‬
َ

“Barangsiapa menjenguk orang sakit, ia tetap merendam diri dalam rahmat Allah
sehingga duduk, apabila ia duduk, ia pun dapat menyelam di dalamnya.” (HR. Ahmad)

ُ ‫ا‬
ُ ‫سل ِِم ْي َن َر َو‬
ْ ‫م‬
ُ ‫ت ُت ْؤ ِذي ا ْل‬
ْ ‫كا َن‬
َ ‫ق‬
ِ ‫الط ِر ْي‬ َ ‫ب فِي ا ْل َج َّنةِ فِي‬
َّ ‫ش َج َرة َق َط َع َها ِم ْن َظ ْه ِر‬ ُ ‫َل َق ْد َرأَ ْي‬
ُ ‫ت َر ُجلاً َي َت َق َّل‬
‫ِم‬
ٌ ‫سل‬ْ ‫م‬ ُ

‫سل ِِم ْي َن لَا‬ ُ ‫ َوال َّلهِ لَأُ َنحٍِّ َي َّن ه َذا َع ِن ا ْل‬: ‫ال‬
ْ ‫م‬ َ ‫ش َج َرة َعلَى َظ ْه ِر َط ِر ْيق َف َق‬ َ ‫ص ِن‬
ْ ‫رج ٌل ِب ُغ‬
ُ ‫مر‬
َّ : ‫اية‬
َ ‫َوفِي ِر َو‬
َ ِ‫ َف ُأ ْدخ‬،‫م‬
‫ل ا ْل َجن ََّة‬ ْ ‫ي ْؤ ِذ ْي ُه‬.
ُ

“Aku melihat seseorang yang bersuka-ria dalam syurga hanya karena memotong sebuah
pohon dari tengah jalanan yang mengganggu kaum Muslimin.” (HR Muslim). Dalam
riwayat lain: “Pada suatu ketika ada seorang lelaki berjalan melalui sebuah cabang
pohon yang melintang di tengah jalanan, kemudian ia berkata: ‘Demi Allah, niscayalah
pohon ini hendak kulenyapkan dari jalanan kaum Muslimin supaya ia tidak membuat
kesukaran pada mereka itu.’ Orang tersebut lalu dimasukkan dalam surga.”

‫ل‬
َ ‫الر ُج‬َّ ‫ َو ُتعِ ْي ُن‬،‫ص َد َق ٌة‬ َ ‫ل َب ْي َن ا ْث َن ْي ِن‬ُ ‫س َت ْع ِد‬
ُ ‫م‬ ْ ‫ش‬ َّ ‫ُع ف ِْيهِ ال‬
ُ ‫ل َي ْوم َت ْطل‬
ُّ ‫ ُك‬،‫ص َد َق ٌة‬َ ِ‫َّاس َعل َْيه‬ ِ ‫مى ِم َن الن‬ َ َ‫سلا‬ ُ ‫ل‬
ُّ ‫ُك‬
‫مشِ ْي َها‬ َ
ْ ‫ل ُخ ْط َوة َت‬ ٍّ ِ ‫ َو ِب ُك‬،‫ص َد َق ٌة‬
َ ‫الط ٍِّي َب ُة‬
َّ ‫ِم ُة‬َ ‫كل‬َ ‫ص َد َق ٌة َوا ْل‬
َ ‫اع ُه‬
َ ‫م َت‬
َ ‫فِي َدا َّبتِهِ َف َت ْح ِمل ُُه َعل َْي َها أ ْو َت ْر َف ُع ل َُه َعل َْي َها‬
‫ص َد َق ٌة‬
َ ‫ق‬ َّ ‫ص َد َق ٌة َو ُت ِم ْي ُط اْلأَ َذى َع ِن‬
ِ ‫الط ِر ْي‬ َ ‫صلاَ ِة‬ َّ ‫ِإلَى ال‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda, “Setiap persendian manusia ada sedekahnya setiap hari di mana
matahari terbit di dalamnya, kamu mendamaikan di antara dua orang adalah sedekah,
kamu membantu seseorang untuk menaikkannya di atas kendaraannya atau
mengangkatkan barangnya di atasnya adalah sedekah, kalimat yang baik adalah
sedekah, pada tiap-tiap langkah yang kamu tempuh menuju shalat adalah sedekah, dan
kamu membuang gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR.al-Bukhari, no. 2989 dan
Muslim, no. 1009)

