Anda di halaman 1dari 18

La Lune

Pernah dengar legenda tentang Matahari yang menyimpan rasa pada sang Bulan,
tidak?
Pernah dengar legenda dibalik gerhana, tidak?
Tentang betapa rendah hatinya Sang Kuasa untuk mereka yang tak ditakdirkan
bersama.
Legendanya berkisah, Matahari dan Bulan yang saling menyimpan rasa juga harap
untuk bisa bersama. Namun, sinar mereka yang menyala disaat berbeda itu menjadi
penghalang. Matahari yang bersinar kala sang Bulan masih terlelap dan sang Bulan
yang mulai bersinar terang saat Matahari menyingkirkan diri.
Mungkin Dia yang Kuasa merasa iba dengan kedua benda penerang bumi yang selalu
rasa perih dihati. Rasa iba yang dirasa oleh Sang Kuasa itulah yang mendasari adanya
gerhana.
Gerhana tercipta kala sang Matahari dan sang Bulan akhirnya bertemu disatu titik
yang sama. Tapi sayang, kebahagiaan itu hanya sejenak, Sang Kuasa tak
memperbolehkan Matahari dan Bulan untuk bersama lebih lama. Bukan tanpa kasih,
tapi memperhitungkan keselamatan mereka yang mendiami Bumi.
Gerhana tak boleh berlangsung lama. Ada harga mahal yang harus dibayarkan untuk
kebersamaan kedua penerang Bumi untuk bersatu lebih lama. Yang Kuasa tahu jika
kerendahan hati-Nya berlangsung lebih lama dengan membiarkan Matahari dan Bulan
untuk tetap bersama, maka ciptaan-Nya yang lain yang akan menanggung akibatnya.
Egois sama sekali bukan sifat Sang Kuasa. Jadi, maaf, maaf atas pengorbanan itu.
Maaf jika Sang Kuasa tak memberi izin-Nya untuk kalian tetap mencinta.
Bab 1
“Kak, kenalan dulu sana. Kita udah tetap tinggal disini, biar kakak ada
temennya,” suara lembut itu mengalun, seiring elusan lembut pada surai bocah laki-
laki yang berumur genap 7 tahun itu. Wajah datar itu menatap lurus kedepannya,
beradu pandang dengan sepasang bola mata rusa yang menatapnya penuh rasa
antusias. Senyum bocah perempuan itu merekah dengan rona merah yang masih tetap
menghiasi pipi putih polosnya.
“Hai, aku Luna. Salam kenal Ellio,” tangan kecil itu terulur, menunggu
sambutan dari sosok yang sedang berhadapan dengannya. Senyum gadis kecil itu tak
luntur meski sudah hampir dua menit jabatan tangannya tak kunjung mendapat
balasan. Kedua wanita dewasa itu saling melempar senyum canggung melihat respon
dari satu-satunya laki-laki disana.
Tepat saat uluran tangan Luna perlahan turun dan senyum yang sedari tadi
merekah lebar mulai redup, bocah laki-laki itu dengan cepat mencegah hal tersebut
untuk terjadi. Tangannya dengan cepat membalas dan menjabat erat tangan kecil itu.
Senyum tipis itu tersungging di wajah datarnya. “Salam kenal Luna.”

☾☀☀☽

“Kak, kamu gak mau pulang? Udah berapa lama kamu gak pulang ke
Indonesia, kak. Bunda udah pengen banget lihat anak bunda. Pulang yah kak,” helaan
nafas terdengar dari pria yang tengah berkutat dengan tumpukan kertas yang
menunggu untuk diperiksa dan dikerjakan.
“Maaf bun, kerjaan kakak masih banyak banget disini. Gak bisa ditinggal,”
balasnya pelan.
“Pulang sebentar gak bisa kak?”
“Maaf yah bunda. Nanti kalau kerjaan kakak udah mulai longgar, kakak janji
pulang,”
“Tahun-tahun kemarin kamu ngomong begitu, tapi kamu gak pulang kak,”
“Bunda, kakak kerja ’kan buat bunda sama Ester juga. Tolong ngerti yah
bunda,”
“Yasudah, asal kamu gak nahan pulang karena alasan lain yah kak,”
“Alasan apasih bunda, udah yah bun. Kakak masih harus ngerjain laporan lagi,
bunda baik-baik disana yah bun,”
“Jangan sering lembur kamu yah kak. Dijaga pola hidupnya.”
“Iya bunda, kakak tutup yah telponnya bun,”
Sambungan telepon antar benua itu terputus, Ellio, pria itu menghela nafas
berat dan menjatuhkan punggungnya pada kursi yang tengah ia duduki. Ellio memijat
pelipisnya pelan, kacamata yang semula bertengger manis di pangkal hidungnya, ia
lepas. Ia pejamkan matanya selagi hembusan nafas berat itu keluar dari mulutnya.
“Alasan lain? Tentu bunda, ‘dia’ masih jadi alasan bagi Ellio untuk gak
pulang,” batin Ellio. Pria itu membuka tab lain di laptop miliknya. Membuka folder
yang berisi alasan untuknya tetap berada di negeri orang. Melihat ratusan foto dirinya
saat kecil hingga kelulusan SMA, foto dirinya dengan kedua orangtuanya dan adik
perempuannya, dan sosok yang hampir ada disetiap foto itu.
Tepukan dibahunya seolah menarik paksa Ellio untuk kembali dari lamunan.
Sosok perempuan dengan wajah putih pucat, dengan bola mata sebiru langit, dan
rambut blonde sepunggung yang dibiarkan tergerai, dengan senyum yang merekah
lebar.
“Emily? What’s wrong?” tanya Ellio pada wanita yang notabenenya
merupakan rekan sejawatnya.
“Working overtime?” alih-alih menjawab Emily, nama wanita itu, malah
melontarkan pertanyaan lain.
“Not really, I’ll go home in no time,” ujar Ellio sambil mulai membenahkan
barang-barangnya yang tercecer dimeja kerjanya.
“Umm, can I get a ride?” tanya Emily sambil merapikan cardigan yang ia
kenakan.
“Sure! Just wait a moment, let me get this prepared” ucapnya.
Tak berselang lama kedua insan berbeda gender berjalan beriringan keluar dari
gedung pencakar langit yang menjadi tempat mereka menjadi budak korporat. Saling
bertukar cerita juga canda seakan tidak memiliki beban akan masa yang akan datang.

