Pertahanan Maritim
Proyeksi Indonesia sebagai Kekuatan Maritim Alternatif di Asia Pasifik:
Antara Kebangkitan Tiongkok vis-à-vis Kebijakan Rebalancing
Amerika Serikat 1
Ali Wahyu Imanullah dan Muhammad Habib
Kebijakan Poros Maritim Global sebagai Upaya Strategis
Perimbangan Kekuatan (Balance of Power) Indonesia
dalam Mencapai Stabilitas pada Sistem Internasional 15
Siti Rizqi Ashfina Rahmaddina Siregar
Usaha Indonesia untuk Menjadi Hegemon di Laut ASEAN
Gayuh Kurnia Aji 23
Ekonomi-Politik Maritim
Negosiasi Tiongkok-Thailand atas Tanah Genting Kra:
Implikasinya terhadap Doktrin Poros Maritim Dunia Indonesia
dan Sentralitas ASEAN 31
Ali Wahyu Imanullah
Evaluasi Kebijakan Moratorium Kapal Eks-asing untuk
Membangun Indonesia sebagai Kekuatan Ekonomi Maritim 44
Dian Fitriyani Agustin dan Diandra Rivanka
Kebudayaan Maritim
Optimalisasi Model Kerjasama Global dalam Pengelolaan
Hutan Bakau di Kawasan Pesisir Indonesia 59
Annisa Dina Amalia
Membangun Indonesia dari Wilayah Terpinggir ke Pusat:
Opsi-opsi Pembangunan Industri Pariwisata Maritim
di Indonesia Bagian Timur. Studi Kasus: Raja Ampat, Papua 65
Kevin Tan
Islam Nusantara dan Poros Maritim Dunia 75
Abid Abdurrahman Adonis
ii
Susunan Redaksi
Ketua Pelaksana/Editor-in-Chief
Ali Wahyu Imanullah
Kesekretariatan
Ceilla Ayu Putri H. Vania Sapphira
Keuangan
Muhammad Habib Novi Jauhari
Operasional
Dizar Ramadhan Alya Nurul Iffat
iii
Sambutan Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
dra. Evi Fitriani M.A., Ph.D
Salam sejahtera,
iv
Sambutan Ketua Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UI
Herlizar Rachman
Salam sejahtera,
v
Sambutan Ketua Pelaksana IFPR 2015
Ali Wahyu Imanullah
Assalamu’alaikum,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat serta rahmat-Nya lah Indonesian Foreign Policy Review dapat terbit
kembali setelah sekian lama mengalami hiatus.
Absennya Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional UI (HMHI UI)
di dalam melanjutkan program kerja ini bukan tanpa sebab. Selama kurang
lebih dua tahun terakhir, HMHI UI dipercaya untuk mengemban tanggung
jawab besar untuk menyelenggarakan Pertemuan Nasional Mahasiswa
Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) ke-25 pada tahun 2013 serta
program kerja UN-Days pada tahun berikutnya. Oleh karena besarnya kedua
acara tersebut, penyelenggaraan IFPR selama beberapa saat harus ditunda.
Berangkat dari keinginan Ketua Divisi Keilmuan HMHI UI, Calfin Murrin,
akhirnya IFPR diputuskan untuk diadakan kembali dengan mempercayai saya
sebagai Ketua Pelaksana.
Kata “maritim” dewasa ini telah menjadi komoditas ekonomi, sosial,
bahkan politik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Hal
ini tercermin melalui Doktrin Poros Maritim Dunia yang diusung oleh
pemerintah Indonesia saat ini di dalam menjalankan praktik hubungan luar
negeri. Berangkat dari situasi tersebut, kami memutuskan untuk mengangkat
tema besar “Tantangan dan Kesempatan Kebijakan Poros Maritim Global di Era
Konektivitas Asia Pasifik” sebagai tulang punggung terbitan IFPR edisi kali ini.
Tema besar tersebut kemudian dipecah menjadi tiga sub-tema yaitu: [1]
pertahanan maritim, [2] ekonomi-politik maritim, dan [3] kebudayaan maritim.
Alasan utama mengapa tema besar tersebut dipecah secara spesifik ke dalam
tiga bagian tersebut adalah karena kami melihat bahwa kebijakan luar negeri
Indonesia—termasuk Kebijakan Poros Maritim—harus mencakup semua aspek
kehidupan, dari politik hingga sosial, yang mampu memberikan keuntungan
terbesar bagi rakyat Indonesia.
Sebagai Ketua Pelaksana IFPR 2015, saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada para rekan panitia, kontributor, staf pengajar, Departemen Ilmu HIUI,
serta Kementerian Luar Negeri yang telah memberikan dukungan moral
maupun material sehingga penerbitan bunga rampai IFPR 2015 ini dapat
terlaksana. Akhir kata, saya berharap bunga rampai ini mampu memberikan
menjadi sarana komunikasi yang intensif antara mahasiswa, instansi
pemerintah, serta masyarakat, terutama dalam hal yang terkait dengan
kebijakan luar negeri Indonesia.
vi
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
Menjelang akhir abad ke-20 banyak akademisi yang memprediksi akan terjadi
pergeseran titik pusat dunia dari yang semula berada di kawasan Amerika dan
Eropa beralih ke kawasan Asia Pasifik. Pendapat tersebut didukung oleh
sejumlah alasan diantaranya: [1] pembangunan kapasitas militer di kawasan
Asia Pasifik cenderung lebih besar dibandingkan dengan wilayah Eropa dan
lainnya yang lebih mengedepankan pengembangan bisnis dan perdagangan
(Gardels, 2014); [2] lebih dari 50% jumlah populasi dunia tinggal di wilayah
Asia (Anon., 2015); [3] pertumbuhan GDP negara-negara Asia Pasifik
menunjukkan tren positif yang signifikan dibandingkan kawasan lain (Tencer,
2012). Namun dengan berbagai kelebihan tersebut membuat Asia juga rentan
terhadap berbagai permasalahan, terutama masalah yang melibatkan kekuatan-
kekuatan besar di Asia Pasifik. Salah satu contohnya adalah kasus
persengketaan wilayah. Untuk mengatasi permasalahan itu, dalam tulisan ini
penulis menawarkan sebuah solusi baru yang melibatkan Indonesia sebagai
kekuatan maritim alternatif di wilayah Asia Pasifik. Tulisan ini akan terbagi
menjadi beberapa pembahasan. Pertama, akan dijelaskan terkait dengan
kebangkitan dan perilaku agresif Tiongkok. Kedua, akan dipaparkan mengenai
kembalinya Amerika Serikat kepada Asia Pasifik. Ketiga, panggilan Indonesia
untuk menjadi kekuatan maritim alternatif di kawasan. Keempat, prospek
posisi Indonesia di Asia Pasifik: peluang dan tantangan sebagai kekuatan
maritim alternatif, serta pada bagian terakhir akan ditutup dengan sebuah
kesimpulan.
Senkaku-Diayou, Laut Cina Timur (Schmitt, 2014). Usaha yang disebut oleh
Tiongkok sebagai upaya untuk memperkuat pertahanan ini, telah
mendatangkan resistensi dari Jepang mengingat wilayah tersebut masih dalam
persengketaan. Kondisi ini menjadi semakin parah ketika terjadi perubahan
kapal coast guard menjadi kapal militer secara sepihak oleh Tiongkok di wilayah
sengketa tersebut (Mizokami, 2015).
Mengacu kepada dua kejadian di atas, penulis setidaknya melihat telah terjadi
perubahan pandangan di Beijing dalam melihat dan menyikapi konfigurasi
geopolitik kawasan maupun internasional vis-à-vis pertumbuhan ekonomi
domestik Tiongkok yang sangat pesat. Berangkat dari poin terakhir—
pertumbuhan ekonomi domestik Tiongkok—tahun 1978 merupakan sebuah
titik balik bagi Tiongkok karena pada tahun ini Tiongkok di bawah
kepemimpinan Deng Xiaoping menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih
terbuka dibandingkan administrasi Mao Zedong. Kebijakan ekonomi Deng
Xiaoping inilah yang membawa fenomena ‘modernisasi’ ke dalam masyarakat
Tiongkok. Berbicara mengenai modernisasi, aktor-aktor politik maupun
ekonomi Tiongkok pada saat itu yakin bahwa proses tersebut harus dijalankan
sesuai dengan pemahaman Konfusianisme yang menekankan kepada interaksi
yang harmonis dan nirkonflik. Oleh sebab itu sekitar tahun 1980-an, Tiongkok
menganggap dirinya sedang melalui pertumbuhan dan kebangkitan yang
damai—peaceful rise— (Bijian, 2005). Namun, berkaca kepada fakta lapangan
yang ada di Laut Cina Selatan saat ini, nampaknya telah terjadi sebuah
pergeseran orientasi kebijakan luar negeri Tiongkok di kawasan meskipun
menurut Beijing, tidak ada kontradiksi antara inklinasi damai dengan
2
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
yang ditunjukkan oleh Tiongkok, Presiden Obama sendiri sudah beberapa kali
melakukan kunjungan ke Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Filipina dalam
rangka khusus membahas topik tersebut (Xuefeng, 2014). Presiden Obama juga
sudah membawa isu mengenai perilaku agresif Tiongkok ini ke dalam forum
internasional seperti pertemuan G-7 di Jerman (Yoshino, 2015) dan Asia Security
Summit ke-14 di Singapura melalui utusannya (Kamjan, 2015).
4
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
5
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
saat ini secara tidak langsung turut menyeret Indonesia untuk terlibat di
dalamnya.
Alasan berikutnya adalah geopolitik. Sebagai negara yang menguasai 2/3 dari
jumlah wilayah laut Asia Tenggara (Seno, 2014) sekaligus sebagai pencetus
deklarasi Bangkok 1967 (Asia One News, 2011), Indonesia memegang peranan
penting dalam organisasi regional yaitu Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(ASEAN). Berbagai permasalahan baik itu yang melanda Indonesia sendiri
maupun negara-negara Asia Tenggara lainnya sangat dipengaruhi oleh posisi
Indonesia terhadap permasalahan tersebut. Hal ini dikarenakan keberhasilan
Indonesia ketika memimpin ASEAN dan citra “pemimpin” itu selalu melekat
pada Indonesia (East Asia Forum, 2015). Adalah sebuah panggilan bagi
Indonesia untuk turut serta menyelesaikan masalah-masalah di kawasan
dengan cara menjadi kekuatan alternatif atau pemimpin seutuhnya yang
berbasis maritim.