Hadits-hadits di atas menyebutkan bahwa amal-amal sosial -mendamaikan orang yang


bermusuhan, menjenguk orang sakit, menyingkirkan gangguan di jalan, dan lain-lain-
yang dilakukan seorang muslim seluruhnya bernilai ibadah.

*****

Mengenai al-ma’ayish (berbagai kegiatan mencari penghidupan) sebagai bagian dari


ibadah diantaranya tergambar dalam hadits berikut ini,

َ
‫س ْو ِل هللاِ ص ِم ْن َج َل ِد ِ ُ َو‬ ُ ‫اب َر‬ ُ ‫َص َح‬ ْ ‫ي ِ ص َر ُج ٌل َف َرأى ا‬ ٍّ ‫م َّر َعلَى ال َّن ِب‬
َ :‫ل‬ َ ‫ب ْب ِن ُع ْج َر َة رض َقا‬ ِ ‫َع ْن كَ ْع‬
‫س َعى‬ ْ ‫ان َخ َر َج َي‬َ ‫ك‬ َ ‫ ا ِْن‬:‫ل هللاِ ص‬ ُ ‫س ْو‬ُ ‫ال َر‬َ ‫ َف َق‬، ِ‫س ِب ْي ِل هللا‬
َ ‫كا َن ه َذا فِى‬ َ ‫ل هللاِ ل َْو‬َ ‫س ْو‬ُ ‫ َيا َر‬:‫ َف َقال ُْوا‬، ِ‫اطه‬
ِ ‫ش‬ َ ‫َن‬
‫ َف ُه َو فِى‬،‫ش ْي َخ ْي ِن كَ ِب ْي َر ْي ِن‬
َ ‫س َعى َعلَى ا ََب َو ْي ِن‬ ْ ‫ان َخ َر َج َي‬ َ َ‫ َو ا ِْن ك‬، ِ‫س ِب ْي ِل هللا‬َ ‫ارا َف ُه َو فِى‬ ً ‫ص َغ‬
ِ ُ ِ ‫َعلَى َو َل ِد‬
‫اء َو‬
ً ‫س َعى ِر َي‬ ْ ‫ان َخ َر َج َي‬ َ ‫ك‬ َ ‫س َعى َعلَى َن ْفسِ هِ ُيعِ ُّف َها َف ُه َو فِى‬
َ ‫ َو ا ِْن‬، ِ‫س ِب ْي ِل هللا‬ ْ ‫ان َخ َر َج َي‬َ ‫ك‬َ ‫ َو ا ِْن‬، ِ‫س ِب ْي ِل هللا‬
َ
‫ان‬
ِ ‫ش ْي َط‬
َّ ‫س ِب ْي ِل ال‬
َ ‫اخ َر ًة َف ُه َو فِى‬ َ ‫م َف‬.
ُ

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki lewat di
hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka para shahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat kuat dan sigapnya orang tersebut. Lalu para shahabat
bertanya, ‘Ya Rasulullah, alangkah baiknya seandainya orang ini ikut (berjuang) fi
sabilillah.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jika ia keluar untuk
bekerja mencarikan kebutuhan anaknya yang masih kecil, maka ia fi sabilillah. Jika ia
keluar bekerja untuk mencarikan kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia
maka ia fi sabilillah. Jika ia keluar untuk bekerja mencari kebutuhannya sendiri agar
terjaga kehormatannya, maka ia fi sabilillah. Tetapi jika ia keluar untuk bekerja karena
riya’ (pamer) dan kesombongan maka ia di jalan syaithan’.” (HR. Thabrani, Shahihul
Jami’ No. 1428, dishahihkan oleh Al-Albani).