☾☀☀☽

“ELLIOOO”
Teriakan itu menggema ke setiap sudut rumah yang didominasi oleh warna
putih gading itu. Anak perempuan dengan rambut sebahu yang dikuncir dua itu,
berlari kesana kemari menyusuri setiap ruangan yang dapat ia temui. Senyum yang
sepertinya enggan untuk redup di wajah mungil dengan rona merah alami itu, malah
semakin lebar saat manik bak rusa itu menangkap sosok pemilik nama yang ia
teriakkan tadi. Dengan sangat antusias, bocah perempuan dengan plester berwarna
kuning cerah yang menghiasi lututnya, menggerakkan kaki kecilnya untuk berlari kian
cepat.
“Nanti jatuh Luna,” ujar si bocah laki-laki yang sosoknya dicari oleh insan
mungil lainnya itu.
“Ellio telat bilangnya, ini udah jatuh tadi dihalaman,” dengan polosnya Luna
menunjukkan lututnya yang telah tertempel plester untuk menutupi lukanya.
Ellio hanya menarik nafas lelah, ayolah, kenapa Luna itu sangat ceroboh.
Cerobohnya itu tak hanya sekali-dua kali, tapi terlampau sering. Sampai-sampai Ellio
bersumpah stok plester yang ada dirumahnya dan Luna itu seperti hanya
diperuntukkan untuk gadis kecil itu. Cengiran Luna semakin lebar seakan tak
memiliki kesalahan ataupun kepekaan terhadap kekesalan teman sepermainannya itu.
“Ada apa Luna?” tanpa basa-basi sedikitpun Ellio lontarkan tanya untuk
maksud kedatangan gadis itu ke kediamannya.
“Hari ini Mami ulangtahun, tapi aku gatau harus ngasih apa. Ellio bantu yah,”
sepertinya untai kalimat yang baru saja ia lontarkan itu lebih mengandung perintah
dan bukannya permohonan akan bantuan.
Ellio bergerak menuju sofa diruang tengah dan mendudukkan tubuhnya yang
tingginya bahkan tak sampai sedada orang dewasa. Luna dengan semangat mengekori
setiap pergerakan yang dilakukan sahabatnya itu dan turut serta mendudukkan
bokongnya tepat disamping si bocah laki-laki.
“Yaudah, aku bantu. Tapi kita nunggu Bunda aja yah Luna, aku juga gatau mau
ngasih apa ke Mami,” Luna menganggukkan kepalanya dengan sangat berlebihan
yang dibalas oleh tatap heran dari Ellio karena tindaknya yang mungkin saja akan
mencederai dirinya sendiri.
“Ester dimana, El?” tanya Luna pada Ellio yang saat ini tengah merebahkan
dirinya disofa panjang itu sambil menekan asal remote TV guna mencari channel yang
menarik. Tangannya menunjuk kearah lantai dua, tempat dimana kamar Ester, adik
perempuan Ellio, berada. Seolah melupakan keberadaan Ellio, Luna bangkit dari
duduknya dan melangkah untuk naik kelantai dua guna menemui adik Ellio, Ester.
Ellio hanya mengikuti pergerakan Luna melalui ekor matanya, tanpa ada niatan
untuk bangkit dari posisi tidurnya dan menyusul Luna untuk menemui adiknya. Ellio
terlalu malas untuk itu dan lagi ia sudah menemui channel dengan tayangan yang
cukup menarik atensinya.
“NANTI KALAU BUNDA UDAH PULANG, PANGGIL AKU YAH
ELLIO,” pekik Luna saat ia sudah berada dipuncak tangga. Ellio hanya mengangkat
tangannya dan mengacungkan ibu jarinya, tanda bahwa ia mengerti.
Sudah berapa lama yah Ellio dan Luna saling kenal dan berteman baik. Sudah 4
tahun sepertinya, mereka sudah sampai ditahap dimana tidak ada lagi kecanggungan
saat berkunjung kerumah satu sama lain. Bahkan, mereka berdua sudah memanggil
orangtua satu sama lain dengan sebutan Ayah, Bunda, Papi, dan Mami. Yah,
bagaimanapun mereka masih menginjak usia 11 tahun, sifat friendly khas anak kecil
masih sangat kental bagi mereka. Berharap saja baik Ellio maupun Luna tetap dapat
berteman baik saat umur mereka mulai memasuki fase hidup yang paling
menyebalkan. Iya, apalagi kalau bukan pubertas.
☾☀☀☽
Bab 2
“Thankyou El,” ucap Emily saat Ellio sudah mengantarnya sampai didepan
lobby apartemennya.
“You’re welcome, Emily. Anyway you don’t need to thank me all the time, it’s
been my routine to give you a ride. Don’t mention it,” balas Ellio saat dia sudah
kembali duduk dibalik roda kemudi.
“Ahahaha, you’re right. Safe ride, El. See you tomorrow,” ujar Emily yang
masih setia berdiri ditempatnya berada, menunggu sampai Ellio menjalankan
mobilnya.
“Yap, see you,” Ellio mulai menjalankan mobilnya membelah jalanan New
York yang sepertinya tak pernah sepi walau gelapnya malam menguasai setiap sudut
kota cantik itu. Dari sudut matanya, Ellio menatap Emily melalui spion depan. Wanita
itu masih setia menatap kearah mobil Ellio sambil terus melambaikan tangannya.
Sampai Ellio membelokkan setirnya, saat itulah fokusnya kembali tertuju pada jalanan
didepannya.
Sepertinya Ellio sudah menimbulkan satu masalah yang mungkin akan
menyulitkannya kedepan nanti. Tapi biarkan saja seperti ini, biarkan Ellio menikmati
apa yang ia lakukan sekarang. Jangan ingatkan dia tentang resiko yang akan datang.
Mengundang seseorang masuk kedalam zona nyamannya, saat disana masih ada
seseorang yang belum punya niatan untuk menyingkirkan diri.