6
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
Kedua dan yang terakhir, peluang Indonesia untuk muncul sebagai sebuah
kekuatan maritim alternatif yang ‘damai’ diperbesar dengan kebijakan luar
negeri yang diambil selama ini yang sangat bersifat internasionalis-populis.
Berbeda dengan Tiongkok yang mulai mengambil kebijakan yang asertif
maupun Amerika Serikat yang mengutamakan kebijakan dengan nuansa
‘empire’, Indonesia lebih mengambil praktik-praktik politik luar negeri yang
lebih bersahabat melalui mekanisme multilateral serta diplomasi. Selain itu,
Indonesia juga relatif menjunjung tinggi hukum internasional yang
diperlihatkan pada isu Laut Cina Selatan.
8
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
Sumber: http://www.indonesia-digest.net/Photobank/asia/south_Cina-
sea.gif
Melalui gambar ini serta pendekatan realisme, seharusnya Indonesia juga ikut
muncul sebagai pihak yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan karena
batas-batas legal Indonesia sesuai hukum laut internasional dilanggar oleh
klaim sepihak dari Tiongkok. Akan tetapi, Indonesia lebih memilih untuk tidak
menjadi claimant state di konflik ini melainkan menjadi mediator—honest
broker—bagi pihak-pihak yang berkonflik (Parameswaran, 2015). Kondisi ini
menunjukkan bahwa Indonesia lebih mementingkan stabilitas dan keamanan
kawasan dibandingkan mengejar kepentingannya di Laut Cina Selatan. Praktis,
penulis melihat bahwa dengan karakteristik kebijakan luar negeri Indonesia
yang bersifat internasionalis-populis, Indonesia memiliki peluang untuk
muncul sebagai kekuatan alternatif yang kenaikan/kebangkitannya dipandang
tidak akan mengganggu stabilitas dan keamanan kawasan (whose rise is seen as
less assertive).
Meskipun demikian, kebijakan luar negeri yang demikian juga akan memiliki
dampak negatif di dalam hal maksimalisasi peluang, terutama peluang
ekonomi. Seperti yang telah diketahui, kebijakan luar negeri Indonesia dengan
nuansa ini lebih menekankan kepada minimalisasi konflik serta berusaha untuk
bersahabat dengan negara mana pun—di sekitar kawasan—dengan tujuan
memperkecil friksi politik. Dalam kasus Laut Cina Selatan misalnya, ambisi
Indonesia untuk menjadi honest broker di konflik ini tidak sejalan dengan logika
Westphalian model yang menjunjung tinggi konsep kedaulatan. Indonesia
dengan kebijakan internasionalis-populis-nya lebih memilih untuk
‘mengesampingkan’ kedaulatan wilayahnya—yang juga sudah diakui oleh
hukum internasional—demi merealisasikan kawasan Asia Tenggara—secara
lebih luas, Asia Pasifik—yang damai dan stabil. Meskipun secara ideal langkah
ini dinilai baik, akan tetapi secara rasional langkah Indonesia tersebut kurang
9
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
10
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, Kurt Campbell and Brian. "Explaining the US "Pivot" to Asia." Chatham
House. August 1, 2013.
http://www.chathamhouse.org/sites/files/chathamhouse/public/Research/Am
ericas/0813pp_pivottoasia.pdf (accessed June 29, 2015).
Anwar, Dewi Fortuna. Indonesia’s foreign relations: policy shaped by the ideal of ‘dynamic
equilibrium’. 2014. http://www.eastasiaforum.org/2014/02/04/indonesias-
foreign-relations-policy-shaped-by-the-ideal-of-dynamic-equilibrium/ (accessed
June 29, 2015).
Aryani, GNC. Di EAS, Jokowi beberkan lima pilar Poros Maritim Dunia. 2014.
http://www.antaranews.com/berita/464097/di-eas-jokowi-beberkan-lima-pilar-
poros-maritim-dunia (accessed June 29, 2015).
Asia One News. Founding fathers of Asean. 2011.
http://news.asiaone.com/News/Latest+News/Asia/Story/A1Story20110809-
293603.html (accessed June 29, 2015).
Barfield, Claude. The Trans-Pacific Partnership and America’s strategic role in Asia. 2014.
https://www.aei.org/publication/trans-pacific-partnership-americas-strategic-
role-asia/print/ (accessed June 29, 2015).
Bijian, Zheng. Cina's "Peaceful Rise" to Great-Power Status. 2005.
https://www.foreignaffairs.com/articles/asia/2005-09-01/Cinas-peaceful-rise-
great-power-status (accessed June 30, 2015).
Bradford, John F. "The Maritime Strategy of United States: Implication for Indo-Pacific
Lanes." Contemporary Southeast Asia 3 No. 2 (2011): 183-208.
Current World Population. 2015.
http://www.nationsonline.org/oneworld/world_population.htm (accessed June
29, 2015).
Dooley, Howard J. "The Great Leap Outward : Cina's Maritime Renaissance." Institute
for National Security Strategy 26 (2012): 53-76.
East Asia Forum. Indonesia Earning Respect through Leadership within ASEAN. 2015.
http://www.economywatch.com/features/Indonesia-Earning-Respect-through-
Leadership-within-ASEAN.06-22-15.html (accessed June 29, 2015).
Gardels, Nathan. Robert Kaplan : The center of military power in the world is moving to Asia.
March 27, 2014. http://www.csmonitor.com/Commentary/Global-
Viewpoint/2014/0327/Robert-Kaplan-The-center-of-military-power-in-the-world-
is-moving-to-Asia (accessed June 29, 2015).
ground, RI finds common ASEAN. The Jakarta Post. 2012.
http://www.thejakartapost.com/news/2012/07/23/ri-finds-common-asean-
ground-sea-dispute.html (accessed 2015).
Heydarian, Richard Javad. Face-Off: Cina vs. ASEAN in the South Cina Sea and Beyond.
2015a. http://nationalinterest.org/feature/face-Cina-vs-asean-the-south-Cina-sea-
beyond-12000 (accessed June 28, 2015).
—. Japan: The Philippines' New Best Friend? 2015b.
http://thediplomat.com/2015/06/japan-the-philippines-new-best-friend/
(accessed June 29, 2015).
11
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
12
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 1
14
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2
DAFTAR PUSTAKA
“Memiliki Empat Titik Strategis, Indonesia Mampu Menjadi Poros Maritim Dunia.”
Institut Teknologi Bandung, 1 November 2014. Diakses pada tanggal 12 Juli 2015,
http://www.itb.ac.id/news/4550.xhtml.
“Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang Maju dan Mandiri.” Badan
Informasi Geospasial. Diakses pada tanggal 12 Juli 2015,
http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/mewujudkan-indonesia-
sebagai-poro s-maritim-dunia-yang-maju-dan-mandiri.
2004. “Selat Malaka dan Tanggung Jawab Pengamanannya,” Tajuk Rencana KOMPAS,
24 Juni.
Annual Report on Piracy and Armed Robbery against Ships of the International
maritime Bureau. 2001.
Art, Robert J. dan Robert Jervis. 2013. International Politics: Enduring Concepts and
Contemporary Issues. New York: Prentice Hall.
Cheng, Dean. “Sea Power and the Chinese State: China’s Maritime Ambitions.” The
Heritage Foundation, 11 Juli 2011. Diakses pada tanggal 11 Juli 2015,
http://www.heritage.org/research/reports/2011/07/sea-power-and-the-
chinese-state-c hinas-maritime-ambitions.
Hi, Joshua. 2004. Shifting of Maritime Power and the Implications for Maritime Security in
East Asia. Working Papers No. 68. Singapore: Institute of Defence and Strategic
Studies.
Indonesia’s Defense White Paper. 2003. Jakarta: Department of Defense.
Jun’ichi, Takeda. 2014. “China’s Rise as a Maritime Power: Ocean Policy from Mao
Zedong to Xi Jinping.” Review of Island Studies.
Kapila, Subhash. “South China Sea and Indonesia’s New Maritime Strategy
Analyzed.” South Asian Analysis, 26 Februari 2015. Diakses pada tanggal 11
Juli 2015, http://www.southasiaanalysis.org/node/1721.
Nye, Joseph, Jr. 2007. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory
and History, 6th edition. New York: Harper Collins.
Perwita, Anak Agung Banyu. 2004. “Sekuritisasi Isu Maritim: Koordinasi Nasional dan
Kerangka Kerja Sama Maritim Regional di Asia Tenggara,” Global, vol. 7, no. 1,
hlm. 35-47.
Schwartz, Laura. 2014. “Competing Claims in the South China Sea: Potential Paths
Forward and Implication for the United States,” The National Bureau of
Asian Research Political and Security Affairs, hlm. 1-6.
Shekhar, Vibhanshu dan Joseph Chinyong Liow. “Indonesia as a Maritime Power:
Jokowi’s Vision, Strategies, and Obstacles Ahead.” Brookings, November
2014. Diakses pada tanggal 12 Juli 2015,
http://www.brookings.edu/research/articles/2014/indonesia-maritime-liow-
shekhar.
Speller, Ian. The Royal Navy and Maritime Power in the Twentieth Century. London: Frank
Cass, 2005.
Supriyanto, Ristian Atriandi. “Red Alert: The South China Sea’s New Danger Zone.”
The National Interest, 7 Maret 2015. Diakses pada tanggal 11 Juli 2015,
http://nationalinterest.org/feature/red-alert-the-south-china-seas-new-danger-
zone-12 373.
Widyaiswara, G. T. Suroso. “Poros Maritim dan Perkembangan Perekonomian
Indonesia.” Badan Pendidikan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan, 13
Februari 2015. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2015,
21
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 2
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-
umum/20555-poros-maritim-dan-perkembangan-perekonomian-indonesia.