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa amal duniawi yang dilakukan oleh manusia untuk
kepentingan hidupnya, serta usaha yang dikerjakan untuk keperluan diri dan
keluarganya adalah termasuk bagian dari ibadah dan merupakan
sarana taqarrub kepada Allah. Maka, menurut Syaikh Qaradhawi, petani yang berada di
sawahnya, buruh yang ada di pabriknya, pedagang yang berada di tokonya, pegawai
yang berada di kantornya, dan semua orang yang berada di tempat kerjanya, dapat
menjadikan pekerjaan hidupnya itu sebagai ‘shalat’ dan jihad di jalan Allah, selama ia
berpegang kepada syarat-syarat berikut.

1. Jenis pekerjaan yang dilakukannya itu harus sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.
2. Disertai niat yang ikhlash.
3. Pekerjaan itu harus dikerjakan dengan ihsan dan itqan (rapi, tekun, teliti,
profesional), sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫يء‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ل‬
ٍّ ِ ‫ان َعلَى ُك‬
َ ‫س‬َ ‫ب الْ ِإ ْح‬ َ ‫ِإ َّن ال َّل َه‬
َ ‫ك َت‬

“Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal.” (HR. Muslim)

‫ملاً أَ ْن ُي ْت ِق َن ُه‬
َ ‫م َع‬
َ َ ‫ب إِ َذا َع ِم‬
ْ ‫ل أ َح ُد ُك‬ ُّ ِ‫ل ُيح‬
َّ ‫هللا َع َّز َو َج‬
َ ‫إِ َّن‬

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mencintai apabila salah seorang di antara kalian
mengerjakan suatu pekerjaan dilakukannya dengan rapi.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).

4. Dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala.


5. Tidak melalaikan dari kewajiban-kewajiban yang bersifat ukhrawi.
Allah Ta’ala berfirman,

‫ون‬
َ ‫م ا ْل َخاسِ ُر‬
ُ ‫ه‬ َ ‫ِك َف ُأو َلئ‬
ُ ‫ِك‬ َ ‫ل َذل‬ َ ‫ك ِر ال َّلهِ َو‬
ْ ‫م ْن َي ْف َع‬ ْ ‫م َع ْن ِذ‬ ُ ‫م َولَا أَ ْول‬
ْ ‫َاد ُك‬ ْ ‫م َوا ُل ُك‬
َ ‫ين آم ُنوا لَا ُت ْل ِه ُك‬
ْ ‫مأ‬
ْ
َ
َ َ ‫َيا أ ُّي َها ا َّل ِذ‬

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang
yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun, 63: 9)

‫ُوب‬ ُ ‫ما َت َت َق َّل‬


ُ ‫ب فِيهِ ا ْل ُقل‬ ً ‫ون َي ْو‬
َ ‫اف‬
ُ ‫اة َي َخ‬
ِ َ‫َاة َو ِإي َتا ِء ال َّزك‬
ِ ‫صل‬ َّ ‫ار ٌة َولَا َب ْي ٌع َع ْن ِذكْ ِر ال َّلهِ َو ِإ َقامِ ال‬
َ ‫م ت َِج‬
ْ ‫يه‬
ِ ‫ِر َجا ٌل لَا ُت ْل ِه‬
‫ار‬
ُ ‫ص‬َ ‫َوالْأَ ْب‬

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi
goncang.” (QS. An-Nuur, 24: 37)
Selanjutnya Syaikh Qaradhawi mengatakan: “Apabila seorang muslim telah memelihara
perkara-perkara tersebut, maka di dalam ia melakukan usaha dan pekerjaannya itu
dinyatakan sebagai ibadah, walaupun tidak berada di dalam mihrab; ia telah
sepenuhnya memenuhi panggilan Allah, sekalipun tidak berada di dalam masjid.” [4]

