Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan yang terjadi di muka bumi ini


sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Sejak dahulu orang sudah
mencuri, menipu, menyakiti, memperkosa dan bahkan membunuh. Perbuatan
jahat yang dapat menimbulkan kerugian, penderitaan serta kematian itu juga
dirasakan oleh masyarakat sebagaia perbuatan yang dapat merusak keamanan dan
kedamaian di dalam masyarakat. Oleh sebab itu harus diberantas melalui upaya
yang bersifat represif maupun preventif. Dalam rangka melakukan upaya represif
itulah mereka membentuk badan – badan yang ditugasi untuk menangkap,
mengadili serta menghukum orang – orang yang bersalah. 1 KUHAP (Kitab
Undang – undang Hukum Acara Pidana) yang merupakan pembangunan dibidang
hukum nasional secara nyata. Untuk hal yang seperti ini maka perlu kalangan
kedokteran untuk memahami beberapa ketentuan hukum dan beberapa pengertian
hukum sesuai dengan yang diatur oleh KUHAP.1

Tempat Kejadian Perkara(TKP) adalah Tempat dimana suatu tindak pidana


dilakukan/terjadi, atau tempat dimana barang bukti/korban berhubungan dengan
tindak pidana.TKP merupakan sumber dari bahan-bahan penyidik perkara karena
didapati bekas-bekas dari peristiwa itu berupa bekas kaki, tangan, darah,
muntahan dan alat/benda sebagai alat bukti di pengadilan, selain itu digunakan
bahan penyidik perkara. tindakan yang dilaksanakan di TKP dalam bentuk
kegiatan dan tindakan kepolisian yang terdiri;Tindakan pertama di tempat
kejadian perkara ( TPTKP ) dan Pengolahan tempat kejadian perkara ( OLAH
TKP ).2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tempat Kejadian Perkara (TKP)

Apabila telah terjadi suatu tindak pidana maka dengan segera petugas yang
berwenang menangani suatu tindak pidana, berkewajiban untuk melakukan
pemeriksaan ditempat kejadian perkara (TKP), yaitu tempat dimana tersangka
dan atau korban dan atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak
pidana tersebut dapat ditemukan.3

Pengertian tempat kejadian perkara dalam petunjuk lapangan


No.Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara terbagi
menjadi 2 (dua), yakni:

1. Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/ terjadi atau akibat yang
ditimbulkan olehnya.
2. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut
dimana barang-barang bukti, tersangka, atau korban ditemukan.

Adapun pengertian dari penanganan tempat kejadian perkara, yaitu tindakan


penyidik atau penyidik pembantu berupa tindakan kepolisian yang dilakukan di
TKP yang dapat dibedakan ke dalam dua bagian:3

1. Tindakan pertama di TKP (Tempat Kejadian Perkara), yaitu tindakan


penyidik/penyidik pembantu TKP untuk:
a. Memberikan perlindungan dan pertolongan pertama dalam hal
situasi tempat kejadian tindak pidana masih membahayakan
keamanan terhadap korban maupun masyarakat sekitarnya, dalam
hal korban luka berat, dalam hal korban dalam keadaan kritis, dalam
hal korban mati.
b. Segera menutup dan mengamankan TKP (mempertahankan status
quo) dengan membuat batas di TKP dengan tali atau alat lain,
memerintahkan orang yang berada di TKP pada saat terjadi tindak

2
pidana untuk tidak meninggalkan TKP, melarang setiap orang yang
tidak berkepentingan masuk ke TKP, berusaha menangkap pelaku
yang diperkirakan masih berada di TKP, minta partisipasi warga
untuk mengamankan kerumunan massa, dan tidak menambah atau
mengurangi barang bukti yang ada di TKP.
c. Segera menghubungi/memberitahukan kepada kesatuan polri
terdekat/PAMAPTA dengan mempergunakan alat komunikasi yang
ada tanpa mengabaikan segala sesuatu yang telah dikerjakan.
2. Pengolahan di Tempat Kejadian Perkara (Crime Scene Processing)
adalah tindakan-tindakan atau kekgiatan-kegiatan setelah dilakukannya
tindakan pertama di TKP yang dilakukan untuk mencari,
mengumpulkan, menganalisa, mengevaluasi petunjuk-petunjuk,
keterangan dan bukti serta identitas tersangka menurut teori “segi tiga”
guba memberi arah terhadap penyidikan selanjutnya. Pada dasarnya
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik di TKP meliputi:3
a. Pengamatan umum (general observation)
b. Pemotretan dan pembuatan sketsa
c. Penanganan korban, saksi dan pelaku
d. Penanganan barang bukti
B. Prosedur Medikolegal dan Aspek Hukum
1. Penemuan dan Pelaporan
Penemuan dan pelaporan dilakukan oleh warga masyarakat yang terdekat
atau mengalami suatu kejadian yang diduga merupakan kejahatan. Pelaporan
dilakukan ke pihak yang berwajib dan hal ini penyidik. Hak dan kewajiban
pelaporan ini diatur dalam pasal 108 KUHAP.4
Pasal 108 KUHAP3,4