☾☀☀☽

“Haah?”
“El udah boleh bawa motor, pi?” Luna tak dapat menahan rasa terkejutnya saat
mendengar Papi-nya sendiri mengizinkan Ellio untuk mengendarai sepeda motor,
sedangkan dirinya sama sekali tak diberi izin barang hanya mengelilingi area
perumahan mereka. Padahal mereka itu sama-sama masih berusia 15 tahun. Sungguh
tidak adil, pikir Luna.
“Gak ada yang bilang boleh Luna, gua cuma boleh bawa sekitar kompleks
doang,” bantah Ellio.
“Iya sayang. Ellio belum punya SIM, gak mungkin Papi bolehin dia keluar dari
kompleks,” ucap pria yang paling berumur diantara mereka, yang notabenenya adalah
ayah kandung dari Luna. Sosok yang paling tua itu mengelus lembut surai sang putri
dengan penuh kelembutan.
“Tetap aja, Luna gak dibolehin bawa motor walau cuma sekitaran kompleks
kok El boleh?” Luna mengerucutkan bibirnya sebagai bentuk kekesalannya.
“Emang lo bisa bawa motor?” tembak Ellio yang hanya dibalas cebikan oleh si
gadis. Ternyata memang Luna takkan pernah menang dalam adu mulut dengan Ellio.
Ayah Luna hanya tertawa melihat anak semata wayangnya kehabisan kata untuk
membalas setiap omongan yang Ellio lontarkan kepadanya.
“Papiii, bukannya dibelain malah diketawain ihhh,” rengek Luna pada ayahnya
sendiri. Matanya menatap sinis kepada Ellio yang sedang tersenyum penuh
kemenangan.
“Hahaha, kamu kalau mau kemana-mana sama El aja yah Luna. Kan bener
yang dibilang El, kamu gak bisa bawa motor. Gapapa kan El, jadi gojek pribadi
Luna?” yang lebih tua memusatkan seluruh atensinya pada pemuda yang sudah sangat
ia percaya. Ia tak menuntut jawaban ‘iya’ karena pria paruh baya itu sudah
mengetahui jawabannya si pemuda takkan pernah mengecewakannya.
“Iya, pi. El gak keberatan kok, kan udah jadi kebiasaan El.” jawab Ellio dengan
penuh sopan santun. Ayah Luna tersenyum dan permisi untuk pergi dari tempat itu,
meninggalkan sepasang teman sepermainan itu berdua.
“Cemberut mulu, lo. Makin jelek yang ada,” ucap Ellio sambil mengusap
wajah Luna dengan seluruh telapak tangannya. Dan tentu saja perbuatannya itu
mendapat serentetan protes dari si empu.
“Apaan sih, El. Tangan lo kotor,” protes Luna sambil berusaha menjauh dari
tangan usil Ellio. Keduanya berhenti saat merasa apa yang mereka lakukan itu
kekanakan dan saling menertawakan kebodohan masing-masing.

☾☀☀☽

Ellio merebahkan tubuhnya begitu ia sampai ke apartemen pribadinya. Tanpa


membersihkan tubuh terlebih dahulu, bahkan jas dan dasinya pun masih terpasang
rapi. Pemuda dengan rahang tegas, dan sorot mata teduh namun tetap dengan sudut
mata yang tajam, juga jangan lupakan alis yang berbaris rapi seolah meneduhi netra si
pemuda. Punggung tegap juga bahu lebar seolah menyempurnakan perawakan
pemuda yang tengah mengejar karirnya di negeri orang itu, dengan kulit tan yang juga
menjadi pesona tersendiri bagi mereka para keturunan Hawa. Benar-benar
mencerminkan namanya Ellio yang diambil sang Bunda dari Dewa Helios sang Dewa
Matahari. Kulit yang terbakar matahari dengan sangat sempurna, tidak berlebihan
semua pas dengan porsinya.
Pemuda itu tutupi wajahnya dengan lengannya, memejamkan matanya sejenak.
Mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang sama-sama lelah. Ellio lelah juga kalut,
kabut yang bersemayaman dalam hatinya seakan tak kunjung reda. Malah semakin
parah, membuat pemuda jangkung itu semakin tersesat jauh kedalam, semakin jauh
dari yang namanya kelegaan juga keikhlasan hati.
Bahkan kalimat pun butuh spasi untuk bisa dimengerti apalagi perihal hati juga
belukar fikir, bukankah jeda yang dibutuhkan haruslah lebih panjang? Ellio percaya
akan untai kalimat sederhana itu. Dan itulah yang ia lakukan, memberi jarak juga jeda
pada apa yang terjadi pada hidupnya. Membatasi setiap interaksi yang ingin dibangun
oleh orang-orang yang ia sayang di Indonesia. Ellio hanya ingin sendiri. Ellio hanya
ingin menenangkan diri. Ellio hanya ingin menyembuhkan perih dihati. Jadi, tolong
jangan katakan Ellio lari. Ia hanya mengambil jeda untuk jaga waras juga jati diri.
Semuanya ia lakukan semata-mata agar Ellio tak kehilangan dirinya sendiri.
Pemuda itu bangkit saat mulai rasa tak nyaman dengan setelannya. Ellio lepas
dasi yang seharian ini mencekik lehernya, juga jas hitam itupun tak luput ia
tanggalkan. Ellio gulung lengan kemeja putihnya sampai sebatas siku, melepas tiga
kancing teratas kemejanya, dan melangkahkan kaki jenjangnya menuju kamar mandi
guna membasuh diri.
Tak berselang lama, Ellio keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit
tubuh bagian bawahnya. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang masih terus
meneteskan air hasil kegiatan mandinya itu. Sembari terus mengeringkan rambutnya,
Ellio ambil ponselnya yang sebelumnya ia isi daya, dan mendapati rentetan pesan dari
sang Bunda, Ester adiknya, dan Emily. Mengabaikan pesan sang Bunda dan adiknya,
Ellio dengan cekatan menarikan jemarinya diatas layar ponsel guna membalas pesan
Emily yang jauh dari kata penting.

