Anda di halaman 1dari 89

Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Indonesian Foreign Policy Review (IFPR)


Tantangan dan Kesempatan Kebijakan Poros Maritim Global di Era
Konektivitas Asia Pasifik

Diterbitkan di Depok, November 2015

Diperbolehkan untuk dikutip sepanjang mencantumkan publikasi ilmiah ini


sebagai sumber.

© Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UI


2015
i
Daftar Isi

Susunan Redaksi iii


Sambutan Ketua Departemen HI UI iv
Sambutan Ketua HMHI UI v
Sambutan Ketua Pelaksana IFPR 2015 vi

Pertahanan Maritim
Proyeksi Indonesia sebagai Kekuatan Maritim Alternatif di Asia Pasifik:
Antara Kebangkitan Tiongkok vis-à-vis Kebijakan Rebalancing
Amerika Serikat 1
Ali Wahyu Imanullah dan Muhammad Habib
Kebijakan Poros Maritim Global sebagai Upaya Strategis
Perimbangan Kekuatan (Balance of Power) Indonesia
dalam Mencapai Stabilitas pada Sistem Internasional 15
Siti Rizqi Ashfina Rahmaddina Siregar
Usaha Indonesia untuk Menjadi Hegemon di Laut ASEAN
Gayuh Kurnia Aji 23

Ekonomi-Politik Maritim
Negosiasi Tiongkok-Thailand atas Tanah Genting Kra:
Implikasinya terhadap Doktrin Poros Maritim Dunia Indonesia
dan Sentralitas ASEAN 31
Ali Wahyu Imanullah
Evaluasi Kebijakan Moratorium Kapal Eks-asing untuk
Membangun Indonesia sebagai Kekuatan Ekonomi Maritim 44
Dian Fitriyani Agustin dan Diandra Rivanka

Kebudayaan Maritim
Optimalisasi Model Kerjasama Global dalam Pengelolaan
Hutan Bakau di Kawasan Pesisir Indonesia 59
Annisa Dina Amalia
Membangun Indonesia dari Wilayah Terpinggir ke Pusat:
Opsi-opsi Pembangunan Industri Pariwisata Maritim
di Indonesia Bagian Timur. Studi Kasus: Raja Ampat, Papua 65
Kevin Tan
Islam Nusantara dan Poros Maritim Dunia 75
Abid Abdurrahman Adonis

ii
Susunan Redaksi

Ketua Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UI


Herlizar Rachman

Ketua Pelaksana/Editor-in-Chief
Ali Wahyu Imanullah

Wakil Ketua Pelaksana


Ridha Tobing

Editor Bidang Pertahanan Maritim


Edy Prasetyono S.Sos., MIS, Ph.D. Made Deninta Ayu D.
Janitra Icta Almer

Editor Bidang Ekonomi-Politik Maritim


Shofwan Al Banna Choiruzzad S.Sos., M.A., Ph.D. Nariswari Khairanisa

Editor Bidang Kebudayaan Maritim


Raden Maisa Yudono S.Sos., M.Si. Amy Darajati Utomo

Kesekretariatan
Ceilla Ayu Putri H. Vania Sapphira

Keuangan
Muhammad Habib Novi Jauhari

Sponsorship dan Dana Usaha


Arung Agni Juni Arina K.
Putri Erfiasany P. Siti Labuda Karunia
Karina Apriladhatin Rifad Anjar Jumara
Grecia Anggelita Mochamad Giffary
Nadia Caroline S. Amelia Litania
Amartya Gyani A. Destya P. Darmawan
Luthfia Ersyana Dianasari Medali Ramadhani
Ranny Rachmadhani

Desain dan Publikasi


Alleya Hanifa Hana Naufanita

Koordinator Grand Launching


Jonathan Alfa R.

Operasional
Dizar Ramadhan Alya Nurul Iffat

iii
Sambutan Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
dra. Evi Fitriani M.A., Ph.D

Salam sejahtera,

Setelah terhenti selama beberapa periode, terbitan Indonesian Foreign Policy


Review kembali muncul dengan nuansa yang lebih populer dibandingkan edisi-
edisi terdahulu tanpa mengesampingkan esensi keilmiahannya. Indonesian
Foreign Policy Review pada dasarnya merupakan sebuah produk ilmiah yang
dirancang, ditulis, serta diedit oleh para mahasiswa/i program sarjana HIUI
yang dibantu oleh beberapa staf pengajar Departemen Ilmu HI. Selaku Ketua
Departemen, saya mendukung kegiatan positif ini sekaligus memberikan
apresiasi yang tinggi terhadap para panitia karena atas usaha dan pengorbanan
mereka, Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UI (HMHI FISIP
UI) kembali dapat menjalankan program kerja ini. Dengan penerbitan bunga
rampai Indonesian Foreign Policy Review ini, mahasiswa Ilmu HI diharapkan
dapat berperan lebih aktif di dalam aktivitas akademis maupun praktis yang
berhubungan dengan dinamika kebijakan luar negeri Indonesia.
Tema yang diangkat, yaitu “Tantangan dan Kesempatan Kebijakan Poros
Maritim Global di Era Konektivitas Asia Pasifik”, sangat relevan dengan
orientasi kebijakan luar negeri Indonesia di masa pemerintahan Presiden Joko
Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagal Global maritime fulcrum.
Sudah selayaknya mahasiswa Ilmu HI berkontribusi nyata dengan turut
mengkaji kebijakan luar negeri Indonesia kontemporer sebagai bagian dari
proses pembelajaran di luar kelas.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
berkontribusi di dalam penerbitan bunga rampai ini, mulai dari kontributor,
editor, staf pengajar, hingga Kemenlu yang telah memberikan dukungan moral
di dalam proses penulisan dan penerbitan Indonesian Foreign Policy Review.
Semoga penerbitan ini menjadi pembuka jalan yang lebih baik bagi edisi-edisi
berikutnya.

iv
Sambutan Ketua Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UI
Herlizar Rachman

Salam sejahtera,

Merupakan sebuah kebanggaan bagi Mahasiswa Hubungan Internasional


Universitas Indonesia untuk dapat menyelenggarakan kembali kegiatan
Indonesia Foreign Policy Review. Program yang dicanangkan oleh teman-teman
Divisi Keilmuan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas
Indonesia ini merupakan perwujudan kami sebagai Mahasiswa dalam
mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dengan mengangkat tema
“Tantangan dan Kesempatan Kebijakan Poros Maritim Global di Era
Konektivitas Asia Pasifik”, IFPR tahun ini berharap mampu memberikan sudut
pandang baru dalam isu-isu kemaritiman di Indonesia terutama yang
menyangkut doktrin Poros Maritim Dunia yang dicanangkan oleh Presiden
Joko Widodo.
Terima kasih saya ucapkan khususnya kepada Ali Wahyu Imanullah dan
tim selaku panitia penyelenggaran IFPR tahun ini. Atas kerja keras kalian,
akhirnya bunga rampai ini selesai dan dapat diberikan kepada teman-teman
sesama Mahasiswa Hubungan Internasional untuk kemudian dijadikan bahan
diskusi bersama. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Divisi Keilmuan
yang telah mengangkat kembali IFPR dalam susunan program kerja HMHI UI
periode 2015. Terima kasih kepada Departemen HI UI yang telah memberikan
dukungan dan bantuannya, terkhusus untuk Dosen yang telah menjadi editor
dan reviewer dalam proses penulisan IFPR. Tak luput juga rasa terima kasih
saya sampaikan kepada segenap penulis yang berpartisipasi dalam program
ini. Saya berharap tulisan kalian akan menjadi sudut pandang yang baru dan
sumber diskusi di kalangan mahasiswa.
Kepada para pembaca saya ucapkan selamat membaca dan memahami
perdebatan akademis yang berkembang di kalangan mahasiswa terkait dengan
isu kemaritiman ini. Saya berharap, tulisan yang terdapat dalam bunga rampai
ini dapat memberikan pengetahuan baru kepada pembaca sekalian.

v
Sambutan Ketua Pelaksana IFPR 2015
Ali Wahyu Imanullah

Assalamu’alaikum,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat serta rahmat-Nya lah Indonesian Foreign Policy Review dapat terbit
kembali setelah sekian lama mengalami hiatus.
Absennya Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional UI (HMHI UI)
di dalam melanjutkan program kerja ini bukan tanpa sebab. Selama kurang
lebih dua tahun terakhir, HMHI UI dipercaya untuk mengemban tanggung
jawab besar untuk menyelenggarakan Pertemuan Nasional Mahasiswa
Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) ke-25 pada tahun 2013 serta
program kerja UN-Days pada tahun berikutnya. Oleh karena besarnya kedua
acara tersebut, penyelenggaraan IFPR selama beberapa saat harus ditunda.
Berangkat dari keinginan Ketua Divisi Keilmuan HMHI UI, Calfin Murrin,
akhirnya IFPR diputuskan untuk diadakan kembali dengan mempercayai saya
sebagai Ketua Pelaksana.
Kata “maritim” dewasa ini telah menjadi komoditas ekonomi, sosial,
bahkan politik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Hal
ini tercermin melalui Doktrin Poros Maritim Dunia yang diusung oleh
pemerintah Indonesia saat ini di dalam menjalankan praktik hubungan luar
negeri. Berangkat dari situasi tersebut, kami memutuskan untuk mengangkat
tema besar “Tantangan dan Kesempatan Kebijakan Poros Maritim Global di Era
Konektivitas Asia Pasifik” sebagai tulang punggung terbitan IFPR edisi kali ini.
Tema besar tersebut kemudian dipecah menjadi tiga sub-tema yaitu: [1]
pertahanan maritim, [2] ekonomi-politik maritim, dan [3] kebudayaan maritim.
Alasan utama mengapa tema besar tersebut dipecah secara spesifik ke dalam
tiga bagian tersebut adalah karena kami melihat bahwa kebijakan luar negeri
Indonesia—termasuk Kebijakan Poros Maritim—harus mencakup semua aspek
kehidupan, dari politik hingga sosial, yang mampu memberikan keuntungan
terbesar bagi rakyat Indonesia.
Sebagai Ketua Pelaksana IFPR 2015, saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada para rekan panitia, kontributor, staf pengajar, Departemen Ilmu HIUI,
serta Kementerian Luar Negeri yang telah memberikan dukungan moral
maupun material sehingga penerbitan bunga rampai IFPR 2015 ini dapat
terlaksana. Akhir kata, saya berharap bunga rampai ini mampu memberikan
menjadi sarana komunikasi yang intensif antara mahasiswa, instansi
pemerintah, serta masyarakat, terutama dalam hal yang terkait dengan
kebijakan luar negeri Indonesia.

vi
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

Proyeksi Indonesia sebagai Kekuatan Maritim Alternatif di Asia Pasifik:


Antara Kebangkitan Tiongkok vis-à-vis Kebijakan Rebalancing Amerika
Serikat
Ali Wahyu Imanullah dan Muhammad Habib

Menjelang akhir abad ke-20 banyak akademisi yang memprediksi akan terjadi
pergeseran titik pusat dunia dari yang semula berada di kawasan Amerika dan
Eropa beralih ke kawasan Asia Pasifik. Pendapat tersebut didukung oleh
sejumlah alasan diantaranya: [1] pembangunan kapasitas militer di kawasan
Asia Pasifik cenderung lebih besar dibandingkan dengan wilayah Eropa dan
lainnya yang lebih mengedepankan pengembangan bisnis dan perdagangan
(Gardels, 2014); [2] lebih dari 50% jumlah populasi dunia tinggal di wilayah
Asia (Anon., 2015); [3] pertumbuhan GDP negara-negara Asia Pasifik
menunjukkan tren positif yang signifikan dibandingkan kawasan lain (Tencer,
2012). Namun dengan berbagai kelebihan tersebut membuat Asia juga rentan
terhadap berbagai permasalahan, terutama masalah yang melibatkan kekuatan-
kekuatan besar di Asia Pasifik. Salah satu contohnya adalah kasus
persengketaan wilayah. Untuk mengatasi permasalahan itu, dalam tulisan ini
penulis menawarkan sebuah solusi baru yang melibatkan Indonesia sebagai
kekuatan maritim alternatif di wilayah Asia Pasifik. Tulisan ini akan terbagi
menjadi beberapa pembahasan. Pertama, akan dijelaskan terkait dengan
kebangkitan dan perilaku agresif Tiongkok. Kedua, akan dipaparkan mengenai
kembalinya Amerika Serikat kepada Asia Pasifik. Ketiga, panggilan Indonesia
untuk menjadi kekuatan maritim alternatif di kawasan. Keempat, prospek
posisi Indonesia di Asia Pasifik: peluang dan tantangan sebagai kekuatan
maritim alternatif, serta pada bagian terakhir akan ditutup dengan sebuah
kesimpulan.

Agresivitas Tiongkok: Paradoks Perspektif Konfusianis-Harmonis dalam


Kebangkitan Tiongkok
“Sea for the life, and natural resources are abundantly spreading within the sea,
therefore a strong marine have to be established in order to secure it” (Marsetio, 2014).
Demikian ditulis oleh Laksamana Muda Alfred Thayer Mahan, sekitar dua
abad yang lalu dalam karyanya yang berjudul Influence of Sea Power upon
History:1660-1783. Frasa tersebut kurang lebih menggambarkan motivasi
Tiongkok dalam mengembangkan kekuatan maritimnya hari ini. Pada
awalnya, kebangkitan maritim Tiongkok dimaksudkan untuk memperkuat
perdagangan di kawasan dan menghidupkan kembali citra sebagai bangsa
maritim secara damai (Dooley, 2012). Namun, seiring dengan adanya spekulasi
politik di kalangan pemerintah, hal ini mengubah Tiongkok yang sebelumnya
pasif menjadi lebih agresif (Ross, 2009).

Agresivitas kebangkitan maritim itu ditunjukkan oleh Tiongkok dalam


keterlibatannya pada dua sengketa besar di wilayah Asia Pasifik. Pertama,
Tiongkok melakukan ekspansi zona identifikasi pertahanan udaranya di sekitar
1
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

Senkaku-Diayou, Laut Cina Timur (Schmitt, 2014). Usaha yang disebut oleh
Tiongkok sebagai upaya untuk memperkuat pertahanan ini, telah
mendatangkan resistensi dari Jepang mengingat wilayah tersebut masih dalam
persengketaan. Kondisi ini menjadi semakin parah ketika terjadi perubahan
kapal coast guard menjadi kapal militer secara sepihak oleh Tiongkok di wilayah
sengketa tersebut (Mizokami, 2015).

Kedua, baru-baru ini Tiongkok membangun sebuah pulau buatan di sekitar


Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan (Schmitt, 2014). Wilayah ini telah lama
menjadi sengketa antara Tiongkok dengan beberapa negara Asia Tenggara dan
terus menjadi kontroversi seiring dengan konstruksi dan militerisasi atas pulau
buatan tersebut. Militerisasi itu dilaporkan oleh pesawat pemantau Amerika
Serikat yang mencatat adanya aktivitas tambahan berupa pembangunan
lapangan udara dan penempatan persenjataan berat dalam konstruksi pulau
buatan tersebut (Rosenberg, 2015).

Berkorelasi dengan kedua perilaku agresif yang telah disebutkan diatas,


kebangkitan militer juga diperlihatkan oleh Tiongkok. Berdasarkan data yang
ada, Tiongkok mengonfirmasi peningkatan anggaran militernya sebanyak
10.1% dari tahun sebelumnya (Rajagopalan & Wee, 2015). Dengan angka yang
hampir mencapai 150 milyar dolar pertahun, anggaran tersebut sebagian besar
dialokasikan untuk modernisasi angkatan bersenjata Tiongkok, khususnya
angkatan laut dan angkatan udara. Beberapa diantaranya merupakan kebijakan
lanjutan seperti peningkatan keakuratan balistik dan misil jelajah, penambahan
amunisi pada misil anti-kapal balistik, satelit, senjata anti-satelit, pembaharuan
armada pesawat pengintai, (O'Hanlon & Steinberg, 2012). Lainnya, anggaran
tersebut dialokasikan untuk pengembangan penelitian dan industri teknologi
yang berbasis keamanan nasional (Rajagopalan & Wee, 2015).

Mengacu kepada dua kejadian di atas, penulis setidaknya melihat telah terjadi
perubahan pandangan di Beijing dalam melihat dan menyikapi konfigurasi
geopolitik kawasan maupun internasional vis-à-vis pertumbuhan ekonomi
domestik Tiongkok yang sangat pesat. Berangkat dari poin terakhir—
pertumbuhan ekonomi domestik Tiongkok—tahun 1978 merupakan sebuah
titik balik bagi Tiongkok karena pada tahun ini Tiongkok di bawah
kepemimpinan Deng Xiaoping menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih
terbuka dibandingkan administrasi Mao Zedong. Kebijakan ekonomi Deng
Xiaoping inilah yang membawa fenomena ‘modernisasi’ ke dalam masyarakat
Tiongkok. Berbicara mengenai modernisasi, aktor-aktor politik maupun
ekonomi Tiongkok pada saat itu yakin bahwa proses tersebut harus dijalankan
sesuai dengan pemahaman Konfusianisme yang menekankan kepada interaksi
yang harmonis dan nirkonflik. Oleh sebab itu sekitar tahun 1980-an, Tiongkok
menganggap dirinya sedang melalui pertumbuhan dan kebangkitan yang
damai—peaceful rise— (Bijian, 2005). Namun, berkaca kepada fakta lapangan
yang ada di Laut Cina Selatan saat ini, nampaknya telah terjadi sebuah
pergeseran orientasi kebijakan luar negeri Tiongkok di kawasan meskipun
menurut Beijing, tidak ada kontradiksi antara inklinasi damai dengan
2
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

peningkatan kekuatan militer demi menjaga batas-batas wilayah negara (Tiezzi,


2014); Tiongkok mulai mencari celah untuk mengubah statusnya sebagai
sebuah emerging market atau rising state menjadi sebuah kekuatan adidaya, baik
di tingkat kawasan maupun global. Menurut beberapa teori mengenai sistem
seperti stabilitas hegemoni, power-cycle, dan lain sebagainya, pada suatu masa
di dalam sebuah sistem internasional, akan terdapat sebuah keadaan di mana
kekuatan status-quo berusaha digantikan oleh rising state ketika kekuatan status-
quo mengalami kemunduran di segala bidang di saat rising state mengalami
pertumbuhan pesat. Dengan realitas pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang
berkisar antara 9-11% per tahun selama kurang lebih dua dekade terakhir,
wajar apabila Tiongkok mengambil kebijakan ‘agresif’ dan ‘ekspansionis’
seperti itu di Laut Cina Selatan. Tendensi ekspansionisme Tiongkok semakin
jelas terlihat dengan adanya rencana pembuatan kapal induk kedua pada
triwulan pertama tahun 2015 (Tiezzi, 2015).

Praktis, usaha-usaha yang dilakukan Tiongkok dalam rangka meningkatkan


pertahanan serta melindungi kepentingan nasionalnya dengan memperkuat
kapasitas dan kapabilitas militernya tersebut akan menyebabkan security
dilemma bagi negara-negara tetangga di kawasan Asia Pasifik. Bagi negara yang
vis-à-vis dengan Tiongkok dalam sengketa wilayah di Asia Pasifik, seperti
Jepang, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei akan cenderung bertindak
cepat untuk merespon security dilemma yang terjadi. (Heydarian, 2015a).
Fenomena security dilemma tersebut terlihat dari adanya peningkatan kerjasama
yang dilakukan oleh Jepang dan Filipina. Kerjasama itu berupa pemberian
pinjaman sebesar 150 juta dolar dan pemberian 10 kapal patroli oleh Jepang
kepada Filipina, serta adanya patroli bersama antara Jepang dan Filipina di
kawasan Laut Cina Selatan (Heydarian, 2015b). Lainnya, negara-negara
tersebut mengindikasikan penguatan kerjasama dengan kekuatan besar di
kawasan seperti Amerika Serikat dalam menyelesaikan security dilemma yang
terjadi.

“Kembalinya” Amerika Serikat ke Kawasan Asia Pasifik


Meskipun tidak memiliki sengketa apapun dengan Tiongkok di wilayah Asia
Pasifik, serta telah menyatakan netral terhadap sengketa yang melibatkan
sekutu-sekutunya, Amerika Serikat tetap perlu melakukan penyesuaian
kebijakan terhadap Asia Pasifik. Hal ini seiring dengan pernyataan Presiden
Obama beberapa tahun lalu yang akan mengarahkan Amerika Serikat untuk
menyeimbangkan kembali peranan di kawasan Asia Pasifik (Andrews, 2013).
Obama menjelaskan lebih lanjut bahwa Amerika telah terlalu lama
mengabaikan Asia Pasifik dan sudah saatnya untuk kembali, mengingat
Amerika Serikat sendiri adalah negara Pasifik serta pergeseran perkembangan
dunia ke arah Asia Pasifik (Lieberthal, 2011).

Kebijakan penyeimbangan Amerika Serikat tersebut dibuktikan dengan


kunjungan presiden ke beberapa negara Asia Pasifik, penguatan kerjasama,
hingga penambahan kuantitas dan kualitas pada pangkalan-pangkalan militer
Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Berkaitan dengan perilaku agresif
3
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

yang ditunjukkan oleh Tiongkok, Presiden Obama sendiri sudah beberapa kali
melakukan kunjungan ke Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Filipina dalam
rangka khusus membahas topik tersebut (Xuefeng, 2014). Presiden Obama juga
sudah membawa isu mengenai perilaku agresif Tiongkok ini ke dalam forum
internasional seperti pertemuan G-7 di Jerman (Yoshino, 2015) dan Asia Security
Summit ke-14 di Singapura melalui utusannya (Kamjan, 2015).

Usaha berikutnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam menyikapi


perilaku agresif Tiongkok adalah penguatan kerjasama dengan negara-negara
di Asia Pasifik. Salah satu contohnya adalah pengembangan Trans-Pacific
Partnership (TPP). Sejumlah akademisi menilai TPP merupakan langkah
Amerika Serikat untuk menegaskan kebijakan penyeimbangannya di Asia
(Barfield, 2014) serta dalam rangka membatasi penyebarluasan kekuatan
Tiongkok di kawasan Asia Pasifik (Locatelli, 2011). Penguatan kerjasama juga
dilakukan oleh Amerika Serikat di bidang militer. Baru-baru ini Amerika
Serikat dan Vietnam menandatangani sebuah kesepakatan bersama yang berisi
perluasan kerjasama pertahanan, termasuk di dalamnya adalah peningkatan
keamanan maritim, produksi serta perdagangan senjata (Linch, 2015).
Sementara itu, penguatan kerjasama antara Amerika Serikat dan Filipina
ditandai dengan adanya latihan militer gabungan di sekitar kepulauan
Palawan, di mana latihan tersebut melibatkan sebanyak 11.000 tentara
(Orendain, 2015). Sehubungan perilaku agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan,
Filipina juga mengizinkan Amerika Serikat untuk mengakses basis-basis militer
lokal (Mogato, 2015) termasuk pemulihan kembali pangkalan militer Amerika
Serikat di Subic Bay dalam kerjasama tersebut (Schiavenza, 2013).

Usaha terakhir yang dilakukan untuk menyikapi perilaku agresif Tiongkok


adalah penambahan kuantitas dan kualitas pada pangkalan-pangkalan militer
di Asia Pasifik oleh Amerika Serikat. Penambahan itu sudah dimulai sejak
tahun 2011 berupa penggantian kapal konvensional USS Kitty Hawk dengan
kapal modern bertenaga nuklir USS George Washington di Jepang; penempatan
3 kapal selam berkekuatan nuklir Los Angeles-class dan 3 pesawat Hawk di
Guam; serta pengalihan beberapa armada atlantik menuju armada pasifik
(Bradford, 2011). Dilanjutkan pada tahun 2012, Amerika Serikat mendaratkan
200 tentara di pangkalan militer Darwin, Australia (Siegel, 2012). Kemudian
pada tahun 2013, dilakukan penempatan skuadron P-8A di Kadena, Jepang dan
USS Forth Worth di Singapura serta pengoperasian lintas negara perdana USS
Freedom di wilayah Pasifik Barat (U.S. Navy, 2015). Di akhir tahun 2014 sendiri
terdapat 41 kapal tambahan yang tersebar di berbagai pangkalan militer di Asia
Pasifik serta adanya instalasi armada pasifik terbaru (U.S. Navy, 2015). Untuk
tahun 2015 dalam usahanya menyikapi perilaku agresif Tiongkok, Amerika
Serikat berencana untuk menempatkan senjata canggih model baru bernama
Zumwalt Destroyer di sekitar Laut Cina Selatan (World Bulletin, 2015), serta
menempatkan 1.200 tentara khusus di sekitar Asia Pasifik (Want China Times,
2015).

4
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

Namun, tidak selamanya berbagai usaha Amerika Serikat dalam merespon


perilaku agresif Tiongkok tersebut menimbulkan dampak positif bagi negara-
negara Asia Pasifik, terlebih bagi negara-negara Asia Tenggara. Peningkatan
tensi hubungan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok di kawasan Asia
Pasifik turut berkontribusi pada peningkatan perbedaan pendapat diantara
negara-negara yang tergabung dalam Asosiasi Perkumpulan Bangsa Asia
Tenggara (ASEAN). Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya joint communiqué
yang berhasil dirumuskan pada pertemuan ASEAN tahun 2012 (Symonds,
2015). Pada pertemuan itu Filipina dan Vietnam cenderung mendukung apa
yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan menginginkan adanya advokasi yang
proaktif dari ASEAN terhadap sengketa yang terjadi. Sedangkan, negara lain
yang juga memiliki sengketa dengan Tiongkok di Laut Cina Selatan seperti
Brunei dan Malaysia menginginkan penyelesaian dengan cara yang lebih
damai. Sementara itu Kamboja, sebagai salah satu sekutu Tiongkok, cenderung
menolak pembahasan perilaku agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan
mengingat ketergantungan perekonomiannya dengan Tiongkok. Anggota lain
yang tersisa kemudian tetap netral terhadap permasalahan yang terjadi,
termasuk Indonesia (Kate & Gaouette, 2012).

Mengamati konstelasi politik akhir-akhir ini di mana Tiongkok menunjukkan


kebangkitannya sebagai salah satu kekuatan baru secara agresif dan Amerika
meresponnya dengan penegasan eksistensi sebagai status-quo power membuat
stabilitas kawasan menjadi tidak menentu. Dibutuhkan solusi baru terhadap
kondisi yang terjadi dalam rangka menengahi permasalahan sengketa di
kawasan Asia Pasifik serta mencegah terjadinya eskalasi konflik dan
perpecahan diantara negara-negara Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.
Solusi yang memungkinkan saat ini adalah dengan melibatkan Indonesia
sebagai kekuatan alternatif yang berbasis maritim di wilayah Asia Pasifik.

Panggilan Indonesia Untuk Menjadi Kekuatan Maritim Alternatif di Asia


Pasifik
Adanya peningkatan tensi hubungan antara Tiongkok sebagai new emerging
power dan Amerika Serikat sebagai status-quo power membuat pilihan untuk
berpihak pada salah satu kekuatan dalam sistem bipolar akan sangat
merugikan. Hal ini disebabkan oleh tidak memungkinkannya diperoleh
keuntungan maksimum oleh suatu negara (Ordgard, 2002). Namun, ketiadaan
alternative role leader di tengah potensi konflik kekuatan besar dalam sistem
bipolar juga membahayakan negara-negara ketika mengejar kepentingan
nasionalnya. Dalam hal ini, Indonesia dinilai tepat menjadi kekuatan alternatif
mengingat berkembangnya permasalahan yang melanda wilayah Asia Pasifik

5
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

saat ini secara tidak langsung turut menyeret Indonesia untuk terlibat di
dalamnya.

Alasan yang paling mendasar dalam mendukung argumentasi tersebut adalah


keunggulan khas yang ditawarkan oleh Indonesia. Keunggulan tersebut adalah
keberanian dan komitmen Indonesia untuk menjaga kestabilan kawasan.
Komitmen Indonesia ditunjukkan dengan upaya kerja keras Menteri Luar
Negeri Indonesia ─Marty Natalegawa─ yang berdiplomasi dengan menteri
luar negeri negara-negara ASEAN untuk menghasilkan 6 poin sikap ASEAN
terhadap Laut Cina Selatan pada tahun 2012 (The Jakarta Post a, 2012). Usaha
berat ini, hanya dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dari Indonesia. Sementara
itu di tahun yang sama, Indonesia juga menunjukkan keberaniannya dengan
mulai menginisiasi code of conduct (CoC) Laut Cina Selatan antara negara-
negara ASEAN dan Cina (The Jakarta Post b, 2012). Hal ini merupakan langkah
baru dengan tujuan untuk tetap menjaga kestabilitasan kawasan dan mencegah
eskalasi sengketa lebih lanjut. Lainnya, keberanian dan komitmen Indonesia ini
juga ditekankan kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam beberapa visi dan
misinya, diantaranya: 1) mengurangi persaingan maritim antara kekuatan besar
dan mendukung resolusi terkait penyelesaian sengketa wilayah di tingkat
regional; 2) memperkuat arsitektur keamanan regional dalam rangka mencegah
hegemoni dari kekuatan besar (KPU, 2014). Hal inilah yang menurut penulis
membuat Indonesia pantas untuk menjadi kekuatan maritim alternatif di
kawasan.

Alasan berikutnya adalah geopolitik. Sebagai negara yang menguasai 2/3 dari
jumlah wilayah laut Asia Tenggara (Seno, 2014) sekaligus sebagai pencetus
deklarasi Bangkok 1967 (Asia One News, 2011), Indonesia memegang peranan
penting dalam organisasi regional yaitu Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(ASEAN). Berbagai permasalahan baik itu yang melanda Indonesia sendiri
maupun negara-negara Asia Tenggara lainnya sangat dipengaruhi oleh posisi
Indonesia terhadap permasalahan tersebut. Hal ini dikarenakan keberhasilan
Indonesia ketika memimpin ASEAN dan citra “pemimpin” itu selalu melekat
pada Indonesia (East Asia Forum, 2015). Adalah sebuah panggilan bagi
Indonesia untuk turut serta menyelesaikan masalah-masalah di kawasan
dengan cara menjadi kekuatan alternatif atau pemimpin seutuhnya yang
berbasis maritim.