1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi


korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan
laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan
maupun tertulis.
2) Setiap orang yang mengetahui permuafakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap
jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal
tersebut kepada penyelidik atau penyidik.

3
3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanankan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidanan
wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.
4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani
oleh pelapor atau pengadu.
5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yag
bersangkutan.
2. Penyelidikan4,5
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
mendapat bukti yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh undang – undang.
Penyidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang disebut
dalam KUHAP. Didalam Pasal 5 KUHAP disebutkan wewenang tindakan yang
dilakukan oleh penyelidik.
Pasal 4 KUHAP3,4

Penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

Pasal 5 KUHAP3,4

1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:


a. karena kewajibannya mempunyai wewenang:
i. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
ii. mencari keterangan dan barang bukti;
iii. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
iv. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa;
i. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan
dan penahanan;
ii. pemeriksaan dan penyitaan surat;
iii. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
iv. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

4
2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan
tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada
penyidik.
3. Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut


cara yang diatur dan undang – undang ini untuk mencari serta mengumpul
bukti – bukti sehingga dengan bukti – bukti tersebut perkaranya menjadi lebih
jelas dan pelakunya ditangkap. Penyidikan yang melakukan penyidikan
sebagaimana diatur di dalam pasal 6 KUHAP.4,5

Pasal 6 KUHAP3,4

1) Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
undang – undang.
2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan
diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Penyidik dapat meminta bantuan seorang ahli dan didalam hal kejadian
mengenai tubuh manusia, maka penyidik dapat meminta bantuan dokter untuk
dilakukan penanganan secara kedokteran forensic. Kewajiban untuk
membantu peradilan sebagai dokter forensic diatur dalam pasal 133 KUHAP.

Pasal 133 KUHAP3,4

1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang


korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakantindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahlikedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukansecara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaanluka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.

5
3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayattersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat,
dilak dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.

4. Persidangan4,5

Pasal 179 KUHAP3,4,5

1) Setiap dokter yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran


kehakiman ataudokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.

2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkansumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-
baiknya dansebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.

3. Sistem Pemeriksaan Medikolegal


Sistem pemeriksaan medikolegal dibagi menjadi tiga:6

a. Sistem coroner

Suatu sistem dimana keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya bedah


mayat dibuat oleh seorang coroner. Coroner biasanya adalah seorang ahli
dalam hokum dan/atau kedokteran. Sistem ini dipakai di Inggris, negara bekas
jajahan Inggris dan beberapa negara bagian di Amerika.

b. Sistem medical examiner

Perlu tidaknya bedah mayat ditentukan oleh medical examiner yang


merupakan seorang ahli patologi forensic. Medical examiner datang ke tempat
kejadian perkara , dan polisi hanya mengamankan tempat kejadian dengan pita
kuning. Pemeriksaan lanjutan lalu dapat dilakukan di medical examiner office

6
(autopsi, kimia forensic, toksikologi, balistik, sidik jari, DNA, dll). Sistem ini
biasa dipakai di Amerika.

c. Sistem continental

Pada sistem continental, keperluan bedah mayat ditentukan oleh penyidik,


dimana bila terdapat kasus yang mencurigakan akan dikirim ke rumah sakit untuk
diperiksa oleh dokter. Hanya bila sangat diperlukan saja dokter diminta untuk
datang ke tempat kejadian perkara sebagai seorang ahli yang diharapkan dapat
memberikan pemeriksaan dan pendapatnya secara medis. Sistem ini dipakai di
Eropa dan Indonesia sebagai peninggalan Belanda.

