Anda di halaman 1dari 11

KHILAFAH, POLITIK DAN NEGARA DALAM TINJAUAN ULAMA

Makalah ini Diajukan


Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Aqidah V

Disusun Oleh:

Jordan Guipal Bandong


Imam Fahroji

Dosen Pengampu:
Ust. Wahyudi KS M.Pd

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-FATAH BOGOR
1444 H/2022 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terdapat sebuah hadis Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam yang berbunyi
sebagai berikut,

‫ِإ‬
َ ‫َذ كاَ َن ثَالَثَةٌ ىِف َس َف ٍر َف ْلُيَؤ ِّم ُر ْوا‬
‫َأح َد ُك ْم‬
“Jika ada tiga orang yang sedang safar, maka hendaklah mereka mengangkat salah
satunya menjadi imam.” (HR. Abu Dawud no. 2609)
Jika dalam sebuah perjalanan yang jumlah mereka sangat kecil, namun bagaimana
dengan kaum muslimin yang jumlahnya sangat banyak. Hadis di atas menjelaskan kepada
kita bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang imam di kalangan kaum muslimin.
Dengan tujuan untuk mempermudah mereka menjalankan syariat Islam dan kemaslahatan
lainnya. Kemaslahatan tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya imamah/khilafah dalam
lingkungan.
Dari penjelasan di atas penulis ingin memaparkan sedikit lebih rinci lagi tentang
imamah/khilafah yang penulis jabarkan dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian Khilafah/Imamah, Politik dan Negara?
2. Bagaimanakah Khilafah dalam tinjauan para ulama?
3. Bagaimanakah Politik dalam tinjauan para ulama?
4. Bagaimanakah Negara dalam tinjauan para ulama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Khilafah

Al-Khilafah menurut bahasa merupakan mashdar dari kata kerja khalafa.


Dikatakan: Khalafahu-khilafatan, artinya sebagai pelanjut sesudahnya. Bentuk jamak
daripadanya adalah: Khalaif dan khulafa. Khalifah “penerus Nabi” merupakan jabatan
yang dipangku para Sahabat setelah Nabi wafat. Pengertian penerus Nabi pun bukanlah
siapa yang akan menggantikan Muhammad sebagai Nabi, melainkan menggantikan
sebagai pemimpin umat. Khalifah merupakan singkatan dari khalifah Rasulillah.
Khalifah adalah penguasa tertinggi. khilafah adalah pemerintahannya.

