Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321

LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

PENGALAMAN PERAWAT DALAM MERAWAT PASIEN FASE END OF LIFE DI


RUANG ICU
Sisilia Mariani Destisary, Sih Ageng Lumadi, Feriana Ira Handian
Program Studi S1 Keperawatan, STIKes Maharani Malang, Jl. Akordion Timur Selatan No.8b, Mojolangu, Kec.
Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65141, Indonesia
*sisiliadestisary@gmail.com

ABSTRAK
Jumlah kematian di ICU cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia populasi, sehingga
perawat memegang peran penting mengelola perawatan untuk pasien fase end of life yang nyaman.
Tujuan dari penelitian adalah menggali pengalaman perawat dalam merawat pasien fase end of life
ruang ICU di Rumah Sakit Baptis Batu. Lima perawat pelaksana di ruang ICU Rumah Sakit Baptis
Batu dilibatkan dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang bekerja diatas 5
tahun. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan jumlah informan dibatasi
setelah data jenuh. Pengumpulan data dengan melalukan wawancara semi terstruktur, dan analisis
yang digunakan adalah content analysis. Hasil penelitian yaitu 1) Perawat memfokuskan perawatan
pada spiritual pasien fase end of life, 2) Pengelolaan emosi perawat saat merawat pasien fase end of
life, 3) Perawat melibatkan keluarga dalam merawat pasien, 4) Perawat memenuhi kebutuhan dasar
pasien pada fase end of life, 5) Perawat memahami kondisi pasien fase end of life. Perawatan yang
dilakukan perawat pada pasien fase end of life sudah cukup baik dapat memenuhi kebutuhan dasar
secara holistik.

Kata kunci: end of life; ICU; pengalaman perawat; perawatan

THE NURSES’S EXPERIENCE IN CARING FOR END OF LIFE PATIENTS IN THE


ICU ROOM

ABSTRACT
The number of deadths in the ICU tends to increase as the population ages, so nurses play an
important role in managing care for patients in a comfortable end of life phase. The purpose of this
research is to explore the experience of nurses in caring for patients in the end of life phase of the ICU
room at Baptis Batu Hospital. The research method was phenomenology study with purposive
sampling and content analysis that analyse the research result. Data collection used deep interview
and recorded with voice recorder. There’s five result of this research. First, nurses focus care on the
patient’s spiritual end of life phase. Second, management of nurses emotions when treating patients
with end of life phases. Third, nurses involve families in caring for patients. Fourth, nurses meet the
basic needs of patients in the end of life phase. Fifth, nurses understand the patient’s condition end of
life phase. Nursing care for patients with end of life phase is good enough to meet basic needs
holistically. Suggestion of this research, nurses need more knowledge about palliative care by
attending seminars or workshops related to palliative patient management.

Keywords: caring; end of life; ICU; nurses’s experience

PENDAHULUAN
Ruang perawatan intensif (ICU) merupakan ruangan bagi pasien yang membutuhkan
perawatan secara ketat karena pasien yang memiliki keadaan kritis harus diberikan pelayanan
yang serius. Ruang ICU dikhususkan untuk tujuan observasi, perawatan dan terapi pasien
pasien kritis. (Jaelani 2018). Perawat adalah saksi untuk beberapa peristiwa yang rentan dan
sensitif dalam kehidupan pasien dan keluarga. Perawat juga senantiasa 24 jam bersama
dengan pasien sehingga memahani kebutuhan dari pasien. Pada umumnya perawat sering
dihadapkan pada pasien yang sedang dalam kondisi sakratul maut (M. A’la, 2016).

29
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

Perawatan menjelang ajal atau end of life sebagai suatu istilah yang digunakan dalam
penyebutan perawatan pasien dan keluarga dari aspek klinis sampai sistem dukungan ketika
mendekati ajal. (Muhamad 2016). Perawat diharuskan memiliki kompetensi di bidang ini
karena fokus perawatan end of life memungkinkan pasien untuk mengatasi beban nyeri dan
gejala tidak nyaman dan memberi mereka kapasitas untuk mengalami spiritualitas mereka
sepenuhnya (DʼAntonio 2017). Kondisi sekarat yang dialami pasien yaitu beberapa pasien
merasakan kesusahan rohani, sehingga mencoba selesaikan masalah spiritual dan berdamai
dengan kenyataan. Pada kondisi ini akan terjadi penurunan fungsi sistem tubuh, sebagian
pasien mudah gelisah, biasanya mengalami rasa mengantuk yang semakin bertambah,
kemampuan komunikasi yang menurun, koma dan akhirnya meninggal dengan tenang (Curtis
et al 2016).

Hasil penelitian (Enggune et al. 2016) menemukan bahwa sebagian informan telah terbiasa
melakukan perawatan menjelang ajal karena sering dihadapi di ICU. Sedangkan, menurut
Ose, Ratnawati, and Lestari (2016) mengatakan bahwa perawat sering merasa kecewa dan
gagal ketika pasien yang dirawat meninggal. Munculnya perubahan psikologis timbul
perasaan tersentuh, mengalami suatu perasaan yang berbeda saat merawat pasien fase end of
life. Berdasarkan hasil studi pendahuluan ditemukan jumlah pasien di ruang ICU rumah sakit
Baptis pada Bulan Juli-Oktober 2018 sebanyak 124, sedangkan yang meninggal sebanyak 17
pasien. Hasil wawancara yang dilakukan pada dua perawat ICU mengungkapkan bahwa
perawatan pasien menjelang ajal difokuskan pada bimbingan spiritual atau kerohanian pada
pasien tersebut dimana perawat hanya mendampingi dan yang memberikan bimbingan
spiritual adalah tim pastoral. Dalam menjalankan peran dan fungsi perawat, perawat harus
menjamin kenyamanan pada akhir kehidupan pasien. Peran perawat dalam perawatan pasien
menjelang ajal menjadi salah satu latar belakang pentingnya dilakukan penelitian kualitatif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi secara mendalam pengalaman perawat
terhadap perawatan end of life di ruang ICU Rumah Sakit Baptis Batu.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk
mengeksplorasi pengalaman perawat dalam merawat pasien fase end of life di ruang ICU
Rumah Sakit Baptis Batu. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara in-depth interview.
Penelitian ini menggunakan jenis wawancara semiterstruktur, menggunakan panduan yang
telah disusun. Lama wawancara 45-50 menit untuk masing-masing responden. Hasil
wawancara direkam dengan alat perekam suara atas izin responden. Setiap responden
dilakukan wawancara sebanyak dua sampai tiga kali, sehingga mendapatkan data yang
diinginkan sesuai tujuan penelitian. Hasil data wawancara dianalisa menggunakan content
analysis. Penelitian ini telah mendapatkan ethical clearance yang didapatkan dari komite etik
Stikes Maharani Malang. Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di ruang
ICU dan mempunyai pengalaman merawat pasien menjelang ajal, sampel diambil dengan
teknik purposive sampling.