Pada sistem perundangan di Indonesia untuk pemeriksaan forensic, sistem


yang dipakai adalah sistem continental, dimana disini dokter selaku pemeriksa
forensik korban hanya menunggu dipanggil oleh penyidik.7

C. Bantuan Dokter sebagai Ahli

Bilamana pihak mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana yang


mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka pihak penyidik dapat
meminta/memerintahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian
perkara tersebut.8

Ketentuan yang mengatur tata laksana bantuan dokter sebagai ahli dapat
dilihat pada pasal-pasal dari KUHAP tentang ahli serta peraturan pelaksanaannya
yaitu Peraturan pemerintah NO.27 Tahun 1983. Pasal-pasal tentang saksi dari
KUHAP juga dapat di jadikan acuan sebab berdasarkan Pasal 179 ayat (2), semua
ketentuan bagi saksi berlaku pula bagi ahli dengan syarat mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Tata laksana tersebut
meliputi :8

1. Waktu pengauan permintaan bantuan


2. Pejabat yang berhak mengajukan
3. Cara mengajukan permintaan
4. Dokter yang boleh dimintai bantuan serta
5. Cara dokter menyampaikan keterangannya

7
Dalam menemukan kebenaran materil maka dokter dalam kapsitasnya
sebagai ahli dapat diminta bantuannya untuk memberikan keterangannya. Pada
tingkat penyidikan sebetulnya penegak hokum belum tahu sama sekali apakah
suatu peristiwa(misalnya terdapat mayat yang di temukan gudang atau di pantai)
merupakan peristiwa pidana atau bukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan
penyelidikan dalam rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan dokter dalam
kapsitasnya sebagai ahli. Bantuan tersebut dapat berupa pemeriksaan jenazah
dirumah sakit dan dapat pula pemeriksaan jenazah di tempat kejadian perkara
(TKP). Tujuan utamanya adalah untuk menemukan fakta-fakta medis yang dapat
digunakan untuk menentukan peristiwa itu merupakan tindak pidana atau bukan.
Pada hakekatnya bantuan tersebut berupa pemberian keterangan tentang :8

1. Sesuatu obyek yang diaukan kepadanya untuk diperiksa


2. Sesuatu masalah yang bersifat hipotetik (hypothetical question)

Dalam hal penyidik atau hakim yang menangani perkara pidana menghadapi
persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis maka ia dapat meminta dokter dalam
kapasitasnya sebagai ahli untuk menjelaskannya sebab dokter memiliki ilmu
pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjawabnya.8

Membantu proses peradilan pada kasus-kasus pidana oleh dokter sebetulnya


tidak kalah pentingnya dengan tugas-tugas kemanusiaan yang lain. Oleh sebab
itulah pembuat undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) merasa perlu
menetapkan berbagai macam kewajiban bagi setiap dokter yang diminta
bantuannya sebagai ahli. Kewajiban tersebut terdiri atas :8

1. Kewajiban melakukan pemeriksaan yang diminta


2. Kewajiban memberikan keterangan yang diperlukan
3. Kewajiban melaksanakan prosedur hukum yang diperlukan

Kewajiban melakukan pemeriksaan serta kewajiban memberikan keterangan


dapat dilihat pada Pasal 120 KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut:8

1. Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat seorang


ahli atau orang yang memiliki kesaksian khusus

8
2. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka
penyidik bahwa ia akan member keterangan menurut pengetahuannya
yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan harkat dan martabat,
pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat
menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

Selain itu dapat juga dilihat pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang bunyinya:
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter yang ahli lainnya wajib memberikan keterangannya.8

Ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang mengikat dokter, baik pada


tingkat penyidikan, penyidikan tambahan maupun tingkat pemeriksaan di sidang
pengadilan, kecuali ada alasan yang syah menurut undang-undang bahwa yang
bersangkutan boleh mengundurkan diri untuk tidak melaksanakannya. Alasan
yang syah itu adalah alasan yang menyebabkan dokter tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri, yaitu:8

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa.

Sebetulnya alasan yang disebutkan di atas itu diperuntukkan bagi saksi,


namun karena ada pasal dalam KUHAP yang menyatakan bahwa semua ketentuan
untuk saksi berlaku pula bagi ahli, maka alasan-alasan tersebut berlaku pula bagi
dokter untuk mengundurkan diri dari kewajiban memberikan keterangan. Pasal
tersebut adalah Pasal 179 ayat (2) KUHAP yang bunyinya: 8
“Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan

9
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.”

