Kenaikan harga BBM ini terutama disebabkan karena adanya inflasi yang membuat
APBN juga ikut berubah. Salah satu dana pemerintah yang paling besar ternyata bukan
dari gaji pegawai, tetapi dari penentuan anggaran untuk pensiun para pegawainya. Dana
pensiun yang diberikan pemerintah sekitar Rp 2500 triliun tiap tahun. Sehingga dalam hal
ini, dana pensiun diganti dengan dana asuransi di hari tua.
Jika BBM tidak dinaikkan maka ada beberapa hal yang terjadi, yaitu pertama adalah
tidak adil, karena yang paling banyak menikmati subsidi justru golongan yang seharusnya
tidak perlu subsidi untuk kebutuhan BBM nya. Kedua adalah hitungan pemerintah,
subsidi dan kompensasi akan mencapai Rp653 triliun (dengan asumsi kebutuhan tidak
menurun). Ketiga, harga minyak internasional tetap akan tinggi walaupun saat ini
menurun sedikit. Keempat, defisit APBN akan semakin membengkak di atas 3% GDP,
yang dimana bukan hanya tidak sesuai dengan Undang-Undang saja, melainkan akan
dapat mengancam sustainable fiskal. Kelima, tidak ada jaminan inflasi akan menurun
walaupun harga BBM tidak dinaikkan dan keenam, akan mengancam subsidi yang lain,
misalnya pada kesehatan, pensiun, dan lain sebagainya.
Hasil diskusi ini untuk pemerintah dan pertamina perlu lebih transparansi dalam
menghitung harga perekonomian, pemerintah perlu lebih menjelaskan kepada publik cara
pemberian serta besarnya pemberian dan kepada siapa saja yang diberikan subsidi,
kemudian seharusnya selalu memperbaiki data penerima subsidi dan sistem pemberian
subsidi, dan menerapkan perilaku hemat penggunaan BBM oleh masyarakat serta para
pengusaha tidak boleh mengambil sebuah peluang.
Selain itu, pemerintah daerah juga ikut menggunakan 2% Dana Transfer Umum
(Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil) yang berasal dari APBN untuk mendanai
(earmark) program perlindungan sosial, penciptaan lapangan kerja dan subsidi/bantuan
sektor transportasi, antara lain angkutan umum, ojek, nelayan, dan UMKM. Upaya
bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memberikan bantalan
sosial tambahan bagi masyarakat miskin dan rentan tersebut, bertujuan untuk menguatkan
daya beli masyarakat serta menurunkan angka kemiskinan.Dimana sebelumnya, kenaikan
konsumsi BBM yang signfikan sebagai tanda perekonomian masyarakat yang mulai pulih
menyebabkan kuota volume solar dan pertalite bersubsidi diperkirakan akan habis pada
bulan Oktober 2022. Hingga Agustus 2022, konsumsi solar bersubsidi sudah mencapai
11,4 juta kiloliter dari total kuota 15,1 juta kiloliter dan konsumsi pertalite bersubsidi
sudah mencapai 19,5 juta kiloliter dari total kuota 23,05 juta kiloliter untuk tahun 2022.
Pemerintah telah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 lebih
dari tiga kali lipat, dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Namun jika konsumsi
BBM melebihi kuota subsidi, diperkirakan anggaran subsidi dan kompensasi BBM akan
membengkak lebih besar lagi. Sementara anggaran subsidi dan kompensasi yang sangat
besar itu justru lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu. Rumah tangga mampu
menyerap 80% konsumsi pertalite, sedangkan rumah tangga miskin dan rentan hanya
menyerap 20% saja. Artinya, subsidi yang diberikan salah sasaran.
Tentu saja kenaikan harga BBM di Indonesia bukan berita gembira bagi
masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. Begini ternyata efeknya bagi
kehidupan mayoritas penduduk Indonesia.