22
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3
Pendahuluan
Keamanan maritim adalah salah satu topik yang sering dikaji dalam
dunia hubungan internasional. Kebijakan maritim, peraturan kelautan dan
keamanan internasional merupakan isu-isu penting yang berkaitan dengan
keamanan maritim. Keamanan maritim merupakan topik yang menyita
perhatian dunia internasional dalam kaitannya dengan tantangan maritim yang
semakin meningkat tiap tahunnya maupun bentuk dukungan terhadap
hubungan kerjasama maritim antar regional. Diskusi tentang keamanan
maritim umumnya membahas tentang ancaman atau masalah yang mungkin
muncul dalam wilayah maritim. Salah satu ancaman atau permasalahan yang
juga sesuai dengan peraturan yang dibu.at oleh Sekretaris Jendral PBB pada
laporan tahunan 2008, Oceans and the Law of the Sea, ancaman keamanan
maritim mencakup tujuh hal: (1) Pembajakan dan perampokan bersenjata, (2)
aksi terorisme, (3) perdagangan gelap senjata dan senjata pemusnah massal,
pembajakan, (4) perdagangan gelap narkotika, (5) perdagangan atau
penyelundupan manusia, (6) penangkapan ikan secara ilegal, (7) sengaja dan
melawan hukum merusak lingkungan laut (United Nations, 2008). Namun
keamanan maritim tidak terbatas dari topik-topik yang disebutkan diatas,
kajian keamanan maritim memiliki topik yang lebih luas dibanding hal-hal
tersebut (Bueger, 2014).
Sebuah wacana yang diperdebatkan belakangan ini tentang keamanan
maritim membahas pentingnya pengaruh kekuatan angkatan laut dan proyeksi
kekuatan maritim sebuah negara sehingga terciptalah suatu konsep yang
disebut sea power. Berdasarkan pemahaman tradisionalis keamanan nasional,
sea power berfungsi untuk melindungi kedaulatan negara. Sea power merupakan
konsep dimanana peran angkatan laut dalam mengelaborasikan strategi sesuai
dengan kondisi keamanan. Dalam kondisi keamanan yang kondusif fungsi
kapal perang bertujuan untuk mengamankan wilayah negara dengan tujuan
memberikan jaminan keamanan agar kegiatan perdagangan dapat berjalan
dengan baik sehingga dapat berperan dalam kegiatan ekonomi negara
tersebut, selain itu fungsi lainnya adalah memberikan pengawasan untuk
mengantisipasi penyusup yang masuk tanpa izin ke wilayah tersebut.
Angkatan laut merupakan aktor utama dalam keamanan maritim, selain itu
konsep sea power membahas sejauh mana suatu negara bertindak dalam
pengoperasian angkatan lautnya diluar batas wilayah teritorial dan masuk
dalam wilayah perairan internasional (Bueger, 2014).
Marine safety juga merupakan konsep yang tak kalah vital jika
dibandingkan dengan konsep sea power, Marine safety bisa dijadikan tolak ukur
23
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3
akan menjadi salah satu kekuatan yang disegani di wilayah Indo Pacific bahkan
dunia, Selain itu menurut Barry Desker negara lain yang memiliki potensi
serupa dan dapat menandingi hegemoni China dan India di wilayah Indo
Pacific adalah Indonesia. Menurutnya Indonesia adalah negara berkembang
yang memiliki potensi yang cukup besar seperti angka pertumbuhan ekonomi
yang baik, jumlah personel militer aktif dan jumlah penduduk yang besar. Mr
Barry Desker menambahkan dengan kehadirannya para kekuatan baru dan
peningkatan kekuatan maritim negara tersebut, maka munculah perhatian,
apakah para negara tersebut akan memanfaatkan kekuatan tersebut secara
kooperatif atau kompetitif, hal tersebut akan menjadi kunci penentu stabilitas
regional di Indo Pacific. (The Institute of Defense and Strategic Studies, 2005)
Indonesia memiliki wilayah laut yang paling luas di ASEAN, namun hal
ini tidak dimanfaatkan secara maksimal, jika kelebihan ini dimanfaatkan secara
maksimal, tentu akan sangat menguntungkan secara ekonomis. Namun karena
kekutan maritim Indonesia yang sangat lemah, hal ini hanya akan menjadi
khayalan belaka jika ingin menjadi hegemon di ASEAN. Jika dilihat dari sudut
pandang neo realis yang menekankan bahwa power adalah akumulasi dari
sumber-sumber militer dan kemampuan untuk menggunakan kekuatan untuk
menguasai negara lain dalam sistem. Yang penulis tekankan dalam pernyataan
tersebut, akumulasi dari sumber-sumber militer tidak digunakan untuk
menguasai negara lain, tetapi setidaknya dapat menguasai wilayah laut sendiri
secara absolut. Kondisi sistem yang anarkis menyebabkan negara disibukan
dengan relative power seperti keamanan (security) dan bertahan hidup
(survival), selain itu neo realis lebih menekankan dengan kepada kapabilitas
(power) negara daripada keinginan dan kepentingan negara karena berkenaan
dengan keamanan dan kemandirian. Indonesia merupakan negara besar tapi
kecil, masalah yang sering dialami negara kecil adalah security dilemma,
sehingga untuk mengatasi masalah tersebut negara kecil akan bergabung
dalam organisasi regional, contoh yang paling pas adalah ASEAN. Namun
tergabung dalam ASEAN tidak dapat mengatasi masalah security dilemma bagi
Indonesia. Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN seperti Malaysia,
Singapura, Filipina yang merupakan tetangga langsung dengan Indonesia
berlindung dibawah kekuasan USA, jika di ibaratkan Malaysia, Singapura,
Filipina seperti ikan remora yang selalu berlindung kepada ikan Hiu. Apakah
Indonesia harus melakukan hal yang sama? jawabannya tidak. USA
merupakan negara liberal kapitalis yang keji, USA bukanlah negara yang
menjunjung prinsip liberalisme yang humane. Dalam prinsip liberalisme yang
humane dimana guarantee of likelihood major power to protect minor power
dijunjung tinggi, tentu saja hal utopis seperti kalimat diatas tidak mungkin
terjadi. Sikap dan perilaku USA merupakan cerminan ideologi liberalisme yang
mengerikan yaitu untuk menguasai sumber daya alam, menanamkan false
25
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3
pemainnya kepada klub yang lebih kecil. Tujuan yang dapat diperoleh China
yaitu selain dapat menguji teknologi maritimnya di Indonesia selain itu dapat
meningkatkan balance of power terhadap hegemoni USA di laut ASEAN.
Kekuatan maritim China dan. anggaran pertahanan china dapat dilihat di tabel
dibawah ini.
.
Sumber: IHS Jane 2012.
27
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3
dalam pertempuran maritim, latihan maritime juga dapat dijadikan ajang unjuk
kekuatan, tindakan ini merupakan aksi preventif sehingga USA akan lebih
berhati-hati sebelum bertindak lebih jauh.
Aliansi dengan China sangatlah diperlukan, guna mengamankan wilayah
perairan ASEAN yang sangat strategis dan memiliki sumber daya alam yang
melimpah, berikut terdapat lima faktor kunci yang memegang peranan dalam
peningkatan hubungan baik dan kerjasama dengan China.
kesepakatan kerjasama dengan China. Hal ini akan berguna karena akan
memudahkan bentuk kerjasama dalam ruang lingkup keamanan maritime
untuk di masa yang akan datang. Hubungan norma kooperatif berdampak
positif dalam hal mengurangi transaction cost, dapat meningkatkan hubungan
kekeluargaan antar bangsa, peningkatan kepercayaan, dan menciptakan
kebiasaan untuk saling berkonsultasi. (Bradford, 2005)
Kesimpulan
Pertanyaan besar akan muncul apakah dengan adanya aliansi ini akan
mencederai ideologi politik Indonesia yang bebas aktif? jawabannya iya.
Tulisan ini juga merupakan salah satu bentuk critical theory terhadap politik
bebas aktif (critical against prevailing order). Politik bebas aktif hanya membuat
Indonesia dalam zona abu-abu. Politik bebas aktif hanya dapat berjalan secara
maksimal apabila Indonesia adalah leviathan. Pada kenyataannya Indonesia
hanyalah negara kecil yang sering ditindas, sehingga perlu berteman dengan
negara yang kuat agar dapat melawan si penindas atau setidaknya membuat si
penindas segan. Dalam konsep the use of force, penulis menekankan pengunaan
deterrence dalam keamanan maritim Indonesia. Deterrence digunakan secara
damai, tujuan dari deterrence yaitu mencegah musuh melakukan inisiatif
penyerangan. Dari sudut pandang defensive realist, para pemimpin menyadari
besarnya konsekuensi perang, meskipun demikian peningkatan kapabilitas
militer maritim Indonesia perlu ditingkatkan meskipun akan berimbas kepada
meningkatnya arms race di wilayah ASEAN. Dalam sudut pandang realism
dari Game Theory yang berkaitan dengan arms race, equilibrium dimana negara-
negara lain cooperate untuk menghentikan perlombaan senjata memang sulit
terjadi. Indonesia memang harus meningkatkan kekuatan maritim secara
massive, dengan cara membuka aliansi dengan China. Apabila hal itu dapat
terwujud dan asumsi-asumsi yang penulis jabarkan dapat terealisasi,
diharapkan Indonesia dapat menjadi hegemon di ASEAN atau setidaknya
dapat menjaga stabilitas perairannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
"Biggest Defense Budget Prediction for 2021", IHS Janes International Defence
Reviewhttp://www.janes.com/article/search?query=Defense+Budget+2
012
Bradford, L. J. (2005). The Growing Prospect for Maritime Security in Southeast
Asia. Arlington.
Bueger, C. (2014). What is maritime security? Marine policy, 159–164.
"Countries Listing", Global Fire Power. Diakses tanggal 12 maret 2015
(http://www.globalfirepower.com/countries-listing)
"Data dan Fakta Kontrak Freeport", Kompasiana 4 nov 2010
http://www.kompasiana.com/sondi325/data-dan-fakta-kontrak
freeport_54ff1512a333118b2850feca
29
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 3
The Institute of Defense and Strategic Studies (2005). Maritime Balance of Powerin
the Asia-Pacific. Singapore.
International Institute of Strategic Studies. (2014). Chapter Six: Asia. The
Military Balance, 222-286.