Kendati demikian, berdasarkan Pasal 169 KUHAP mereka diperbolehkan


untuk tetap memberikan keterangan di bawah sumpah/janji dengan syarat:8

a. Mereka sendiri menghendakinya


b. Penuntut umum setuju
c. Terdakwa juga menyetujuinya

Tanpa persetujuan penuntut umum dan terdakwa, dokter hanya boleh


memberikan keterangan tanpa sumpah/janji. Keterangan seperti ini tidak dapat
berfungsi sebagai alat bukti atau dengan kata lain, tidak dapat dijadikan unsur
pembentuk keyakinan hakim.8

D. Prosedur Permintaan Dokter di TKP

Pada proses peradilan pidana, tugas yang paling utama dari penegak
hukum adalah menemukan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang
sesungguhnya. Tugas yang demikian berat ini tidaklah mudah untuk dilaksanakan,
sebab penyidik dan penuntut umum ataupun hakim tidak melihat dan
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana proses terjadinya serta siapa
yang menjadi pelakunya. Lebih tidak mudah lagi jika korban tindak pidana
meninggal dunia atau saksi yang seharusnya dapat membantu tidak ada sama
sekali. Kalaupun korban masih hidup dan ada saksi, namun keterangan mereka
sering tidak sebagaimana yang diharapkan. Korban sering mendramatisasi
keterangannya agar pelakunya dihukum berat dan saksi juga sering berkata
bohong demi tujuan tertentu. Kadang keterangan mereka saling bertentangan satu
sama lain.
Sungguh pun demikian, masih beruntung bagi penegak hukum sebab hampir
setiap tindak pidana meninggalkan barang bukti (trace evidence), yang apabila
dianalisa secara ilmiah tidak mustahil dapat membuat terang perkara pidana

10
tersebut. Hanya sayangnya, sebagai penegak hukum mereka tidak dibekali segala
macam ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk
menganalisa secara ilmiah semua jenis barang bukti yang berhasil ditemukan.
Oleh sebab itulah diperlukan bantuan para ahli. 8

Dalam hal barang bukti itu berupa mayat, orang hidup , bagian tubuh
manusia atau sesuatu yang berasal dari tubuh manusia maka ahli yang tepat adalah
dokter. Alasannya karena disamping dapat melakukan berbagai macam
pemeriksaan forensik, dokter juga menguasai ilmu anatomi, fisiologi, biologi,
biokimiawi, patologi, psikiatri. 8

Bantuan dokter dalam melayani pemeriksaan korban diantaranya untuk


pembuatan visum et repertum (hasil pemeriksaan di TKP disebut dengan visum et
repertum TKP) , sebagai saksi ahli di sidang pengadilan, penentuan identitas
jenazah yang sudah tidak utuh lagi (misalnya hanya tinggal tulang belulang),
penentuan telah berapa lama luka terjadi atau telah berapa lama korban
meninggal, penentuan sebab dan cara kematian korban tindak kekerasan dan
kematian yang tidak wajar, tentang perkosaan, pemeriksaan korban keracunan dan
lain-lain. Bantuan yang diminta dapat berupa pemeriksaan di TKP atau di Rumah
Sakit. Dokter tersebut dalam pemeriksaan harus berdasarkan pengetahuan yang
sebaik-baiknya.8

Pada dasarnya pelayanan visum et repertum, dapat dibagi atas dua bagian
besar yaitu : visum untuk orang hidup dan visum untuk orang yang telah
meninggal. Yang terakhir ini disebut visum mayat atau visum jenazah (Harus
dibuat berdasarkan hasil autopsi lengkap). yaitu visum yang dibuat oleh dokter
atas permintaan yang berwenang pada orang yang meninggal karena kekerasan,
luka-luka, keracunan/diduga keracunan, kematian yang sebabnya mencurigakan
dan lain-lain.8

Jadi, bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak


pidana yang menyangkut nyawa manusia (mati), telah terjadi, maka pihak
penyidik dapat minta bantuan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat

11
kejadian perkara tersebut ( dasar hukum : Pasal 120 KUHAP ; Pasal 133
KUHAP). Bila dokter menolak untuk datang ke tempat kejadian perkara, maka
Pasal 224 KUHP, dapat dikenakan padanya. Sebelum dokter datang ke Tempat
kejadian perkara, harus diingat beberapa hal, diantaranya siapa yang meminta
datang ke TKP (otoritas), bagaimana permintaan tersebut sampai ke tangan dokter,
dimana TKP, serta saat permintaan tersebut diajukan. Meminta informasi secara
global tentang kasusnya,dengan demikian dokter dapat membuat persiapan
seperlunya. Dan perlu diingat bahwa dokter dijemput dan diantar kembali oleh
penyidik.8