Alasan yang ketiga adalah kewajiban konstitusi yang mengharuskan Indonesia


mengambil peranan lebih dalam dinamika kondisi internasional. Merujuk pada
alinea ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 menyatakan
bahwa Indonesia akan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam kasus perselisihan
antara dua kekuatan besar di kawasan Asia Pasifik, Indonesia harus

6
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

menjalankan kewajibannya dengan cara terlibat namun tetap menjamin


kenetralannya seperti yang diatur dalam doktrin kebijakan luar negeri “bebas-
aktif” yang diambil (Anwar, 2014). Salah satu cara untuk itu adalah dengan
menjadi kekuatan alternatif. Terkait dengan basis apa yang akan diambil ketika
menjadi kekuatan alternatif, Presiden Joko Widodo secara tidak langsung telah
menguatkan maritim sebagai jawabannya. Hal ini dibuktikan dengan
komitmen Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim
dunia (Witular, 2014). Poros tersebut kemudian dimanifestasikan kedalam lima
pilar maritim Presiden Joko Widodo yang meliputi: [1] membangun kembali
budaya maritim; [2] menjaga dan mengelola sumber daya laut; [3]
memprioritaskan pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim; [4]
melaksanakan diplomasi maritim; dan [5] membangun kekuatan pertahanan
maritim (Aryani, 2014).

Sebagai implikasi dari doktrin tersebut, Indonesia mengambil beberapa


kebijakan yang secara tidak langsung turut menguatkan panggilan bagi
Indonesia untuk menjadi kekuatan alternatif di kawasan yang berbasis maritim.
Kebijakan-kebijakan tersebut adalah: [1] peningkatan kekuatan di kepulauan
Natuna dan wilayah terluar Indonesia; [2] perencanaan optimalisasi jumlah
armada kapal Republik Indonesia hingga 274 buah terdiri dari berbagai jenis
(Fast Patrol Boats, Fregat, Korvet, Kapal Selam) yang diperkuat dengan peluru
kendali jenis C-802 dan C-705 (Seno, 2014).

Prospek Posisi Indonesia di Asia Pasifik: Peluang dan Tantangan sebagai


Kekuatan Maritim Alternatif
Melalui beberapa penjabaran di atas, penulis menilai bahwa Indonesia dengan
doktrin Poros Maritim Dunia-nya dapat muncul sebagai sebuah kekuatan
maritim alternatif di Asia Pasifik karena karakteristik Indonesia berada di
tengah-tengah kutub ekstrem ‘karakteristik’ maritim Tiongkok maupun
Amerika Serikat, terutama yang berkaitan dengan isu-isu politik-keamanan
maritim di kawasan. Mengacu kepada hal ini, penulis berargumen bahwa
setidaknya terdapat dua poin yang dapat dilihat sebagai keuntungan
komparatif (comparative advantage) Indonesia dibandingkan dua kekuatan besar
di atas sebagai sebuah kekuatan maritim alternatif Asia Pasifik yaitu: [1]
kontribusi terhadap regional maritime order dan [2] perspektif internasionalis-
populis dalam kebijakan luar negeri. Masing-masing poin tersebut memiliki
peluang sekaligus tantangan terhadap proyeksi Indonesia di dalam mencapai
tujuannya sebagai sebuah kekuatan maritim alternatif di Asia Pasifik.

Pertama, terkait dengan poin regional maritime order, Indonesia telah


memainkan peran yang cukup signifikan di dalam pembentukan tata kelola
serta order di kawasan, terutama pada isu politik-keamanan serta maritim. Di
tingkat kawasan, Indonesia secara relatif telah berhasil menciptakan stabilitas
dengan ASEAN dan ARF (ASEAN Regional Forum) sebagai instrumen
utamanya. Formulasi serta adopsi norma ‘non-intervensi’ dan mekanisme CBM
(Confidence Building Measure) ke dalam interaksi yang terjadi di ARF penulis
anggap sebagai bukti bahwa Indonesia mampu memainkan perannya untuk
7
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

menjembatani kepentingan Tiongkok maupun Amerika Serikat di kawasan.


Selain itu, Indonesia juga menyediakan forum-forum lanjutan di dalam ARF
yang berfungsi sebagai wadah komunikasi kekuatan-kekuatan besar di dalam
isu-isu maritim seperti Expanded ASEAN Maritime Forum (Expanded AMF).
Berangkat dari kondisi ini, penulis menilai bahwa pada praktiknya Indonesia
telah mampu mengemban ‘tanggung jawab’ sebagai kekuatan alternatif di
kawasan. Instrumen serta mekanisme yang dibuat oleh Indonesia ini mampu
mengakomodasi kepentingan-kepentingan kekuatan besar di luar ASEAN atas
domain maritim kawasan. Secara praktis, Indonesia mampu menghadirkan
barang publik (public goods) berupa stabilitas dan keamanan di kawasan melalui
beberapa instrumen tersebut. Dari titik ini, penulis menilai bahwa Indonesia
sedikit banyak telah mendapatkan political leverage dari negara-negara sekitar
untuk muncul sebagai sebuah kekuatan alternatif di samping Tiongkok dan
Amerika Serikat.

Akan tetapi, di saat yang bersamaan instrumen-instrumen tersebut memiliki


kelemahan yang juga mampu menjadi hambatan/tantangan Indonesia di
dalam mendapatkan status sebagai sebuah kekuatan maritim alternatif di
kawasan. Tantangan tersebut tidak lain adalah norma ‘non-intervensi’ serta
karakteristik ‘regionalisme maritim’ yang saling tumpang-tindih dan terkesan
tidak efektif di kawasan. Mengacu kepada kondisi alamiah Tiongkok dan
Amerika Serikat, penerapan norma ‘non-intervensi’ oleh instrumen politik yang
dibentuk oleh Indonesia pada proses penyelesaian permasalahan atau konflik
politik-keamanan yang sensitif di kawasan tidak akan mampu menghasilkan
resolusi yang optimal dengan Laut Cina Selatan sebagai contoh konkretnya. Di
satu sisi, Tiongkok lebih menunjukkan intensi untuk tidak membahas
permasalahan tersebut pada forum-forum maritim yang sudah disediakan.
Sementara itu, Amerika Serikat menginginkan hasil yang instan namun
efektif—penyelesaian teknokratis. Perbedaan kepentingan dan pandangan
kedua kekuatan besar tersebut secara realistis sulit untuk dicarikan jalan
tengahnya oleh norma ‘non-intervensi’ tersebut. Hal ini berujung kepada
inefektivitas penyelesaian konflik oleh ‘regionalisme maritim’ di kawasan.
Keadaan ini tentu akan mengurangi legitimasi Indonesia sebagai sebuah
kekuatan maritim alternatif di kawasan, terutama dalam hal penyelesaian
konflik.

Kedua dan yang terakhir, peluang Indonesia untuk muncul sebagai sebuah
kekuatan maritim alternatif yang ‘damai’ diperbesar dengan kebijakan luar
negeri yang diambil selama ini yang sangat bersifat internasionalis-populis.
Berbeda dengan Tiongkok yang mulai mengambil kebijakan yang asertif
maupun Amerika Serikat yang mengutamakan kebijakan dengan nuansa
‘empire’, Indonesia lebih mengambil praktik-praktik politik luar negeri yang
lebih bersahabat melalui mekanisme multilateral serta diplomasi. Selain itu,
Indonesia juga relatif menjunjung tinggi hukum internasional yang
diperlihatkan pada isu Laut Cina Selatan.

8
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

Gambar 1: Klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan

Sumber: http://www.indonesia-digest.net/Photobank/asia/south_Cina-
sea.gif
Melalui gambar ini serta pendekatan realisme, seharusnya Indonesia juga ikut
muncul sebagai pihak yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan karena
batas-batas legal Indonesia sesuai hukum laut internasional dilanggar oleh
klaim sepihak dari Tiongkok. Akan tetapi, Indonesia lebih memilih untuk tidak
menjadi claimant state di konflik ini melainkan menjadi mediator—honest
broker—bagi pihak-pihak yang berkonflik (Parameswaran, 2015). Kondisi ini
menunjukkan bahwa Indonesia lebih mementingkan stabilitas dan keamanan
kawasan dibandingkan mengejar kepentingannya di Laut Cina Selatan. Praktis,
penulis melihat bahwa dengan karakteristik kebijakan luar negeri Indonesia
yang bersifat internasionalis-populis, Indonesia memiliki peluang untuk
muncul sebagai kekuatan alternatif yang kenaikan/kebangkitannya dipandang
tidak akan mengganggu stabilitas dan keamanan kawasan (whose rise is seen as
less assertive).

Meskipun demikian, kebijakan luar negeri yang demikian juga akan memiliki
dampak negatif di dalam hal maksimalisasi peluang, terutama peluang
ekonomi. Seperti yang telah diketahui, kebijakan luar negeri Indonesia dengan
nuansa ini lebih menekankan kepada minimalisasi konflik serta berusaha untuk
bersahabat dengan negara mana pun—di sekitar kawasan—dengan tujuan
memperkecil friksi politik. Dalam kasus Laut Cina Selatan misalnya, ambisi
Indonesia untuk menjadi honest broker di konflik ini tidak sejalan dengan logika
Westphalian model yang menjunjung tinggi konsep kedaulatan. Indonesia
dengan kebijakan internasionalis-populis-nya lebih memilih untuk
‘mengesampingkan’ kedaulatan wilayahnya—yang juga sudah diakui oleh
hukum internasional—demi merealisasikan kawasan Asia Tenggara—secara
lebih luas, Asia Pasifik—yang damai dan stabil. Meskipun secara ideal langkah
ini dinilai baik, akan tetapi secara rasional langkah Indonesia tersebut kurang
9
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

dapat diterima. Hal ini disebabkan karena Indonesia terkesan lebih


mengutamakan keuntungan-keuntungan non-material—political leverage dan
regional leadership—dibandingkan keuntungan dan peluang ekonomis yang bisa
dihasilkan dari wilayah yang disengketakan, terlebih wilayah tersebut diakui
oleh hukum laut internasional. Tentu hal tersebut ‘berbahaya’ bagi eksistensi
doktrin Poros Maritim Dunia milik Indonesia yang bervisi untuk menjadikan
Indonesia sebagai sebuah kekuatan maritim global.

Kesimpulan dan Rekomendasi


Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa kebangkitan
Tiongkok menjadi sebuah kekuatan regional sekaligus kembalinya Amerika
Serikat ke Asia Pasifik tidak boleh dipandang sebagai hambatan bagi Indonesia
untuk muncul sebagai sebuah kekuatan maritim di kawasan. Malah, kedua hal
tersebut harus dipandang positif bagi aktor-aktor politik Indonesia sebagai
peluang serta batu loncatan bagi Indonesia untuk menyongsong impian bangsa
menjadi sebuah poros maritim dunia karena perilaku serta tindak-tanduk
kedua negara besar tersebut di kawasan memperlihatkan kesan yang asertif
serta kurang bersahabat bagi negara-negara sekitar. Berangkat dari keadaan
tersebut, penulis melihat bahwa Indonesia seharusnya mampu menggunakan
keunggulan komparatifnya—kontribusi terhadap maritime regional order dan
kebijakan luar negeri yang internasionalis-populis—untuk naik sebagai sebuah
kekuatan alternatif yang menghadirkan solusi dan bukan masalah baru bagi
stabilitas kawasan. Namun, melihat prospek-prospek tantangan yang mungkin
muncul dari keunggulan komparatif tersebut, penulis merekomendasikan tiga
hal kepada pihak-pihak terkait agar Indonesia mampu memaksimalkan
peluang yang ada sehingga dapat muncul sebagai kekuatan maritim alternatif
di kawasan. Pertama, pemerintah melalui instrumen-instrumen multilateral
maupun regional yang sudah ada—ARF dan AMF—kembali menegaskan
posisinya sebagai aktor yang memiliki otoritas di dalam isu maritim kawasan.
Hal ini dapat dilakukan dengan memprioritaskan kembali sentralitas ASEAN
dan mekanismenya di dalam kebijakan luar negeri RI. Kedua, kebijakan-
kebijakan yang sifatnya ke luar—terutama ekonomi—sudah seharusnya
bersifat pragmatis yang mampu menghadirkan keuntungan maksimal, baik itu
yang sifatnya non-material maupun material, bagi Indonesia. Hal ini dapat
direalisasikan dengan cara melakukan pemetaan kepentingan dan kebutuhan
nasional melalui koordinasi lintas institusi—kementerian, kepresidenan, dan
legislatif—sebelum memutuskan langkah yang akan diambil selanjutnya di
tingkat regional maupun global. Terakhir, Indonesia harus lebih meningkatkan
perannya sebagai kekuatan maritim alternatif di kawasan dengan cara
mengikutsertakan kedua kekuatan besar—Tiongkok dan Amerika Serikat—di
dalam kerangka kerjasama maritim seperti kerjasama infrastruktur,
perdagangan, hingga militer.
 
 
 
 

10
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

DAFTAR PUSTAKA

Andrews, Kurt Campbell and Brian. "Explaining the US "Pivot" to Asia." Chatham
House. August 1, 2013.
http://www.chathamhouse.org/sites/files/chathamhouse/public/Research/Am
ericas/0813pp_pivottoasia.pdf (accessed June 29, 2015).
Anwar, Dewi Fortuna. Indonesia’s foreign relations: policy shaped by the ideal of ‘dynamic
equilibrium’. 2014. http://www.eastasiaforum.org/2014/02/04/indonesias-
foreign-relations-policy-shaped-by-the-ideal-of-dynamic-equilibrium/ (accessed
June 29, 2015).
Aryani, GNC. Di EAS, Jokowi beberkan lima pilar Poros Maritim Dunia. 2014.
http://www.antaranews.com/berita/464097/di-eas-jokowi-beberkan-lima-pilar-
poros-maritim-dunia (accessed June 29, 2015).
Asia One News. Founding fathers of Asean. 2011.
http://news.asiaone.com/News/Latest+News/Asia/Story/A1Story20110809-
293603.html (accessed June 29, 2015).
Barfield, Claude. The Trans-Pacific Partnership and America’s strategic role in Asia. 2014.
https://www.aei.org/publication/trans-pacific-partnership-americas-strategic-
role-asia/print/ (accessed June 29, 2015).
Bijian, Zheng. Cina's "Peaceful Rise" to Great-Power Status. 2005.
https://www.foreignaffairs.com/articles/asia/2005-09-01/Cinas-peaceful-rise-
great-power-status (accessed June 30, 2015).
Bradford, John F. "The Maritime Strategy of United States: Implication for Indo-Pacific
Lanes." Contemporary Southeast Asia 3 No. 2 (2011): 183-208.
Current World Population. 2015.
http://www.nationsonline.org/oneworld/world_population.htm (accessed June
29, 2015).
Dooley, Howard J. "The Great Leap Outward : Cina's Maritime Renaissance." Institute
for National Security Strategy 26 (2012): 53-76.
East Asia Forum. Indonesia Earning Respect through Leadership within ASEAN. 2015.
http://www.economywatch.com/features/Indonesia-Earning-Respect-through-
Leadership-within-ASEAN.06-22-15.html (accessed June 29, 2015).
Gardels, Nathan. Robert Kaplan : The center of military power in the world is moving to Asia.
March 27, 2014. http://www.csmonitor.com/Commentary/Global-
Viewpoint/2014/0327/Robert-Kaplan-The-center-of-military-power-in-the-world-
is-moving-to-Asia (accessed June 29, 2015).
ground, RI finds common ASEAN. The Jakarta Post. 2012.
http://www.thejakartapost.com/news/2012/07/23/ri-finds-common-asean-
ground-sea-dispute.html (accessed 2015).
Heydarian, Richard Javad. Face-Off: Cina vs. ASEAN in the South Cina Sea and Beyond.
2015a. http://nationalinterest.org/feature/face-Cina-vs-asean-the-south-Cina-sea-
beyond-12000 (accessed June 28, 2015).
—. Japan: The Philippines' New Best Friend? 2015b.
http://thediplomat.com/2015/06/japan-the-philippines-new-best-friend/
(accessed June 29, 2015).
11
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

Indonesia Point. Geography of Indonesia. http://www.indonesiapoint.com/geography-


of-indonesia.html (accessed June 29, 2015).
Jacobs, Andrew. “The New York Times.” 2015 йил 26-May.
http://www.nytimes.com/2015/05/27/world/asia/Cina-updating-military-
strategy-puts-focus-on-projecting-naval-power.html (accessed 2015 йил 27-June).
Kamjan, Chananthorn. South Cina Sea row tensions tighten . 2015.
www.bangkokpost.com/news/general/578147/south-Cina-sea-row-tensions-
tighten (accessed June 29, 2015).
Kate, Daniel Ten, and Nicole Gaouette. Asean Fails to Reach Accord on South Cina Sea
Disputes. 2012. http://www.bloomberg.com/news/articles/2012-07-12/asean-
fails-to-reach-accord-on-south-Cina-sea-disputes (accessed June 29, 2015).
KPU,. "Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan
Berkepribadian." KPU. 2014. http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-
JK.pdf (accessed 2015).
Lieberthal, Kenneth. The American Pivot to Asia. 2011.
http://foreignpolicy.com/2011/12/21/the-american-pivot-to-asia/ (accessed
June 29, 2015).
Linch, David J. South Cina Sea dispute: US touts military ties with Vietnam. 2015.
www.smh.com.au/world/south-Cina-sea-dispute-us-touts-military-ties-with-
vietnam-20150602-gheivi.html (accessed June 29, 2015).
Locatelli, Niccolo. Obama and Cina: 21st Century containment in three moves. 2011.
temi.repubblica.it/limes-heartland/obama-and-Cina-21st-century-containment-in-
three-moves/1888 (accessed June 29, 2015).
Marsetio, Dr. "Theories of Sea Power." In Sea Power Indonesia, 36. Jakarta: Universitas
Pertahanan, 2014.
Mizokami, Kyle. 3 Ways Cina and Japan Could Go to War. 2015.
http://nationalinterest.org/feature/3-ways-Cina-japan-could-go-war-13202
(accessed June 28, 2015).
Mogato, Manuel. Philippines steps up drills with U.S., Japan forces near South Cina Sea.
2015. http://www.reuters.com/article/2015/06/22/us-southCinasea-philippines-
drills-idUSKBN0P206220150622 (accessed June 29, 2015).
O'Hanlon, Michael E., and James Steinberg. Going Beyond "Air-Sea Battle" in Asia and the
Pacific. 2012. http://www.brookings.edu/research/opinions/2012/08/23-air-sea-
battle-ohanlon (accessed June 28, 2015).
Ordgard, Liselette. "Perception, Pragmatism, and Political Will : Maritime Disputes
and Balance of Power in The Asia-Pacific." Asian Perspective 26 No. 4 (2002): 113-
143.
Orendain, Simone. Philippine, US Open Joint Military Exercises Amid Cina Concerns. 2015.
www.voanews.com/content/phillippine-us-open-joint-military-exercises-amid-
Cina-concerns/2726553.html (accessed June 29, 2015).
Parameswaran, Prashanth. No, Indonesia's South Cina Sea Approach Has Not Changed.
March 26, 2015. http://thediplomat.com/2015/03/no-indonesias-south-Cina-sea-
approach-has-not-changed/ (accessed June 30, 2015).

12
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

Perlez, Jane. “The New York Times.” 2013 йил 18-January.


http://www.nytimes.com/2013/01/19/world/asia/Cina-japan-island-dispute-
escalates-to-air.html?ref=asia (accessed 2015 йил 27-June).
Pos Kota News. Informasi Geospasial Dukung Pembangunan Maritim. 2015.
http://poskotanews.com/2015/06/18/informasi-geospasial-dukung-
pembangunan-maritim/ (accessed June 29, 2015).
Rajagopalan, Megha, and Sui Lee Wee. Cina to raise defense budget 10.1 percent this year
in high-tech drive. March 5, 2015. http://www.reuters.com/article/2015/03/05/us-
Cina-parliament-defence-idUSKBN0M100Z20150305 (accessed June 28, 2015).
Rosenberg, Matthew. Cina Deployed Artillery on Disputed Island, U.S. Says. 2015.
http://www.nytimes.com/2015/05/30/world/asia/chinese-artillery-spotted-on-
spratly-island.html (accessed June 28, 2015).
Ross, Robert S. "Cina's Naval Nationalism: Sources, Prospects, and the U. S. Response."
International Security 34 (2009): 46-81.
Schiavenza, Matt. What Exactly Does It Mean That the U.S. Is Pivoting to Asia? 2013.
http://www.theatlantic.com/Cina/archive/2013/04/what-exactly-does-it-mean-
that-the-us-is-pivoting-to-asia/274936/ (accessed June 29, 2015).
Schmitt, Garry. Why the suddenly aggressive behavior by Cina? January 10, 2014.
http://articles.latimes.com/2014/jan/10/opinion/la-oe-schmitt-Cina-
belligerence-20140110 (accessed June 27, 2015).
Seno, Haryo Adjie Nogo. Modernisasi Kekuatan Laut Negara ASEAN Akibat Situasi Laut
Cina Selatan. 2014. http://jurnalmaritim.com/2014/12/modernisasi-kekuatan-
laut-negara-asean-akibat-situasi-laut-Cina-selatan/ (accessed June 29, 2015).
Siegel, Matt. As Part of Pact, U.S. Marines Arrive in Australia, in Cina’s Strategic Backyard.
2012. www.nytimes.com/2012/04/05/world/asia/us-marines-arrive-darwin-
australia.html (accessed June 29, 2015).
Symonds, Peter. South Cina Sea disputes dominate ASEAN summit. 2015.
https://www.wsws.org/en/articles/2015/04/28/asea-a28.html (accessed June 29,
2015).
Tencer, Daniel. World's Economic Centre Of Gravity Shifting Back To Asia At Unbelievable
Speed: McKinsey Institute. 2012.
http://www.huffingtonpost.ca/2012/07/05/world-economic-center-of-
gravity_n_1651730.html (accessed June 29, 2015).
The Jakarta Post a,. RI finds common ASEAN ground. 2012.
http://www.thejakartapost.com/news/2012/07/23/ri-finds-common-asean-
ground-sea-dispute.html (accessed 2015).
The Jakarta Post b,. RI circulates draft code of conduct on South Cina Sea. 2012.
http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/29/ri-circulates-draft-code-
conduct-south-Cina-sea.html (accessed 2015).
Tiezzi, Shannon. Cina's 'Peaceful Rise' and the South Cina Sea. May 17, 2014.
http://thediplomat.com/2014/05/Cinas-peaceful-rise-and-the-south-Cina-sea/
(accessed June 30, 2015).
—. Chinese Admirals Spill the Beans on New Aircraft Carrier. March 12, 2015.
http://thediplomat.com/2015/03/chinese-admirals-spill-the-beans-on-new-
aircraft-carrier/ (accessed June 30, 2015).
13
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1

U.S. Navy. "U.S. Navy Program Guide 2015." 2015.


http://www.navy.mil/strategic/top-npg15.pdf (accessed June 29, 2015).
Want Cina Times. Want Cina Times. 2015. http://www.wantCinatimes.com/news-
subclass-cnt.aspx?id=20150621000148&cid=1101 (accessed 2015 йил 29-June).
Witular, Rendi A. Presenting maritime doctrine. 2014.
http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/14/presenting-maritime-
doctrine.html (accessed June 29, 2015).
World Bulletin. US to deploy advanced weapons near Cina. 2015.
http://www.worldbulletin.net/todays-news/160022/us-to-deploy-advanced-
weapons-near-Cina (accessed June 29, 2015).
Xuefeng, Sun. Obama’s Trip to Asia: A View From Cina. 2014.
www.carnegietsinghua.org/2014/04/22/obama-s-trip-to-asia-view-from-Cina
(accessed June 29, 2015).
Yoshino, Naoya. Obama to speak sternly about Cina's land reclamation. June 4, 2015.
asia.nikkei.com/politics-economy/international-relations/obama-to-speak-
sternly-about-Cina-s-land-reclamation (accessed June 29, 2015).

14
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2

Kebijakan Poros Maritim Global sebagai Upaya Strategis Perimbangan


Kekuatan (Balance of Power) Indonesia dalam Mencapai Stabilitas pada
Sistem Internasional
Siti Rizqi Ashfina Rahmaddina Siregar

Kebijakan Indonesia, yakni poros maritim global pada dasarnya


merupakan respon terhadap kondisi sistem internasional. Kajian ini akan
berfokus pada analisis kebijakan poros maritim global yang dipandang sebagai
upaya Indonesia untuk melakukan perimbangan kekuatan (balance of power)
dalam rangka mencapai stabilitas pada sistem internasional yang anarki. Kajian
ini akan terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama membahas latar
belakang munculnya kebijakan ini dengan mengaitkannya pada asumsi-asumsi
terhadap sistem internasional dan membahas ancaman yang ada pada sistem
internasional dan mengancam Indonesia. Pada bagian kedua, kajian ini
memaparkan sektor maritim Indonesia yang potensial sebagai elemen power
yang dapat mencapai balance of power dan strategis untuk suatu kebijakan. Pada
bagian ketiga, kajian ini akan membahas implikasi kebijakan poros maritim
terhadap stabilitas sistem internasional dan bagaimana Indonesia dapat
mengimbangi negara-negara yang memiliki power lebih besar dan tantangan
yang harus dihadapi oleh Indonesia untuk memperkuat implementasi
kebijakan ini. Pada bagian keempat, terdapat kesimpulan bahwa kebijakan
poros maritim global merupakan upaya yang strategis untuk perimbangan
kekuatan dan mencapai stabilitas pada sistem internasional.
Pada dasarnya, kebijakan poros maritim global merupakan suatu respon
Indonesia terhadap kondisi pada sistem internasional. Menurut pandangan
kaum realis, negara-negara pada sistem internasional pada dasarnya memiliki
tujuan yang sama, yakni survival dengan meningkatkan power yang dimilikinya.
Mearsheimer memandang terdapat lima asumsi mengenai sistem internasional
yang mendasari perilaku negara-negara tersebut. Asumsi pertama adalah
sistem internasional bersifat anarki. Kaum realis memandang bahwa pada
sistem internasional tidak adanya central authority untuk mengatur negara-
negara yang independen dan menciptakan suatu tatanan (order). Asumsi kedua
adalah negara-negara great power memiliki kapasitas militer yang offensive yang
dapat melemahkan atau menghancurkan negara-negara di sekitarnya. Hal ini
yang kemudian membuat negara-negara di sekitar negara great power
memandang pentingnya meningkatkan power agar tidak terancam oleh
keberadaan negara great power tersebut (Art dan Jervis 2013, 50-51).
Asumsi ketiga adalah adanya perbedaan kepentingan yang dimiliki oleh
setiap negara. Perbedaan kepentingan membuat suatu negara dapat merasa
terancam oleh kepentingan negara lainnya. Hal ini disebabkan adanya
kemungkinan kepentingan negara lain memiliki potensi yang offensive kepada
negara tersebut. Asumsi yang keempat adalah tujuan negara-negara great
power untuk bertahan pada sistem internasional. Negara-negara great power
akan bertahan pada sistem internasional dengan mendominasi negara-negara
lain di sekitarnya. Asumsi terakhir terletak pada pandangan bahwa negara-
negara great power merupakan aktor yang rasional. Rasionalitas dipandang
hanya dimiliki oleh negara-negara tersebut didasarkan oleh kesadarannya
15
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2

terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya dan pemahamannya terhadap


pengambilan keputusan yang tepat untuk mengambil suatu tindakan (Art dan
Jervis 2013, 50-51).
Dari lima asumsi mengenai sistem internasional tersebut, dapat terlihat
bahwa Indonesia berada pada sistem yang terdiri dari negara-negara yang
terus meningkatkan power-nya. Dalam hal ini, ancaman terbesar yang dihadapi
oleh Indonesia adalah ketika terdapat negara yang berusaha meningkatkan
power-nya dengan memasuki kedaulatan Indonesia. Konflik Laut Cina Selatan
merupakan salah satu contoh dari fenomena hubungan internasional yang
menunjukkan bagaimana setiap negara berusaha untuk mempertahankan dan
mendapatkan power untuk bertahan pada sistem internasional. Konflik Laut
Cina Selatan merupakan konflik yang melibatkan beberapa claimant states,
yakni Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Tiongkok.
Dalam konflik ini, Tiongkok berusaha mempertahankan wilayah Laut Cina
Selatan tersebut dengan menggunakan power yang dimiliki untuk perlawanan
terhadap claim states yang lain (Schwartz 2014, 1-2).
Melihat situasi tersebut, kebijakan poros maritim global merupakan upaya
yang strategis karena melihat potensi maritime power yang dimiliki oleh
Indonesia. Maritime power merupakan konsep yang lebih luas dari naval power
atau sea power. Naval power hanya fokus pada elemen-elemen militer di wilayah
lautan, seperti kapal perang dan tentara angkatan laut. Di sisi lain, sea power
memiliki fokus pada naval forces dan aset-aset non-militer yang berada di
wilayah perairan laut seperti kapal dagang dan kapal penangkap ikan.
Dibandingkan dengan kedua konsep tersebut, maritime power mencakup kedua
hal tersebut dan aset-aset lain serta kapabilitas yang mempengaruhi
kemampuan suatu negara untuk memaksimalkan potensi laut yang dimilikinya
(Speller, 2005).
Selain itu, jika melihat dari asumsi Mearsheimer terhadap sistem
internasional, tidak adanya central authority membuat Tiongkok dapat
melakukan suatu tindakan yang hanya berdasarkan pada kepentingan nasional
negaranya. Tidak adanya central authority juga berarti tidak adanya batasan
bagi setiap negara untuk meningkatkan power negaranya selama negara
tersebut memiliki kapabilitas dan kapasitas. Kapabilitas militer Tiongkok juga
menjelaskan asumsi kedua, yakni Tiongkok sebagai negara yang dipandang
memiliki power yang besar dapat melemahkan negara-negara di sekitarnya.
Realita yang ada pada asumsi ketiga terlihat dari bagaimana Tiongkok sebagai
negara great power mendominasi negara-negara lain di sekitarnya seperti
menempatkan pasukan militer lebih dahulu untuk mengantisipasi claimant
states. Asumsi kelima mengenai sistem internasional juga terlihat dari
bagaimana Tiongkok dapat mengetahui situasi yang terjadi pada konflik Laut
Cina Selatan dan secara rasional dapat mengambil tindakan yang menurutnya
tepat untuk dilakukan.
Konflik yang memiliki keterlibatan dengan Tiongkok menjadi suatu
ancaman bagi Indonesia karena terdapat wilayah kedaulatan Indonesia yang
termasuk ke dalam wilayah Laut Cina Selatan, yakni Pulau Natuna. Pulau
Natuna merupakan pulau yang terletak di bagian wilayah utara Laut Cina
Selatan dan memiliki potensi sebagai pulau yang paling tidak berdaya pada
16
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2