Emily
Hilarious :D
Anyway, sleep tight El
Hv a nice dream 
Ellio
Have a nice dream too.
Ma Reine.
Ellio lemparkan ponselnya kearah kasur segera setelah kegiatan bertukar pesan
dengan Emily sudah menemui ujung. Ellio membuka lemari pakaiannya dan mulai
berpakaian lalu merebahkan tubuhnya diatas kasur. Pemuda itu pandangi langit-langit
kamarnya, tak ada senyum sedikit pun yang terbit diwajah rupawannya itu walau ia
dan Emily saling melempar godaan yang cukup menggelitik rongga hati. Ellio
pejamkan matanya, berusaha keras untuk menjemput mimpi dan terlelap dengan
nyaman malam itu.
Lima menit…

Sepuluh menit…

Lima belas menit…

Ellio menyerah. Tangannya terulur membuka laci nakas yang berada tepat
disamping tempat tidurnya, mengacak isi laci tersebut sampai akhirnya ia mendapati
sebuah botol kaca kecil yang berisi puluhan pil berwarna putih. Ellio ambil tiga butir
pil tersebut, memasukkannya kedalam mulutnya, dan meminum air yang selalu ada
didalam kamarnya. Kembali pemuda itu rebahkan dirinya, kali ini dengan harap agar
hari esok ia dapat menjemput mimpi dengan mudah.