HASIL
Hasil penelitian ini menemukan 5 tema yaitu:
Perawat memfokuskan perawatan pada spiritual pasien fase end of life
Perawat juga berperan sebagai pembimbing spiritual pasien maupun keluarga diperkuat
dengan pernyataan dari responden yaitu:
“kalau dia Muslim saya suruh nuntun kalau dia Kristen mari kita sama sama berdoa” (R1),
“karena ada petugasnya sendiri kita ya cuman apa ya dek sekedar ya sekedar mendoakan aja

30
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

gitu ndak mesti ke keluarga ya” (R2), “kita sudah menawarkan misalkan apakah saya boleh
berdoa untuk ibu…” (R3), “biasanya kita panggil pemuka agama sesuai dengan agama
masing masing…” (R4), “kita harus bantu doakan dan kita bareng bareng bantu mendoakan
…” (R5).

Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perawat melakukan bimbingan spiritual dengan
diajak berdoa bersama sesuai keyakinan yang dianut atau memfasilitasi pasien maupun
keluarga pasien yaitu memanggil petugas khusus atau menghadirkan pemuka agama yang
dibutuh pasien dan keluarga pasien sehingga kebutuhan spiritual pasien terpenuhi. Hal
tersebut berkaitan dengan pendampingan spiritual oleh tim khusus yaitu tim pastoral
diperkuat dengan pernyataan responden yaitu:
“… saya pasti langsung telpon pastoral minta tolong dampingi” (R1), “kalau spiritualnya sih
kita ada ee petugas sendiri yah …” (R2), “Disini kan ada pastoralnya tawari dulu keluarga
…” (R4), “… kadang kita lihat petugas pastoral pagi kadang kan juga ditanyakan mau
didoakan atau apa gitu jadi ya nggak papa” (R5).

Maka pada pemenuhan kebutuhan spiritual pasien fase end of life sebagian besar dilibatkan
tim spiritual khusus yaitu tim pastoral yang bertugas mendampingi dan membimbing dalam
hal spiritual maupun penguatan emosial pasien maupun keluarga. Pemenuhan kebutuhan
spiritual pasien fase end of life sebagian besar dilibatkan tim spiritual khusus yaitu tim
pastoral yang bertugas mendampingi dan membimbing dalam hal spiritual maupun penguatan
emosial pasien maupun keluarga dengan pernyataan responden yaitu:
“saya nggak sungkan meluk keluarga pasien…” (R1), “kita menguatkan aja sih, menguatkan
…” (R2).

Pengelolaan emosi perawat saat merawat pasien fase end of life


Pada tema kedua ini berkaitan dengan beban psikologis perawat dalam merawat pasien fase
end of life yang pertama yaitu perawat mengalami stress kerja pada awal bertemu pasien end
of life diperkuat dengan pernyataan responden yaitu:
“… yang pasti takut ya bingung lari sana lari sini bingung apa yang dilakuin …” (R1), “…
dulu aku bingung apa yang harus aku lakukan gitu ya” (R2), “pertama kali yang ditanyakan
yang pertama kali ya saya ikut terhanyut (tertawa) dengan pertama kali” (R4), “… dibilang
takut ya takut kaget kan … udah kerja setelah kerja ya pertama tamanya masih sek takut …”
(R5).

Pada pengalaman perawat saat pertama kali menemui pasien end of life, perawat merasakan
takut, bingung serta kaget karena masih belum beradaptasi dengan lingkungan baru dan
menemui kasus baru. Setelah menjalani pekerjaan dan sering menemui pasien fase end of life
perawat dihadapkan dengan kondisi kenyataan harus kuat dalam menghadapi pasien maupun
keluarga, perawat jujur mengungkapkan bahwa mereka sedih saat merawat pasien. Perasaan
sedih perawat saat merawat pasien fase end of life diperkuat dengan pernyataan responden
yaitu:
“masih nano nano ya kadang masih yang pasti sedih itu ada… perasaan saya sedih sampai
seminggu …” (R1), “… mungkin sedihnya kita engga yang terlalu sih berlebihan gitu…
kadang ya ee kasian ya pasien itu kok bisa meninggal gitu…” (R2), “kadang kadang masih
terhanyut tapi masih bisa terkontrol” (R4), “Sebenarnya jujur untuk dari saya kalau
perasaannya juga sedih… ” (R5).

31
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

Perawat merasa sedih dan berempati kepada pasien karena perawat tidak bisa menolong
pasien untuk survive. Maka untuk menguatkan diri sendiri supaya mengatasi perasaan
tersebut, perawat melakukan beberapa hal. Perawat berusaha tidak ikut dalam kesedihan yang
dikuatkan dengan pernyataan responden yaitu:
“nah itu tadi saya bolak balik kamar mandi…” (R1), “biasanya aku memalingkan diri aku
pergi kemana gitu…” (R2), “pergi dulu saya dari situ dari tempat itu saya menata hati dulu
(tertawa)…” (R4), “Kita harus kuat istilahnya yo meskipun ada yang orang kan bawaan
perasaan sendiri ….” (R5).

Maka dapat disimpulkan bahwa saat mendampingi dan merawat pasien, perawat merasakan
sedih, berempati dan kecewa sehingga untuk mengatasi perasaan tersebut perawat
mengalihkan ke hal lainnya supaya dapat mengontrol perasaan tersebut.

Perawat melibatkan keluarga dalam merawat


Pada tema ketiga ini yang terkait dengan perawat melibatkan keluarga dalam merawat pasien
yang pertama yaitu perawat mengedukasi keluarga tentang prosedur medis dibuktikan dengan
pernyataan responden yaitu:
“… diagnosa itu kan dokter yang menjelaskan yang bagian keperawatan ya kita jelaskan
kondisinya… nanti untuk kondisi terburuknya itu biar dokter yang menjelaskan…” (R1), “ya
kita jelaskan ke keluarga nya tadi ee kondisi bapak ini lagi menurun … nanti dokternya yang
akan menjelaskan kondisi pasien meninggal atau tidak…” (R2), “kita harus intens
memberikan informasi tersebut dengan bahasa dan cara yang mudah dipahami… kita
jelaskan dulu bahwa secara medis dari pemeriksaan…” (R3), “… kita jelaskan kalau
kondisinya ibu atau bapak turun… kita jelaskan ini ee kita sedang berusaha semaksimal …”
(R4), “kita kan bisa kasih tahu ke keluarganya dari pertama mungkin kesadarannya…” (R5).

