Anda di halaman 1dari 7

PERAN KEPEMIMPINAN ISLAM BERBASIS PESANTREN TRADISIONAL SEBAGAI

PEMBLOKIR ALIRAN RADIKALISME DAN INTOLERANSI GUNA MENJAGA KEUTUHAN


NKRI
Naily Zahrotun Arifah
Universitas Gadjah Mada

Akhir dari perang dingin yang merupakan benturan ideologi antara Blok Barat
dan Blok Timur menjadikan Islam dengan budayanya sebagai lawan potensial bagi
budaya Barat selanjutnya. Beberapa peristiwa dapat diangkat sebagai bukti semakin
kuatnya kecenderungan Barat untuk menjadikan Islam kebalikannya dengan
mempopulerkan terminologi seperti terorisme, radikalisme, intoleransi dan
fundamentalisme yang berkonotasi Islam (Zainuroziqin, 2020). Pertumbuhan gerakan ini
semakin marak di banyak negara Islam, termasuk di Indonesia. Di bidang pendidikan,
survei radikalisme telah dilakukan oleh Lembaga Studi Islam dan Perdamaian selama
periode Oktober 2016 hingga Januari 2017 yang dilakukan di 100 SMA di Jakarta dan
sekitarnya. Survei menunjukkan hampir 50% siswa mendukung cara-cara kekerasan
dalam menangani masalah moralitas dan konflik agama. Berbeda dengan hasil survei
model pendidikan modern di atas (Soedirgo, 2018).
Pesantren Tradisional sebagai salah satu bentuk pendidikan tertua di Indonesia
relatif bersih tidak untuk digeneralisasi secara menyeluruh dari pandangan radikalisme
dan intoleransi. Dapat dilihat dari paparan hasil penelitian Puslitbang LIPI yang
menyatakan bahwa pondok pesantren di Indonesia sebagian besar berpandangan
toleran dan moderat. Penelitian terkait peran pesantren dalam mengatasi penyebaran
radikalisme menunjukkan bahwa sosok kyai sebagai agen perubahan memiliki
kedudukan penting dalam memberikan keteladanan bagi para pengikutnya. Selain sosok
kyai, tentunya Pondok Pesantren memiliki peran lain, komponen yang juga
mempengaruhinya dalam mengatasi kondisi tersebut, seperti kurikulum pendidikan.
Radikalisme sebagai ideologi adalah paham yang dekat dengan intoleransi. Bisa jadi
intoleransi muncul karena radikalisme sudah melekat pada diri seseorang sehingga tidak
mau menerima perbedaan; kepercayaan, politik, dan pandangan hidup (Yulianti, 2020).
Sedangkan intoleransi sebagai salah satu konsekuensi logis dari paham
radikalisme memiliki pengertian: keengganan untuk menerima ide, pendapat atau
perilaku yang berbeda dari orang lain (Nurtamam, 2017). Dewasa ini, perilaku tersebut
banyak diungkapkan oleh kelompok-kelompok tertentu kepada menghukum pandangan
orang lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Tidak hanya untuk menghukum
orang di luar kelompoknya, pembenaran juga akan muncul terhadap sesama anggota
kelompok ketika muncul pemahaman yang berbeda. Penggunaan istilah radikalisme
telah melalui berbagai pergeseran sejarah. Istilah yang pertama kali muncul dalam
konteks politik merambah ke konteks agama, sehingga memunculkan istilah
“radikalisme agama”; biasa digunakan untuk menyebut individu atau kelompok yang
tidak menerima penafsiran atau pembacaan yang berbeda dari teks-teks suci agam.
Adapun Islam, sejarah radikalisme dan intoleransi atas nama agama selalu
dikaitkan dengan peristiwa masa lalu. dimana kemunculannya banyak terjadi setelah
wafatnya Nabi Muhammad saw (Hamdi, 2020). Di akhir masa pemerintahan Khulafa ‘al-
Rasyidin, tatanan sosial-politik dunia Islam tidak berhenti dari konflik internal.
Perpecahan dimulai ketika Khalifah Utsman bin Affan tewas dalam tuntutan
demonstrasi besar-besaran ing penggantian pemerintah karena ketidakpuasan
beberapa orang dengan beberapa kebijakan. Ketika tuntutan untuk menuntut kasus
pembunuhan Utsman bin Affan disuarakan, perang pun tak terhindarkan. Perang antara
pihak Ali dan Mu'awiyah akhirnya terjadi. Pada saat kemenangan hampir berpihak pada
Ali, Mu’awiyah dan pendukungnya yang terpojok kemudian mengangkat Al-Qur’an di
ujung tombak sebagai strategi melakukan gencatan senjata. Manuver politik Mu'awiyah
dengan menawarkan arbitrase (tahkim) terbukti berhasil memecah belah pendukung
Ali. Ali yang lebih memilih mengakhiri perang dengan jalan musyawarah justru
menimbulkan rasa kecewa sebagian pendukungnya.
Para pengikut yang tidak setuju dengan keputusan tersebut kemudian
memisahkan diri dan menyatakan gerakannya sebagai Khawarij (orang yang keluar dari
barisan) di masa depan. Kelompok Khawarij menganggap baik Ali maupun Mu'awiyah
telah melakukan dosa besar, oleh karena itu darah mereka halal untuk ditumpahkan.
Mereka menilai bahwa Ali dan Mu'awiyah telah keluar (murtad) dari Islam karena tidak
menyelesaikan perselisihan dengan menggunakan hukum Allah. Hukum Allah yang
dimaksud tentu saja mengacu pada ayat-ayat Al-Qur'an dan salah satu ayat yang populer
digunakan oleh mereka adalah editorial literal al-Maidah ayat 44: “...Dan barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, demikianlah orang-orang
kafir.” Dari titik inilah pandangan teologis kelompok Khawarij dibentuk sedemikian rupa.
Penafsiran harafiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an dijadikan sebagai legitimasi atas
tindakan mereka. Al-Syahrastani mencatat: “Orang banyak mengajukan pertanyaan
kepada kelompok ini. Diantaranya: Orang banyak mengajak kita kembali kepada Al-
Qur'an sedangkan kalian mengajak kita untuk melanjutkan pertempuran.
Kelompok pembangkang menjawab: Kami lebih sadar akan kandungan Al-Qur’an
“. Puncak kericuhan yang dilakukan oleh kelompok tersebut terjadi pada dini hari ketika
tiga militan merencanakan pembunuhan tiga pemimpin Muslim di Mekah. Ketiga orang
itu adalah ‘Amr bin Bakr, al-Barak bin Abdullah, dan Abdurrahman bin Muljam. Masing-
masing ditugaskan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah dan ‘Amr bin’ Ash.
Namun, mereka gagal membunuh Mu'awiyah dan 'Amr bin' Ash dan hanya berhasil
membunuh Ali bin Abi Thalib saat melaksanakan salat subuh di masjid. Bahkan, pola
ajaran seperti itu terus berlanjut. Di Indonesia, beberapa peristiwa radikalisme atas
nama agama atau ajaran yang memiliki kecenderungan ke arah itu dapat dikemukakan
sebagai contoh. Pada masa pra-kemerdekaan, misalnya, kita dapat menyebut
perseteruan kaum Padri dengan penduduk lokal Minangkabau yang menginginkan
kedaulatan syariat Islam dan mengobarkan sentimen pribumi selama hampir 35 tahun
sejak abad ke-19. Bahkan setelah Reformasi 1998, ketika keran demokrasi terbuka lebih
luas, beberapa

