Anda di halaman 1dari 5

Maria karya A. A.

Navis

Air Batang Antokan yang mengalir deras ke Samudra Hindia itu, demikian gemuruh bunyinya di tempat
aku berdiri sekarang Tak pernah berhenti mengalir sejak dari Danau Maninjau, sumbernya. Pada masa
PRRI, banyak orang mati dihanyutkan oleh kedua belah pihak yang bermusuhan. Salah seorang
daripadanya Maria, temanku.

ㅤ Kali pertama kulihat dia, tergores di hatiku kata "lain". Kali keduanya kata "lain dari yang lain".
Sampai sekarang goresan itu masih kurasakan. Kali pertama itu, aku bersama Cok lagi jalan-jalan sore.
Kami berpapasan dengan dia. Dia di trotoar sana dan kami di trotoar sini.

ㅤ"Lain gayanya. Orang baru, agaknya," kata Cok seraya menyentuh pinggangku dengan siku. Aku
benarkan dengan mendengus karena aku juga terpesona dan kepalaku berputar arah sampai ke
belakang bahuku supaya lebih lama memandangnya. Memang, dialah salah satu gadis yang tidak bisa
orang melihatnya sekali pandang, apalagi sambil lewat dengan sekejap mata. Laki-laki dan perempuan
sama saja.

ㅤ Menurut hematku, jalannya yang menantang sehingga buah dadanya kian provokatif dan badannya
yang gempal, yang menjadikan faktor utamanya. Rambutnya yang ikal semarak, merah gincu bibirnya
dan raut alisnya yang lengkung, menjadi daya pikat tersendiri. Overcoat satin yang merah tua menyala
yang paling awal memikat mata ketika terlihat dari jauh.

ㅤ Aku setuju dengan terkaan Cok bahwa gadis itu orang baru menetap atau baru datang sekadar lewat
ke kota kami. Namun, aku ragu karena pada masa itu gadis-gadis yang datang dari kota atau daerah lain,
selalu menggunakan gaun mode terbaru, yang waktu itu dikenal dengan nama New Look. Gaun yang
panjangnya sampai ke tulang kering dan bagian ketiaknya yang sangat lapang. Dan dia ini tidak
mengenakan gaun mode terbaru itu. Jadinya, menurutku dia pasti bukan pendatang dari luar daerah
kami.

ㅤ Kali kedua aku melihat dia, karena jangkungnya Cok yang lebih dulu melihat dia. "Itu dia," katanya
sambil menyikut pinggangku. Dalam nanarku yang belum lenyap karena baru keluar dari bioskop yang
kebanjiran penonton, aku segera maklum bahwa ada pemandangan umum sedang melintas. Mataku
ibarat sinar laser mencari-cari "si itu dia" itu. "Lain dari yang lain," kataku ketika "si itu dia" tampak.

ㅤ Orang-orang yang berdesakan macam itik keluar kandang itu memberi jalan kepadanya seraya
memelototkan mata seperti hendak lepas dari kelopaknya. Laki-laki perempuan berbuat sama. Dan "si
itu dia" itu seperti sadar benar bahwa dia jadi pusat perhatian. Dia lewat dengan membusungkan
dadanya yang memang telah busung itu. Anak-anak muda yang kegemasan mencoba menyenggol "si itu
dia" seperti tidak sengaja atau mencoba memasang aksi seperti kalkun jantan dekat betinanya.

Entah bagaimana caranya, akhirnya kami berkawan dengan "si itu dia" itu. Aku kuliti dia. Aku mau tahu
apanya yang jadi daya tariknya sehingga Cok selalu menyikut pinggangku bila melihat dia dan aku
terbata-bata berkomentar "lain dari yang lain". Karena sebagai pematung aku ingin tahu apa macamnya
gadis yang memiliki daya pikat umum, yang akan aku jadikan model "gadis ayu". Dari wajahnya, tidak
satu pun yang dapat diambil jadi model. Alis dan matanya biasa saja. Hidungnya, lebih banyak gadis lain
punya hidung bangir. Bibirnya picak menyimpan giginya yang bersaing. Rahangnya kebesaran. Kulitnya
tak pernah jadi buah pujian para pengarang yang romantis sekalipun.