Perawat berusaha menjelaskan dengan cara yang mudah dipahami oleh keluarga tentang
kondisi dan hal yang terjadi pada pasien. Sebagian perawat berkolaborasi dengan dokter untuk
memberitahu keluarga pasien jika pasien meninggal dunia ataupun terjadi perburukan. Tetapi
perawat menemui kendala dalam menyamakan persepsi antara perawat dan keluarga.
Ditemukan kurangnya pemahaman keluarga akan tindakan medis diperkuat dengan perkataan
dari responden yaitu:
“… mereka ngotot ngasih obat herbal kan disini ndak boleh …” (R1), “biasanya sih keluarga
itu bilang yawes lah suster pokoknya yang terbaik buat keluarga…” (R2), “keluarga kadang
ada yang bilang mintanya diusahakan yang terbaik…” (R5).

Perawat berusaha menjelaskan kondisi pasien, keluarga susah untuk mengerti kondisi pasien
maupun tindakan yang sudah dilakukan perawat. Dari penjelasan perawat, keluarga diminta
mengambil keputusan untuk pasien karena keluarga mempunyai hak. Perawat menyadari
bahwa keluarga sebagai penentu pengambilan keputusan atas pasien dikuatkan dengan
pernyataan responden:
“kita tanyain dulu lagi keluarganya ee jika nanti henti napas, henti jantung apakah boleh
nanti pasien kita pijat jantung…” (R2), “jadi dari keluarga yang berhak untuk mengetahui ee
pelepasan informasi medisnya …” (R3), “Disini kan ada pastoralnya tawari dulu keluarga
mau nggak di doakan oleh secara Kristen… ada keluarga yang menolak dipasang pasang
seperti itu …” (R4), “kalau dari spiritual berartikan kita harus ijin dulu dia mau di doakan
…” (R5).

32
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

Perawat telah menjelaskan tindakan dan kondisi yang akan terjadi pada pasien sekaligus
perawat meminta ijin atas tindakan yang akan dilakukan sehingga keluarga harus mengambil
keputusan untuk tindakan tersebut. Maka atas dasar keputusan keluarga, perawat memberikan
surat persetujuan untuk keputusan keluarga. Perawat menghargai keputusan keluarga
dikuatkan dengan perkataan responden yaitu:
“tetap ya kita hargai keputusan mereka kalau pun mereka minta sedikit perubahan saja harus
diinfokan” (R3), “jadi kita keputusan keluarga dan pasien tapi tetap kita meminta
persetujuan …” (R4), “ya kita menghargai ya istilahnya privasi pasien …” (R5).

Apapun keputusan dari keluarga pasien, perawat tetap menghormati dan menghargai dengan
memberikan surat pernyataan persetujuan atau penolakan tindakan yang berkaitan dengan
pasien. Maka dapat disimpulkan bahwa setelah memberikan informasi kondisi pasien,
selanjutnya menanyakan keputusan keluarga dan meminta persetujan dan penolakan tindakan.

Perawat memenuhi kebutuhan dasar pasien fase end of life


Pada tema keempat ini yang terkait dengan perawat memenuhi kebutuhan dasar pasien fase
end of life yang pertama yaitu perawat memenuhi kebutuhan makan dan minum pasien untuk
pasien sadar maupun tidak sadar diperkuat dengan pernyataan responden yaitu:
“Untuk kalau pasien yang tidak sadar sih biasanya sudah terpasang NGT…” (R1), “untuk
pasien sadar apa nggak sadar. Untuk kalau pasien yang tidak sadar sih biasanya sudah
terpasang NGT ya …” (R2), “… perawat harus mengkaji dulu kalau kita sudah tahu tentang
ee masalah kebutuhan pemenuhan …” (R3), “kalau pasien bisa makan dan minum sendiri,
biasanya kalau mau kita suapin kita suapin…” (R4). “kalau kebutuhan makan dan minum
pasien terpasang selang lambung, jadi kita melalui selang lambung kita memberikan makan
dan minum” (R5).

Perawat mampu memenuhi kebutuhan eliminasi pasien fase end of life sehingga pasien dapat
merasakan nyaman dikuatkan dengan perkataan responden yaitu:
“cara memenuhi ehm kalau eliminasi kan untuk pasien ini ya kita pasang kateter ya…” (R1),
“kalau pasiennya pengen BAB ya kita bantu aja …” (R2), “misalkan pasien masih bisa
buang air kecil atau buang air besar secara spontan ya kita penuhi …” (R3), “eliminasi,
kalau pasien sadar kita edukasi ke pasien ee biasanya kan ndak pakai kateter jadi pakai
pampers …” (R4), “kalau eliminasi kalau pasien nggak sadar otomatis semua tanggungjawab
perawat …” (R5).

Perawat memenuhan kebutuhan tidur dan istirahat pasien dikuatkan dengan pernyataan
responden yaitu:
“kebutuhan tidur pasien biasanya berikan lingkungan yang nyaman ya …” (R2),
“ketika perawat hanya melihat secara subjektivitas saja, itu pasiennya keliatannya tidur
tetapi belum tentu …” (R3), “kita disini ada jam kunjung jadi seminimal mungkin pada waktu
jam kunjung itu keluarga yang masuk itu satu satu …” (R4)“kalau untuk memenuhinya
pasien dengan tahap terminal kita ngga bisa tahu …” (R5).

Perawat mampu melakukan pembersihan badan pasien dari kulit, oral maupun perineal secara
rutin tiap harinya dikuatkan dengan perkataan responden yaitu:
“untuk menjaga kebersihan pasien kami selalu lakukan memandikan 2x sehari itu yang kami
lakukan rutin” (R3),
“ya disini ada ya memandikan 2x sehari, bersihkan 2x sehari pagi dan sore…” (R4).

33
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

“kalau berpakaian biasanya di rumah sakit kita sehari ganti 2x ya sore, pagi sama sore
sambil memandikan” (R2)
“selain mandi ya kita kasih lotion atau baby oil…” R5
“perineal hygine setiap 2 kali sehari. oral hygine tiap 3 ee 6 jam” R1

Perawat berusaha menjaga pasien terhindar dari bahaya-bahaya di lingkungan sekitar dengan
mengkaji hal-hal yang dapat membahayakan pasien serta memberikan edukasi kepada
keluarga agar dapat membantu menjaga klien dari bahaya lingkungan dikuatkan dengan
perkataan responden yaitu:
“yang umum biasanya pasien jatuh ya resiko jatuh…” (R2)
“dari bahaya lingkungan jadi ee kita antisipasi dulu …” (R3),
“mungkin kalau di ICU itu kan salah satunya ya bahaya bahaya resiko jatuh itu ya…” (R4).

Perawat mampu memahami kondisi pasien fase end of life


Perawat mengobservasi monitor untuk mengetahui tanda-tanda pasien berada pada fase end of
life. Selain dilihat dari monitor beberapa tanda yang dikenali perawat bahwa pasien berada
pada fase end of life adalah dilihat dari pupil, perubahan tanda tanda vital, tingkat kesadaran,
hemodinamik, denyut jantung dan saturasi diperkuat dengan pernyataan responden yaitu:
“dilihat dari monitor, monitor dan pupil…” (R1), “kita lihat dari kalau disini ya kita lihat
monitornya…” (R2), “ee untuk mengidentifikasi dari hasil observasi kita observasi secara
menyeluruh… ” (R3), “tensi cenderung turun, tapi ada sih tensi yang tinggi bange …” (R4),
“untuk mengidentifikasi itu tadi dari kesadarannya kita bisa lihat terus dari
hemodinamiknya… ” (R5).