"Jokowi Asks for Japan’s Help on Infrastructure Projects,” The Jakarta Globe.
http://www.thejakartaglobe.com/business/jokowi-asks-japans-help-
infrastructure projects/
"Kapal Perang China Lintasi Indonesia", The Jakarta Greater.
http://jakartagreater.com/kapal-perang-china-lintasi-indonesia
"Making waves, China tries to strengthen its hand in a dangerous dispute", The
Economist. http://www.economist.com/topics/south-china-sea
United Nations. (2008). Oceans and the law of the sea. New York.
30
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4
Pendahuluan
Tahun 2014 merupakan tahun yang dinilai oleh para pengamat politik Asia
Tenggara, terutama Indonesia, sebagai sebuah tahun bersejarah bagi politik
Indonesia secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena presiden terpilih, Joko
‘Jokowi’ Widodo, beserta jajaran menteri Kabinet Kerja membawa kembali
Indonesia kepada identitas historisnya yaitu sebuah bangsa maritim melalui
Doktrin Poros Maritim Dunia. Pengejawantahan doktrin dan identitas tersebut
di dalam aktivitas politik Indonesia—terutama aktivitas politik luar negeri—
tergambar dari adopsi lima pilar di dalam poros maritim dunia yang
diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo pada forum EAS (East Asian Summit)
2014 antara lain: [1] restorasi kebudayaan maritim; [2] manajemen sumber daya
maritim; [3] pembangunan konektivitas dan infrastruktur maritim; [4]
meningkatkan upaya diplomasi maritim dan; [5] pembangunan kekuatan
maritim (Widodo, 2014). Kelima pilar tersebut sedikit banyak telah diterapkan
di dalam beberapa kebijakan politik yang sifatnya ke dalam—internal—seperti
distribusi otoritas maritim kepada beberapa stakeholder pemerintah, dimulai
dari pembentukkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penguatan
fungsi Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), serta
intensifikasi koordinasi antar stakeholder maupun kebijakan politik yang
sifatnya ke luar seperti aktivitas diplomasi maritim serta peningkatan
perdagangan sektor maritim yang melibatkan Kementerian Luar Negeri
(Kemlu), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Republik Indonesia.
Berfokus kepada doktrin maritim Presiden Joko Widodo yang bertujuan
untuk menjadikan Indonesia sebuah kekuatan maritim dunia dalam
konfigurasi politik global saat ini, penulis melihat bahwa kesuksesan ekonomi
yang berorientasi maritim merupakan hal yang harus diraih sesegera mungkin
oleh Indonesia di samping mengembangkan kekuatan politik-militernya.
Berpijak kepada hal tersebut, pengadaan konektivitas serta infrastruktur
maritim menjadi prasyarat (preconditon) tercapainya kesuksesan ekonomi yang
berorientasi kepada maritim tersebut. Mengacu kepada isu konektivitas dan
infrastruktur tersebut, sebenarnya Tiongkok sudah mengambil inisiatif jauh
sebelum Indonesia muncul dengan doktrin maritim tersebut melalui Jalur Sutra
Maritim (Maritime Silk Road). Ide mengenai jalur sutra tersebut direalisasikan
oleh Tiongkok dengan pembentukkan Bank Infrastruktur dan Investasi Asia
(Asian Infrastructure and Investment Bank/AIIB). Terkait AIIB, kerjasama
infrastruktur perdana Tiongkok dalam rangka merealisasikan Jalur Sutra
31
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4
33
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4
34
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4
Kanal Kra, ASEAN, dan Indonesia: Upaya Pengubahan Struktur Politik dan
Ekonomi Asia Tenggara oleh Tiongkok?
Negosiasi bilateral yang terjadi antara pemerintah Tiongkok dengan
pemerintah Thailand atas wacana pembangunan kanal Kra yang lama tak
kunjung terlaksana semenjak 400 tahun yang lalu tersebut secara seketika
membuat tiga negara di sekitar Selat Malaka yakni Indonesia, Malaysia, dan
35
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4
39
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4
40
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4
DAFTAR PUSTAKA
Chan, J. (2015, May 21). Will China and Thailand's Kra Isthmus Canal Agreement Sink
Singapore. Retrieved June 26, 2015, from The Establishment Post:
http://www.establishmentpost.com/will-china-thailands-kra-isthmus-canal-
agreement-sink-singapore/
China Daily Mail. (2015, May 17). China Announces Strategically Important Kra Isthmus
Canal in Thailand. Retrieved June 27, 2015, from China Daily Mail:
http://chinadailymail.com/2015/05/17/china-announces-strategically-
important-kra-isthmus-canal-in-thailand/
Fajriah, L. R. (2015, January 21). Pemerintah Jamin Kanal Kra Tak Ganggu Poros Maritim
RI. Retrieved June 27, 2015, from Sindonews:
http://ekbis.sindonews.com/read/953651/34/pemerintah-jamin-kanal-kra-tak-
ganggu-poros-maritim-ri-1421817340
42
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 4
Jakarta Globe. (2014, October 30). 'Thousand Friends' Policy No More Under Retno.
Retrieved June 28, 2015, from Jakarta Globe:
http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/thousand-friends-policy-retno/
Kit, C. N. (2012). Kra Canal (1824-1910): The Elusive Dream. Akademika , 82 (1), 71-80.
Min, C. H. (2015, May 21). Renewed Hype over China-Thai Canal Project: 5 Things about the
Kra Canal. Retrieved June 27, 2015, from The Strait Times:
http://www.straitstimes.com/news/asia/south-east-asia/story/renewed-hype-
over-china-thai-canal-project-5-things-about-the-kra-ca
Sulong, R. S. (2012). The Kra Canal: Impact on International Relations in Southeast Asia.
BIMP-EAGA Conference, (pp. 1-10). Sabah.
Sun, L. (2010). Chinese Maritime Concepts. Asia Europe Journal , 8 (3), 327-338.
The New York Times. (2015, April 23). China's Big Plunge in Pakistan. Retrieved April 25,
2015, from The New York Times:
mobile.nytimes.com/2015/04/23/opinion/chinas-big-plunge-in-
pakistan.html?referrer=&_r=0
Umana, F. (2012). Threat Convergence: Transnational Security Threats in the Straits of
Malacca. Washington: The Fund for Peace.
Verley, L. (2015, January 14). The Kra-Canal Project. Retrieved June 27, 2015, from
International Institute of Marine Surveying: http://iims.org.uk/kra-canal-
project/
Widodo, J. (2014, November 14). The Sea Should Unite Us, Not Separate Us. Retrieved
June 26, 2015, from The Jakarta Post:
http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/14/the-seas-should-unite-not-
separate-us.html
43
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
Pendahuluan
Di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), Indonesia memiliki beberapa
terobosan kebijakan baru, baik yang ditujukan di dalam negeri maupun luar
negeri. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah moratorium kapal
eks-asing penangkap ikan di Indonesia. Hal ini tentunya turut dipengaruhi
oleh visi besar Jokowi dan kabinetnya dalam lima tahun pemerintahannya,
yakni mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong, juga menjadikan Indonesia sebagai Poros
Maritim Dunia. Meskipun mendapatkan sambutan yang baik, terobosan
kebijakan yang dilahirkan dari Pemerintahan Jokowi tersebut tetap tidak
terlepas dari berbagai kritik. Beberapa pihak, khususnya pengusaha di dalam
negeri sendiri keberatan dengan adanya kebijakan tersebut. Untuk itu, pada
kesempatan ini, tim penulis akan membahas lebih mendalam mengenai
evaluasi kebijakan moratorium kapal eks-asing di Indonesia, dengan
berlandaskan pada kerangka konsep keamanan non-tradisional. Dalam esai ini,
tim penulis berpendapat bahwa kebijakan moratorium kapal asing di Indonesia
perlu dikaji ulang dan didampingi oleh beberapa kebijakan lain, yang secara
mendalam berusaha untuk mengatasi akar permasalahan di sektor perikanan
Indonesia demi mengatasi ancaman krisis perekonomian. Hal ini tentunya
perlu dilakukan, agar kebijakan tersebut dapat membantu Indonesia menjadi
Poros Maritim Dunia.
45
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
47
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
kehidupan para nelayan yang masih belum layak, dengan sebagian besar dari
mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan.
KKP juga melakukan revisi peraturan terkait kegiatan alih muatan ikan di
tengah laut atau transhipment. Nantinya, semua kegiatan transhipment di
wilayah perairan Indonesia akan dilarang. Alasannya, banyak pelanggaran
yang dilakukan, di mana hasil transhipment tidak didaratkan di pelabuhan
perikanan Indonesia, melainkan langsung dibawa ke luar negeri. Akibatnya,
jumlah ikan yang ditangkap tidak terdata dan terjadinya re-ekspor ikan ke
Indonesia (Pregiwati, 2014). Selain itu, berdasarkan keterangan menurut
Suryowati (2015a), setelah berusaha untuk memberantas illegal fishing, Menteri
Susi juga berencana untuk memberantas penangkapan ikan yang merusak
lingkungan atau destructive fishing. Destructive fishing biasanya dilakukan
dengan menggunakan bom atau seine, sehingga dapat merusak biota laut dan
terumbu karang. Bukan hanya itu, selama ini, sebesar 99% terumbu karang
yang diperdagangkan langsung diambil dari alam, bukan dibiakkan sendiri.
Kebijakan ini akan diambil demi memelihara biota laut, yang menjadi habitat
ikan-ikan di perairan Indonesia. Selain terumbu karang, Menteri Susi juga
berencana untuk mengambil kebijakan terkait pelestarian hutan bakau.