Sedangkan al-khilafah menurut istilah yaitu kepemimpinan umum dalam urusan


agama dan dunia sebagai pengganti Nabi SAW. Dalam hal ini Ibnu Khaldun berkata “Al-
Khilafah adalah membawa seluruh manusia sesuai dengan tuntutan syara’ demi
kemaslahatan ukhrawi dan duniawi mereka. Dalam hal ini dunia tidak terkecuali, karena
seluruh ihwal dunia juga dalam pandangan syara’ dianggap sebagai sarana untuk meraih
kemaslahatan akhirat. Dengan demikian, hakikat seorang khalifah adalah sebagai
pengganti dari pemilik syara’ (Allah SWT) yang diserahi amanat untuk menjaga agama
dan politik dunia.
Khilafah (kekhalifahan) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sesuatu
yang dicadangkan agar sesorang menjadi pelanjut atas seseorang. Atas dasar ini, maka
orang yang menjadi pelanjut Rasulullah dalam melaksanakan hukum syara’ disebut
khalifah. Khalifah juga dinamai dengan imam, karena seorang khalifah menyerupai
seorang imam dalam shalat yang harus diikuti dan diteladani oleh makmum. Imam An-
Nawawi menjelaskan “seorang imam boleh disebut khalifah, imam, dan amîrul
mu`minin”. Sementara itu Ibnu Kholdun menyatakan “ketika hakikat kedudukan ini
sudah kami jelaskan sebelumnya, bahwa imamah adalah wakil dari pemilik syariat dalam
hal menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama, maka ia disebut khilafah dan
imamah. Sedangkan orang yang melaksanakannya disebut khalifah dan imam”. Pendapat
ini diambil oleh Muhammad Najib al-Muthi’i dalam at-takmilah lil majmu’ lin nawawi
dalam buku ini beliau menjelaskan bahwa “imamah, khilafah dan amirul mu`minin
adalah sinonim.
 Khilafah dalam tinjauan Para Ulama
Khilafah sesungguhnya bukanlah istilah asing dalam khasanah keilmuwan Islam,
hal ini dibuktikan dengan beberapa pendapat dari kalangan ulama. Syekh Taqiyyuddin an
Nabhani menyatakan bahwa Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum
Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia. (Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-
Islam hal. 34). Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah
Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna
yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Dr. Mahmud al-
Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah
adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan
syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” [Al-Khalidi, Qawâ’id
Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226].
Bahkan, pada dasarnya di kalangan ulama mazhhab terdahulu pun tidak pernah
berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang
bertugas melakukan tugas ri’ayah syuun al-ummah (pengaturan urusan umat).
Mazhhab Maliki, ulama besar Al-Qurthubi salah satu ulama mazhhab Maliki,
ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan
dalil paling mendasar tentang kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib
didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum
khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat
Islam maupun di kalangan ulama (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,
1/264-265).
Mazhhab Syafi’i, Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama
mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim
wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim,
XII/205).Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, al-Ahkam
as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah menyatakan, “Imamah/Khilafah dibuat untuk
menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” Ia  juga
menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan
kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-
Sulthâniyyah, hlm. 3 dan 5).
Mazhhab Hanafi, Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi
menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak
ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh
sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena
persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat
Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk
menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan
perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang
tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam.” (Imam al-Kassani, Badâ’i ash-
Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, XIV/406).
Mazhhab Hambali, Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang
dituturkan oleh Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan
muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.” (Abu Ya’la al-
Farra’i, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm.19).  Sedangkan Imam Umar bin Ali bin Adil al-
Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “QS al-Baqarah [2]: 30 adalah dalil
atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk
menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak
ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang
diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin
Adil, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Mazhhab Zhahiri, Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri
dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah
fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat.
Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka
telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam
(khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau
tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam Ibn Hazm, Marâtib
al-Ijmâ’, 1/124).
Sedangkan  Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah,
Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah).
Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang
menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka
dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-
Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87).

B. Pengertian Politik
Dilihat dari sisi etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yakni polis
yang berarti kota yang berstatus negara kota (city state). Dalam negarakota di zaman
Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, menurut
Aristoteles) dalam hidupnya. Politik yang berkembang di Yunani kala itu dapat
ditafsirkan sebagai suatu proses interaksi antara individu dengan individu lainnya demi
mencapai kebaikan bersama.
Pemikiran mengenai politik pun khususnya di dunia barat banyak dipengaruhi
oleh filsuf Yunani Kuno. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap politics sebagai
suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Namun demikian,
definisi politik hasil pemikiran para filsuf tersebut belum mampu memberi tekanan
terhadap upaya-upaya praksis dalam mencapai polity yang baik.
Dalam perkembangannya, para ilmuwan politik menafsirkan politik secara
berbeda-beda sehingga varian definisinya memperkaya pemikiran tentang politik. Gabriel
A. Almond mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang berbuhungan dengan kendali
pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana
kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif dan koersif. Dengan
demikian, politik berkaitan erat dengan proses pembuatan keputusan publik. Penekanan
terhadap penggunaan instrumen otoritatif dan koersif dalam pembuatan keputusan publik
berkaitan dengan siapa yang berwenang, bagaimana cara menggunakan kewenangan
tersebut, dan apa tujuan dari suatu keputusan yang disepakati. Jika ditarik benang
merahnya, definisi politik menurut Almond juga tidak lepas dari interaksi dalam
masyarakat politik (polity) untuk menyepakati siapa yang diberi kewenangan untuk
berkuasa dalam pembuatan keputusan publik.
 Politik dalam tinjauan Islam
Islam bukan hanya agama ritual melainkan Agama ideologi yang memiliki
tatanan yang sempurna. Karenanya, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik urusan
keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional.
Islam dan politik adalah dua hal yang integral. Oleh karena itu, Islam tidak bisa
dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara, sebab Islam
bukanlah agama yang mengatur ibadah secara individu saja. Namun, Islam juga
mengajarkan bagaimana bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat
yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang
diberlakukan penguasa terhadap rakyat, serta menjadi pencegah adanya kedzaliman oleh
penguasa.
Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada
selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari
tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan
mereka (kaum muslimin).“
Pun dalam sejarah perjuangan para sahabat terdapat bukti-bukti yang
menunjukkan bahwasannya agama Islam memang memiliki otoritas terhadap politik.
Salah satu yang menjadi bukti sejarah perpolitikan pada masa itu adalah ketika
mengangkat seorang khalifah (kepala negara pengganti Rasulullah).