wilayah konflik tersebut. Ketidakberdayaan Pulau Natuna disebabkan oleh


kurangnya monitor dan kontrol terhadap pulau tersebut (Supriyanto 2015).
Ketidakberdayaan Indonesia dalam memberikan pengawasan terhadap Pulau
Natuna merupakan celah kelemahan Indonesia yang dapat direspon langsung
oleh Tiongkok yang sedang melakukan ekspansi maritim secara signifikan dan
memiliki power yang lebih kuat jika dibandingkan dengan Indonesia (Kapila
2015).
Keadaan sistem internasional yang demikian menjadi suatu tantangan bagi
bangsa Indonesia untuk mengimbangi power yang dimiliki oleh negara-negara
yang dapat mengancam kedaulatan Indonesia tersebut. Melihat ancaman yang
dekat seperti konflik Laut Cina Selatan, Indonesia harus dapat membuat
kebijakan yang mengimbangi power dari claimant states melalui sektor maritim
yang strategis. Hal ini disebabkan, jika melihat apa yang telah dilakukan oleh
Tiongkok, Tiongkok merupakan claimant state yang melakukan ekspansi
maritim secara signifikan yang didukung oleh kebijakan maritim yang
strategis, yakni mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber daya alam secara
rasional dan aktif mengembangkan minyak dan gas laut, transportasi maritim,
marine fishing, dan industri pariwisata daerah pesisir (Takeda 2014). Selain itu,
Tiongkok juga didukung oleh instrumen power yang dapat meningkatkan power
Tiongkok dengan pesat, yakni dengan adanya perusahaan-perusahaan
container-shipping Tiongkok seperti China Ocean Shipping (Group) Corporation
(COSCO) dan China Shipping Container Line LTD (CSCL) (Cheng 2011).
Selain itu, ancaman kedaulatan yang dihadapi oleh Indonesia adalah
banyaknya kejahatan illegal fishing yang sering dilakukan oleh kapal-kapal
asing. Illegal fishing yang mengancam kedaulatan Indonesia ini diperkuat
dengan adanya data yang berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan yang
menunjukkan bahwa potensi pendapatan sektor perikanan laut Indonesia jika
tidak ada illegal fishing yang terjadi dapat mencai Rp365 triliun per tahun. Hal
ini menyebabkan ratusan devisa Indonesia hilang setiap tahun (Badan
Informasi Geospasial). Melihat dua ancaman utama yang dihadapi oleh
Indonesia, kebijakan poros maritim global yang fokus pada sektor maritim
merupakan kebijakan yang efektif dan dapat mendukung Indonesia untuk
mengatasi masalah-masalah maritim dan mencegah adanya ancaman lain yang
berpotensi mengancam eksistensi Indonesia. Perwujudan dari kebijakan ini
adalah melalui poros maritim dunia sebagai bentuk perimbangannya sebagai
upaya yang strategis.
Berpotensinya sektor maritim Indonesia sebagai upaya strategis mencapai
balance of power didasarkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah
mempertimbangkan letak geografis Indonesia yang strategis sebagai pusat
lintas maritim dan perdagangan dunia. Indonesia merupakan negara
kepulauan atau archipelago country yang secara geografis berada di antara dua
samudera besar, yakni Samudera Pasifik dan Hindia. Dari letak geografis
tersebut juga Indonesia memiliki posisi geostrategis yang penting bagi
keamanan dan pertahanan pada tingkat nasional, regional, dan global
(Indonesia’s Defense White Paper 2003).
Letak geografis Indonesia yang menguntungkan juga dapat terlihat dari
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982 yang
17
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2

menetapkan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesian (ALKI) sebagai alur


pelayaran dan penerbangan oleh baik kapal maupun udara internasional.
Mempertimbangkan posisi strategis yang dimiliki oleh Indonesia, Indonesia
dapat meningkatkan power-nya karena memiliki peran penting dalam alur
pelayaran dan perdagangan dunia. Dari sektor perdagangan, ketiga ALKI
tersebut dilalui 45% dari nilai perdagangan dunia. Jika Indonesia dapat
memanfaatkannya dengan baik, dengan membangun pelabuhan-pelabuhan
transit bagi kapal-kapal niaga internasional yang melintas (Badan Informasi
Geospasial), Indonesia dapat mengimbangi power yang dimiliki negara-negara
great power karena peranan penting yang dimiliki oleh Indonesia dan
menciptakan stabilitas pada sistem internasional. Dalam hal ini, stabilitas
terwujud karena negara-negara great power tidak mendominasi dan
mengancam negara-negara lemah dan berkembang.
Selain itu, untuk mewujudkan tujuan sebagai poros maritim dunia dan
mencapai stabilitas serta balance of power pada sistem internasional, Indonesia
memiliki empat titik strategis yang dilalui 40% oleh kapal-kapal perdagangan
dunia, yakni Selat Malaka, Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar. Empat
titik strategis ini merupakan potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia untuk
mendukung Indonesia menjadi pusat industri perdagangan serta pelayaran
maritim dunia (2014). Faktor kedua adalah kekayaan sumber daya laut yang
dimiliki oleh Indonesia dan menjadi keunggulan bagi Indonesia di berbagai
segi dibandingkan dengan negara lain. Sumber daya laut Indonesia memiliki
potensi yang sangat besar baik sumber daya laut hayati maupun nonhayati.
Dari sudut pandang ekonomi, maritim Indonesia memiliki nilai estetika
tersendiri yang berpotensi untuk pariwisata bahari. Selain itu, melihat dari
empat titik strategis pada wilayah maritim Indonesia, Indonesia memiliki
keunggulan pada alur transportasi laut dan daerah, penangkapan ikan, dan
sumber daya laut lainnya yang prospektif (Perwita 2004).
Mengacu pada definisi balance of power yang dikemukakan oleh Nye Jr,
kebijakan poros maritim global Indonesia mengacu pada definisi yang kedua,
yakni balance of power as policy dan balance of power as distribution of power. Balance
of power sebagai suatu kebijakan perimbangan merupakan kebijakan yang
diambil oleh suatu negara sebagai bentuk tindakan pencegahan terhadap
negara lain yang mengembangkan atau meningkatkan power negaranya (Nye Jr
2007, 65-67). Mengacu pada kebijakan poros maritim global, dengan adanya
kebijakan ini, Indonesia dapat mengantisipasi negara-negara lain untuk
mengembangkan atau mengimbangi power agar eksistensi Indonesia sebagai
negara yang independen tidak terancam.
Ketika Indonesia mengimplementasikan kebijakan ini dan dapat
meningkatkan power secara signifikan, Indonesia mencapai balance of power
pada tipe kedua, yakni sebagai distribusi power. Definisi tersebut mengacu
pada situasi khusus, yakni power dapat terdistribusikan secara sama pada
setiap negara yang independen di dalam sistem internasional (Nye Jr, 64-65).
Kebijakan poros maritim global yang diimplementasikan oleh Indonesia
merupakan salah satu contoh bagaimana negara yang berkembang dapat
memaksimalkan potensi sektor tertentu yang dimilikinya dan mengimbangi
power negara-negara great power. Dengan adanya kebijakan ini, Indonesia akan
18
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2

menciptakan suatu konektivitas antarpulau di Indonesia, antarnegara anggota


ASEAN, dan negara-negara di luar ASEAN (Shekhar dan Liow 2014).
Tercapainya balance of power dan stabilitas pada sistem internasional juga
disebabkan oleh power yang dimiliki Indonesia dalam mengatur lintas maritim
dan perdagangan yang menghubungkan pulau-pulau dan negara-negara yang
melalui empat titik strategis, yakni empat selat Indonesia.
Akan tetapi, untuk mencapai dan mempertahankan balance of power melalui
kebijakan poros maritim global, terdapat tantangan yang harus dihadapi oleh
Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, adanya interstate conflict
seperti konflik Laut Cina Selatan yang merujuk pada tingkat kompetisi
antarnegara memperoleh sumber daya alam dan klaim terhadap batas-batas
wilayah nasional dan teritorial (Hi 2004), menjadi tantangan Indonesia untuk
melakukan penyesuaian dan penelitian kembali terhadap garis-garis pangkal
pantai Indonesia dan alur laut nusantara (archipelagic sealanes) (Kompas 2004).
Hal tersebut perlu dilakukan agar konflik antarnegara seperti Laut Cina Selatan
dapat dihindari dan tidak menganggu implementasi kebijakan poros maritim
global. Tantangan yang lain adalah pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
dengan negara-negara di dalam wilayah regional ASEAN agar klaim terhadap
ZEE antarnegara dapat diatasi dan tidak terjadi kembali di masa yang akan
mendatang. Hal ini disebabkan jika dikaitkan kembali dengan kebijakan poros
maritim global, klaim tumpang tindih terhadap ZEE yang terjadi antarnegara
dapat menjadi penghambat Indonesia dalam mencapai balance of power dan
stabilitas. Klaim terhadap ZEE dapat menimbulkan adanya friksi-friksi dan
sengketa internasional yang dapat mengarahkan pada terbentuknya konflik
internasional (Perwita 2004).
Selain itu, pengelolaan lingkungan laut seperti keamanan laut juga menjadi
tantangan Indonesia untuk mendukung kesuksesan implementasi kebijakan
poros maritim global agar menjadi upaya yang strategis untuk mencapai tujuan
utama, yakni balance of power. Pengelolaan lingkungan laut ini lebih dapat
difokuskan pada empat titik strategis Indonesia, seperti Selat Malaka, Selat
Makassar, Selat Sunda, dan Selat Lombok yang memiliki tingkat keramaian lalu
lintas laut cukup tinggi. Salah satu selat di Indonesia yang ramai lalu lintasnya
adalah Selat Malaka. Selat Malaka memiliki alur lalu lintas laut sepanjang 800
km dan biasanya dilalui oleh 200 kapal dengan berbagai tipe kapal per hari
(Kompas 2004). Keramaian alur lalu lintas Selat Malaka juga terlihat dari 72%
tanker minyak yang melewati selat ini untuk ke arah Samudera Pasifik dari
Samudera Hindia. Pengelolaan lingkungan laut ini dapat dilakukan dengan
menjaga lingkungan laut agar terhindari dari hal-hal yang dapat mencemari
laut seperti tumpahan minyak. Akan tetapi, pengelolaan lingkungan laut ini
juga memerlukan koordinasi dengan pihak militer seperti TNI Angkatan Laut
untuk menjaga keamanan laut dari ancaman-ancaman yang mungkin muncul
seperti perompakan laut dan penyelundupan berbagai jenis barang (Annual
Report on Piracy and Armed Robbery against Ships of the International
maritime Bureau 2001).
Mewujudkam signifikansi kebijakan poros maritim global agar
mencapai perimbangan kekuatan juga dapat dilakukan dengan lima agenda
pembangunan yang diusung oleh Presiden Joko Widodo. Pertama,
19
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2

membangun kembali budaya maritim yang ada di Indonesia. Diperlukan


kesadaran dari bangsa Indonesia bahwa Indonesia memiliki jumlah pulau
13.500 buah dan mencakup wilayah sepanjang 3.000 mil laut. Bangsa Indonesia
harus menyadari bahwa identitas, kemakmurannya, dan masa depannya
ditentukan oleh pengelolaan samudera. Kedua, menjaga dan mengelola sumber
daya laut, fokus pada kedaulatan pangan laut melalui pengembangan
perindustrian perikanan, dan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar
utama. Ketiga, memprioritaskan pengembangan infrastruktur dan konektivitas
maritim, melalui pembangunan tol laut, deep seaport, logistik, dan pariwisata
maritim. Paradigma pembangunan yang selama ini ada pun harus diganti
orientasinya pada maritim. Keempat, juga dibutuhkan diplomasi maritim.
Diplomasi maritim dibutuhkan agar menghilangkan sumber konflik laut,
seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah,
perompakan, dan pencemaran laut. Kelima, pertahanan maritim juga
diperlukan dan dalam hal ini merupakan pilar utama. Apa yang dilakukan oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang bekerja sama dengan
TNI AL untuk menenggelamkan kapal pencuri ikan merupakan salah satu
bentuk pertahanan yang perlu didukung dan dipertahankan agar tujuan
kebijakan poros maritim global untuk mencapai perimbangan kekuatan dapat
tercapai (Widyaiswara, 2015).
Dari paparan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya, kebijakan poros maritim global merupakan respon dari situasi sistem
internasional yang anarki. Pada kenyataannya, terdapat ancaman-ancaman
terhadap wilayah teritorial kedaulatan Indonesia seperti Konflik Laut Cina
Selatan yang secara tidak langsung menyinggung kedaulatan Indonesia karena
adanya Pulau Natuna di wilayah konflik tersebut dan juga banyaknya illegal
fishing yang terjadi dan melanggar wilayah kedaulatan Indonesia.
Mempertimbangkan hal tersebut, Indonesia perlu untuk meningkatkan power
agar dapat mengimbangi power negara-negara yang lebih kuat agar Indonesia
dapat melindungi kedaulatannya dan mencapai stabilitas. Salah satu caranya
adalah melalui kebijakan yang fokus pada sektor maritim. Hal ini berdasarkan
potensi yang dimiliki oleh sektor tersebut jika dilihat dari faktor gegrafis dan
sumber daya laut yang dimiliki Indonesia.
Dengan memaksimalkan dan memanfaatkan potensi maritimnya, kebijakan
poros maritim global merupakan upaya yang strategis untuk mencapai balance
of power karena Indonesia memiliki power pada maritim seperti mengatur alur
lalu lintas laut dan dapat mengimbangi power negara lain. Jika mengacu pada
tiga tipe balance of power, kebijakan ini dapat mencapai dua tipe balance of power,
yakni balance of power as policy dan balance of power as distribution of power.
Meskipun sektor maritim sangat potensial dan kebijakan ini strategis, masih
terdapat tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia agar kebijakan poros
maritim global dapat diimplementasikan dengan baik seperti tantangan dalam
menyesuaikan dan meneliti kembali garis-garis pangkal pantai Indonesia agar
terhindar dari konflik sengketa wilayah dengan negara lain, pengaturan ZEE
dengan negara lain dalam cakupan wilayah regional, pengelolaan lingkungan
laut seperti keamanan lalu lintas laut yang membutuhkan kerja sama dengan
pihak militer, dan melakukan lima agenda pembangunan.
20
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2

DAFTAR PUSTAKA

“Memiliki Empat Titik Strategis, Indonesia Mampu Menjadi Poros Maritim Dunia.”
Institut Teknologi Bandung, 1 November 2014. Diakses pada tanggal 12 Juli 2015,
http://www.itb.ac.id/news/4550.xhtml.
“Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang Maju dan Mandiri.” Badan
Informasi Geospasial. Diakses pada tanggal 12 Juli 2015,
http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/mewujudkan-indonesia-
sebagai-poro s-maritim-dunia-yang-maju-dan-mandiri.
2004. “Selat Malaka dan Tanggung Jawab Pengamanannya,” Tajuk Rencana KOMPAS,
24 Juni.
Annual Report on Piracy and Armed Robbery against Ships of the International
maritime Bureau. 2001.
Art, Robert J. dan Robert Jervis. 2013. International Politics: Enduring Concepts and
Contemporary Issues. New York: Prentice Hall.
Cheng, Dean. “Sea Power and the Chinese State: China’s Maritime Ambitions.” The
Heritage Foundation, 11 Juli 2011. Diakses pada tanggal 11 Juli 2015,
http://www.heritage.org/research/reports/2011/07/sea-power-and-the-
chinese-state-c hinas-maritime-ambitions.
Hi, Joshua. 2004. Shifting of Maritime Power and the Implications for Maritime Security in
East Asia. Working Papers No. 68. Singapore: Institute of Defence and Strategic
Studies.
Indonesia’s Defense White Paper. 2003. Jakarta: Department of Defense.
Jun’ichi, Takeda. 2014. “China’s Rise as a Maritime Power: Ocean Policy from Mao
Zedong to Xi Jinping.” Review of Island Studies.
Kapila, Subhash. “South China Sea and Indonesia’s New Maritime Strategy
Analyzed.” South Asian Analysis, 26 Februari 2015. Diakses pada tanggal 11
Juli 2015, http://www.southasiaanalysis.org/node/1721.
Nye, Joseph, Jr. 2007. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory
and History, 6th edition. New York: Harper Collins.
Perwita, Anak Agung Banyu. 2004. “Sekuritisasi Isu Maritim: Koordinasi Nasional dan
Kerangka Kerja Sama Maritim Regional di Asia Tenggara,” Global, vol. 7, no. 1,
hlm. 35-47.
Schwartz, Laura. 2014. “Competing Claims in the South China Sea: Potential Paths
Forward and Implication for the United States,” The National Bureau of
Asian Research Political and Security Affairs, hlm. 1-6.
Shekhar, Vibhanshu dan Joseph Chinyong Liow. “Indonesia as a Maritime Power:
Jokowi’s Vision, Strategies, and Obstacles Ahead.” Brookings, November
2014. Diakses pada tanggal 12 Juli 2015,
http://www.brookings.edu/research/articles/2014/indonesia-maritime-liow-
shekhar.
Speller, Ian. The Royal Navy and Maritime Power in the Twentieth Century. London: Frank
Cass, 2005.
Supriyanto, Ristian Atriandi. “Red Alert: The South China Sea’s New Danger Zone.”
The National Interest, 7 Maret 2015. Diakses pada tanggal 11 Juli 2015,
http://nationalinterest.org/feature/red-alert-the-south-china-seas-new-danger-
zone-12 373.
Widyaiswara, G. T. Suroso. “Poros Maritim dan Perkembangan Perekonomian
Indonesia.” Badan Pendidikan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan, 13
Februari 2015. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2015,

21
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-
umum/20555-poros-maritim-dan-perkembangan-perekonomian-indonesia.

22
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3

Usaha Indonesia untuk Menjadi Hegemon di Laut ASEAN


Gayuh Kurnia Aji

Pendahuluan
Keamanan maritim adalah salah satu topik yang sering dikaji dalam
dunia hubungan internasional. Kebijakan maritim, peraturan kelautan dan
keamanan internasional merupakan isu-isu penting yang berkaitan dengan
keamanan maritim. Keamanan maritim merupakan topik yang menyita
perhatian dunia internasional dalam kaitannya dengan tantangan maritim yang
semakin meningkat tiap tahunnya maupun bentuk dukungan terhadap
hubungan kerjasama maritim antar regional. Diskusi tentang keamanan
maritim umumnya membahas tentang ancaman atau masalah yang mungkin
muncul dalam wilayah maritim. Salah satu ancaman atau permasalahan yang
juga sesuai dengan peraturan yang dibu.at oleh Sekretaris Jendral PBB pada
laporan tahunan 2008, Oceans and the Law of the Sea, ancaman keamanan
maritim mencakup tujuh hal: (1) Pembajakan dan perampokan bersenjata, (2)
aksi terorisme, (3) perdagangan gelap senjata dan senjata pemusnah massal,
pembajakan, (4) perdagangan gelap narkotika, (5) perdagangan atau
penyelundupan manusia, (6) penangkapan ikan secara ilegal, (7) sengaja dan
melawan hukum merusak lingkungan laut (United Nations, 2008). Namun
keamanan maritim tidak terbatas dari topik-topik yang disebutkan diatas,
kajian keamanan maritim memiliki topik yang lebih luas dibanding hal-hal
tersebut (Bueger, 2014).
Sebuah wacana yang diperdebatkan belakangan ini tentang keamanan
maritim membahas pentingnya pengaruh kekuatan angkatan laut dan proyeksi
kekuatan maritim sebuah negara sehingga terciptalah suatu konsep yang
disebut sea power. Berdasarkan pemahaman tradisionalis keamanan nasional,
sea power berfungsi untuk melindungi kedaulatan negara. Sea power merupakan
konsep dimanana peran angkatan laut dalam mengelaborasikan strategi sesuai
dengan kondisi keamanan. Dalam kondisi keamanan yang kondusif fungsi
kapal perang bertujuan untuk mengamankan wilayah negara dengan tujuan
memberikan jaminan keamanan agar kegiatan perdagangan dapat berjalan
dengan baik sehingga dapat berperan dalam kegiatan ekonomi negara
tersebut, selain itu fungsi lainnya adalah memberikan pengawasan untuk
mengantisipasi penyusup yang masuk tanpa izin ke wilayah tersebut.
Angkatan laut merupakan aktor utama dalam keamanan maritim, selain itu
konsep sea power membahas sejauh mana suatu negara bertindak dalam
pengoperasian angkatan lautnya diluar batas wilayah teritorial dan masuk
dalam wilayah perairan internasional (Bueger, 2014).
Marine safety juga merupakan konsep yang tak kalah vital jika
dibandingkan dengan konsep sea power, Marine safety bisa dijadikan tolak ukur

23
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3

keseriusan suatu negara dalam pengoperasian hal penggunaan alat perangnya.


Dalam marine safety terdapat regulasi tentang tata cara bagaimana angkatan
laut mengelola instalasi maritim yang terdiri dari: kapal perang, persenjataan,
dan sumber daya manusia, sehingga semua instrumen tersebut dapat berjalan
secara profesional, baik dalam tata cara pengoperasiannya yang sesuai dengan
standar keselamatan. Marine safety berhubungan erat dengan International
Maritime Organization dan Maritime Safety Committee yang memiliki peranan
sebagai badan internasional yang bertanggungjawab atas pengembangan
regulasi dan peraturan tentang standar keselamatan (Bueger, 2014).
Keamanan maritim memiliki peran penting dalam perkembangan
ekonomi suatu kawasan. Mayoritas perdagangan dilakukan melalui laut dan
perikanan adalah industri yang signifikan, pelayaran global dan industri
perikanan telah berkembang menjadi industri multi-miliar dollar. Konsep blue
economy dan bluegrowth yang diusulkan pada KTT Rio+20 pada tahun 2012,
secara luas telah didukung oleh para negara peserta. Singkatnya Blue Growth
Strategy Uni Eropa bertujuan untuk menghubungkan dan mengintegrasikan
dimensi yang berbeda dari pembangunan ekonomi kelautan untuk
membangun strategi pengelolaan yang berkelanjutan. Konsep blue economy
terkait langsung dengan keamanan maritim karena dalam strategi pengelolaan
yang berkelanjutan tidak hanya membutuhkan penegakan dan pemantauan
hukum dan peraturan, tetapi dengan lingkungan maritim yang aman akan
memudahkan pengelolaan sumber daya kelautan (Bueger, 2014).
Berkaitan dengan janji Presiden Joko Widodo yang menyatakan akan
membuat Negara Indonesia menjadi kekuatan maritim pada kawasan Indo
Pacific, hal ini disampaikan pada debat pemilu pada tahun 2014. Jokowi
menjanjikan tiga hal, yaitu: (1) akan fokus meningkatkan keamanan maritim
Indonesia, (2) melakukan diplomasi untuk menjaga kawasan Indo Pacific, (3)
memproyeksikan angkatan laut Indonesia sebagai kekuatan disegani di
wilayah Asia. Jokowi juga menambahkan akan mentransformasikan Indonesia
menjadi global maritime axis (Tempo, July 23, 2014). Ketika diambil sumpah
sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh, menegaskan kembali
seruannya untuk mengubah Indonesia menjadi negara maritim daengan slogan
"Jalesveva Jayamahe" (di laut kita jaya) (The Jakarta Globe, Oct 20, 2014).
Pernyataan Jokowi tersebut sejalan dengan pendapat Barry Desker pada
konferensi IDSS (INSTITUTE OF DEFENCE AND STRATEGIC STUDIES) yang
berlangsung di Singapura pada tanggal 8-9 Maret, 2005. Barry Desker
menyatakan munculnya kekuatan baru seperti China dan India diperkirakan
akan mengubah lanskap strategis regional dengan cara yang mungkin
sedramatis seperti Jerman di abad ke-19 dan Amerika Serikat pada abad ke-20.
Kombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi, peningkatan kekuatan
militer, dan jumlah populasi penduduk yang besar membuat China dan India
24
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3

akan menjadi salah satu kekuatan yang disegani di wilayah Indo Pacific bahkan
dunia, Selain itu menurut Barry Desker negara lain yang memiliki potensi
serupa dan dapat menandingi hegemoni China dan India di wilayah Indo
Pacific adalah Indonesia. Menurutnya Indonesia adalah negara berkembang
yang memiliki potensi yang cukup besar seperti angka pertumbuhan ekonomi
yang baik, jumlah personel militer aktif dan jumlah penduduk yang besar. Mr
Barry Desker menambahkan dengan kehadirannya para kekuatan baru dan
peningkatan kekuatan maritim negara tersebut, maka munculah perhatian,
apakah para negara tersebut akan memanfaatkan kekuatan tersebut secara
kooperatif atau kompetitif, hal tersebut akan menjadi kunci penentu stabilitas
regional di Indo Pacific. (The Institute of Defense and Strategic Studies, 2005)
Indonesia memiliki wilayah laut yang paling luas di ASEAN, namun hal
ini tidak dimanfaatkan secara maksimal, jika kelebihan ini dimanfaatkan secara
maksimal, tentu akan sangat menguntungkan secara ekonomis. Namun karena
kekutan maritim Indonesia yang sangat lemah, hal ini hanya akan menjadi
khayalan belaka jika ingin menjadi hegemon di ASEAN. Jika dilihat dari sudut
pandang neo realis yang menekankan bahwa power adalah akumulasi dari
sumber-sumber militer dan kemampuan untuk menggunakan kekuatan untuk
menguasai negara lain dalam sistem. Yang penulis tekankan dalam pernyataan
tersebut, akumulasi dari sumber-sumber militer tidak digunakan untuk
menguasai negara lain, tetapi setidaknya dapat menguasai wilayah laut sendiri
secara absolut. Kondisi sistem yang anarkis menyebabkan negara disibukan
dengan relative power seperti keamanan (security) dan bertahan hidup
(survival), selain itu neo realis lebih menekankan dengan kepada kapabilitas
(power) negara daripada keinginan dan kepentingan negara karena berkenaan
dengan keamanan dan kemandirian. Indonesia merupakan negara besar tapi
kecil, masalah yang sering dialami negara kecil adalah security dilemma,
sehingga untuk mengatasi masalah tersebut negara kecil akan bergabung
dalam organisasi regional, contoh yang paling pas adalah ASEAN. Namun
tergabung dalam ASEAN tidak dapat mengatasi masalah security dilemma bagi
Indonesia. Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN seperti Malaysia,
Singapura, Filipina yang merupakan tetangga langsung dengan Indonesia
berlindung dibawah kekuasan USA, jika di ibaratkan Malaysia, Singapura,
Filipina seperti ikan remora yang selalu berlindung kepada ikan Hiu. Apakah
Indonesia harus melakukan hal yang sama? jawabannya tidak. USA
merupakan negara liberal kapitalis yang keji, USA bukanlah negara yang
menjunjung prinsip liberalisme yang humane. Dalam prinsip liberalisme yang
humane dimana guarantee of likelihood major power to protect minor power
dijunjung tinggi, tentu saja hal utopis seperti kalimat diatas tidak mungkin
terjadi. Sikap dan perilaku USA merupakan cerminan ideologi liberalisme yang
mengerikan yaitu untuk menguasai sumber daya alam, menanamkan false
25
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3

recognition, dan memberikan kesejahteraan semu. Sikap USA berbanding lurus


dengan salah satu asumsi utama neo liberal institutionalisme yaitu dalam
lingkungan kompetitif negara memaksimalkan perolehan absolut melalui
kerjasama. Contoh kasus yang paling sesuai adalah freeport dimana USA dan
Indonesia telah bekerja sama sejak 1967 dan Indonesia hanya mendapatkan
keuntungan sebesar 1-3,5% (Kompasiana, 4 nov 2010). Oleh karena itu
Indonesia perlu melakukan tindakan yang decisive untuk menandingi hegemoni
USA di wilayah ASEAN, salah satu bentuk balance of power adalah dengan
peningkatan kekuatan maritim.

Kekuatan Terbesar di Asia


Wilayah ASEAN merupakan perairan yang sangat strategis, perairan
tersebut meliputi laut China Selatan, Samudera Hindia, dan Selat Malaka.
Perairan tersebut memiliki sumber daya alam yang melimpah selain dengan
lokasinya yang strategis bagi perdagangan dunia. Menurut Komandan
(purnawirawan) Dr Vijay Sakhuja meyakini bahwa Samudera Hindia
merupakan kawasan maritim yang paling dinamis dan strategis dalam
kaitannya dengan perkembangan ekonomi kelautan saat ini (The Institute of
Defense and Strategic Studies, 2005).
Berdasarkan index GFP (Global Fire Power) China memiliki kekuatan
militer yang luar biasa yaitu peringkat 3 dari 126 negara dibawah AS dan
Rusia. China memiliki personel militer aktif sebanyak 2,333,000 dan personel
cadangan sebanyak 2,300,000 sedangkan jumlah penduduk yang layak untuk
wajib militer sebanyak 618,588,627 [1]. Saat ini berdasarkan data pada tahun
2015, total kekuatan angkatan laut China terdiri dari: Aircraft Carriers: 1,
Frigates: 47, Destroyers: 25, Corvettes: 23, Submarines: 67, Coastal Defense Craft: 11,
Mine Warfare: 6 [2] (Global Fire Power, 12 mar 2015)
Dalam upaya meningkatkan kekuatan maritim Indonesia di tengah
minimnya anggaran pertahanan, hendaknya Indonesia melakukan kerjasama
dalam bentuk aliansi dengan China. Jika dilihat dari tabel dibawah, menurut
prediksi pada tahun 2021 China mengalami peningkatan anggaran sebesar 64%
berbanding terbalik dengan USA yang mengalami penurunan anggaran
pertahanan sebesar 28%. Keuntungan bagi China apabila bekerjasama dengan
Indonesia tentunya dapat menjadikan Indonesia sebagai kepanjangan tangan
mereka di wilayah ASEAN. Dalam menandingi hegemoni USA di wilayah
ASEAN profil yang dimiliki Indonesia sangatlah tepat bagi China, karena
Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut yang paling luas dan
memiliki posisi yang sangat strategis. Diharapkan dengan adanya kerjasama
aliansi antara China dan Indonesia, akan berpengaruh positif bagi upaya
peningkatan infrastruktur kekuatan maritim Indonesia. Hubungan kerjasama
ini ibarat seperti tim sepakbola dimana klub besar bersedia meminjamkan
26
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3

pemainnya kepada klub yang lebih kecil. Tujuan yang dapat diperoleh China
yaitu selain dapat menguji teknologi maritimnya di Indonesia selain itu dapat
meningkatkan balance of power terhadap hegemoni USA di laut ASEAN.
Kekuatan maritim China dan. anggaran pertahanan china dapat dilihat di tabel
dibawah ini.

.
Sumber: IHS Jane 2012.

Tabel yang ada dibawah ini merupakan perbandingan kekuatan militer di


wilayah Asia.