Kelompok-kelompok Islam memperjuangkan agenda gerakannya dengan aksi


bom bunuh diri terutama pasca peristiwa 11 September 2001. Pada tahap ini, dapat
dikatakan bahwa transformasi gerakan Islam radikal menuju gerakan Islam
jihadis/teroris merupakan dinamika baru peta pergerakan Islam di Indonesia. Selain
faktor internal, ada juga hal-hal eksternal yang menyebabkan munculnya radikalisme
seperti sentimen sosial, politik, emosional dan agama, budaya, ideologi, dan
pemerintahan. Analisis menarik dari eksternal Faktor penyebab lahirnya radikalisme
dapat dilihat pada karya Martin van Bruinessen. Ia berpendapat bahwa sikap radikalisme
di Indonesia banyak berkaitan dengan gerakan politik Islam di masa lalu. Menurut
Martin, akar dari kelompok-kelompok ini dapat dilacak pada dua gerakan politik Muslim
yang relatif orisinal di Indonesia: gerakan Darul Islam dan partai Masyumi. Sebagaimana
diketahui, kedua gerakan tersebut mengalami ketegangan dengan negara ketika
beberapa anggotanya terbukti terlibat dalam pemberontakan PRRI yang mengakibatkan
pembubaran Masyumi pada tahun 1960.
Pemberontakan PRRI dipicu oleh ketidakpuasan beberapa kelompok Islam ketika
majelis konstituante tidak menghasilkan hasil yang diharapkan. Bahkan, setelah Sukarno
digulingkan, rezim Orde Baru mengambil beberapa kebijakan yang mengarah pada
“depolitisasi Islam” dengan membedakan antara “Ibadah Islam” dan “Islam Politik”.
Faktor itulah yang dikatakan Martin sebagai penyebab kenaikan radikalisme di Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, distorsi pemahaman agama dan kitab
suci yang bersumber dari internal umat Islam bukanlah aspek yang layak untuk
diabaikan. Rumusan Martin E. Marty mungkin tepat untuk mengidentifikasi ciri-ciri
gerakan tersebut. Dan pada titik inilah analisis sistem pembelajaran di Pesantren akan
ditawarkan sebagai salah satu upaya deradikalisasi. Ciri-ciri tersebut adalah: Pertama,
scripturalisme dalam pembacaan teks-teks suci. Sikap demikian memang dapat terjadi
pada pemeluk agama, terutama karena wawasan dunianya banyak terbentuk dari isi
kitab suci.
Mereka yang percaya bahwa makna kitab suci sudah cukup bahwa transmisi ilmu
di Pesantren merupakan salah satu tradisi besar di Indonesia, karena banyak ide-ide
tradisional Islam yang dilestarikan melalui lembaga pendidikan ini. Pesantren sebagai
lembaga pendidikan harus memiliki komponen-komponen yang saling terkait. Dalam
hasil kajiannya, Zamakhsyari Dhofier membagi komponen yang ada di lingkungan
Pondok Pesantren menjadi lima bagian: pondok (pondok), masjid, pengajaran kitab-
kitab klasik/kitaab, santri (santri), dan kyai (pemuka agama Islam). Selain berperan
sebagai tempat tinggal para santri, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan
yang banyak mengajarkan tentang khazanah Islam klasik (Basri, 2017). Bahan ajar
sebagian besar bersumber dari kitab kuning oleh para ulama klasik. Mengenai teknis
pembelajaran, materi di atas disajikan dalam empat metode:

Pertama, sorogan. Metode ini banyak dilakukan di rumah guru, mushola dan
masjid dan disampaikan secara individu. Seorang siswa atau santri mendatangi guru dan
menghafal beberapa baris al-Qur’an atau kitab-kitab Arab dan menerjemahkannya ke
dalam bahasa daerah secara bergantian. Dalam beberapa kesempatan terjadi dialog dua
arah antara guru dan siswa agar transkripsi ilmiah tidak kaku. Sorogan yang berlangsung
di Pondok Pesantren sebagaimana telah diriwayatkan sebelumnya memberikan
informasi bahwa banyak santri yang diberikan kebebasan yang baik dalam memilih kitab
yang akan dipelajari hingga terciptanya makna secara kreatif. Dengan bekal bacaannya,
siswa tidak diwajibkan untuk sama persis dengan kehendak guru. Selain itu, dialog dua
arah juga terjadi pada tahap ini membentuk suatu sintesa baru. Dengan metode ini,
radikalisme dan intoleransi yang disebabkan oleh pembacaan model skripturalisme
dapat dihindari (Badi’ati, 2020).
Kedua, bandongan. Metode pembelajaran ini juga disebut oleh beberapa
Pesantren dengan wetonan di mana sekelompok santri antara 10 sampai 100 orang
berkumpul dalam satu majelis mendengarkan seorang guru atau kyai yang membaca,
menerjemahkan, menjelaskan, dan membandingkan karya ulama klasik. Bandongan
yang banyak diikuti mahasiswa dalam sebuah kajian dapat digunakan untuk meredam
penolakan ideologi radikal dan intoleran atas pluralitas dan relativitas. Dikatakan
demikian, karena dalam model pembelajaran ini siswa mendapatkan informasi tentang
ragam qaul ulama melalui guru mereka. Aspek pluralitas juga diperoleh karena guru atau
kyai menggunakan sumber lain sebagai bahan pembanding. Bahkan dalam banyak
kajian, baik guru maupun kiai sering menutup forumnya dengan mengucapkan aalam bi
muradihi (Allah lebih mengetahui apa yang dimaksud).
Ketiga, setoran. Teknis pelaksanaan metode setoran memiliki sedikit kemiripan
dengan metode sorogan. Para santri duduk berurut di depan guru atau kyai untuk
melafalkan hafalan mereka satu per satu. Hal-hal yang dibacakan oleh santri pun
beragam, mulai dari kaidah nahwu dan syaraf, fiqh dan ushul fiqh serta al-Qur’an. Di
kelas setoran, guru berperan sebagai pendengar dan di beberapa Pesantren, guru dan
kyai menerima pengajian lebih dari satu siswa untuk mempersingkat waktu. Sehingga
dengan model pembelajaran ini sikap monopoli terhadap kebenaran dapat dikurangi.
Keempat, diskusi/musyawarah kelas. Sistem ini umumnya tidak jauh berbeda
dengan model pendidikan kontemporer di mana peserta didik terlibat dalam diskusi,
bertukar pendapat dan berdebat satu sama lain. Mahasiswa yang ingin mengikuti
kegiatan ini diwajibkan untuk mempelajari sendiri buku-buku yang ditunjuk dan dirujuk.
Metode ini digunakan untuk mengasah keterampilan dan kemampuan siswa dalam
menganalisis suatu masalah dan menemukan solusinya (Badi’ati, 2020).