Perawat dalam mengidentifikasi nyeri pada pasien fase end of life menggunakan pengkajian
nyeri untuk pasien sadar yaitu pengkajian numeric scale dan pasien tidak sadar menggunakan
comfort scale dikuatkan degan perkataan responden yaitu:
“kalau mengkaji nyeri kita nggak bisa ya kita cuman, kita pake comfort skill itu ya…” (R2),
“cara mengidentifikasi nyeri pada pasien pasien tahap terminal kembali lagi kita dari
assement… ” (R3), “mengidentifikasi nyeri pada klien disini ada ee penilaian untuk nyeri …”
(R4),
“dilihat dari pasien sadar nggaknya tadi, kalau pasien sadar kita tanyakan …” (R5).

PEMBAHASAN
Perawat memfokuskan perawatan pada spiritual pasien fase end of life
Pada kategori pertama ditemukan bahwa perawat telah berperan sebagai fasilitor yang mana
memfasilitasi pasien untuk bertemu dengan keluarganya pada fase end of life. Perawat
memberi kesempatan agar keluarga dapat memberikan dukungan spiritual atau dukungan
sosial yang berguna untuk pasien sehingga pasien dapat merasa nyaman. Keluarga mampu
memberikan dukungan berupa dukungan emosional atau spiritual kepada pasien sehingga
kebutuhan sosial pasien terpenuhi. Gangguan psikososial dan spiritual dapat dialami oleh
pasien kritis, disamping keluhan nyeri, sesak nafas dan gangguan aktivitas. Proses pemenuhan
kebutuhan pasien paliatif tidak hanya dilakukan oleh tenaga medis, tetapi juga memerlukan
peranan keluarga. Kehadiran dan dukungan keluarga dapat membantu pasien melewati fase
end of life lebih tenang sehingga masalah spiritual dan psikososial dapat teratasi. Kerjasama
antara perawat dan keluarga diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan pasien fase end of life
sehingga hak hak pasien dapat terpenuhi.

34
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

Perawat membimbing spiritual pasien ditemukan bahwa seluruh perawat mengakui


melakukan bimbingan spiritual dengan diajak berdoa bersama sesuai keyakinan yang dianut
atau memfasilitasi pasien maupun keluarga pasien yaitu memanggil petugas khusus atau
menghadirkan pemuka agama yang dibutuh pasien dan keluarga pasien sehingga kebutuhan
spiritual pasien terpenuhi. Perawat menawarkan diri untuk berdoa jika diijinkan keluarga atau
pasien dan jika keluarga meminta memanggil pemuka agama maka perawat berusaha
mengadakan hal tersebut. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang mendampingi pasien 24 jam
berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan spiritual keagamaannya bila pasien dirawat di
rumah sakit. Hal tersebut dapat terpenuhi dengan berdoa bersama dengan pasien,
menyediakan buku buku keagamaan, dan memfasilitasi ibadah pasien.

Upaya perawat dalam meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan spiritual pada pasien,
salah satunya adalah melalui pengkajian kebutuhan spiritual. Pasien fase end of life lebih
difokuskan pada pemenuhan kebutuhan spiritual yang berarti perawat harus bisa mengkaji dan
membantu memenuhi kebutuhan spiritual pada masa menjelang ajal agar pasien dapat
meninggal dengan tenang, sehingga pengetahuan yang baik tentang kebutuhan spiritual pasien
oleh perawat menjadi penting untuk dimiliki. Pendampingan spiritual oleh tim khusus yaitu
tim pastoral ditemukan bahwa rata-rata perawat mengatakan melibatkan petugas tim pastoral
dalam memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Hal ini berdasarkan persetujuan keluarga atau
pasien jika bersedia maka akan dipanggilkan atau petugas membimbing spiritual pasien.
Perawat beranggapan dengan memenuhi kebutuhan spiritual pasien akan merasa senang selain
itu kebutuhan akan spiritual pasien akan terpenuhi. Berdoa akan meningkatkan harapan pasien
terhadap ketidakpastian penyakitnya sehingga membuat pasien lebih tenang. Pendampingan
ibadah juga dapat ditunjukkan keluarga dengan membacakan doa ketika berkunjung (Sari et
al. 2015).

Pastoral care yaitu seorang konselor memberikan saran, nasehat dan strategi untuk
mengambil keputusan sendiri. Dalam health pastoral care, pelaku dan yang mengerjakan
pekerjaan itu adalah orang yang sama sehingga unsur bekerja di dalamnya menjadi sangat
penting. Konseling pastoral menjadi bagian yang tak terpisahkan dari health pastoral care.
(Kusmaryanto, 2016). Berdasarkan hasil penelitian (Sari et al. 2015) dapat diketahui bahwa
dimensi kebutuhan keagamaan/ religi menjadi kebutuhan yang paling banyak dibutuhkan
serta menjadi kebutuhan spiritual yang dibutuhkan oleh responden dibandingkan dimensi
lainnya, hampir seluruh responden membutuhkan kebutuhan spiritualitas ini. Kegiatan berdoa
dengan orang lain serta didoakan oleh orang lain menjadi aspek kebutuhan yang paling
banyak dipilih oleh responden. Hal ini semakin memperlihatkan bahwa dalam masyarakat
Indonesia kebutuhan religi atau keagamaan memegang peranan penting dalam kehidupan.
Kebutuhan spiritualitas ataupun religiusitas sebagai sumber koping untuk menghadapi kondisi
paliatif.

Pengelolaan emosi perawat saat merawat pasien fase end of life


Pada tema kedua kategori pertama yaitu perawat mengalami stress kerja pada awal bertemu
pasien end of life ditemukan bahwa pengalaman perawat saat pertama kali menemui pasien
end of life, perawat merasakan takut, bingung serta kaget karena masih belum beradaptasi
dengan lingkungan baru dan menemui kasus baru. Berdasarkan penelitian Ratung & Leuna
(2018) didapatkan bahwa partisipan merasakan takut saat pertama kali merawat pasien
terminal, karena lingkungan kerja yang baru dan memerlukan adaptasi tentang penggunaan
alat dan perawatan pada pasien yang tidak sadar. Berdasarkan teori from Novice to Expert

35
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

oleh Benner, maka pada pengalaman pertama ini, partisipan digambarkan sebagai perawat
novice.