Sumber: Global Fire Power 2015

Membentuk Aliansi Pertahanan Maritim Dengan China


Untuk mewujudkan ambisi menjadi hegemon ASEAN Indonesia sebagai
pemilik kekuatan militer terbesar di ASEAN hendaknya mengambil langkah
berani dengan sebagai negara terdepan yang memimpin negara-negara ASEAN
lainnya. Dengan membentuk aliansi dengan China, sehingga diharapkan
dengan adanya bentuk kerja sama seperti ini dapat menciptakan simbiosis yang
sesuai ambisi dari China yang ingin memegang kendali di wilayah perairan
Indo-Pacific guna menahan hegemoni USA di ASEAN. Langkah awal yang
dapat dilakukan guna meningkatkan kerjasama dalam peningkatan keamanan
maritim adalah dengan rutin melakukan latihan militer di wilayah perairan
Laut China Selatan dan Samudera Hindia. Selain dapat meningkatkan skill

27
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3

dalam pertempuran maritim, latihan maritime juga dapat dijadikan ajang unjuk
kekuatan, tindakan ini merupakan aksi preventif sehingga USA akan lebih
berhati-hati sebelum bertindak lebih jauh.
Aliansi dengan China sangatlah diperlukan, guna mengamankan wilayah
perairan ASEAN yang sangat strategis dan memiliki sumber daya alam yang
melimpah, berikut terdapat lima faktor kunci yang memegang peranan dalam
peningkatan hubungan baik dan kerjasama dengan China.

Meredakan Isu Masalah Kedaulatan


Masalah kedaulatan wilayah adalah masalah yang seringkali menjadi
awal perselisihan antar Negara di laut ASEAN. Isu seperti ini dapat berakibat
hilangnya kesempatan untuk bekerja sama. Sikap Indonesia yang cenderung
bersikap lunak dengan memberikan ruang manuver bagi China yaitu latihan
militer membiarkan kapal perang China melewati perairan Indonesia (Jakarta
Greater, 15 feb 2014) merupakan sinyal positif dari Indonesia yang terbuka
dengan adanya kerjasama militer dengan China. Sikap Pemimpin Negara
ASEAN cenderung untuk meninggikan harga diri bangsa untuk meraih simpati
rakyat dengan mengambil isu bahwa kedaulatan adalah harga mutlak,
sehingga kadang membuat masalah sepele menjadi besar, haruslah dihindari.
Hal seperti inilah yang dapat menjadi awal perselisihan dengan China.
Pemimpin hendaknya lebih tenang menanggapi insiden kecil yang dilakukan
oleh China dan tidak terlalu menanggapi secara berlebihan karena hal tersebut
bisa menimbulkan konflik dengan China, sehingga kerja sama yang ditujukan
untuk menghadapi masalah yang lebih besar di wilayah perairan ASEAN tidak
dapat terwujud. (Bradford, 2005)

Kepentingan Kekuatan Antar Regional


Berdasarkan sejarah kerjasama maritime di wilyah ASEAN tidak dapat
berjalan efektif karena adanya masalah persaingan antar wilayah. Sejak masa
perang dingin hingga perang dingin usai, negara superpower di Dunia
menjadikan negara-negara di ASEAN sebagai target untuk menebar paham
dan doktrin. Hal ini berakibat negara di ASEAN memiliki paham yang
berbeda-beda sehingga kerjasama sulit terjadi (Bradford, 2005). Hal inilah yang
menyebabkan arms race di wilayah ASEAN tidak dapat dihindari, Indonesia
haruslah menjadi negara terdepan dari segi militer di ASEAN.

Peningkatan Pemerataan Norma Kooperatif


Berkembanganya kekuatan maritim China dalam persaingan global,
berdampak dengan meningkatnya kepercaryaan diri negara China untuk
menandingi hegemoni USA, bekerja sama dalam pembangunan kerjasama
dalam bidang keamanan maritime, sehingga akan terbentuklah norma-norma
28
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3

kesepakatan kerjasama dengan China. Hal ini akan berguna karena akan
memudahkan bentuk kerjasama dalam ruang lingkup keamanan maritime
untuk di masa yang akan datang. Hubungan norma kooperatif berdampak
positif dalam hal mengurangi transaction cost, dapat meningkatkan hubungan
kekeluargaan antar bangsa, peningkatan kepercayaan, dan menciptakan
kebiasaan untuk saling berkonsultasi. (Bradford, 2005)

Kesimpulan
Pertanyaan besar akan muncul apakah dengan adanya aliansi ini akan
mencederai ideologi politik Indonesia yang bebas aktif? jawabannya iya.
Tulisan ini juga merupakan salah satu bentuk critical theory terhadap politik
bebas aktif (critical against prevailing order). Politik bebas aktif hanya membuat
Indonesia dalam zona abu-abu. Politik bebas aktif hanya dapat berjalan secara
maksimal apabila Indonesia adalah leviathan. Pada kenyataannya Indonesia
hanyalah negara kecil yang sering ditindas, sehingga perlu berteman dengan
negara yang kuat agar dapat melawan si penindas atau setidaknya membuat si
penindas segan. Dalam konsep the use of force, penulis menekankan pengunaan
deterrence dalam keamanan maritim Indonesia. Deterrence digunakan secara
damai, tujuan dari deterrence yaitu mencegah musuh melakukan inisiatif
penyerangan. Dari sudut pandang defensive realist, para pemimpin menyadari
besarnya konsekuensi perang, meskipun demikian peningkatan kapabilitas
militer maritim Indonesia perlu ditingkatkan meskipun akan berimbas kepada
meningkatnya arms race di wilayah ASEAN. Dalam sudut pandang realism
dari Game Theory yang berkaitan dengan arms race, equilibrium dimana negara-
negara lain cooperate untuk menghentikan perlombaan senjata memang sulit
terjadi. Indonesia memang harus meningkatkan kekuatan maritim secara
massive, dengan cara membuka aliansi dengan China. Apabila hal itu dapat
terwujud dan asumsi-asumsi yang penulis jabarkan dapat terealisasi,
diharapkan Indonesia dapat menjadi hegemon di ASEAN atau setidaknya
dapat menjaga stabilitas perairannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
"Biggest Defense Budget Prediction for 2021", IHS Janes International Defence
Reviewhttp://www.janes.com/article/search?query=Defense+Budget+2
012
Bradford, L. J. (2005). The Growing Prospect for Maritime Security in Southeast
Asia. Arlington.
Bueger, C. (2014). What is maritime security? Marine policy, 159–164.
"Countries Listing", Global Fire Power. Diakses tanggal 12 maret 2015
(http://www.globalfirepower.com/countries-listing)
"Data dan Fakta Kontrak Freeport", Kompasiana 4 nov 2010
http://www.kompasiana.com/sondi325/data-dan-fakta-kontrak
freeport_54ff1512a333118b2850feca

29
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3

The Institute of Defense and Strategic Studies (2005). Maritime Balance of Powerin
the Asia-Pacific. Singapore.
International Institute of Strategic Studies. (2014). Chapter Six: Asia. The
Military Balance, 222-286.
"Jokowi Asks for Japan’s Help on Infrastructure Projects,” The Jakarta Globe.
http://www.thejakartaglobe.com/business/jokowi-asks-japans-help-
infrastructure projects/
"Kapal Perang China Lintasi Indonesia", The Jakarta Greater.
http://jakartagreater.com/kapal-perang-china-lintasi-indonesia
"Making waves, China tries to strengthen its hand in a dangerous dispute", The
Economist. http://www.economist.com/topics/south-china-sea
United Nations. (2008). Oceans and the law of the sea. New York.

30
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

Negosiasi Tiongkok-Thailand atas Tanah Genting Kra: Implikasinya


terhadap Doktrin Poros Maritim Dunia Indonesia dan Sentralitas ASEAN
Ali Wahyu Imanullah

Pendahuluan
Tahun 2014 merupakan tahun yang dinilai oleh para pengamat politik Asia
Tenggara, terutama Indonesia, sebagai sebuah tahun bersejarah bagi politik
Indonesia secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena presiden terpilih, Joko
‘Jokowi’ Widodo, beserta jajaran menteri Kabinet Kerja membawa kembali
Indonesia kepada identitas historisnya yaitu sebuah bangsa maritim melalui
Doktrin Poros Maritim Dunia. Pengejawantahan doktrin dan identitas tersebut
di dalam aktivitas politik Indonesia—terutama aktivitas politik luar negeri—
tergambar dari adopsi lima pilar di dalam poros maritim dunia yang
diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo pada forum EAS (East Asian Summit)
2014 antara lain: [1] restorasi kebudayaan maritim; [2] manajemen sumber daya
maritim; [3] pembangunan konektivitas dan infrastruktur maritim; [4]
meningkatkan upaya diplomasi maritim dan; [5] pembangunan kekuatan
maritim (Widodo, 2014). Kelima pilar tersebut sedikit banyak telah diterapkan
di dalam beberapa kebijakan politik yang sifatnya ke dalam—internal—seperti
distribusi otoritas maritim kepada beberapa stakeholder pemerintah, dimulai
dari pembentukkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penguatan
fungsi Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), serta
intensifikasi koordinasi antar stakeholder maupun kebijakan politik yang
sifatnya ke luar seperti aktivitas diplomasi maritim serta peningkatan
perdagangan sektor maritim yang melibatkan Kementerian Luar Negeri
(Kemlu), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Republik Indonesia.
Berfokus kepada doktrin maritim Presiden Joko Widodo yang bertujuan
untuk menjadikan Indonesia sebuah kekuatan maritim dunia dalam
konfigurasi politik global saat ini, penulis melihat bahwa kesuksesan ekonomi
yang berorientasi maritim merupakan hal yang harus diraih sesegera mungkin
oleh Indonesia di samping mengembangkan kekuatan politik-militernya.
Berpijak kepada hal tersebut, pengadaan konektivitas serta infrastruktur
maritim menjadi prasyarat (preconditon) tercapainya kesuksesan ekonomi yang
berorientasi kepada maritim tersebut. Mengacu kepada isu konektivitas dan
infrastruktur tersebut, sebenarnya Tiongkok sudah mengambil inisiatif jauh
sebelum Indonesia muncul dengan doktrin maritim tersebut melalui Jalur Sutra
Maritim (Maritime Silk Road). Ide mengenai jalur sutra tersebut direalisasikan
oleh Tiongkok dengan pembentukkan Bank Infrastruktur dan Investasi Asia
(Asian Infrastructure and Investment Bank/AIIB). Terkait AIIB, kerjasama
infrastruktur perdana Tiongkok dalam rangka merealisasikan Jalur Sutra
31
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

Maritim dapat dilihat di dalam kesepakatan Tiongkok dengan Pakistan atas


penyetujuan paket dana infrastruktur Tiongkok kepada Pakistan sebesar $28
milyar (The New York Times, 2015). Di kawasan Asia Tenggara, Tiongkok
secara bilateral sudah bernegosiasi dengan Thailand untuk menjalankan
kembali proyek kanal yang sudah cukup lama terbengkalai di Tanah Genting
Kra (Chan, 2015). Kanal ini diproyeksikan sebagai jalur alternatif bagi
pelayaran internasional yang berasal dari Samudera Pasifik dengan tujuan
Samudera Hindia sehingga tidak perlu melewati Selat Malaka.
Inisiatif yang diambil oleh Tiongkok tersebut, terutama dalam hal Tanah
Genting Kra, merefleksikan pragmatisme kebijakan luar negeri Tiongkok di
dalam isu maritim dan perdagangan, baik itu di kawasan maupun di tingkat
global. Hal ini sedikit banyak memengaruhi visi Indonesia untuk menjadi
sebuah kekuatan maritim global di bawah pemerintahan Presiden Joko
Widodo.

Tanah Genting Kra sebagai Jalur Alternatif Pelayaran Pasifik-Hindia:


Sebuah Tinjauan Historis
Jauh sebelum negosiasi antara Thailand dengan Tiongkok terkait Tanah
Genting Kra, ide mengenai pembentukkan jalur alternatif pelayaran global
tersebut sebenarnya sudah ada semenjak abad ke-16 masehi, tepatnya pada
masa pemerintahan Raja Narai dari Ayutthaya di tahun 1677 (Kit, 2012: 72). Ide
ini muncul karena adanya kebutuhan dari pedagang-pedagang India maupun
Tiongkok yang ingin berlayar ke daerah satu sama lain dengan kondisi
keamanan serta efisiensi yang relatif tinggi dan terjamin. Perlu diketahui
bahwa kapal-kapal dagang Tiongkok yang menuju India maupun sebaliknya
harus melewati Selat Malaka maupun Selat Sunda yang terkenal sebagai
wilayah laut yang tidak bersahabat terhadap kapal-kapal komersial. Mengacu
kepada realitas jarak tempuh yang tinggi serta keamanan pelayaran yang tidak
terjamin, aktor-aktor perdagangan Tiongkok dan India memilih untuk
menggunakan jalur darat dan Tanah Genting Kra menjadi salah satu titik
alternatif tersebut (Kit, 2012).
Ide mengenai pembangunan kanal Kra yang mengharuskan ‘pemotongan’
(excavating) Tanah Genting Kra berkembang dari waktu ke waktu, mulai dari
Raja Narai (1677), adik dari Raja Rama I (1793), hingga inisiatif kolonial
Perancis dan Inggris pada abad ke-19. Melihat prospek yang dapat dihasilkan
oleh proyek ini—penghematan biaya pelayaran—wacana pembangunan kanal
Kra tersebut mendapat perhatian khusus dari aktor-aktor yang terlibat di
kawasan ini selama kurang lebih satu hingga satu setengah abad, baik dalam
bentuk survey maupun studi yang memelajari kemungkinan dilaksanakannya
proyek tersebut. Meskipun ide ini mendapatkan perhatian yang cukup tinggi
dari stakeholder di kawasan, selama jangka waktu tersebut ide ini tidak pernah
32
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

terlaksana. Setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan mengapa


pembangunan kanal Kra ini tidak terlaksana sebagaimana mestinya yaitu: [1]
permasalahan teknologi dan [2] adanya ketidaksesuaian kepentingan antara
Inggris dengan Perancis (Kit, 2012: 73-74; 75-78). Berfokus kepada alasan yang
kedua, kolonial Inggris yang semula terlihat antusias akan munculnya ide
pembangunan kanal ini pada akhirnya memperlihatkan sikap yang seakan
tidak peduli dan tidak mendukung atas upaya realisasi ide tersebut. Sikap ini
ditenggarai oleh kemungkinan ‘matinya’ Singapura dan Selat Malaka sebagai
perhubungan aktivitas pelayaran komersial internasional yang sejak awal telah
dirancang oleh pemerintah kolonial Inggris untuk menjadi kota pelabuhan
internasional. Selain dari itu, pemerintah Inggris melihat bahwa pembangunan
kanal Kra hanya akan berdampak positif terhadap pengaruh (leverage/sphere of
influence) politik Perancis di kawasan dan ditakutkan akan dapat mengganggu
status quo Inggris sebagai kekuatan ekonomi dan politik terbesar di kawasan
pada saat itu.

Kebangkitan Tiongkok, Kebangkitan Wacana Pembangunan Kanal Kra


Naiknya Deng Xiaoping menjadi pemimpin Tiongkok pasca kematian Mao
Zedong sekitar tahun 1980-an memberikan angin segar bagi perekonomian
Tiongkok secara umum. Berbeda dari Mao Zedong yang sangat mengutamakan
implementasi proposisi sosialisme dan marxisme di dalam sistem
perekonomian Tiongkok, Deng Xiaoping mencanangkan ide Reformasi
Ekonomi dan Keterbukaan. Melalui ide tersebut aktor-aktor non-negara
maupun individu diperbolehkan untuk menjalankan aktivitas ekonomi
maupun industri. Praktis, situasi ini menandai berakhirnya sistem ekonomi
kolektif yang diusung oleh Mao Zedong. Meskipun secara ideal pencanangan
ide Deng Xiaoping tersebut bertolak belakang dengan ideologi komunisme
yang hingga saat ini masih dipegang teguh oleh Tiongkok, secara pragmatis ide
reformasi ekonomi tersebut mengubah wajah ekonomi domestik Tiongkok.
Situasi ini berimbas kepada elevasi kapabilitas Tiongkok sebagai sebuah
kekuatan ekonomi baru yang menandai kebangkitan Tiongkok, dimulai pada
tahun 1980.

33
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

Gambar 1: Rencana Jalur Sutra Maritim Tiongkok via Selat


Malaka

Sumber: Wall Street Journal, http://si.wsj.net/public/resources/images/P1-


BR865_CAPEC_16U_20141107194517.jpg

Mengacu kepada sejarah Tiongkok, konsep maritim merupakan sebuah


konsep yang sulit untuk dipisahkan dari aktivitas sosial dan ekonomi
masyarakat Tiongkok. Hal ini diperlihatkan kemajuan peradaban Tiongkok di
masa Dinasti Ming dalam hal teknologi perkapalan serta teknik-teknik navigasi
(Sun, 2010: 329). Berkaca kepada sejarah tersebut, praktis Tiongkok
kontemporer menganggap bahwa keberhasilan perekonomian domestik sangat
dipengaruhi oleh kondusif atau tidaknya jalur pelayaran kapal-kapal dagang
Tiongkok serta terjamin atau tidaknya aktivitas maritim di kawasan. Berangkat
dari pemikiran ini, pemerintah Tiongkok menerbitkan sebuah cetakbiru
(blueprint) infrastruktur maritim global yang mampu mengakomodasi cita-cita
Tiongkok untuk menjadi sebuah kekuatan maritim dunia. Sebuah rencana yang
mampu menghubungkan aktivitas perekonomian Barat dan Timur dengan
Tiongkok menjadi pusatnya.
Terkait kondisi pelayaran Selat Malaka, Beijing menilai bahwa besarnya
volume pelayaran komersial global—sekitar 60,000 kapal pertahun—dan nilai
ekonomis yang dibawa oleh kapal-kapal ini terhadap masyarakat sekitar tidak
sesuai dengan timbal balik yang diberikan—keamanan navigasi—(Verley,
2015). Berangkat dari keadaan tersebut, Tiongkok berusaha untuk mendekati
Thailand dalam rangka membangkitkan kembali ide pembangunan kanal Kra.

34
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

Gambar 2: Rencana Kanal Kra, Tiongkok-Thailand

Sumber: International Institute of Marine Surveying, http://iims.org.uk/wp-


content/uploads/2015/01/kra-canal.png

Menurut perhitungan Beijing, pembangunan kanal Kra dinilai akan sangat


menguntungkan bagi para kapal-kapal komersial yang memiliki tujuan akhir di
Eropa maupun Afrika, terutama dalam segi biaya perjalanan dan waktu.
Mengacu kepada kantor berita Tiongkok, China Daily Mail, kanal yang memiliki
jarak sepanjang 102 kilometer dengan lebar dan kedalaman masing-masing 400
meter dan 25 meter dinilai mampu untuk memangkas jarak tempuh pelayaran
internasional yang berasal dari Pasifik untuk menuju Hindia sebesar 1,200
kilometer (China Daily Mail, 2015). Berkaitan dengan prospek keuntungan
tersebut, sebagai langkah awal pemerintah Tiongkok berhasil meneken
kesepakatan berbentuk MoU (Memorandum of Understanding) dengan
pemerintah Thailand di Guangzhou untuk pertama melakukan survey fisik
atas Tanah Genting Kra tersebut. Apabila lancar, kesepakatan ini bukan tidak
mungkin untuk berubah menjadi sebuah investasi infrastruktur senilai US$28
milyar (Min, 2015).

Kanal Kra, ASEAN, dan Indonesia: Upaya Pengubahan Struktur Politik dan
Ekonomi Asia Tenggara oleh Tiongkok?
Negosiasi bilateral yang terjadi antara pemerintah Tiongkok dengan
pemerintah Thailand atas wacana pembangunan kanal Kra yang lama tak
kunjung terlaksana semenjak 400 tahun yang lalu tersebut secara seketika
membuat tiga negara di sekitar Selat Malaka yakni Indonesia, Malaysia, dan

35
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

Singapura menjadi waspada. Terkhusus bagi Singapura, realisasi wacana akan


berdampak besar terhadap kondisi perekonomian dalam negeri. Dari situasi ini
muncul pertanyaan, mengapa nilai Selat Malaka menjadi begitu penting bagi
struktur geopolitik, geostrategis, serta ekonomi Asia Tenggara sehingga ide
pembangunan kanal Kra sebagai jalur alternatif perdagangan internasional
ditentang dengan cukup keras oleh negara-negara Selat Malaka?
Di dalam menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami bahwa secara historis
Selat Malaka bermain peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi
di kawasan semenjak abad ke-8 hingga ke-10 masehi. Terkait konteks masa
kini, keberlangsungan aktivitas pelayaran di Selat Malaka tidak hanya
berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomian kawasan melainkan
juga perekonomian global. Hal ini disebabkan karena 67% dari jumlah total
pergerakkan energi dunia—minyak dan gas—melewati selat ini. Selain itu,
Selat Malaka berperan penting bagi keberlangsungan aktivitas ekonomi
kekuatan-kekuatan besar Asia—Tiongkok, Jepang, Taiwan, Korea Selatan—
karena 80% aktivitas ekspor-impor energi oleh negara-negara tersebut melewati
jalur pelayaran ini (Umana, 2012: 5). Bergerak ke konteks kawasan, signifikansi
Selat Malaka terhadap negara-negara di sekitar jalur pelayaran internasional
tersebut bernilai sama besarnya terhadap perdagangan internasional, terutama
bagi Singapura. Data tahun 2014 menunjukkan bahwa aktivitas industri
maritim—termasuk jasa pelabuhan—berkontribusi sebesar 7% dari total GDP
Singapura pada tahun 2014 (Min, 2015). Berangkat dari sepenggal fakta-fakta
tersebut, merupakan hal yang dapat diterima apabila negara-negara yang
kondisi perekonomiannya cukup tergantung kepada aktivitas pelayaran
internasional via Selat Malaka menentang sekaligus mengambil langkah
antisipatif terhadap wacana pembangunan kanal Kra yang dinilai dapat
mengurangi secara signifikan nilai-nilai strategis Selat Malaka. Mengacu
kepada hal ini, penulis berargumen setidaknya akan terdapat dua perubahan
atas struktur politik dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara apabila realisasi
wacana tersebut terjadi. Pertama, kanal Kra akan berdampak langsung kepada
distribusi sektor ekonomi—kemakmuran—di Asia Tenggara yang
keberadaannya semula ada di wilayah ASEAN kepulauan (ASEAN archipelago)
berpindah ke wilayah ASEAN daratan (ASEAN continent). Kedua, kanal Kra
secara berkala akan mengerdilkan otoritas dan legitimasi ASEAN atas negara-
negara anggotanya dengan munculnya Tiongkok sebagai sebuah pemegang
otoritas dan legitimasi ekonomi serta politik di kawasan. Tidak hanya ASEAN,
Indonesia secara spesifik juga akan merasakan dampaknya, terutama bagi
doktrin maritim yang diusung oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal
ini disebabkan karena realisasi wacana pembangunan kanal Kra ini akan
mengurangi nilai strategis serta ekonomis Selat Malaka dan laut Indonesia.
Dengan berkurangnya nilai strategis wilayah ini, visi Indonesia untuk
36
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

menjadikan wilayah lautnya sebagai sebuah ‘jembatan penghubung’ antara dua


samudera akan sulit terwujud.

Kanal Kra dan Redistribusi Kesempatan Ekonomi di Asia Tenggara: Sebuah


Kemajuan atau Sumber Konflik Baru?
Berangkat dari kalkulasi ekonomi, proyek senilai US$ 28 milyar tentu akan
memberikan dampak positif terhadap perekonomian negara-negara di sekitar
Tanah Genting Kra—terutama Thailand—tidak hanya di awal saja dengan
bentuk investasi hard-money, melainkan juga kesempatan-kesempatan ekonomi
lainnya seperti terbukanya lapangan kerja baru bagi angkatan kerja yang belum
terserap pasar. Menurut beberapa analisis, proyek pembangunan kanal Kra ini
sendiri selama kurang lebih 10 tahun akan membuka sekitar 30,000 lapangan
kerja baru (Sulong, 2012: 4). Angka ini belum termasuk proyeksi terbukanya
lapangan kerja yang baru sebagai imbas dari pertumbuhan industri akibat
pembangunan kanal ini. Dampak positif pada sektor ekonomi ini bukan
merupakan satu-satunya argumen yang dikemukakan oleh beberapa aktor
yang mendukung wacana tersebut; ada perhitungan lain yang mendukung
wacana tersebut untuk terlaksana yaitu permasalahan keamanan. Seperti yang
telah diketahui, Selat Malaka merupakan wilayah pelayaran internasional yang
paling sibuk di dunia. Dengan besarnya nilai arus pergerakkan barang
komersial maupun energi yang melewati jalur ini, besar pula aktivitas
kejahatan transnasional seperti terorisme maupun pembajakkan yang terjadi di
Selat Malaka. Praktis, kondisi dapat menghambat efektivitas perdagangan
internasional. Mengacu kepada situasi ini, para pendukung wacana ini
menganggap bahwa pembangunan kanal Kra tidak hanya berimbas kepada
redistribusi kesempatan ekonomi di Asia Tenggara melainkan juga dapat
mengurangi intensitas kejahatan transnasional terhadap kapal-kapal komersial
internasional (Sulong, 2012).
Terlepas dari keuntungan-keuntungan tersebut, negara-negara di wilayah
ASEAN kepulauan melihat bahwa realisasi wacana pembangunan kanal Kra ini
hanya akan merugikan kondisi perekonomian domestik yang selama ini
dinikmati. Mengacu kepada keuntungan yang ditawarkan oleh proyek ini—
penghematan waktu, bahan bakar, dan jarak tempuh—terhadap pelayaran
internasional yang berasal dari Samudera Pasifik—terutama dari wilayah Asia
Timur—menuju Eropa, Timur Tengah, dan Afrika maupun sebaliknya,
perhitungan rasional aktor-aktor perdagangan internasional tentu akan lebih
memilih kanal Kra sebagai jalur pelayaran utama. Praktis, situasi ini akan
sangat merugikan bagi negara-negara di sekitar Selat Malaka—Indonesia,
Malaysia, dan Singapura—secara ekonomis. Hal tersebut tentu akan
berdampak secara langsung kepada pengurangan nilai strategis Selat Malaka
secara drastis. Berkaca dari kondisi ini, penulis melihat bahwa terdapat dua
37
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

perspektif yang bertolak belakang di dalam menyikapi wacana pembangunan


kanal tersebut. Di satu sisi, terdapat anggapan bahwa wacana ini akan
menguntungkan Asia Tenggara secara umum karena dinilai akan mampu
menghadirkan kesetaraan (relatif) ekonomi antar negara Asia Tenggara.
Namun, di sisi lain pihak-pihak yang mendukung status quo menganggap
bahwa wacana ini berusaha untuk mengubah struktur ekonomi kawasan yang
memungkinkan hadirnya instabilitas di Asia Tenggara.

Kanal Kra dan Tiongkok: Ambisi Tiongkok untuk Menjadi ‘Pemimpin’


Kawasan
Berambisi untuk menghidupkan kembali kejayaan Jalur Sutra masa
lampau, Tiongkok abad ke-21 telah mengambil segala jenis inisiatif untuk
merealisasikan cetakbiru Jalur Sutra Maritim-nya yang bertujuan untuk
menghubungkan wilayah Timur dengan Barat dunia dengan Tiongkok menjadi
pusatnya. Ambisi tersebut membuat kebijakan ekonomi—dan maritim—
Tiongkok memperlihatkan dimensi pragmatisme; negosiasi bilateral Tanah
Genting Kra bersama Thailand sebagai contoh nyatanya. Dengan kekuatan
ekonomi saat ini, angka US$28 milyar bukanlah sebuah nilai yang besar untuk
diinvestasikan di dalam proyek ini bagi Tiongkok. Biaya yang dikeluarkan oleh
Tiongkok tersebut tidaklah sebanding dengan keuntungan material maupun
non-material yang akan didapatkan oleh Tiongkok ketika wacana ini terealisasi.
Dari segi ekonomi, biaya distribusi komoditas dagang Tiongkok yang semula
melewati Selat Malaka dapat dipangkas dengan cukup signifikan sehingga
dapat memaksimalisasi keuntungan. Tidak hanya itu, Tiongkok dengan
rencana kanal Kra-nya akan dapat menikmati keuntungan geopolitik dan
geostrategis di Asia Tenggara. Hal ini disebabkan karena proyek ini akan
memberikan kendali penuh kepada Tiongkok terhadap tata kelola jalur
pelayaran yang akan melewati kanal Kra tersebut. Praktis, investasi ekonomi
dan infrastruktur yang dikeluarkan oleh Tiongkok cepat atau lambat akan
‘membeli’ loyalitas negara-negara sekitar wilayah tersebut agar lebih tunduk
dan patuh terhadap sistem dan struktur yang diterapkan oleh Tiongkok
dibandingkan dengan sistem serta struktur yang ditetapkan oleh ASEAN
maupun kekuatan eksternal kawasan lainnya—Amerika Serikat (AS)—(Sulong,
2012: 7).
Situasi ini tentu akan sangat merugikan posisi dan konsep sentralitas
ASEAN di dalam orientasi kebijakan luar negeri negara-negara anggota,
terutama negara-negara yang mendapatkan dampak positif secara langsung
dari investasi ekonomi dan infrastruktur Tiongkok tersebut. Secara jangka
panjang, ASEAN tidak akan lagi memiliki pengaruh dan legitimasi yang cukup
signifikan atas perilaku negara-negara anggotanya. Hal ini akan berdampak
kepada berkurangnya posisi tawar ASEAN di forum-forum internasional serta
38
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

kohesi/kepaduan antar negara anggota di dalam merespon sebuah isu


kawasan. Formulasi kebijakan seperti ini sudah pernah diterapkan oleh
Tiongkok ke negara-negara ASEAN di wilayah Indochina, seperti Kamboja,
sehingga membuat negara-negara tujuan investasi ekonomi Tiongkok tersebut
lebih memilih untuk bandwagoning dibandingkan tetap ‘loyal’ kepada ASEAN.
Salah satu contoh konkretnya ialah tidak berhasilnya ASEAN menghasilkan
sebuah joint communique terkait permasalahan Laut China Selatan pada masa
kepemimpinan Kamboja pada tahun 2012.