Namanya Maria. Kalau dia menuliskan selalu menjadi Maria Yusran, yaitu nama tambahan dari akronim
nama ayah dan ibunya. Usianya 23 tahun. Usia yang masih muda bagi orang dewasa. Tapi, dia akan
ngotot dengan mengatakan, "Aku wanita dewasa yang matang, kok." Dan matanya menyipit serta dan
kening mengerut. Pada mulanya aku pikir, dia ini gadis yang berbakat binal. Setidak-tidaknya dari buah
pembicaraannya bahwa dia suka melakukan apa saja yang jadi larangan dan pantangan kalau dilakukan
perempuan atau dia tidak hendak mengerjakan apa pun pekerjaan yang dianggap sebagai tugas
perempuan. Tapi, itu bukan berarti ia tidak suka menyapu rumah dan halaman atau pekerjaan dapur.

"Aku ingin rumah bersih, halaman bersih. Apa salahnya kalau aku mengerjakannya? Begitu pun
pekerjaan dapur. Tapi jangan anggap itu pekerjaan khusus perempuan," katanya bila kami terlibat dalam
pembicaraan perbedaan fungsi laki-laki dengan perempuan di dalam dan di luar rumah tangga.

"Perbedaan antara laki-laki dengan perempuan hanyalah biologis. Tapi tidak dalam fungsi sosial,"
katanya menguatkan pendiriannya.

Kalau dia sudah katakan begitu, aku mau berkata apa lagi? Percuma saja kalau mengatakan, justru
karena perbedaan biologis itulah terjadi perbedaan fungsi sosial antara perempuan dengan laki-laki.
Malah di Minangkabau sendiri pun, semua orang, laki-laki dan perempuan berderajat yang sama,
pekerjaan rumah tangga seluruhnya adalah tugas perempuan. Laki-laki kalah nyali yang mau melakukan
pekerjaan yang rumah tangga. di mana

"Terus saja," katanya selalu bilang seseorang memberi kesempatan lebih dahulu kepadanya untuk
melewati pintu atau apa saja sebagai etiket pergaulan. "Etiket begitu sudah kuno. Etiket yang berasal
dari pandangan bahwa perempuan makhluk lemah, yang harus ditolong. Aku tidak suka itu," katanya.
Demikian juga ketika dia jatuh terguling waktu kami memanjat Gunung Merapi, dia tidak mau ditolong.
Dia bangun sendiri dan berjalan sendiri meski terpincang. "Kalau perempuan yang jatuh, waaah, seluruh
laki-laki ingin membantu. Coba kalau laki- laki yang jatuh, mereka semua seperti tidak peduli," katanya.

"Ya, memang terlalu. Tapi perempuan juga terlalu, kalau perempuan yang jatuh, apalagi laki-laki, tidak
ada perempuan mau menolong. Itu pekerjaan laki-laki, kata mereka," aku yang menyindir.

Sindiran semacam itu dia tidak mau terima. Biasanya dia akan memukul kalau merasa tersinggung.
Lama-lama dia tidak mau memukul atau mencubit aku bila dia tersinggung, karena dia tahu aku
kesenangan diperlakukan demikian oleh perempuan.

Aku masih dapat mengenangkan sampai sekarang bagaimana gerak-geriknya bila saking asyik bicara,
mengemukakan pendapat. Duduknya tegak lurus. Kepala terangkat. Pandangan matanya menajam dan
bibirnya menekuk. Akan tetapi, kalau dia tertawa, dunia ini seperti tidak pernah lengang. Enak
mendengar suara tawanya.
Suatu hal yang tak berhasil aku korek dari mulutnya, yaitu tentang pilihan masa depannya. Cita-citanya.
Keinginannya. Pekerjaannya. Rumah tangga macam apa yang diingininya. Suami yang ideal serta jumlah
anaknya. Seolah-olah masa depan dengan masa lalu bukanlah hal yang teramat penting jadi bahan
pembicaraannya. Sepertinya, kalau hari ini hari Rabu, maka kemarin atau esok adalah hari Rabu juga.

Sekali waktu aku ke rumahnya lagi. Aku temui dia begitu murung. Waktu duduk berhadapan dengan
aku, dia lebih banyak diam. Duduknya bertopang dagu dan pandangan matanya seperti menembus
seluruh benda di hadapannya. Termasuk aku. Seolah-olah aku tak ada saja. Jawabannya sepatah-
sepatah kalau aku bertanya. Tapi, aku tahu bahwa perilakunya demikian bukanlah hendak mengusirku
pergi. Dan aku tahu juga dia ingin seorang teman bicara. Maka aku menunggu.

Dia bekerja pada suatu instansi yang semenjak zaman dulu tidak punya pegawai perempuan. Karena
mau ikut mode, instansi itu menerima tiga orang gadis. Rita yang keponakan Pak Kepala sebagai
sekretarisnya. Delly untuk Pak Wakil Kepala, sedangkan dia sendiri bertugas di staf umum. Delly yang
akhirnya menjadi sahabat karibnya. Sama pergi dan pulang kantor. Dan akhirnya sama tempat kos.
Pengalaman mereka berdua hampir sama dalam bekerja di kantor yang kurang pekerjaan tapi kelebihan
pegawai.