Menurut Ratung & Leuna (2018), pada tahap ini seseorang tanpa latar belakang pengalaman
pada situasinya, maka pada tahap ini Benner mengklasifikasikan perawat level novie
ditempatkan pada situasi yang tidak dikenal olehnya, sehingga ia harus diberikan panduan
perintah yang jelas dan atribut yang objektif. Pada kategori kedua dan ketiga yaitu perasaan
sedih perawat saat merawat pasien fase end of life dan perawat berusaha tidak ikut dalam
kesedihan ditemukan bahwa responden mengungkapkan bahwa perasaan yang berbeda-beda
dirasakan oleh perawat dalam merawat pasien fase end of life. Merawat pasien fase end of life
membutuhkan tanggung jawab, tingkat kenyamanan dalam merawat pasien fase end of life
berbeda-beda pada tiap perawat. Sebagian besar perawat simpati yang dimaksud dapat
menerima apa yang dialami oleh pasien dan sewaktu-waktu perawat terhanyut atau terbawa
perasaan akan kondisi psikologis keluarga pasien saat pasien mengalami perburukan atau
meninggal dunia. Makna simpati yang diungkapkan oleh responden yaitu perasaan sedih dan
kehilangan ketika pasien yang dirawat meninggal dunia.

Berdasarkan hasil penelitian (Enggune et al. 2016) mengatakan bahwa sebagian besar
informan menyatakan bahwa mereka merasa biasa saja selama proses merawat pasien yang
menjelang ajal dan menghadapi kematian. Perawat ICU dalam menghadapi pasien fase end of
life dituntut untuk empati dan berusaha untuk tidak larut dalam kesedihan, tetapi hal tersebut
diungkapkan oleh responden bahwa sebagian besar merasakan hal tersebut. Perawat
mengalami dilema dimana merasa kecewa karena tidak berhasil membantu pasien yang
meninggal dunia. Menurut peneliti, perawat seharusnya dibentuk untuk berempati bukan
simpati tetapi perawat ICU merasakan kesedihan yang berlebih saat merawat pasien fase end
of life. Hal ini harus menjadi masalah jika perawat tidak mengontrol perasaan saat melakukan
tugas yang akan berefek pada performa kerja. Oleh karena itu, responden memiliki cara
masing-masing untuk menghindari atau mengatasi perasaan tersebut.

Beberapa responden mengalihkan perhatian dengan pergi ke kamar mandi untuk meluapkan
perasaan, mencari kegiatan untuk menghindari perasan simpati, dan berusaha menguatkan diri
mengontrol perasaan supaya tidak larut dalam kesedihan keluarga bila pasien terjadi
perburukan atau meninggal dunia. Pengalihan perhatian tersebut membuat perawat tetap
profesional karena perawat tidak boleh menangis didepan pasien atau keluarga karena akan
berefek pada psikologis keluarga atau pasien. Sebagian besar perawat simpati yang dimaksud
dapat menerima apa yang dialami oleh pasien dan sewaktu-waktu perawat terhanyut atau
terbawa perasaan akan kondisi psikologis keluarga pasien saat pasien mengalami perburukan
atau meninggal dunia. Makna simpati yang diungkapkan oleh responden yaitu perasaan sedih
dan kehilangan ketika pasien yang dirawat meninggal dunia.

Berdasarkan hasil penelitian (Lima et al. 2017) mengatakan bahwa sebagian besar informan
menyatakan bahwa mereka sudah biasa selama proses merawat pasien yang menjelang ajal
dan menghadapi kematian. Perawat ICU dalam menghadapi pasien fase end of life dituntut
untuk empati dan berusaha untuk tidak larut dalam kesedihan, tetapi hal tersebut diungkapkan
oleh responden bahwa sebagian besar merasakan hal tersebut. Responden memiliki cara
masing-masing untuk menghindari atau mengatasi perasaan tersebut. Beberapa responden
mengalihkan perhatian dengan pergi ke kamar mandi untuk meluapkan perasaan, mencari
kegiatan untuk menghindari perasan simpati, dan berusaha menguatkan diri mengontrol
perasaan supaya tidak larut dalam kesedihan keluarga bila pasien terjadi perburukan atau

36
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

meninggal dunia. Pengalihan perhatian tersebut membuat perawat tetap profesional karena
perawat tidak boleh menangis didepan pasien atau keluarga karena akan berefek pada
psikologis keluarga atau pasien.

Perawat melibatkan keluarga dalam merawat


Pada tema ketiga, kategori pertama yaitu perawat mengedukasi keluarga tentang prosedur
medis ditemukan bahwa responden berusaha menjelaskan dengan cara yang mudah dipahami
oleh keluarga tentang kondisi dan hal yang terjadi pada pasien. Sebagian perawat
berkolaborasi dengan dokter untuk memberitahu keluarga pasien jika pasien meninggal dunia
ataupun terjadi perburukan. Perawat memberikan penjelasan tidak hanya dari segi
keperawatan tetapi prosedur medis sedangkan dokter menjelaskan diagnose, prognosa dan
lain sebagainya. Perawat hanya mereview kembali apa yang sudah dijelaskan dokter kepada
keluarga dan menanyakan kembali apa yang tidak dipahami keluarga.

Informasi yang akurat dan terpercaya sangat diperlukan oleh keluarga pasien yang ada di
ruangan ICU, karena pasien yang ada di ruangan ICU sangat memerlukan tindakan cepat dan
tepat. Ini berdampak pada keluarga pasien apabila perawat tidak terlebih dahulu memberikan
informasi kepada keluarga, maka keluarga pasien tidak akan percaya lagi kepada perawat dan
keadaan seperti ini sering menjadi konflik atau masalah antara keluarga pasien dengan
perawat yang ada di ruangan ICU (Tumbuan et al. 2017). Didalam berkomunikasi antara
keluarga pasien, perawat harus membangun rasa nyaman, aman dan percaya kepada keluarga.
Hal ini merupakan landasan utama berlangsungnya komunikasi yang efektif (Pitoyo, 2015).

Pada kategori kedua yaitu kurangnya pemahaman keluarga akan tindakan ditemukan bahwa
perawat mengatakan perawat menemui kendala dalam menyamakan persepsi antara perawat
dan keluarga. Perawat berusaha menjelaskan kondisi pasien, keluarga susah untuk mengerti
kondisi pasien maupun tindakan yang sudah dilakukan perawat. Hingga kini masih banyak
perawat yang masih kurang mampu berkomunikasi dengan baik, persuasif, efektif dan tepat
sasaran dikarenakan minimnya kosakata mereka. Minimnya kosakata mengakibatkan perawat
kesulitan dalam menyampaikan pesan keperawatan bagi pasien (pieter 2017). Hasil penelitian
yang dilakukan (Retnaningsih 2018) ditemukan bahwa komunikasi perawat didapatkan
komunikasi sedang terjadi dikarenakan perawat kurang melakukan pemberian informasi dan
penjelasan kepada keluarga pasien secara baik, atau saat pemberian informasi kepada
keluarga terlalu tergesa-gesa dikarenakan perawat segera menangani pasien yang mengalami
kegawatan. Terkadang perawat dalam pemberian informasi atau penjelasan kepada keluarga
pasien dilakukan setelah penanganan pasien yang mengalami kegawatan atau saat perawat
melakukan tindakan emergency.