Selanjutnya, Suryowati (2015b) menjelaskan bahwa Menteri Susi
berencana untuk membatasi wilayah penangkapan ikan, untuk mencapai
tujuan perikanan lestari. Nantinya, wilayah penangkapan ikan di Indonesia
hanya boleh dilakukan di wilayah lebih dari empat mil dari pantai. Sementara,
di bawah empat mil hanya boleh dilakukan aktivitas konservasi dan
pariwisata. Menteri Susi mendorong para nelayan untuk menangkap ikan di
zona empat sampai 12 mil. Selanjutnya, ia juga berencana untuk membatasi
ukuran kapal yang beroperasi, yaitu di bawah 200 GT. Tidak hanya itu,
beberapa aturan yang dibuat Menteri Susi juga akan menarik investasi asing di
sektor pengolahan perikanan. Pasalnya, aturan moratorium dan transhipment
yang sudah berjalan, efektif menekan pengiriman ikan secara ilegal ke berbagai
negara (Nurhayat, 2015b). Sementara itu, Unit Industri Pengolahan Ikan (UPI)
di dalam negeri juga berkomitmen menambah kapasitas produksi pengolahan
ikan (Nurhayat, 2015a).
naik menjadi 3,1 miliar dolar AS. Lalu, khususnya pada kuartal I 2015 nilai
ekspor perikanan sudah menembus 906,77 juta dolar AS. Peningkatan ini
dinilai sangat signifikan, sebab perolehannya hampir mencapai 1 miliar
meskipun baru kuartal I. Peningkatan ekspor tersebut diyakini merupakan
hasil upaya memberantas aksi pencurian ikan, sehingga produksi perikanan
dalam negeri menjadi terdongkrak.
Kebijakan moratorium yang diberlakukan juga jelas berpengaruh pada
hubungan Indonesia dengan negara lain. Menteri Susi mengatakan, duta besar
negara lain yang ada di Indonesia telah melakukan sosialisasi tentang regulasi
kelautan Indonesia tersebut ke negara masing-masing. Di hadapan para duta
besar, Menteri Susi menjelaskan berulang kali ketegasan sikap pemerintah
terhadap kapal eks-asing yang kedapatan mencuri ikan maupun hasil laut di
perairan Indonesia. Menteri Susi mengklaim mendapat reaksi positif dari para
duta besar tersebut (Sari, 2014). Selain itu, menurut Menteri Susi, negara lain
mulai merasa takut untuk masuk ke wilayah Indonesia. Setidaknya ada dua
negara di ASEAN yang mulai memberikan peringatan kepada para nelayannya
agar tidak menangkap ikan hingga ke wilayah laut Indonesia, yakni Malaysia
dan Thailand. Mereka membuat pengumuman bagi para nelayan untuk tidak
masuk wilayah laut Indonesia lagi. Lebih dari itu, pemerintah Malaysia bahkan
menyiapkan alat peringatan bagi setiap kapal nelayan untuk tidak masuk
wilayah perairan Indonesia (Aliya, 2014). Menurut Menteri Susi, sebenarnya
ada sekitar 5.400 kapal eks-asing tanpa izin yang berkeliaran di laut Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 3.000 kapal eks-asing mulai meninggalkan
wilayah perairan Indonesia akibat kebijakan moratorium yang diberlakukan
(Moerti, 2014).
Kebijakan moratorium juga turut mempengaruhi pasokan ikan
internasional. Atas kebijakan moratorium yang dikeluarkan, diketahui bahwa
terjadi kekurangan pasokan ikan di beberapa negara di dunia, seperti di
Tiongkok, Vietnam, Thailand, bahkan Amerika Serikat. Menteri Susi dinilai
sukses membuat pasokan ikan di beberapa negara berkurang, bahkan kosong.
Laut Indonesia yang selama ini ‘dikeruk’ oleh kapal-kapal ilegal, tak bisa lagi
memasok ikan ke berbagai pelabuhan utama perikanan di kawasan ASEAN,
sehingga juga berdampak ke negara konsumen ikan olahan seperti Dubai, Uni
Emirat Arab. Dengan berkurangnya pasokan ikan internasional, hal ini dapat
menjadi peluang bagi pelaku usaha pengolahan ikan di Indonesia, sebab harga
ikan laut dunia otomatis terdongkrak naik, seperti yang terjadi pada harga ikan
tuna (Nurhayat, 2015b).
Seperti yang dilansir oleh Diela (2014) saat sebulan setelah kebijakan
moratorium dilaksanakan, beberapa nelayan dalam negeri sudah memberikan
respon yang positif. Pasalnya, setelah adanya pelarangan kapal eks-asing untuk
melakukan bongkar-muat di wilayah perairan Indonesia, masih banyak ikan
49
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
yang bisa ditangkap oleh nelayan, meskipun musim paceklik. Penghentian izin
untuk kapal penangkap ikan dilakukan, sebab kapal eks-asing dinilai seringkali
mengambil kesempatan dengan memanfaatkan lemahnya penegakan hukum
maritim di Indonesia. Menurut Menteri Susi, setidaknya saat ini pihak asing
tahu apa yang Indonesia inginkan. Pihak asing mulai menyegani Indonesia atas
diterapkannya kebijakan ini. Mereka mengerti hak Indonesia sebagai negara
berdaulat. Beberapa nelayan dalam negeri juga memahami hal tersebut.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Tuna Longline
Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra, mengaku saat ini para nelayan
tradisional tengah berbahagia dengan aturan pelarangan transhipment. Sebab,
terjadi peningkatan hasil produksi nelayan tangkap yang cukup signifikan.
Namun di lain pihak, pengusaha perikanan nasional pemilik kapal lokal
mengalami penurunan produksi. Pasalnya, mereka tidak bisa mengoperasikan
kapal-kapal angkut yang membawa hasil tangkapan ikan dari tengah laut ke
pelabuhan (Angga, 2015). Data produksi ATLI menunjukkan, untuk komoditas
tuna saja misalnya terjadi penurunan sejak Januari lalu. Pada bulan Januari
2015, produksi tuna ATLI mencapai 1,2 juta kg. Angka ini menurun pada
Februari 2015 menjadi 976.776 kg, dan menjadi 848.411 kg pada Maret 2015.
Produksi tuna terus turun pada April 2015 menjadi sekitar 628.396 kg (Angga,
2015). Selain itu, dampak positif kebijakan moratorium, menurut Sari (2015a)
juga dapat dirasakan pada hasil tangkapan ikan para nelayan di Sorong yang
meningkat. Sebelum ada moratorium, rata-rata tangkapan mereka hanya
mencapai 10-20 ton per 14 hari. Namun, setelah ada peraturan tersebut, hasil
tangkapan mereka bisa mencapai 30-40 ton per 14 hari.
Namun demikian, kebijakan moratorium ini juga menimbulkan berbagai
dampak negatif yang dirasakan para pengusaha, bahkan dalam satu daerah
yang sama. Misalnya saja, di saat hasil tangkapan nelayan meningkat, terdapat
dua dari tiga perusahaan ikan di Sorong yang justru bangkrut akibat kebijakan
moratorium. Akibatnya, mereka harus memecat besar-besaran ABK (Anak
Buah Kapal) yang dimiliki. (Sari, 2015a). Kebijakan moratorium bahkan dinilai
tidak efektif. Dilansir oleh Ikawati (2015), Peter Mous, Direktur Perikanan The
Nature Conservancy (TNC) menilai bahwa kebijakan moratorium memang
penting untuk menjaga stok ikan, namun kurang efektif, sebab dengan adanya
pelarangan penangkapan ikan tersebut, banyak kapal yang berlabuh dan ABK
banyak yang menganggur. Hal tersebut kemudian berpengaruh pada
kurangnya pendapatan masyarakat pesisir. Bukan hanya itu, Indonesia
seharusnya tidak menghentikan kapal untuk menangkap ikan, karena
kebutuhan ikan tuna dan seafood masyarakat dunia sangat besar. Menurut
Mous, cara yang lebih efektif adalah dengan membatasi kuota tangkap dan
pemberian waktu tangkap secara bergilir, sehingga pengusaha dan nelayan
tidak mengalami kerugian berkepanjangan, sampai stok ikan kembali
50
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
51
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
Kesimpulan
Ke depannya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh
pembangunan sektor perikanan di Indonesia. Menurut BKPM (2011, 4),
pertama, Indonesia harus menghadapi kompetisi pasar global, khususnya
menghadapi Thailand dan Vietnam yang produknya lebih baik dan proses
produksinya lebih efisien. Kedua, Indonesia harus menghadapi kondisi
kompetisi di pasar domestik, sebab berbagai wilayah berbeda di Indonesia
memiliki produk perikanan yang sama. Ketiga, Indonesia membutuhkan
labelling, packaging, product safety, traceability, green/eco-labeling dan Bahan
Tambahan Pangan (BTP), untuk meningkatkan kualitas produk perikanan lebih
baik lagi. Keempat, sektor perikanan Indonesia juga harus bersaing dengan
produk protein hewani lainnya, seperti daging ayam, sapi, dan telur. Kelima,
tantangan juga muncul dari peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat
yang semakin meningkat, yang turut meningkatkan permintaan akan produk
makanan yang sehat. Hal ini menjadi tantangan, sekaligus kesempatan bagi
bisnis di sektor perikanan, untuk mengembangkan produk inovatif seperti
makanan instan, makanan beku, kalengan, kering, dan seafood yang sudah
diolah.
Sementara itu, Pusat Kajian Pembangunan dan Peradaban Maritim
menilai KKP perlu mengambil enam langkah menyeluruh terkait kebijakan
moratorium perizinan usaha penangkapan ikan bagi kapal eks-asing. Pertama,
KKP perlu melalukan perhitungan kembali berapa potensi sumber daya ikan di
perairan Indonesia saat ini, sehingga pemerintah dapat menentukan nilai
ekonomi maksimum atau minimum economic yield (MEY) dari potensi sumber
daya ikan tersebut. Ketepatan dalam menentukan nilai tersebut, akan sangat
berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan di perairan
54
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
DAFTAR PUSTAKA
56
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
Handoyo (2014) “Menteri Kelautan dan Perikanan Ingin Didik Nelayan Paham Bisnis”,
National Geographic Indonesia, 29 Oktober 2014. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/10/menteri-kelautan-dan-
perikanan-ingin-didik-nelayan-paham-bisnis.
Haryono, Samsi (2013) “Sektor Kelautan dan Perikanan Bersiap Hadapi AEC 2015”
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 26 November 2013. Diakses
pada 14 Oktober 2015, http://www.p2hp.kkp.go.id/artikel-797-sektor-kelautan-
dan-perikanan-bersiap-hadapi-aec-2015.html.
Hidayat, Reza. (2015) “KKP Harus Ambil 6 Langkah Ini Guna Evaluasi Moratorium
Kapal Asing” GeoTimes, 30 April 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://geotimes.co.id/kkp-harus-ambil-6-langkah-ini-guna-evaluasi-
moratorium-kapal-asing/.