Implikasi Negosiasi Tiongkok-Thailand terhadap Doktrin Poros Maritim


Dunia: Tinjauan Posisi Indonesia
Kepentingan Tiongkok atas infrastruktur maritim di Asia Tenggara yang
direalisasikan melalui paket-paket investasi bilateral maupun multilateral—
melalui AIIB—dinilai oleh sebagian kalangan sebagai sebuah kesempatan yang
mampu mengakomodasi kepentingan serta cita-cita Indonesia untuk menjadi
sebuah kekuatan (poros) maritim dunia di bawah kepemimpinan Presiden Joko
Widodo. Berangkat dari realitas tersebut, pada bulan-bulan awal
kepemimpinan Presiden Joko Widodo haluan kebijakan luar negeri Indonesia
secara perlahan terlihat mulai ‘condong’ kepada Tiongkok. Pergeseran ini
sempat memunculkan kembali spekulasi yang menganggap bahwa Indonesia
ingin mengulang kejayaan ‘blok Timur’ pada saat Presiden Sukarno berkuasa.
Merespon spekulasi tersebut, penulis lebih melihat bahwa pergeseran tersebut
dipicu oleh adanya perubahan perspektif di dalam melihat konstelasi politik
global maupun regional pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Dibandingkan pada era kepemimpinan Presiden Yudhoyono, kebijakan
luar negeri Indonesia saat ini lebih bersifat pragmatis dengan tidak lagi
mengutamakan jargon ‘thousand friends, zero enemy’. Di dalam sebuah
kesempatan, Menteri Luar Negeri Indonesia saat ini, Retno Marsudi,
menyatakan bahwa orientasi kebijakan luar negeri Indonesia saat ini ialah lebih
pro-rakyat di dalam segala aspek seperti hukum, HAM, ekonomi, hingga sosial
dan budaya. Hal ini memperjelas posisi Indonesia saat ini yang lebih ingin
‘berteman’ dengan pihak-pihak yang mampu memberikan keuntungan serta
kemakmuran maksimal bagi rakyat Indonesia (Jakarta Globe, 2014). Mengacu
kepada kondisi tersebut, bukanlah sebuah hal yang keliru apabila terdapat
sebuah anggapan yang menyatakan bahwa Indonesia kini sedang mendekati
Tiongkok dalam rangka merealisasikan mimpinya sebagai sebuah kekuatan
maritim dunia yang berfungsi sebagai penghubung—nexus—antara Samudera
Pasifik dengan Samudera Hindia. Dengan Tiongkok yang mulai dipersepsikan
oleh sebagian kalangan di Indonesia sebagai ‘kawan’, timbul pertanyaan terkait
isu negosiasi pembangunan kanal Kra antara Tiongkok dengan Thailand:

39
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

“apakah Tiongkok merupakan kawan yang akan selalu menguntungkan dan


reliable?”.

“Enggak juga (ganggu konsep poros maritim Jokowi). 90% transportasi di


Indonesia melalui Selat Makassar, tapi anda harus tahu juga bahwa Indonesia
itu negara besar”—Indroyono Susilo, Menteri Koordinator Kemaritiman
(Fajriah, 2015).

Berangkat dari pernyataan di atas, terlihat bahwa terdapat aktor-aktor


politik domestik Indonesia yang menganggap apa yang dilakukan oleh
Tiongkok bukanlah sebuah manuver yang patut diwaspadai. Berfokus kepada
aktivitas pelayaran dan perdagangan domestik, tentu wacana pembangunan
kanal Kra yang diusung oleh Tiongkok tidak akan berpengaruh signifikan
terhadap volume perdagangan domestik. Namun perlu diketahui bahwa visi
yang diproyeksikan oleh Tiongkok di dalam wacana tersebut lebih dari sekedar
kuantitas volume pelayaran internasional melainkan juga faktor-faktor non-
material seperti keuntungan geopolitik-geostrategis, pengaruh politik (political
leverage), hingga hegemoni kawasan (regional hegemon) yang akan tersemat.

Gambar 3: Rencana Jalur Sutra Maritim Tiongkok Pasca Pembangunan Kanal


Kra

Sumber: The Times,


http://www.thetimes.co.uk/tto/multimedia/archive/00768/inline_9e65ccb6-
3d0_768786a.jpg

40
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

Mengacu kepada gambar di atas, pembangunan kanal Kra yang


diproyeksikan oleh Tiongkok tidak akan mengikutsertakan Jakarta sebagai
salah satu titik pelayaran internasional. Hal ini tentu sangat berbeda dengan
Gambar 1 yang memperlihatkan Jakarta dan Selat Malaka sebagai jalur
transportasi penting bagi pelayaran internasional yang dibayangkan oleh
Beijing. Secara simbolis, kanal Kra praktis akan membuat nilai Selat Malaka—
terutama laut Indonesia—menjadi tidak strategis lagi bagi pelayaran
internasional. Situasi ini yang kemudian akan membuat doktrin Poros Maritim
Dunia milik Indonesia menjadi anti-klimaks karena tidak sesuai lagi dengan
cita-cita awalnya yakni menghubungkan dua samudera terbesar di dunia. Dari
titik ini, apakah kita masih akan berpikir bahwa Tiongkok akan selalu ada
untuk Indonesia dan akan selalu membantu merealisasikan impian Indonesia
untuk menjadi sebuah nexus maritim dunia sekalipun pembangunan kanal Kra
tetap dilaksanakan?

Kesimpulan dan Saran


Dari penjabaran di atas tersebut, penulis menyimpulkan bahwa negosiasi
yang terjadi antara Tiongkok dengan Thailand terkait pembangunan kanal Kra
merupakan respon dari ambisi dan kekuatan ekonomi Beijing yang ingin
menjadikan Tiongkok pusat kegiatan maritim dunia. Wacana ini kembali
muncul ke permukaan sebagai dampak dari realitas aktivitas pelayaran
internasional di sekitar Selat Malaka yang dinilai oleh sebagian kalangan tidak
terlalu bersahabat bagi iklim pelayaran dan perdagangan internasional, baik itu
pada isu keamanan non-tradisional hingga lingkungan. Meskipun wacana
tersebut dinilai sebagai sebuah langkah yang baik bagi iklim pelayaran dan
perdagangan internasional apabila ditinjau dari kacamata ekonomi, wacana ini
juga memiliki banyak dimensi politik dan keamanan di dalamnya. Berdasarkan
MoU yang ditandatangani antara Tiongkok dengan Thailand mengenai
pembangunan kanal Kra ini, Tiongkok akan berinvestasi secara penuh dengan
memberikan hard-money sebesar US$28 milyar kepada Thailand untuk
melaksanakan proyek ini. Hal ini akan berdampak kepada meningkatnya
leverage Tiongkok di sekitar wilayah Indochina. Praktis, bukanlah hal yang
mustahil apabila kemudian Tiongkok berhasil mendapatkan ‘loyalitas’ politik
dari negara-negara sekitar proyek tersebut dan meminimalisasi peran serta
otoritas ASEAN atas negara-negara anggotanya di kawasan tersebut. Pada
konteks yang lebih spesifik, yaitu Indonesia, wacana pembangunan kanal Kra
penulis nilai akan menjadi batu sandungan bagi doktrin Poros Maritim Dunia
untuk bisa terealisasi secara penuh.
Berangkat dari argumen-argumen tersebut serta dari hal-hal yang menjadi
permasalahan endemik di sekitar wilayah Selat Malaka dan laut Indonesia,
penulis memiliki beberapa saran bagi praktik kebijakan luar negeri Indonesia di
41
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

dalam merespon wacana ini sehingga dapat menghindari kemungkinan-


kemungkinan terburuk bagi kelangsungan doktrin Poros Maritim Dunia,
antara lain:
1) pemerintah sudah selayaknya meningkatkan fasilitas keamanan dan
pelayanan di Selat Malaka dengan beberapa cara berikut namun tidak
terbatas pada:
a. menambah jumlah armada keamanan laut—kapal perang—sekaligus
meningkatkan frekuensi patroli bersama di Selat Malaka dengan
Malaysia dan Singapura;
b.meningkatkan fasilitas dan pelayanan di pelabuhan-pelabuhan yang
berdekatan dengan Selat Malaka;
c. memperkuat kerjasama pelayanan dengan pelabuhan-pelabuhan negara
tetangga—Malaysia dan Singapura—berdasarkan keunggulan
komparatif di bidang pelayanan pelayaran dan pelabuhan;
2) pemerintah harus kembali memprioritaskan sentralitas ASEAN di dalam
merespon isu-isu maritim yang berkembang di kawasan dengan cara:
a. memperkenalkan inisiatif multilateral terhadap rencana-rencana
Tiongkok terhadap pembangunan fasilitas dan infrastruktur di wilayah
ASEAN;
3) menimbang posisi Indonesia yang sangat strategis di dalam konstelasi
geopolitik internasional, sudah seharusnya pemerintah juga menerapkan
pragmatisme yang berbasis kepada mekanisme hedging di dalam isu maritim
seperti:
a. menjalin kerjasama politik dan ekonomi dengan kekuatan-kekuatan
besar lainnya seperti AS, India, maupun Jepang yang berfungsi sebagai
penyeimbang superioritas pertumbuhan Tiongkok di kawasan.

DAFTAR PUSTAKA
Chan, J. (2015, May 21). Will China and Thailand's Kra Isthmus Canal Agreement Sink
Singapore. Retrieved June 26, 2015, from The Establishment Post:
http://www.establishmentpost.com/will-china-thailands-kra-isthmus-canal-
agreement-sink-singapore/
China Daily Mail. (2015, May 17). China Announces Strategically Important Kra Isthmus
Canal in Thailand. Retrieved June 27, 2015, from China Daily Mail:
http://chinadailymail.com/2015/05/17/china-announces-strategically-
important-kra-isthmus-canal-in-thailand/
Fajriah, L. R. (2015, January 21). Pemerintah Jamin Kanal Kra Tak Ganggu Poros Maritim
RI. Retrieved June 27, 2015, from Sindonews:
http://ekbis.sindonews.com/read/953651/34/pemerintah-jamin-kanal-kra-tak-
ganggu-poros-maritim-ri-1421817340

42
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4

Jakarta Globe. (2014, October 30). 'Thousand Friends' Policy No More Under Retno.
Retrieved June 28, 2015, from Jakarta Globe:
http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/thousand-friends-policy-retno/
Kit, C. N. (2012). Kra Canal (1824-1910): The Elusive Dream. Akademika , 82 (1), 71-80.
Min, C. H. (2015, May 21). Renewed Hype over China-Thai Canal Project: 5 Things about the
Kra Canal. Retrieved June 27, 2015, from The Strait Times:
http://www.straitstimes.com/news/asia/south-east-asia/story/renewed-hype-
over-china-thai-canal-project-5-things-about-the-kra-ca
Sulong, R. S. (2012). The Kra Canal: Impact on International Relations in Southeast Asia.
BIMP-EAGA Conference, (pp. 1-10). Sabah.
Sun, L. (2010). Chinese Maritime Concepts. Asia Europe Journal , 8 (3), 327-338.
The New York Times. (2015, April 23). China's Big Plunge in Pakistan. Retrieved April 25,
2015, from The New York Times:
mobile.nytimes.com/2015/04/23/opinion/chinas-big-plunge-in-
pakistan.html?referrer=&_r=0
Umana, F. (2012). Threat Convergence: Transnational Security Threats in the Straits of
Malacca. Washington: The Fund for Peace.
Verley, L. (2015, January 14). The Kra-Canal Project. Retrieved June 27, 2015, from
International Institute of Marine Surveying: http://iims.org.uk/kra-canal-
project/
Widodo, J. (2014, November 14). The Sea Should Unite Us, Not Separate Us. Retrieved
June 26, 2015, from The Jakarta Post:
http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/14/the-seas-should-unite-not-
separate-us.html

43
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

Evaluasi Kebijakan Moratorium Kapal Eks-asing untuk


Membangun Indonesia sebagai Kekuatan Ekonomi Maritim
Dian Fitriyani Agustin dan Diandra Rivanka

Pendahuluan
Di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), Indonesia memiliki beberapa
terobosan kebijakan baru, baik yang ditujukan di dalam negeri maupun luar
negeri. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah moratorium kapal
eks-asing penangkap ikan di Indonesia. Hal ini tentunya turut dipengaruhi
oleh visi besar Jokowi dan kabinetnya dalam lima tahun pemerintahannya,
yakni mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong, juga menjadikan Indonesia sebagai Poros
Maritim Dunia. Meskipun mendapatkan sambutan yang baik, terobosan
kebijakan yang dilahirkan dari Pemerintahan Jokowi tersebut tetap tidak
terlepas dari berbagai kritik. Beberapa pihak, khususnya pengusaha di dalam
negeri sendiri keberatan dengan adanya kebijakan tersebut. Untuk itu, pada
kesempatan ini, tim penulis akan membahas lebih mendalam mengenai
evaluasi kebijakan moratorium kapal eks-asing di Indonesia, dengan
berlandaskan pada kerangka konsep keamanan non-tradisional. Dalam esai ini,
tim penulis berpendapat bahwa kebijakan moratorium kapal asing di Indonesia
perlu dikaji ulang dan didampingi oleh beberapa kebijakan lain, yang secara
mendalam berusaha untuk mengatasi akar permasalahan di sektor perikanan
Indonesia demi mengatasi ancaman krisis perekonomian. Hal ini tentunya
perlu dilakukan, agar kebijakan tersebut dapat membantu Indonesia menjadi
Poros Maritim Dunia.

Latar Belakang Kebijakan Moratorium: Potensi dan Masalah Sektor Maritim


Indonesia
Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas, yaitu sekitar dua
pertiga dari total wilayahnya secara keseluruhan. Atas perjuangan melalui
Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia pun diakui secara internasional sebagai
negara kepulauan yang kemudian ditetapkan dalam UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Dengan adanya pengakuan
tersebut, Indonesia berwenang untuk memperluas wilayah laut dengan segala
ketetapan yang mengikutinya. Deklarasi Djuanda 1957 juga menegaskan
konsepsi Wawasan Nusantara, yang telah memberikan kesempatan bagi
Indonesia untuk mengelola sumber daya laut, darat, maupun udara. Selain itu,
dengan adanya pengakuan tersebut, Indonesia diklaim sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, dengan wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang
terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) mencapai 2,7 juta km2, serta 17.504 pulau dengan garis pantai
44
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

sepanjang 95.181 km (Ambarwati, 2014). Dengan kondisi geografis tersebut,


Indonesia diuntungkan dengan sumber daya maritim yang berlimpah, yang
membuatnya masuk sebagai negara produsen sektor perikanan terbesar kedua
di dunia. Berikut adalah datanya:

Tabel 1.1 Negara-Negara Produsen Sektor Perikanan Terbesar di Dunia 2012

Sumber: FAO (2014, 10)


Selain itu, jika dilihat dari nilai perdagangan produk perikanannya,
menurut Haryono (2013), pada tahun 2012 volume ekspor perikanan Indonesia
ke negara-negara ASEAN mencapai 406 ribu ton dengan nilai sebesar 548 juta
dolar Amerika Serikat (AS). Sementara, impor Indonesia dari negara-negara
ASEAN pada tahun 2012 mencapai 43 ribu ton dengan nilai sebesar 54 juta
dolar AS. Negara-negara di ASEAN yang menyerap paling banyak produk
perikanan Indonesia adalah Thailand (37,8%), Vietnam (24,9%) dan Singapura
(17,1%). Selain itu, pada tahun 2012, Indonesia memperoleh surplus
perdagangan sebesar 493 juta dolar AS dan mengalami kenaikan rata-rata
sebesar 22,71% per tahun sejak tahun 2008. Adapun nilai perdagangan pada
tahun 2013, sampai dengan bulan Juli, volume ekspor Indonesia ke negara-
negara ASEAN mencapai 236 ribu ton dengan nilai sebesar 310 juta dolar AS,
sedangkan impor mencapai 28 ribu ton dengan nilai sebesar 36 juta dolar AS.
Meskipun demikian, Perlu diketahui bahwa sebanyak 70% produk ikan di
Indonesia dikonsumsi sebagai produk segar tanpa proses, sementara 30%
sisanya dikonsumsi sebagai produk olahan (FAO, 2014, 154). Hal ini tentunya
menjadi kerugian tersendiri bagi Indonesia, yang sebenarnya memiliki potensi
yang besar di sektor perikanan. Sejalan dengan hal tersebut, Yusuf dan
Trondsen (2013, 80) juga mengatakan bahwa industri perikanan Indonesia
belum mampu memproduksi produk perikanan yang memiliki value-added.
Sektor perikanan Indonesia bergantung pada ekspor ikan mentah atau belum
diproses, yang ternyata hanya berkontribusi kecil bagi nilai ekspor dan juga
terserapnya tenaga kerja. Selain itu, produk perikanan di Indonesia juga
memiliki daya saing yang rendah, diperburuk dengan kurangnya kebijakan
serta proses pembuatan kebijakan yang tepat di sektor perikanan.

45
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

Permasalahan lainnya yang penting adalah begitu tingginya tingkat


praktik illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Menurut Bakosurtanal,
kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh ribuan kapal asing terus marak
terjadi. Data Badan Pemeriksa Keuangan (2013) menunjukkan, potensi
pendapatan sektor perikanan laut Indonesia jika tanpa illegal fishing mencapai
Rp. 365 triliun per tahun. Namun, akibat illegal fishing, menurut hitungan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), pendapatan tersebut hanya
berkisar Rp. 65 triliun per tahun. Dengan demikian, ratusan triliun rupiah
devisa negara hilang setiap tahunnya. Selain itu, Indonesia juga dinilai belum
pandai memanfaatkan letak geografisnya. Padahal, UNCLOS 1982 telah
menetapkan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur pelayaran
dan penerbangan oleh kapal atau pesawat udara internasional. Ketiga ALKI
tersebut dilalui 45% total nilai perdagangan dunia atau setara dengan 1.500
dolar AS, namun Indonesia belum memiliki pelabuhan transit bagi kapal niaga
internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu
memanfaatkan keuntungan geografis yang dimilikinya. (Bakosurtanal).
Untuk itu, dengan berkaca pada potensi yang besar, dalam rangka
pengawasan serta pengendalian terhadap praktek illegal fishing yang telah
merugikan negara hingga 30 triliun rupiah per tahun, Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) telah menetapkan kebijakan moratorium perizinan kapal
eks-asing. Peraturan tersebut disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM) dan ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
pada tanggal 3 November 2014. Terhitung sejak tanggal tersebut, moratorium
perizinan kapal tangkap telah resmi diberlakukan, khususnya bagi kapal eks-
asing di atas 30 Gross Ton (GT). Kapal eks-asing di atas 30 GT adalah kapal
yang pembangunannya dilakukan di luar negeri. Selama moratorium
diberlakukan, perizinan kapal yang mencakup Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut
Ikan (SIKPI) akan ditangguhkan dan ditertibkan. Selanjutnya, akan dilakukan
analisis dan evaluasi bagi SIPI dan SIKPI yang masih berlaku (Pregiwati, 2014).
Dasar pelaksanaan moratorium ini di antaranya adalah untuk
memulihkan sumber daya ikan yang sudah terkuras, perbaikan lingkungan
yang rusak, dan memantau kepatuhan pelaku usaha penangkapan ikan.
Moratorium ini juga dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan
kehidupan nelayan, serta memberi kesempatan kepada pengusaha dengan
kapal lokal untuk lebih banyak mendapatkan manfaat. Selama moratorium,
KKP juga berusaha untuk menyempurnakan Peraturan Menteri (Permen) yang
terkait dengan izin usaha perikanan tangkap yang berorientasi pada tetap
tersedianya sumber daya ikan secara berkelanjutan, lingkungan yang lestari,
keseimbangan pendapatan antara pengusaha, nelayan dan pemerintah. Selain
itu, kebijakan ini juga berorientasi pada kepatuhan pelaku usaha serta
46
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

berkembangnya industri perikanan dalam negeri (Pregiwati, 2014). Jika


moratorium kapal eks-asing diberlakukan permanen dan pemberantasan kapal
ilegal dilakukan secara efektif, maka diharapkan daya saing produksi ikan
Indonesia secara global akan meningkat. Dengan adanya moratorium, industri
pengolahan ikan yang selama ini sulit bahan baku juga dinilai akan bergairah
lagi dan meningkatkan devisa ekspor dan nilai tambah (Sularso, 2015).

Implementasi Kebijakan Moratorium dan Kebijakan Pendukungnya


Dalam implementasi kebijakan moratorium, Presiden Jokowi
memerintahkan untuk menenggelamkan kapal penangkap ikan asing yang
terbukti mencuri ikan di perairan Indonesia. Secara yurisdiksi, kebijakan ini
patut diapresiasi. Tujuannya secara politik, tentu untuk menyatakan kepada
seluruh dunia akan kedaulatan pemerintah dan bangsa Indonesia atas teritori
negaranya serta kedaulatan hukum yang harus senantiasa dijaga dan
ditegakkan. Dampak operasional dari kebijakan ini adalah untuk memberikan
efek jera kepada kapal-kapal atau perusahaan penangkap ikan asing agar tidak
lagi melakukan pencurian ikan atau menangkap ikan tanpa izin di perairan
yurisdiksi Indonesia (Sumakul, 2015).
Menurut Grahadyarini (2015) Tim Satuan Tugas (Satgas) Perkembangan
Pencurian Ikan KKP telah menemukan pelanggaran kapal eks-asing sebanyak
887 kasus. Moratorium yang awalnya direncanakan berakhir pada April 2015
telah diperpanjang sampai Oktober 2015. Perpanjangan ini disebabkan oleh
masih banyak kasus illegal fishing yang belum selesai ditangani. Audit ribuan
kapal eks-asing pun tidak bisa dilakukan dengan cepat, sebab adanya proses
audit yang ketat. Selama moratorium, Tim Satgas sudah mengaudit 1.132 kapal
ikan eks-asing. Hasilnya, 907 kapal melakukan pelanggaran, sementara 225
kapal masih terus didalami permasalahan pajaknya. Selama kebijakan
moratorium diberlakukan, Indonesia juga telah menenggelamkan lima kapal
ilegal pada Desember 2014, dan 41 kapal eks-asing pada 20 Mei 2015.
Sementara, jumlah kapal ikan ilegal diperkirakan masih ada 7.000 kapal.
Untuk mendukung kebijakan moratorium, Handoyo (2014) menuliskan
bahwa sebagai target jangka pendek, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi
Pudjiastuti, memberikan program bantuan untuk nelayan pesisir. Bantuan ini
berupa pendidikan bisnis, agar para nelayan mampu berpikir secara komersil.
Selain itu, ia juga ingin membantu pemasaran hasil perikanan dengan udara
melalui adanya bandara, agar pengiriman komoditi laut Indonesia cepat
sampai tujuan ekspor. Bukan hanya itu, Nugraha (2014) mengatakan bahwa
Menteri Susi juga berencana memberikan asuransi bagi para nelayan dari hasil
gajinya sebagai menteri. Asuransi ini ditujukan untuk nelayan yang sudah
tidak bisa melaut dan lanjut usia. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa

47
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

kehidupan para nelayan yang masih belum layak, dengan sebagian besar dari
mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan.
KKP juga melakukan revisi peraturan terkait kegiatan alih muatan ikan di
tengah laut atau transhipment. Nantinya, semua kegiatan transhipment di
wilayah perairan Indonesia akan dilarang. Alasannya, banyak pelanggaran
yang dilakukan, di mana hasil transhipment tidak didaratkan di pelabuhan
perikanan Indonesia, melainkan langsung dibawa ke luar negeri. Akibatnya,
jumlah ikan yang ditangkap tidak terdata dan terjadinya re-ekspor ikan ke
Indonesia (Pregiwati, 2014). Selain itu, berdasarkan keterangan menurut
Suryowati (2015a), setelah berusaha untuk memberantas illegal fishing, Menteri
Susi juga berencana untuk memberantas penangkapan ikan yang merusak
lingkungan atau destructive fishing. Destructive fishing biasanya dilakukan
dengan menggunakan bom atau seine, sehingga dapat merusak biota laut dan
terumbu karang. Bukan hanya itu, selama ini, sebesar 99% terumbu karang
yang diperdagangkan langsung diambil dari alam, bukan dibiakkan sendiri.
Kebijakan ini akan diambil demi memelihara biota laut, yang menjadi habitat
ikan-ikan di perairan Indonesia. Selain terumbu karang, Menteri Susi juga
berencana untuk mengambil kebijakan terkait pelestarian hutan bakau.
Selanjutnya, Suryowati (2015b) menjelaskan bahwa Menteri Susi
berencana untuk membatasi wilayah penangkapan ikan, untuk mencapai
tujuan perikanan lestari. Nantinya, wilayah penangkapan ikan di Indonesia
hanya boleh dilakukan di wilayah lebih dari empat mil dari pantai. Sementara,
di bawah empat mil hanya boleh dilakukan aktivitas konservasi dan
pariwisata. Menteri Susi mendorong para nelayan untuk menangkap ikan di
zona empat sampai 12 mil. Selanjutnya, ia juga berencana untuk membatasi
ukuran kapal yang beroperasi, yaitu di bawah 200 GT. Tidak hanya itu,
beberapa aturan yang dibuat Menteri Susi juga akan menarik investasi asing di
sektor pengolahan perikanan. Pasalnya, aturan moratorium dan transhipment
yang sudah berjalan, efektif menekan pengiriman ikan secara ilegal ke berbagai
negara (Nurhayat, 2015b). Sementara itu, Unit Industri Pengolahan Ikan (UPI)
di dalam negeri juga berkomitmen menambah kapasitas produksi pengolahan
ikan (Nurhayat, 2015a).

Pro dan Kontra terhadap Kebijakan Moratorium


Kebijakan moratorium ini ternyata diyakini memberikan dampak positif
pada perdagangan di sektor perikanan. Menurut Sari (2015b), Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat terjadi surplus dalam perdagangan sektor perikanan,
di mana Kepala BPS Suryamin mengatakan dari waktu ke waktu ekspor
perikanan Indonesia terus mengalami peningkatan secara signifikan
dibandingkan dengan impor. BPS mencatat pada tahun 2013 nilai ekspor
perikanan Indonesia mencapai 2,86 miliar dolar AS, kemudian pada tahun 2014
48
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

naik menjadi 3,1 miliar dolar AS. Lalu, khususnya pada kuartal I 2015 nilai
ekspor perikanan sudah menembus 906,77 juta dolar AS. Peningkatan ini
dinilai sangat signifikan, sebab perolehannya hampir mencapai 1 miliar
meskipun baru kuartal I. Peningkatan ekspor tersebut diyakini merupakan
hasil upaya memberantas aksi pencurian ikan, sehingga produksi perikanan
dalam negeri menjadi terdongkrak.
Kebijakan moratorium yang diberlakukan juga jelas berpengaruh pada
hubungan Indonesia dengan negara lain. Menteri Susi mengatakan, duta besar
negara lain yang ada di Indonesia telah melakukan sosialisasi tentang regulasi
kelautan Indonesia tersebut ke negara masing-masing. Di hadapan para duta
besar, Menteri Susi menjelaskan berulang kali ketegasan sikap pemerintah
terhadap kapal eks-asing yang kedapatan mencuri ikan maupun hasil laut di
perairan Indonesia. Menteri Susi mengklaim mendapat reaksi positif dari para
duta besar tersebut (Sari, 2014). Selain itu, menurut Menteri Susi, negara lain
mulai merasa takut untuk masuk ke wilayah Indonesia. Setidaknya ada dua
negara di ASEAN yang mulai memberikan peringatan kepada para nelayannya
agar tidak menangkap ikan hingga ke wilayah laut Indonesia, yakni Malaysia
dan Thailand. Mereka membuat pengumuman bagi para nelayan untuk tidak
masuk wilayah laut Indonesia lagi. Lebih dari itu, pemerintah Malaysia bahkan
menyiapkan alat peringatan bagi setiap kapal nelayan untuk tidak masuk
wilayah perairan Indonesia (Aliya, 2014). Menurut Menteri Susi, sebenarnya
ada sekitar 5.400 kapal eks-asing tanpa izin yang berkeliaran di laut Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 3.000 kapal eks-asing mulai meninggalkan
wilayah perairan Indonesia akibat kebijakan moratorium yang diberlakukan
(Moerti, 2014).
Kebijakan moratorium juga turut mempengaruhi pasokan ikan
internasional. Atas kebijakan moratorium yang dikeluarkan, diketahui bahwa
terjadi kekurangan pasokan ikan di beberapa negara di dunia, seperti di
Tiongkok, Vietnam, Thailand, bahkan Amerika Serikat. Menteri Susi dinilai
sukses membuat pasokan ikan di beberapa negara berkurang, bahkan kosong.
Laut Indonesia yang selama ini ‘dikeruk’ oleh kapal-kapal ilegal, tak bisa lagi
memasok ikan ke berbagai pelabuhan utama perikanan di kawasan ASEAN,
sehingga juga berdampak ke negara konsumen ikan olahan seperti Dubai, Uni
Emirat Arab. Dengan berkurangnya pasokan ikan internasional, hal ini dapat
menjadi peluang bagi pelaku usaha pengolahan ikan di Indonesia, sebab harga
ikan laut dunia otomatis terdongkrak naik, seperti yang terjadi pada harga ikan
tuna (Nurhayat, 2015b).
Seperti yang dilansir oleh Diela (2014) saat sebulan setelah kebijakan
moratorium dilaksanakan, beberapa nelayan dalam negeri sudah memberikan
respon yang positif. Pasalnya, setelah adanya pelarangan kapal eks-asing untuk
melakukan bongkar-muat di wilayah perairan Indonesia, masih banyak ikan
49
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

yang bisa ditangkap oleh nelayan, meskipun musim paceklik. Penghentian izin
untuk kapal penangkap ikan dilakukan, sebab kapal eks-asing dinilai seringkali
mengambil kesempatan dengan memanfaatkan lemahnya penegakan hukum
maritim di Indonesia. Menurut Menteri Susi, setidaknya saat ini pihak asing
tahu apa yang Indonesia inginkan. Pihak asing mulai menyegani Indonesia atas
diterapkannya kebijakan ini. Mereka mengerti hak Indonesia sebagai negara
berdaulat. Beberapa nelayan dalam negeri juga memahami hal tersebut.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Tuna Longline
Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra, mengaku saat ini para nelayan
tradisional tengah berbahagia dengan aturan pelarangan transhipment. Sebab,
terjadi peningkatan hasil produksi nelayan tangkap yang cukup signifikan.
Namun di lain pihak, pengusaha perikanan nasional pemilik kapal lokal
mengalami penurunan produksi. Pasalnya, mereka tidak bisa mengoperasikan
kapal-kapal angkut yang membawa hasil tangkapan ikan dari tengah laut ke
pelabuhan (Angga, 2015). Data produksi ATLI menunjukkan, untuk komoditas
tuna saja misalnya terjadi penurunan sejak Januari lalu. Pada bulan Januari
2015, produksi tuna ATLI mencapai 1,2 juta kg. Angka ini menurun pada
Februari 2015 menjadi 976.776 kg, dan menjadi 848.411 kg pada Maret 2015.
Produksi tuna terus turun pada April 2015 menjadi sekitar 628.396 kg (Angga,
2015). Selain itu, dampak positif kebijakan moratorium, menurut Sari (2015a)
juga dapat dirasakan pada hasil tangkapan ikan para nelayan di Sorong yang
meningkat. Sebelum ada moratorium, rata-rata tangkapan mereka hanya
mencapai 10-20 ton per 14 hari. Namun, setelah ada peraturan tersebut, hasil
tangkapan mereka bisa mencapai 30-40 ton per 14 hari.
Namun demikian, kebijakan moratorium ini juga menimbulkan berbagai
dampak negatif yang dirasakan para pengusaha, bahkan dalam satu daerah
yang sama. Misalnya saja, di saat hasil tangkapan nelayan meningkat, terdapat
dua dari tiga perusahaan ikan di Sorong yang justru bangkrut akibat kebijakan
moratorium. Akibatnya, mereka harus memecat besar-besaran ABK (Anak
Buah Kapal) yang dimiliki. (Sari, 2015a). Kebijakan moratorium bahkan dinilai
tidak efektif. Dilansir oleh Ikawati (2015), Peter Mous, Direktur Perikanan The
Nature Conservancy (TNC) menilai bahwa kebijakan moratorium memang
penting untuk menjaga stok ikan, namun kurang efektif, sebab dengan adanya
pelarangan penangkapan ikan tersebut, banyak kapal yang berlabuh dan ABK
banyak yang menganggur. Hal tersebut kemudian berpengaruh pada
kurangnya pendapatan masyarakat pesisir. Bukan hanya itu, Indonesia
seharusnya tidak menghentikan kapal untuk menangkap ikan, karena
kebutuhan ikan tuna dan seafood masyarakat dunia sangat besar. Menurut
Mous, cara yang lebih efektif adalah dengan membatasi kuota tangkap dan
pemberian waktu tangkap secara bergilir, sehingga pengusaha dan nelayan
tidak mengalami kerugian berkepanjangan, sampai stok ikan kembali
50
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

berlimpah di perairan Indonesia. Selain itu, pemerintah juga bisa mendorong


para pengusaha pemiliki kapal untuk berinvestasi di bidang peningkatan
kualitas kesehatan ikan, untuk membantu Indonesia menjamin mutu produk
ekspornya.
Hal senada juga diutarakan oleh Ketua Asosiasi Perikanan Nasional
Sulawesi Utara, Rudi Waluko, yang mengaku bahwa keputusan Menteri Susi
dirasa sangat merugikan para nelayan lokal. Pasalnya, kebijakan tersebut
terkait larangan transhipment di tengah laut dari kapal tangkap ke kapal
muatan. Adapun kerugian yang diderita mencapai 50% dari hasil tangkapan,
karena mereka harus membawa ikan hasil tangkapan ke daratan, yang
mengakibatkan 50% hasil tangkapan rusak. Dalam hal ini, mereka
membutuhkan kapal pengangkut ikan dengan alat pendingin, untuk
meminimalisir kerusakan hasil tangkapan. Selain itu, jika dihitung, hampir
sekitar 20.000 tenaga kerja menganggur dan banyak pabrik ditutup, karena
PHK besar-besaran. Rudi mengaku merugi tiap bulannya, hingga mencapai 600
juta rupiah untuk satu kapal tangkap, karena dari 55 kapal angkutnya tidak
dapat beroperasi. Saat ini, pihaknya hanya dapat mengandalkan 42 kapal
tangkap yang dimilikinya. Awalnya, dalam satu bulan saja, satu kapal angkut
bisa mengangkut 80 ton, tetapi sekarang hanya mencapai 20 ton. Atas
hilangnya 50-60 ton, kerugian yang diderita mencapai sekitar 600 juta rupiah
setiap satu kapal (Angga, 2015).
Selain itu, kebijakan moratorium juga harus mampu mendukung
kepastian usaha. Riza Damanik dalam Grahadyarini (2015) kembali
mengungkapkan bahwa hal yang mendasar dalam berbagai kompleksitas
persoalan dalam usaha perikanan adalah sifat usahanya yang penuh
ketidakpastian. Untuk itu, kebijakan moratorium seharusnya mampu
memberikan kepastian iklim usaha perikanan, dengan memastikan pelaku
usaha yang boleh dan tidak boleh menangkap ikan di laut, serta memastikan
jenis dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan. Namun, Riza menilai
kebijakan moratorium yang diberlakukan belum menjawab ketidakpastian
usaha tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Thomas Darmawan, Ketua Umum
Asosiasi Pengusaha Pengelolaan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia
(AP5I), juga mengatakan bahwa moratorium telah mengakibatkan tutupnya
sejumlah usaha penangkapan ikan dalam negeri. Selama ini, banyak usaha
penangkapan ikan skala besar membeli kapal dari luar negeri, karena produksi
kapal dalam negeri sendiri pun belum memadai. Dengan dilarangnya
penangkapan ikan tersebut, sejumlah usaha mengalami penurunan pasokan
bahan baku untuk unit pengolahan ikan.