*****

Mengenai ‘imaratul ardhi (memakmurkan bumi) sebagai bagian dari ibadah


diantaranya diisyaratkankan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,

‫يب‬ ِ ‫م ِم َن الْأَ ْر‬ َ َ ‫هو أَ ْن‬


ٌ ‫م ِج‬
ُ ‫يب‬
ٌ ‫وبوا ِإل َْيهِ ِإ َّن َر ٍِّبي َق ِر‬
ُ ‫م ُت‬
َّ ُ‫و ُ ث‬
ُ ‫اس َت ْغف ُِر‬
ْ ‫ِيها َف‬
َ ‫مف‬ْ ‫م َر ُك‬
َ ‫اس َت ْع‬
ْ ‫ض َو‬ ْ ‫شأ ُك‬ َ ُ

“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai
pemakmurnya. Maka mohonlah ampunan dan bertaubatlah kepadaNya. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Dekat dan Memenuhi segala permintaan”. (QS. Hud, 11: 61)

Ustadz Attabiq Luthfi dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa ayat ini oleh
Imam Al-Alusi dijadikan dalil akan kewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan
kemampuan dan peran setiap orang yang beriman. Sedangkan menurut Ibnu Asyur,
maksud dari kata ‘isti’mar’ yang sinonim dengan i’mar’ adalah aktivitas meramaikan
bumi dengan penataan bangunan dan pelestarian lingkungan dengan menanam
pohon dan bercocok tanam sehingga semakin panjang usia kehidupan bumi ini
dengan seluruh penghuninya.

Pemahaman yang senada -lanjut Ustadz Attabiq Luthfi-, dikemukakan oleh Imam
Zamakhsyari dalam kitab tafsir Al-Kasyaf; beliau mengabadikan kisah tentang raja-raja
Parsi yang sepanjang pemerintahan mereka banyak membuat sungai dan menanam
pohon sehingga mereka diberi kesempatan hidup lama oleh Allah seperti yang
ditunjukkan oleh akar kata isti’mar atau i’mar yaitu al-‘umr yang berarti usia. Ketika
salah seorang nabi bertanya kepada Allah tentang fenomena tersebut: “Kenapa Engkau
berbuat demikian kepada mereka? (dengan memperpanjang usia mereka)”. Allah
menjawab: “Mereka telah menghidupkan bumiKu (dengan memakmurkannya) sehingga
hamba-hambaKu dapat hidup dengan baik di atasnya”.[5]

Isyarat tentang mulianya ‘imaratul ardhi disebutkan di dalam hadits berikut ini bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫س َها‬ َ َ
ْ ‫س َها َف ْل َي ْغ ِر‬
َ ‫م َحتَّى َي ْغ ِر‬
َ ‫اس َت َطا َع أ ْن لاَ َت ُق ْو‬
ْ ‫م َفسِ ْيل ٌَة َف ِإ ِن‬
ْ ‫اع ُة َو فِي َي ِد أ َح ِد ُك‬
َ ‫س‬َّ ‫ت ال‬
ِ ‫ام‬
َ ‫ِإ ْن َق‬

“Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara
kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya
kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad).

Kesadaran tentang pentingnya kesinambungan pangan sebagai bagian dari ‘imaratul


ardhi juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab; Ibnu Jarir rahimahullah telah
meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Ammaarah bin Khuzaimah bin Tsabit,
dia berkata: “Saya mendengar Umar Bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada
ayahku: ‘Apa yang menghalangimu untuk menanami tanahmu? Ayah saya menjawab:
‘Saya sudah tua dan besok juga mati.’ Kemudian Umar berkata: ‘Aku berharap agar
engkau mau menanaminya.’ Sungguh aku melihat Umar bin Khaththab menanam
tanah tersebut bersama ayahku.” (Al-Jami’al Al-kabir karya Imam As-Suyuti).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan pahala dan kebaikan
siapapun yang menjaga kesinambungan pangan dengan aktifitas bercocok tanam
misalnya,