☾☀☀☽
Bab 3
“Pulang.”
“Pulang Luna, jangan mau jadi cewe bego,”
Luna menundukkan kepalanya dalam-dalam saat nada dingin Ellio menyapa
rungunya. Tangannya memilin ujung kaus yang ia kenakan, seolah menyalurkan rasa
gugup dan rasa takutnya.
“Sudah jadi cewe bego, sekarang malah bisu?”
Mata Luna semakin terpejam, bulir-bulir keringat mulai menghiasi dahi
mulusnya dan membasahi anak rambut milik gadis itu.
“Maaf El,” cicit Luna pelan dengan tetap enggan beradu pandang dengan sang
sahabat. Nafas berat Ellio terdengar nyaring, pemuda itu mengusap wajahnya kasar
guna menetralkan amarah yang berkecamuk dalam dirinya.
Ellio menarik tangan Luna dan menyeretnya keluar dari tempat yang tak
seharusnya dimasuki oleh seorang remaja perempuan yang masih berusia 16 tahun.
Demi Tuhan, apa yang ada dipikiran teman kecilnya ini hingga berani membohongi
kedua orangtua-nya dan Ellio sendiri hanya untuk pergi ke klub malam. Gila, Luna
sudah benar-benar gila. Setidaknya itulah yang ada didalam benak pemuda yang
menarik paksa sahabat kecilnya itu menuju mobil sang Ayah yang ia pinjam barusan.
Pemuda itu membukakan pintu depan dan sedikit mendorong tubuh gadis itu
agar masuk dan duduk dengan semestinya. Ellio yang masih dipuncak rasa kesal juga
marah membanting pintu itu cukup kuat, dan memutari mobil untuk duduk dibelakang
kemudi. Suasana dimobil hitam itu cukup mencekam, salah satu dari mereka yang
mati-matian menahan tangis karena rasa takut yang menguasai dirinya. Dan satu orang
lagi yang berusaha mati-matian agar amarahnya tak menguasai dirinya sepenuhnya.
Tidak ada satupun yang membuka mulutnya, keduanya tetap bungkam dan memilih
berkelana dalam imaji masing-masing.
“Jelasin,” Ellio yang lebih dulu mengakhiri bisu yang sedari tadi menyelimuti
keduanya.
“Jelasin kenapa lo ada disana dengan pakaian yang bahkan gak layak disebut
pakaian. Jelasin Luna,” tangan Ellio mencengkram setir itu dengan sekuat tenaga
sampai buku-buku jarinya memutih. Pandangannya ia alihkan untuk menatap sosok
gadis yang hampir 10 tahun berada didekatnya itu. Menelisik penampilan Luna yang
mengenakan tight croptop yang dipadukan dengan jaket jeans yang juga croptop, dan
terakhir hotpants yang juga berbahan jeans sehingga perut rata Luna terpampang
begitu saja. Begitu juga kaki jenjang gadis itu yang terekspos dengan sangat
berlebihan. Belum lagi pakaian yang kenakan juga sangat ketat, sungguh membentuk
lekukan tubuh Luna yang mulai berubah mengikuti fase pubertasnya.
Jengah dengan apa yang ia lihat, dengan sekali tarikan hoodie dickiess hitam
yang Ellio kenakan kini telah berpindah tempat. Ellio lempar hoodie yang semula ia
kenakan itu pada Luna.
“Pake. Jangan kayak orang gila lo make baju kurang bahan,” dengan cepat
Luna mengambil hoodie itu dan mengenakannya. Menurut dengan apapun yang
dikatakan Ellio adalah salah satu cara untuk mengurangi rasa kesal pemuda itu.
Melihat tubuh Luna sudah cukup tertutup, Ellio kembali membuka suaranya.
“Sekarang jelasin, kenapa lo tiba-tiba ada disana? Lo izin ke Mami, Papi lo buat nugas
sampai nginap dirumah Salsa. Kenapa gua malah lihat lo joget kayak orang gila
didalam sana? Jelasin Luna,” Ellio tak melirik Luna sedikit pun. Jauh didalam sana
jiwa Ellio tak nyaman melihat sahabat sedari kecilnya memakai setelan yang terbuka,
walau saat ini Luna sudah menutup dirinya menggunakan hoodie-nya tapi tetap saja.
Pakaian itu tak cukup besar untuk menutup hingga ke paha gadis itu.
Luna menunduk sedalam-dalamnya. Sama seperti Ellio, Luna pun merasa tak
nyaman saat pemuda yang selalu ada didekatnya selama hampir sepuluh tahun itu
memandang lekuk tubuhnya yang tak tertutup dengan baik. “Maaf Ellio,” lirih Luna
yang masih dapat ditangkap oleh runggu Ellio.
“Gua gak nyuruh lo minta maaf, Lun. Gua minta jelasin,” nada dingin itu
kembali menguar saat Ellio tak mendapat jawab atas tanyanya. Cengkraman jemari
Luna pada ujung hoodie yang ia kenakan mengetat. Ellio itu jarang marah, dari
bertahun-tahun kebersamaan mereka marahnya Ellio itu bahkan bisa dihitung jari.
“Gue gak tau El,” ucap Luna begitu lirih. Ellio mengerutkan dahinya
mendengar kalimat Luna barusan. Alasan macam apa itu, batinnya.
“Gak tau lo bilang? Lo bego apa gimana sih Luna,” Ellio benar-benar marah
saat ini. “Maksudnya lo tiba-tiba ada gitu disana, apa gimana?” Ellio sudah alihkan
seluruh atensinya pada gadis yang sedari tadi masih menunduk.
“Kalo diajak ngomong, liat mata orangnya. Setan gua dimata lo,” mendengar
itu dengan cepat Luna mendongakkan kepalanya, beradu pandang dengan oniks gelap
Ellio.
“Gue juga gatau, El. Gak ada alasannya, gue cuma pengen. Gue cuma pengen
seneng-seneng. Gue cuma pengen kayak temen-temen yang lain, seneng-seneng gak
mikirin hal lain. Gue juga gatau, El. Gue minta maaf,” Luna sungguh ingin menangis,
tapi sekuat mungkin ia tahan. Ellio benci saat orang yang jelas-jelas salah malah
menangis, karena bagi Ellio itu sama saja tidak bertanggung jawab.
“Seneng-seneng tuh banyak cara, Lun. Pergi ke klub malam, minum-minum
gak layak disebut seneng-seneng. Lo memperburuk keadaan yang ada, Lun. Ngerti
gak?” tegas Ellio.
“GUE UDAH 16 TAHUN, EL!” pekik Luna.
“LO MASIH 16 TAHUN!” sambar Ellio. Luna memandang Ellio dengan mata
yang sudah berkaca-kaca. Nafas keduanya memburu. “Gue cuma takut, El. Gue takut
gue gak sempat ngerasain semua itu, El. Maaf, gue minta maaf,” benteng yang sedari
tadi Luna tahan akhirnya hancur juga. Air matanya mengalir begitu saja membasahi
pipi mulus itu.
Ellio menghela nafas, jemarinya ia bawa untuk memijat pelipisnya. Suasana
kembali hening, hanya suara isakan dari Luna yang sesekali terdengar. Beberapa
menit berlangsung hening sampai Ellio nyalakan mesin mobilnya dan pergi dari
parkiran klub malam itu. Luna masih terisak dikursi penumpang, sungguh gadis itu
takut jika Ellio bawa ia pulang. Luna tak siap menerima kemarahan dari kedua
orangtuanya karena kedapatan berbohong.
“El, kita kemana?” Luna beranikan dirinya untuk bertanya pada Ellio. “Gua
gak bakal bawa lo pulang, jadi tenang aja,” diam-diam Luna menarik nafas lega, iya,
Ellio takkan setega itu padanya. Setidaknya Luna bisa tenang untuk saat ini.
Ellio sendiri bingung mau kemana mereka menginap malam ini. Membawa
Luna pulang kerumah gadis itu bukan pilihan yang baik, membawa Luna kerumahnya
pun bukan opsi yang dapat ia pilih. Berniat memesan kamar hotel untuk semalam pun
sulit, baik Ellio ataupun Luna sama-sama belum memiliki KTP. Ellio putar otaknya,
memikirkan tempat yang memungkinkan untuk mereka menginap setidaknya sampai
fajar menyingsing. Tak lama Ellio tahu kemana tempat yang harus ia tuju, tanpa
berlama-lama ia pijak pedal gas dan mulai menyusuri jalan raya yang sudah sangat
lenggang itu.
“Kita kemana, El?” tanya Luna lagi saat gadis itu menyadari jalan yang mereka
lalui sangat asing baginya. “Rumah Tania,” jawab Ellio yang diangguki oleh Luna.
Tania itu sepupu Ellio dan sudah sangat dekat dengan Luna sendiri. Dan lagi Tania
tinggal sendiri yang berarti menginap ditempat Tania adalah opsi yang paling tepat.
“Tan, gua kerumah lo sama Luna,” ujar Ellio pada seseorang diseberang telpon.
“Nanti gua jelasin. Iya-iya, sorry ngerepotin Tan,” Ellio memutus panggilan telpon
singkat itu dan kembali menaruh ponselnya di dashboard mobil. Ingatkan Ellio untuk
meminta izin pada kedua orangtuanya dan Luna untuk tidak pulang malam ini.