C. Pengertian Negara
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah, yang memiliki kekuasaan
tertinggi yang sah dan di taati olehrakyatnya. Para sarjana yang menekankan Negara
sebagai inti dari politik (politics), memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga
kenegaraan serta bentuk formalnya. Definisi-definisi ini bersifat tradisional dan agak
sempit ruang lingkupnya.Pendekatan ini dinamakan pendekatan Institusional
(Institusional approach). Berikut iini ada beberapa definisi:
Menurut F. Isjwara dikutip Dari buku Ni‟matul Huda dalam buku ”Ilmu Negara”
Istilah Negara diterjemahkan dari kata-kata asing Staat (bahasa Belanda dan Jerman);
State (bahasa Inggris); Etat (bahasa Prancis). Istilah Staat mempunyai sejarah
sendiri.Istilah itu mula-mula dipergunakan dalam abad ke-15 di Eropa Barat.Anggapan
umum yang diterima bahwa kata staat (state, etat) itu dialihkandari kata bahasa Latin
status atau statum. Secara etimologis kata statusdi dalam bahasa latin klasik adalah suatu
isltilah abstrak yang menunjukan keadaan yang tegak dan tetap, atau sesuatu yang
memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Kata “Negara” mempunyai dua arti.Pertama, Negara adalah masyarakat atau
wilayah yang merupakan suatu kesatuan politis.Dalam arti ini India, Korea Selatan, atau
Brazilia merupakan Negara.Kedua, Negara adalah lembaga pusat yang menjamin
kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu.sementara
itu dalam ilmu politik, istilah “Negara” adalah agency (alat) dari masyarakat yang
mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat
dan menerbitkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.
Jika merujuk kepada kamus bahasa Arab, anda akan menemukan bahwa kata Ad-
Daulah merupakan derivasi dari materi “Dal Wau Lam” “Daulun” yang memiliki banyak
arti, diantaranya: Dengan harakat dhammahberarti perubahan masa dan kesuhan. Dengan
harakat fathah berarti kemenangan dalam perang atau sama keduanya atau penggabungan
di akhirat, dan kemenangan didunia. AdDaulah artinya tembolok (Al-Haushalah), Asy-
Syaqsyaqah (kulit di leher unta), sesuatu seperti kantong kulit yang berlumut sempit, dan
tembolok (Al-Qanishah) Al-Idalah artinya kemenangan.Dalat AlAyyam artinya berputar
(Darat), dan Allah menggilirkannya diantara manusia. Ad- Daul secara bahasa berarti
Ad- Dalwu (ember) dan pergantian masa dari satu keadaan ke keadaan lain. Dan dengan
harakat, Ad-Duwal artinya anak panah yang berputar.
 Negara dalam tinjauan Islam
Adapun dalam pandangan Islam, negara adalah suatu kehidupan berkelompok,
manusia yang mendirikannya bukan saja atas dasar perjanjian bermasyarakat (kontrak
sosial), tetapi juga atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah Allah di bumi yang
mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya.
Islam tidak menentukan bentuk negara dan pemerintahan, kecuali memberikan
prinsip-prinsipnya. Al-Qur'an dan Hadits mengintroduksi terma “Khalifah” sebagai
jabatan penguasa bumi (QS. Al-Baqarah 30), disamping terma “Imam” (Al-Furqan 74),
sebagai pemimpin orang bertakwa dan bukan bentuk negara atau pemerintahan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Khilafah menurut bahasa merupakan mashdar dari kata kerja khalafa. Dikatakan:
Khalafahu-khilafatan, artinya sebagai pelanjut sesudahnya. Bentuk jamak daripadanya
adalah: Khalaif dan khulafa.1 Khalifah “penerus Nabi” merupakan jabatan yang dipangku
para Sahabat setelah Nabi wafat. Pengertian penerus Nabi pun bukanlah siapa yang akan
menggantikan Muhammad sebagai Nabi, melainkan menggantikan sebagai pemimpin
umat. Sedangkan al-khilafah menurut istilah yaitu kepemimpinan umum dalam urusan
agama dan dunia sebagai pengganti Nabi SAW.
Bahkan, pada dasarnya di kalangan ulama mazhhab terdahulu pun tidak pernah
berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang
bertugas melakukan tugas ri’ayah syuun al-ummah (pengaturan urusan umat).
kata politik berasal dari bahasa Yunani, yakni polis yang berarti kota yang berstatus
negara kota (city state). Dalam Negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi
guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, menurut Aristoteles) dalam hidupnya. Politik
yang berkembang di Yunani kala itu dapat ditafsirkan sebagai suatu proses interaksi
antara individu dengan individu lainnya demi mencapai kebaikan bersama. Salah satu
yang menjadi bukti sejarah perpolitikan pada masa itu adalah ketika mengangkat seorang
khalifah (kepala negara pengganti Rasulullah).
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah, yang memiliki kekuasaan
tertinggi yang sah dan di taati olehrakyatnya. Para sarjana yang menekankan Negara
sebagai inti dari politik (politics), memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga
kenegaraan serta bentuk formalnya.Definisi-definisi ini bersifat tradisional dan agak
sempit ruang lingkupnya.Pendekatan ini dinamakan pendekatan Institusional
(Institusional approach).