Menurut peneliti, untuk membantu meningkatkan perasaan pengendalian diri pada klien dan
keluarga dapat salah satunya dapat melalui pemberian informasi dan penjelasan. Pemberian
informasi dan penjelasan ini dapat dilakukan dengan baik apabila didukung oleh pelaksanaan
komunikasi verbal perawat yang efektif yaitu untuk menyampaikan informasi tentang
keadaan pasien sesuai dengan wewenangnya. Komunikasi yang baik yaitu perawat harus
menerapkan komunikasi terapeutik untuk meningkatkan kesembuhan pasien dan juga
memudahkan pasien atau keluarga memahami keadaan mereka. Pada kategori ketiga dan
keempat yaitu keluarga sebagai penentu pengambilan keputusan atas pasien & perawat
menghargai keputusan keluarga ditemukan bahwa perawat mengungkapkan dengan
memberikan penjelasan kepada keluarga pasien, keluarga dapat mengambil keputusan atas
perawatan pasien. Jika keluarga pasien bersedia ataupun menolak, perawat tetap memberikan

37
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

surat penyataan untuk kesediaan dan tidak kesediaan melakukan perawatan atas pasien.
Perawat tetap menghargai apapun keputusan dan permintaan keluarga pasien. Bila pasien
masuk atau dirawat di ruang Intensive Care Unit, maka keluarga merasa takut tentang
kematian. Situasi ini dapat menganggu homeostasis keluarga untuk beberapa alasan dan
tanggung jawab pasien sekarang ditangguhkan pada tanggung jawab orang lain, bila tanggung
jawab ini ditinggalkan anggota keluarga akan mengalami berbagai tingkat ketidaknyamanan
(Rahayu 2016).

Interaksi antara keluarga dan perawat ICU diartikan sebagai kemitraan dimana perawat
sebagai sumber informasi tentang kondisi pasien. Informasi tersebut bisa berupa kondisi
terkini pasien, promosi kesehatan tentang hal yang harus dilakukan keluarganya, dan tindakan
kesehatan yang diberikan kepada pasien. Perawat memberikan dukungan dan menghargai
keluarga pasien (Ekowati, Purnomo, and Utami 2018). Menurut peneliti bahwa perawat dan
keluarga merupakan mitra yang secara bersama sama membantu pasien dalam perawatan.
Maka dari itu, pemahaman pasien dan keluarga yang kurang dapat menyebabkan
ketidakpahaman pada keluarga akan tindakan keperawatan ataupun medis yang akan
dilakukan pada pasien. Hal ini berdampak pada kesalahpahaman sehingga keluarga dapat
mengambil keputusan berdasarkan ketidakpahaman mereka.

Perawat selaku komunikator dalam komunikasi keperawatan haruslah bisa menyediakan


informasi keperawatan yang tersedia apakah memang benar-benar telah dapat disampaikan
pada pasien dan mengolah informasi keperawatan itu sesuai dengan kebutuhan pasien.
Apapun keputusan keluarga atau pasien, perawat harus menghargai dan mengikuti keputusan
tersebut disesuaikan dengan prosedur tindakan/ ruangan. Perawat bertugas untuk memberikan
informasi yang adekuat demi kesembuhan pasien, jadi jika keputusan pasien atau keluarga
tidak sesuai yang diharapkan perawat, maka perawat harus memberikan informasi efek dari
keputusan tersebut. Perawat memberikan penjelasan tidak hanya dari segi keperawatan tetapi
prosedur medis sedangkan dokter menjelaskan diagnosa, prognosa dan lain sebagainya.
Perawat hanya mereview kembali apa yang sudah dijelaskan dokter kepada keluarga dan
menanyakan kembali apa yang tidak dipahami keluarga. Informasi yang akurat dan terpercaya
sangat diperlukan oleh keluarga pasien yang ada di ruangan ICU, karena pasien yang ada di
ruangan ICU sangat memerlukan tindakan cepat dan tepat. Ini berdampak pada keluarga
pasien apabila perawat tidak terlebih dahulu memberikan informasi kepada keluarga, maka
keluarga pasien tidak akan percaya lagi kepada perawat dan keadaan seperti ini sering
menjadi konflik atau masalah antara keluarga pasien dengan perawat yang ada di ruangan
ICU (Tumbuan et al. 2017).

Perawat memenuhi kebutuhan dasar pasien fase end of life


Pada tema keempat, kategori pertama yaitu perawat memenuhi kebutuhan makan & minum
pasien ditemukan bahwa seluruh responden mengatakan bahwa telah memenuhi kebutuhan-
kebutuhan pasien pada fase end of life sesuai dengan prosedur rumah sakit. Perawat
memberikan makan dan minum berdasarkan standar gizi yang telah ditentukan yang
sebelumnya perawat mengkaji terlebih hal-hal yang pasien butuhkan pada saat makan.

Menurut Pitri (2019) mengatakan bahwa penyediaan makanan di rumah sakit sesuai standar
dengan pertimbangan keamanan pasien. Pasien kritis biasanya akan diberikan makanan dalam
bentuk cair melalui NGT. Pemberian makan dengan NGT tidak seperti proses makan pada
umumnya sebab, pasien tidak memasukan makanan melalui mulut, mengunyah dan menelan
makanannya. Pasien perlu beradaptasi dengan jenis makanan baru namun, kebutuhan nutrisi

38
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

pasien kritis tidak dapat ditunda. Kewajiban perawat menyediakan jalan masuknya makanan,
optimalkan penyerapan makanan sampai makanan dihantarkan ke sel tubuh.

Pada kategori kedua yaitu perawat memenuhi kebutuhan eliminasi pasien fase end of life
ditemukan bahwa responden membantu pasien memenuhi kebutuhan BAK dan BAB pasien
dengan memfasilitasi hal yang diperlukan pasien. Perawat juga menangani masalah masalah
pasien berkaitan dengan eliminasi (BAK & BAB) sesuai dengan ketentuan prosedur. Dalam
penelitian Kurniawati and Abidin (2018) didapatkan bahwa perawat telah memenuhi
kebutuhan eliminasi pada klien dimana jika dalam hal berkemih, seorang pasien harus
ditolong dalam hal suatu pemakaian alat bantu (seperti pispot/ urinal) maka perawat harus
bersedia siap membantu.

Pada kategori ketiga yaitu perawat memenuhi kebutuhan tidur pasien dan istrahat ditemukan
bahwa perawat mengungkapkan kesulitan dalam memenuhi tidur dan istrahat pasien karena
perawat bingung menentukan apakah pasien tidur karena tidak sadar atau karena pasien
memang tertidur. Menurut Kurniawati and Abidin (2018) menyatakan kebutuhan istirahat dan
tidur terutama sangat penting bagi orang yang sedang sakit agar lebih cepat memperbaiki
kerusakan sel.