Menjadi pegawai di antara puluhan laki-laki bukanlah situasi yang begitu menyenangkan bagi Maria.
Katanya, bergaul dengan pegawai seusia tak ubahnya bergaul dengan manusia yang dangkal, yang tidak
berwawasan. Bergaul dengan yang lebih tua, hanya mendapat bahan cerita yang jorok. Jika membatasi
diri, digunjingkan macam-macam. Jadi, kian kemari beda dalam bergaul dengan orang-orang sekantor.
Tapi, itu tidak menyebabkan dia sakit hati, apalagi menjadikan dia murung.

Adakalanya Maria bercerita tentang peristiwa di kantornya sambil tertawa dengan tergelak-gelak karena
merasa sangat geli. Sesekali dia dibawa atasannya berdinas ke luar kota. Adakalanya pakai sopir dan
adakalanya tidak. Awal-awalnya aman saja. Atasannya bersikap sebagai si bapak yang sopan dan baik
hati. Eh, lama-lama si bapak bertingkah seperti si om. Pegang sini, pegang sana setiap mereka berdua di
mobil sedan. Mula-mula, katanya, dia sakit hati dan tersinggung. Tapi mau dibilang apa, selain melarang
dengan halus. "Sulit, 'kan, menghadapi laki-laki yang jadi bos begitu?" katanya menceritakan
pengalamannya sebagai pegawai perempuan yang harus ikut atasan.

Kemudian, sikap atasannya itu berubah menjadi si bapak seperti ruting betul, ikan yang suka makan
anaknya. Proses perubahan itulah yang menyebabkan Maria tergelak-gelak ketika bercerita padaku.
Katanya, atasannya mau ke luar kota. Dia dibawa. Sekali itu pulangnya malam. Maria tidak khawatir,
karena ada sopir. "Eee, di waktu perjalanan pulang. dia merangkul dan mencoba mencium aku. Dia pikir
aku takkan berteriak karena malu diketahui sopir. Aku memang tidak berteriak. Tapi mencakar mukanya
dengan kukuku yang panjang. Rasain lu, kataku dalam hati ketika dia kesakitan tapi tidak berani
mengaduh. Malu juga dia kalau diketahui sopir. Dia melepaskan aku. Besoknya ketika ketemu di kantor,
dia tidak berubah sikap padaku. Yang mengagetkan aku ialah kata- katanya, "Kalau semua pegawai
perempuan jadi kucing seperti kamu, semua kantor akan aman.' Itu artinya macam-macam, 'kan?"
ceritanya.
Maria tidak bisa menyalahkan peristiwa itu. Juga tidak bisa menyalahkan atasan Delly berlaku yang
sama. Tapi cara Delly lebih halus. Tidak main cakar-cakaran. Dia bisa bebas dari godaan atasannya
dengan mengancam akan mengadu pada istrinya. "Nyali atasan Delly rupanya kecil juga," kata Maria
tentang pengalaman Delly.

Maria menyesali anggapan umum laki-laki tentang pegawai perempuan yang patuh boleh digoda dan
digagahi oleh atasannya. "Mengapa setiap atasan mesti memperlihatkan keperkasaannya? Padahal
mereka toh sama jadi orang gajian negara? Mengapa laki-laki tidak memandang pegawai perempuan itu
sama dengan laki-laki secara sosial? Kalau saling jatuh cinta, itu normal. Tapi, jika ingin menggagahi atau
menyalurkan birahi, sungguh tidak beradab," komentar Maria dengan perasaan getir.

"Akhirnya Delly hamil," katanya setelah lama aku menanti apa yang jadi sebab dia murung itu. "Aku
kecewa. Sakit hati kepada mereka keduanya. Delly selalu bilang antara dia dengan Tajak, bosnya, tidak
apa-apa. Tahunya dia sudah hamil enam bulan. Padahal, aku dengan dia tinggal satu kamar. Setiap bulan
dia terus pakai pembalut. Sekian lama aku dibohongi. Itu tak apalah. Kalau dia suka pada laki-laki itu,
kenapa tidak menikah saja? Kenapa harus hamil sampai enam bulan dulu, baru bicara? Laki-laki itu,
kalau dia suka sama Delly kenapa mesti pakai skandal dulu? Kenapa Delly harus menderita enam bulan
dulu, baru masalahnya dibuka?" Aku memang kaget juga kalau Delly sudah hamil enam bulan. Namun,
aku berusaha agar tidak bereaksi.