51
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

Kebijakan Moratorium Dilihat dari Perspektif Keamanan Non-Tradisional


Dengan melihat pada latar belakang dikeluarkannya kebijakan
moratorium tersebut, dapat dianalisis bahwa kebijakan tersebut didorong oleh
kesadaran pemerintah akan eksistensi ancaman non-tradisional yang
membahayakan atau merugikan Indonesia, khususnya di bidang ekonomi.
Seperti yang diketahui, menurut Thakur dan Newman, perspektif sosial dan
ekonomi melihat isu keamanan non-tradisional atau human security, terkait
dengan isu kemiskinan dan kekurangan sumber daya (material), yang menjadi
ancaman langsung bagi individu dan kelompok masyarakat. Kekurangan
sumber daya juga dapat menjadi ancaman bagi negara, seperti kemiskinan dan
kesenjangan, yang mampu mengganggu persatuan sosial, menyebabkan
instabilitas, mengganggu penyediaan pelayanan bagi masyarakat, dan
membuat masyarakat rentan akan beberapa ancaman lainnya (Thakur dan
Newman, 2004, 6). Latar belakang kebijakan moratorium sendiri secara khusus
berkaitan dengan tiga komponen human security menurut UNDP, yaitu: [1]
economic security; yang meliputi kemiskinan dan kerentanan pada perubahan
ekonomi global; [2] food security; yang meliputi kelaparan, kerentanan pada
perubahan iklim yang ekstrim dan perubahan agrikultural; dan [3]
environmental security; yang meliputi menipisnya sumber daya, serta kerentanan
pada polusi dan degradasi lingkungan (Liotta dan Owen, 2006, 42).
Tim penulis menilai bahwa sebagai Negara Kepulauan yang memiliki
sumber daya maritim yang berlimpah, serta tentunya sebagai negara yang
berdaulat, sangat wajar jika Indonesia berusaha untuk menjaga ketersediaan
sumber daya alam (SDA) maritimnya. Dari perspektif keamanan non-
tradisional, seperti keamanan ekonomi, ketahanan pangan, dan keamanan
lingkungan, adanya illegal fishing memang menjadi ancaman yang nyata. Illegal
fishing yang begitu marak terjadi di Indonesia telah membuat para nelayan
lokal tidak mampu menikmati kekayaan laut Indonesia, sehingga sebagian
besar dari mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bukan hanya dari
perspektif individu atau kelompok, bahkan Indonesia sendiri sebagai negara,
jelas mengalami kerugian yang besar, karena tidak bisa memaksimalkan
ekspornya di sektor perikanan akibat illegal fishing. Illegal fishing juga dinilai
dapat menganggu ketersediaan pasokan ikan di Indonesia, yang memiliki
posisi penting bagi konsumsi masyarakat, khususnya bagi wanita hamil dan
anak-anak. Dari sisi lingkungan, illegal fishing juga berdampak buruk, karena
merusak lingkungan dan mengganggu stabilitas ekosistem laut atas eksploitasi
ikan yang dilakukan besar-besaran. Tidak mengherankan, jika KKP di bawah
pimpinan Menteri Susi, mengeluarkan kebijakan moratorium kapal eks-asing
penangkap ikan di Indonesia.
Namun demikian, tim penulis menilai bahwa kebijakan tersebut perlu
dikaji ulang dan didampingi oleh kebijakan pendukung lainnya, yang secara
52
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

komprehensif berusaha untuk mengatasi permasalahan di sektor perikanan


sampai ke akarnya. Tim penulis menilai, kebijakan moratorium ini perlu untuk
diiringi dengan usaha membangun sumber daya manusia (SDM) maritim yang
berkualitas. Sebab, tidak dapat dipungkiri, bahwa alasan pengusaha atau
nelayan menggunakan jasa kapal penangkap ikan asing, juga disebabkan oleh
tidak memadainya kapal penangkap dari industri dalam negeri sendiri. Hal ini
berkaitan dengan kualitas SDM Indonesia, baik dari pemerintah maupun
pengusaha, untuk membangun sektor industri maritim. Jika saja ada perhatian
khusus terhadap pengembangan industri maritim, bisa jadi nelayan lokal juga
tidak perlu menggunakan jasa kapal eks-asing untuk mengangkut hasil
tangkapan. Lebih jauh lagi, pembangunan industri maritim akan berpotensi
mengurangi illegal fishing, dengan asumsi bahwa berkualitasnya transportasi
kapal dalam negeri, akan meningkatkan produktivitas nelayan dalam negeri
sendiri.
Bukan hanya itu, jika saja pembangunan SDM maritim dilakukan,
Indonesia juga bisa meningkatkan kemampuan untuk mengolah produk
perikanan menjadi produk dengan value-added yang tinggi. Seperti yang telah
diketahui, kebanyakan produk perikanan Indonesia diekspor secara mentah
dan tanpa diolah, sehingga keuntungan ekonominya juga rendah. Padahal,
potensinya secara kuantitas sangat tinggi. Pembangunan SDM sangat penting,
mengingat human capital menjadi kunci dalam pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi. Terlebih, kenyataan bahwa sebagian besar nelayan Indonesia masih
berada di bawah garis kemiskinan, dengan tingkat pendidikan yang tentunya
juga rendah, semakin mendorong urgensi untuk menyelenggarakan
pendidikan untuk membangun SDM maritim. Untuk itu, penting bagi
pemerintah untuk mempersiapkan pula SDM maritim melalui pendidikan dan
sistem pembelajaran, agar cita-cita sebagai Poros Maritim Dunia pun dapat
tercapai. Ibaratnya, melalui kebijakan moratorium ini, Menteri Susi telah
membukakan kesempatan bagi para pengusaha untuk menghadapi persaingan
global, namun mereka sendiri tidak memiliki kemampuan yang cukup, untuk
bisa memenangkan persaingan global tersebut.
Selain itu, tim penulis juga menilai bahwa Indonesia memerlukan dasar
hukum laut yang jelas, tegas, serta pengamanan laut yang kuat untuk
memayungi kebijakan moratorium tersebut, atas adanya pemahaman bahwa
illegal fishing juga terjadi, karena ada kesempatan yang besar untuk
melakukannya. Bukan hanya itu, Indonesia juga harus membangun
infrastruktur. Sebab, jika memang tujuan dari kebijakan moratorium tersebut
adalah untuk mengolah SDA maritim untuk meningkatkan kapasitas ekonomi
negara dan kesejahteraan nelayan dalam negeri, pertanyaan yang muncul
kemudian adalah sudahkah infrastruktur pelabuhan dalam negeri memiliki
fasilitas yang memadai untuk menopang segala kegiatan para nelayan? Selama
53
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

ini, Indonesia terkenal dengan buruknya pembangunan infrastruktur dalam


negeri. Padahal, jika saja infrastruktur dibangun dengan baik, potensi SDA
Indonesia juga nantinya dapat dikelola, diperdagangkan, dan dimanfaatkan
secara efisien. Berkaitan dengan sektor perikanan, tentunya perlu
dipertanyakan sudah sejauh mana pembangunan infrastruktur direncanakan
untuk mendukung pengembangan ekonomi maritim Indonesia.
Terakhir, perlu dipertanyakan pula bahwa jika memang tujuan
kebijakan moratorium tersebut adalah penghapusan illegal fishing, lalu
bagaimana memastikan bahwa illegal fishing tidak terjadi lagi setelah kebijakan
moratorium dicabut pada Oktober 2015 nanti? Pasalnya, seperti yang sudah
diketahui, kebijakan ini hanya bersifat sementara. Atas hal tersebut,
bagaimanakah tren illegal fishing selanjutnya di Indonesia? Dapatkah dipastikan
bahwa illegal fishing tidak terjadi kembali? Hal ini yang belum terjawab dengan
adanya kebijakan moratorium tersebut.

Kesimpulan
Ke depannya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh
pembangunan sektor perikanan di Indonesia. Menurut BKPM (2011, 4),
pertama, Indonesia harus menghadapi kompetisi pasar global, khususnya
menghadapi Thailand dan Vietnam yang produknya lebih baik dan proses
produksinya lebih efisien. Kedua, Indonesia harus menghadapi kondisi
kompetisi di pasar domestik, sebab berbagai wilayah berbeda di Indonesia
memiliki produk perikanan yang sama. Ketiga, Indonesia membutuhkan
labelling, packaging, product safety, traceability, green/eco-labeling dan Bahan
Tambahan Pangan (BTP), untuk meningkatkan kualitas produk perikanan lebih
baik lagi. Keempat, sektor perikanan Indonesia juga harus bersaing dengan
produk protein hewani lainnya, seperti daging ayam, sapi, dan telur. Kelima,
tantangan juga muncul dari peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat
yang semakin meningkat, yang turut meningkatkan permintaan akan produk
makanan yang sehat. Hal ini menjadi tantangan, sekaligus kesempatan bagi
bisnis di sektor perikanan, untuk mengembangkan produk inovatif seperti
makanan instan, makanan beku, kalengan, kering, dan seafood yang sudah
diolah.
Sementara itu, Pusat Kajian Pembangunan dan Peradaban Maritim
menilai KKP perlu mengambil enam langkah menyeluruh terkait kebijakan
moratorium perizinan usaha penangkapan ikan bagi kapal eks-asing. Pertama,
KKP perlu melalukan perhitungan kembali berapa potensi sumber daya ikan di
perairan Indonesia saat ini, sehingga pemerintah dapat menentukan nilai
ekonomi maksimum atau minimum economic yield (MEY) dari potensi sumber
daya ikan tersebut. Ketepatan dalam menentukan nilai tersebut, akan sangat
berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan di perairan
54
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

Indonesia kelak. Kedua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu


meresmikan pembentukan dan penguatan kelembagaan dan organisasi nelayan
di seluruh wilayah Indonesia, khususnya koperasi nelayan. Keberadaan
koperasi nelayan yang kuat diharapkan dapat menggantikan fungsi tengkulak
dalam hal pemasaran dan peningkatan usaha nelayan serta meningkatkan
kesejahteraan sosial. Ketiga, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang
membatasi upaya-upaya penangkapan yang berlebih, hal ini didasarkan pada
MEY yang sudah ditentukan nilainya. Selama ini pemerintah belum optimal
membatasi upaya penangkapan ikan, sehingga pengelolaan sumber daya ikan
saat ini cenderung bersifat open access. Karena itu, diperlukan upaya membatasi
penangkapan ikan nasional, yaitu dari open access ke MEY. Namun, ketika
pemerintah melakukan upaya pembatasan penangkapan ikan nasional, maka
akan menyebabkan pengurangan jumlah kapal dan penurunan tenaga kerja
nelayan (ABK). Dengan demikian, akan terjadi peningkatan biaya sosial, karena
terjadi peningkatan pengangguran di sektor perikanan. Untuk itu, pemerintah
perlu mengembangkan kegiatan usaha di luar aktivitas penangkapan ikan,
misalnya industri pengolahan dan perikanan budidaya. Tentu hal ini perlu
perencanaan matang, karena tidak mudah untuk mengubah kebiasaan nelayan
menjadi pelaku usaha lain di luar aktivitas menangkap ikan. Keempat,
melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan. Kegiatan ini harus
dilakukan secara bersamaan, karena walaupun pemerintah telah melakukan
pemantauan dan pengendalian, tapi tidak diikuti dengan pengawasan, maka
akan tetap menjadi ancaman bagi kelestarian sumber daya ikan. Bisa saja para
nelayan menangkap ikan pada saat musim mijah ikan, sehingga induk dan anak
ikan ikut tertangkap, sehingga diperlukan pengecekan secara regular kondisi
sumber daya perikanan di seluruh Indonesia. Kelima adalah penurunan biaya
transportasi pemasaran, pembangunan cold storage, dan ice production. Hal ini
dilakukan guna meningkatkan kualitas ikan, produk perikanan, pendapatan
nelayan, serta meningkatkan daya saing ikan hasil tangkapan nelayan. Terakhir
adalah penelitian guna menemukan berbagai inovasi baru dalam melakukan
pengolahan sumber daya perikanan nasional demi meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan kelestarian sumber daya ikan (Hidayat, 2015).
Sebagai kesimpulan, adanya kebijakan moratorium ini menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki kesempatan yang besar untuk dapat memenangkan
persaingan global, khususnya di era konektivitas Asia-Pasifik ini. Namun,
kurangnya kebijakan pendukung dan persiapan dalam negeri menjadi
tantangan tersendiri bagi Indonesia. Pada intinya, kebijakan moratorium ini
seharusnya didampingi oleh usaha membangun kesiapan maritim di sektor
lainnya, seperti sumber daya manusia, hukum, infrastruktur, dan lain-lain.
Sebab, kembali lagi pada perspektif keamanan non-tradisional, suatu isu
keamanan akan terkait dengan isu keamanan lainnya, sehingga solusi yang
55
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

dicari harus mampu mengatasi akar-akar permasalahan yang ada. Dengan


begitu, tim penulis meyakini bahwa tujuan keamanan ekonomi, ketahanan
pangan, dan keamanan lingkungan maritim, bahkan Poros Maritim Dunia,
dapat diraih oleh Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, E-Journal dan E-Book:


Badan Koordinasi Penanaman Modal (2011) Fisheries Industry: at a Glance.
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) (2014) The State of
World Fisheries and Aquaculture: Opportunities and Challenges, Rome.
Liotta, P. H. dan Taylor Owen. “Why Human Security?” dalam The Whitehead Journal of
Diplomacy and International Relations (Winter/Spring, 2006).
Thakur, Ramesh dan Edward Newman (2004) Broadening Asia’s Security Discourse and
Agenda: Political, Social, and Environmental Perspectiives. Tokyo: United Nations
University.

Berita dan Artikel Online:


“Mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia yang Maju dan Mandiri.”
Bakosurtanal, 2014. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2015.
http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/mewujudkan-indonesia-
sebagai-poros-maritim-dunia-yang-maju-dan-mandiri.
Aliya, Angga. (2014) “Menteri Susi Tenggelamkan Kapal Asing Illegal, Ini Efeknya.”
Detik Finance, 9 Desember 2014. Diakses pada tanggal 13 Juli 2015,
http://us.finance.detik.com/read/2014/12/09/074903/2771499/4/2/menteri-
susi-tenggelamkan-kapal-asing-ilegal-ini-efeknya.
Ambarwati, Ririn. (2014) “Membangun Kelautan untuk Mengembalikan Kejayaan
sebagai Negara Maritim.” Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 8 Oktober 2014. Diakses pada tanggal 9
Juli 2015, http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/115/membangun-
kelautan-untuk-mengembalikan-kejayaan-sebagai-negara-maritim.html.
Angga. (2015) “Pro Kontra Kebijakan Moratorium Menteri Susi, Menguntungkan
Siapa?” Harian Terbit, 4 Juni 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/06/04/31017/66/25/Pro-
Kontra-Kebijakan-Moratorium-Menteri-Susi-Menguntungkan-Siapa/3.
Diela, Tabita. (2014) “Apa Dampak Moratorium Izin Kapal Ikan di Laut Kita?” National
Geographic Indonesia, 27 November 2014. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/11/apa-dampak-moratorium-izin-
kapal-ikan-di-laut-kita.
Grahadyarini, BM Lukita (2015) “Moratorium Harus Dukung Kepastian Usaha”
Kompas, 27 Mei 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://print.kompas.com/baca/2015/05/27/Moratorium-Harus-Dukung-
Kepastian-Usaha.

56
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

Handoyo (2014) “Menteri Kelautan dan Perikanan Ingin Didik Nelayan Paham Bisnis”,
National Geographic Indonesia, 29 Oktober 2014. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/10/menteri-kelautan-dan-
perikanan-ingin-didik-nelayan-paham-bisnis.
Haryono, Samsi (2013) “Sektor Kelautan dan Perikanan Bersiap Hadapi AEC 2015”
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 26 November 2013. Diakses
pada 14 Oktober 2015, http://www.p2hp.kkp.go.id/artikel-797-sektor-kelautan-
dan-perikanan-bersiap-hadapi-aec-2015.html.
Hidayat, Reza. (2015) “KKP Harus Ambil 6 Langkah Ini Guna Evaluasi Moratorium
Kapal Asing” GeoTimes, 30 April 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://geotimes.co.id/kkp-harus-ambil-6-langkah-ini-guna-evaluasi-
moratorium-kapal-asing/.
Ikawati (2015) “Kebijakan Moratorium Menteri Susi Kurang Efektif” Jurnal Maritim, 19
Maret 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://jurnalmaritim.com/2015/03/kebijakan-moratorium-menteri-susi-
kurang-efektif/.
Moerti, Wisnoe. (2014) “5 Reaksi Negara Asing saat Menteri Susi Siap Tenggelamkan
Kapal.” Merdeka, 5 Desember 2014. Diakses pada tanggal 9 Juli 2015,
http://www.merdeka.com/uang/5-reaksi-negara-asing-saat-menteri-susi-siap-
tenggelamkan-kapal/kapal-asing-mulai-tinggalkan-indonesia.html.
Nugraha, Irwan (2014) “Gaji Menteri Akan Diberikan untuk Asuransi Nelayan”,
National Geographic Indonesia, 2 November 2014. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/11/gaji-menteri-akan-diberikan-
untuk-asuransi-nelayan.
Nurhayat, Wiji (2015a) “Menteri Susi Bikin 4 Negara Ini Kekurangan Pasokan Ikan.”
Detik Finance, 28 Januari 2015. Diakses pada tanggal 9 Juli 2015,
http://finance.detik.com/read/2015/01/28/124525/2816398/4/menteri-susi-
bikin-4-negara-ini-kekurangan-pasokan-ikan.
Nurhayat, Wiji (2015b) “Menteri Susi: Kebijakan Saya Bikin Kosong Pasokan Ikan
Dunia.” Jakarta Greater National Guard, 17 Februari 2015. Diakses pada tanggal 10
Juli 2015,
http://finance.detik.com/read/2015/02/17/163401/2835705/4/menteri-susi-
kebijakan-saya-bikin-kosong-pasokan-ikan-dunia
Pregiwati, Lilly Aprilya. (2014) “Moratorium Perizinan Kapal Mulai Dilaksanakan.”
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 14 November 2014. Diakses
pada tanggal 11 Juli 2015, http://kkp.go.id/index.php/berita/moratorium-
perizinan-kapal-mulai-dilaksanakan/.
Sari, Henny Rachma. (2014) “Takut Kapal Ditenggelamkan, Negara Lain Larang
Masuk Wilayah RI.” Merdeka, 4 Desember 2014. Diakses pada tanggal 9 Juli 2015,
http://www.merdeka.com/uang/takut-kapal-ditenggelamkan-negara-lain-
larang-masuk-wilayah-ri.html.
Sari, Elisa Valenta (2015a) “Moratorium Kapal Bikin Bangkrut Perusahaan Ikan di
Sorong” CNN Indonesia, 4 Mei 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150504175946-92-
51089/moratorium-kapal-bikin-bangkrut-perusahaan-ikan-di-sorong/
57
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5

Sari, Elisa Valenta. (2015b) “Ekspor Perikanan Naik Signifikan, Menteri Susi
Merinding.” CNN Indonesia, 18 Mei 2015. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2015,
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150518201340-92-54026/ekspor-
perikanan-naik-signifikan-menteri-susi-merinding/.
Sularso, Aji. (2015) “Implikasi Moratorium Kapal Ikan Eks Asing.” Aji Sularso Fisheries
& Cruising Consultant, 4 Januari 2015. Diakses pada tanggal 11 Juli 2015,
http://ajisularso.com/implikasi-moratorium-kapal-ikan-eks-asing/.
Sumakul, Willy F. (2015) “Gun Boat Diplomacy dan Penenggelaman Kapal Penangkap
Ikan Ilegal di Perairan Indonesia.” Forum Kajian Pertahanan dan Maritim, 13 Mei
2015. Diakses pada tanggal 11 Juli 2015, http://www.fkpmaritim.org/gun-boat-
diplomacy-dan-penenggelaman-kapal-penangkap-ikan-ilegal-di-perairan-
indonesia/.
Suryowati, Estu (2015a) “Menteri Kelautan dan Perikanan Gencarkan Pemberantasan
Destructive Fishing.” National Geographic Indonesia, 21 Juni 2015. Diakses pada 13
Juli 2015, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/06/menteri-kelautan-
dan-perikanan-gencarkan-pemberantasan-destructive-fishing.
Suryowati, Estu (2015b) “Wilayah Penangkapan Ikan Akan Dibatasi Minimal 4 Mil”
National Geographic Indonesia, 8 Januari 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/01/wilayah-penangkapan-ikan-
akan-dibatasi-minimal-4-mil.

58
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6

Optimalisasi Model Kerjasama Global dalam Pengelolaan Hutan Bakau di


Kawasan Pesisir Indonesia
Annisa Dina Amalia

Kajian mengenai doktrin poros maritim dunia yang dicanangkan oleh


Presiden Joko Widodo saat ini menjadi kajian yang cukup menjadi perhatian
banyak kalangan. Di satu sisi, doktrin ini menjadi batu loncatan yang relevan
bagi kebangkitan Indonesia mengingat laut merupakan potensi besar yang
dimiliki Indonesia namun sayangnya terlupakan selama bertahun-tahun
lamanya. Di sisi lain, banyak pihak yang masih mempertanyakan dan
meragukan doktrin ini mengingat berbagai masalah masih mendominasi tata
kelola laut Indonesia dan dengan doktrin ini, Indonesia harus mampu
berhadapan langsung dengan negara-negara lain yang telah jauh lebih maju
dalam kekuatan maritimnya, terutama Tiongkok dengan kebijakan jalur sutra-
nya.
Menjadi suatu keharusan bagi Indonesia untuk menggali dan
mengembangkan potensi kelautan yang berperan kuat dalam menunjang
doktrin poros maritim dunia tersebut. Dalam tulisan ini, penulis menyoroti
lebih dalam peran penting budidaya bakau dalam menunjang pilar 1 dan 2
doktrin poros maritim dunia, yakni pembangunan budaya maritim dan
manajemen sumber daya laut. Bakau seharusnya dapat dikelola menjadi
potensi dan ciri khas Indonesia dalam membangun kekuatan maritimnya.
Sayangnya, hutan bakau di Indonesia banyak mengalami kerusakan, baik
karena ulah manusia maupun bencana alam seperti tsunami. Optimalisasi
budidaya bakau yang selama ini belum berjalan dengan baik dapat dilakukan
dengan mengembangkan model kerja sama global yang lebih inklusif agar
eksistensinya mampu membawa keuntungan yang maksimal.

Urgensi Budidaya Bakau di Indonesia


Bakau atau yang biasa dikenal dengan nama mangrove adalah tanaman
yang hidup di kawasan pesisir. Eksistensi tanaman ini membawa berbagai
fungsi. Dari sisi ekologi, bakau mampu menjaga keseimbangan ekosistem
perairan pantai, melindungi pantai terhadap abrasi/erosi pantai, hempasan
angin, pengendali banjir (reservoir/tempat penampungan air), menyaring
bahan-bahan beracun, tempat berlindung dan berpijah/daerah asuhan berbagai
jenis udang, ikan dan berbagai biota laut lainnya, serta menyediakan sumber
makanan biota laut (Wetlands Intrnational, 2013a). Di sisi lain, hutan bakau
memiliki potensi sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di
sekitarnya, terutama menyangkut potensi sumber makanan laut yang banyak
ditemukan di hutan bakau.

59
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6

Indonesia harus berbangga dengan eksistensi bakau di daerahnya


mengingat ekosistem bakau terluas di dunia terdapat di Indonesia (26%).
Hutan bakau menjadi penyangga kehidupan yang krusial karena sebagian
besar penduduk dunia tinggal di wilayah pesisir atau di wilayah aliran sungai
utama, demikian pula di Indonesia (Wetlands International, 2013b, 2). Melihat
potensi dan fungsi bakau yang besar di Indonesia, diperlukan adanya
pengelolaan yang baik terhadap budidaya bakau di Indonesia.
Sayangnya, berbagai fungsi bakau sering disalahgunakan oleh manusia
seiring dengan pertambahan penduduk yang melonjak. Tekanan terhadap
keberadaan hutan bakau sejalan dengan laju pertumbuhan dan perkembangan
penduduk yang mengakibatkan kerusakan hutan sehingga penyebaran bakau
semakin berkurang. Banyak kawasan hutan mangrove yang telah dikonversi
menjadi areal pertambakan, pertanian, industri dan perumahan (Wetlands
International, 2013a). Di sisi lain, kerusakan bakau juga dipicu oleh kondisi
pesisir Indonesia yang rawan tsunami dan perubahan iklim. Lebih dari 50%
dari total luas hutan bakau Indonesia saat ini berada dalam kondisi rusak. Hal
ini tentu membawa kerugian besar bagi keseimbangan ekosistem dan potensi
sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, risiko bencana juga akan menjadi lebih
besar dengan rusaknya hutan bakau.
Pada dasarnya, telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk
menkonservasi dan merehabilitasi ekosistem mangrove, namun hasil dari
kegiatan tersebut belum optimal sesuai harapan. sehingga belum mampu
mengimbangi laju kerusakan yang terjadi. Dalam bahasan selanjutnya akan
dibahas lebih dalam mengenai tata kelola budidaya bakau.