َ ٌ ‫س‬َ ‫ل ِم ْن ُه َط ْي ٌر أَ ْو ِإ ْن‬
ُ ‫سا أَ ْو َي ْز َر ُع َز ْر ًعا َف َيأْ ُك‬
‫ص َد َق ٌة‬ َ َ‫يم ٌة ِإلَّا ك‬
َ ِ‫ان ل َُه ِبه‬ َ ‫ان أ ْو َب ِه‬ ً ‫س َغ ْر‬
ُ ‫سلِم َي ْغ ِر‬
ْ ‫م‬
ُ ‫ما ِم ْن‬
َ

“Tidaklah seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman lalu
tanaman itu dimakan oleh burung atau menusia atau hewan melainkan itu menjadi
shadaqah baginya”.

Bahkan dalam riwayat Muslim dari sahabat Jabir bin Abdillah ditambahkan sekiranya
tanaman itu dicuri oleh seseorang tetap akan menjadi pahala sedekah untuk orang
yang menanamnya.

*****

Mengenai iqamatuddin (menegakkan agama) sebagai bagian dari ibadah sangatlah


jelas karena yang dimaksud dengan menegakkan agama berarti menegakkan semua
syariat Allah Ta’ala baik yang ushul (dasar) maupun yang furu’ (cabang) dalam
kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Allah ta’ala berfirman,

‫يسى أَ ْن‬
َ ِ‫وسى َوع‬
َ ‫م‬ُ ‫يم َو‬
َ ِ‫ص ْي َنا ِبهِ ِإ ْب َراه‬
َّ ‫ما َو‬ َ ‫ك َو‬ َ ‫وحا َوا َّل ِذي أَ ْو َح ْي َنا ِإل َْي‬
ً ‫صى ِبهِ ُن‬
َّ ‫ما َو‬
َ ‫ين‬
ِ ‫الد‬
ٍِّ ‫م ِم َن‬
ْ ‫ش َر َع َل ُك‬
َ
ِ‫ين َولَا َت َت َف َّر ُقوا فِيه‬ َ
َ ‫الد‬ ٍِّ ‫ِيموا‬ ُ ‫أق‬

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Asy-Syura, 42:13)

Melakukan iqamatuddin juga berarti turut berupaya sekuat tenaga sesuai kemampuan
untuk menyampaikan risalah tauhid dan syariat Islam ke seluruh penjuru bumi di Timur,
Barat, Utara, dan Selatan; meliputi seluruh bangsa yang ada.

Allah Ta’ala berfirman,

‫ون‬
َ ‫َم‬
ُ ‫َّاس لَا َي ْعل‬ ْ َ‫ِن أ‬
ِ ‫كث ََر الن‬ َّ ‫يرا َو َلك‬
ً ‫يرا َو َن ِذ‬
ً ِ‫َّاس َبش‬ َ ‫اك ِإلَّا‬
ِ ‫كا َّف ًة لِلن‬ َ ‫ما أَ ْر‬
َ ‫س ْل َن‬ َ ‫َو‬

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui.” (QS. Saba, 34: 28)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫م ًة‬
َّ ‫َّاس َعا‬
ِ ‫ت إِلَى الن‬
ُ ‫ص ًة َو ُبعِ ْث‬
َّ ‫ث إِلَى َق ْو ِمهِ َخا‬ ُّ ‫ان ال َّن ِب‬
ُ ‫ي ُي ْب َع‬ َ َ‫َوك‬

“Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku
diutus kepada manusia semuanya…” (HR. Bukhari, No: 335)

Kesadaran terhadap penyebaran risalah inilah yang mendorong Rasulullah shalallahu


‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan futuhat ke berbagai penjuru jazirah
Arab dan seluruh penjuru bumi, sehingga khilafah Islamiyah berdiri kokoh; berkuasa
dan memimpin bumi.