☾☀☀☽

Bab 4
“Gak niat pulang lo?” Ellio sedang berada dalam perjalanan menuju kantornya
saat telpon dari Tania, sepupunya, masuk.
“Bosen banget gua denger ini mulu dari kemaren,” balas Ellio. Ponselnya ia
letakkan di dashboard mobil dan berbicara melalui airpods. Ellio belokkan mobilnya
dipersimpangan jalan guna menjemput Emily yang sudah menjadi rutinitas baginya.
“Lah? Kan situ yang kaga pulang-pulang. Dah enam taon nih, lo disana.
Hampir lupa gua ama bentukan muka lo, sangking kaga pernah ketemunya,” ucap
Tania.
“Kerjaan gua lagi padat banget, Tan. Kaga bisa ditinggal,” jawab Ellio.
“Kaga ada orang yang bener-bener sibuk yah, El. Semua tergantung prioritas,
Bapak Jokowi aja masih sempet tuh maen sama Jan Ethes. Presiden lho beliau, jelas
jauh lebih sibuk dari lo. Gua tau waras lo itu yang sekarang jadi prioritas buat lo,
tapi jangan lupa lo masih punya nyokap sama adek disini. Bokap lo udah gaada, El,
jangan egois,” jelas Tania panjang lebar, ada harap yang terselip disetiap kata yang ia
lontarkan. Harap agar sepupunya itu bisa berdamai dengan masa lalu dan dirinya
sendiri.
“Menurut lo, gua egois, Tan?” tanya Ellio.
“Kalo lo nanya sama gua enam tahun lalu, gua bakal ngewajarin semua
keputusan lo El dan gua gabakal nganggap lo egois. Tapi ini udah lebih enam tahun,
mau sampe kapan lo kabur-kaburan gini. Setahun, dua tahun masih oke buat lo
nyembuhin diri sendiri. Lah ini? Enam tahun lo lari, sembunyi dari apa yang
mestinya lo hadapin. Pulang, El, udah berapa kali gua bilang lo itu gak salah, dan
gaada yang nyalahin lo. Pulang hadapin semuanya, udah cukup lo kabur gini, El,”
Ellio terdiam, mencerna dengan baik apa yang dikatakan oleh sepupunya itu. Pemuda
itu terdiam cukup lama, tak membalas sedikitpun apa yang disampaikan oleh Tania.
“El? Lo masih disana?” Ellio tersentak dari lamunannya. “Tan, nanti kita
ngobrol lagi yah. Gua buru-buru, bye,” tanpa menunggu jawabannya dari Tania, Ellio
memutus panggilan itu sepihak. Jangan sekarang, nanti saja Ellio renungi segala
perkataan yang dilontarkan Tania. Jangan disaat Ellio belum menyelesaikan apa yang
sudah ia mulai.
Tok Tok
Suara ketukan itu membuat Ellio menolehkan kepalanya dengan cepat kearah
sumber suara. Emily berdiri disana, diluar mobilnya dengan sedikit menundukkan
tubuhnya. Senyum manis wanita itu tersungging sempurna, tangannya melambai
menyapa Ellio pagi ini. Ellio segera membuka kunci pintu penumpang agar Emily
tidak menunggu terlalu lama.
“Thankyou, El for picking me up,” ucap Emily dengan senyum yang masih
betah menghiasi wajah cantiknya.
“I’ve told you, it’s my routines since the day one,” jawab Ellio sambil mulai
menjalankan mobilnya kembali, kali ini menuju kantor. Ellio harus selesaikan apa
yang telah ia mulai, termasuk Emily. Wanita ini adalah hal yang paling melenceng
dari apa yang pernah Ellio rencanakan, kebersamaan keduanya terlalu nyaman untuk
dapat Ellio hindari. ‘Maaf, maaf karena pria baik yang kau kira ini akan berubah
menjadi bajingan sejati,’ batin Ellio.