"Yang bikin aku sakit hati, jawab si Tajak ketika kutanya dia, mengapa tidak kawin saja dulu-dulu?
Mengapa harus menunggu enam bulan dulu? Tahu apa jawabnya? Aku tidak punya alasan menikahi
Delly. Tapi karena dia sudah hamil, ya, harus bagaimana lagi? Ketika aku tanya jika Delly tidak hamil? Ya,
tidak perlu menikah, kan? Begitu jawabannya. Artinya, Delly dijadikan selir saja. Betapa kurang ajarnya
dia."

"Mengapa Delly mesti menunggu sampai enam bulan?" tanyaku.

"Mulanya mereka mau menggugurkan. Karena tidak berhasil, baru mereka bicara untuk menikah. Coba
kalau Delly modar oleh pengguguran itu, lantas apa? Jijik aku."

"Kalau tidak ada respons atau pancingan dari perempuan, laki-laki tidak akan bisa berbuat apa-apa?"
kataku tanpa bermaksud membela si Tajak.

Maria terpancing jadi panas. Dia berapi-api lagi. Katanya, "Laki-laki selalu berkata begitu. Semua
kesalahan pada perempuan. Perempuanlah yang menghancurkan dunia. Perempuanlah yang
menyebabkan laki-laki korupsi, menyeleweng, mengingkari sumpah. Semua laki-laki bilang. bahwa
perempuan sama jahatnya dengan judi, mabok, madan dan maling. Semua laki-laki bilang, termasuk
kau, bahwa laki- laki itu bernaluri poligamis. Karena itu perempuan jangan memancing Tak ada laki-laki
yang ingat bagaimana hati perempuan, seperti Delly, bila dirayu atau digagahi bosnya sendiri? Ah, muak
aku membicarakannya."

Dengan maksud menurunkan kegundahannya, aku katakan bahwa kebudayaan dibangun oleh laki-laki.
Karena secara biologis, laki-laki ditakdirkan lebih kuat. Maka itu semua norma, bahkan peraturan
kenegaraan disusun berdasarkan pandangan dari kepentingan laki-laki. Meskipun beragam undang-
undang telah menetapkan kesetaraan laki-laki dengan perempuan, banyak peraturan pelaksanaannya
yang tetap meletakkan posisi perempuan sebagai bagian dari laki-laki, bukan mitranya. Itulah
kebudayaan. "Hentikan khotbahmu," katanya lebih berapi-api.

Aku tahu siapa dan apa Maria, tidak kutanggapi sikapnya. Aku pun bersiul. Lalu dia melempari aku
dengan bantal kursi.

Akhirnya, Maria kawin juga. Ia memilih Cok sebagai suami setelah dua tahun berkenalan. Beberapa hari
menjelang pernikahannya. Maria berkata padaku dalam wajahnya yang bahagia. "Tahu kau? Ketika kita
mula berkenalan dulu, kau dan Cok aku masukkan dalam daftar nominasi calon suamiku. Tapi, kau
tersisih, karena Cok lebih mampu memerintahku. Kau ingat waktu kita mau rapat dulu. Ruang rapat
begitu kotornya. Cok memberi aku sapu dan menyuruhku menyapu. Ingat? Itulah, maka aku memilih
Cok."

Lalu aku goda dia dengan mengatakan, "Tak kuduga seorang gadis yang emansipatif, masih memerlukan
laki-laki yang mampu memerintah dia."

Sekali lagi aku mendapat lemparan bantal kursi.

"Waktu Cok ditangkap, dia brewokan. Kayak Fidel Castro betul. Setelah ditahan satu bulan, ditanyai,
dipukuli dalam tahanan, dia dibawa ke tepi sungai ini untuk ditembak. Maria yang ikut Cok ketika
ditangkap, tak mau melepaskan Cok ketika hendak ditembak. Dia terus merangkul Cok. Dalam masa
perang, orang tidak lagi bisa bertindak dan berpikir dengan betul. Ketika sten gun menyalak, keduanya
rebah dan jatuh ke air yang mengalir deras ini. Tak seorang pun yang tahu, apakah jenazahnya pernah
ditemukan," kata Johor menceritakan akhir hidup Maria.

Lama aku termangu memandang air Batang Antokan yang mengalir menuju Samudra Hindia. Tapi,
dalam kepalaku tergenang-genang pikiran, kenapa dalam perang saudara orang harus membunuh
tawanan yang telah menyerah kalah?

Anda mungkin juga menyukai