Ikawati (2015) “Kebijakan Moratorium Menteri Susi Kurang Efektif” Jurnal Maritim, 19
Maret 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://jurnalmaritim.com/2015/03/kebijakan-moratorium-menteri-susi-
kurang-efektif/.
Moerti, Wisnoe. (2014) “5 Reaksi Negara Asing saat Menteri Susi Siap Tenggelamkan
Kapal.” Merdeka, 5 Desember 2014. Diakses pada tanggal 9 Juli 2015,
http://www.merdeka.com/uang/5-reaksi-negara-asing-saat-menteri-susi-siap-
tenggelamkan-kapal/kapal-asing-mulai-tinggalkan-indonesia.html.
Nugraha, Irwan (2014) “Gaji Menteri Akan Diberikan untuk Asuransi Nelayan”,
National Geographic Indonesia, 2 November 2014. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/11/gaji-menteri-akan-diberikan-
untuk-asuransi-nelayan.
Nurhayat, Wiji (2015a) “Menteri Susi Bikin 4 Negara Ini Kekurangan Pasokan Ikan.”
Detik Finance, 28 Januari 2015. Diakses pada tanggal 9 Juli 2015,
http://finance.detik.com/read/2015/01/28/124525/2816398/4/menteri-susi-
bikin-4-negara-ini-kekurangan-pasokan-ikan.
Nurhayat, Wiji (2015b) “Menteri Susi: Kebijakan Saya Bikin Kosong Pasokan Ikan
Dunia.” Jakarta Greater National Guard, 17 Februari 2015. Diakses pada tanggal 10
Juli 2015,
http://finance.detik.com/read/2015/02/17/163401/2835705/4/menteri-susi-
kebijakan-saya-bikin-kosong-pasokan-ikan-dunia
Pregiwati, Lilly Aprilya. (2014) “Moratorium Perizinan Kapal Mulai Dilaksanakan.”
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 14 November 2014. Diakses
pada tanggal 11 Juli 2015, http://kkp.go.id/index.php/berita/moratorium-
perizinan-kapal-mulai-dilaksanakan/.
Sari, Henny Rachma. (2014) “Takut Kapal Ditenggelamkan, Negara Lain Larang
Masuk Wilayah RI.” Merdeka, 4 Desember 2014. Diakses pada tanggal 9 Juli 2015,
http://www.merdeka.com/uang/takut-kapal-ditenggelamkan-negara-lain-
larang-masuk-wilayah-ri.html.
Sari, Elisa Valenta (2015a) “Moratorium Kapal Bikin Bangkrut Perusahaan Ikan di
Sorong” CNN Indonesia, 4 Mei 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150504175946-92-
51089/moratorium-kapal-bikin-bangkrut-perusahaan-ikan-di-sorong/
57
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 5
Sari, Elisa Valenta. (2015b) “Ekspor Perikanan Naik Signifikan, Menteri Susi
Merinding.” CNN Indonesia, 18 Mei 2015. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2015,
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150518201340-92-54026/ekspor-
perikanan-naik-signifikan-menteri-susi-merinding/.
Sularso, Aji. (2015) “Implikasi Moratorium Kapal Ikan Eks Asing.” Aji Sularso Fisheries
& Cruising Consultant, 4 Januari 2015. Diakses pada tanggal 11 Juli 2015,
http://ajisularso.com/implikasi-moratorium-kapal-ikan-eks-asing/.
Sumakul, Willy F. (2015) “Gun Boat Diplomacy dan Penenggelaman Kapal Penangkap
Ikan Ilegal di Perairan Indonesia.” Forum Kajian Pertahanan dan Maritim, 13 Mei
2015. Diakses pada tanggal 11 Juli 2015, http://www.fkpmaritim.org/gun-boat-
diplomacy-dan-penenggelaman-kapal-penangkap-ikan-ilegal-di-perairan-
indonesia/.
Suryowati, Estu (2015a) “Menteri Kelautan dan Perikanan Gencarkan Pemberantasan
Destructive Fishing.” National Geographic Indonesia, 21 Juni 2015. Diakses pada 13
Juli 2015, http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/06/menteri-kelautan-
dan-perikanan-gencarkan-pemberantasan-destructive-fishing.
Suryowati, Estu (2015b) “Wilayah Penangkapan Ikan Akan Dibatasi Minimal 4 Mil”
National Geographic Indonesia, 8 Januari 2015. Diakses pada 13 Juli 2015,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/01/wilayah-penangkapan-ikan-
akan-dibatasi-minimal-4-mil.
58
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6
59
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6
60
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6
antaranya belum ada pembagian peran dan fungsi kerja yang jelas oleh masing-
masing pemangku kepentingan. Pelaksanaan budidaya bakau yang dilakukan
oleh masing-masing aktor biasanya dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa
koordinasi dengan pihak-pihak lainnya, sehingga pemahaman dan strategi
yang dilakukan berbeda-beda. Hal ini terkait pula dengan belum adanya
prosedur atau peraturan yang secara detail menjelaskan pembagian peran dan
wilayah kerja masing-masing pihak yang terlibat. Penandatanganan perjanjian
juga tidak seluruhnya menjadi wewenang pusat. Selain itu, ada pula
kecenderungan dominasi pemerintah atau kelompok bentukan pemerintah
dalam pengelolaan hutan bakau di daerah (Hidayatullah, 2012, 167-168).
Pelaksanaan koordinasi antarlembaga yang dilakukan cenderung masih
bersifat horizontal (pusat ke daerah), sedangkan dimensi horizontal, terutama
keterlibatan aktor non-negara terbilang masih minim.
Model kerja sama global antarpemangku kepentingan yang
dikembangkan harus berbasis pada 3 kriteria, yakni transnasionalitas, objektif
kebijakan publik, dan struktur jaringan. Dalam upaya pengelolaan hutan
bakau, pemerintah pusat harus bertindak sebagai inisiator, koordinator, dan
supervisor bersama-sama dengan pemerintah lokal dalam menyusun dan
melaksanakan strategi pengelolaan hutan bakau. Dalam tahap pertama itupun
pemerintah harus lebih inklusif dengan melibatkan aktor-aktor lain, seperti
misalnya lembaga penelitian, universitas, NGO, LSM, dan sebagainya yang
mengetahui langsung keadaan di pesisir dan dapat memberikan masukan
kebijakan yang tepat, sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah.
Setelah didapatkan rumusan strategi yang tepat, seluruh aktor yang
terlibat tersebut perlu membuat draft strategi jangka panjang yang memuat
pembagian peran, fungsi, dan wilayah kerja yang jelas untuk masing-masing
aktor dan sektor, agar pengelolaan bakau tidak mengalami tumpang tindih dan
tidak sembarang dilaksanakan. Dengan adanya prosedur seperti ini,
pengelolaan bakau dapat dikoordinasikan dengan lebih baik dan terarah sesuai
kepentingan bersama di level nasional. Disamping itu, masing-masing aktor di
tiap sektor yang berbeda cukup berfokus pada pembagian kerjanya masing-
masing. Komunitas akademik, misalnya, berfokus pada pencarian strategi
pengelolaan bakau yang optimal, sedangkan aktor swasta dapat berfokus pada
tanggung jawab sosial dengan memberikan bantuan dana dan teknis. Di sisi
lain, NGO dan masyarakat setempat perlu berkolaborasi dalam melestarikan
bakau sesuai kearifan lokal yang ada di kawasan tersebut dan
menyesuaikannya dengan prosedur nasional. Peran masyarakat menjadi sangat
krusial dalam rangka menyatukan pemahaman mengenai pentingnya menjaga
bakau dari alih fungsi lahan dan mengoptimalisasi sumber makanan yang
dapat diambil dari ekosistem bakau tersebut. Dengan kata lain, optimalisasi
model kerja sama global ini dapat berjalan efektif dengan berfokus pada
63
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 6
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm
Hidayatullah. (2012) Pola Kemitraan dalam Rehabilitasi Mangrove : Studi Kasus di
Kecamatan Boleng - Kabupaten Manggarai Barat. Seminar Hasil Penelitian Balai
Penelitian Kehutanan Kupang. 16 Oktober 2012
Pattberg, P dan Oscar Widerberg. (2014) Transnational Multi-Stakeholder Partnerships
for Sustainable Development: Building Blocks for Success. Report from IVM
Institute for Environmental Studies. 13 Agustus 2014
The Jakarta Post (2014, 13 November). Jokowi Launches Maritime Doctrine World. The
Jakarta Post, online.
http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/13/jokowi-launches-
maritime-doctrine-world.html
Wetlands International (2013a, Juni). Potensi Hutan Bakau (Mangrove). 29 Juni 2015.
http://www.iwf.or.id/detail_content/134
Wetlands International (2013b, Mei). Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Indonesia. 29 Juni 2015.
http://indonesia.wetlands.org/LinkClick.aspx?link=PDF%2FStranasMangrove
(KKMTN-Mei2013).pdf&tabid=3093&mid=13422&language=id-ID
64
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7
Pendahuluan
Saat ini, Indonesia sedang berada dalam tahap redefinisi jati diri konsep
negara. Redefinisi negara ini terkait dengan status Indonesia sebagai negara
maritim. Isu ini mulai menyebar ke kalangan publik saat Jokowi memulai
kampanye Pemilihan Presiden 2014. Dalam kampanyenya, Jokowi beritikad
untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong, melalui didalam salah satu misinya untuk
mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim
dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan (Divisi
Humas Kemendagri, 2015). Dalam Nawa Cita poin ke 3, ia mengatakan bahwa
ia akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Poin Nawa Cita yang dikemukakan Presiden Joko Widodo sangat
menarik untuk dibahas, ketika ia beritikad untuk membangun wilayah-wilayah
dari daerah terpinggir. Hal tersebut sangat tidak mudah dilakukan, mengingat
pembangunan infrastruktur di daerah terpinggir tidak semaju dengan
pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa. Secara garis besar, penulis
mendukung ide tersebut. Perihal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi
Indonesia tidak dapat terus-menerus bergantung kepada Pulau Jawa sebagai
pusat pembangunan, namun dari wilayah terpinggir. Pembangunan Indonesia
bagian Timur yang seringkali hanya merupakan wacana adalah sangat penting
untuk dieksekusi lebih lanjut, demi memperjuangkan kesejahteraan dan
keadilan kepada seluruh entitas masyarakat entitas.