☾☀☀☽

“Gua kira lo pada nyasar,” ucap gadis dengan rambut sebahu yang dibiarkan
tergerai begitu saja. Si tuan rumah sedikit memundurkan tubuhnya, memberi celah
agar kedua tamu, yang sedikit tidak tahu diri karena datang saat jam sudah
menunjukkan pukul 1 dini hari, untuk masuk ke kediamannya.
“Tadi isi bensin bentaran,” ucap satu-satunya anak adam disana. Ellio
membiarkan Luna untuk masuk terlebih dahulu kemudian baru dirinya. Tania, si tuan
rumah, menutup pintu utama dan segera bergabung dengan kedua tamunya yang
sudah mendudukkan dirinya diatas sofa yang ada diruang tengah. Tania baca sorot
mata Ellio yang seolah berkata “Suruh Luna ganti baju, gih,” yang segera Tania
mengerti.
“Lun, ganti baju sono, masuk angin yang ada ntar. Lo pilih aja baju gua, serah
yang mana pake aja kalo lo suka,” titah Tania yang dibalas anggukan oleh Luna.
Segera setelah Luna beranjak ke kamar Tania, gadis dengan rambut pendek itu segera
memborbardir Ellio dengan segudang tanya yang membingungkan lara. Ellio ambil
nafasnya pelan dan mulai menjelaskan segala hal yang membuat tanya bagi Tania.
“Bahaya juga si Luna, ye. Sampe segitunya,” respon Tania setelah Ellio
jelaskan segalanya hingga detail terkecil. Ellio hanya diam, enggan berkomentar lebih.
Jauh didalam lubuk hatinya ada sependar api amarah yang mulai terpercik lagi. Ellio
itu laki-laki, masih remaja lagi, wajar egonya masih tinggi sekali. Kala mendengar
respon orang lain yang seolah membenarkan alasannya untuk marah, Ellio rasa
menang tan semakin tak mau kalah. Tapi kali ini, sebisa mungkin Ellio tahan
semuanya.
Luna tak sepenuhnya salah, tak ada yang salah dari remaja tanggung yang ingin
menikmati masa remajanya. Yang salah hanya cara merealisasikannya, Ellio juga
ambil bagian disana. Beberapa kali Ellio tak indahi pinta sang sahabat yang ingin
sekedar jalan-jalan sore dengan alasan sibuk dengan studinya. Padahal Ellio tak
sesibuk itu, remaja itu hanya ambil sedikit waktu untuk proses apa yang ia dengar dari
kedua orangtua Luna. Tanpa beri Luna kejelasan akan sikapnya yang cenderung
menjauh. Ellio pusing telusuri dimana salahnya bermula, siapa yang sebenarnya
memiliki kesalahan yang begitu besarnya? Ellio, kah? Luna, kah? Atau sang semesta
yang memang terkenal suka ambil peran porak-porandakan warasnya manusia?
Helaan nafas Ellio terdengar untuk kesekian kalinya dimalam ini, selelah
itukah si remaja tanggung yang pikul semuanya tanpa ada mau gabung ambil sedikit
bebannya? Tania lirik sepupunya itu sebelum menangkup pipi si pemuda.
“Gua tau lo cape, El. Tapi jadi Luna juga gak mudah, sabar dikit lagi yah. Lo
bisa El, lo sulung yang paling kece dah,” Ellio mendengus pelan dan menarik
wajahnya dari genggaman si sepupu. Ellio ucap syukur karena sang Kuasa izinkan
sosok seperti Tania untuk jadi sepupunya. Sosok yang terkesan acuh tak acuh dengan
kondisi sekitar, malah jadi orang yang bantu Ellio jaga warasnya sampai saat ini. “Iya,
gua ngerti,” sahut Ellio singkat.
Tak lama Luna kembali sambangi kedua orang yang tengah bertukar cerita itu.
Dengan piyama satin berwarna rose gold yang kali ini sukses menutup lekuk tubuh
indahnya dengan sempurna. Sadar bahwa kedua sahabat berbeda gender ini butuh
ruang untuk selesaikan paham yang sempat berselisih, Tania menarik diri untuk pergi
masuk kamarnya. Tentu dengan arahan dimana kedua tamunya dapat tidur dan
mengistirahatkan tubuh.
Hening menyelimuti keduanya, sampai Luna beranikan diri untuk angkat
suaranya guna memecahkan bisu yang sedari tadi menyambangi. “El, masih marah?”
tanyanya dengan penuh kehati-hatian, seusaha mungkin tak singgung kesal si pemuda
yang mungkin masih singgah di pelupuk lara.
Alih-alih menjawab tanya yang dilontarkan gadis itu, Ellio berikan buku
catatan kecil dan sebuah pena. Ia geser sampai tepat berada dihadapan si gadis. Luna
berikan tatap bingungnya baru saja hendak suarakan apa yang mengganjal, Ellio lebih
dulu bersuara. Memotong apapun yang hendak dikatakan oleh Luna.
“Disitu tulis semua yang lo pengen lakuin, Lun. Apapun itu, kali ini jangan
sendiri, biarin gua ajuin diri,”
Bola mata rusa milik Luna membola dengan sempurna, pun senyumnya mulai
merekah, dibarengi dengan rona merah yang muncul disepanjang pipi hingga telinga.
Senangnya Luna jangan ditanya, rasa-rasanya pompa air matanya berontak ingin lepas
saat itu juga. Ellio disini, ada disisinya, berbagi rasa perih yang dari kemarin tak ada
niatan untuk pergi.
Dengan penuh antusias, Luna goreskan tinta hitam itu ciptakan puluhan bahkan
ratusan aksara yang diharapkan bawa senyum dalam hidupnya. Ellio bungkam dan
tetap tak lepas pandang dari gadis yang antusiasnya serasa tak pernah padam. Ekor
matanya mengamati daftar yang Luna buat atas titahnya, sembari memikirkan cara
paling sederhana untuk jadikan tulisan itu jadi nyata.
Semua baik-baik saja sampai netranya menangkap apa yang Luna tuliskan
sebagai daftar ke-10. Senyum tipis yang sedari tadi bertengger sempurna diwajah
tampannya, melengkung kebawah. Bingung kembali melandanya, astaga Luna, tolong
jangan buat Ellio susah. Kembali helaan nafas Ellio terdengar, lagi, untuk sekian
kalinya malam ini.
Ellio pusing, pusing banget. ‘Mau ngebantah apa yang Luna tulis, tapi
bocahnya udah kegirangan. Biarin, deh, gimana kedepannya nanti, biarin aja Ellio
yang mikir,’ batin Ellio.
☾☀☀☽