1
Adapun dalam pandangan Islam, negara adalah suatu kehidupan berkelompok,
manusia yang mendirikannya bukan saja atas dasar perjanjian bermasyarakat (kontrak
sosial), tetapi juga atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah Allah di bumi yang
mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya.
DAFTAR PUSTAKA

Fawaid, Jazilul, Bahasa Politik Al-Qur`an Konsep dan Aktualisasinya dalam Sejalah, Depok:
Penerbit Azza Media, 2017.

Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Katsir, Ibnu, Sejarah Lengkap Khulafa’ur Rasyidin, Terj. Muhammad Ahsan bin Usman,
Cikumpa: Senja Media Utama, 2018.

Nasir, Salihun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2012.
Syariati, Ali. Ummah dan Imamah: Konstruksi Sosiologi Pengetahuan dalam Autentisitas
Ideologi dan Agama, Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2012.

Suntiah, Ratu dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017.
Susanti, Rosi, “Perjuangan HTI Dalam Mewujudkan Khilafah Islamiyah (Analisis Terhadap
Aktivitas Akhwat HTI Mahasiswi UIN Suska Riau Periode 2013-2014)”. Skripsi
Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Tahun
2014.

Shihab, M. Quraish, Ensiklopedia Al-Qur`an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.

Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008


Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014.
Jurnal AKADEMIKA, Vol. 19, No. 01, Januari -Juni 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Ta’ala. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Khilafah, Politik dan Negara dalam tinjauan
Ulama" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Aqidah V. Selain itu, makalah ini
Bertujuan menambah wawasan tentang Khilafah, Politik dan Negara dalam hal Pengertian dan
tinjauan dari ulama-ulama.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ust Wahyudi KS M.Pd selaku dosen pengemp u
Mata kuliah Aqidah V. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 17 Oktober 2022


Penulis

Anda mungkin juga menyukai