Tulisan ini ditulis dengan menyertakan Papua sebagai sentral analisis
bagi pembangunan Indonesia bagian timur. Penulis beranggapan bahwa
industri pariwisata maritim yang dimiliki Papua perlu diperhatikan dengan
serius oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena Papua memiliki industri
maritim pariwisata yang sangat potensial. Taman Nasional Teluk
Cenderawasih, Raja Ampat, Danau Sentani, Danau Paniai, Pantai Bosnik,
Pantai Amai, dan Pulau Rumberpon merupakan contoh dari industri
pariwisata maritim yang dimiliki Papua (Aneka Tempat Wisata, 2014).
Mengingat bahwa sektor pariwisata memiliki potensi yang sangat luas untuk
membangun wilayah yang seringkali terabaikan, perhatian terhadap industri
maritim di wilayah tersebut perlu untuk diperhatikan pemerintah.
65
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7
1. Public-Private Partnerhsip
Secara singkat Public-Private Partnership (PPP) adalah pengaturan jangka
menengah hingga panjang oleh pemerintah dan sektor swasta, yang dimana
tanggung jawab penyediaan jasa oleh pemerintah disediakan sektor swasta
dengan perjanjian jelas melalui tujuan yang sama terhadap infrastruktur publik
70
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7
dan kegiatan jasa itu sendiri (Bank Dunia, 2015). Konsep ini sangat berguna
baik bagi pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah dalam
mengembangkan Papua. Kerjasama dapat dilakukan melalui penyertaan
modal, penyuluhan, dan pembagian peran oleh pihak pemerintah dan swasta
dalam memajukan daerah.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan melalui
implementasi kebijakan ini. Pertama, pemerintah dapat mempercepat proyek
pembangunan di wilayah tertinggal dengan bekerjasama dengan pihak lain.
Pihak swasta dapat menyediakan beberapa hal, seperti: dana, infrastruktur dan
sistem yang mungkin tidak dimiliki pemerintah, untuk membantu pemerintah
untuk menyelesaikan proyek tersebut. Dengan demikian, koordinasi antar para
pemangku kepentingan perlu diperhatikan lebih lanjut. Kedua, poin
transparansi dan keterbukaan dapat semakin diimplementasikan, ketika
seringkali pemerintah dianggap kurang transparan dalam melakukan proyek.
Demi mendukung transparansi, peran masyarakat, khususnya civil society perlu
dilibatkan dalam mewujudkan hal tersebut. Perlu diingat, semakin transparan
kedua belah pihak kepada publik –yang dalam hal ini dimonitori peran civil
society, semakin besar kemungkinan Papua semakin maju. Ketiga,
pembangunan infrastruktur seyogyanya memperhatikan standar-standar
lingkungan, demi mengelola wilayah ini dalam jangka waktu yang lama. Hal
ini penting agar keindahan alam dan keberagaman yang dimiliki wilayah
tersebut dapat semakin dijaga.
Sejauh ini, penulis memperhatikan bahwa ada contoh PPP yang dapat
ditiru. Demi membantu pengembangan kawasan Raja Ampat, telah diadakan
kerjasama antara agensi tur Papua dengan pihak Bali yang dapat diambil
sebagai contoh. Badan Pariwisata Papua Barat mengadakan seminar dengan
tema “Mempromosikan Potensi Pariwisata Papua Barat” dengan mengundang
berbagai pemangku kepentingan. Hal ini dapat membantu wilayah Papua
Barat untuk mempromosikan turisme melalui wilayah Bali yang sudah
terbangun potensi pariwisatanya. Meskipun masih berupa seminar dan belum
ada tahap lebih lanjut untuk mengadakan proyek-proyek lainnya dalam
membangun hal-hal lebih besar seperti infrastruktur, namun koordinasi antar
berbagai macam pihak inilah yang dibutuhkan. Setidaknya dari hal kecil ini,
diharapkan implementasi PPP dapat semakin dijalankan dengan baik.
Penyediaan tiket murah dari pihak penerbangan dapat menjadi alternatif
untuk mengembangkan wilayah tersebut secara signfikan. Menrutut data,
kunjungan wistata mancanegara ke Raja Ampat dapat mencapai 15.000 per
tahun secara rata-rata (Republika Online, 2014). Jumlah pengunjung tersebut
perlu untuk dimanfaatkan dengan baik, demi meningkatkan pembangunan
yang diharapkan. Dengan demikian, baik pihak pemerintah dan swasta dapat
memanfaatkan keuntungan dari kerjasama tersebut. Pihak pemerintah dan
71
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7
Kesimpulan
Sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo yang telah disampaikannya
saat kampanye Pemilihan Presiden 2014, pembangunan nasional dari wilayah
yang terpinggirkan ke pusat perlu untuk dilakukan. Hal ini dapat dilakukan
melalui cita-cita Presiden untuk mewujudkan konsep negara maritim melalui
industri pariwisata maritim. Untuk mengelaborasikan hal tersebut, penulis
mengambil Papua, khususnya wilayah Raja Ampat sebagai contoh untuk
mengembangkan industri pariwista maritime di wilayah Indonesia Timur.
Alasan penulis mengambil contoh melalui Raja Ampat, karena Raja Ampat
merupakan salah satu potensi kemaritiman yang dimiliki Papua sebagai
wilayah yang seringkali terpinggirkan dari pembangunan. Dengan demikian,
Raja Ampat dapat dijadikan contoh bagi pembangunan papua ke depannya.
73
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 7
DAFTAR PUSTAKA
Aneka Tempat Wisata. (2014). 10 Tempat Wisata Papua yang Wajib dikunjungi, 21
September. Dapat diakses di: http://anekatempatwisata.com/10-tempat-
wisata-di-papua-yang-wajib-dikunjungi (Diakses 18 Juni 2015)
Bank Dunia. (2015). What are Public-Private Partnerships. Dapat diakses di:
http://ppp.worldbank.org/public-private-partnership/overview/what-are-
public-private-partnerships (Diakses: 19 September 2015)
http://www.researchgate.net/publication/270282764_Negara_Maritim
(Diakses 18 Juni 2015)
Divisi Humas Kemendagri (2015) Mengawal Proses Pemerintahan, Media Praja, Januari.
Kementerian Pariwisata. (2014). Masyarakat Ekonomi ASEAN Berpotensi Dorong
Pertumbuhan Kunjungan
Republika Online. (2014). Hampir Seluruhnya Pengunjung Raja Ampat adalah Wisatawan
Asing, 18 April. Dapat diakses di http://www.republika.co.id/berita/gaya-
hidup/travelling/14/04/18/n47qsw-hampir-seluruhnya-pengunjung-raja-
ampat-adalah-wisawatan-asing (Diakses 18 Juni 2015)
The Jakarta Post. (2012). West Papua builds network with Balinese Tourism, 30 Oktober.
Dapat diakses di http://www.thebalidaily.com/2012-10-30/west-papua-
builds-network-with-balinese-tourism.html (Diakses 18 Juni 2015)
Tridoyo Kusumastanto.( 2015). Negara Maritim. 2 Januari. Dapat diakses di
Wisatawan Ke Indonesia di Atas 10%, 18 Maret. Dapat diakses di
http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?id=2555 (Diakses 18 Juni 2015)
Zulfikar Alexandri. (2014). Wonderful Indonesia: Raja Ampat, Surga Kecil di Jantung
Terumbu Karang Indonesia, 16 Agustus. Dapat diakses di
http://zulfikaralex.com/wonderful-indonesia-raja-ampat-surga-kecil-di-
jantung-terumbu-karang-dunia (Diakses 18 Juni 2015)
74
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8
hukum adat ini mengatur tata cara menangkap ikan dan penyelesaian sengketa
merujuk pada Al Quran, Hadits, dan tradisi setempat (Adek, 2015). Ulama-
ulama di Nusantara pun banyak melahirkan fatwa-fatwa yang berkaitan erat
terhadap realitas masyarakat di pesisir. Syaikh Abdus Shamad Al Falimbani
menelurkan karya berjudul “Nashihatul Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi
Fadhail Jihad wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah”. Karya itu menerangkan
keutamaan berjihad di lautan melalui kontekstualisasi hadits-hadits Nabi
terhadap kenyataan maritim yang ada (Masudi, 2015). Muhammadiyah baru-
baru ini juga menghasilkan karya fiqih kebencanaan yang salah satunya
berangkat dari refleksi atas kondisi alam Indonesia yang rawan bencana
Tsunami (Republika, 2015). Produk-produk budaya maupun agama yang lahir
berkat interaksi tersebut adalah bagian integral dari konsep Islam Nusantara.
Sikap keislaman yang akomodatif dan toleran terhadap budaya setempat
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat ini menciptakan peradaban baru
yang unik dan memberi kharakteristik berbeda pada umat Islam di Indonesia.
Sementara itu, visi Poros Maritim Dunia berasal dari kenyataan internal
maupun eksternal Indonesia. Kenyataan internal itu berasal dari fakta bahwa
Indonesia secara fisik terdiri dari tujuh belas ribu pulau yang disambungkan
melalui lautan seluas kurang lebih 3.500.000 kilometer persegi. Lautan seluas
itu mengandung kekayaan alam yang luar biasa besar sekaligus potensi politik
dan keamanan bangsa Indonesia yang wajib dikelola dengan baik. Kejayaan-
kejayaan kerajaan di Nusantara juga tercermin dari bagaimana Sriwijaya,
Singasari, Majapahit, Aceh, dan Demak mengelola aspek kemaritimannya.
Perjuangan para founding fathers yang menekankan bahwa jati diri bangsa
Indonesia adalah bangsa maritim juga merupakan amanah yang harus
dilanjutkan oleh bangsa ini. Untuk itu, pembangunan yang selama ini land-
based oriented perlu diubah ke arah maritime-based oriented. Sedangkan,
kenyataan eksternal berasal dari perubahan konstelasi politik dan ekonomi
dunia dimana kekuatan internasional mulai bergeser dari barat ke asia timur.