Pada kategori keempat yaitu perawat menjaga tubuh pasien tetap bersih ditemukan bahwa
perawat dapat membantu pasien membersihkan badannya secara rutin dan berkala. Perawat
melakukan memandikan pasien 2x sehari, pada pagi hari dan sore hari, setelah memandikan
perawat mengganti pakaian pasien. Perawat juga memberikan perawatan oral hygine, jika
menggunakan ventilator dibersihkan tiap 6 jam. Perawat memberikan perawatan perineal atau
vulva hygine. Setelah memandikan perawat mengoleskan minyak seperti babi oil untuk
melembabkan kulit pasien. Berdasarkan hasil penelitian Kurniawati and Abidin (2018)
ditemukan bahwa perawat telah memberikan perawatan kebersihan diri mulai dari
memandikan dan mengganti alat alat tenun serta merapikan alat alat pasien. Tetapi ada juga
perawat yang tidak melakukan hal tersebut karena alasan klien berada dalam kondisi tidak
sadar/ lemah. Pada kategori kelima yaitu perawat melindungi pasien dari bahaya lingkungan
sekitar ditemukan bahwa perawat dapat melindungi pasien dari bahaya lingkungan seperti
peralatan medis dan resiko jatuh dimana perawat mengkaji resiko jatuh pasien.

Berdasarkan hasil wawancara oleh Sumangkut (2017) mengenai pengurangan risiko pasien
jatuh di Rumah Sakit GMIM Kalooran Amurang, jawaban informan mengatakan semua
pasien pada assement awal dilakukan penilaian risiko pasien jatuh, jadi untuk pasien dewasa
dan greriatrik menggunakan skala mors dan anak anak skala humpty dumpty serta
menggunakan skor dan label warna kuning yang terus dipantau setiap hari dimana bila terjadi
perubahan maka dilakukan reassement. Menurut peneliti bahwa, pada saat pasien mengalami
kondisi terminal dimana membutuhkan perawatan menjelang sekaratul maut dari segi
biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Perawatan akhir hidup adalah perawatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dengan membantu
mengatasi berbagai masalah penderitaan fisik, psikologis, sosial dan spiritual pasien. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa perawat ruang ICU mampu memenuhi kebutuhan dasar pasien
secara holistik dan mampu mengatasi permasalahan yang muncul pada setiap kebutuhan
pasien.

Perawat berpendapat bahwa mereka menjadi manager dalam manajemen nutrisi pasien setiap
hari. Perawat melakukan pemeriksaan fisik untuk identifikasi resiko malnutrisi, mengawasi

39
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

waktu makan pasien, menyediakan akses masuknya makanan dan mengevaluasi makanan
yang diserap. Kebutuhan eliminasi merupakan kebutuhan fisiologis untuk proses buang air
kecil dan buang air besar. Sehingga seorang perawat harus bisa memberikan bantuan untuk
memenuhi kebutuhan eliminasi urine dan eliminasi alvi pada pasien.

Perawat harus berupaya untuk memenui kebutuhan istirahat dan tidur pasien agar dapat
mempertahankan status kesehatan secara maksimal, maka jumlah energi cukup untuk
mempertahankan kegiatan dalam kehidupan sehari hari terpenuhi. Kebutuhan personal
hygiene merupakan suatu kebutuhan perawatan diri yang dibutuhkan untuk mempertahankan
kesehatan seseorang. Oleh karena itu, sangat penting untuk memenuhi kebutuhan kebersihan
mulut, rambut, kulit dan badan pasien untuk membuat pasien nyaman selama perawatan dan
menunjang proses kesembuhan. Perawat harus bisa mengkaji segala kebutuhan dan
permasalahan pasien walaupun ditahap end of life dikarenakan pasien tersebut memiliki hak
hak yang patut dipenuhi sebagai makhluk hidup. Dalam hal pemenuhan kebutuhan pasien,
perawat membutuhkan kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya demi menunjang pelayanan
secara keseluruhan.

Perawat mampu memahami kondisi pasien fase end of life


Pada tema kelima, kategori pertama yaitu mengenali tanda-tanda pasien berada di fase end of
life ditemukan bahwa sebagian besar responden mengungkapkan pasien yang di rawat di
ruang ICU adalah pasien kritis dengan terpasang alat dan monitor sehingga responden hanya
melihat kondisi dan perubahan kondisi pasien dari monitor dan tanda-tanda vital pasien.
Perawat harus mampu melihat bagaimana kondisi fisik pasien, seperti suhu tubuh, tekanan
gula darah, detak jantung, perasaan nyeri dan lain sebagainya. Perawat juga harus mampu
mengidentifikasi kondisi psikologis pasien, misal apakah pasien mengalami kecemasan,
tekanan emosi, konfilk, stress, sulit tidur, halusinasi dan lain sebagainya. Perawat harus
mampu mengobservasi seberapa besar kemampuan pasien menangkap, menerima, mengolah
atau menginterpretasikan dari setiap pesan yang disampaikan perawat. Perawat melihat
seberapa besar hubungan personal klien misal melihat tingkat responsivitasnya, perilaku
hubungan sosial, berbicara atau diam (pieter 2017).

Pada kategori kedua yaitu mengidentifikasi nyeri pada pasien fase end of life ditemukan
bahwa semua responden mengatakan dapat mengidentifikasi nyeri pada pasien end of life
dengan menggunakan pengkajian pada ruangan tersebut yaitu pengkajian Comfort Scale dan
Nurmeric Scale disesuaikan dengan pasien sadar maupun tidak sadar. Meskipun pasien dalam
keadaan menjelang akhir kehidupan tetap mempertahankan prinsip dasar dalam pengontrolan
nyeri, diantaranya identifikasi stimulus yang sifatnya merusak dan reversisble, identifikasi
hal-hal yang dapat meningkatkan intensitas nyeri; penggunaan dan peningkatan opioid pada
pasien terminal harus berdasarkan standard, memberikan opioid saat faktor pencetus
ditemukan, jika sesuai dan memungkinkan berikan co-analgesik berupa adjuvant (Lago et al.
2015).

Menurut peneliti, perawat harus memiliki kemampuan untuk memahami kondisi pasien, apa
yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Kemampuan perawat dalam memahami
kondisi pasien merupakan suatu kewajiban. Kemampuan ini meliputi pemahaman atas kondisi
fisik, psikis, dan sosial pasien. Bila perawat telah memahami kondisi tersebut maka perawat
dengan cepat dan mudah dapat memberikan pelayanan yang efektif sesuai prosedur. Perawat
dituntut juga setelah mengetahui kondisi klien dapat mengatasi permasalahan yang terjadi

40
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

pada pasien. Hal ini juga berlaku pada pasien end of life agar perawat tetap memberikan yang
terbaik sampai ajal menjemput pasien tersebut.