‫ون‬
َ ‫م ْفل ُِح‬
ُ ‫م ا ْل‬
ُ ‫ه‬ َ ‫ك ِر َو ُأو َلئ‬
ُ ‫ِك‬ َ ‫م ْن‬
ُ ‫وف َو َي ْن َه ْو َن َع ِن ا ْل‬
ِ ‫م ْع ُر‬
َ ‫ون ِبا ْل‬
َ ‫م ُر‬ ْ
ُ ‫ون ِإلَى ا ْل َخ ْي ِر َو َيأ‬ َّ ‫م ُأ‬
َ ‫م ٌة َي ْد ُع‬ ْ ‫َو ْل َت ُك ْن ِم ْن ُك‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)

*****

Ketiga, ibadah dalam Islam mencakup esensi kemanusiaan seutuhnya (tasymulul


kiyanil basyariy kullihi). Yakni mencakup hati (al-qalb), akal (al-‘aql), dan al-
jawarih (anggota badan).

Syaikh Yusuf Qaradhawi berkata: “Maka seorang muslim, dapat beribadah kepada Allah
dengan pikiran, hati, lisan, dan indera-indera yang lain; dapat beribadah dengan badan
seluruhnya…” [6]

Beribadah kepada Allah Ta’ala dengan hati, dilakukan dengan cara menanamkan ikhlas,
tawakkal, mahabbah, sabar, taubat, takut, harap, yakin, niat dan ridha seraya
menghindarkan hati dari sombong, riya’, ‘ujub, hasad (dengki), ghaflah (lalai), dan nifaq.

Beribadah kepada Allah Ta’ala dengan akal, dilakukan dengan cara tafakkur, yakni
memperhatikan dan merenungkan kejadian dirinya dan alam semesta; memikirkan
tentang kerajaan langit (bintang, planet-planet, galaksi, dan lain-lain), bumi dan apa
saja yang diciptakan Allah Ta’ala;

ِ ‫َآيات لِأُولِي الْأَ ْل َبا‬


‫ب‬ َ ‫َاف ال َّل ْي ِل َوالن ََّها ِر ل‬
ِ ‫اخ ِتل‬
ْ ‫ض َو‬ِ ‫ت َوالْأَ ْر‬
ِ ‫اوا‬
َ ‫م‬َ ‫س‬
َّ ‫ق ال‬
ِ ‫ِإ َّن فِي َخ ْل‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal..” (QS. Ali Imran, 3: 190)

‫ت‬
َ ‫ما َخ َل ْق‬
َ ‫ض َر َّب َنا‬ِ ‫ات َوالْأَ ْر‬
ِ ‫او‬
َ ‫م‬
َ ‫س‬
َّ ‫ق ال‬ِ ‫ون فِي َخ ْل‬ َ ‫م َو َي َت َف َّك ُر‬
ْ ‫ودا َو َعلَى ُج ُنو ِب ِه‬ ً ‫ون ال َّل َه ق َِي‬
ً ‫اما َو ُق ُع‬ َ ‫ا َّل ِذ‬
َ ‫ين َي ْذ ُك ُر‬
‫َّار‬
ِ ‫اب الن‬ َ ‫ك َف ِق َنا َع َذ‬ َ ‫س ْب َحا َن‬
ُ ‫اطلًا‬ ِ ‫ه َذا َب‬
َ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
maka peliharalah Kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran, 3: 191).
‫ِين‬
َ ‫مو ِقن‬
ُ ‫ات ِل ْل‬
ٌ ‫آي‬
َ ‫ض‬ ِ ‫م أَ َفلَا ُت ْب‬
ِ ‫ص ُرون َوفِي الْأَ ْر‬ َ
ْ ‫َوفِي أ ْن ُفسِ ُك‬

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.
Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-
Dzariyat, 51: 20-21)

Tafakkur juga dilakukan dengan cara mempelajari ayat-ayat Allah Ta’ala dan
memperhatikan petunjuk serta hikmah yang terkandung di dalamnya, yaitu dengan
memperhatikan kejadian umat-umat terdahulu dan berbagai peristiwa sejarah serta
nasihat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.