Aspek terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah peran guru atau kyai sebagai
panutan bagi anak didiknya. Semua komponen di atas tidak akan berjalan dengan baik
jika tidak dibarengi dengan pandangan yang sesuai dari para pendidik. Berdasarkan
wawancara, pemahaman tentang pluralitas dan relativitas serta pengenalan historisitas
secara luas dimiliki oleh guru kepada siswa. Di luar hal-hal teknis seperti sorogan,
bandongan, dan setoran, faktor lain yang dapat ditawarkan sebagai pencegah aliran
radikalisme dan intoleransi adalah banyaknya referensi kitab-kitab yang dipelajari di
Pesantren. Penjelasan yang menjadi bagian kajian dari awal hingga akhir pembahasan
dapat dikatakan memenuhi syarat untuk menjawab apa yang dicari dalam penelitian ini.
Ada dua Hal-hal yang ingin peneliti tekankan pada bagian penutup: Pertama, santri di
Pondok Pesantren menempuh pendidikan nonformal selama enam tahun yang dibagi
menjadi tiga tahap kelas: diniyah ula, wustho, 'ulya ditambah dengan belajar kitab
dengan guru dan kyai.
Masing-masing tahapan. Rakyat Kecil, Islam dan kajian-kajian di atas dihadirkan
melalui model pengajaran tradisional yang jarang ditemui di lembaga pendidikan
modern seperti sorogan, bandongan dan setoran. Kedua, seiring dengan fenomena
radikalisme dan intoleransi saat ini, Kajian Islam berbasis pesantren dapat ditawarkan
sebagai alternatif untuk mengatasi atau setidaknya menguranginya. Menurut hasil
penelitian, selain faktor guru, faktor yang signifikan dalam upaya penanggulangannya
adalah beragamnya teknis pelaksanaan pembelajaran di Pondok Pesantren serta
berbagai materi pelajaran. sehingga perbedaan tersebut dapat diterima. Meski
demikian, studi ini masih tahap awal dan masih terbuka lebar untuk ditindaklanjuti,
dikembangkan dan yang terpenting: dikritisi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M., & Izzamillati, N. (2021). MENYELESAIKAN MASALAH


INTOLERANSI: ANALISIS PERAN DAN BENTUK KOMUKASI (Studi
Kontroversi Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta). Jurnal Ilmiah
Komunikasi Makna, 9(1), 21-28.
Arifianto, A. R. (2017). Practicing what it preaches? Understanding the contradictions
between pluralist theology and religious intolerance within Indonesia’s Nahdlatul
Ulama. Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies, 55(2), 241-264.
Badi’ati, A. Q. (2020). SANTRI, JIHAD, DAN RADIKALISME BERAGAMA:
IMPLIKASI ATAS PENAFSIRAN AYAT JIHAD. Kodifikasia, 14(1), 21-42.
Basri, L. (2017). Pemahaman dan Pengamalan Santri Pon-Pes IMMIM Terhadap
Mukhtar Al-Ahadis. Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis, 8(2).
Effendi, M. R. (2020). Mitigasi Intoleransi dan Radikalisme Beragama di Pondok
Pesantren Melalui Pendekatan Pembelajaran Inklusif. Paedagogie: Jurnal
Pendidikan dan studi ISlam, 1(1), 54-77.
Effendi, Y., & Hamdi, A. Z. (2020, May). Extremism Trails in Santri Cities: Discourses,
Networks, and Early Detection. In B-SPACE 2019: Proceedings of the First
Brawijaya International Conference on Social and Political Sciences, BSPACE, 26-
28 November, 2019, Malang, East Java, Indonesia (p. 345). European Alliance for
Innovation.
Mujtahidin, M., Mahmud, M., & Nurtamam, M. E. (2017). Peran Nilai Budaya dalam
Membentuk Perspektif Toleran dan Intoleran di Madura: Studi Kasus Konflik
Sunni-Syiah di Desa Karanggayam Kecamatan Omben Kabupaten Sampang–
Madura. Pamator Journal, 10(2), 122-127.
Soedirgo, J. (2018). Informal networks and religious intolerance: how clientelism
incentivizes the discrimination of the Ahmadiyah in Indonesia. Citizenship Studies,
22(2), 191-207.
Sumadinata, R. W. S., Sulaeman, O., & Yulianti, D. (2020). Islamic Peace Education:
Internalization of God’s Feminine Names to Santri in the Syukrillah Islamic
Boarding School. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 14(1), 49-70.
Zainurroziqin, M., Mansur, R., & Dina, L. N. A. B. (2020). Pengaruh Kematangan Emosi
Terhadap Sikap Tasamuh Santri Pondok Pesantren Sabilurrosyad Kota Malang.
Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam, 5(1),

Anda mungkin juga menyukai