SIMPULAN
Setelah melakukan penelitian dan analisa maka dapat dapat disimpulkan bahwa perawatan
yang dilakukan perawat pada pasien fase end of life sudah cukup baik yang mana dapat
memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia secara holistik. Perawat dapat melihat pasien
sebagai manusia yang utuh dengan memfasilitasi dan membantu kebutuhan yang diperlukan
serta mampu mengatasi masalah pasien sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pada penelitian
ini ditemukan interaksi keluarga dan perawat demi kepentingan pasien untuk mencapai
kenyaman dan pemenenuhan kebutuhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Curtis, J. Randall, Patsy D. Treece, Elizabeth L. Nielsen, Julia Gold, Paul S. Ciechanowski,
Sarah E. Shannon, Nita Khandelwal, Jessica P. Young, and Ruth A. Engelberg. 2016.
“Randomized Trial of Communication Facilitators to Reduce Family Distress and
Intensity of End-of-Life Care.” American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine 193 (2): 154–62. https://doi.org/10.1164/rccm.201505-0900OC.

DʼAntonio, Jocelyn. 2017. “End-of-Life Nursing Care and Education: End-of-Life Nursing
Education: Past and Present.” Journal of Christian Nursing : A Quarterly Publication of
Nurses Christian Fellowship 34 (1): 34–38.
https://doi.org/10.1097/CNJ.0000000000000338.

Ekowati, Sri Indah, Hery Djagat Purnomo, and Reni Sulung Utami. 2018. “Perspektif
Keluarga Dan Perawat Tentang Kemitraan Keluarga Dalam Merawat Pasien Di Intensive
Care Unit.” Journal Center of Research Publication in Midwifery and Nursing 2 (2): 27–
31. https://doi.org/10.36474/caring.v2i2.44.

Enggune, Meilita, Kusman Ibrahim, Hana Rizmadewi Agustina, Akademi Keperawatan


Bethesda, Fakultas Keperawatan, and Universitas Padjadjaran. 2016. “Persepsi Perawat
Neurosurgical Critical Care Unit Terhadap Perawatan Pasien Menjelang Ajal Nurses
Perception toward End-of-Life Care.” Jurnal JKP 2 (April 2014): 35–42.

Jaelani. 2018. “Hubungan Perawatan Pasien Menjelang Ajal Dengan Dokumentasi


Keperawatan Di Rumah Sakit Wilayah Kota Cirebon.” Jurnal Ilmiah Indonesia 3 (8):
27–38.

Kurniawati, and Abidin. 2018. “Hubungan Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Berdasarkan


Kebutuhan Dasar Manusia Virginia Handerson Dengan Kepuasan Pasien Di RS
Bhayangkara Wahyu Tutuko Bojonegoro.” Journal of Health Sciences.

Lago, Miranda, Raquel Pusch De, Constante Bitencourt Othero, Fernando Osni Machado,
Pedro Piva, Mariza D Agostino, Eduardo Rocha, and Renata Andrea. 2015. “End of Life
and Palliative Care in Intensive Care Unit” 20 (4): 422–28.

Lestari, Sri, and Emma Setiyo Wulan. 2018. “Hubungan Mekanisme Koping Dengan Tingkat
Kecemasan Keluarga Pasien Di Ruang ICU RSUD RAA Soewondo Pati.” PROSIDING
HEFA (Health Events for All), 89–100.
http://prosiding.stikescendekiautamakudus.ac.id/index.php/pros/article/view/330.

41
Jurnal Gawat Darurat Volume 3 No 1 Juni 2021, Hal 29 - 42 p-ISSN 2684-9321
LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2685-2268

Lima, Elaine Cantarella, Andrea Bernardes, Priscila Lapaz Baldo, Vanessa Gomes Maziero,
Silvia Helena Henriques Camelo, and Alexandre Pazetto Balsanelli. 2017. “Critical
Incidents Connected to Nurses’ Leadership in Intensive Care Units.” Revista Brasileira
de Enfermagem 70 (5): 1018–25. https://doi.org/10.1590/0034-7167-2016-0137.

Ose, Maria Imaculata, Retty Ratnawati, and Retno Lestari. 2016. “( IGD ) DALAM
MERAWAT PASIEN TERLANTAR PADA FASE END OF LIFE PENDAHULUAN
Instalasi Gawat Darurat ( IGD ) Merupakan Unit Pertama Dalam Pelayanan Kesehatan
Rumah Sakit Yang Memprioritaskan Di IGD RSUD Dr . Saiful Anwar Cukup Banyak
Pasien Terlantar . Berdas.” Jurnal Ilmu Keperawatan 4 (2).

pieter. 2017. Dasar Dasar Komunikasi Bagi Perawat. Pertama. kencana.

Pitri. 2019. “Eksplorasi Peran Perawat Dan Ahli Gizi Dalam Pemberian Nutrisi Pada Pasien
Kritis.” Perawat Indonesia.

Rahayu, Kun Ika Nur. 2016. “TINGKAT KECEMASAN KELUARGA PASIEN DI RUANG
INTENSIVE CARE UNIT The Relationship Between Therapeutic Communication and
Family Patient ’ Anxiety in The Intensive Care Unit Kun Ika Nur Rahayu Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Kadiri , Jl . Selomangleng No” 1 (1): 14–21.

Retnaningsih, Dwi. 2018. “Hubungan Komunikasi Perawat Dengan Tingkat Kecemasan


Keluarga Pasien Di Unit Perawatan Kritis.” Jurnal Keperawatan Soedirman 11 (1): 35.
https://doi.org/10.20884/1.jks.2016.11.1.638.

Sari, Desi Puspita, Tri Sumarsih, Keperawatan Stikes, and Muhammadiyah Gombong. 2015.
“Gambaran Motivasi Dan Tindakan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien Di
Ruang ICU PKU Muhammadiyah Gombong.” Jurnal Imiah Kesehatan Keperawatan 10
(2): 100–107.

Sumangkut. 2017. “Evaluasi Penatalaksanaan Sasaran Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit


Umum GMIM Kalooran Amurang.” Ejournalhealth: Community Health.

Tumbuan, Fega Cristera, Vandri D Kallo, Program Studi, Ilmu Keperawatan, Fakultas
Kedokteran, and Universitas Sam Ratulangi. 2017. “Tingkat Kepercayaan Keluarga
Pasien Di Intensive Care Unit (ICU) Rsu Gmim” 5.
file:///C:/Users/ASUS/Documents/Azizah Punya Tgs Kuliah/Azizah Punya Materi
Semester 3/Kom. TERAPEUTIK/5 jurnal igd/14888-29834-1-SM.pdf.

42

Anda mungkin juga menyukai