ِ ‫آياتِهِ َول َِي َت َذ َّك َر ُأولُو الْأَ ْل َبا‬


‫ب‬ َ ‫ك ل َِي َّد َّب ُروا‬
ٌ ‫ار‬
َ ‫م َب‬
ُ ‫ك‬ ُ ‫اب أَ ْن َز ْل َن‬
َ ‫ا ُ إِل َْي‬ ٌ ‫ِك َت‬

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad, 38: 29)

Karena begitu tingginya nilai tafakkur, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,

‫اعة َخ ْي ٌر ِم ْن ق َِيامِ ل َْيلَة‬


َ ‫س‬َ ‫َت َفكُّ ُر‬

“Berfikir sesaat lebih baik dari pada qiyamullail.” ( Al-Adzamah, 1: 297)

Sedangkan beribadah dengan anggota badan (telinga, mata, indera: perasa, pencium,
peraba; tangan, kaki) adalah sebagai berikut:[7]

Tugas telinga yaitu mendengar penjelasan ayat-ayat Allah, menyimak bacaan shalat,
memperhatikan khutbah, mendengarkan Al-Qur’an seraya menghindar dari
mendengarkan kekufuran, mendengarkan rahasia orang lain, mendengarkan suara
wanita bukan mahram yang bisa menimbulkan fitnah, mendengarkan hal-hal yang
dapat melenakan dari dzikrullah, lain-lain.

Tugas penglihatan yaitu melihat kitab-kitab ilmu, melihat orang tua, melihat wajah para
ulama, melihat tanda-tanda kekuasaan Allah; seraya menghindar dari melihat wanita-
wanita yang bukan mahram dengan disertai syahwat, melihat aurat orang lain, dan
lain-lain.

Tugas indera perasa yaitu makan dan minum yang halal dan baik, makan dan minum
obat seraya menghindar dari makan dan minum yang haram atau syubhat, atau makan
dan minum melebihi dari kebutuhan, termasuk juga menghindari makan dan minum
di walimah yang kita tidak diundang di dalamnya, dan lain-lain.

Tugas indera pencium yaitu semua ciuman yang dapat membedakan dzat-dzat yang
halal dan haram, serta membedakan dzat-dzat yang berbahaya dan bermanfaat, seraya
menghindari mencium wangi-wangian yang haram baginya (contoh: wangi-wangian
dari wanita yang bukan mahram dan wangi-wangian dari orang zalim), dan apa saja
yang tidak membawa maslahat baginya.

Tugas indera peraba yaitu meraba-raba isteri ketika akan jima’, seraya menghindar dari
meraba wanita yang bukan mahramnya atau meraba-raba isteri karena hendak
merasakan kenikmatan dalam keadaan ihram, i’tikaf, dan puasa jika ia tidak dapat
menahan dirinya.

Tugas tangan dan kaki yaitu digunakan untuk bekerja mencari nafkah, menolong
orang, melempar jumrah, menulis sesuatu yang bermanfaat, menuang timba,
beribadah, menghadiri undangan atau majelis ilmu dan lain-lain, seraya menghindari
menggunakannya untuk membunuh yang diharamkan, menulis perkara batil,
mendatangi tempat maksiat, dan lain-lain.

Hingga soal berkendaraan pun hendaknya berada dalam kerangka ibadah, misalnya
menggunakan untuk jihad, pergi haji, thalabul ilmi, silaturahim, birrul walidain, dan
lain-lain.