Jadi apa yang dimaksudkan diatas, dokter bila menerima permintaan harus
mencatat :7,8

1. Tanggal dan jam dokter menerima permintaan bantuan


2. Cara permintaan bantuan tersebut ( telpon atau lisan)
3. Nama penyidik yang minta bantuan
4. Jam saat dokter tiba di TKP
5. Alamat TKP dan macam tempatnya (misal : sawah, gudang, rumah dsb.)
6. Hasil pemeriksaan

Hal-hal yang perlu diperhatikan setibanya di TKP :7,8

1. Tanggal dan waktu kedatangan;


2. Nama orang di tkp pada saat kedatangan;
3. Kondisi cuaca
4. Kondisi pencahayaan pada malam hari
5. Apa yang terjadi - insiden
6. Apa yang telah terjadi – aktivitas sejak insiden
7. Petugas yang bertanggung jawab atas kasus
8. Adegan penjagaan keamanan tkp
9. Bantuan yang diberikan di lokasi dan sumber daya lain yang sudah
diminta.

Pejabat yang berhak mengajukan Permintaan diantaranya adalah penyidik,


penyidik pembantu, hakim. Oleh karena itu kita perlu mengetahui apa yang
dimaksud dengan :

1. Penyelidikan

12
Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, dinyatakan penyelidikan berarti
serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau
peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelangaran tindak
pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Terlihat
penyelidikan merupakan tindakan atau tahap permulaan dari proses
selanjutnya, yaitu penyidikan. Meskipun penyelidikan merupakan proses
yang berdiri sendiri, penyelidikan tidak bisa dipisahkan dari proses
penyidikan.8
2. Penyidikan
Tahapan selanjutnya setelah penyelidikan adalah tahapan
penyidikan. Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP menjelaskan, penyidikan adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana
yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak
pidananya.Terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan suatu
tindak pidana, dapat diketahui oleh penyidik dengan berbagai cara,
mengetahui sendiri, atau menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang.8
Adapun yang termasuk dalam kategori penyidik menurut Pasal 6
ayat (1) KUHAP no PP27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) adalah Pejabat Polisi
Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dengan
pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua. Sedangkan penyidik
pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Dalam PP yang
sama disebutkan bahwa bila penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil,
maka kepangkatannya adalah serendah-rendahnya golongan II/B untuk
penyidik dan II/A untuk penyidik pembantu. Bila di suatu Kepolisian
Sektor yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua
dikatagorikan pula sebagai penyidik karena jabatannya (PP 27 tahun 1983
Pasal 2 ayat (2).8

E. Peran Dokter dalam Pemeriksaan di TKP

13
Kehadiran dokter di TKP sangat diperlukan oleh penyidik. Peranan dokter
di TKP adalah membantu penyidik dalam mengungkapkan kasus dari kedokteran
forensik. Pada dasarnya semua dokter dapat bertindak sebagai pemeriksa di TKP,
namun dengan perkembangan spesialisasi dalam ilmu kedokteran, adalah lebih
baik bila dokter ahli forensik atau dokter kepolisian yang hadir.8

Pemeriksaan kedokteran forensik di TKP harus mengikuti kententuan yang


berlaku umum pada penyidikan di TKP, yaitu menjaga agar tidak mengubah
keadaan TKP. Semua benda bukti di TKP yang ditemukan agar dikirim ke
laboratorium setelah sebelumnya diamankan sesuai prosedur.8

Selanjutnya dokter dapat memberikan pendapatnya dan mendiskusikan


dengan penyidik dengan memperkirakan terjadinya peristiwa dan merencanakan
langkah penyidikan lebih lanjut.
Bila perlu dokter dapat melakukan anamnesa dengan saksi-saksi untuk
mendapatkan gambaran riwayat medis korban.8