Tata Kelola Budidaya Bakau di Indonesia


Peraturan pemerintah mengenai pengelolaan hutan bakau di Indonesia
pada dasarnya berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang telah
diratifikasi, di antaranya menyangkut pengelolaan hutan lestari, desentralisasi
kewenangan pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi secara partisipatif,
pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan bakau. Berbagai konvensi
internasional yang dimaksud adalah Agenda 21, CBD (Convention on
Biodiversity), UNFCCC (United Nation Framework on Convention on Climate
Change), Ramsar Convention, CITES (Convention on International Trade and
Endangered Species for Flora and Fauna), Konferensi Cartagena tentang Keamanan
Hayati, Protokol Kyoto (Wetlands International, 2013b, 6). Beberapa ratifikasi
tersebut dimanifestasikan dalam beberapa peraturan hukum, yakni (Wetlands
International, 2013b, 7):
1. Ratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden Nomor 43 tahun
1978

60
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6

2. Ratifikasi konvensi Ramsar melalui Keputusan Presiden Nomor


48 tahun 1991
3. Ratifikasi konvensi keanekaragaman hayati melalui
UndangUndang Nomor 5 tahun 1994
4. Ratifikasi konvensi perubahan iklim melalui Undang-Undang
Nomor 6 tahun 1994
5. Ratifikasi United Nation Convention to Combat Desertification
(UNCCD)
6. Ratifikasi Protokol Cartagena (Keamanan Keanekaragaman
Hayati atas Konvensi Keanekaragaman Hayati)
7. Ratifikasi Protokol Kyoto 8. Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK)
Di Indonesia, pengelolaan bakau menjadi tanggung jawab dari
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Strategi yang diterapkan
Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan bakau adalah: (1) Sosialisasi
fungsi hutan mangrove, (2) Rehabilitasi dan konservasi, (3) Penggalangan dana
dari berbagai sumber. Strategi tersebut meliputi dimensi ekologi, sosial
ekonomi, kelembagaan, dan peraturan perundang-undangan, sebab pada
dimensi-dimensi tersebut-lah masalah-masalah budidaya hutan bakau terjadi
(Wetlands International, 2013b, 4-5).
Pengelolaan hutan bakau di Indonesia telah banyak mengalami
perubahan, terutama karena kondisi pesisir yang kerap berubah. Saat ini,
pemerintah mengembangkan pendekatan pembagian kewenangan antara pusat
dan daerah serta kerja sama internasional dengan beberapa NGO yang khusus
menangani budidaya bakau. Namun begitu, strategi nasional yang diterapkan
Departemen Kehutanan masih menemui berbagai inefektivitas, sebab ada
tumpang tindih peran antara Departemen Kehutanan dan Departemen
Kelautan dan Perikanan yang tupoksinya mengelola wilayah pesisir dan laut.
Selain itu, banyaknya pihak (aktor privat dan masyarakat) yang juga turut
terlibat dalam budidaya bakau membuat sinergisitas sulit tercapai. Di sisi lain,
masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari pengelolaan bakau di
daerahnya belum seluruhnya paham budidaya bakau dan dilibatkan dalam
proyek pemerintah pusat (Wetlands International, 2013b, 2).
Dengan melihat kesempatan dan tantangan dalam pengelolaan hutan
bakau di Indonesia, dapat dilihat bahwa kunci penting dalam hal ini adalah
dimensi kelembagaan yang belum berperan optimal. Banyaknya pihak yang
harus ataupun merasa bertanggung jawab atas pengelolaan bakau di kawasan
pesisir Indonesia seharusnya dapat menjadi potensi besar bagi budidaya bakau.
Hal ini tentu membutuhkan upaya optimalisasi dari segi kerja sama yang
dibangun. Pengembangan model kerja sama tersebut akan dipaparkan lebih
dalam di bahasan berikut.
61
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6

Optimalisasi Kerja Sama Global dalam Budidaya Bakau di Indonesia


Salah satu model kerja sama global yang banyak dikembangkan dan
menjadi perhatian saat ini adalah kerja sama multistakeholder. Model kerja sama
ini dikembangkan dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan yang
menjadi fokus negara-negara maju dan berkembang saat ini. Model ini
dipercaya dapat menjadi solusi bagi inefektivitas kerjasama dan tata kelola oleh
pemerintah. Kerja sama multistakeholder merujuk pada seluruh bentuk
kolaborasi antara aktor negara dan non-negara dalam area kerja sama yang
luas. Beberapa karakteristik utama dari model kerja sama ini adalah:
transnasionalitas, objektif kebijakan publik, dan struktur jaringan (Pattberg dan
Widerberg, 2014, 9-12). Menurut Philipp Pattberg dan Oscar Widerberg, kunci
efektivitas model kerja sama multistakeholder adalah dalam menjembatani nilai
dan agenda yang saling tumpang tindih oleh aktor-aktor yang terlibat dengan
membuat suatu kelompok yang memiliki kepercayaan satu sama lain, aturan
dan prosedur, dan kerja sama dalam mencapai kebaikan/tujuan bersama.
Beberapa aspek kuncinya meliputi aktor, proses, dan konteks (Pattberg dan
Widerberg, 2014, 22).
Kerja sama global menjadi solusi krusial bagi pengelolaan budidaya
bakau yang masih belum optimal, khususnya bagi Indonesia. Hal ini terkait
dua alasan. Pertama, pengelolaan budidaya bakau yang melibatkan berbagai
pihak, baik aktor negara maupun non-negara, mampu dikembangkan dengan
lebih baik melalui bentuk kerja sama global multistakeholder tersebut. Kedua,
kurangnya sumber daya, terutama dari sisi finansial dan IPTEK, yang penting
bagi budidaya bakau yang efektif dan efisien, akan mampu dicapai dengan
adanya bantuan internasional.
Pada dasarnya Indonesia telah memberikan perhatian mengenai
koordinasi kelembagaan, baik vertikal maupun horizontal, secara khusus
dalam pengelolaan hutan bakau tersebut. Departemen Kehutanan juga telah
mencanangkan adanya kerja sama antarseluruh pemangku kepentingan yang
terkait, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global (Wetlands International,
2013b, 12-22). Telah ada berbagai aktor non-negara, baik di tingkat lokal,
nasional, maupun internasional yang bergerak. Aktor internasional itu
diantaranya adalah Mangroves for the Future dan Wetlands International yang
merupakan NGO berbasis lingkungan. Berbagai aktor swasta, baik lembaga
donor maupun perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah pesisir juga
turut bergerak dalam upaya budidaya bakau. Sementara itu, di tingkat nasional
dan lokal aktor didominasi jaringan aktivis peduli lingkungan dan masyarakat
daerah setempat. Hal ini menunjukkan adanya potensi kolaborasi dan sektor
yang berbeda-beda.
Namun, sejauh ini rencana pengelolaan hutan bakau yang telah
dicanangkan belum berjalan efektif oleh sebab hadirnya berbagai tantangan, di
62
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6

antaranya belum ada pembagian peran dan fungsi kerja yang jelas oleh masing-
masing pemangku kepentingan. Pelaksanaan budidaya bakau yang dilakukan
oleh masing-masing aktor biasanya dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa
koordinasi dengan pihak-pihak lainnya, sehingga pemahaman dan strategi
yang dilakukan berbeda-beda. Hal ini terkait pula dengan belum adanya
prosedur atau peraturan yang secara detail menjelaskan pembagian peran dan
wilayah kerja masing-masing pihak yang terlibat. Penandatanganan perjanjian
juga tidak seluruhnya menjadi wewenang pusat. Selain itu, ada pula
kecenderungan dominasi pemerintah atau kelompok bentukan pemerintah
dalam pengelolaan hutan bakau di daerah (Hidayatullah, 2012, 167-168).
Pelaksanaan koordinasi antarlembaga yang dilakukan cenderung masih
bersifat horizontal (pusat ke daerah), sedangkan dimensi horizontal, terutama
keterlibatan aktor non-negara terbilang masih minim.
Model kerja sama global antarpemangku kepentingan yang
dikembangkan harus berbasis pada 3 kriteria, yakni transnasionalitas, objektif
kebijakan publik, dan struktur jaringan. Dalam upaya pengelolaan hutan
bakau, pemerintah pusat harus bertindak sebagai inisiator, koordinator, dan
supervisor bersama-sama dengan pemerintah lokal dalam menyusun dan
melaksanakan strategi pengelolaan hutan bakau. Dalam tahap pertama itupun
pemerintah harus lebih inklusif dengan melibatkan aktor-aktor lain, seperti
misalnya lembaga penelitian, universitas, NGO, LSM, dan sebagainya yang
mengetahui langsung keadaan di pesisir dan dapat memberikan masukan
kebijakan yang tepat, sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah.
Setelah didapatkan rumusan strategi yang tepat, seluruh aktor yang
terlibat tersebut perlu membuat draft strategi jangka panjang yang memuat
pembagian peran, fungsi, dan wilayah kerja yang jelas untuk masing-masing
aktor dan sektor, agar pengelolaan bakau tidak mengalami tumpang tindih dan
tidak sembarang dilaksanakan. Dengan adanya prosedur seperti ini,
pengelolaan bakau dapat dikoordinasikan dengan lebih baik dan terarah sesuai
kepentingan bersama di level nasional. Disamping itu, masing-masing aktor di
tiap sektor yang berbeda cukup berfokus pada pembagian kerjanya masing-
masing. Komunitas akademik, misalnya, berfokus pada pencarian strategi
pengelolaan bakau yang optimal, sedangkan aktor swasta dapat berfokus pada
tanggung jawab sosial dengan memberikan bantuan dana dan teknis. Di sisi
lain, NGO dan masyarakat setempat perlu berkolaborasi dalam melestarikan
bakau sesuai kearifan lokal yang ada di kawasan tersebut dan
menyesuaikannya dengan prosedur nasional. Peran masyarakat menjadi sangat
krusial dalam rangka menyatukan pemahaman mengenai pentingnya menjaga
bakau dari alih fungsi lahan dan mengoptimalisasi sumber makanan yang
dapat diambil dari ekosistem bakau tersebut. Dengan kata lain, optimalisasi
model kerja sama global ini dapat berjalan efektif dengan berfokus pada
63
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6

pengelolaan berbasis masyarakat, di mana masyarakat menjadi eksekutor


utama dalam pengelolaan bakau di daerahnya.
Dengan pengelolaan bakau yang lebih terarah dan koordinatif, potensi
hutan bakau bagi pengembangan kawasan pesisir, baik dari sisi ekologi
maupun sosioekonomi, dapat dioptimalkan dan masalah-masalah yang ada
dapat perlahan-lahan teratasi. Sebagai negara dengan ekosistem bakau terluas
di dunia, potensi bakau tersebut apabila dioptimalkan dapat membantu
realisasi 2 dari 5 pilar doktrin poros maritim dunia yang digagas oleh Joko
Widodo, yakni pembangunan budaya maritim dan manajemen sumber daya
laut (The Jakarta Post, 2014). Budaya maritim di sini merujuk pada konstruksi
persepsi akan pentingnya laut dan seluruh aspek yang terkait dengannya, dan
dalam kasus ini menyangkut cara pandang dan pengelolaan ekosistem bakau
di kawasan pesisir oleh masyarakat setempat dan aktor-aktor lain yang terlibat.
Sementara itu, manajemen sumber daya laut dalam kasus ini menyangkut
seluruh potensi sumber makanan laut (udang, ikan, kepiting, dan sebagainya)
yang akan teroptimalkan dengan terjaganya ekosistem bakau, sehingga pada
akhirnya mampu mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan
Indonesia secara umum.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm
Hidayatullah. (2012) Pola Kemitraan dalam Rehabilitasi Mangrove : Studi Kasus di
Kecamatan Boleng - Kabupaten Manggarai Barat. Seminar Hasil Penelitian Balai
Penelitian Kehutanan Kupang. 16 Oktober 2012
Pattberg, P dan Oscar Widerberg. (2014) Transnational Multi-Stakeholder Partnerships
for Sustainable Development: Building Blocks for Success. Report from IVM
Institute for Environmental Studies. 13 Agustus 2014
The Jakarta Post (2014, 13 November). Jokowi Launches Maritime Doctrine World. The
Jakarta Post, online.
http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/13/jokowi-launches-
maritime-doctrine-world.html
Wetlands International (2013a, Juni). Potensi Hutan Bakau (Mangrove). 29 Juni 2015.
http://www.iwf.or.id/detail_content/134
Wetlands International (2013b, Mei). Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Indonesia. 29 Juni 2015.
http://indonesia.wetlands.org/LinkClick.aspx?link=PDF%2FStranasMangrove
(KKMTN-Mei2013).pdf&tabid=3093&mid=13422&language=id-ID

64
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

Membangun Indonesia dari Wilayah Terpinggir ke Pusat: Opsi-opsi


Pembangunan Industri Pariwisata Maritim di Indonesia Bagian Timur. Studi
Kasus: Raja Ampat, Papua
Kevin Tan

Pendahuluan
Saat ini, Indonesia sedang berada dalam tahap redefinisi jati diri konsep
negara. Redefinisi negara ini terkait dengan status Indonesia sebagai negara
maritim. Isu ini mulai menyebar ke kalangan publik saat Jokowi memulai
kampanye Pemilihan Presiden 2014. Dalam kampanyenya, Jokowi beritikad
untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong, melalui didalam salah satu misinya untuk
mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim
dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan (Divisi
Humas Kemendagri, 2015). Dalam Nawa Cita poin ke 3, ia mengatakan bahwa
ia akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Poin Nawa Cita yang dikemukakan Presiden Joko Widodo sangat
menarik untuk dibahas, ketika ia beritikad untuk membangun wilayah-wilayah
dari daerah terpinggir. Hal tersebut sangat tidak mudah dilakukan, mengingat
pembangunan infrastruktur di daerah terpinggir tidak semaju dengan
pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa. Secara garis besar, penulis
mendukung ide tersebut. Perihal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi
Indonesia tidak dapat terus-menerus bergantung kepada Pulau Jawa sebagai
pusat pembangunan, namun dari wilayah terpinggir. Pembangunan Indonesia
bagian Timur yang seringkali hanya merupakan wacana adalah sangat penting
untuk dieksekusi lebih lanjut, demi memperjuangkan kesejahteraan dan
keadilan kepada seluruh entitas masyarakat entitas.
Tulisan ini ditulis dengan menyertakan Papua sebagai sentral analisis
bagi pembangunan Indonesia bagian timur. Penulis beranggapan bahwa
industri pariwisata maritim yang dimiliki Papua perlu diperhatikan dengan
serius oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena Papua memiliki industri
maritim pariwisata yang sangat potensial. Taman Nasional Teluk
Cenderawasih, Raja Ampat, Danau Sentani, Danau Paniai, Pantai Bosnik,
Pantai Amai, dan Pulau Rumberpon merupakan contoh dari industri
pariwisata maritim yang dimiliki Papua (Aneka Tempat Wisata, 2014).
Mengingat bahwa sektor pariwisata memiliki potensi yang sangat luas untuk
membangun wilayah yang seringkali terabaikan, perhatian terhadap industri
maritim di wilayah tersebut perlu untuk diperhatikan pemerintah.

65
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

Industri Pariwisata Maritim sebagai Potensi


Konsep negara maritim Indonesia sebenarnya telah dikumandangkan
sejak beberapa abad yang lalu. Kerajaan-kerajaan Indonesia, seperti: Kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit memandang penting laut sebagai teritori
wilayah mereka. Konsep kerajaan yang dimiliki mereka memberikan sebuah
konsep yang sangat penting untuk diperhatikan negara Indonesia saat ini.
Melalui fokus kedua kerajaan tersebut terhadap isu kemaritiman, mereka dapat
mengembangkan kerajaan mereka secara signifikan, hingga dikenal oleh
negara-negara lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
kemaritiman adalah kunci bagi pengembangan kapasitas kerajaan. Fokus
kemaritiman yang dilakukan kedua kerajaan tersebut perlu dilakukan di bumi
nusantara Indonesia.
Selain berkaca kepada kerajaan-kerajaan besar sebelum lahirnya
Indonesia, kita dapat melihat mengenai konsep Tanah Air yang
dikumandangkan melalui Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya karangan
W.R. Supratman. Melalui beberapa kejaduan tersebut, Indonesia semakin
identik dengan konsep Tanah Air. Secara dasar, konsep Tanah Air ini berasal
dari kondisi geografis Indonesia yang memiliki wilayah lautan sebesar 75% dan
sisanya nya adalah daratan. Dengan demikian, nilai-nilai Indonesia sebagai
negara maritim sebenarnya telah dikenal sejak dahulu kala melalui warisan
sejarah kerajaan-kerajaan dan konsep Tanah Air itu sendiri. Kemaritiman
merupakan salah satu jati diri bangsa Indonesia.
Pada dasarnya, konsep negara maritim memiliki keterkaitan yang sangat
erat dengan industri pariwisata maritim. Berangkat dari fokus yang sama
dengan memanfaatkan maritim sebagai pusat pembangunan, kedua hal
tersebut dapat memberikan manfaat kepada satu sama lain. Industri pariwisata
maritim dapat membantu terwujudnya negara maritim, dengan menanamkan
secara sengaja ataupun tidak sengaja nilai-nilai Indonesia sebagai negara
maritim, sehingga dapat bermanfaat bagi beberapa kalangan untuk
mengembangkan konsep tersebut. Dilain sisi, konsep negara maritim dapat
memberikan pengembangan serius dan menyeluruh terhadap industri
pariwisata maritime melalui penyediaan modal, pembangunan infrastruktur
dan kerjasama Public-Private Partnership. Hal terkait Public-Private Partnership
ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya pada tulisan ini. Alhasil, kedua
konsep tersebut perlu dihayati semaksimal mungkin demi mengembangkan
konsep negara maritim, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Presiden
Joko Widodo.
Apabila berbicara konsep, hal tersebut sangat mudah dilakukan.
Namun, apabila dikaitkan dengan realita, hal tersebut tidak seindah, ketika
berbicara konsep. Fakta menunjukkan bahwa kontribusi sektor Pariwisata
hanya baru mencapai 3,8%, mengingat bahwa sektor tersebut merupakan
66
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

sektor pencipta tenaga kerja terbesar keempat (Kementerian Pariwisata, 2012).


Selain itu, sektor ini mampu tumbuh sekitar 8,3% per tahun yang melampaui
pertumbuhan ekonomi global yang rata-rata 3,6%.Hal yang lebih menakjubkan
kembali adalah pada tahun 2013, arus kunjungan wisatawan ke negara-negara
ASEAN sudah mencapai 92,7 juta atau meningkat 12% dibanding tahun
sebelumnya. Indonesia perlu memanfaatkan sektor yang sangat berpotensi ini
lebih jauh, demi pembangunan Indonesia di wilayah pinggir, melalui
pengembangan sektor pariwisata. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke
Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi Indonesia, apabila
dimanfaatkan dan dikelola oleh pemerintah dengan baik.
Pada kenyataannya, jalan Indonesia untuk menuju negara maritim telah
diperkenalkan Kusumastanto (2014) melalui konsep Kebijakan Kelautan
melalui Program Pembangunan Negara Maritim melalui 5 pilar, yaitu:
Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy), Kebijakan Tatakelola
Kelautan (Ocean Governance Policy), Kebijakan Lingkungan Laut (Ocean
Environment Policy), Kebijakan Pengembangan Budaya Bahari (Maritime Culture
Policy) dan Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy) (Tridoyo
Kusumatanto, 2015). Penulis beranggapan bahwa kelima konsep tersebut
merupakan hal yang sangat vital bagi pembangunan ulang jati diri negara
Indonesia sebagai negara maritim. Apabila kelima pilar tersebut berhasil
dikembangkan oleh pemerintah Indonesia secara serius, maka Indonesia dapat
semakin lebih cepat untuk kembali ke jati diri Indonesia sebagai negara
maritime. Oleh karena itu, pengembangan konsep dan realisasi dari konsep
sangat penting untuk terus dikembangkan.
Penulisan kali ini akan fokus kepada Kebijakan Pengembangan Budaya
Bahari yang memiliki keterkaitan terhadap industri pariwisata maritim. Secara
garis besar, industri pariwisata maritim adalah industri pariwisata yang
mengutamakan sektor kelautan sebagai obyek wisata. Dengan menggunakan
sektor kelautan sebagai obyek wisata, diharapkan hal tersebut dapat membantu
mengembangkan industri bahari Indonesia lebih baik dan terarah kembali.
Kebijakan ini perlu untuk digalakkan, demi membangun industri pariwisata
maritim agar pembangunan daerah tertinggal dapat segera diwujudkan
melalui industri tersebut. Selain itu, industri paritisata maritim adalah warisan
yang telah dianugerahkan kepada kita oleh sang Pencipta dan merupakan
tanggung jawab negara Indonesia untuk mengelolanya dengan baik.
Fakta telah menunjukkan bahwa Indonesia terletak di kawasan segitiga
karang dunia (coral triangle) bersama Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua
Nugini, dan Kepulauan Salomon dengan luas total terumbu karang sekitar
75.000 km2 (Zulfikri Alexandri, 2014). Luas total terumbu karang Indonesia
sekitar 51.000 km2 atau 18% luas total terumbu karang dunia dan 65% dari luas
total di coral triangle. Kepulauan Raja Ampat merupakan kepulauan dengan
67
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

jumlah jenis terumbu karang tertinggi di dunia. Melalui fakta tersebut,


Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak hanya dianugerahi dengna
warisan sumber daya alam yang melimpah ruah. Seiring dengan potensi ini,
Indonesia perlu bertanggung jawab atas pengelolaannya.
Dengan fakta diatas, Indonesia memiliki potensi industri pariwisata
maritim –yang sangat berkaitan erat dengan pengembangan budaya bahari
oleh Kusumanto yang sangat berpotensi untuk dikembangkan dengan baik.
Penulisan kali ini akan menggunakan Raja Ampat sebagai studi kasus, demi
memberikan analisis untuk mengembangkan sektor kemaritiman secara
maksimal. Pengelolaan yang baik dan terukur dapat membawa industri
maritim ini menjadi ujung tombak pembangunan di daerah tertinggal melalui
pengembangan industri pariwisata maritim. Penulis beranggapan bahwa
Presiden Joko Widodo perlu fokus terhadap sektor ini yang memiliki potensi
yang besar dalam pembangunan Indonesia dari pinggir ke pusat, sesuai
dengan Nawa Cita yang disampaikan pada saat kampanye Pemilihan Presiden
2014.

Melihat Papua sebagai Ujung Tombak


Papua perlu dilihat sebagai ujung tombak pembangunan Indonesia
bagian Timur. Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi hal tersebut , yakni:
Pertama, Papua merupakan wilayah paling timur dari Indonesia yang
membutuhkan pembangunan ekonomi yang signifikan, ketika unsur-unsur
separatisme mulai muncul ke permukaan. Kedua, industri pariwisata maritim
Papua yang masih natural memiliki potensi pengembangan yang sangat luas,
sehingga dapat memajukan Papua sebagai wilayah yang seringkali terabaikan.
Papua memiliki sektor-sektor pariwisata maritim yang dapat dikembangkan,
seperti: Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Raja Ampat, Danau Sentani,
Danau Paniai, Pantai Bosnik, Pantai Amai, dan Pulau Rumberpon. Dengan
potensi yang dimiliki Papua, sudah selayaknya Papua mendapat fokus dari
pemerintah pusat, agar hal tersebut dapat menjadi pilot project yang dapat
dilakukan di wilayah Indonesia yang relatif terbelakang.
Dalam penulisan ini, penulis ingin mengambil Raja Ampat sebagai
contoh. Raja Ampat merupakan salah satu contoh obyek wisata yang saat ini
mendapat perhatian yang cukup besar. Sebagai wilayah yang memiliki lebih
dari 1000 spesies ikan karang, wilayah. ini telah berhasil mengundang berbagai
macam wisatawan internasional untuk mengunjungi daerah tersebut.
Kurang lebih 85% luas wilayah Kepulauan Raja Ampat adalah lautan,
karena itulah kawasan ini punya ciri khas yang sangat identik. Menurut
The Nature Coservancy (TNC), Raja Ampat memiliki lebih dari 1427
spesies ikan karang, jumlah tertinggi di dunia untuk keanekaragaman
hayati ini. Raja Ampat memiliki total 75% dari seluruh jenis terumbu
68
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

karang dunia, lebih banyak dari Kepulauan Karibia di Amerika Tengah


dan Great Barrier Reef di Australia yang “hanya” memiliki sekitar 400
jenis karang. (Zulfikar Alexandri, 2014)
Mengingat bahwa Raja Ampat memiliki jumlah spesies ikan karang
terbanyak didunia, keragaman aneka hayati yang dimiliki Raja Ampat perlu
untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini didasarkan
pada dua hal, yakni: Pertama, Indonesia perlu menunjukkan komitmennya
dalam pelestarian keanekaragaman hayati yang dimiliki. Kedua, potensi wisata
yang dimiliki Raja Ampat memiliki potensi yang sangat besar untuk
memajukan Papua bila dimanfaatkan dengan baik. Pembangunan yang terarah
melalui keterbukaan dan transparansi dari pihak pemerintah dapat membantu
mengembangkan Papua menjadi wilayah yang lebih maju.
Dalam menyikapi potensi yang dimiliki Raja Ampat, terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan demi memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
Penulis beranggapan bahwa tiga hal ini penting untuk diperhatikan
pemerintah dalam mengembangkan kawasan tersebut, yakni: pembangunan
kawasan secara berkelanjutan tersebut dengan memperhatikan ekosistem
kelautan, pembangunan infrastruktur di sekitar kawasan Raja Ampat dan
keterbukaan dan transparansi dengan publik.
Pembangunan kawasan secara berkelanjutan vital bagi pembangunan
kawasan Raja Ampat. Dalam konsep pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,
unsur-unsur lingkungan seringkali mendapat perhatian kecil. Penulis
beranggapan bahwa pembangunan kawasan secara berkelanjutan akan
membawa dampak jangka panjang bagi pembangunan, karena pemerintah
dapat memiliki peluang lebih untuk mengelola kawasan tersebut dalam jangka
waktu yang lebih lama. Selain itu, dengan melimpah ruahnya kekayaan alam
yang Indonesia miliki, merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia
untuk mengelolanya dengan baik. Hal ini didasarkan bahwa dampak dari
perusakan lingkungan tidak hanya membawa dampak bagi Indonesia, namun
bagi dunia internasional secara keseluruhan. Komitmen pemerintah untuk
menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan akan menciptakan citra
positif di kalangan wisatawan untuk berkunjung ke Raja Ampat, karena
Indonesia berkomitmen untuk mengelola wilayah tersebut secara etis, menurut
standar pengelolaan lingkungan.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam poin sebelumnya adalah
pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur tersebut dapat dibagi
menjadi dua hal, yakni pembangunan infrastruktur transportasi dan
akomodasi. Infrastruktur transportasi mencakup menyediakan kemudahan
bagi para wisatawan nasional dan internasional untuk mengunjungi kawasan
tersebut, baik dalam dan luar pulau. Hal ini penting, mengingat Papua terletak
jauh di Timur dan tidak memiliki infrastruktur transportasi yang memadai,
69
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

demi memudahkan wisatawan untuk mengunjungi wilayah tersebut.


Selanjutnya, infrastruktur akomodasi adalah infrastruktur yang memberikan
kemudahan dalam tempat tinggal dan kegiatan-kegiatan liburan yang akan
dilakukan. Dalam hal ini, Raja Ampat memiliki 7 resort, 11 hostel dan 36
homestay, ketika kota Manokwari memiliki 34 hotel yang 3 diantaranya adalah
hotel berbintang 4 (The Jakarta Post, 2012). Melalui hal ini dapat disimpulkan
bahwa pemerintah lokal telah cukup memberikan kemudahan akomodasi bagi
para wisatawan. Namun, hal ini perlu dikembangkan, karena kemudahan
akomodasi yang dimiliki Manokwari akan membantu wisatawan untuk sering
berkunjung ke kawasan ini.
Hal terakhir yang ingin penulis singgung dalam menjadikan Papua
sebagai ujung tombak adalah keterbukaan dan transparansi dari pemerintah.
Budaya korupsi seringkali menjadi hambatan bagi pemerintah untuk
membangun Indonesia secara efektif dan efisien, sehingga Indonesia seringkali
terlambat untuk mengantisipasi tantangan yang dihadapinya di masa
mendatang. Keterbukaan terhadap total proyek pembangunan di Papua dapat
membantu pemerintah untuk mengurangi tindak-tindak korupsi. Semakin
pemerintah transparan, semakin pembangunan dikawasan yang tertinggal ini
dapat tercapai. Selain itu, transparansi dari proyek kerja pemerintah pusat,
daerah, dan pihak swasta perlu dilakukan secara terbuka, sehingga masyarakat
dapat mengetahui dan mendukung proyek-proyek pembangunan infrastruktur
maritim yang dimiliki pemerintah. Dengan demikian, keterbukaan dan
transparansi dari berbagai pihak diharapkan dapat mengembangkan Papua
secara lebih maksimal sebagai daerah yang tertingggal.
Menjadikan Papua sebagai ujung tombak pembangunan memang bukan
hal yang mudah dilakukan. Hal ini disebabkan karena wilayah ini seringkali
terabaikan dari pemerintah pusat. Upaya secara kontinu oleh pihak pemerintah
Papua sangat diharapkan untuk dapat membangkitkan industri pariwisata
maritim yang memiliki potensi yang sangat luas dalam membangun Papua.

Peran Pemerintah dalam Membangun Industri Pariwisata Maritim di Papua


Papua tidak dapat maju dan berkembang tanpa ada peran pemerintah
yang maksimal dalam pembangunan Papua. Menurut penulis, setidaknya ada
2 peran yang dapat dilakukan oleh Pemerintah demi berkontribusi demi
kemajuan Papua. Penulis membagi bagian ini menjadi dua bagian, yakni:

1. Public-Private Partnerhsip
Secara singkat Public-Private Partnership (PPP) adalah pengaturan jangka
menengah hingga panjang oleh pemerintah dan sektor swasta, yang dimana
tanggung jawab penyediaan jasa oleh pemerintah disediakan sektor swasta
dengan perjanjian jelas melalui tujuan yang sama terhadap infrastruktur publik
70
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

dan kegiatan jasa itu sendiri (Bank Dunia, 2015). Konsep ini sangat berguna
baik bagi pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah dalam
mengembangkan Papua. Kerjasama dapat dilakukan melalui penyertaan
modal, penyuluhan, dan pembagian peran oleh pihak pemerintah dan swasta
dalam memajukan daerah.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan melalui
implementasi kebijakan ini. Pertama, pemerintah dapat mempercepat proyek
pembangunan di wilayah tertinggal dengan bekerjasama dengan pihak lain.
Pihak swasta dapat menyediakan beberapa hal, seperti: dana, infrastruktur dan
sistem yang mungkin tidak dimiliki pemerintah, untuk membantu pemerintah
untuk menyelesaikan proyek tersebut. Dengan demikian, koordinasi antar para
pemangku kepentingan perlu diperhatikan lebih lanjut. Kedua, poin
transparansi dan keterbukaan dapat semakin diimplementasikan, ketika
seringkali pemerintah dianggap kurang transparan dalam melakukan proyek.
Demi mendukung transparansi, peran masyarakat, khususnya civil society perlu
dilibatkan dalam mewujudkan hal tersebut. Perlu diingat, semakin transparan
kedua belah pihak kepada publik –yang dalam hal ini dimonitori peran civil
society, semakin besar kemungkinan Papua semakin maju. Ketiga,
pembangunan infrastruktur seyogyanya memperhatikan standar-standar
lingkungan, demi mengelola wilayah ini dalam jangka waktu yang lama. Hal
ini penting agar keindahan alam dan keberagaman yang dimiliki wilayah
tersebut dapat semakin dijaga.
Sejauh ini, penulis memperhatikan bahwa ada contoh PPP yang dapat
ditiru. Demi membantu pengembangan kawasan Raja Ampat, telah diadakan
kerjasama antara agensi tur Papua dengan pihak Bali yang dapat diambil
sebagai contoh. Badan Pariwisata Papua Barat mengadakan seminar dengan
tema “Mempromosikan Potensi Pariwisata Papua Barat” dengan mengundang
berbagai pemangku kepentingan. Hal ini dapat membantu wilayah Papua
Barat untuk mempromosikan turisme melalui wilayah Bali yang sudah
terbangun potensi pariwisatanya. Meskipun masih berupa seminar dan belum
ada tahap lebih lanjut untuk mengadakan proyek-proyek lainnya dalam
membangun hal-hal lebih besar seperti infrastruktur, namun koordinasi antar
berbagai macam pihak inilah yang dibutuhkan. Setidaknya dari hal kecil ini,
diharapkan implementasi PPP dapat semakin dijalankan dengan baik.
Penyediaan tiket murah dari pihak penerbangan dapat menjadi alternatif
untuk mengembangkan wilayah tersebut secara signfikan. Menrutut data,
kunjungan wistata mancanegara ke Raja Ampat dapat mencapai 15.000 per
tahun secara rata-rata (Republika Online, 2014). Jumlah pengunjung tersebut
perlu untuk dimanfaatkan dengan baik, demi meningkatkan pembangunan
yang diharapkan. Dengan demikian, baik pihak pemerintah dan swasta dapat
memanfaatkan keuntungan dari kerjasama tersebut. Pihak pemerintah dan
71
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

swasta dapat bekerjasama membangun infrastruktur pariwisata lebih baik di


wilayah tersebut, seperti: pembangunan bandara, resort yang dikelola bersama
dan lainnya. Dalam hal ini, beberapa pihak kementerian (Kementerian
Perhubungan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dll) dan maskapai
penerbangan dapat bekerjasama untuk melaksanakan hal tersebut.
Untuk memerhatikan standar lingkungan, pemerintah dapat
berkontribusi bagi pembangunan Papua dengan memperhatikan standar-
standar yang jelas, seperti: standar AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) dan pembagian modal serta keuntungan yang merata, agar dana
tersebut dapat digunakan untuk membangun Papua, tanpa unsur korupsi
didalamnya dengan memperhatikan standar lingkungan. Terkait mengenai
usaha pemerintah untuk meningkatkan jumlah wisatawan internasional untuk
mengunjungi Papua, usaha pemberian visa gratis yang telah dilakukan
Presiden Joko Widodo beserta kabinetnya perlu untuk diapresiasi dan
dilanjutkan. Hal ini signfikan bagi pengembangan ekonomi diwilayah
bersangkutan, melalui ekonomi pariwisata yang tergerak oleh usaha
pemerintah dalam mengundang wisatawan asing. Selain itu pemerintah juga
dapat melakukan kerjasama dengan wilayah yang sektor pariwisatanya maju.
Melihat Bali sebagai contoh sangat diperlukan dalam hal ini, mengingat Bali
memiliki sektor pariwisata yang paling maju se-Indonesia. Kerjasama dengan
pihak Bali dalam mempromosikan Papua dalam hal ini Raja Ampat dapat
menjadi solusi dalam meningkatkan jumlah pengunjung ke wilayah tersebut.
Keberhasilan pemerintah dalam mendukung pembangunan infrastruktur di
Papua dapat mendukung PPP tersebut.
Sebagai konklusi di bagian ini, Public-Private Partnership perlu
dimanfaatkan dengan lebih baik. Baik pihak swasta dan pemerintah memiliki
kontribusi yang signifikan dalam memajukan daerah tertinggal.