Satu hal yang tidak boleh kita lupa, yakni lisan. Ia pun dapat beribadah kepada
Allah Ta’ala dengan cara berzikir, tilawah, berdo’a, bertasbih, dan bertakbir.

Allah Ta’ala berfirman,

ِ َ‫ك َر ًة َوأ‬
‫صيلًا‬ ْ ‫و ُ ُب‬
ُ ‫س ٍِّب ُح‬
َ ‫ِيرا َو‬
ً ‫كث‬ ْ ‫آم ُنوا ا ْذ ُك ُروا ال َّل َه ِذ‬
َ ‫ك ًرا‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها ا َّل ِذ‬
َ ‫ين‬
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS. Al-
Ahzab, 33: 41-42)

‫ين‬
َ ‫ال َولَا َت ُك ْن ِم َن ا ْل َغا ِف ِل‬
ِ ‫آص‬
َ ْ‫ون ا ْل َج ْه ِر ِم َن ا ْل َق ْو ِل ِبا ْل ُغ ُد ٍِّو َوال‬
َ ‫ض ُّر ًعا َوخِ ي َف ًة َو ُد‬
َ ‫ك َت‬
َ ِ‫ك فِي َن ْفس‬
َ ‫َوا ْذ ُك ْر َر َّب‬

“Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7: 205)

Tentang anjuran membaca Al-Qur’an, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ
ْ َ‫ِيعا لأ‬
ِ‫ص َحا ِبه‬ ً ‫شف‬َ ِ‫امة‬
َ ‫م ا ْلق َِي‬
َ ‫آن َفإِن َُّه َيأتِى َي ْو‬
َ ‫ا ْق َر ُءوا ا ْل ُق ْر‬

“Bacalah Al Qur’an karena Al Qur’an akan datang pada hari kiamat nanti sebagai syafi’
(pemberi syafa’at) bagi yang membacanya…” (HR. Muslim no. 1910)

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, ia berkata:

، ‫َي‬
َّ ‫ت َعل‬
ْ ‫إسلَامِ َق ْد كَثُ َر‬ ْ ْ‫ش َرائ َِع ال‬
َ ‫ل هللاِ ِإ َّن‬
َ ‫س ْو‬ َ ‫س َّل‬
ُ ‫ َيا َر‬، ‫م‬ ُ ‫ص َّلى‬
َ ‫هللا َعل َْيهِ َو‬ َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫ل ل َِر‬ َ ‫أَ َّن أَ ْع َرا ِب ًّيا َقا‬
ِ‫ك َر ْط ًبا ِم ْن ِذكْ ِر هللا‬َ ‫ِسا ُن‬
َ ‫ال ل‬
ُ ‫ لاَ َي َز‬: ‫ال‬
َ ‫ث ِبهِ ؟ َق‬ ُ َّ‫شب‬ َ ‫يء أَ َت‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ِي ِم ْن َها ِب‬ َ
ْ ‫َفأ ْن ِب ْئن‬

“Seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,
‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami.
Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir
kepada Allah Azza wa Jalla” (HR. Ahmad)

Demikianlah pembahasan ringkas tentang syumuliyatul ibadah. Semoga Allah Ta’ala


senantiasa membimbing kita di jalan-Nya yang lurus ini.

Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:

[1] Syaikh Yusuf Qaradhawi mengutip pernyataan ini dari Al-Ubudiyyah, hal. 38, cetakan kedua, Al-
Maktabul Islami.

[2] Lihat: Al-Ibadah Fil Islam, terjemahan Umar Fanani, hal. 74 -76, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

[3] Ibid, hal. 77

[4] Ibid, hal. 97 – 100

[5] Lihat: http://www.dakwatuna.com/2011/01/10/10627/menanti-peran-memakmurkan-


kita/#ixzz4BJtTk7ju

[6] Al-Ibadah fil Islam, terjemah Hasan Fanani, hal. 118

[7] Mengenai hal ini telah dibahas secara rinci oleh Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin.

Anda mungkin juga menyukai