Bab 5
Jemari Ellio dengan lihai menari diatas komputer yang tengah ia gunakan,
netranya tak sedikitpun meninggalkan layar yang memilki radiasi tinggi itu. Pria itu
berusaha semaksial mungkin untuk pusatkan fokusnya pada pekerjaan yang kian
menumpuk. Sedikit banyak perkataan Tania menjadi bebannya. Ellio renungi setiap
untai kata yang dilontarkan sepupunya itu. Ia coba pahami maksudnya, walau Ellio
sudah paham betul. Tapi lagi-lagi ego juga takut dihatinya membuat pria itu menolak
untuk paham.
Ellio bangkit dari kursinya, pamit pada rekan kerjanya untuk mengambil jeda
sebentar dari suntuknya pekerjaan. Kaki jenjangnya ia langkahkan mencari tempat
untuknya tenangkan belukar fikir yang rumit. Sesekali ia sapa rekan sejawat yang
berpapasan dengannya. Rooftop jadi pilihan Ellio untuk sedikit ringankan kemelut
fikirnya. Tangannya merogoh saku dalam jasnya, mengeluarkan bungkus rokok yang
tinggal setengah. Mengambil sepuntung rokok, ia selipkan diantara belah bibirnya,
dan mulai membakar batang nikotin itu.
Ellio penuhi paru-parunya dengan asap berbahaya itu, lalu ia hembuskan asap
bekas pembakaran itu keudara sekitar. Abu rokok yang jatuh ke tembok pembatas itu
terbang bebas mengikuti arah angin. Ellio pejamkan matanya dan nikmati belaian
angin yang menerpa wajahnya. Setelah sekian lama, tenang ini bisa ia jamah. Walau
bukan untuk waktu yang lama, tenangnya Ellio selalu terusik, terusik akan setiap
beban yang bertengger dibahunya. Sampai kapan? Sampai kapan perih dihatinya ini
tetap berdiam diri. Ellio ingin kembali, kembali ketitik dimana semuanya mulai
berotasi. Berkali-kali tenang yang selalu ia nanti, malah bawa dirinya ke masa yang
sejatinya tak ingin ia ingat lagi.
Ellio ingin menyerah, ingin mengangkat kedua lengannya, dan kemudian
bertepuk tangan dengan meriah guna beri tahu semesta, bahwa ia berhasil. Berhasil
jatuhkan Ellio dengan telak, berhasil beri luka dalam yang sulit disembuhkan. Ingin
Ellio teriakkan bahwa ia menyerah, asal kembalikan segalanya seperti semula.
Puntung rokok yang sedari tadi berada diujung selipan jarinya sudah sampai
keujung. Padahal baru tiga hisapan yang Ellio lakukan, sisanya hembusan angin yang
ambil bagian. Ellio jatuhkan puntung rokok yang sudah tak lagi membara dari puncak
gedung berlantai 30. Ellio menghela nafasnya, memikirkan langkah apa yang harus
dia ambil, tetap atau kembali.

☾☀☀☽
“Apaan nih,” tanya Tania saat Ellio letakkan secarik kertas tepat dihadapannya.
“List kegiatan yang pengen Luna lakuin,” jawab Ellio sembari mendudukkan dirinya
dipinggir ranjang Tania. Luna sudah terlelap dikamar sebelah, setelah meluruskan
kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan Ellio.
“Waduh, list yang kesepuluh rada-rada ye,” respon Tania saat matanya telah
selesai menbaca frasa yang tertuang dalam kertas tersebut.
“Bingung gua, siapa coba yang bisa gua comblangin ke si Luna? Kaga ada
kayaknya,” Ellio menyugar rambut lebatnya kebelakang sebelum merebahkan tubuh
yang dirasa sudah sangat lelah itu dikasur si sepupu. Tania melipat kakinya yang
semula ia luruskan, memberikan ruang bagi Ellio untuk mengistirahatkan tubuhnya.
“Comblangin sama diri lo aja,” celetuk Tania yang dibalas oleh pelototan dari
pemuda itu.
“Dah gila, yakali sama gua,” ucap Ellio.
“Daripada lo cari orang lain, kan. Belom tentu tuh orang baik, yang ada Luna
yang disakitin. Udah, sih, lo aja,” ujar Tania.
“Nggak, nggak. Yang lain aja, temen gua ada banyak. Gua yakin mereka bakal
baik-baik aja,”
“El, yakin? Lo gak bakal cemburu gitu? Secara lo sama Luna tuh kemana-mana
berdua, yakin gak bakal ngerasa kehilangan?” tanya Tania memastikan.
“Nggak, Tan. Lagian aneh banget gua pacaran sama temen sendiri, gak
kebayang,” Tania mengangkat bahunya acuh tak acuh. Perkataan Ellio itu ia anggap
angin lalu, gadis itu yakin tak lama lagi Ellio akan menarik kata-katanya.
“Terserah sih, gua cuma ngasih saran,” ucap Tania mengakhiri percakapan
mereka. Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 03.45 pagi, Ellio keluar dari
kamar Tania dan pergi kekamar tamu.
Ellio renungin perkataan Tania, bagaimana jika Luna pacaran dengan laki-laki
lain? Apakah hubungannya dengan sahabat kecilnya itu akan renggang? Sudahlah tak
ada gunanya juga Ellio memikirkan hal ini sekarang, masih ada list lain yang harus
Ellio realisasikan. Matanya mulai terpejam, lelah yang menyambangi dirinya mulai
membawa Ellio kealam mimpi.

Anda mungkin juga menyukai