2. Ekonomi Kreatif melalui Small and Medium Enterprises lokal


Menurut pendapat penulis, ekonomi kreatif dapat didefinisikan sebagai
pengembangan kegiatan usaha yang menggunakan ide-ide kreatif dalam
menggerakkan kegiatan perekonomian. Dalam kampanye Pemilihan Presiden,
contoh yang dikemukakan terkait ekonomi kreatif adalah seputar musik, komik
dan hal-hal yang berbau dengan seni. Menurut UU No. 2000 tahun 2008,
kriteria Small and Medium Enterprises (SMEs) adalah:
(1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut: a. memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). (2) Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut: a. memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,0 (lima puluh juta rupiah)
72
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)


tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus
juta rupiah). (3) Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut: a.
memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Untuk mengetahui jumlah rata-rata modal yang dapat digunakan


masyarakat Papua untuk mengembangkan SMEs, hal ini perlu disesuaikan
dengan tingkat harga barang-barang dan jasa tiap daerah. Penulis hanya
berkeyakinan bahwa masyarakat Papua perlu mengembangkan kemandirian
ekonominya dengan kerjasama dengan pihak swasta, penyertaan modal dari
pihak pemerintah dan kerjasama dengan organisasi non-pemerintah yang
berkaitan dengan kemandirian ekonomi lokal, demi mengembangkan ekonomi
masyarakat disana lebih memadai. Konsep SMEs tersebut dapat dielaborasikan
dengan konsep ekonomi kreatif yang dimiliki masyarakat Papua, seperti:
cinderamata, musik-musik daerah, hasil alam ataupun buatan dari wilayah
yang dikunjungi dengan memerhatikan standar lingkungan. Pengelaborasian
ini penting, demi mengembangkan ciri khas dan kesan yang mendalam bagi
wisatawan, serta mengembangkan ekonomi lokal.
Dengan demikian, pemerintah tidak bekerja sendiri dalam memajukan
perekonomian lokal, namun pihak masyarakat lokal juga memiliki kesempatan
untuk mengembangkan kemandirian ekonominya sendiri.

Kesimpulan
Sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo yang telah disampaikannya
saat kampanye Pemilihan Presiden 2014, pembangunan nasional dari wilayah
yang terpinggirkan ke pusat perlu untuk dilakukan. Hal ini dapat dilakukan
melalui cita-cita Presiden untuk mewujudkan konsep negara maritim melalui
industri pariwisata maritim. Untuk mengelaborasikan hal tersebut, penulis
mengambil Papua, khususnya wilayah Raja Ampat sebagai contoh untuk
mengembangkan industri pariwista maritime di wilayah Indonesia Timur.
Alasan penulis mengambil contoh melalui Raja Ampat, karena Raja Ampat
merupakan salah satu potensi kemaritiman yang dimiliki Papua sebagai
wilayah yang seringkali terpinggirkan dari pembangunan. Dengan demikian,
Raja Ampat dapat dijadikan contoh bagi pembangunan papua ke depannya.
73
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7

Pengembangan kawasan Indonesia Timur, khususnya Papua perlu


diperhatikan dalam pembangunan wilayah terpinggir mengingat potensi
pariwisata maritimnya yang sangat luas. Untuk mencapai hal tersebut, terdapat
dua hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam mendukung pengembangan
industri pariwisata maritim, yakni melalui: Public-Private Partnership dan
elaborasi antara SMEs dengan ekonomi kreatif. Penulis berpendapat bahwa
apabila kedua kebijakan tersebut dilakukan secara serius, maka memajukan
Papua bukan sebuah mimpi lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Aneka Tempat Wisata. (2014). 10 Tempat Wisata Papua yang Wajib dikunjungi, 21
September. Dapat diakses di: http://anekatempatwisata.com/10-tempat-
wisata-di-papua-yang-wajib-dikunjungi (Diakses 18 Juni 2015)
Bank Dunia. (2015). What are Public-Private Partnerships. Dapat diakses di:
http://ppp.worldbank.org/public-private-partnership/overview/what-are-
public-private-partnerships (Diakses: 19 September 2015)
http://www.researchgate.net/publication/270282764_Negara_Maritim
(Diakses 18 Juni 2015)
Divisi Humas Kemendagri (2015) Mengawal Proses Pemerintahan, Media Praja, Januari.
Kementerian Pariwisata. (2014). Masyarakat Ekonomi ASEAN Berpotensi Dorong
Pertumbuhan Kunjungan
Republika Online. (2014). Hampir Seluruhnya Pengunjung Raja Ampat adalah Wisatawan
Asing, 18 April. Dapat diakses di http://www.republika.co.id/berita/gaya-
hidup/travelling/14/04/18/n47qsw-hampir-seluruhnya-pengunjung-raja-
ampat-adalah-wisawatan-asing (Diakses 18 Juni 2015)
The Jakarta Post. (2012). West Papua builds network with Balinese Tourism, 30 Oktober.
Dapat diakses di http://www.thebalidaily.com/2012-10-30/west-papua-
builds-network-with-balinese-tourism.html (Diakses 18 Juni 2015)
Tridoyo Kusumastanto.( 2015). Negara Maritim. 2 Januari. Dapat diakses di
Wisatawan Ke Indonesia di Atas 10%, 18 Maret. Dapat diakses di
http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?id=2555 (Diakses 18 Juni 2015)
Zulfikar Alexandri. (2014). Wonderful Indonesia: Raja Ampat, Surga Kecil di Jantung
Terumbu Karang Indonesia, 16 Agustus. Dapat diakses di
http://zulfikaralex.com/wonderful-indonesia-raja-ampat-surga-kecil-di-
jantung-terumbu-karang-dunia (Diakses 18 Juni 2015)

74
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8

Islam Nusantara dan Poros Maritim Dunia


Abid Abdurrahman Adonis

Diskursus mengenai peran Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tak


bisa dilepaskan dari peran umat Islam di Indonesia. Dengan angka sekira 205
juta pemeluk agama Islam, visi poros maritim dunia yang digagas pemerintah
perlu memperhatikan bagaimana pentingnya sinergi dengan kelompok Islam.
Apalagi umat Islam di Indonesia juga banyak tersebar di wilayah pesisir yang
menjadikannya garda terdepan dalam implementasi visi ini. Lebih-lebih baru-
baru ini muncul peneguhan wacana Islam Nusantara sebagai trademark praktik
keislaman Indonesia sekaligus sebuah proses dialektika keagamaan, realitas
sosial dan kebudayaan yang berkelanjutan. Islam Nusantara inilah wajah dari
keberagamaan umat Islam Indonesia yang dikenal publik internasional sebagai
Islam yang moderat, inklusif, dan toleran serta mampu mengadopsi demokrasi
dalam relasi agama dan negara. Untuk itu, tulisan ini mengangkat wacana
Islam Nusantara dikaitkan dengan visi Poros Maritim Dunia dengan
penekanan pada aspek kebudayaan.
Konsep Islam Nusantara sebenarnya bukanlah hal yang baru. Wacana
ini telah lahir bahkan sejak masa proses persebaran agama Islam di Indonesia.
Hanya saja, saat ini kembali diteguhkan melihat tantangan bangsa yang
semakin beragam dan membutuhkan formulasi baru. Islam Nusantara,
bukanlah agama baru, ataupun aliran baru (Ngaji.web.id, 2015). Menurut
Sulthan Fatoni, Islam Nusantara adalah wajah keislaman yang ada di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya. Ajaran Islam yang terimplementasi
di tengah masyarakat yang mental dan karakternya dipengaruhi struktur
wilayah kepulauan (Fatoni, 2015, 229-238). Ini merupakan kata kerja, merujuk
pada proses dialektika antara teks suci dan realitas sosial-budaya yang
berlangsung terus menerus. Proses itu telah berlangsung ketika awal Islam
melakukan dakwah ke Nusantara sampai sekarang. Islam Nusantara,
karenanya, adalah wacana yang memiliki nilai historis tinggi mengingat
proses-proses penetrasi tersebut membutuhkan kerja budaya dan intelektual
yang luar biasa. Menilik pada awal masuknya Islam ke Nusantara, kita bisa
melihat bagaimana signifikansi peran dunia maritim. Islam banyak masuk
melalui jalur laut, baik via para saudagar muslim asal Gujarat, Persia, Cina, dan
Arab, atau melalui para pendakwah (Hasjmy, 1990). Proses Islamisasi yang
terjadi pun semakin ramai kala Samudera Pasai berkuasa di ujung utara
Sumatera sebagai kerajaan Islam. Letaknya yang strategis berada di jalur
perdagangan dunia membuat kerajaan ini berkembang, dan tentu saja, agama
Islam semakin menguat di Nusantara baik secara politis maupun budaya.
Samudera Pasai mengandalkan kekuatan maritimnya untuk menasbihkan diri
sebagai hegemon selat melaka bersama Kerajaan Malaka. Kekuatan ekonomi
75
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8

kerajaan Samudera Pasai banyak lahir dari interaksi kemaritimannya melalui


perdagangan dan pusat transit (Pemerintah Aceh, 2014). Kerajaan-kerajaan
Islam yang lahir setelahnya, mulai dari Kerajaan Aceh hingga Ternate-Tidore di
timur Nusantara turut menggunakan kemaritiman sebagai ujung tombak
kekuatan negara.
Denys Lombard mencatat bahwa pada abad ke-13 hingga 15, samudera
hindia menjadi lautan bernuansa Islam. Pasalnya, jaringan pedagang muslim
dari China, India, Gujarat, Jazirah Arab hingga Afrika bertemu, berinteraksi
dan melewati samudera hindia dalam pelayarannya. Nusantara kala itu
menjadi persinggahan dagang sekaligus ladang dakwah bagi pedagang dan
syeikh-syeikh muslim. Jaringan pedagang muslim di nusantara dimanfaatkan
sebagai jalur masuk agama Islam ke warga pribumi. Perniagaan berbasis
maritim menjadi semakin dinamis tatkala kaum-kaum agamawan meramaikan
komunitas pesisir. Termasuk Raden Rahmat, salah seorang Wali Songo,
penyebar agama Islam di Pulau Jawa, memulai dakwahnya pada akhir abad 15
di daerah niaga Ngampel Denta Surabaya. Kosmopolitanisme komunitas niaga
dan agamawan berkelindan dan berpilin dalam suatu struktur masyarakat
pesisir. Dominasi perniagaan ini kemudian diikuti oleh dominasi sosial politik
Islam pada abad ke-16 hingga 18. Lombard menegaskan kesultanan-kesultanan
dari Aceh hingga Ternate, beserta kebudayaan maritim yang menyertainya,
menggunakan agama Islam sebagai ikatan dan ciri khas bersama, bagi semua
yang demi perniagaan dan pelayaran, mendatangi pelabuhan-pelabuhan baru
yang terbentuk (Lombard, 1996, 29-50). Ini merefleksikan bahwa agama Islam
dan kehidupan maritim merupakan suatu kemenjadian sejarah yang tak
terpisahkan satu sama lain.
Denyut kehidupan kesultanan-kesultanan dan komunitas Islam di
Nusantara itu membentuk kebudayaan-kebudayaan maritim yang
berdialektika dengan penafsiran agama Islam. Kita bisa melihat pada beberapa
wilayah di Indonesia, kehidupan di pesisir begitu dinamis dengan nafas tradisi
dan religi. Komunitas nelayan di Cilacap ajeg menjalankan ritual sedekah laut
sebelum melakukan pelayaran (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, 2014). Di
Madura praktik keberagamaan dengan Pesantren sebagai institusi sosial utama
dan Kiai sebagai figur paling kunci dalam struktur masyarakat bersinergi
dengan tradisi maritim rakyat Madura (Chalik, 2011). Kita menjumpai tradisi
Rokat Tase’, yakni upacara selamatan melarung sesaji ke lautan diawali dengan
tahlilan dan shalawatan, dipimpin oleh para Kiai (Lontar Madura, 2012).
Masyarakat pesisir Madura menempatkan Kiai sebagai figur sentral yang
dipercaya untuk memberikan keputusan dalam hampir seluruh aspek
kehidupan sehari-hari mulai dari spiritual, politik, ekonomi, hingga urusan
privat (Chalik, 2011). Di Aceh, masyarakat memiliki Hukum Adat Laut yang
dikembangkan dengan basis Syariah Islam. Dipimpin oleh Panglima Laot,
76
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8

hukum adat ini mengatur tata cara menangkap ikan dan penyelesaian sengketa
merujuk pada Al Quran, Hadits, dan tradisi setempat (Adek, 2015). Ulama-
ulama di Nusantara pun banyak melahirkan fatwa-fatwa yang berkaitan erat
terhadap realitas masyarakat di pesisir. Syaikh Abdus Shamad Al Falimbani
menelurkan karya berjudul “Nashihatul Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi
Fadhail Jihad wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah”. Karya itu menerangkan
keutamaan berjihad di lautan melalui kontekstualisasi hadits-hadits Nabi
terhadap kenyataan maritim yang ada (Masudi, 2015). Muhammadiyah baru-
baru ini juga menghasilkan karya fiqih kebencanaan yang salah satunya
berangkat dari refleksi atas kondisi alam Indonesia yang rawan bencana
Tsunami (Republika, 2015). Produk-produk budaya maupun agama yang lahir
berkat interaksi tersebut adalah bagian integral dari konsep Islam Nusantara.
Sikap keislaman yang akomodatif dan toleran terhadap budaya setempat
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat ini menciptakan peradaban baru
yang unik dan memberi kharakteristik berbeda pada umat Islam di Indonesia.
Sementara itu, visi Poros Maritim Dunia berasal dari kenyataan internal
maupun eksternal Indonesia. Kenyataan internal itu berasal dari fakta bahwa
Indonesia secara fisik terdiri dari tujuh belas ribu pulau yang disambungkan
melalui lautan seluas kurang lebih 3.500.000 kilometer persegi. Lautan seluas
itu mengandung kekayaan alam yang luar biasa besar sekaligus potensi politik
dan keamanan bangsa Indonesia yang wajib dikelola dengan baik. Kejayaan-
kejayaan kerajaan di Nusantara juga tercermin dari bagaimana Sriwijaya,
Singasari, Majapahit, Aceh, dan Demak mengelola aspek kemaritimannya.
Perjuangan para founding fathers yang menekankan bahwa jati diri bangsa
Indonesia adalah bangsa maritim juga merupakan amanah yang harus
dilanjutkan oleh bangsa ini. Untuk itu, pembangunan yang selama ini land-
based oriented perlu diubah ke arah maritime-based oriented. Sedangkan,
kenyataan eksternal berasal dari perubahan konstelasi politik dan ekonomi
dunia dimana kekuatan internasional mulai bergeser dari barat ke asia timur.
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen pertahun, dengan total GDP
sekitar USD 40 trilyun, kawasan Asia Timur merupakan kawasan paling hidup
secara ekonomi maupun politik (Vivanews, 2014). Terdapat sekitar 40% dari
total perdagangan dunia secara keseluruhan berpusat di wilayah ini. Laut
kemudian sangat penting artinya bagi masa depan wilayah ini. Indonesia yang
terletak di jalur penting wilayah tersebut harus melihat ini sebagai kesempatan
emas untuk menjadi pemenang konstelasi global di abad ke-21.
Terdapat lima pilar poros maritim dunia sebagaimana yang
diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam KTT Asia Timur 2014 lalu,
yakni meliputi Budaya Maritim Indonesia, Pengelolaan Sumber Daya Laut,
Infrastruktur dan Konektivitas Laut, Diplomasi Maritim, dan Kekuatan
Pertahanan Maritim (Vivanews, 2014). Visi Poros Maritim ini menjadikan
77
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8

Budaya Maritim Indonesia sebagai pilar pertama di antara pilar-pilar lainnya.


Paradigma ini sudah tepat mengingat sisi kebudayaan sama pentingnya
dengan pembangunan material yang ditekankan pada empat pilar lainnya.
Kebudayaan Maritim yang telah lama menurun harus kembali dibangkitkan
setahap demi setahap beriringan dengan pilar-pilar lainnya. Pembangunan
yang selama ini berorientasi pada daratan banyak mengubah karakter
kemaritiman manusia-manusia Indonesia. Juga, di era penjajahan banyak sisi
kemaritiman bangsa Nusantara yang dicabut hingga akar-akarnya sebab laut
dimonopoli oleh para kolonialis. Hingga sekarang kita hanya menjumpai 1%
dari bangsa Indonesia yang bekerja di sektor maritime (Jurnal Maritim, 2015).
Angka ini cukup ironis bila dibandingkan dengan potensi maritim bangsa. Laut
selama ini tidak dianggap sebagai peluang yang berprospek cerah ketimbang
perekonomian berbasis kontinental, sehingga perlahan-lahan laut dilupakan
dan tradisi kemaritimannya turut memudar. Untuk itu, Visi Poros Maritim ini
memberikan harapan untuk melakukan bounce back paradigma budaya maritim
Indonesia.
Saya melihat bahwa agar proses implementasi Visi Poros Maritim Dunia
ini berjalan dengan baik, perlu rasanya pemerintah bersama-sama dengan
masyarakat membangkitkan kebudayaan maritim yang telah terkikis dengan
mengikutsertakan aspek keagamaan bangsa. Dengan melihat sejarah dan
realitas yang ada, pemerintah perlu mendekati umat dan kelompok-kelompok
Islam demi mensukseskan proyek besar ini. Pada level akar rumput, budaya
maritim Indonesia bertautan erat dengan tradisi keagamaan sebagaimana
dijelaskan pada paragraf-paragraf awal. Kelompok Islam, seperti NU dan
Muhammadiyah, perlu lebih didekati untuk diajak bekerja sama dan
mensinergikan visi ini bersama-sama. Konsep Islam Nusantara dapat dijadikan
landasan bagi pemerintah untuk menggandeng kelompok Islam bahwa
pembangunan yang dilakukan pemerintah turut memperhatikan sisi spiritual
dan relijius masyarakat. Sebab, jika hanya mengandalkan sisi material saja, itu
tidak cukup untuk menginkulturasi budaya maritim yang direstorasi kembali
oleh pemerintah. Sisi spiritual harus digerakkan agar masyarakat turut serta
terlibat dalam proyek bangsa ini lahir maupun batin. Islam Nusantara dapat
dilihat sebagai spirit yang mampu menggerakkan etos masyarakat untuk
mencapai visi poros maritim dunia melalui dua aspek. Pertama, sisi
spiritualitas keagamaan telah terbukti banyak mampu mendorong masyarakat
untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Islam Nusantara dengan segala
penafsiran dan ritusnya dirasa mampu menghadirkan percikan spiritual agar
umat dapat bergerak lebih dan menjadikan perjuangan di sektor maritim
sebagai amal ibadah. Islam Nusantara akan memberikan sentuhan rohani bagi
masyarakat pesisir utamanya, untuk semakin mencintai dunia maritim yang
digelutinya. Poros Maritim Dunia bisa dilihat sebagai bentuk tanggung jawab
78
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8

manusia sebagai khalifah di muka bumi, yakni mengelola segala sumber daya
kelautan demi kemaslahatan umat. Poros Maritim Dunia pun menjadi jihad fi
sabilillah. Kedua, sisi kebudayaan yang telah bermanunggaling dengan Islam
memberikan warna berbeda dan mensemarakkan kebudayaan di daerah-
daerah pesisir Indonesia. Ketika artikulasi-artikulasi kebudayaan ini didorong,
akseptabilitas, rasa memiliki dan kecintaan terhadap sektor kemaritiman akan
meningkat. Masyarakat akan aktif berpartisipasi mengingat kebudayaan yang
melekat dalam dirinya didukung dan dihargai sebagai bagian dari visi bersama
bangsa Indonesia.
Konsep Islam Nusantara bisa berfungsi pula sebagai perekat
kebudayaan antar komunitas pesisir satu dengan lainnya, dan dengan otomatis
menalikan kembali persatuan bangsa ini. Konsep agama seringkali memiliki
daya perekat dalam kelompok (in group) dan daya tolak berpotensi konflik
dengan luar kelompok (out group), namun dalam kasus Islam Nusantara saya
melihat hal yang berbeda. Ciri utama Islam Nusantara yang selama ini dikenal
oleh publik internasional sebagai Islam yang ramah, toleran, dan akomodatif
terhadap budaya ini memiliki ciri kebangsaan yang kuat. Konsepsi dalam Islam
Nusantara seperti ukhuwah wathaniyah, persaudaran sesama bangsa, akan
memunculkan dimensi nasionalisme. Konsepsi lain seperti hubbul wathan minal
iman (Mencintai negara adalah sebagian dari iman) yang selama ini disepakati
oleh ulama-ulama Islam di Nusantara juga memberi penegasan akan
pentingnya nasionalisme. Islam Nusantara memiliki akar kebangsaan yang
kuat dan selama ini mampu menampilkan diri sebagai Islam yang merangkul
semua golongan dan menerima perbedaan. Ini akan menghubungkan kembali
komunitas-komunitas pesisir atas dasar keagamaan namun tidak eksklusif,
tetapi justru inklusif. Komunitas pesisir yang beragama lain juga merasa aman
dan nyaman dengan hadirnya Islam Nusantara atas komitmennya terhadap
kebangsaan dan kebhinekaan.
Namun, patut diingat konsep Islam Nusantara bukanlah obyek dan
menjadi “alat” pemerintah dalam mewujudkan visinya. Tentu kita tidak setuju
menjadikan penafsiran agama sebagai komoditas politik dan tameng politik
pemerintah. Yang saya tekankan disini adalah bahwa konsep Poros Maritim
Dunia dan Islam Nusantara dapat bersinergi mewujudkan tujuan bersama-
sama untuk kepentingan bangsa. Keduanya dapat saling berkomplementer.
Konsep Islam Nusantara menemukan momentum yang tepat untuk
mengartikulasikan dan memperlihatkan kedigdayaannya melalui keterlibatan
pada Visi Poros Maritim Dunia. Promosi akan Islam Nusantara dapat berjalan
beriringan dan semakin kuat apabila mampu berjalinan erat dengan proyek
Poros Maritim Dunia. Islam Nusantara akan semakin terlihat sangat besar
peranannya ketika konsep ini mampu berkontribusi nyata dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
79
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8

Sinergitas ini bukannya tanpa cela. Saya melihat sinergi ini masih
memiliki kekurangan disana-sini. Pertama, baik konsep Poros Maritim Dunia
maupun Islam Nusantara masih belum mencapai bentuk definitif. Konsep
Islam Nusantara masih memerlukan kajian historis, antropologis, dan
arkeologis lebih mendalam. Terutama bagaimana “status ontologis” Islam
Nusantara yang berbeda dengan Islam lainnya (Arif, 2015). Status Ontologis
Islam Nusantara inilah yang masih menimbulkan pro kontra di kalangan umat
Islam Indonesia. Sedangkan apa yang dimaksud sebagai Poros Maritim Dunia
harus segera dirumuskan pemerintah secara baku agar konsep ini tidak
berputar di sekitaran pemangku kebijakan dan akademisi saja, tetapi juga
langsung mampu dipahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Apa
untungnya proyek besar bangsa ini hanya menjadi awang-awang menara
gading saja, sebab hingga saat ini sosialisasi dan implementasi Visi Poros
Maritim Dunia masih belum juga menyentuh masyarakat di level akar rumput.
Kedua, sinergitas keduanya berpotensi menimbulkan kecemburuan kelompok
beragama lain. Sebab, ada semacam keistimewaan yang tentu saja tidak baik
bila tidak dicarikan format yang tepat. Pemerintah bersama-sama kelompok
yang terlibat perlu mencari rumusan yang paling pas untuk mensinergikan ini
dengan mempertimbangkan asas keadilan bagi kelompok beragama lain.
Ketiga, harus ada formulasi yang tepat pula tentang bagaimana sinergi ini
dijalankan pada tataran teknis dan praksis. Ini bukan hal yang mudah,
membutuhkan kerja intelektual dan kultural yang intensif agar keduanya
berjalan dengan proporsional. Ketiga poin ini bagi saya masih perlu dipikirkan
dan membutuhkan riset lebih lanjut. Meski demikian, saya optimis bahwa
sinergitas antara Visi Poros Maritim Dunia dan Islam Nusantara akan mampu
menjawab tantangan dan mencapai cita-cita bangsa. Keduanya memiliki titik
tolak yang sama, yakni berangkat dari realitas sosial budaya masyarakat. Maka
sudah sepatutnya keduanya mampu berkolaborasi dengan baik, dengan
catatan ketiga persoalan tersebut mampu diatasi. Toh, keduanya pun memiliki
tujuan yang sama luhurnya, mewujudkan bangsa yang adil dan sejahtera
sekaligus negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

DAFTAR PUSTAKA
Adek, Miftahuddin Cut. (2015, 20 Maret).Kearifan Lokal dalam Komunitas Nelayan
Aceh. Majelis Adat Aceh, diakses pada 23 Juli 2015 pukul 15.14
http://maa.acehprov.go.id/?p=426
Arif, Syarif. (2015). “NU dan Islam Nusantara”, dalam Nasionalisme dan Islam
Nusantara, ed. Abdullah Ubaid dan Muhammad Bakir. Jakarta: Kompas, hlm.
59-62
Chalik, Abdul. (2011). Kiai dan Kekuasaan Sosial dalam Masyarakat Madura. Lontar
Madura. diakses pada 23 Juli 2015 pukul 14.36.

80
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8

http://www.lontarmadura.com/kiai-dan-kekuasaan-sosial-dalam-masyarakat-
madura/
Fatoni. Muhammad Sulton. (2015). “NU dan Islam Nusantara”, dalam Islam Nusantara:
Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, ed. Akhmad Sahal dan Munawir
Aziz, Bandung: Mizan Pustaka,. hlm 229-238.
Hasjmy. (1990). Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Jurnal Maritim. (2015, 26 Maret). KASAL : Penjajah Telah Hilangkan Budaya Maritim Kita.
diakses pada 23 Juli 2015 pukul 20.40.
http://jurnalmaritim.com/2015/03/kasal-penjajah-telah-hilangkan-budaya-
maritim-kita/
Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa : Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta:
Gramedia,. hlm. 29-50.
Lontar Madura (2012, 12 Januari). Upacara Rokat Tase Tanjung Saronggi. Diakses pada
23 Juli 2015 pukul 14.36 http://www.lontarmadura.com/upacara-rokat-tase-
tanjung-saronggi/
Masudi, Muhammad Idris. (2015, 29 Juni) NU.or.id, “Jihad Maritim Syaikh
Abdushamad al Palimbani”, diakses pada 23 Juli 2015 pukul 20.35.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60485-lang,id-
c,kolom-t,Jihad+Maritim+Syeikh+Abdushamad+al+Palimbani-.phpx
Ngaji Kitab Kuning, “Makna Islam Nusantara dalam Literatur”, diakses pada 23 Juli
2015 pukul 13.00 http://www.ngaji.web.id/2015/07/makna-islam-nusantara-
dalam-literatur.html
Pemerintah Aceh. (2014, 22 Januari). Kerajaan Samudera Pasai. diakses pada 23 Juli 2015
Pukul 14.55 http://acehprov.go.id/jelajah/read/2014/01/22/64/kerajaan-
samudera-pasai.html
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. (2014, 11 Oktober). Nelayan Gelar Sedekah Laut.
diakses pada 23 Juli 2015 pukul 15.03
http://www.jatengprov.go.id/id/newsroom/nelayan-gelar-sedekah-laut
Republika. (2015, 18 Mei). Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Susun Fiqh Bencana. Diakses
pada 23 Juli 2015 pukul 20.37. http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/islam-nusantara/15/05/18/nojkti-majelis-tarjih-pp-muhammadiyah-
susun-fiqih-bencana
Vivanews, (2014, November 14) Pidato Lengkap Jokowi di KTT ASEAN Soal Poros Maritim
Dunia. Diakses pada 23 Juli 2015 pukul 13.22.
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/558043-pidato-lengkap-jokowi-di-
ktt-asean-soal-poros-maritim

81

Anda mungkin juga menyukai