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen pertahun, dengan total GDP
sekitar USD 40 trilyun, kawasan Asia Timur merupakan kawasan paling hidup
secara ekonomi maupun politik (Vivanews, 2014). Terdapat sekitar 40% dari
total perdagangan dunia secara keseluruhan berpusat di wilayah ini. Laut
kemudian sangat penting artinya bagi masa depan wilayah ini. Indonesia yang
terletak di jalur penting wilayah tersebut harus melihat ini sebagai kesempatan
emas untuk menjadi pemenang konstelasi global di abad ke-21.
Terdapat lima pilar poros maritim dunia sebagaimana yang
diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam KTT Asia Timur 2014 lalu,
yakni meliputi Budaya Maritim Indonesia, Pengelolaan Sumber Daya Laut,
Infrastruktur dan Konektivitas Laut, Diplomasi Maritim, dan Kekuatan
Pertahanan Maritim (Vivanews, 2014). Visi Poros Maritim ini menjadikan
77
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8
manusia sebagai khalifah di muka bumi, yakni mengelola segala sumber daya
kelautan demi kemaslahatan umat. Poros Maritim Dunia pun menjadi jihad fi
sabilillah. Kedua, sisi kebudayaan yang telah bermanunggaling dengan Islam
memberikan warna berbeda dan mensemarakkan kebudayaan di daerah-
daerah pesisir Indonesia. Ketika artikulasi-artikulasi kebudayaan ini didorong,
akseptabilitas, rasa memiliki dan kecintaan terhadap sektor kemaritiman akan
meningkat. Masyarakat akan aktif berpartisipasi mengingat kebudayaan yang
melekat dalam dirinya didukung dan dihargai sebagai bagian dari visi bersama
bangsa Indonesia.
Konsep Islam Nusantara bisa berfungsi pula sebagai perekat
kebudayaan antar komunitas pesisir satu dengan lainnya, dan dengan otomatis
menalikan kembali persatuan bangsa ini. Konsep agama seringkali memiliki
daya perekat dalam kelompok (in group) dan daya tolak berpotensi konflik
dengan luar kelompok (out group), namun dalam kasus Islam Nusantara saya
melihat hal yang berbeda. Ciri utama Islam Nusantara yang selama ini dikenal
oleh publik internasional sebagai Islam yang ramah, toleran, dan akomodatif
terhadap budaya ini memiliki ciri kebangsaan yang kuat. Konsepsi dalam Islam
Nusantara seperti ukhuwah wathaniyah, persaudaran sesama bangsa, akan
memunculkan dimensi nasionalisme. Konsepsi lain seperti hubbul wathan minal
iman (Mencintai negara adalah sebagian dari iman) yang selama ini disepakati
oleh ulama-ulama Islam di Nusantara juga memberi penegasan akan
pentingnya nasionalisme. Islam Nusantara memiliki akar kebangsaan yang
kuat dan selama ini mampu menampilkan diri sebagai Islam yang merangkul
semua golongan dan menerima perbedaan. Ini akan menghubungkan kembali
komunitas-komunitas pesisir atas dasar keagamaan namun tidak eksklusif,
tetapi justru inklusif. Komunitas pesisir yang beragama lain juga merasa aman
dan nyaman dengan hadirnya Islam Nusantara atas komitmennya terhadap
kebangsaan dan kebhinekaan.
Namun, patut diingat konsep Islam Nusantara bukanlah obyek dan
menjadi “alat” pemerintah dalam mewujudkan visinya. Tentu kita tidak setuju
menjadikan penafsiran agama sebagai komoditas politik dan tameng politik
pemerintah. Yang saya tekankan disini adalah bahwa konsep Poros Maritim
Dunia dan Islam Nusantara dapat bersinergi mewujudkan tujuan bersama-
sama untuk kepentingan bangsa. Keduanya dapat saling berkomplementer.
Konsep Islam Nusantara menemukan momentum yang tepat untuk
mengartikulasikan dan memperlihatkan kedigdayaannya melalui keterlibatan
pada Visi Poros Maritim Dunia. Promosi akan Islam Nusantara dapat berjalan
beriringan dan semakin kuat apabila mampu berjalinan erat dengan proyek
Poros Maritim Dunia. Islam Nusantara akan semakin terlihat sangat besar
peranannya ketika konsep ini mampu berkontribusi nyata dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
79
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8
Sinergitas ini bukannya tanpa cela. Saya melihat sinergi ini masih
memiliki kekurangan disana-sini. Pertama, baik konsep Poros Maritim Dunia
maupun Islam Nusantara masih belum mencapai bentuk definitif. Konsep
Islam Nusantara masih memerlukan kajian historis, antropologis, dan
arkeologis lebih mendalam. Terutama bagaimana “status ontologis” Islam
Nusantara yang berbeda dengan Islam lainnya (Arif, 2015). Status Ontologis
Islam Nusantara inilah yang masih menimbulkan pro kontra di kalangan umat
Islam Indonesia. Sedangkan apa yang dimaksud sebagai Poros Maritim Dunia
harus segera dirumuskan pemerintah secara baku agar konsep ini tidak
berputar di sekitaran pemangku kebijakan dan akademisi saja, tetapi juga
langsung mampu dipahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Apa
untungnya proyek besar bangsa ini hanya menjadi awang-awang menara
gading saja, sebab hingga saat ini sosialisasi dan implementasi Visi Poros
Maritim Dunia masih belum juga menyentuh masyarakat di level akar rumput.
Kedua, sinergitas keduanya berpotensi menimbulkan kecemburuan kelompok
beragama lain. Sebab, ada semacam keistimewaan yang tentu saja tidak baik
bila tidak dicarikan format yang tepat. Pemerintah bersama-sama kelompok
yang terlibat perlu mencari rumusan yang paling pas untuk mensinergikan ini
dengan mempertimbangkan asas keadilan bagi kelompok beragama lain.
Ketiga, harus ada formulasi yang tepat pula tentang bagaimana sinergi ini
dijalankan pada tataran teknis dan praksis. Ini bukan hal yang mudah,
membutuhkan kerja intelektual dan kultural yang intensif agar keduanya
berjalan dengan proporsional. Ketiga poin ini bagi saya masih perlu dipikirkan
dan membutuhkan riset lebih lanjut. Meski demikian, saya optimis bahwa
sinergitas antara Visi Poros Maritim Dunia dan Islam Nusantara akan mampu
menjawab tantangan dan mencapai cita-cita bangsa. Keduanya memiliki titik
tolak yang sama, yakni berangkat dari realitas sosial budaya masyarakat. Maka
sudah sepatutnya keduanya mampu berkolaborasi dengan baik, dengan
catatan ketiga persoalan tersebut mampu diatasi. Toh, keduanya pun memiliki
tujuan yang sama luhurnya, mewujudkan bangsa yang adil dan sejahtera
sekaligus negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
DAFTAR PUSTAKA
Adek, Miftahuddin Cut. (2015, 20 Maret).Kearifan Lokal dalam Komunitas Nelayan
Aceh. Majelis Adat Aceh, diakses pada 23 Juli 2015 pukul 15.14
http://maa.acehprov.go.id/?p=426
Arif, Syarif. (2015). “NU dan Islam Nusantara”, dalam Nasionalisme dan Islam
Nusantara, ed. Abdullah Ubaid dan Muhammad Bakir. Jakarta: Kompas, hlm.
59-62
Chalik, Abdul. (2011). Kiai dan Kekuasaan Sosial dalam Masyarakat Madura. Lontar
Madura. diakses pada 23 Juli 2015 pukul 14.36.
80
Indonesian Foreign Policy Review Volume 2, No. 8
http://www.lontarmadura.com/kiai-dan-kekuasaan-sosial-dalam-masyarakat-
madura/
Fatoni. Muhammad Sulton. (2015). “NU dan Islam Nusantara”, dalam Islam Nusantara:
Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, ed. Akhmad Sahal dan Munawir
Aziz, Bandung: Mizan Pustaka,. hlm 229-238.
Hasjmy. (1990). Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Jurnal Maritim. (2015, 26 Maret). KASAL : Penjajah Telah Hilangkan Budaya Maritim Kita.
diakses pada 23 Juli 2015 pukul 20.40.
http://jurnalmaritim.com/2015/03/kasal-penjajah-telah-hilangkan-budaya-
maritim-kita/
Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa : Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta:
Gramedia,. hlm. 29-50.
Lontar Madura (2012, 12 Januari). Upacara Rokat Tase Tanjung Saronggi. Diakses pada
23 Juli 2015 pukul 14.36 http://www.lontarmadura.com/upacara-rokat-tase-
tanjung-saronggi/
Masudi, Muhammad Idris. (2015, 29 Juni) NU.or.id, “Jihad Maritim Syaikh
Abdushamad al Palimbani”, diakses pada 23 Juli 2015 pukul 20.35.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60485-lang,id-
c,kolom-t,Jihad+Maritim+Syeikh+Abdushamad+al+Palimbani-.phpx
Ngaji Kitab Kuning, “Makna Islam Nusantara dalam Literatur”, diakses pada 23 Juli
2015 pukul 13.00 http://www.ngaji.web.id/2015/07/makna-islam-nusantara-
dalam-literatur.html
Pemerintah Aceh. (2014, 22 Januari). Kerajaan Samudera Pasai. diakses pada 23 Juli 2015
Pukul 14.55 http://acehprov.go.id/jelajah/read/2014/01/22/64/kerajaan-
samudera-pasai.html
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. (2014, 11 Oktober). Nelayan Gelar Sedekah Laut.
diakses pada 23 Juli 2015 pukul 15.03
http://www.jatengprov.go.id/id/newsroom/nelayan-gelar-sedekah-laut
Republika. (2015, 18 Mei). Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Susun Fiqh Bencana. Diakses
pada 23 Juli 2015 pukul 20.37. http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/islam-nusantara/15/05/18/nojkti-majelis-tarjih-pp-muhammadiyah-
susun-fiqih-bencana
Vivanews, (2014, November 14) Pidato Lengkap Jokowi di KTT ASEAN Soal Poros Maritim
Dunia. Diakses pada 23 Juli 2015 pukul 13.22.
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/558043-pidato-lengkap-jokowi-di-
ktt-asean-soal-poros-maritim
81