Adapun tindakan yang dapat dikerjakan dokter adalah:7,8

1. Menentukan apakah korban masih hidup atau telah tewas, bila masih
hidup upaya terutama ditujukan untuk menolong jiwanya. Hal yng
berkaitan dengan kejahatan dapat ditunda untuk sementara. 7,8
2. Bila korban telah tewas tentukan perkiraan saat kematian, dari penurunan
suhu, lebam mayat, kaku mayat, dan perubahan post mortal lainnya;
perkiraan saat kematian berkaitan dengan alibi daripada tersangka. 7,8
Identifikasi: 7,8
 Suhu mayat, penurunan suhu, lebam mayat, kaku mayat,
pembusukan.
 Luka : lokasi luka, garis tengah luka, banyak luka, ukuran luka,
sifat luka.
 Darah: warna merah atau tidak, tetesan, genangan atau garis,
melihat bentuk dan sifat darah dapat diperkirakan sumber darah,
distribusi darah dan sumber perdarahan (gambar).

14
Identifikasi lanjutan7,8
 Ada sperma atau tidak
 Pengambilan darah : jika di dinding kering,dikerok, jika pada
pakaian, digunting
 Darah basah/segar, masukkan ke termos es, kirim ke la
kriminologi.
 Rambut
 Air ludah, bekas gigitan.
3. Menentukan identitas atau jati diri korban baik secara visual, pakaian,
perhiasan, dokumen, dokumen medis dan dari gigi, pemeriksaan serologi,
sidik jari. Jati diri korban dibutuhkan untuk memulai penyidikan, oleh
karena biasanya ada korelasi antara korban dengan pelaku. Pelaku
umumnya telah mengetahui siapa korbannya. 7,8
4. Menentukan jenis luka dan jenis kekerasan, jenis luka dan jenis kekerasan
dapat memberikan informasi perihal alat atau senjata yang dipakai serta
perkiraaan proses terjadinya kejahatan tersebut dimana berguna dalam

15
interogasi dan rekonstruksi. Dengan diketahui jenis senjata, pihak penyidik
dapat melakukan pencarian secara lebih terarah. 7,8
5. Membuat sketsa keadaan di TKP secara sederhana dan dapat memberikan
gambaran posisi korban dikaitkan dengan situasi yang terdapat di TKP. 7,8

6. Mencari, mengumpulkan, dan menyelamatkan barang-barang bukti (trace


evidence) yang ada kaitannnya dengan korban, bagi kepentingan
pemeriksaan selanjutnya. Hal ini juga penting, sebab semakin banyak
barang bukti ditemukan, termasuk barang bukti medik, akan semakin
mempermudah penegak hukum membuat terang perkara pidana. Barang
bukti medik tersebut harus diselamatkan dari kerusakan dan dokter
memang memiliki kemampuan untuk itu. 7,8
7. Membuat kesimpulan di TKP
 Mati wajar atau tidak
 Bunuh diri : genangan darah, TKP tenang tidak morat-marit, ada
luka percobaan, luka mudah dicapai oleh korban, tidak ada luka
tangkisan, pakaian masih baik.

16
 Pembunuhan: TKP morat-marit, luka multipel, ada luka yang
mudah dicapai, ada yang tidak, luka disembarang tempat, pakaian
robek ada luka tangkisan.
 Kecelakaan
 Mati wajar karena penyakit7,8

DAFTAR PUSTAKA

1. Surjit S. Sejarah. Ilmu Kedokteran Forensik. Hal: 4


2. Materi Krida Ptkp Skk Pengenalan Tempat Kejadian Perkara (Saka
Bhayangkara Polres Bojonegoro). Available from:
http://hendradeni.com/download/materi-krida-ptkp-skk-pengenalan-
tempat-kejadian-perkara.pdf. [Accesed on 10 August 2016]
3. Afiah, R.N. 1998. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.
4.Makalah II for. Available from: http://www.scribd.com/doc/
88423115/Makalah-II-For (Accessed on 10 August 2016)
5. Surjit S. Perundangan-undangan mengenai Prosedure Pemeriksaan
Kehakiman & Proses Peradilan. Ilmu Kedokteran Forensik. 11-19
6. Amir A. Ketentuan hukum dalam Ilmu Kedokteran forensik.
Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 2. Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2007. 32-44
7. TKP. Available from: www.scribd.com/ doc/60393368/TKP [Accessed
on 10 August 2016]
8. Payasan G. Bantuan Dokter di TKP. Hukum Kedokteran. 2010
http://gunturpayasan.blogspot.co.id/2010/07/bantuan-dokter-di-tkp.html

17

Anda mungkin juga menyukai